BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kakao - PENGARUH 2,4-D (2,4-Diklorofenoksiasetat) DAN BAP (6 – Benzil amino purine) TERHADAP KEBERHASILAN EMBRIOGENESIS SOMATIK BUNGA KAKAO (Theobroma cacao, L.) - repository perpustakaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Kakao

  Kakao (Theobroma cacao, L.) merupakan salah satu anggota familia

  Sterculiaceae yang memiliki habitat asli di daerah hutan tropis di Amerika tengah

  dan Amerika selatan bagian utara (Siregar et al., 2010). Kakao pertama kali diolah secara sederhana oleh suku Maya yang hidup didaerah Amerika tengah tepatnya di Guatemala, Yucatan dan Honduras. Pada saat itu biji kakao yang dipanggang digunakan untuk membuat minuman yang sering digunakan untuk ritual pemujaan. Runtuhnya peradaban suku Maya pada saat itu menyebabkan suku Aztec menguasai kebun-kebun kakao milik suku Maya hingga akhirnya pada abad 15 bangsa Spanyol datang dan belajar tentang pengolahan kakao kepada suku Aztec (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004).

  Bangsa Spanyol mempunyai peranan penting dalam penyebaran kakao di berbagai negara di dunia. Pada abad ke-17, bangsa Spanyol mentransfer beberapa tanaman kakao ke Manila di Filipina. Sejak saat itu budidaya kakao menyebar ke Indonesia melalui Sulawesi (Vos et al., 2003). Pada akhir abad 18, penyebaran tanaman kakao di Indonesia semakin meluas dengan dibukanya beberapa perkebunan kakao oleh orang Belanda, seperti di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur serta Sumatera (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004).

  8

2.1.1 Manfaat Kakao

  Kakao merupakan tanaman yang dibudidayakan secara masal karena mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi khususnya untuk dipanen buahnya (Mariani, 2011). Kulit buah kakao dapat diolah menjadi bahan pakan ternak, kompos, substrat budidaya jamur, dan bahan bakar serta memiliki potensi untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan zat pewarna β-karoten, dan briket arang (Saputra, 2012; Mayerni et al., 2009; Wulan, 2001; Usman, 2007). dari kakao juga dapat digunakan untuk industri rumah tangga

  Pulpa

  maupun industri kimia. Untuk industri rumah tangga pulpa kakao banyak diolah menjadi pupuk hijau, gas bio, bahan bakar atau jus pulpa kakao. Pada industri kimia, pulpa kakao dapat diolah menjadi jelli, nata de cocoa, pektin, alkohol, herbisida cair, serta aktivator untuk proses pengomposan (Setyawati et al., 2007; Widyotomo dan Mulato, 2008).

  Biji kakao dapat diolah menjadi cocoa butter, dan cocoa powder (Mariani, 2011). Cocoa butter merupakan bahan utama berbagai produk makanan dan kecantikan seperti dark coklat, pasta coklat, lulur coklat hingga sabun coklat, sedangkan cocoa powder merupakan bahan baku berbagai jenis makanan ringan seperti dodol, kue, selai, permen, susu, serta makanan lainnya (Gambar 2.1).

  Makanan hasil olahan dari cocoa powder memiliki antioksidan yang tinggi, sehingga dengan memakan makanan tersebut dipercaya akan mampu melindungi kulit dari bahaya sinar ultraviolet (Supriyanto et al., 2006; Yuliatmoko, 2007; Mariani, 2011).

Gambar 2.1 Kulit ka

  cocoa (C powder : perme (H), susu Wikipedi

  Kakao merup dipengaruhi oleh ling Kakao Indonesia, 2004) primer dapat mencapa meter. Akar lateral da tanah dengan kedalam

  A D E F G H

  I J K

  t kakao sebagai pakan ternak (A), herbisida c oa (C), biji kakao dapat diolah menjadi cocoa but der (D), berbagai produk olahan cocoa butter da men coklat (E), kue coklat (F), dark coklat (G) susu coklat (I), masker coklat (J), sabun cokla pedia).

  an Perkembangan Kakao

  upakan tanaman perennial dengan morfologi ingkungan serta jenis kultivarnya (Pusat Pene 2004). Akar kakao berupa akar tunggang denga apai 15 meter sedangkan akar lateral dapat menc l dari kakao sebagian besar berkembang dide aman 0-30 cm (Rubiyo, 2009).

  A D E F G H

  I J K

  cair (B), nata de a butter dan cocoa dan cocoa powder

  G), es krim coklat

  klat (K) (Sumber: ogi tanaman yang nelitian Kopi dan ngan panjang akar encapai panjang 8 didekat permukaan

  A D E F G H

  I J K

2.1.2 Morfologi dan P

  Batang tanaman kakao berupa batang yang keras dan kuat dengan tinggi dapat mencapai 4,5 – 10 meter tergantung dari kondisi lingkungan dan faktor- faktor tumbuh yang tersedia. Pada batang tanaman kakao terdapat dua percabangan, yaitu percabangan dengan arah pertumbuhan keatas yang disebut dengan cabang ortrotop dan percabangan dengan arah pertumbuhan kesamping yang disebut dengan cabang plagiotrop (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004).

  Daun tanaman kakao bertangkai, berbentuk bulat telur terbalik memanjang, ujung daun meruncing, dan pangkal daun runcing serta susunan tulang daun menyirip. Daun kakao muda berwarna merah muda sedangkan daun yang tua cenderung berwarna hijau tua dengan panjang daun sekitar 10-48 cm dan lebar 4-20 cm (Gambar 2.2; van Steenis et al., 1987).

  A B

Gambar 2.2 Morfologi daun kakao; daun kakao muda yang berwarna merah

  muda (A), daun kakao yang sudah tua cenderung berwarna hijau tua (B) (Sumber : Philips et al., 2013). Kakao termasuk dalam kelompok tanaman caulifloris, yaitu tanaman yang berbunga dan berbuah pada batang serta cabangnya (Siregar et al., 2010). Warna bunga kakao putih keungu-unguan atau kemerah-merahan, tergantung dari kultivar kakao (Gambar 2.3 A; Philips et al., 2013). Diameter bunga mencapai sekitar 1,5 cm dan panjang tangkai antara 2-4 cm (Siregar et al., 2010). Bunga tanaman kakao merupakan bunga sempurna yang memiliki lima helai sepala (kelopak), lima helai petala (daun mahkota) dan lima stamen (benang sari) dengan satu pistil (putik). Helai sepala berbentuk lanset, dengan panjang 6-8 mm berwarna putih sampai keunguan (van Steenis et al., 1987). Petala dari kakao berbentuk cawan denganwarna putih kekuningan atau putih kemerahan dan panjangnya sekitar 8-9 mm. Pada lekukan petala terdapat stamen yang terbelah menjadi dua anthera bertangkai pendek (subsessile). Pada lingkaran luar yang menempel pada putik terdapat 5 helaian staminodia berbentuk pita (filiform), berukuran 4 - 6 mm berwarna ungu gelap dengan ujung putih (Gambar 2.3 B; Backer dan Bakhuizen van den Brink, 1963). Bunga kakao mengalami penyerbukan silang. Pada satu tanaman kakao dapat dihasilkan bunga mencapai 5000 hingga 12000 buah, tetapi hanya 1 % dari total bunga tersebut yang akan membentuk buah (Siregar et al., 2010).

  B A

Gambar 2.3 Bunga kakao yang muncul dari batang (caulifloris), panah biru

  menunjukkan bunga yang masih kuncup, panah kuning menunjukkan bunga yang telah mekar (A), (B) adalah Diagram satu buah kuntum bunga kakao yang telah mekar menunjukkan adanya petala dan staminodia (kiri) dan diagram sayatan bunga melintang yang menunjukkan adanya ovary (kanan) (Sumber : Philips et al., 2013).

  Buah kakao terdiri dari 74 % kulit buah, 2 % plasenta dan 24 % biji (Gambar 2.4 A; Limbongan, 2010). Buah kakao berbentuk bulat hingga memanjang dengan warna kulit buah masak adalah kuning kecoklatan sampai orange tergantung pada kultivarnya. Buah akan masak setelah berumur enam bulan dengan ukuran panjang yang beragam yaitu antara 10 cm hingga 30 cm tergantung pada kultivar serta faktor lingkungan yang ada (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004). Bakal buah kakao beruang 5, dengan bakal biji yang banyak (Gambar 2.4 B; van Steenis et al., 1987). Pada satu buah kakao dapat mengandung biji dengan jumlah antara 20-50 butir biji (Siregar et al., 2010). Biji kakao umumnya berbentuk bulat lonjong dengan warna kulit biji coklat hingga keunguan tergantung dari kultivarnya (Gambar 2.4 C). Biji kakao dilapisi oleh lapisan lunak berwarna putih dengan rasa manis yang disebut dengan pulpa.

  

B

A C

Gambar 2.4 (A) adalah buah kakao utuh dan buah kakao yang dibelah membujur

  menunjukkan posisi kulit buah (panah merah) serta biji yang diselimuti oleh pulpa (Panah biru); (B) adalah buah kakao yang dipotong melintang menunjukkan bakal buah beruang 5; (C) morfologi biji kakao dari varietas Criollo(Panah merah), Forestero (Panah kuning) dan Trinitario(Panah biru) (Sumber: Weber picture.com).

2.1.3 Varietas

  Berdasarkan varietasnya, ada 3 varietas kakao yang banyak dibudidayakan di negara-negara di dunia (Vos et al., 2003), yaitu kakao varietas Criollo(Gambar

  2.5 A), Forestero(Gambar 2.5 B) dan Trinitario(Gambar 2.5 C). Kakao varietas Criollo mempunyai biji yang mutunya sangat baik sehingga sering disebut dengan

  cokelat mulia. Ciri khas varietas ini adalah buah berwarna merah atau hijau dengan bentuk yang bulat telur, kulit luarnya tipis lunak dengan namun kasar, biji bulat sedangkan kotiledonnya berwarna putih (Rubiyo, 2009). Selain itu produksi kakao varietas ini lebih rendah dibandingkan dengan varietas Forestero serta lebih rentan terkena hama penyakit (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2012).

  Varietas kedua adalah kakao varietas Forestero. Varietas ini memiliki mutu yang sedang dan dikenal dengan kakao jenis lindak. Ciri khas kakao varietas ini adalah buah berwarna hijau karena tidak mengandung antosianin dengan kulit yang tebal dan permukaan yang halus. Biji lebih kecil dan lebih pipih dibanding kakao varietas Criollo sedangkan kotiledon berwarna ungu (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004; Rubiyo, 2009).

  Varietas yang ketiga yaitu kakao varietas Trinitario. Varietas ini merupakan persilangan dari varietas Criollo dengan varietas Forestero, sehingga varietas ini memiliki morfologi dan fisiologi yang beragam dengan mutu yang sangat bervariasi (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2012). Kakao varietas ini dapat menghasilkan biji yang berkualitas bagus tetapi dapat juga menghasilkan biji kualitas rendah dengan warna biji bervariasi dari ungu muda hingga ungu tua serta buah berwarna hijau atau merah dengan bentuk yang bervariasi pula (Rubiyo, 2009).

  A B C

Gambar 2.5 Morfologi buah kakao varietas Criollo(A), Forestero(B) dan Trinatario (C) (Sumber : Philips et al., 2013).

2.2 Budidaya Kakao di Dunia

  Produksi kakao di berbagai negara di dunia memang cenderung meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2009 produksi kakao dunia mencapai sekitar 4,2 juta ton sedangkan pada tahun 2011 total kakao dunia yang diproduksi meningkat menjadi sekitar 4,4 juta ton kakao (FAO, 2013). Negara produsen kakao ada di kawasan tropis yang secara geografis dibagi dalam empat wilayah yaitu Afrika, Asia, Oceania dan Amerika. Benua dengan tingkat produksi kakao tertinggi di dunia adalah Afrika (65.1%) diikuti Asia (18,1 %), Amerika (15,4 %) dan Oceania (1,3 %; FAO, 2013). Di antara negara-negara produsen kakao tersebut, Côte d'Ivoire menempati urutan pertama dengan total produksi mencapai sekitar 1,3 juta ton per tahun (30,7% dari total produksi dunia) pada tahun 2011. Pada tahun yang sama, Indonesia menempati urutan kedua dengan total produksi mencapai sekitar 712 ribu ton (16,2% dari total produksi dunia; FAO, 2013). Negara lain dengan total produksi tertinggi secara berturut-turut adalah sebagai berikut: Ghana, Nigeria, Cameroon, Brazil, Equador, Togo serta Peru (Gambar

  2.6).

  Permintaan biji kakao cenderung meningkat setiap tahunnya terutama dinegara-negara maju. Pada tahun 2010 permintaan biji kakao dunia mencapai sekitar 5,2 juta ton per tahun, sedangkan pada tahun 2011 permintaan biji kakao dunia meningkat hingga sekitar 5,5 juta ton pertahun. Dari seluruh permintaan tersebut, belum seluruhnya dapat dipenuhi oleh negara-negara produsen. Pada tahun 2010, terdapat kebutuhan hampir 400 ribu ton biji kakao belum dapat dipenuhi. Pada tahun 2011, kebutuhan kakao meningkat sehingga terdapat permintaan sebanyak 750 ribu ton biji kakao yang tidak dapat dipenuhi oleh negara-negara penghasil kakao (World Cocoa Foundation, 2012).

Gambar 2.6 Sepuluh negara produsen kakao terbesar dunia yang menunjukkan

  bahwa Indonesia (panah merah) merupakan negara produsen kakao terbesar kedua di dunia setelah Côte d'Ivoire (FAO, 2013).

2.3 Budidaya Kakao di Indonesia dan Permasalahannya

2.3.1 Produksi Kakao Indonesia Perkebunan kakao di Indonesia tersebar merata hampir di semua pulau.

  Namun, sentra produksi kakao utama terdapat di 6 provinsi yaitu Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sumatera Utara, dan Kalimantan Timur (Taufik et al., 2010). Di Indonesia kakao dibudidayakan baik oleh perkebunan rakyat maupun oleh perkebunan swata dan negara. Sekitar 90% dari luas area perkebunan kakao Indonesia merupakan perkebunan rakyat, sedangkan sekitar 10% dari luas area perkebunan kakao Indonesia dikelola oleh negara serta swasta (Taufik et al., 2010).

  Total produksi kakao di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007, total produksi kakao Indonesia mencapai sekitar 740 ribu ton per tahun sedangkan pada tahun 2010 total produksi kakao Indonesia meningkat hingga sekitar 845 ton per tahun (FAO, 2013). Peningkatan produksi kakao tersebut lebih banyak disebabkan oleh meningkatnya luas area perkebunan kakao. Luas area perkebunan kakao di Indonesia menempati urutan kedua terbesar di dunia. Luas area tersebut juga meningkat dari tahun ke tahun (FAO, 2013). Pada tahun 2006 luas area perkebunan kakao di Indonesia hanya sekitar 900 ribu ha sedangkan pada tahun 2011 meningkat hingga mencapai 1,6 juta ha (FAO, 2013).

  Namun demikian, meningkatnya luas area perkebunan kakao Indonesia tidak diimbangi dengan meningkatnya produktivitas perkebunan (Gambar 2.7).

  1800 Luas area (ribu ha) 1600 Produktivitas (kg/ha) 1400 1200 1000 800

  600 400 200 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Gambar 2.7 Luas area perkebunan kakao di Indonesia yang semakin meningkat

  sejak tahun 2002 dibandingkan dengan produktitivitas perkebunan kakao di Indonesia yang semakin menurun (FAO, 2013).

  Produktivitas perkebunan kakao di Indonesia cenderung menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007, produktivitas kakao Indonesia mencapai sekitar 800 kg/ha, sedangkan pada tahun 2011 terjadi penurunan produktivitas kakao sebesar 56% menjadi sekitar 425 kg/ha (FAO, 2013). Dengan angka tersebut produktivitas Indonesia menempati urutan 19 besar di dunia (FAO, 2013). Jika dibandingkan dengan negara lain seperti Guatemala dan Thailand, produktivitas kakao di Indonesia hanya sekitar sepertujuh dari produktvitas kakao di kedua negara tersebut.

2.3.2 Permasalahan Budidaya Kakao di Indonesia

  Beberapa faktor diduga menjadi penyebab rendahnya produktivitas kakao di Indonesia antara lain adanya serangan penyakit dan hama, belum diaplikasikannya teknologi budidaya yang baik dan benar (Wahyudi & Misnawi 2007). Serangan penyakit dan hama tanaman memang secara langsung berperan dalam penurunan produksi kakao ( Santoso & Soedarsianto, 2009 ). Salah satu penyakit tanaman yang menjadi masalah utama pada budidaya kakao di Indonesia adalah penyakit busuk buah (Phytophthora palmivora; Rubiyo, 2009). Gejala

  penyakit busuk buah kakao ditunjukkan dengan terjadinya pembusukan disertai dengan bercak coklat kehitaman dengan batas yang tegas (Gambar 2.8A; Rubiyo, 2009). Kerugian yang terjadi akibat penyakit busuk buah pada tanaman kakao di Indonesia dapat mencapai hingga lebih dari 50% (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004 ).

  Selain itu, serangan hama penggerek tanaman (PBK) serta layu pentil juga merupakan penyakit yang sering di temui pada tanaman kakao (Santoso & soedarsianto, 2009). Gejala serangan hama PBK baru akan tampak ketika buah sudah matang, yaitu buah akan berwarna pudar, jika dibelah daging buahnya dan biji akan berwarna hitam serta berat biji akan lebih ringan (Gambar 2.8B). Produktivitas serta mutu biji dapat berkurang hingga mencapai 80% jika tanaman terserang penyakit PBK ( Wahyudi & Misnawi, 2007 ).

  Layu pentil merupakan penyakit fisiologis yang khas pada tanaman kakao yang menyebabkan buah kakao yang masih sangat muda (pentil) mengalami kematian/mengering (Gambar 2.8C; Widiancas, 2010). Adanya penyakit layu pentil dapat menimbulkan penurunan produktivitas kakao sebesar 70-90% (Widiancas, 2010).

  A B C

Gambar 2.8 Buah kakao yang terserang penyakit busuk buah, terlihat adanya

  bercak hitam dengan batas jelas pada kulit buah kakao (A); (B) adalah gambar buah kakao yang dibelah, sebelah kiri menunjukkan kakao yang sehat sedangkan sebelah kanan menunjukkan buah kakao yang terserang hama penggerek tanaman (PBK); Buah kakao yang mengalami layu pentil (C).

  (Sumber : .

  Penerapan teknik budidaya kakao yang kurang tepat seperti perawatan tanaman yang kurang baik serta pemupukan yang tidak berimbang juga berpengaruh terhadap penurunan produktivitas perkebunan kakao di Indonesia (Sutardi & Hendrata, 2009). Pada umumnya petani melakukan perawatan secara sederhana yaitu dengan melakukan pemangkasan yang asal asalan dan pemupukan secara berlebihan (Sutardi & Hendrata, 2009). Waktu serta cara pemangkasan yang tidak tepat dapat berakibat meningkatnya serangan hama dan penyakit yang bisa berpengaruh terhadap penurunan produktivitas buah kakao (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004). Pemberian pupuk yang mengandung unsur tertentu secara berlebih baik dosis, jenis, maupun waktu juga akan mengganggu perkembangan tanaman kakao yang akan berakibat pada penurunan produktivitas tanaman (Sutardi & Hendrata, 2009).

  Kondisi lain yang berpengaruh terhadap penurunan produktivitas perkebunan yang ada di Indonesia adalah umur tanaman yang relatif tua (Wahyudi & Misnawi, 2007). Produktivitas tanaman kakao umumnya akan turun setengah dari produktivtas awalnya setelah berumur 20 tahun (Santoso & Soedarsianto, 2009). Untuk mengatasi permasalahan tersebut salah satu caranya adalah dengan rehabilitasi dan peremajaan perkebunan kakao (Santoso & Soedarsianto, 2009).

  Salah satu faktor yang diduga menjadi penyebab utama rendahnya produktivitas kakao di Indonesia adalah rendahnya kualitas bibit kakao yang dibudidayakan ( Wahyudi & Misnawi, 2007 ). Oleh karena itu, penyediaan bibit kakao yang berkualitas sangat dibutuhkan guna meningkatkan produktivitas kakao.

2.3.3 Pembibitan Kakao

  Pada saat ini, petani lebih banyak menggunakan bibit kakao yang berasal dari perbanyakan secara generatif yaitu menggunakan biji (Avivi et al., 2010).

  Teknik pembibitan menggunakan biji diawali dengan memilih biji yang baik dari induk yang berkualitas. Setelah biji dikecambahkan selama 4 - 5 hari, kemudian kecambah dipindahkan ke medium tanam dan dipelihara selama 6-7 bulan agar siap ditanam di lapang (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2012).

  Perbanyakan dengan teknik ini mempunyai beberapa keuntungan diantaranya memiliki tingkat keberhasilan tinggi, murah dan mudah dilakukan serta mampu menghasilkan bibit dalam jumlah yang banyak. Namun, perbanyakan tersebut dapat menghasilkan tanaman yang memiliki variasi genetik yang tinggi. Hal tersebut karena dalam proses pembuahan kakao mengalami penyerbukan silang (cross pollination; Li et al., 1998; Issali et al., 2012).

  Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan perbanyakan melalui biji adalah secara vegetatif melalui stek dan okulasi (Limbongan, 2010). Perbanyakan kakao melalui stek dilakukan dengan cara memotong ranting atau pucuk tanaman dengan jumlah daun antara 2 - 5 helai , kemudian ditanam pada medium tanam. Bibit siap dipindahkan ke lapang jika tingginya sudah mencapai sekitar 50 cm dan jumlah daun minimum 15 helai (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004).

  Keunggulan dari perbanyakan vegetatif ini adalah lebih ekonomis, lebih mudah dan cepat serta tidak memerlukan ketrampilan yang khusus. Namun, teknik ini tidak mampu menghasilkan bibit dalam jumlah yang besar, merusak tanaman induk serta memiliki tingkat keberhasilan yang rendah (Li et al., 1998; Avivi et al., 2010).

  Perbanyakan vegetatif lainnya adalah melalui okulasi yang dilakukan dengan cara menempelkan mata tunas yang diambil dari pohon kakao super pada batang bawah bibit tanaman kakao lainnya (Basri, 2009). Dengan menggunakan teknik ini, bibit memerlukan waktu sekitar 4-5 bulan agar siap ditanam di lahan (Basri, 2009). Kelebihan dari teknik perbanyakan ini adalah dapat dihasilkan bibit yang seragam dan memiliki produktivitas yang sama dengan induknya (Basri, 2009). Namun, teknik ini tidak mampu dihasilkan bibit dalam jumlah yang masal karena keterbatasan jumlah mata tunas (Avivi et al., 2010). Kendala lain dari teknik ini adalah adanya kerusakan pada tanaman induknya serta keberhasilan teknik ini masih relatif rendah.

  Salah satu alternatif untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dalam perbanyakan bibit kakao secara vegetatif seperti di atas adalah dengan menggunakan teknik kultur jaringan tumbuhan. Kultur jaringan adalah teknik perbanyakan tanaman dengan mengisolasi bagian tertentu dari tanaman serta menumbuhkannya pada media buatan secara aseptis (Hendaryono & Wijayani, 1994).

  Kultur jaringan tumbuhan untuk menyediakan bibit tanaman dapat dilakukan melalui beberapa cara seperti melalui kultur meristem, kultur pucuk, kultur tunas aksiler maupun melalaui organogenesis (Sandra, 2012). Kultur meristem merupakan teknik kultur jaringan dengan menggunakan eksplan jaringan meristem (Suyadi et al, 2003). Teknik ini banyak dilakukan untuk menghasilkan bibit tanaman yang bebas virus, namun teknik ini belum berhasil diaplikasikan untuk perbanyakan bibit kakao (Purnamaningsih, 2002).

  Kultur pucuk dan kultur tunas aksiler adalah teknik perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan dengan menggunakan eksplan pucuk atau tunas aksiler (Sandra, 2012). Kedua teknik tersebut merupakan teknik kultur jaringan yang paling sederhana karena hanya memerlukan tahapan perbanyakan dan induksi akar guna menghasilkan bibit tanaman (Sandra, 2012). Namun teknik tersebut juga belum berhasil diaplikasikan untuk pembibitan kakao (Figuera et al., 1991).

  Teknik lain yang banyak digunakan untuk perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan adalah organogenesis. Teknik tersebut digunakan untuk menginduksi munculnya tunas baik secara langsung maupun tidak langsung dari eksplan yang ditanam. Setelah tunas berhasil dimultiplikasikan, kemudian tunas diinduksi akar untuk menghasilkan tanaman yang lengkap (Nugrahani et al,. 2011). Teknik ini banyak diaplikasikan untuk perbanyakan bibit tumbuhan, namun teknik tersebut juga belum diaplikasikan pada tanaman kakao (Nugrahani

  et al ,. 2011).

  Salah satu teknik kultur jaringan yang mulai banyak dikembangkan untuk memperbanyak bibit kakao secara in vitro adalah teknik embriogenesis somatik (Winarsih et al., 2003; Avivi et al., 2010).

2.4 Perkembangan Penelitian Embriogenesis Somatik Kakao

  Embriogenesis somatik adalah teknik menghasilkan tanaman baru melalui proses pembentukan embrio yang berasal dari sel somatik (Winarsih et al., 2003).

  Dengan menggunakan teknik ini dapat dihasilkan bibit yang bermutu tinggi dalam jumlah yang banyak dan waktu yang lebih singkat (Purnamaningsih, 2002; Nugrahani et al., 2011). Selain itu bibit yang dihasilkan memiliki akar tunggang seperti bibit yang berasal dari biji sehingga tanaman yang dihasilkan lebih kuat dibandingkan dengan tanaman yang dihasilkan melalui teknik vegetatif lainnya (Sulistyorini, 2011).

  Tahapan pelaksanaan teknik embriogenesis somatik untuk penyediaan bibit tumbuhan biasanya melalui empat tahap, yaitu (1) induksi kalus embriogenik, (2) induksi embrio, (3) perkecambahan, dan (4) aklimatisasi (Gambar 2.9; Purnamaningsih, 2002).

  D A B C E H F G

Gambar 2.9 Eksplan staminodia (A), kalus yang berasal dari eksplan staminodia

  (B), embrio fase globular (C), embrio fase heart (D), embrio fase torpedo (E), kotiledon yang terbentuk (F), plantet kakao (G), plantet yang ditumbuhkan di greenhouse (H) (Sumber :Li et al., 1998).

  Tahap induksi kalus embriogenik biasanya dilakukan dengan cara menanam eksplan pada medium tanam yang mengandung auksin dengan konsentrasi tinggi ataupun dengan menggunakan auksin serta sitokinin secara bersamaan (Winarsih et al., 2003). Pada tahapan ini dapat dihasilkan beberapa jenis kalus, namun kalus yang diharapkan adalah kalus yang bersifat embriogenik yaitu mampu diinduksi membentuk embrio. Kalus embriogenik memiliki ciri-ciri mudah dipisah-pisah (friable), berwarna kuning muda ataupun merah muda (Avivi et al ., 2010).

  Tahap selanjutnya setelah induksi kalus adalah tahapan induksi embrio. Tahapan ini merupakan tahapan yang paling sulit dan paling lama dari semua tahapan embriogenesis somatik (Winarsih et al., 2003). Pada tahap ini, kalus akan mulai berkembang membentuk embrio melalui tahapan-tahapan seperti pada perkembangan embrio zygotik (Purnamaningsih., 2002). Perkembangan pembentukan embrio somatik yang sering diamati terjadi melalui 4 tahapan, yaitu globular, hati (heart), torpedo hingga kotiledon (Li et al., 1998).

  Setelah terbentuk embrio pada fase kotiledon, maka embriogenesis somatik selanjutnya adalah tahap perkecambahan. Pada tahap ini embrio dikecambahkan pada media tertentu sehingga tumbuh dan berkecambah membentuk tunas dan akar (Purnamaningsih, 2002). Setelah terbentuk tanaman lengkap, maka kecambah kemudian dipelihara di dalam ruang kultur sampai berdaun dua tau tiga dan siap dipindahkan ke tanah (Sandra, 2012).

  Tahapan pemindahan bibit ke lingkungan eksternal dilakukan secara bertahap melalui teknik aklimatisasi (Purnamaningsih, 2002). Teknik ini perlu dilakukan secara hati-hati karena adanya perbedaan kondisi lingkungan antara steril di dalam botol kultur yang memiliki tingkat kelembapan tinggi dan suhu yang konstan dengan lingkungan eksternal yang memiliki tingkat kelembapan yang rendah dan suhu yang bersifat fluktuatif (Sandra, 2012). Keberhasilan teknik aklimatisasi menentukan berhasil tidaknya teknik embriogenesis somatik digunakan dalam produksi bibit suatu tumbuhan (Purnamaningsih, 2002).

  Teknik embriogenesis somatik telah banyak diaplikasikan untuk memperbanyak bibit berbagai tumbuhan seperti pada cendana (Sukmadjaja, 2005), kopi arabika (Oktavia, 2003), kelapa sawit (Sumaryono et al., 2007), manggis (Helmi, 2009), gambir (Adri, 2012), papaya (Susanto & Aziz 2005), kentang (Lengkong, 2009), serta kacang tanah (Srilestari, 2005). Namun, tidak semua tanaman berhasil diperbanyak dengan menggunakan teknik ini.

  Pada tanaman kakao, banyak penelitian telah dilakukan untuk mengaplikasikan teknik embriogenesis somatik untuk menyediakan bibit tanaman tersebut, namun sampai saat ini tingkat keberhasilannya masih cukup rendah yaitu sekitar 0-52% tergantung dari genotip eksplan kakao yang digunakan (Avivi et

  al ., 2010). Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan

  embriogenesis somatik pada kakao seperti melalui pemilihan eksplan yang tepat, pemilihan medium dasar yang sesuai, maupun penambahan beberapa zat aditif ke dalam medium tanam.

  Penelitian embriogenesis somatik kakao diawali pada tahun 1977 - 1979 dengan menggunakan eksplan embrio zigotik. Namun teknik ini tidak dikembangkan lebih lanjut karena bibit yang dihasilkan akan memiliki variasi genetik yang tinggi sebagai akibat dari penggunaan embrio zygotik sebagai sumber eksplan (Maximova et al., 2002). Penelitian selanjutnya dilakukan dengan menggunakan eksplan daun, namun memiliki tingkat keberhasilan yang sangat rendah (Maximova et al., 2002; Li et al., 1998).

  Eksplan kotiledon juga pernah dicobakan untuk perbanyakan bibit kakao melalui teknik embriogenesis somatik,namun penelitian tersebut tidak berhasil menginduksi embrio somatik (Chantrapradist & Kamnoon, 1995) ataupun hanya dihasilkan embrio dengan tingkat keberhasilan kurang dari 20% (Omokolo et al., 1997).

  Jenis eksplan yang paling banyak digunakan untuk induksi embrio somatik kakao adalah petala dan staminodia yang diisolasi dari bunga yang masih kuncup (Gambar 2.3). Keberhasilan dari penggunaan eksplan tersebut sangat bervariasi yaitu 0,9-52 % untuk eksplan petala dan 0-8,5% untuk eksplan staminodia (Avivi

  et al ., 2010). Hasil tersebut jauh lebih rendah dari hasil penelitian yang dilaporkan

  Li et al., (1998) bahwa penggunaan eksplan staminodia mampu menginduksi embrio somatik kakao dengan persentase keberhasilan 0,8-100% tergantung dari variasi genotip kakao yang digunakan.

  Beberapa penelitian lain juga telah menggunakan beberapa jenis medium dasar guna meningkatkan keberhasilan induksi embrio pada tanaman kakao.

  Medium dasar pertama yang diujikan adalah medium dasar MS (Murashige dan Skoog, 1962 ) (Alemano et al., 1997; Winarsih et al., 2003; Avivi et al., 2010).

  Persentase keberhasilan penggunaan medium MS untuk menginduksi embrio kakao mencapai 47% (Winarsih et al., 2003). Namun, penggunaan MS untuk berbagai eksplan seperti daun, kotiledon, maupun embrio memiliki pertumbuhan yang kurang baik, penuaan cepat dan sering terjadi nekrosis jaringan (Li et al., 1998).

  Medium lain yang digunakan adalah medium DKW (Driver Kuniyuki for

  Walnut, Driver dan Kuniyuki, 1984). Medium DKW telah digunakan pada

  beberapa penelitian untuk menginduksi embrio somatik kakao dari eksplan bunga (Maximova et al., 2002; Tan & Furtek, 2004 ). Keberhasilan pengunaan medium ini sangat bervariasi yaitu berkisar antara 0-70 % tergantung genotipe eksplan yang digunakan (Maximova et al., 2002).

  Upaya peningkatan keberhasilan induksi embrio somatik kakao juga telah dilakukan dengan menambahkan bahan aditif ke dalam medium tanam.

  Penambahan air kelapa ke dalam medium tanam dengan konsentrasi 10% telah berhasil meningkatkan jumlah embrio yang terinduksi hingga mencapai 0 - 70% tergantung genotipenya (Dinarti, 1991).

  Reformulasi media kultur jaringan dengan menambahkan sulfat pada konsentrasi tertentu juga telah dilakukan (Emile et al., 2008). Hasilnya menunjukkan bahwa pemberian sulfat (K SO ) kedalam medium tanam juga

  2

  4

  bervariasi antara 0 - 55 % tergantung genotipe yang digunakan (Emile et al., 2008).

  Faktor utama lainnya yang diduga berperan penting dalam meningkatkan keberhasilan embriogenesis somatik adalah pemilihan zat pengatur tumbuh dengan jenis dan konsentrasi yang tepat.

2.5 Zat Pengatur Tumbuh

  Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik bukan hara yang mampu mendukung, menghambat dan dapat merubah proses fisiologi tumbuhan walaupun dalam jumlah yang sedikit (Hendaryono & Wijayani, 1994). Setiap ZPT mempunyai ciri khas dan pengaruh yang berlainan terhadap proses fisiologis tanaman (Salisbury & Ross, 1992).

  Secara umum terdapat tiga kelompok zat pengatur tumbuh yang sering digunakan dalam kultur jaringan tumbuhan yaitu giberalin, auksin serta sitokinin (Dinarti, 1991). Giberelin merupakan kelompok ZPT yang disintesis dari asam mevalonat (MVA) pada jaringan muda di pucuk dan pada biji yang sedang berkembang (Sandra, 2012). Pada kultur jaringan giberelin berfungsi sebagai pemacu pertumbuhan akar atau tunas. Sampai saat ini telah ditemukan lebih dari 60 macam GA, namun ada dua macam yang sering digunakan dalam kultur jaringan yaitu GA

  1 dan GA 3 (Salisbury & Ross, 1992).

  Auksin merupakan ZPT yang diproduksi dalam jaringan meristematik yang masih aktif. Peran fisiologis auksin diantaranya adalah mempercepat pertumbuhan akar, mendorong pemanjangan dan pengembangan sel serta mempercepat perkecambahan sedangkan pada kultur jaringan auksin berperan dalam merangsang pertumbuhan kalus, akar, suspensi sel dan organ (Hendaryono & Wijayani, 1994). Beberapa zat pengatur tumbuh auksin yang sering digunakan dalam kultur jaringan antara lain 2,4-diklorofenoksiasetat (2,4-D), indole-3-acetic acid (IAA), α-naftalenacetic acid (α-NAA) dan indole butaratacid (IBA; Hendaryono dan Wijayani, 1994).

  Sitokinin merupakan ZPT yang banyak ditemukan pada organ biji muda, daun, serta ujung akar tanaman. Sitokinin mempunyai peranan penting pada kultur jaringan yaitu sebagai pemacu pembelahan sel, proliferasi meristem ujung, serta mendorong pembentukan klorofil pada kalus (Sandra, 2012). Selain itu sitokinin juga mampu menambah daya perkecambahan tunas, menunda penuaan pada tanaman, dan memacu pertumbuhan tunas aksiler (Salisbury & Ross, 1992).

  Beberapa sitokinin yang sering digunakan dalam kultur jaringan antara lain 6- furfuryl amino purine (kinetin), 6-benzil amino purine/benzil adenine (BAP/BA), 2-isopentenyl adenin (2 i-P), zeatin, dan thidiaszuron (Hendaryono & Wijayani, 1994).

  Dalam kultur j ur jaringan, untuk menginduksi kalus dan embri brio somatik suatu tumbuhan sering diguna digunakan ZPT auksin dan sitokinin secara sendi sendiri-sendiri atau dikombinasikan di ant antara keduanya (Salisbury & Ross, 1992). Je . Jenis auksin yang sering dipakai adalah lah 2,4-D sedangkan jenis sitokinin yang se sering digunakan adalah BAP (Armania niar, 2002).

2.5.1 Asam 2,4-diklor klorofenoksiasetat (2,4-D)

  2,4-D merupa upakan salah satu auksin yang paling sering di digunakan untuk menginduksi pembel belahan sel, pertumbuhan kalus, pertumbuha buhan akar serta suspensi sel dan or organ (Andaryani, 2010). 2,4-D memiliki liki rumus kimia

  • 1

  C

8 H

  6 C l2 O 3 yang mem empunyai berat molekul 221,04 g mol ( (Gambar 2.4A;

  Kartikasari, 2013). ). Penambahan 2,4-D ke dalam medium tanam banyak digunakan untuk me merangsang pembelahan serta pembesaran se n sel pada eksplan sehingga dapat mem emacu pembentukan dan pertumbuhan kalus us (Rahayu et al., 2003). 2,4-D merup upakan auksin kuat yang tidak mudah diur diuraikan sehingga biasanya digunakan kan dalam jumlah kecil dan dalam waktu ktu yang singkat (Hendaryono & Wijay ijayani, 1994).

  Gambar 2.10A Rum umus bangun asam 2,4-D (Sumber: Salisbury da dan Ross, 1992 )

  Kemampuan 2,4 n 2,4-D dalam merangsang pembelahan sel se sehingga memacu terbentuknya kalus da us dan embrio somatik diduga karena auksin dapa dapat menyebabkan

  sel mengeluarkan H ke dinding sel primer yang mengelilinginya, sehingga H ini akan menurunkan pH dan akan terjadi pertumbuhan serta pengenduran dinding sel. pH yang rendah akan mengaktifkan enzim yang akan memutuskan ikatan polisakarida dinding sehingga dinding lebih mudah merenggang. Mekanisme kerja auksin ini dikenal sebagai hipotesis pertumbuhan asam (Salisbury & Ross, 1992).

  Penelitian tentang pengaruh 2,4-D terhadap keberhasilan induksi kalus dan embrio somatik telah banyak dilakukan pada berbagai tanaman seperti pada tanaman jati (Armaniar, 2002), kopi arabika (Oktavia et al., 2003), kacang (Srilestari, 2004), palem (Alkhateeb, 2006), bawang merah (Hellyanto, 2008), serta ketela (Wongtiem et al., 2011).

  Pada tanaman kakao, 2,4-D telah dicobakan untuk menginduksi kalus dan embrio somatik. Penambahan 2,4-D pada medium tanam MS (Murashige dan

  • 6

  Skoog, 1962 ) dengan konsentrasi 9x10 M telah berhasil menginduksi

  pembentukan embrio somatik kakao dengan tingkat keberhasilan mencapai 46,67% untuk eksplan petala dan 32,33% untuk eksplan staminodia (Winarsih et

  al ., 2003). Penambahan 2,4-D pada medium dan konsentrasi yang sama juga telah

  mampu menginduksi embrio kakao dengan keberhasilan mencapai 0,9-52% untuk eksplan petala dan 0-8,5% untuk eksplan staminodia (Avivi et al., 2010). Hasil yang lebih tinggi dilaporkan oleh Li et al., (1998) bahwa penambahan 2,4-D pada medium DKW (Driver Kuniyuki for Walnut) telah berhasil menginduksi embrio somatik tanaman kakao dari eksplan staminodia dengan tingkat keberhasilan berkisar antara 0,8-100% tergantung genotip kakao yang digunakan.

  Pada penelit litian-penelitian tersebut 2,4-D telah dig digunakan untuk menginduksi kalus us dan embrio somatik tanaman kakao de o dengan tingkat keberhasilan berkisa kisar antara 0-52%. Sebagian besar peneliti litian sebelumnya menggunakan mediun diun MS sebagai medium dasarnya sehingga d a dalam penelitian ini diujikan pengaruh uh 2,4-D dalam menginduksi kalus dan embrio brio somatik dengan menggunakan medium dium DKW untuk meningkatkan keberhasilan an induksi embrio somatik kakao pada eksp da eksplan petala dan staminodia.

2.5.2 BAP (6-Benzil A zil Amino Purine)

  BAP merupak upakan sitokinin sintetik yang memiliki kandung kandungan karbon, hidrogen dan oksigen gen dengan rumus kimia C

  12 H

  11 N 5 dan berat at molekul 225,31

  gr/mol (Gambar 2.10

2.10 B). BAP memiliki peran penting dalam pe pertumbuhan dan

  perkembangan tumbuha buhan karena berperan penting dalam memacu cu pembelahan sel dan poliferasi merist ristem ujung (Sandra, 2012). BAP merupa upakan salah satu sitokinin yang tidak dak mudah terurai sehingga banyak digunaka kan dalam kultur jaringan (Hendaryono ono & Wijayani, 1994).

  Gambar 2.10B

2.10B Rumus bangun 6- benzil amino purie (BAP) P) ( Sumber;

  Wikipedia) Kemampuan BAP dalam memacu pembelahan sel, menginduksi pembentukan tunas dan embrio somatik tersebut diduga karena BAP mempunyai cincin adenin yaitu suatu basa purin yang terdapat pada DNA dan RNA, sehingga BAP diduga mampu berperan dalam metabolisme asam nukleat dan sintesa protein (Sukartiningrum & Sukendah, 2008). Penambahan BAP kedalam medium tanam akan meningkakan laju sintesis protein (Salisbury & Ross, 1992).

  Pada kultur jaringan, BAP banyak digunakan untuk menginduksi pembentukan embrio somatik berbagai tanaman seperti pada tanaman jambu bol (Trina, 2002), cendana (Sukmadjaja et al., 2003), kopi (Oktavia et al., 2003), pepaya (Susanto et al., 2005), jahe (Bakti et al., 2005), bawang merah (Hellyanto, 2008 ), Manggis (Purba, 2009), kentang (Lengkong, 2009) maupun nanas (Roostika et al., 2012).

  Pada tanaman kakao, BAP juga sudah banyak diujikan untuk menginduksi pembentukan kalus dan embrio somatik. Penambahan BAP dengan konsentrasi

  • 7

  4,4 x 10 M ke dalam medium dasar DKW (Driver Kuniyuki for Walnut) yang ditambahkan vitamin MS (Murashige dan Skoog, 1962) mampu menginduksi embrio kakao dari eksplan staminodia dengan persentase keberhasilan kurang dari

  • 2% (Tan & Furtek, 2004). Selain itu penambahan BAP dengan konsentrasi 2 x 10

6 M pada medium MS telah mampu menginduksi embrio kakao dengan keberhasilan mencapai 18% untuk eksplan kotiledon (Omokolo et al., 1997).

  Keberhasilan yang lebih tinggi (28 %) diperoleh dengan penambahan BAP pada

  • 7

  konsentrasi 2,2 x 10 M pada medium MS dengan menggunakan eksplan embrio muda (Dinarti, 1991).

  Beberapa penelitian sebelumnya telah menambahkan BAP ke dalam medium tanam untuk menginduksi embrio somatik kakao dari berbagai jenis eksplan dengan persentase keberhasilan yang bervariasi yaitu berkisar antara 2- 28%. Oleh karena itu dalam penelitian ini diujikan pengaruh penambahan BAP ke dalam medium DKW terhadap keberhasilan induksi kalus dan induksi embrio tanaman kakao dengan menggunakan eksplan petala dan staminodia.

Dokumen yang terkait

INDUKSI SOMATIK EMBRIOGENESIS PRIMER KAKAO (Theobroma cacao L.) MELALUI EKSPLAN

0 5 6

INDUKSI SOMATIK EMBRIOGENESIS PRIMER KAKAO (Theobroma cacao L.) MELALUI EKSPLAN PETAL DAN STAMINODIA DENGAN MENGGUNAKAN 2,4-DICHLOROPHENOXY ACETIC ACID DAN BENZILAMINOPURIN

0 5 23

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPETITIF DAN KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHATANI KAKAO (Theobroma cacao, L.) DI KECAMATAN LIMAU KABUPATEN TANGGAMUS

0 8 7

PENGARUH NAA TERHADAP EMBRIOGENESIS SOMATIK ANGGREK BULAN

0 0 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Tanaman Terong ( Solanum mengolena L.) - PENGARUH PENYIANGAN GULMA DAN DUA VARIETAS TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TERONG ( Solanum melongena L - repository perpustakaan

1 4 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Atsiri - KINETIKA EKSTRAKSI MINYAK BIJI KEMUKUS (Piper cubeba L.) - repository perpustakaan

0 0 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - KAJIAN PENGARUH KOMBINASI BAP DAN IBA TERHADAP KEBERHASILAN DAN PERTUMBUHAN AWAL MATA TUNAS DURIAN (Durio zibhetinus Murr.) PADA PERBANYAKAN VEGETATIF OKULASI - repository perpustakaan

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Bawang Merah - PENGARUH VARIASI MEDIA TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN BAWANG MERAH ( Allium ascalonicum L.) - repository perpustakaan

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - KARAKTERISASI SIMPLISIA DAN STANDARISASI EKSTRAK KULIT MANGGIS (Garcinia mangostana L.) - repository perpustakaan

0 0 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UJI IMUNOSTIMULAN EKSTRAK ETANOL KELOPAK BUNGA ROSELA (Hibiscus sabdariffa L.) TERHADAP AKTIVITAS FAGOSITOSIS MAKROFAG DAN DETEKSI SENYAWA FLAVONOID - repository perpustakaan

0 1 7