BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Bahasa 2.1.1. Pengertian Bahasa dan Komunikasi - ANALISIS CAMPUR KODE DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMP (Studi Kasus di SMP N 1 Kedungbanteng Kabupaten Banyumas) - repository perpustakaan

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Bahasa 2.1.1. Pengertian Bahasa dan Komunikasi Manusia adalah mahluk sosial, yaitu sebagai anggota masyarakat

  tidak akan dapat hidup tanpa berinteraksi dan berkomunikasi dengan anggota masyarakat lainnya. Manusia selalu melakukan suatu kepanjangan hidupnya. Untuk dapat berinteraksi memerlukan alat komunikai yaitu bahasa. Dengan bahasa, manusia dapat menyatakan pikiran, perasaan dan keinginan kepada anggota masyarakat lainnya.

  Badudu (1996: 3) menyatakan bahwa pikiran, perasaan dan keinginan tidaklah mempunyai arti sebelum dinyatakan dengan bahasa yang diketahui, ditanggapi dan diberi reaksi oleh masyarakat lainnya. Oleh karena itu pula, dapat dikatakan bahwa fungsi bahasa yang paling mendasar adalah fungsi komunikatif, yaitu tata pergaulan dan perhubungan sesama manusia (Nababan, 1993: 48).

  Bahasa merupakan suatu sistem struktur yang berfungsi sebagai alat komunikasi. Salah satu bahasa yang digunakan oleh bangsa lndonesia adalah bahasa Indonesia yang notabene sebagai bahasa negara dan bahasa nasional. Studi bahasa merupakan suatu studi yang memperhatikan (a) struktur bahasa sebagai kode, (b) mempelajari bahasa dalam hubungannya dengan perkembangan individu (c) studi bahasa menitik beratkan analisis

  8 sebagai bagian dari kebudayaan manusia, dan (d) studi bahasa mengutamakan telaah bahasa sebagai gejala sosial.

  Dalam kajian ini, studi bahasa dikaitkan dengan pemakaiannya di masyarakat. Kajian ini disebut sosiolinguistik Kajian sosiolinguistik memandang bahasa sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi, serta merupakan bagian dari masyarakat dan kebudayaan tertentu. Kajian ini pun mengkaji studi bahasa sebagai bentuk sosial yang terjadi dalam situasi konkret (Appel, 1976: 9).

  Situasi kebahasaan di Indonesia amat kompleks karena terdapat sejumlah besar bahasa di Indonesia tercinta ini. Didalam kehidupan sosial serta aktivitas sehari-hari anggota masyarakatnya, disamping bahasa Indonesia, dipakai juga bahasa-bahasa daerah yang konon lebih dari 760- an jumlahnya, beserta variasi-variasinya, dan bahasa asing tertentu sesuai dengan fungsi, situasi, serta konteks berbahasa. Bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara/bahasa resmi, bahasa-bahasa daerah berfungsi sebagai bahasa komunikasi intraderah, dan bahasa asing berfungsi sebagai bahasa komunikasi internasional umum.

  Situasi kebahasaan di Indonesia seperti digambarkan di atas, jika dipandang dari sudut masyarakat atau adanya lebih dari satu bahasa dalam masyarakat, dapat disebut bilingualism, secara kemasyarakatan atau

  societal bilingualism. Sehubungan dengan kedudukan bahasa Indonesia

  sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi kenegaraan, serta adanya kontak antarbahasa daerah di dalam daerah atau wilayah yang sama, banyak anggota masyarakat Indonesia merupakan bilingual secara perseorangan atau individual bilingualism. Selain itu, jika dipandang dari pembedaan fungsi-fungsi bahasa tertentu dalam masyarakat, masyarakat Indonesia dapat juga disebut masyarakat diglosik. dengan bahasa Indonesia sebagai "variasi tinggi" dan bahasa daerah sebagai "variasi rendah". Karena secara resmi dan umum, bahasa Indonesia seyogianya dipakai dalam situasi formal dan umum oleh penutur antarbahasa daerah, dan bahasa daerah dipakai dalam situasi interaksi penutur dalam suatu bahasa daerah.

  Berbahasa di dalam masyarakat bilingual/multilingual menyangkut pemakaian dua atau lebih bahasa atau variasi bahasa secara bergantian oleh penutur yang sama; penutur ini disebut bilingual/multilingual. Kesanggupan atau kemampuan seseorang berdwibahasa/menggunakan dua bahasa sering disebut bilingualitas. Keadaan semacam ini menimbulkan apa yang disebut dengan sentuh bahasa atau kontak bahasa (Suhardi dan Sembiring, 2005: 58). Kontak yang intensif antara dua bahasa atau lebih di dalam situasi yang bilingual/multilingual seperti dalam masyarakat Indonesia cenderung mengakibatkan timbulnya gejala alih kode (code- switching), campur kode (code-mixing), dan interferensi (interference).

  Dengan kata lain, ketiga gejala tersebut merupakan gejala yang lazim terjadi sebagai produk bilingualisme/multilingualisme.

  Gejala demikian juga terjadi dalam pembelajaran antara guru dengan siswa di SMP Negeri 1 Kedungbanteng. Kontak bahasa tersebut terjadi karena masyarakatnya dapat pula disebut sebagai masyarakat dwibahasa, yang sekurang-kurangnya memiliki dua bahasa yang digunakan dalam komunikasi pembelajaran sehari-hari, yakni bahasa daerah berupa Bahasa Jawa dan bahasa resmi sebagai pengantarnya dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Gejala penggunaan dua bahasa lebih rumit lagi ketika mereka memasukkan unsur-unsur bahasa lain selain kedua bahasa tersebut dalam interaksi. Kerumitan tersebut disebabkan mereka harus menentukan dengan bahasa apakah sebaiknya dalam berkomunikasi. Selain itu penutur juga harus dapat menentukan variasi kode manakah yang sesuai dengan situasinya. Dengan demikian setiap masyarakat dalam wilayah pembelajaran SMP Negeri 1 Kedungbanteng sebagai masyarakat dwibahasa/multibahasa, harus memilih salah satu bahasa atau variasi kode yang digunakan dalam suatu peristiwa tuturnya.

2.1.2. Masyarakat Tutur

  Kajian dalam Sosiolinguistik adalah pemakaian bahasa dalam masyarakat. Secara luas, istilah Masyarakat Tutur (Speech Comunity) atau bisa juga disebut dengan Masyarakat Bahasa (Linguistic Comunity) digunakan oleh para linguis untuk mengacu pada komunitas yang didasarkan pada bahasa.

  Apabila suatu kelompok orang atau suatu masyarakat mempunyai bahasa yang relative sama serta mereka mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakan di dalam masyarakat itu, maka dapat dikatakan bahwa kelompok orang itu atau masyarakat itu adalah sebuah masyarakat tutur (speech community) (Chaer, 2004: 36). Jadi, masyarakat tutur bukanlah hanya sekelompok orang yang mennggunakan bahasa yang sama, melainkan kelompok orang yang mempunyai norma yang sama dalam menggunakan bentuk-bentuk bahasa.

  Definisi ini mirip dengan definisi yang diberikan oleh Bloomfield (1933, diindonesiakan oleh Sutikno, 1995: 40) dalam bukunya yang berjudul “Language”. Ia memperkenalkan istilah masyarakat bahasa dengan definisi suatu kelompok orang yang menggunakan sistem tanda wicara yang sama dalam berinteraksi.

  Halliday (dalam Suhardi dan Sembiring, 2005: 54) menyatakan bahwa sekelompok orang yang merasa atau menganggap diri mereka memakai bahasa yang sama disebut sebagai masyarakat bahasa. Frasa

  merasa atau menganggap pada definisi di atas perlu digarisbawahi, karena

  pada kenyataan sehari-hari dua bahasa yang sama baik dalam tata bunyi, tata bahasa, dan leksikon yang mengandung banyak kemiripan dapat disebut dua masyarakat bahasa yang berbeda, karena masyarakat tutur tersebut menganggap dua bahasa tersebut berbeda. Sebagai contoh, secara linguistis bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia mempunyai tata bunyi, tata bahasa, dan lesikon yang mengandung banyak kemiripan, namun karena masyarakat bahasa pemakai bahasa tersebut menganggapnya sebagai dua bahasa yang berbeda, maka masyarakat bahasa penutur bahasa

  Indonesia dan masyarakat bahasa penutur bahasa Malaysia tidak dapat disebut satu masyarakat tutur yang sama.

  Berdasarkan beberapa definisi tersebut, pendapat yang diungkapkan oleh Fishman dirasa dapat merangkum semua pendapat yang telah diuraikan sebelumnya. Fishman mengatakan bahwa masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya (Chaer, 2004: 36).

2.1.2.1. Kedwibahasaan dan Dwibahasawan

  Kajian sosiolinguistik yang membahas masalah kode bahasa tentu sangat erat kaitannya dengan kedwibahasaan. K

  edwibahasaan diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan dua bahasa yang sama baiknya oleh seorang penutur, yang oleh Bloomfield (dalam Sutikno, 1995: 54) dirumuskan sebagai native-like control of two language. Kedwibahasaan seperti itu oleh Haliday disebut dengan istilah ambilingualism, disebut

  equalingualism oleh Oksar dan disebut coordinate bilingualism oleh Diebold (dalam Chaer, 2004: 87). endapat

  P semacam itu ternyata makin lama makin tidak populer, sebab untuk menentukan sejauh mana seorang penutur dapat menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya tidak ada dasarnya, sehingga sukar diukur dan hampir-hampir tidak dapat dilakukan. Oleh sebab itu pengertian kedwibahasaan seperti itu kemudian hanya dipandang salah satu jenis saja dari kedwibahasaan.

  Perluasan pengertian kedwibahasaan nampak dalam pendapat Mackey (dalam Chaer, 2004: 87) yang mengemukakan adanya tingkat- tingkat kedwibahasaan, yang dimaksudkan untuk membedakan tingkat kemampuan seseorang dalam penguasaan bahasa kedua. Tingkat-tingkat kemampuan demikian dapat dilihat dari penguasaan penutur terhadap segi-segi gramatikal, leksikal, semantik dan gaya yang tercermin dalam empat keterampilan bahasanya yaitu: menyimak, menulis, berbicara dan membaca. Makin banyak unsur-unsur tersebut dikuasai oleh seorang penutur makin tinggi tingkat kedwibahasaannya, makin sedikit penguasaan terhadap unsur-unsur itu makin rendah. Akan tetapi, semuanya termasuk dwibahasawan-dwibahasawan.

  Menurut Nababan (1993: 29), kedwibahasaan tidak hanya dapat

  dipakai oleh perseorangan, tetapi juga untuk masyarakat (societal

bilingualism ). Pesatnya kemajuan dibidang informasi pada sarana

perhubungan menyebabkan masyarakat pada era globalisasi sekarang ini

banyak yang menguasai bahasa kedua, ketiga bahkan keempat. Penguasaan

bahasa oleh seorang individu yang lebih dari satu inilah yang disebut

kedwibahasaan (Nababan, 1993: 27). Konsekuensi logis dari adanya

kedwibahasaan ini adalah timbulnya alih kode, campur kode dan

interferensi. Hal ini disebabkan ketergantungan bahasa (languange

dependency ) tidak dapat dihindarkan dalam tindak tutur seorang

dwibahasawan, masyarakat dengan jumlah suku yang beragam lebih dari

satu bahasa dalam komunikasi sehari-hari.

  Masyarakat

  atau individu yang memiliki dua bahasa dan

mempergunakannya dalam komunikasi dinamakan dwibahasawan. Haugen

(melalui Suwito, 1985: 44) mengatakan bahwa seorang dwibahasawan

sebagai tahu bahasa artinya bahwa seorang yang disebut dwibahasawan

tidak harus menguasai secara aktif dua bahasa, ia cukup mengetahui secara

pasif dua bahasa.

  Menurut

  Sri Utari (1992: 104), terdapat dua macam kedwibahasaan yang terdapat di Indonesia.

1. Bahasa Indonesia dan bahasa daerah, dapat terjadi karena:

  1.1 dalam Sumpah Pemuda 1928 penggunaan Bahasa Indonesia dikaitkan dengan perjuangan kemerdekaan dan nasionalisme;

  1.2 bahasa-bahasa daerah mempunyai tempat yang wajar disamping

pembinaan dan pengembangan bahasa dan kebudayaan Indonesia;

  1.3 perkawinan campur antar suku; 1.4 perpindahan penduduk dari satu daerah satu ke daerah lain; 1.5 interaksi antar suku yakni perdagangan; 1.6 motivasi yang banyak didorong oleh kepentingan profesi.

  2. Bahasa Indonesia dengan bahasa asing, seperti bahasa Inggris, memiliki tujuan diantaranya adalah: 2.1 untuk memperoleh pekerjaan yang layak; 2.2 untuk menunjang harga diri dan memberikan suatu status di masyarakat, karena adanya asosiasi dengan konsep orang terpelajar;

  2.3 untuk mampu berperan serta dalam pembicaraan di forum Internasional.

2.1.2.2. Campur Kode 2.1.2.2.1. Pengertian Kode

  aktivitas bicara yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari

  Suatu

  seseorang melakukan pembicaraan sebenarnya mengirimkan kode-kode pada lawan bicaranya (Pateda, 1991: 83). Pengkodean itu melalui proses yang terjadi kepada pembicara maupun mitra bicara. Kode-kode yang dihasilkan oleh tuturan tersebut harus dimengerti oleh kedua belah pihak.

  Di dalam proses pengkodean jika mitra bicara atau pendengar memahami apa yang dikodekan oleh lawan bicara, maka ia pasti akan mengambil keputusan dan bertindak sesuai dengan apa yang disarankan oleh penutur. Tindakan itu misalnya dapat berupa pemutusan pembicaraan atau pengulangan pernyataan (Pateda, 1991: 84).

  Kode menurut Suwito (1985: 67-69) adalah untuk menyebutkan salah satu varian didalam hierarki kebahasaan, misalnya varian regional, kelas sosial, raga, gaya, kegunaan dan sebagianya. Dipandang dari sudut lain, varian sering disebut sebagai dialek geografis yang dapat dibedakan menjadi dialek regional dan dialek lokal. Ragam dan gaya dirangkum dalam laras bahasa, sedangkan varian kegunaannya disebut register.

  Masing-masing varian merupakan tingkat tertentu dalam hierarki kebahasaan dan semuanya termasuk dalam cakupan kode, sedangkan kode merupakan bagian dari bahasa. Pembedaan ragam sebagai varian bahasa didasarkan pada nada situasi bahasa yang mewadahinya. Nada situasi tutur umumnya dibedakan menjadi situasi formal, informal dan sakral. Dengan demikian ragam bahasa yang mewadahinyapun sejajar dengan situasi yang mewadahi yaitu ragam formal, ragam informal, ragam sakral.

  Dalam percakapan sehari-hari, sering dijumpai penggunaan bahasa

yang berbeda-beda antar kelompok atau dalam urusan tertentu yang

berbeda. Varian bahasa seperti itu disebut register. Jadi register adalah

varian bahasa yang perbedaannya ditentukan oleh peristiwa bicara (speech

event ). Register tidak ditentukan oleh unsur-unsur bahasa yang

perbedaannya ditentukan oleh unsurunsur bahasa seperti fonem, morfem,

kalimat, leksikon maupun tipe struktur wacana secara keseluruhan. Ragam, tingkat tutur dan register merupakan kode tutur.

  Kode tutur merupakan varian bahasa yang secara nyata dipakai oleh

masyarakat bahasa yang bersangkutan (Poejosoedarmo, 1978: 5). Bagi

masyarakat dwibahasawan, hal tersebut meliputi varian dari dua bahasa.

Jadi dalam kode itu terdapat suatu pembatasan umum yang membatasai

pemakaian unsur-unsur bahasa tersebut. Dengan demikian pemakaian

unsur-unsur tersebut memiliki keistimewaan-keistimewaan. Keistimewaan

itu antara lain terdapat pada bentuk, distribusi dan frekuensi unsur-unsur

bahasa itu. Kode tutur bukan merupakan unsur kebahasaan seperti fonem,

morfem, kata, ungkapan, frase, kalimat atau wacana, tetapi keberadaannya

ditentukan oleh unsur-unsur kebahasaan tersebut.

  Berdasarkan pendapat-pendapat itu dapat disimpulkan bahwa kode

dapat berupa varian-varian dari sebuah bahasa maupun bahasa itu sendiri.

  

Berpijak pada pengertian ini memberi peluang bahwa campur kode tidak

hanya terjadi antarbahasa tetapi dapat juga terjadi antarvarian.

2.1.2.2.2. Pengertian Campur Kode

  Pemilihan sebuah kode tertentu merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari dari masyarakat dwibahasa ataupun multibahasa.

  Kontak yang intensif antara dua bahasa atau lebih di dalam situasi yang

  bilingual/multilingual seperti dalam masyarakat Indonesia cenderung

  mengakibatkan timbulnya gejala alih kode (code switching), campur kode (code mixing), dan interferensi (interference). Dengan kata lain, ketiga gejala tersebut merupakan gejala yang lazim terjadi sebagai produk bilingualisme/ multilingualisme.

  Demikian juga yang terjadi dalam proses pembelajaran, kontak bahasa mungkin akan dilakukan oleh guru. Salah satu jenis pilihan bahasa yang mungkin dilakukan adalah dengan campur kode (code

  mixing ). Dalam campur kode penutur menyelipkan unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa tertentu (Sumarsono, 2009: 202).

  Pembicaraan mengenai campur kode ini tidak lepas dengan pembicaraan mengenai alih kode, karena kedua peristiwa yang lazim terjadi di masyarakat bilingual ini mempunyai kesamaan yang besar, sehingga seringkali sukar dibedakan. Kesamaan yang ada antara lain alih kode dan campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur (Chaer, 2004: 114). Perbedaan keduanya, banyak ragam yang berpendapat.

  Thelander berpendapat bahwa apabila dalam suatuu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Tetapi bila kalusa- klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode (dalam Chaer, 2004: 115).

  Fasold, membedakan campur kode dengan alih kode dengan criteria gramatika. Apabila seseorang yang menggunakan satu kata atau frase dari satu bahasa, maka melakukan campur kode. Tetapi apabila satu klausa menggunakan struktur gramatika satu bahasa, dan klausa berikutnya disusun menurut struktur gramatika lain, maka peristiwanya adalah alih kode (dalam Chaer, 2004: 115).

  Nababan (1993: 25) memberikan batasan campur kode sebagai pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukan unsur-

  iri

  unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten. C

  yang menonjol dalam peristiwa campur kode adalah kesantaian atau situasi

informal. Jadi, campur kode umumnya terjadi saat berbicara santai,

sedangkan pada situasi formal hal ini jarang sekali terjadi. Apabila dalam

situasi formal terjadi campur kode, hal ini disebabkan tidak adanya istilah

yang merujuk pada konsep yang dimaksud. Seperti telah disebutkan bahwa

kode dapat berupa idiolek, dialek, register, tindak tutur, ragam, dan

registrasi, maka unsur-unsur yang bercampur pun dapat berupa varian

bahasa maupun bahasa itu sendiri (Nababan, 1993: 32).

  Kemampuan komunikatif penutur dalam suatu masyarakat bahasa

akan sangat mempengaruhi hasil yang diharapkan penutur tersebut. Kemampuan komunikatif menurut Nababan (1993: 10) adalah kemampuan

untuk memilih dan menggunakan satuan-satuan bahasa itu disertai dengan

aturan-aturan penggunaan bahasa dalam suatu masyarakat bahasa. Menurut Suwito (1985: 401) bahwa campur kode adalah penyusupan unsur-unsur

kalimat dari suatu bahasa kedalam bahasa yang lain, berwujud kata, frasa,

pengulangan kata, ungkapan atau idiom.

  Banyaknya pendapat mengenai perbedaan dan persamaan campur

kode dengan alih kode menimbulkan sulitnya memahami perbedaan

keduanya. Made (2010: 79-80) memberikan kesimpulan perbedaan campur

kode (code mixing) dengan alih kode (code switching) berdasarkan

beberapa kriteria.

  1. Unsur kebahasaan (gramatikal), dikatakan sebagai code mixing adalah

apabila ada satu bahasa yang dimasuki unsur-unsur/serpihan-serpihan

bahasa lain.

  2. Topiknya, apabila terjadi masih dalam topik yang sama dinamakan code , tetapi apabila sudah berbeda topik atau ada perubahan topic mixing pembahasan, maka dinamakan code switching.

  3. Bahasanya, apabila yang digunakan adalah penyisipan frase atau

kelompok kata-kata dinamakan code mixing, tetapi apabila yang terjadi

berubah/pindah ke bahasa lain, maka dinamakan code switching.

4. Keformalan, code switching biasanya terjadi pada situasi formal, dan code mixing biasanya pada situasi tidak formal atau informal.

5. Kelancaran, apabila penuturnya berbicara lancar dinamakan code

  mixing , dan apabila penuturnya kurang lancer maka yang terjadi adalah code switching .

  Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa campur kode muncul apabila penggunaan dua bahasa (varian) atau lebih, dalam tindak tutur dengan penyusupan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam yang lain dalam batas-batas linguistik tertentu, masih dalam satu topic pembicaraan, biasanya dalam situasi informal walaupun dapat terjadi pada situasi yang formal dengan memperhatikan pada kelancaran penutur menggunakan bahasanya.

2.1.2.2.3. Tipe Campur Kode

  Campur kode menjadi dua yaitu, campur kode

  diklasifikasikan

  bersifat ke dalam (internal) dan campur kode bersifat ke luar (eksternal) (Suwito, 1985: 76). Dikatakan campur kode ke dalam (internal) apabila antara bahasa sumber dengan bahasa sasaran masih mempunyai hubungan kekerabatan secara geografis maupun secara geanologis, bahasa yang satu dengan bahasa yang lain merupakan bagian-bagian sehingga hubungan antarbahasa ini bersifat vertikal. Bahasa yang terlibat dalam campur kode

internal umumnya masih dalam satu wilayah politis yang berbeda.

  Contoh campur kode ke dalam (internal) dalam dialog (2) berikut: (2)“Nanti masnya matur dulu aja ke orang tua, kalo biayanya kurang lebih Rp. 300.000” .

  

Kata matur pada teks tersebut adalah bentuk campur kode, penggunaan

kata matur sebenarnya bisa dihindari sebab kata tersebut sudah ada

padanannya dalam bahasa Indonesia, penggunaan kata matur sesuai dengan budaya yang berlaku di daerah tempat tuturan terjadi. Kata matur

menunjukan perwujudan kedaerahan yaitu Jawa. Bahasa Jawa adalah

bahasa yang hidup dalam wilayah politik sama dengan bahasa Indonesia,

Bahasa Jawa juga memiliki hubungan genetis dengan bahasa Indonesia.

Dengan demikian terbukti bahwa data tersebut adalah campur kode

internal atau ke dalam.

  Dikatakan campur kode eksternal apabila antara bahasa sumber

dengan bahasa sasaran tidak mempunyai hubungan kekerabatan, secara

geografis, geanologis ataupun secara politis. Campur kode eksternal ini

terjadi diantaranya karena kemampuan intelektualitas yang tinggi,

memancarkan nilai moderat. Dengan demikian hubungan campur kode tipe ini adalah keasingan antar bahasa yang terlibat.

  Contoh campur kode eksternal dalam dialog (3) berikut:

(3) “Data-data yang ada di phone memory kemungkinan akan hilang

seperti nomer-nomer telepon, pesan, kalender dan catatan”.

  

Kata phone memory dalam teks berasal dari bahasa Inggris, bahasa Inggris

tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan bahasa Indonesia, antara kedua bahasa tersebut juga tidak ada hubungan genetis oleh sebab itu maka

tipe campur kode pada kata tersebut adalah tipe campur kode ke luar atau

eksternal.

  2.1.2.2.4. Bentuk – bentuk Campur Kode Menurut Suwito (1985: 78) selain tipe-tipe campur kode juga memiliki wujud yang ditentukan oleh wujud bahasa tercampur yaitu seberapa besar unsur bahasa tercampur menyusup ke dalam bahasa utama. Berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat didalamnya, campur kode dapat dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain penyisipan unsur yang berupa kata, penyisipan unsur berupa frase, penyisipan unsur berupa klausa, penyusupan unsur berupa perulangan kata dan penyusupan unsur berupa ungkapan.

  2.1.2.2.5. Latar Belakang Terjadinya Campur Kode Suwito (1985: 77-78) memberi batasan tentang faktor penyebab campur kode berasal dari latar belakang terjadinya campur kode, yakni tipe

  • tipe yang berlatar belakang pada sikap atau non-kebahasaan dan tipe yang berlatar belakang pada kebahasaan. Dari latar belakang tersebut maka dapat diidentifikasi faktor – faktor penyebab terjadinya campur kode sebagai berikut : 1.

  identifikasi peranan yang ukurannya adalah sosial, registeral, edukasional;

  2. identifikasi ragam yang ditentukan oleh bahasa yang dipakai seseorang didalam peristiwa campur kode, berdasarkan kedudukan dalam status sosialnya; 3. keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan, yang menandai sikap dan hubungan dengan orang lain.

  Faktor penyebab terjadinya campur kode yaitu (1) kesantaian

penutur (2) situasi formal (3) kebiasaan (4) tidak ada ungkapan yang tepat

dalam bahasa yang sedang dipakai (Nababan, 1993:32) Dari pendapat di

atas tampak persamaan dan perbedaan dalam memandang campur kode.

  

Persamaannya bahwa campur kode merupakan percampuran dua bahasa

(varian) atau lebih dalam tindak tutur. Perbedaannya yaitu masing-masing pada batas-batas linguistik campur kode Weinreich (1963) menjelaskan mengapa seseorang harus meminjam kata-kata dari bahasa lain. Hal ini pada dasarnya memiliki dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

  Faktor Internal adalah faktor yang menunjukan bahwa seseorang

meminjam kata dari bahasa lain karena dorongan yang ada dalam dirinya.

  

Adapun faktor tersebut meliputi tiga macam sebagaimana tersebut di

bawah ini.

1. Menghindari kata yang jarang dipakai (Low frequency of word)

  

Seseorang melakukan campur kode karena kata-kata yang sering

digunakan biasanya mudah diingat dan lebih stabil maknanya. Hal ini

misalnya, ketika seorang guru sedang mengajarkan tentang tokoh cerita

protagonis, antagonis dan figuran yang berasal dari bahasa Inggris.

  

Dengan demikian peminjaman kata dari bahasa lain bertujuan untuk

menghindari pemakaian kata yang jarang didengar orang. Atau dengan

kata lain menggunakan kata yang biasanya dipakai sehingga lawan tutur

mudah memahami makna yang ingin disampaikan penutur.

  2. Memecahkan masalah homonym (Pernicious Homonymy)

Kata-kata yang dipinjam dari bahasa lain juga digunakan untuk

memecahkan masalah homonim yang ada dalam bahasa penutur.

  

Maksudnya adakalanya jika penutur menggunakan kata dalam

bahasanya sendiri, maka kata tersebut dapat menimbulkan masalah

homonim yaitu makna ambigu. Sehingga untuk menghindari keambiguan makna penutur menggunakan kata dari bahasa lain.

  3. Menggunakan sinonim kata (Need for Synonim)

Penutur sengaja menggunakan kata dari bahasa lain yang bersinonim

dengan bahasa penutur dengan tujuan untuk menyelamatkan muka

lawan tutur.

  Faktor eksternal adalah suatu dorongan yang berasal dari luar

penutur, yang menyebabkan penutur meminjam kata dari bahasa lain.

  Terdapat empat faktor eksternal sebagaimana berikut ini.

  1. Perkembangan atau perkenalan dengan budaya baru (New culture)

Faktor ini terjadi karena adanya perkembangan budaya baru misalnya

perkembangan teknologi di Indonesia, mau tidak mau orang Indonesia

banyak menggunakan bahasa Inggris karena banyak sekali alat-alat

teknologi yang berasal dari negara asing. Atau pemakaian bahasa Jawa

oleh para mahasiswa yang notabene tidak berasal dari Jawa.

  2. Maksud tertentu (In Sufficiently Differentiated)

Menunjukkan makna tertentu yang memiliki maksud tertentu misalnya

karena kebiasaan.

  3. Status Sosial (Social Value) Penutur mengambil kata dari bahasa lain dengan mempertimbangkan faktor sosial, sehingga diharapkan dengan penggunaan kata-kata tersebut dapat menunjukan status sosial dari penutur.

  4. Keterbatasan kosa kata (Oversight) Maksudnya ada keterbatasan kata-kata yang dimiliki oleh bahasa penutur dalam kaitannya dengan topik yang disampaikan sehingga penutur harus mengambil kata dari bahasa lain. Contohnya terbatasnya kata dalam bidang kedokteran dalam bahasa Indonesia, maka banyak istilah kedokteran yang diambil dari bahasa latin yang mempunyai istilah yang tepat dalam bidang kedokteran.

2.1.3. Tindak Tutur dan Pragmatik

  Tindak tutur sebenarnya merupakan salah satu fenomena dalam masalah yang lebih luas, yang dikenal dengan istilah pragmatik. Tindak tutur (speech act) merupakan bagian dari peristiwa tutur (speech event). Kalau peristiwa tutur itu dalam bentuk praktis adalah wacananya, seperti sebuah percakapan, pidato, proses pembelajaran, dan lain-lain, maka tindak tutur merupakan unsur pembentukannya yang berupa tuturan dan tindakan/perbuatan tuturannya (Chaer, 2004: 50).

  Wijana (1996: 1) menjelaskan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan digunakan dalam komunikasi. Pragmatik mempelajari bagaimana bahasa digunakan dalam komunikasi dan bagaimana pragmatik menyelidiki makna sebagai konteks, bukan sebagai sesuatu yang abstrak dalam komunikasi (Leech, 1993: 5). Konteks menjadi pijakan utama dalam analisis pragmatik. Konteks di sini termasuk masalah siapa yang mengatakan kepada siapa, tempat dan waktu diujarkannya suatu kalimat, anggapan-anggapan mengenai yang terlibat di dalam tindakan mengutarakan kalimat itu (Purwo, 1990: 14)

  Jadi, makna yang dikaji oleh pragmatik adalah makna yang terikat konteks (contex dependent) atau dengan kata lain mengkaji maksud penutur untuk memahami maksud mitra tutur. Penutur dan mitra tutur dapat memanfaatkan pengalaman bersama (background knowledge) untuk memudahkan pengertian bersama.

  Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat dipahami bahwa cakupan kajian pragmatik sangat luas, sehingga sering dianggap tumpang tindih dengan kajian wacana atau kajian sosiolinguistik. Suatu kajian pragmatik bukan hanya bentuk kata atau kalimat saja, melainkan juga konteks yang melingkupinya, penggunaannya dalam tindak tutur atau tindak ujaran (speech act), interaksi antara penutur dan lawan tutur. Untuk lebih jelasnya, berikut akan disajikan tentang aspek dan bentuk pragmatiknya.

2.1.3.1. Aspek Pragmatik

  Leech (1993: 19-20) mengemukakan sejumlah aspek studi pragmatik, meliputi : penutur dan mitra tutur, konteks tutur, tujuan tuturan, tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal.

  2.1.3.1.1. Penutur dan mitra tutur

  Aspek-aspek yang berkaitan dengan penutur dan mitra tutur adalah usia, latar belakang sosial, ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban.

  2.1.3.1.2. Konteks

  Konteks tuturan penelitian linguistik adalah konteks dalam semua aspek fisik atau latar belakang sosial yang sesuai dan tuturan yang bersangkutan. Dalam pragmatik konteks itu pada hakekatnya adalah semua latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur.

  2.1.3.1.3. Tujuan tuturan

  Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tuturan Dalam hubungan ini bentuk-bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan satu maksud atau sebaliknya, satu maksud dapat disampaikan dengan beraneka ragam tuturan.

  2.1.3.1.4. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas

  Pragmatik menangani bahasa dan tingkatannya yang lebih konkret, dibanding tata bahasa. Tuturan yang konkret adalah jelas penutur dan mitra tuturnya, serta waktu dan tempat pengutaraannya.

2.1.3.1.5. Tuturan sebagai produk tindak verbal

  Tuturan yang digunakan dalam pragmatik merupakan wujud dari tindak verbal. Oleh karena itu, tuturan yang dihasilkan merupakan bentuk dari tindak verbal.

  Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwasanya dalam melakukan ujaran ada beberapa aspek yang harus diperhatikan. Aspek- aspek tersebut akan berpengaruh pada keberterimaan dan keefektifan ujaran yang dilakukan, atau karena tidak dapat dipungkiri bahwa dalam memaknai suatu ujaran tidak dapat mengabaikan faktor-faktor di luar ujaran itu sendiri.

2.1.3.2. Bentuk Tindak Tutur

  Searle (dalam Rohmadi, 2004: 29) menyebut tindak tutur sebagai produk atau hasil dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan terkecil dari komunikasi linguistik yang dapat berwujud pernyataan, pertanyaan, perintah atau yang lainnya. Tindak tutur (speech act) adalah gejala individual yang bersifat psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa penutur dalam menghadapi situasi tertentu (Chaer, 2004: 49).

  Berdasar struktur kalimatnya, tindak tutur terdiri atas tiga jenis, yaitu (1) kalimat deklaratif (pernyataan); (2) kalimat interogatif (pertanyaan); dan (3) kalimat imperatif (perintah) (Chaer, 2004:50). Kalimat deklaratif adalah kalimat yang isinya hanya meminta pendengar untuk menaruh perhatian saja, tidak usah melakukan apa-apa atau sekedar hanya memberitahukan. Kalimat interogatif adalah kalimat yang isinya meminta agar pendengar untuk member jawaban secara lisan. Kalimat imperatif adalah kalimat yang isinya meminta agar pendengar memberi tanggapan berupa tindakan atau perbuatan yang diminta.

  Pembagian kalimat atas kalimat deklaratif, interogatif, dan imperatif didasarkan pada bentuk kalimat itu secara terlepas, artinya ada kemungkinan sebuah kalimat deklaratif atau kalimat interogatif tidak lagi berisi pernyataan dan pertanyaan, tetapi menjadi berisi perintah. Hal ini dikarenakan oleh adanya situasi dan kondisi konteks yang mengikuti terjadinya suatu kalimat tersebut, sehingga suatu satuan kalimat dapat juga dipakai untuk mengungkapkan sejumlah fungsi di dalam komunikasi, dan suatu fungsi komunikatif tertentu dapat juga diungkapkan dengan sejumlah satuan kalimat (Purwo, 1990:14). Misalnya, suatu kalimat “Sudah jam Sembilan!” (yang secara struktural dapat disebut sebagai kalimat deklaratif) dapat digunakan untuk mengungkapkan sejumlah fungsi di dalam komunikasi. Salah satunya, kalimat itu dapat berupa jawaban (yang informatif) terhadap pertanyaan

  

Jam berapa sekarang? Selain membawa fungsi komunikatif, kalimat

  tersebut dapat pula dipakai untuk komunikatif yang lain. Jika kalimat tersebut misalnya diucapkan oleh seorang ibu yang mengelola pondokan mahasiswi dan diarahkan kepada mahasiswa yang sedang bertamu menemui mahasiswi anak semangnya, maka kalimat itu dapat diartikan sebagai pengusiran secara tidak langsung. Jadi kalimat deklaratif tersebut tidak hanya berfungsi untuk menyampaikan berita atau informasi, tetapi dapat pula digunakan untuk menyatakan perintah.

  Demikian juga suatu fungsi komunikatif tertentu dapat dinyatakan dengan beberapa cara. Misalnya ada kalimat: (4) Tutup pintu itu!,

  (5) Bisakah pintu itu ditutup? (6) Saya agak kedinginan.

  Kalimat-kalimat tersebut menunjukan bahwa suatu fungsi komunikatif dapat disampaikan dengan menggunakan konstruksi imperatif pada kalimat (4), konstruksi interogatif pada kalimat (5), dan konstruksi deklaratif pada kalimat (6).

  Moeliono (1992: 33) menyatakan bahwa apabila didasarkan pada nilai komunikatifnya, kalimat dalam bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi lima, yakni: (1) kalimat berita atau deklaratif, (2) kalimat perintah atau imperatif, (3) kalimat tanya atau interogatif, (4) kalimat seruan atau eksklamatif, (5) kalimat penegas atau emfatik. Sesuai sebutannya kalimat berita untuk menyampaikan berita yang berupa pernyataan, kalimat tanya digunakan untuk mengajukan pertanyaan, kalimat perintah digunakan untuk memberikan perintah, kalimat seruan digunakan untuk mengungkapkan keheranan atau kekaguman atas hal tertentu, dan kalimat penegas digunakan untuk memberikan penekanan atau penegasan khusus terhadap pokok pembicaraan tertentu.

  Ramlan (1987: 31) menyatakan bahwa berdasarkan fungsinya dalam hubungannya dengan situasi, kalimat dapat digolongkan menjadi tiga, yakni (1) kalimat berita, (2) kalimat tanya, (3) kalimat suruh. Kalimat berita berfungsi untuk memberitahukan sesuatu kepada orang lain. Kalimat tanya berfungsi untuk menanyakan sesuatu, sedangkan kalimat suruh mengharapkan tanggapan yang berupa tindakan tertentu dari orang yang diajak berbicara.

  Berbeda dengan pernyataan di atas, Kundjana (2005: 3) tentang fungsi komunikatif ini, menyebutnya dengan istilah makna pragmatik deklaratif, makna pragmatik interogatif, dan makna pragmatik imperatif. Hal ini digunakan, karena dianggap sosok ini memiliki cakupan makna yang jauh lebih luas manakala dibandingkan dengan istilah lainnya.

  Misalnya istilah imperatif jika dibandingkan dengan istilah memerintah atau menyuruh.

  Oleh karena itu, makna pragmatik deklaratif dapat dinyatakan dengan konstruksi deklaratif. Makna pragmatik interogatif dapat dinyatakan dengan konstruksi interogatif. Makna pragmatik imperatif dapat dinyatakan dengan konstruksi imperatif. Dapat dikatakan demikian karena dalam kegiatan bertutur, misalnya makna pragmatik imperatif tidak hanya dapat dinyatakan dengan konstruksi imperatif, melainkan dapat pula dinyatakan dengan konstruksi-konstruksi lain.

  Karena fungsi komunikasi deklaratif, interogatif maupun imperatif itu terwujud dalam bentuk tindak-tindak tutur, tuturan-tuturan tersebut pun erat hubungannya dengan jenis-jenis tindak tutur. Dilihat secara pragmatik, ada tiga jenis tindakan yang diwujudkan oleh seorang penutur, yaitu tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi

  (illocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act) (Austin

  dalam Chaer, 2004 : 53). Yang dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. tindak lokusi, yaitu tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti

  “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami (Chaer, 2004: 53). Searle dalam Wijana (1996: 17) mengatakan bahwa lokusi adalah tindak tutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu; 2. tindak ilokusi, yaitu tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan dengan kalimat performatif yang eksplisit (Chaer, 2004: 53). Tindak tutur ilokusi ini biasanya berkenaan dengan pemberian izin, mengucapkan terima kasih, menyuruh, menawarkan, dan menjanjikan;

  3. tindak perlokusi yaitu tindak tutur yang berkenaan dengan adanya ucapan orang lain sehubungan dengan sikap dan perilaku non- linguistik dari orang lain itu (Chaer, 2004: 53). Misalnya, karena adanya ucapan dokter (kepada pasiennya) ”Mungkin ibu menderita

  

penyakit jantung koroner .” Maka si pasien akan panik atau sedih.

  Ucapan dokter itu adalah tindak tutur perlokusi. Wijana (1996: 20) tindak perlokusi adalah sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force) atau efek bagi yang mendengarkan.

  Pendapat lain tentang tindak tutur ilokusi seperti yang disampaikan Rohmadi (2004: 31), adalah tindak tutur yang berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu dan dipergunakan untuk melakukan sesuatu.

  Searle (dalam Rahardi, 2005: 36) menggolongkan tindak tutur ilokusi ke dalam lima macam bentuk tuturan yang masing-masing memiliki fungsi komunikatif. Kelima macam bentuk tuturan itu adalah: 1) asertif, 2) direktif, 3) ekspresif, 4) komisif dan 5) deklaratif.

  1. Asertif adalah bentuk tutur yang mengikat penutur pada kebenaran proposisi yang diungkapkan.

  2. Direktif adalah bentuk tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk membuat pengaruh agar mitra tutur melakukan tindakan.

  3. Ekspresif adalah bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan.

  4. Komisif adalah bentuk tutur yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran.

  5. Deklaratif adalah bentuk tutur yang menghubungkan bentuk tuturan dengan kenyataan.

2.2. Proses Pembelajaran

  Telaah mengenai proses pembelajaran dalam kajian ini adalah proses yang berlangsung pada tingkatan SMP dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, yang terfokus pada tuturan guru, maka akan diuraikan mengenai: 1) pengertian pembelajaran, 2) pembelajaran bahasa Indonesia, dan 3) guru.

2.2.1. Pengertian Pembelajaran

  Pembelajaran adalah proses yang sengaja dirancang untuk menciptakan terjadinya aktivitas belajar dalam diri individu. Dengan kata lain, pembelajaran merupakan sesuatu hal yang bersifat eksternal dan sengaja dirancang untuk mendukung terjadinya proses belajar internal dalam diri individu (Benny A. Pribadi, 2009: 6-7). Pengertian pembelajaran menurut Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.

  Proses pembelajaran di sekolah adalah interaksi atau hubungan timbal balik antara siswa dengan guru, dan antara siswa dengan siswa dalam suatu kelompok belajar. Pengertian interaksi mengandung unsur saling memberi dan menerima, yang selalu melibatkan unsur-unsur: 1) Tujuan pembelajaran yang hendak dicapai sesuai dengan tuntutan kompetensi dasar (KD); 2) Adanya siswa sebagai komponen yang mengalami proses pembelajaran dan guru sebagai komponen yang mengatur proses pembelajaran; 3) Sarana dan prasarana yang mendukung proses pembelajaran seperti media, alat-alat laboratorium dan sumber-sumber belajar lainnya; 4) Lingkungan, sosial dan budaya juga sangat berpengaruh dalam proses pembelajaran, diharapkan sekolah mampu menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif sebagai wahana tempat proses pembelajaran.

  Suatu pembelajaran dapat berjalan dengan efektif bila seluruh komponen yang berpengaruh dalam proses pembelajaran saling mendukung dalam rangka mencapai tujuan. Komponen-komponen yang berpengaruh dalam proses pembelajaran adalah guru, siswa, sarana-prasana, dan lingkungan (Dirjen Dikmenum, 1994).

  Guru adalah komponen yang sangat menentukan dalam implemen- tasi pembelajaran. Tanpa guru, bagaimanapun bagus dan idealnya suatu strategi, maka strategi itu tidak mungkin dapat diaplikasikan. Keberhasilan implementasi suatu strategi pembelajaran akan tergantung pada kepiawaian guru dalam menggunakan metode, teknik dan taktik pembelajaran. Mengingat kajian penelitian ini terfokus pada guru dalam pembelajaran, maka mengenai guru akan dibahas lebih rinci dalam bagian lain.

  Siswa adalah organisme yang unik yang sedang berkembang sesuai dengan tahap perkembangannya. Perkembangan anak adalah perkembangan seluruh aspek kepribadiannya, akan tetapi tempo dan irama perkembangan masing-masing anak pada setiap aspek tidak selalu sama. Proses pembelajaran dapat dipengaruhi oleh perkembangan anak yang tidak sama itu, disamping karakteristik lain yang melekat pada diri anak.

  Sarana adalah segala sesuatu yang mendukung secara langsung terhadap kelancaran proses pembelajaran, misalnya media pembelajaran, alat-alat pelajaran, perlengkapan sekolah, dan lain sebagainya; sedangkan prasarana adalah segala sesuatu yang secara tidak langsung dapat mendukung keberhasilan proses pembelajaran, misalnya : jalan menuju sekolah, penerangan sekolah, kamar kecil dan lain sebagainya. Kelengkapan sarana dan prasarana akan membantu guru dalam penyelenggaraan proses pembelajaran. Dengan demikian sarana dan prasarana merupakan komponen penting yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran.

  Dilihat dari dimensi lingkungan ada dua faktor yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran, yaitu organisasi kelas dan faktor iklim sosio-psikologis. Faktor organisasi kelas yang didalamnya meliputi jumlah siswa dalam satu kelas merupakan aspek penting yang dapat mempengaruhi pembelajaran. Organisasi kelas yang terlalu besar akan kurang efektif untuk mencapai tujuan pembelajaran. Faktor iklim sosio-psikologis maksudnya adalah keharmonisan hubungan antara orang yang terlibat dalam proses pembelajaran. Iklim sosial ini dapat terjadi secara internal atau eksternal.

  Secara internal adalah hubungan antara orang yang terlibat dalam lingkungan sekolah, misalnya antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, guru dengan guru, bahkan antara guru dengan pimpinan sekolah. Secara eksternal adalah hubungan yang harmonis antara pihak sekolah dengan dunia luar, misalnya antara sekolah dengan orang tua siswa, dengan lembaga-lembaga masyarakat, dan lain sebagainya.

  Hubungan antara komponen-komponen tersebut di atas, dapat digambarkan dalam bentuk skema seperti pada gambar berikut :

  Faktor sekolah

  • guru, metode, sarana

  Proses Raw Input

  Out Put

    • Pembelajaran siswa masuk

  Siswa Berhasil Faktor Lingkungan

  • Sosial Budaya Gambar 1: Skema komponen-komponen yang berpengaruh dalam proses pembelajaran.

  (Sumber Dirjen Pendidikan Menengah Umum, 1994) 2.2.2.

   Pembelajaran Bahasa Indonesia

  Belajar bahasa pada hakikatnya adalah belajar berkomunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pebelajar dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulis (Depdikbud, 1995). Hal ini relevan dengan kurikulum 2004 bahwa kompetensi pebelajar bahasa diarahkan ke dalam empat subaspek, yaitu membaca, berbicara, menyimak, dan mendengarkan.

  Tujuan pembelajaran bahasa, menurut Basiran (1999) adalah keterampilan komunikasi dalam berbagai konteks komunikasi. Kemampuan yang dikembangkan adalah daya tangkap makna, peran, daya tafsir, menilai,

  dan mengekspresikan diri dengan berbahasa. Kesemuanya itu dikelompokkan menjadi kebahasaan, pemahaman, dan penggunaan.