BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA A. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen dan Pelaku Usaha - Kewajiban Pelaku Usaha Terhadap Perlindungan Konsumen Rumah Makan Menurut Hukum (Studi Pada Rumah Makan Kamang Jaya)

  Bab ini merupakan inti dalam tulisan ini yang menengahkan tentang upaya perlindungan hukum bagi konsumen rumah makan kamang jaya, pembinaan dan pengawasan Pemerintah Daerah dan instansi terkait terhadap produk rumah makan kamang jaya, dan penyelesaian sengketa antara konsumen dengan Rumah Makan Kamang Jaya.

  BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bab akhir yang berisi tentang kesimpulan yang merupakan jawaban ringkas terhadap permasalahan di dalam tulisan ini, dan saran yang merupakan sumbangsih pemikiran penulis terhadap permasalahan tersebut.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA A. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen dan Pelaku Usaha

  Istilah “konsumen” berasal dari alih bahasa dari consumer (Inggris-

   Amerika) atau consument/konsument (Belanda). Dalam peraturan perundang-

  undangan di Indonesia, istilah “konsumen” sebaai definisi yuridis formal ditemukan dalam UUPK dalam Pasal 1 angka 2 yang menyatakan, konsumen adalah setiap orang pemakai barang/jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lainnya dan tidak untuk diperdagangkan.

  Bila dilihat dari pengertian perundang-undangan di atas, maka terdapat beberapa unsur yang membentuk pengertian tentang konsumen yaitu : a.

  Setiap orang Subyek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah “orang” sebetulnya menimbulkan keraguan, hanya orang individual yang lazim disebut natuurlijke persoon atau termasuk juga badan hukum atau recht persoon.

  Hal ini berbeda dengan pengertian yang diberikan untuk pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 3 yang secara eksplisit membedakan kedua pengertian persoon di atas dengan menyebutkan kata-kata “orang- perseorangan atau badan usaha”. Tentu yang paling tepat tidak membatasi pengertian konsumen itu sebatas pada orang-perseorangan. Namun konsumen harus mencakup juga badan usaha dengan makna lebih luas daripada badan hukum.

  b. 9 Pemakai

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000, hal.1-2.

  Sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 1 angka 2 UUPK. Kata “pemakai” menekankan konsumen adalah konsumen akhir (ultimate costumer). Istilah pemakai dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan, barang dan/atau jasa yang dipakai tidak serta merta hasil dari transaksi jual beli. Artinya yang diartikan sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa itu. Dengan kata lain dasar hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha tidak harus kontraktual (the privity of contract).

  c.

  Barang dan/atau jasa Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa sebagai pengganti terminologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini produk telah berkonotasi barang atau jasa. Semula kata produk hanya mengacu pada pengertian barang. UUPK menggantikan barang sebagai setiap benda, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen, UUPK tidak menjelaskan perbedaan istilah-istilah “dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan”. Sementara itu jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.

  d.

  Yang tersedia dalam masyarakat

  Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran. Dalam perdagangan yang semakin kompleks dewasa ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh konsumen.

  e.

  Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain dan makhluk hidup. Unsur yang diletakkan dalam definisi itu mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu diperuntukkan bagi orang lain (di luar diri sendiri dan keluarganya), bahkan untuk makhluk hidup lain, seperti hewan dan tumbuhan.

  f.

  Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen di berbagai Negara. Secara teoritis hal demikian terasa cukup baik untuk mempersempit ruang lingkup pengertian konsumen, walaupun

   dalam kenyataannya sulit untuk menetapkan batas-batas seperti itu.

  Di antara ketentuan normatif itu terdapat Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (diberlakukan 5 Maret 2000 satu tahun setelah diundangkan). Undang-undang ini memuat suatu definisi tentang konsumen, yaitu setiap pemakai atau pengguna 10 Ibid, hal.3. barang dan/atau jasa baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan

   orang lain. Batasan itu mirip dan garis besar maknanya diambil alih oleh UUPK.

  Secara harfiah, konsumen diartikan sebagai seseorang yang membeli barang atau menggunakan jasa atau seseorang yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu, juga seseorang atau sesuatu yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang.

  Istilah “pelaku usaha” umumnya lebih dikenal dengan sebutan pengusaha. Pengusaha adalah setiap orang atau badan usaha yang menjalankan usaha memproduksi, menawarkan, menyampaikan atau mendistribusikan suatu produk kepada masyarakat luas selau konsumen. Pengusaha memiliki arti yang luas, tidak semata-mata membicarakan pelaku usaha, tetapi juga pedagang perantara atau pengusaha. Sedangkan pengertian pelaku usaha menurut Pasal 1 angka 3 UUPK adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

  Bila dilihat dari pengertian di atas, maka terdapat 4 (empat) unsur yang terkandung dalam pengertian pelaku usaha yaitu : a.

  Setiap orang perseorangan atau badan usaha.

  Yang termasuk badan usaha menurut pengertian ini adalah badan usaha 11 yang berbentuk badan hukum dan tidak berbadan hukum.

  Ibid, hal.1-2. b.

  Secara sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian.

  Terdapat beberapa macam pelaku usaha yaitu : 1.

  Orang perorangan 2. Badan usaha 3. Orang perseorangan dengan orang perseorangan lain 4. Orang perseorangan dengan badan usaha 5. Badan usaha dengan badan hukum.

  c.

  Menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

  Terdapat batasan yang membedakan antara pelaku usaha dengan pelaku usaha kegiatan lain, yaitu yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah mereka yang menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

  d.

  Didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia.

  Maksudnya adalah orang perseorangan atau badan hukum tersebut berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia. Khusus badan usaha, tidak harus didirikan dan berkedudukan di wilayah Republik Indonesia.

  Pelaku usaha dan konsumen merupakan pihak yang saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Pelaku usaha menyadari bahwa kelangsungan hidup usahanya tergantung pada konsumen. Demikian juga halnya konsumen yang tergantung pada pelaku usaha dalam pemenuhan kebutuhannya. Oleh karena itu, keseimbangan salam berbagai segi menyangkut kepentingan kedua belah pihak merupakan hal yang ideal.

  Berbicara mengenai perlindungan konsumen tentunya tidak terlepas dari peraturan-peraturan yang berlaku dalam hukum positif. Perlindungan hukum terhadap konsumen adalah sebuah penegakan hukum yang membutuhkan peraturan-peraturan berupa ancaman kepada si pelanggar. Hal ini tercermin dalam UUPK yang merupakan suatu perundangan di Indonesia dengan kepentingan pemberian perlindungan kepada konsumen.

  Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen itu sendiri.

  Menurut Pasal 1 angka 1 UUPK yang dimaksud dengan perlindungan konsumen yaitu segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

  Perlindungan konsumen memiliki cakupan yang sangat luas meliputi perlindungan konsumen barang dan jasa, yang berawal dari tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga ke akibat-akibat dari pemakaian barang dan

  

  jasa itu. Cakupan perlindungan konsumen terdiri dari 2 (dua) aspek yaitu : a.

  Perlindungan terhadap kemungkinan diserahkan kepada konsumen barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati atau 12 melanggar ketentuan undang-undang. Dalam kaitan ini termasuk Janus Sidabalok, op.cit, hal.10. persoalan-persoalan mengenai penggunaan bahan baku, proses produksi, proses distribusi, desain produk dan sebagainya, apakah telah sesuai dengan standar sehubungan dengan keamanan dan keselamatan konsumen atau tidak. Juga, persoalan tentang bagaimana konsumen mendapatkan penggantian jika timbul kerugian karena memakai atau mengkonsumsi produk yang tidak sesuai.

  b.

  Perlindungan terhadap diberlakukannya terhadap konsumen syarat-syarat yang tidak adil. Dalam kaitan ini termasuk persoalan-persoalan promosi dan periklanan, standar kontrak, harga, layanan, purnajual dan sebagainya. Hal ini berkaitan dengan perilaku produsen dalam memproduksi dan mengedarkan produknya.

  Dalam aspek yang pertama, persoalan barang yang dihasilkan dan diperdagangkan termasuk ke dalam tanggung jawab produk, yaitu tanggung jawab yang dibebankan kepada produsen karena barang yang diserahkan kepada konsumen itu mengandung cacat di dalamnya sehingga menimbulkan kerugian bagi konsumen yang erat kaitannya dengan ganti kerugian. Sedangkan aspek yang kedua, mencakup tentang cara konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang termasuk ke dalam standar kontrak yang mempersoalkan syarat-syarat perjanjian yang diberlakukan oleh produsen kepada konsumen pada saat konsumen hendak mendapatkan barang dan/atau jasa kebutuhannya.

  Batasan Hukum Perlindungan Konsumen sebagai bagian khusus dari Hukum Konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk konsumen antara penyedia dan penggunanya dalam

   kehidupan bermasyarakat.

B. Sejarah Perkembangan Perlindungan Konsumen di Indonesia

  Perkembangan Hukum Konsumen di dunia berawal dari adanya gerakan perlindungan konsumen pada abad ke-19, terutama ditandai dengan munculnya gerakan konsumen yang terjadi di Amerika Serikat yaitu saat terbentuknya Liga

   Konsumen untuk pertama kalinya di New York pada tahun 1891. Dalam

  perkembangannya gerakan konsumen terus bangkit, tidak hanya di negara maju tetapi juga menyebar sampai di Negara dunia ketiga. Organisasi-organisasi konsumen bersama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga semakin diperhitungkan keberadaannya. Mereka ikut dilibatkan dalam perundingan- perundingan organisasi perdagangan dunia (WTO). Kebijakan konsumen dan proteksi kesehatan konsumen saat ini sudah terintegrasi di banyak negara, termasuk negara dunia ketiga.

  Dalam perkembangan Hukum Perlindungan Konsumen, telah diatur dalam Resolusi PBB Nomor 39/248 tahun 1985. Dalam resolusi ini kepentingan

  

  konsumen yang harus dilindungi meliputi: a.

  Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanan.

  b.

  Promosi dan perlindungan kepentingan sosial ekonomi konsumen.

  13 14 A.Z.Nasution, op.cit, hal.3. 15 Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, op.cit, hal.12.

  Yusuf Sofie (Yusuf Sofie I), Percakapan Tentang Pendidikan Konsumen Dalam Kurikulum Fakultas Hukum , (Jakarta, YLKI, 1998), hal.2. c.

  Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka dalam melakukan pilihan yang tepat sesuai dengan kehendak dan kebutuhan pribadi.

  d.

  Pendidikan konsumen.

  e.

  Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif.

  f.

  Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen.

  Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia baru mulai terjadi pada dekade 1970-an. Hal ini ditandai dengan berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen

   Indonesia (YLKI) pada bulan Mei 1973 yang diketuai oleh Lasmidjah Hardi.

  YLKI merupakan salah satu Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) yang dapat dikatakan sebagai pelopor gerakan perlindungan konsumen pertama di tanah air. Tujuan pendirian lembaga ini adalah untuk membantu konsumen agar hak-haknya dapat terlindungi. Di samping itu, tujuan YLKI adalah untuk meningkatkan kesadaran kritis konsumen tentang hak dan tanggung jawabnya sehingga dapat melindungi dirinya sendiri dan lingkungannya.

  Ketika itu gagasan perlindungan konsumen disampaikan secara luas melalui berbagai kegiatan advokasi konsumen, seperti pendidikan, penelitian, pengujian, pengaduan dan publikasi media konsumen. Beberapa di antara kegiatan

  

  tersebut adalah sebagai berikut:

  16 17 Shidarta, op.cit., hal.1-2.

  A.Z.Nasution (A.Z.Nasution I), Perlindungan Konsumen Tinjauan Singkat UU No.8/1999-LN 1999.42 , (Jakarta: Daya Widjaya, 1999), hal.23. a.

  Seminar Pusat Studi Hukum Dagang, Fakultas Hukum Universitas Indonesia tentang Masalah Perlindungan Konsumen (15-16 Desember 1975).

  b.

  Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI, Penelitian tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia (proyek tahun 1979-1980).

  c.

  BPHN – Departemen Kehakiman, Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan tentang Perlindungan Konsumen (Proyek tahun 1980-1981).

  d.

  Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Perlindungan Konsumen Indonesia, suatu sumbangan pemikiran tentang rancangan Undang-undang Perlindungan Konsumen (tahun 1981).

  e.

  Departemen Perdagangan RI bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen (tahun 1992).

  f.

  Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI, rancangan Undang- undang Perlindungan Konsumen (tahun 1997).

  g.

  DPR RI, Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif DPR tentang Undang- undang Perlindungan Konsumen, Desember 1998.

  Ketika YLKI berdiri, kondisi politik bangsa Indonesia saat itu masih dibayang-bayangi dengan kampanye penggunaan produk dalam negeri. Namun seiring perkembangan waktu, gerakan perlindungan konsumen (seperti YLKI) dilakukan melalui koridor hukum yang resmi, yaitu bagaimana memberikan bantuan kepada masyarakat atau konsumen.

  Pada masa Orde Baru, pemerintah dan DPR tidak memiliki keinginan yang besar untuk mewujudkan sebuah undang-undang tentang perlindungan konsumen yang gerakannya telah dipelopori oleh YLKI selama bertahun-tahun. Barulah pada era Reformasi, keinginan terwujudnya undang-undang perlindungan konsumen dapat terpenuhi. Pada masa pemerintahan Bapak B.J.Habibie, tepatnya pada tanggal 20 April 1999, rancangan undang-undang perlindungan konsumen secara resmi disahkan sebagai Undang-undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 (UUPK).

  

C. Hukum Perlindungan Konsumen Serta Hak Dan Kewajiban Konsumen

Dan Pelaku Usaha

a. Hukum perlindungan konsumen

  Setiap manusia pada dasarnya membutuhkan barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan manusia sangat beraneka ragam dan dapat dibedakan atas berbagai macam kebutuhan. Jika dilihat dari tingkatannya, maka kebutuhan konsumen dapat terjadi menjadi tiga yaitu kebutuhan primer, sekunder dan tersier. Selain itu, kebutuhan manusia juga dapat dibagi menjadi kebutuhan jasmani dan rohani.

  Dengan adanya bermacam-macam dan berbagai jenis kebutuhan tersebut maka setiap manusia akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik berupa barang maupun jasa. Berbagai kebutuhan tersebut ditawarkan oleh pelaku usaha sehingga tercipta hubungan timbal balik antara konsumen dan pelaku usaha serta saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Aneka ragam barang dan/atau jasa yang ditawarkan oleh para pelaku usaha kepada konsumen sebagai

   sebuah hubungan timbal balik.

  Terdapat saling ketergantungan dan membutuhkan antara konsumen dan pelaku usaha, sehingga sudah seharusnya kedudukan konsumen dan pelaku usaha berada pada posisi yang seimbang. Namun dalam kenyataannya, kedudukan konsumen dan pelaku usaha tidaklah seimbang. Konsumen seringkali berapa pada posisi atau kedudukan yang lemah bila dibandingkan dengan kedudukan pelaku usaha.

  Salah satu yang menyebabkan kedudukan konsumen lebih lemah bila dibandingkan dengan kedudukan pelaku usaha adalah konsumen pada umumnya kurang mendapatkan akses informasi dan/atau informasi yang benar, jelas dan dapat dipertanggungjawabkan dari suatu barang atau jasa. Konsumen tidak memiliki kesempatan dan sarana yang cukup untuk mengakses berbagai informasi yang dibutuhkan dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan suatu barang dan/atau jasa. Hal ini dapat terjadi karena pelaku usaha sebagai pihak yang memproduksi dan menawarkan barang dan/atau jasa tidak memberikan informasi yang jelas mengenai keadaan, cara penggunaan atau jaminan atas barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada konsumen. Bahkan seringkali, pelaku usaha memberikan informasi yang menyesatkan, mengelabui atau tidak jujur kepada konsumen demi kepentingan sepihak untuk memperoleh keuntungan yang semaksimal mungkin tanpa memperdulikan konsumen. Kurangnya informasi dan 18 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Sendi-sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1989), hal.43. akses informasi ini mempunyai dampak yang cukup besar bagi konsumen, terutama dalam memperoleh kenyamanan, keamanan dan keselamatan dan/atau kesehatan dalam mengkonsumsi suatu barang dan/atau jasa.

  Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa kedudukan konsumen berapa pada posisi yang lebih lemah dibandingkan dengan kedudukan pelaku usaha.

  Ketidakseimbangan kedudukan antara konsumen dan pelaku usaha inilah yang menyebabkan pentingnya suatu perlindungan konsumen ditegakkan dan dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku, yaitu UUPK sehingga konsumen berada pada posisi yang seimbang dengan kedudukan pelaku usaha.

b. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha

  Sebagai pemakai barang dan/atau jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang dapat bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya jika diketahui adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara spontan akan menyadari hal itu. Konsumen kemudian juga dapat bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain ia tidak hanya tinggal diam ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.

  Menurut Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka dalam bukunya “Sendi-sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum”, hak adalah peranan atau role yang

   bersifat fakultatif karena tidak boleh tidak dilaksanakan.

  Hak-hak yang dapat melindungi konsumen tersebut diperjuangkan oleh YLKI dikenal dengan nama Panca Hak Konsumen yang terdiri dari: 19 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, op.cit, hal.41. a.

  Hak untuk mendapatkan keamanan dan keselamatan.

  Konsumen memiliki hak untuk memperoleh perlindungan atas keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi suatu barang atau jasa tertentu apabila terjadi sesuatu hal yang dapat membahayakan kesehatan dan keamanan tubuh serta keselamatan jiwanya.

  b.

  Hak untuk mendapatkan informasi yang benar dan jujur.

  Konsumen memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang benar, jujur serta lengkap dari suatu produk barang atau jasa. Hak ini merupakan perlindungan bagi konsumen terhadap informasi yang mengelabui, menyesatkan atau menipu.

  c.

  Hak untuk memilih barang atau jasa yang dibutuhkan.

  Konsumen memiliki hak untuk memilih barang atau jasa sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya, namun konsumen tetap mendapatkan jaminan mutu dan pelayanan yang memuaskan. Dengan pemenuhan hak ini diharapkan konsumen terhindar dari kerugian.

  d.

  Hak untuk didengar pendapatnya.

  Konsumen berhak untuk menyampaikan pendapat dan masalahnya secara pribadi atau bersama-sama, baik mengenai hal-hal yang merugikan mereka maupun hal-hal yang dianggap dapat menimbulkan kerugian bagi diri mereka.

  e.

  Hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat.

  Konsumen memiliki hak untuk mendapatkan lingkungan yang bersih dan sehat, yang menjamin ketenangan, kenyamanan dan kesehatan hidupnya beserta keluarga. Konsumen harus dilindungi apabila lingkungan tempat ia tinggal atau melakukan aktivitas tercemar oleh kegiatan industri yang dilakukan oleh produsen atau pengusaha tertentu. Dalam perkembangan kemudian, hak-hak konsumen berkembang lebih lanjut dari Panca Hak Konsumen dengan penambahan 1 (satu) hak konsumen yang tak kalah pentingnya yaitu: f. Hak untuk mendapatkan ganti rugi.

  Konsumen memiliki hak untuk mendapatkan ganti rugi apabila ia berada pada posisi yang dirugikan oleh produsen atau pengusaha. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa hubungan antara produsen dan konsumen merupakan hubungan yang saling menguntungkan sehingga tidak seharusnya kedudukan salah satu pihak justru dirugikan dengan adanya hubungan tersebut.

  Selain itu, hak-hak konsumen juga diatur dalam Pasal 4 UUPK, yaitu : a.

  Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.

  b.

  Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.

  c.

  Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. d.

  Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang/atau jasa yang digunakan.

  e.

  Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

  f.

  Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.

  g.

  Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

  h.

  Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. i.

  Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya. Selain memiliki hak, sebagai subyek hukum konsumen juga memiliki tanggung jawab yang harus dilaksanakan. Dalam melaksanakan tanggung jawab terkandung pemenuhan kewajiban bagi konsumen yang harus dilaksanakannya sebelum menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

  Terdapat 5 (lima) hal yang merupakan kewajiban konsumen sebagai ikhtiar tercapainya perlindungan konsumen yaitu : a.

  Bersikap kritis.

  Secara kritis dalam berkonsumsi merupakan suatu sikap hidup yang baik untuk menghindarkan kerugian serta penyesalan yang mungkin timbul di kemudian hari. Konsumen sangat diharapkan dapat bertanggung jawab untuk bertindak lebih waspada dan kritis, baik terhadap harga maupun mutu barang atau jasa yang digunakan, serta akibat lain yang mungkin ditimbulkan.

  b.

  Berani bertindak.

  Keberanian konsumen bertindak atas dasar kesadaran diri sendiri, bertujuan untuk memperkuat posisi konsumen agar konsumen diperlakukan secara adil oleh produsen atau pengusaha, serta mendapat perhatian lebih dari pemerintah.

  c. memiliki kepedulian sosial.

  Perilaku berkonsumsi konsumen hendaknya tidak berlebihan agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial. Konsumen perlu mempertimbangkan sikap berkonsumsinya, terutama akibatnya terhadap masyarakat sekitar.

  d.

  Tanggung jawab terhadap lingkungan hidup.

  Dalam mengkonsumsi suatu barang atau jasa, khususnya yang mempunyai akses bagi pencemaran alam sekitar, hendaknya konsumen mempertimbangkan dan memperhitungkan pula dampaknya terhadap lingkungan hidup.

  e.

  Memiliki rasa setia kawan.

  Rasa setia kawan diperlukan dalam rangka menggalang kekuatan guna mempengaruhi dan memperjuangkan kepentingan-kepentingan konsumen.

  Tujuannya agar produsen atau pedagang tidak lagi dapat berbuat seenaknya terhadap konsumen, sehingga diharapkan hak-hak konsumen dapat lebih terlindungi dan kerugian konsumen dapat diminimalisir.

  Selain itu kewajiban konsumen juga diatur dalam Pasal 5 UUPK yaitu sebagai berikut: a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.

  b.

  Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.

  c.

  Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.

  d.

  Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

  Beberapa kewajiban ini juga diperuntukkan sebagai balance dari hak-hak yang telah diperoleh konsumen. Itu dimaksudkan agar konsumen sendiri dapat memperoleh hasil yang optimal atas perlindungan dan/atau kepastian hukum bagi dirinya.

  Adapun sejumlah kewajiban tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut : a.

  Membaca atau mengikuti petunjuk informasi pemakaian dan pemanfaatan barang/jasa. Tujuannya adalah untuk menjaga keamanan dan keselamatan bagi konsumen itu sendiri. Oleh karena itu, konsumen perlu membaca dan meneliti label, etiket, kandungan barang dan jasa, serta tata cara penggunaannya.

  b.

  Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang/jasa. Itikad baik sangat diuperlukan ketika konsumen akan bertransaksi. Dengan itikad yang baik, kebutuhan konsumen terhadap barang dan jasa yang diinginkannya dapat terpenuhi dengan penuh kepuasan.

  c.

  Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. Konsumen perlu membayar barang dan jasa yang telah dibeli, tentunya dengan nilai tukar rupiah yang disepakati.

  d.

  Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Ketika dirasa ada keluhan terhadap barang/jasa yang telah didapat, konsumen perlu secepatnya menyelesaikan masalah tersebut dengan pelaku usaha. Perlu diperhatikan agar penyelesaian masalah sedapat mungkin dilakukan dengan cara damai. Jika tidak ditemui titik penyelesaian, cara hukum dapat dilakukan asalkan memperhatikan norma dan prosedur yang berlaku. Istilah “pelaku usaha” umumnya lebih dikenal dengan sebutan pengusaha. Pengusaha adalah setiap orang atau badan usaha yang menjelaskan usaha memproduksi, menawarkan, menyampaikan atau mendistribusikan suatu produk kepada masyarakat luas selaku konsumen. Pengusaha memiliki arti yang luas, tidak semata-mata membicarakan produsen, tetapi juga pedagang perantara atau pengusaha. Sedangkan pengertian pelaku usaha menurut Pasal 1 angka 3 UUPK adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

  Untuk memberi kepastian hukum dan untuk memperjelas hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing pihak yang saling berinteraksi, penjelasan dan penjabaran hak dan kewajiban pelaku usaha tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan hak dan kewajiban konsumen itu sendiri.

  Berdasarkan Pasal 6 UUPK, hak-hak pelaku usaha antara lain : a. Hak untuk mendapatkan pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

  b.

  Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.

  c.

  Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.

  d.

  Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

  e.

  Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

  Sebagai konsekuensi dari adanya hak konsumen yang telah disebutkan pada uraian sebelumnya, maka kepada pelaku usaha dibebankan pula kewajiban- kewajiban yang diatur dalam Pasal 7 UUPK yaitu : a.

  Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

  b.

  Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. c.

  Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

  d.

  Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.

  e.

  Memberikan kesempatan kepda konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.

  f.

  Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

  g.

  Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Dokumen yang terkait

Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha Apotek Terhadap Obat Yang Mengandung Cacat Tersembunyi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Studi Pada Apotek Yakin Sehat)

12 118 111

Kewajiban Pelaku Usaha Terhadap Perlindungan Konsumen Rumah Makan Menurut Hukum (Studi Pada Rumah Makan Kamang Jaya)

4 70 126

Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Melalui Kontrak Baku Dan Asas Kepatutan Dalam Perlindungan Konsumen : Studi Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha dengan Konsumen Perumahan

3 88 422

Tinjauan Terhadap Perjanjian Antara Pelaku Usaha Dengan Konsumen Jasa Layanan Kesehatan Dalam Kaitannya Dengan Hukum Perlindungan Konsumen

0 51 104

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENYAMPAIAN INFORMASI KEPADA KONSUMEN MELALUI IKLAN H. Tinjauan Umum Tentang Hukum Perlindungan Konsumen 1. Beberapa Peristilahan dalam Hukum Perlindungan Konsumen - Perlindungan Konsumen atas I

0 6 58

BAB II TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha. - Analisis Yuridis Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Telepon Seluler Akibat Itikad Buruk Layanan Jasa Telekomunikasi (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2995 K/Pdt/2012)

0 0 22

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA - Tinjauan Yuridis Terhadap Penerapan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/Pojk.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan Terhadap Perlindungan Konsumen Perbankan Di Ind

0 0 27

BAB II KEBERADAAN LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN SWADAYA MASYARAKAT DI INDONESIA A. Perlindungan Konsumen Di Indonesia - Pelaksanaan Tugas Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Terkait Adanya Sengketa-Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Nomo

0 0 34

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUBUNGAN PELAKU USAHA DENGAN KONSUMEN A. Pengertian Pelaku Usaha - Analisis Mengenai Tanggung Jawab Pelaku Usaha Dalam Memberikan Informasi Produk Melalui Transaksi E-Commerce (Studi Pada AUTO 2000-Medan)

0 0 27

BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN - Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah Apabila Terjadi Force Majeure (Studi Pada PT. Daya Prima Indonesia)

0 0 30