BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perlindungan Hukum 1. Pengertian Perlindungan - PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK MANTAN ISTRI DAN ANAK PASCA PERCERAIAN - repository perpustakaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perlindungan Hukum

1. Pengertian Perlindungan

  Dalam kamus besar bahasa Indonesia tidak memberikan definisi secara jelas mengenai arti kata perlindugan hukum itu sendiri namun bila diartikan beberapa unsur kata perlindungan sebagai berikut (Pusat Bahasa, 2008: 864):

  a. Lindung: berlindung:menempatkan dirinya di bawah (di balik, di belakang) sesuatu supaya tidak terlihat atau tidak kena angin, panas, dan sebagainya; bersembunyi (berada) di tempat yang aman supaya terlindung; minta pertolongan kepada Tuhan Yang Maha kuasa supaya selamat atau terhindar dari godaan, bencana, dosa,

  b. Melindungi: menutupi supaya tidak terlihat atau tampak, menjaga; merawat; memelihara, menyelamatkan (memberi pertolongan dan sebagainya) supaya terhindar dari mara bahaya. melindungkan: membuat (diri) terlindung (tersembunyi dan sebagainya), mempergunakan sesuatu untuk melindungi, menaruhkan (menempatkan) sesuatu di tempat yang aman atau terlindung,

  c. Terlindung: tertutup oleh sesuatu sehingga tidak kelihatan (tidak kena panas, angin, dan sebagainya), tersembunyi (di balik sesuatu), diselamatkan (dari bencana dan sebagainya), d. Lindungan: yang dilindungi, cak tempat berlindung, cak perbuatan (hal dan sebagainya) memperlindungi, e. Perlindungan: tempat berlindung, hal (perbuatan dan sebagainya) memperlindungi, f. Memperlindungi: menjadikan atau menyebabkan berlindung,

  g. Pelindung: orang yang melindungi, alat untuk melindungi,

  h. Pelindungan: proses, cara, perbuatan melindungi, i. Kelindungan: terlindung, terlampaui, tersaingi.

  Dalam istilah pengertian perlindungan menurut ilmu hukum adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman, baik fisik maupun mental, kepada korban dan sanksi dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun yang diberikan pada tahap penyelidikan, penuntutan, dan atas pemeriksaan di sidang Pengadilan (http://seputarpengertian.blogsport.co.id).

2. Pengertian Hukum

  Secara etimologis, istilah hukum (Indonesia) disebut Law (Inggris) dan

  

recht (Belanda dan Jerman) atau Droit (Prancis). Istilah recht berasal dari

  bahasa latin rectum berarti tuntunan atau bimbingan perintah atau pemerintahan. Rechtum dalam bahasa Romawi adalah rex yang berarti raja atau perintah raja. Istilah-istilah tersebut (recht, rechtum, rex) dalam bahasa Inggris menjadi right (hak atau adil) yang berati hukum (Sugiarto Umar

  Said, 2015: 6). Sedangkan Menurut beberapa ahli, pengertian hukum sebagai berikut: a. Menurut Salim, HS, hukum adalah keseluruhan dari aturan-aturan hukum, baik yang dibuat oleh negara maupun yang hidup dan berkembangan dalam masyarakat dengan tujuan untuk melindungi kepenting masyarakat sementara itu hukum yang hidup, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat hanya dipatuhi oleh warga masyarakat setempat dan sifatnya lokal (2009: 26), b. Menurut Achmad Ali, hukum adalah seperangkat kaidah atau aturan yang tersusun dalam suatu sistem, yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh manusia sebagai warga masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, yang bersumber dari masyarakat sendiri maupun dari sumber lain, yang diakui berlakunya oleh otoritas tertinggi dalam masyarakat tersebut, serta benar-benar diberlakukan oleh warga masyarakat (sebagai suatu keseluruhan) dalam kehidupannya dan jika kaidah tersebut dilanggar akan memberikan kewenangan bagi otoritas tertinggi untuk menjatuhkan sanksi yang sifatnya eksternal (2012: 19),

  c. Menurut Soedikno Mertokusumo, hukum adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan sanksi (1986: 34), d. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, pengertian hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institusi) dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan (1989: 30),

  e. Menurut Soerojo Wignjodipuro, hukum adalah himpunan peraturan hidup yang bersifat memaksa, berisikan suatu perintah, larangan atau perizinan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu serta dengan maksud untuk mengatur tataterbit dalam kehidupan masyarakat (1982: 13), f. Menurut M.L. Tobing, hukum adalah kesuluruahan asas-asas dan kaidah yang mengatur hubungan manusia dalam masyarakat dan juga meliputi lembaga-lembaga, institusions dan proses-proses yang mewujudkan berlakunya kaidah dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan (1983: 10), g. Menurut Utrecht, hukum adalah himpunan petunjuk hidup / perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang seharusnya ditaati oleh seluruh anggota masyarakat oleh karena itu pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah/penguasa itu (1983: 53),

  h. Menurut Van kan dan J.H.Beekhuis, hukum adalah peraturan yang bersifat memaksa yang diadakan untuk melindungi kepentingan orang dalam masyarakat dan siapa yang melangar norma hukum dapat di jatuhi sanksi atau dituntut oleh pihak yang berwenang atau pihak yang hak- haknya dirugikan (1972: 13).

3. Pengertian Perlindungan Hukum

  Berdasarkan pengertian perlindungan dan teori hukum datas bahwa perlindugan hukum dapat didevinisikan sebagaimana dijelaskan oleh para ahli sebagai berikut:

  a. Menurut Soetjipto Raharjo perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum (1983: 121), b. Menurut Philipus M. Hadjon, bahwa perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak- hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan (1987: 38), c. Menurut Setiono perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia (2004: 3),

  d. Menurut Muchin perlindungan hukum adalah kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia (2003: 14).

B. Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

  Secara etimologi kata nikah mempunyai banyak definisi antara lain berkumpul, bersatu, bersetubuh dan akad sedangkan secara terminologi kata kawin akad yang dari pengertian secara etimoligi di atas indentik dengan tujuan dari hukum nasional yang dicantumkan dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 Pasal 1 yang isinya perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami-istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarka ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam kompilasi hukum Islam memberikan definisi perkawinan adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqa ghaliidhan untuk menaati perintah Allah (Soemiyati, 1999: 24).

  Perkawinan sebagaimana dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu, ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagaimana suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian pada Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut selanjutnya menegaskan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya (M. Indra Ridhwan, 1994: 1).

  Dengan melihat pengertian perkawinan yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di atas, bila diperinci ada 3 (tiga) unsur penting: a. Perkawinan ialah ikatan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri.

  b. Ikatan lahir batin itu di tunjukan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal dan sejahtera.

  c. Ikatan lahir batin dan tujuan bahagia yang kekal itu berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa (Saleh K. Wantjik, 1987: 14).

  Perkawinan dapat dipisahkan menjadi tiga bagian yakni perkawinan dilihat dari segi hukum Islam, perkawinan dari segi sosial dan perkawinan dari segi Agama Islam, dipandang dari segi hukum Islam, perkawinan itu merupakan perjanjian, dalam QS.an-Nissa’[4]:21 dinyatakan: Dan mereka

  

( istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat .

  ”perkawinan adalah perjanjian yang kuat, disebut dengan kata- kata,”mitsaqan ghalizhan. Sedangkan menurut Pasal 26 Kitab Undang- undang hukum Perdata perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama dalam Undang- undang hanya memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan (Soemiyati, 1999: 25).

2. Tujuan Perkawinan

  Tujuan perkawinan adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh Syari’ah (Ali Afandi, 1987: 7).

  Rumusan tujuan perkawinan di atas dapat diperinci sebagai berikut:

  a) Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan.

  b) Mewujudkan sesuatu keluarga dengan dasar cinta kasih.

  c) Memperoleh keturunan yang sah.

  d) Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan.

  e) Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang halal, dan memperbesar rasa tanggungjawab kepada keluarga (Soemiyati, 1999: 12-13).

3. Asas-asas Perkawinan

  Menurut Muchin (2004: 34), asas-asas perkawinan sebagai berikut :

  a. Asas kesukarelaan dan kebebasan memilih Untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, setiap perkawinan harus didasarkan pada persetujuan kedua belah pihak, calon mempelai laki-laki dan calon mempelai wanita. Perkawinan merupakan salah satu hak asasi manusia, oleh karena itu suatu perkawinan harus didasar pada kerelaan masing-masing pihak untuk menjadi suami istri, untuk saling menerima dan saling melengkapi satu sama lainya, tanpa ada satu paksaan dari pihak lain manapun juga. Perkawinan yang tanpa didasari oleh persetujuan kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan dapat dijadikan alasan membatalkan perkawinan. Prinsip ini tegas dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menentukan, bahwa perkawinan harus didasarkan persetujuan kedua calon mempelai

  b. Asas persetujuan dua belah pihak Harus ada persetujuan secara suka rela dari pihak-pihak yang mengadakan perkawinan caranya adalah diadakan peminangan terlebih dahulu untuk mengetahui apakah kedua belah pihak setuju untuk melaksanakan perkawinan atau tidak.

  c. Asas kemitraan suami istri Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan bermasyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama suami istri.

  d. Asas untuk selamanya Sebagaimana dalam tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dan sejahtera, maka Undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar tejadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu (Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor. 9 tahun 1975) serta harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama bagi orang Islam dan Pengadilan Negeri bagi golongan luar Islam e. Asas monogami terbuka Poligami sebagai pengecualian dalam hal tertentu perkawinan poligami diperkenankan sebagai pengecualian perkawinan monogami, sepanjang hokum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih seorang istri, meskipun itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu, dan diputuskan oleh Pengadilan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 serta Pasal 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

4. Rukun dan Syarat-syarat Perkawinan

  Antara rukun dan syarat perkawinan itu ada perbedaan dalam pengertianya. Yang dimaksud dengan rukun dari perkawinan ialah hakekat dari perakawinan itu sendiri, jadi tanpa ada salah satu rukun, jadi tanpa adanya salah satu rukun, perkawinan tidak mungkin dilaksanakan. Sedang yang dimaksud dengan syarat ialah sesuaut yang harus ada dalam perkawinan tetapi tidak termasuk hakekat dalam perkawinan itu sendiri.

  Kalau salah satu syarat-syarat dari perkawinan tidak dipenuhi maka perkwainan itu tidak sah. Misalnya syarat-syarat dari perakwinan itu yang harus dipenuhi oleh masing-masing rukun perkawinan. Adapun yang termasuk rukun perkawinan , yaitu hakekat dari suatu perkawinan , supaya dapat dilaksanakan ialah:

  a. Pihak-pihak yang melasakan aqad nikah yaitu mempelai pria dan wanita b. Wali

  c. Saksi d. Akad nikah (Soemiyati, 1999: 30).

  Menurut Ali Afandi (1987: 27) menjelaskan bahwa mengenai syarat- syarat perkawinan, dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7, yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:

  1. Harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai.

  2. Adanya ijin dari kedua orangtua atau wali (Pasal 6 ayat 2) ijin ini hanya diperlukan bagi calon mempelai yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun.

  3. Apabila kedua orangtua meninggal duania, maka yang berhak memberi ijin sesuai dengan ketentuan (Pasal 6 ayat 3, 4 dan 5).

  4. Apabila salah seorang dari kedua orangtua dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya karena disebabkan: a) Karena di bawah kuratele.

  b) Sakit ingatan.

  c) Tempat tinggalnya tidak diketahui, maka ijin cukup diberikan oleh salah satu pihak saja yang mampu menyatakan kehendaknya (Pasal 6 ayat 3).

  5. Apabila kedua orangtua telah meninggal dunia atau kedua-duanya tidak mampu menyatakan kehendanya maka, yang berhak memberi ijin adalah wali atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup (Pasal 6 ayat 4).

  6. Jika ada perbedaan pendapat antara mereka yang disebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal 6 ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak ada menyatakan pendapatnya, Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang berhak melaksanakan perkawinan yang berhak memberi ijin.

  7. Batas umur untuk melaksanakan perkawinan adalah sekurang- kurangnya 19 (sebilan belas) tahun bagi calon suami dan 16 (enam belas) tahun bagi calon isteri (Pasal 7 ayat 1).

C. Tentang Perceraian

1. Pengertian Perceraian

  Ketentuan Pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya disebutkan bahwa perceraian merupakan salah satu penyebab putusnya perkawinan. Alasan dari perceraian ini adanya tujuan perkawinan sebagaimana tercantum pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengisyaratkan pula pengertian perceraian.

  Perceraian hendaknya menjadi upaya terakhir yang ditempuh jika upaya- upaya lain yang ditempuh sebelumnya untuk mengusahakan keutuhan ikatan perkawinan tidak berhasil (Saleh K.Wantjik, 1987: 31).

  Jadi istilah perceraian secara yuridis putusnya perkawinan, yang mengakibatkan putusnya hubungan sebagai suami istri atau berhenti berlaki bini (suami istri) sebagaimana diartikan dalam kamus besar bahasa Indonesia diatas Istilah perceraian menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai aturan hukum positif tentang perceraian menujukkan adannya: a. Tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh suami atau istri untuk memutus hubungan perkawinan antara mereka b. Peristiwa hukum yang memutuskan hubungan suami dan istri, yang yaitu kematian suami atau istri yang bersangkutan, yang merupakan ketentuan yang pasti dan langsung ditetapkan oleh Tuhan yang maha kuasa

  c. Putusan hakim yang dinyatakan oleh pengadilan yang berakibat hukum putusnya hubungan perkawinan antara suami istri (Muhammad Syarifuddin, Dkk, 2013: 16).

  Hukum perdata menjelasakan bahwa Percerian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu (Subekti, 2001: 42). Namun bila dilihat dari pengertian hukum Islam bahwa perceraian merupakan putusnya hubungan keluarga yang dimungkinkan terjadi karena beberapa hal sebagaimana berikut: talak,

  

khuluk, fasakh, syiqoq, taklik-talak, fahisah, ila’, zhihar, li’an dan Murtad

(Riddah ).

2. Bentuk Perceraian

  Bentuk-bentuk perceraian yang mengakibatkan putusnya perkawinan yang dapat dijadikan alasan hukum perceraian dan bermuara pada cerai talak dan cerai gugat yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor. 9 Tahun 1975, dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Talak Secara harfiah, talak berarti lepas dan bebas. Dihubungkan kata

  

talak dalam arti kata ini dengan putusnya perkawinan, karena antara

  suami dan istri sudah lepas hubungannya atau masing-masing sudah bebas. Dalam mengemukakan arti talak secara terminologis, ulama mengemukakan rumusan yang berbeda, namun secara esensinya sama, yakni melepaskan hubungan pernikahan dengan mengunakan lafaz talak dan sejenisnya (Anshori Abdul ghofur, 2011: 106).

  Talak artinya cerai, pelaksaannya di lakukan atas inisiatif suami

  dengan ucapan yang dinkeluarkan oleh diri sendiri dalam keadaan sengaja atau tidak sengaja (Djamali R. Abdul, 2002: 99) sedangkan dalam Pasal 117 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa talak adalah ikrar suami dihadapan peradilan agama yang menjadi sebab putusnya perkawinan.

  2. Khuluk Bila seorang istri melihat pada suaminya sesuatu yang tidak diridhai Allah untuk melanjutkan hubungan perkawinan, sedangkan si suami tidak merasa perlu untuk menceraikannya, maka si istri dapat meminta perceraian dari suaminya dengan kompensasi ganti rugi yang diberikannya kepada suaminya. Bila suami menerima dan menceraikannya istrinya atas dasar uang ganti itu, maka putuslah perkawinan antara keduanya putus perkawinan cara ini disebut Khulu’.

  Menurut para fuqaha, khulu’ kadang dimaksudkan makna yang umum, yakni perceraian dengan disertai sejumlah harta sebagai iwadh yang diberikan oleh istri kepada suami untuk menembus diri agar terlepas dari ikatan perkawinan baik dengan kata khulu’ mubara’ah maupun talak (Abdul Rahman Ghozali, 2012: 220).

  3. Fasakh Fasakh menurut bahasa berarti memisahkan atau memutuskan.

  Adapun pengertian fasakh menurut istilah adalah memutuskan akan nikah karena ada sebab yang nyata dan jelas yang menghalangi kelestarian hubungan suami isteri. Perceraian dalam bentuk fasakh termasuk perceraian dalam proses peradilan. Hakimlah yang memberikan keputusan tentang berlangsungnya perkawinan, atau terjadinya perceraian karena itu pihak penggugat dalam perkara fasakh haruslah mempunyai alat-alat bukti yng lengkap, sehingga dengan alat bukti tersebut dapat menimbulkan keyakinan bagi hakim yang menyidangkan perkara tersebut.

  Fasakh sebagai suatu perceraian suami-istri yang dilakukan melalui

  proses Pengadilan dengan keputusan yang diselingi konflik-konflik lainya yang berarti tidak mencerminkan kehidupan rumah tangga yang baik, karena itu pada puncak konflik dan terjadi lepas bergaul (scheiding

  

van tafel en bed) diizinkan istri mengajukan permohonan cerai melalui

Pengadilan agama (Djamali R. Abdul, 2002: 107).

  4. Siqoq Siqoq artinya adalah perselisihan yang terus menerus antara suami dan isteri. Bila ini terjadi maka diadakanlah dua utusan sebagai pendamai antara pihak suami dan isteri setelah fase-fase menasehati, memisahkan tempat tidur, dan memukul isteri sebagai upaya mendidik menuju perdamaian rumah tangga yang tak kunjung berhasil

  Siqoq artinya sengketa atau konflik. dalam kehidupan rumah

  tangga suatu pertengkaran antara suami-istri tidak mungkin dapat dihindarkan, hal ini dapat dipahami karena dua pikiran dan pendapat terhadap suatu hal sering tidak dapat dipertemukan dalam satu pendapat dengan segera yang berakibat timbulnya pertengkaran (Abdul Rahman Ghozali, 2012: 107).

  5. Talik-Talak Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 45 menjelaskan bahwa ada dua bentuk perjanjian perkawinan yakni kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk:

  1. Taklik talak

  2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam Namun secara definisi menjelaskan bahwa Talik talak adalah suatu janji dari suami kepada istri yang berdasarkan kepada syarat-syarat tertentu. lembaga taklik itu timbul kalau ada penilaian istri bahwa suaminya menunjukkan gejala-gejala akan menyia-nyiakan atau akan meningalkannya dikemudian hari (Djamali R. Abdul, 2012: 108).

  6. Fahisah

  Fahisah menurut AlQur’an Surat An-Nisa’(4): 15 ialah perempuan

  yang melakukan perbuatan keji atau perbuatan buruk yang melakukan keluarga seperti perbuatan mesum, homo seksual, lesbian, dan sejenisnya. Apabila terjadi peristiwa yan sedemikian itu, maka suami dapat bertindak mendatangkan 4 (empat) orang saksi laki-laki yang adil yang memberikan kesaksian tentang perbuatan itu, apabila terbuktu benar, maka kurunglah wanita itu dalam rumah sampai meraka menemui ajalnya.

  Menurut surat An-Nisa’ (4): 135 dijelaskan tentang kurungan itu ialah sampai Allah memberikan jalan (memberikan petunjuk) kepadanya.

  Tindak an mengurung itu apabila suami dapat mendatangkan saksi bahwa istrinya (wanita) itu benar-benar telah melakukan perbuatan yang memalukan keluarga (fahisah), apabila kelak wanita (istri) tersebut telah sadar dan bertaubat ingin menjadi orang yang baik-baik dia harus dibebaskan kata fahisah ini dalam Al quran terutama dihubungkan dengan penyelewengan dalam hubungan seks atau perzinaan (Muhammad Syarifuddin, Dkk, 2013: 141).

  7. Ila’

  Ila’ berasal dari bahasa Arab, yang secara arti kata berarti”tidak

  mau melakukan sesuatu dengan cara bersumpah “atau“sumpah”. Dalam artian devinitif terdapat beberapa rumusan masalah yang hampir atau berdekatan sehingga. Arti dari pada kata ila’ ialah sumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan.

  Dalam Al-Quran surat al-Baqarah ayat 226-02, sebagai berikut:             

    “suami yang mengatakan ila’ (bersumpah tidak akan mencampuri istrinya) diberi kesempatan selama empat bulan apabila dalam masa empat bulan itu suami kembali mengauli istrinya maka Allah akan mengampuninya dan memperkenankannya, akan tetapi apabila suami bermaksud bermaksud menjatuhkan talak, maka Allah maha mendengar dan mengetahui”.

  Dari ayat–ayat al-Quran tersebut dapat diperoleh ketentuan bahwa:

  1. Suami yang mengila’ istrinya batasnya paling lama hanya empat bulan,

  2. Kalau batas waktu itu habis maka suami harus kembali hidup sebagai suami-istri atau mentalaknya.

  Kalau batas waktu empat bulan itu habis dan suami belum menetukan sikap, yaitu mentalak istrinya atau meneruskan hubungan suami istri, maka menurut Imam Hanifah suami diam saja itu dengna habisnya batas waktu empat bulan itu dianggap telah jatuh talaknya satu kepada istrinya (Soemiyati, 1982: 117).

  8. Zhihar

  Zhihar adalah prosedur talak, yang hampir sama dengan ila’. Arti

zhihar adalah seorang suami yang bersumpah bahwa istrinya itu baginya

  sama dengan pungung istrinya. Ibarat seperti ini erat kaitanya dengan kebiasaan masyarakat Arab, apabila masyarakat Arab marah, maka ibarat/penyamaan seperti tadi sering terucap. Apabila ini terjadi berarti suami tidak akan menggauli istrinya.

  Selajutnya kata zhihar diambil dari kata zhahr (punggung). Hal ini dikarenakan apabila slah seorang kaum jahiliah menzhihar istrinya, maka ia berkata kepadanya,”kamu seperti punggung ibuku”. Kemudian , lafazh

  

zhihar digunakan untuk seluruh anggota tubuh yang secara qiyas

  menunjukkan kepada punggung, zhihar dimasa jahiliyah sama dengan cerai, lalu Allah memberikan keringanan bagi umat ini dan menetapkan

  

kafarat didalamnya. Allah tidak menetapkannya sebagai cerai,

  sebagaimana yang mereka yakini dimasa jahiliyah (Muhammad Syarifuddin, Dkk, 2013: 153).

  9. Li’an Perkawinan dapat putus karena li’an. Li’an diambil dari kata la’an

  (melekat), karena pada sumpah kelima, suami mengatakan bahwa ia menerima laknat Allah bila ia termasuk orang-orang yang berdusta.

  Perkara ini disebut li’an, ilti’an (melaknat diri sendiri) dan mula’anah (saling melaknat). Li’an diambil dari firman Allah: “Dan (sumpah) yang kelima, bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta”.

  Bahwa li’an adalah lafaz dalam bahasa Arab yang berasal dari kata

  

laa-‘a-na, yang secara harfiah berarti saling melaknat, cara ini disebut

dalam term li’an, karena dalam prosesinya tersebut kata laknat tersebut.

  Diantara definisi yang representatif, yang mudah dipahami adalah sumpah suami yang menunduh istrinya berbuat zina, sedangkan dia tidak mampu mendatangkan empat orang saksi (Abdul Ghofur Anshori, 201: 150).

  Hukum li’an menurut Abdul Ghofur Anshori (2011: 152), bagi suami yang yakin atau berat dugaanya akan kebenaran tuduhannya adalah mubah atau boleh. Namun bila suami tidak kuat dugaannya atas kebenaran tuduhannya, maka hukum li’an baginya adalah haram.

  Adapun tujuan dari dibolehkannya li’an tersebut adalah memberikan kemudahan kepada suami yang yakin akan kebenaran tuduhan zina yang dilakukanya, sedangkan dia secara hukum formal tidak dapat berubah apa-apa dalam membuktikan kebenaranya. Hikmahnya adalah melepaskan ancaman dari suami yang yakin kebenarannya, yang hukum formal tidak dapat membantunya.

  10. Murtad (Riddah)

  Ar-riddah secara harfiah berarti kembali. Ar-riddah dalam

  pembahasan ini adalah kembalinya seorang muslim yang berakal dan baligh untuk memilih keyakinan agama lain atas dasar pilihannya bukan atas paksaan. Dengan alasan walaupun dia hidup dan berada pada sisten yang berlaku dilingkungan pemeluk agama lain dan secara formal menjadi anggota yang sah dari masyarakatnya namun besar kemungkinan keyakinannya tetap tidak tergoyahkan. Jika pada suatu saat ada peluang untuk mewujudkan keyakinan yang diyakininya, yaitu keyakinan yang sesuai dengan ajaran islam ia akan berupaya untuk mewujudkannya.

  Apabila salah seorang dari suami atau istri keluar dari agama isla atau murtad, maka putuslah hubungan perkawinan mereka. Dasar hukumnya dapat diambil I’tibar dari Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 221, yang melarang menikah baik laki-laki dengan wanita maupun sebaliknya wanita dengan laki-laki yang tidak beragama islam.

  Disamping itu, Alquran surat Al-Baqarah ayat 229 pun dapat dipergunakan, karena salah satu pihak tidak dapat menjalakan hukum- hukum Allah, yaitu Al Quranul karim akan tetapi, adakalanya lembaga murtad ini sering disalahgunakan, karena ingin mempermudah perceraian salah satu pihak menyatakan dirinya murtad (Mohd.Idris Ramulyo, 1996: 147).

D. Akibat Hukum Pasca Perceraian

  

1. Akibat Hukum Perceraian terhadap Kedudukan, Hak dan Kewajiban

Anak

  Adanya anak dalam perkawinan bagi penghidupan manusia mengandung dua segi kepentingan, yaitu kepentingan untuk diri peribadi dan kepentingan yang bersifat umum (universal). Setiap orang yang melaksanakan perkawinan tentu mempunyai keinginan untuk memperoleh keturunan/anak. Bisa dirasakan bagaimana perasaan suami istri yang hidup berumah tangga tanpa mempunyai anak, tentu kehidupannya akan terasa sepi dan hampa. Biarpun keadaan rumah tangga mereka serba berkecukupan, harta cukup, kedudukan tinggi, dan lain-lain serba cukup, tetapi kalau tidak mempunyai keturunan, kebahagiaan rumah tangga belum sempurna.

  Biasanya suami istri yang demikian itu akan selalu berusaha dengan segala kemampuan yang ada untuk berobat kepada dokter-dokter dan minta tolong kepada orang-orang yang dianggap mampu untuk menolong mereka dalam usahanya memperoleh keturunan Anak-anak itu merupakan penolong, baik dalam kehidupannya di dunia maupun diakherat kelak, bagi diri ibu bapak yang bersangkutan. Asperk umum atau universal yang berhubungan dengan keturunan atau anak adalah karena anak-anak yang dilahirkan dalam suatu perkawinan yang sah dapat menjadi penyambung keturunan seseorang dan akan selalu berkembang untuk meramaikan dan memakmurkan dunia ini (Soemiyati 1984: 14).

  Akibat hukum perceraian terhadap kedudukan dan perlindungan hak- hak anak menurut Pasal 41 Huruf a Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ialah baik bapak maupun ibu tetap mempunyai kewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bila mana terjadi perselisihan mengenai penguasaan anka-anak, maka pengadilan pengadilan yang memberikan keputusanya. Akibat hukum perceraian terhadap anak ini tentu saja hanya berlaku terhadap suami dan istri yang mempunyai anak dalam perkawinan mereka, tetapi tidak berlaku terhadap suami dan istri yang tidak mempunyai anak dalam perkawinan mereka.

  Menurut Soemiyati (1984: 126), jika terjadi perceraian dimana telah diperoleh kerturunan dalam perkawinan itu, maka yang berhak mengasuh anak hasil perkawinan adalah ibu, atau nenek seterusnya keatas. Akan tetapi, mengenai pembiayaan untuk penghidupan anak itu, termasuk biaya pendidikannya adalah menjadi tanggung jawab ayahnya. Berakhirnya masa asuhan adalah pada waktu anank itu sudah dapat ditanya kepada siapa dia akan terus ikut. Kalau anak tersebut memilih ibunya, maka si ibu tetap tetap berhak mengasuh anak itu, kalau anak itu memilih ikut bapaknya, maka hak asuh ikut pindah pada bapak.

  Sedangkan menuurt Wahyu Ernaningsih dan Putu Samawati (2008: 126), menguraikan pendapatnya mengenai akibat hukum perceraian terhadap nafkah anak secara lebih terperinci, sebagai berikut: a. Kewajiban membiayai anak tidak hilang karena putusnya perkawinan adanya perceraian.

  b. Biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh ayah (sampai anak dewasa atau berdiri sendiri, bekerja/ mendapat penghasilan atau anak menikah).

  Kewajiban membiayai tetap menjadi tanggung jawab ayah walaupun pemeliharaan anak tidak padanya. Artinya ayah tetap mempunyai kewajiban untuk membiayai penghidupan anak walaupun hak pemeliharaan anak berada pada ibu, kakek, nenek, bibi, dan sebagainya.

  c. Bila ayah tidak dapat memberi biaya pemeliharaan (penghidupan), maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya hidup anak d. Bila ayah tidak melaksanakan putusan pengadilan untuk membiayai pemeliharaan anak, maka seorang mantan istri dapat melakukan permohonan eksekusi kepada ketua Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri dimana proses perceraiannya dilaksanakan. Selanjutnya, Pengadilan akan memangil manta suami. jika suami tidak memenuhi surat pangilan dari pengadilan tanpa alasan yang patut, maka ketua pengadilan akaknmengeluarkan surat penetapan yang memerintahakan untuk melakukan eksekusi kepada panitera atau juru sita.

  Bahwa Pasal 41 huruf a Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah wujud normatif dari upaya negara untuk melindungi hak-hak anak setelah terjadinya perceraian dari kedua orang tuanya, berlandaskan fungsi negara hukum mengaku dan melindungi HAM.

2. Akibat Hukum Perceraian terhadap Kedudukan, Hak, dan Kewajiban Mantan Suami/Istri

  Akibat hukum perceraian terhadap kedudukan, Hak dan kewajiban mantan suami/istri menurut Pasal 41 htuf c Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 ialah pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya kehidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Ketentuan normatif dalam Pasal 41 huruf c Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ini mempunyai kaitan dengan Pasal 11 Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 yang memuat ketentuan normatif bahwa seorang wanita yang ptus perkawinannya beralaku jagka tunggu yang kemudian pasal ini telah dijabarkan dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang memuat ketentuan imperatif bahwa bagi seorang janda yang masih datang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak datang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari. Apabila perkawinan putus, sedangkan janda tersebut dalam keasdaan hamil, maka waktu tunggu ditetapkan sampai ia melahirkan (Mahmud Yunus, 1968: 120).

  Selanjutnya, menurut Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian, sedang antara janda tersebut dengan bekassuaminya swebelum terjadi hubungan kelamin. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

  Akibat hukum perceraian terhadap kedudukan, hak dan kewajiban mantan suami/istri menurut Pasal 41 huruf c Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 selaras dengan hukum Islam, apabila terjadi perceraian antara suami dan istri menurut hukum islam, maka akibat hukumnya ialah dibebankannya kewajiban mantan suami terhadap mantan istrinya untuk memberikan mut’ah yang pantas berupa uang atau barang dan mmeberikan nafkah hidup, pakaian dan tempat kediaman selama mantan istri dalam masa

  Iddah serta melunasi mas kawin, perjanjian ta’lik talak dan perjanjian yang lain (Mahmud Yunus, 1968 : 125).

  Selanjutnya akibat hukum perceraian terhadap kedudukan, hak dan kewajiban mantan suami/istri menurut Pasal 41 huruf c Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menetukan sesuatu kewajiban bagi mantan istri, adalah selaras dengan hukum islam. Akibat hukum perceraian terhadap kedudukan, hak dan kewajiban mantan suami/istri yang diatur dalam hukum islam, telah dipostivikasi dalam Kompilasi Hukum Islam khususnya Pasal 149 yang memuat ketentuan imperatif bahwa bilamana perkawinan putus karena talak, maka mantan suami wajib:

  a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul; b. Memberikan nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil

  c. Melunasi mahar yang masih terhutang selurunya dan separoh apa bila al dukhul d. Memberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belu mencapai umur 21 tahun (Muhammad Syarifuddin, Dkk, 2013: 405).

3. Akibat Hukum Perceraian terhadap Harta Bersama

  Menurut hukum Islam, harta suami dan istri terpisah, dalam arti masing-masing mempunyai hak untuk menggunakan atau membelanjakan hartanya sepenuhnya, tanpa diganggu oleh pihak lain. Harta benda yang menjadi hak sepenuhnya masing-masing pihak ialah harta bawaan masing- masing sebelum terjadi perkawinan atau pun harta yang diperoleh masing- masing pihak dalam masa perkawinan yang bukan merupakan usaha bersama, misalnya menerima warisan, hibah, hadiah, dan lain sebagainya

  Dalam Pasal 37 Undang-undang Nomor Tahun 1974 dan Penjelasan pasalnya, akibat hukum perceraian terhadap harta bersama diatur mernurut hukumnya masing-masing, yang mencakup hukum agama, hukum adat atau hukum yang lain. Ini berarti bahwa Undang-undang Nomor Tahun 1974 menyerahkan kepada para pihak (mantan suami dan mantan istri) yang bercerai untuk milih hukum mana dan hukum apa yang akan berlaku, dan jika tidak ada kesepakatan, hakim di pengadilan dapat mempertimbangkan menurut rasa keadilan yang sewajarnya (Hilman Hadikusumo, 2007: 176).

  Menurut Asro Sogroatmojo dan Wasit Aulawi (1976: 90), penjelasan atas Pasal 35 Undang-undang Nomor Tahun 1974 bahwa apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing, mempunyai cukup lebih luas dari bunyi Pasal 37, yang membatasi diri sebagai berikut: Apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.

  Perpecahan pikiran yang ditimbulkan dari pertentangan antara syarat-syarat umum (putus) dan syarat khas (putus karena perceraian) bertambah karena dijumpai dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sesuatu ketentuan mengenai harta bersama itu, bila perkawinan putus bukan karena perceraian.

E. Teori Keadilan

1. Pengertian Keadilan

  Keadilan sering diartikan sebagai sesuatu sikap dan karakter Sikap dan karakter yang membuat orang melakukan perbuatan dan berharap atas keadilan adalah keadilan, sedangkan sikap dan karakter yang membuat orang bertindak dan berharap ketidakadilan adalah ketidakadilan.

  Pembentukan sikap dan karakter berasal dari pengamatan terhadap obyek tertentu yang bersisi ganda. Hal ini bisa berlaku dua dalil, yaitu; a. jika kondisi “baik” diketahui, maka kondisi buruk juga diketahui;

  b. kondisi “baik” diketahui dari sesuatu yang berada dalam kondisi “baik” Untuk mengetahui apa itu keadilan dan ketidakadilan dengan jernih, diperlukan pengetahuan yang jernih tentang salah satu sisinya untuk menentukan secara jernih pula sisi yang lain. Jika satu sisi ambigu, maka sisi yang lain juga ambigu. Secara umum dikatakan bahwa orang yang tidak adil adalah orang yang tidak patuh terhadap hukum (unlawful, lawless) dan orang yang tidak fair (unfair), maka orang yang adil adalah orang yang patuh terhadap hukum (law-abiding) dan fair. Karena tindakan memenuhi/mematuhi hukum adalah adil, maka semua tindakan pembuatan hukum oleh legislatif sesuai dengan aturan yang ada adalah adil. Tujuan pembuatan hukum adalah untuk mencapai kemajuan kebahagiaan masyarakat (Friedman W, 1998: 34).

  Semua tindakan yang cenderung untuk memproduksi dan mempertahankan kebahagiaan masyarakat adalah adil. Dengan demikian keadilan bisa disamakan dengan nilai-nilai dasar sosial. Keadilan yang lengkap bukan hanya mencapai kebahagiaan untuk diri sendiri, tetapi juga kebahagian orang lain. Keadilan yang dimaknai sebagai tindakan pemenuhan kebahagiaan diri sendiri dan orang lain, adalah keadilan sebagai sebuah nilai-nilai. Keadilan dan tata nilai dalam hal ini adalah sama tetapi memiliki esensi yang berbeda. Sebagai hubungan seseorang dengan orang lain adalah keadilan, namun sebagai suatu sikap khusus tanpa kualifikasi adalah nilai (Huijbers Theo, 1995: 53).

2. Konsep Keadilan

  Menurut Plato adalah seorang pemikir idealis abstrak yang mengakui kekuatan-kekuatan diluar kemampuan manusia sehingga pemikiran irasional masuk dalam filsafatnya. Demikian pula halnya dengan masalah keadilan, Plato berpendapat bahwa keadilan adalah diluar kemampuan manusia biasa.

  Sumber ketidakadilan adalah adanya perubahan dalam masyarakat. Kelas penguasa punya monopoli terhadap semua hal seperti keuntungan dan latihan militer, dan hak memiliki senjata dan menerima semua bentuk pendidikan, tetapi kelas penguasa ini tidak diperkenankan berpartisipasi dalam aktivitas perekonomian, terutama dalam usaha mencari penghasilan, a. Harus ada sensor terhadap semua aktivitas intelektual kelas penguasa, dan propaganda terus-menerus yang bertujuan untuk menyeragamkan pikiranpikiran mereka. Semua inovasi dalam pendidikan, peraturan, dan agama harus dicegah atau ditekan.

  b. Negara harus bersifat mandiri (self-sufficient). Negara harus bertujuan pada autarki ekonomi, jika tidak demikian, para penguasa akan bergantung pada para pedagang, atau justru para penguasa itu sendiri menjadi pedagang. Alternatif pertama melemahkan kekuasaan mereka, sedangkan alternative kedua akan melemahkan persatuan kelas penguasa dan stabilitas negaranya (Popper Karl R, 2002: 110).

  Doktrin-doktrin Aristoteles tidak hanya meletakkan dasar-dasar bagi teori hukum, tetapi juga kepada filsafat barat pada umumnya. Kontribusi Aristoteles bagi filsafat hukum adalah formulasinya terhadap masalah keadilan, yang membedakan antara: keadilan “distributive” dengan keadilan “korektif” atau “remedial” yang merupakan dasar bagi semua pembahasan teoritis terhadap pokok persoalan. Keadilan distributive mengacu kepada pembagian barang dan jasa kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat, dan perlakuan yang sama terhadap kesederajatan dihadapan hukum (equality before the law) (Sumaryono E, 2002: 7).

  Menurut John Rawls ( 1971: 101), bahwa keadilan pada dasarnya merupakan prinsip dari kebijakan rasional yang diaplikasikan untuk konsepsi jumlah dari kesejahteraan seluruh kelompok dalam masyarakat. Untuk mencapai keadilan tersebut, maka rasional jika seseorang memaksakan pemenuhan keinginannya sesuai dengan prinsip kegunaan, karena dilakukan untuk memperbesar keuntungan bersih dari kepuasan yang diperoleh oleh anggota masyarakatnya

  Ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat paling lemah. hal ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi. Pertama situasi ketidaksamaan menjamin maximum minorium bagi orang yang paling lemah. Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa, sehingga dihasilkan untung yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi orang-orang kecil. kedua, ketidak samaan diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang. maksudnya setiap orang memiliki diberikan peluang yang sama besar dalam hidup (Friedrich, 1999: 239).

  Kesamaan dapat meletakkan prinsip-prinsip keadilan, karena pada dasarnya hukum harus menjadi penuntun agar orang dapat mengambil posisi yang adil dengan tetap memperhatikan kepentingan individunya, dan bertindak proposional sesuai dengan haknya serta tidak melanggar hukum yang berlaku. Dengan demikian keadilan sangat berkaitan dengan hak dan kewajiban para pihak dalam melaksanakan kesepakatan perjanjian sebagai

  ).

  bentuk tanggung jawabnya John Rawls, 1971: 103

  (

3. Keadilan Dalam Islam

  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, keadilan sosial didefinisikan sebagai sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, berpegang pada kebenaran. Kata adil (al-'adl) berasal dari bahasa Arab, dan dijumpai dalam al-Qur'an, sebanyak 28 tempat yang secara etimologi bermakna pertengahan.Pengertian adil, dalam budaya Indonesia, berasal dari ajaran Islam. Kata ini adalah serapan dari kata Arab ‘adl. Secara etimologis, dalam kamus Al-Munawwir, al’adl berarti perkara yang tengah-tengah.

  Dengan demikian, adil berarti tidak berat sebelah, tidak memihak, atau menyamakan yang satu dengan yang lain (al-musâwah). Istilah lain dari al-

  ‘adl adalah al-qist, al-misl (sama bagian atau semisal). Secara terminologis,

  adil berarti mempersamakan sesuatu dengan yang lain, baik dari segi nilai maupun dari segi ukuran, sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat sebelah dan tidak berbeda satu sama lain. Adil juga berarti berpihak atau berpegang kepada kebenaran keadilan adalah meletakkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya atau menempatkan sesuatu pada proporsinya yang tepat dan memberikan kepada seseorang sesuatu yang menjadi haknya (Basyir Ahmad Azhar, 2000: 30).

  Keadilan dalam pelaksanaannya tergantung dari struktur-struktur kekuasaan dalam masyarakat, struktur-struktur mana terdapat dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan ideologi. Maka membangun keadilan berarti menciptakan struktur-struktur yang memungkinkan pelaksanaan keadilan. Masalah keadilan ialah bagaimanakah mengubah struktur-struktur kekuasaan yang seakan-akan sudah memastikan ketidakadilan, artinya yang memastikan bahwa pada saat yang sama di mana masih ada golongangolongan miskin dalam masyarakat, terdapat juga kelompok- kelompok yang dapat hidup dengan seenaknya karena mereka menguasai sebagian besar dari hasil kerja dan hak-hak golongan yang miskin itu (Franz Magnis Suseno, 1988: 45).

  Salah satu sumbangan terbesar Islam kepada umat manusia adalah prinsip keadilan sosial dan pelaksanaannya dalam setiap aspek kehidupan manusia. Islam memberikan suatu aturan yang dapat dilaksanakan oleh semua orang yang beriman. Setiap anggota masyarakat didorong untuk memperbaiki kehidupan material masyarakat tanpa membedakan bentuk, keturunan dan jenis orangnya. Setiap orang dipandang sama untuk diberi kesempatan dalam mengembangkan seluruh potensi hidupnya (Machnun Husein, 1984: 224).

  Bahwa Islam bertujuan membentuk masyarakat dengan tatanan sosial yang solid. Dalam tatanan itu, setiap individu diikat oleh persaudaraan dan kasih sayang bagai satu keluarga. Sebuah persaudaraan yang universal dan tak diikat batas geografis. Islam menganggap umat manusia sebagai suatu keluarga. Karenanya semua anggota keluarga itu mempunyai derajat yang sama dihapan Allah. Islam tidak membedakan pria ataupun wanita, putih atau hitam. Secara sosial, nilai yang membedakan satu dengan yang lain adalah ketakwaan, ketulusan hati, kemampuan dan pelayanannya pada kemanusiaan.

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENYAMPAIAN INFORMASI KEPADA KONSUMEN MELALUI IKLAN H. Tinjauan Umum Tentang Hukum Perlindungan Konsumen 1. Beberapa Peristilahan dalam Hukum Perlindungan Konsumen - Perlindungan Konsumen atas I

0 6 58

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG TRAFFICKING TERHADAP ANAK A. Pengertian Anak - Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Perdagangan Orang Menurut Konvensi Hak Anak 1989

0 5 24

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN A. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) - Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan

0 20 33

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA A. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen dan Pelaku Usaha - Kewajiban Pelaku Usaha Terhadap Perlindungan Konsumen Rumah Makan Menurut Hukum (Studi Pada Rumah Makan Kamang Jaya)

0 3 22

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PERLINDUNGAN ANAK DAN WANITA A. Perlindungan Anak Dan Wanita Di Indonesia - Aspek Hukum Perlindungan Anak Dan Wanita Sebagai Penumpang Angkutan Umum (Studi : Perum Damri Cabang Medan )

0 0 17

BAB II TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN KONSUMEN MENURUT UU No. 8 TAHUN 1999 A. Pengertian Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen - Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Pelabelan Produk Pangan Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999

0 9 44

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA A. Pengertian Perlindungan Hukum - Perlindungan Hukum terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam Kegiatan Produksi di PT. Sumo Internusa Indonesia.

0 2 40

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA A. Pengertian Perlindungan Hukum - Perlindungan Hukum terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam Kegiatan Produksi di PT. Sumo Internusa Indonesia.

1 6 40

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KANKER 1. Pengertian - HKERIYAH BAB II

0 0 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kehamilan 1. Pengertian - Suciati BAB II

0 0 80