BAB II LANDASAN TEORI - PENGARUH PROFITABILITAS, LIKUIDITAS DAN UKURAN PERUSAHAAN TERHADAP KEBIJAKAN DIVIDEN (Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Industri Barang Konsumsi Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Tahun 2014-2016) - UMBY repository

BAB II LANDASAN TEORI Laporan Keuangan 2.1. Laporan Keuangan merupakan ringkasan dari suatu proses pencatatan,

  merupakan suatu ringkasan dari transaksi keuangan yang terjadi selama tahun buku yang bersangkutan (Baridwan, 2013). Secara umum laporan keuangan adalah catatan informasi keuangan suatu perusahaan pada suatu periode akuntansi yang dapat digunakan untuk menggambarkan kinerja perusahaan tersebut (Sujarweni, 2017). Laporan keuangan merupakan salah satu sumber informasi yang penting bagi pemakaian laporan keuangan dalam rangka pengambilan keputusan ekonomi (Hery, 2015).

2.2 Jenis Laporan Keuangan

  Menurut SAK ETAP (2009), Laporan keuangan yang lengkap meliputi :

1. Neraca

  Neraca merupakan bagian dari laporan keuangan suatu perusahan yang dihasilkan pada suatu periode akuntansi yang menunjukkan posisi keuangan perusahaan pada akhir periode tersebut. Neraca minimal mencakup pos-pos berikut: kas dan setara kas; piutang usaha dan piutang lainnya; persediaan; properti investasi; aset tetap; aset tidak berwujud; utang usaha dan utang lainnya; aset dan kewajiban pajak; kewajiban diestimasi; ekuitas.

  2. Laporan laba rugi Laporan laba rugi menyajikan hubungan antara penghasilan dan beban dari entitas. Laba sering digunakan sebagai ukuran kinerja atau sebagai dasar untuk pengukuran lain, seperti tingkat pengembalian investasi atau laba per saham. Unsur-unsur laporan keuangan yang secara langsung terkait dengan pengukuran laba adalah penghasilan dan beban. Laporan laba rugi minimal mencakup pos-pos sebagai berikut: pendapatan; beban keuangan; bagian laba atau rugi dari investasi yang menggunakan metode ekuitas; beban pajak; laba atau rugi neto.

  3. Laporan perubahan ekuitas Dalam laporan ini menunjukkan Seluruh perubahan dalam ekuitas untuk suatu periode, termasuk di dalamnya pos pendapatan dan beban yang diakui secara langsung dalam ekuitasuntuk periode tersebut, pengaruh perubahan kebijakan akuntansi dan koreksi kesalahan yang diakui dalam periode tersebut. Perubahan ekuitas selain perubahan yang timbul dari transaksi dengan pemilik dalam kapasitasnya sebagai pemilik termasuk jumlah investasi, penghitungan dividen dan distribusi lain ke pemilik ekuitas selama suatu periode.

  4. Laporan arus kas Laporan arus kas menyajikan informasi perubahan historis atas kas dan setara kas entitas, yang menunjukkan secara terpisah perubahan yang terjadi selama satu periode dari aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan.

  5. Catatan atas laporan keuangan Yang berisi ringkasan kebijakan akuntansi yang signifikan dan informasi penjelasan lainnya. Catatan atas laporan keuangan berisi informasi sebagai tambahan informasi yang disajikan dalam laporan keuangan. Catatan atas laporan keuangan memberikan penjelasan naratif atau rincian jumlah yang disajikan dalam laporan keuangan dan informasi pos-pos yang tidak memenuhi kriteria pengakuan dalam laporan keuangan.

2.3 Analisis Laporan Keuangan

  Menurut Kasmir (2017) agar laporan keuangan menjadi lebih berarti sehingga dapat dipahami dan dimengerti oleh berbagai pihak, perlu dilakukan analisis laporan keuangan. Bagi pihak pemilik dan manajemen, tujuan utama analisis laporan keuangan adalah agar dapat mengetahui posisi keuangan perusahaan saat ini. Dengan mengetahui posisi keuangan, setelah dilakukan analisis laporan keuangan secara mendalam akan melihat apakah perusahaan dapat mencapai target yang telah direncanakan sebelumnya atau tidak. Analisis laporan keuangan merupakan suatu metode yang membantu para pengambil keputusan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan perusahaan melalui informasi yang didapat dalam laporan keuangan keuangan (Hery, 2015). Menurut Harahap (2015) analisis laporan keuangan berarti menguraikan akun-akun laporan keuangan menjadi unit informasi yang lebih kecil dan melihat hubungannya yang bersifat signifikan atau yang mempunyai makna antara yang satu dengan yang lain baik antara data kuantitatif maupun data non kuantitatif dengan tujuan untuk mengetahui kondisi keuangan yang lebih dalam yang sangat penting dalam proses menghasilkan keputusan yang tepat.

2.4. Rasio Keuangan

2.4.1 Pengertian Rasio Keuangan

  Menurut Kasmir (2017) rasio keuangan merupakan kegiatan membandingkan angka-angka yang ada dalam laporan keuangan dengan cara membagi angka dengan angka lainnya. Perbandingan dapat dilakukan antar satu komponen dengan komponen dalam satu laporan keuangan atau antar komponen yang ada diantara laporan keuangan. Kemudian angka-angka yang diperbandingkan dapat dalam satu periode maupun beberapa periode. Hasil rasio keuangan ini untuk menilai hasil kerja manajemen apakah mencapai target seperti yang telah ditetapkan. Kemudian juga dapat menilai kemampuan manajemen dan memperdayakan sumber perusahaan secara efektif. Dari kinerja yang dihasilkan ini juga dapat dijadikan sebuah evaluasi hal-hal yang perlu dilakukan kedepan agar kinerja manajemen dapat ditingkatkan atau dipertahankan sesuai dengan target perusahaan. Menurut Hery (2015) rasio keuangan merupakan suatu perhitungan rasio dengan menggunakan laporan keuangan yang bersifat sebagai alat ukur dalam menilai kondisi keuangan dan kinerja perusahaan.

2.4.2 Rasio Profitabilitas

  Profitabilitas merupakan rasio untuk mengukur besarnya kemampuan suatu perusahaan untuk memperoleh keuntungan ditinjau dari kemampuan perusahaan yang bersangkutan dalam memperoleh laba dibanding dengan jumlah aktiva yang dimilikinya (Sartono, 2001). Menurut Hanafi dan Halim (2006), Profitabilitas adalah rasio untuk mengukur besarnya kemampuan suatu perusahaan didalam memperoleh keuntungan. Terdapat tiga rasio untuk mengukur profitabilitas yaitu: 1)

  Mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan laba bersih berdasarkan tingkat aktiva tertentu.

  2) Mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan laba bersih pada tingkat penjualan tertentu.

  3) Mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan laba berdasarkan model saham tertentu.

  Secara sederhana profitabilitas dapat diterjemahkan sebagai keuntungan yang diperoleh perusahaan (Riyanto, 1999). Perusahaan dengan profitabilitas yang tinggi biasanya cenderung menggunakan hutang yang lebih kecil, karena perusahaan merasa mampu untuk menyediakan dana yang cukup, yaitu melalui laba yang di tahan yang akan memperbesar modal sendiri (Sartono, 2001).

  Seringkali pengamatan menunjukkan bahwa perusahaan dengan tingkat pengembalian yang tinggi atas investasi menggunakan hutang yang relatif kecil. Karena modal sendiri yang tinggi dirasa sudah memadai untuk membiayai sebagian besar kebutuhan pendanaan (Brigham dan Houston, 2004). Menurut Hery (2015) Profitabilitas dapat diukur dengan beberapa rasio antara lain: 1)

  Return On Assets (Hasil Pengembalian atas Aset) Rasio yang menunjukkan hasil (return) atas penggunaan aset perusahaan dalam menciptakan laba bersih. Dengan kata lain rasio ini digunakan untuk mengukur seberapa besar jumlah laba bersih yang akan dihasilkan dari setiap rupiah dana yang tertanam dalam total aset. Rumusnya yaitu:

  Return On Assets = Laba bersih Total Asset

  2) Return On Equity (Hasil Pengembalian atas Ekuitas)

  Rasio yang menunjukkan hasil (return) atas penggunaan ekuitas perusahaan dalam menciptakan laba bersih. Dengan kata lain rasio ini digunakan untuk mengukur seberapa besar jumlah laba bersih yang akan dihasilkan dari setiap rupiah dana yang tertanam dalam total ekuitas.

  Rumusnya yaitu:

  Return On Equity = Laba bersih Total Ekuitas

  3) Gross Profit Margin (Margin Laba Kotor)

  Rasio yang digunakan untuk mengukur besarnya presentase laba kotor atas penjualan bersih. Rumusnya yaitu:

  Gross Profit Margin = Laba kotor

Penjualan bersih

  4) Operating Profit Margin (Margin Laba Operasional)

  Rasio yang digunakan untuk mengukur besarnya presentase laba operasional atas penjualan bersih. Rumusnya yaitu:

  Operating Profit Margin = Laba Operasional Penjualan bersih

  5) Net Profit Margin (Margin Laba Operasional)

  Rasio yang digunakan untuk mengukur besarnya presentase laba bersih atas penjualan bersih. Rumusnya yaitu:

  Net Profit Margin = Laba bersih Penjualan bersih

2.4.3 Rasio Likuiditas

  Likuiditas merupakan rasio yang menunjukkan hubungan antara aset lancar yang dimiliki perusahaan dengan kewajiban lancar yang dimiliki perusahaan. Biasanya rasio ini digunakan perusahaan untuk mengukur sejauh mana kemampuan perusahaan untuk memenuhi seluruh kewajiban jangka pendeknya (Brigham dan Houston, 2004). Menurut Brigham dan Houston (2004) Likuiditas dapat diukur dengan beberapa rasio antara lain: 1)

  Current Ratio (Rasio Lancar) Rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya yang segera jatuh tempo dengan menggunakan total aset lancar yang tersedia. Dengan kata lain, rasio lancar ini menggambarkan seberapa besar jumlah ketersediaan aset lancar yang dimiliki perusahaan dibandingkan dengan total kewajiban lancar (Hery, 2015). Rumusnya yaitu:

  Current Ratio = Asset Lancar Kewajiban Lancar

  2) Quick Ratio (Rasio Lancar)

  Rasio yang digunakan perusahaan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka pendeknya dengan menggunakan aktiva yang lebih likuid (Sujarweni, 2017). Rumusnya yaitu:

  Quick Ratio = Aktiva Lanca - Persediaan Hutang Lancar

  3) Cash Ratio (Rasio Kas)

  Cash ratio (CR) merupakan salah satu ukuran likuiditas yang dihitung

  berdasarkan perbandingan antara saldo kas akhir tahun dengan utang lancar perusahaan (Gitman, 2003 dalam Suwetja, 2014). Sebenarnya semakin tinggi rasio ini, akan semakin baik kesempatan kas untuk membayar kewajiban jangka pendeknya. Tapi bila dianggap terlalu tinggi, maka akan menjadi tidak efisien. Hal ini dikarenakan kas tidak disimpan terlalu berlebihan. Bisa digunakan untuk membayar hutang lebih cepat, atau membeli aset tetap yang dapat berguna untuk kegiatan operasional perusahaan (Munthe, 2012).Rumusnya yaitu:

  Cash Ratio = Kas Utang Lancar

2.4.4 Rasio Solvabilitas

  Rasio yang digunakan untuk mengukur sejauh mana aktiva perusahaan dibiayai dengan utang atau rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk membayar seluruh kewajibannya, baik jangka pendek maupun jangka panjang apabila perusahaan dibubarkan atau dilikuidasi (Kasmir, 2008 dalam Widiyanti, 2014). Jenis-jenis Rasio Solvabilitas yaitu:

  1) Debt To Asset Ratio (Debt Ratio)

  Rasio utang yang digunakan untuk mengukur perbandingan antara total utang dengan total aktiva. Apabila rasionya tinggi, artinya pendanaan dengan utang semakin banyak, maka semakin sulit bagi perusahaan untuk memperoleh pinjaman karena dikhawatirkan perusahaan tidak mampu menutupi utang-utangnya dengan aktiva yang dimilikinya. Demikian pula apabila rasionya rendah, semakin kecil perusahaan dibiayai dengan utang.

  Standar pengukuran rata-rata industri adalah 35% (Kasmir, 2008 dalam Widiyanti, 2014). Rumusnya yaitu:

  Debt To Asset Ratio = Total Hutang Total Akitiva

  2) Debt To Equity Ratio Merupakan rasio yang digunakan untuk menilai utang dengan ekuitas.

  Standar umum rata-rata industri sebesar 90%, bila diatas rata-rata perusahaan dianggap kurang baik (Kasmir, 2008 dalam Widiyanti, 2014).

  Rumusnya yaitu:

  Debt To Equity Ratio = Total Utang Total Ekuita s

  3) Long Term Debt To Equity Ratio

  Rasio antara utang jangka panjang dengan modal sendiri. Tujuannya adalah untuk mengukur berapa bagian dari setiap rupiah modal sendiri yang dijadikan jaminan utang jangka panjang dengan cara membandingkan antara utang jangka panjang dengan modal sendiri yang disediakan oleh perusahaan (Kasmir, 2008 dalam Widiyanti, 2014). Rumusnya yaitu:

  Long Term Debt To Equity Ratio= Total Utang Jangka Panjang Total Ekuitas

2.4.5 Rasio Aktivitas (Activity Ratio)

  Mengukur tingkat efisiensi pemanfaatan sumber daya perusahaan (penjualan, sediaan, penagihan piutang, dan lainnya) atau rasio untuk menilai kemampuan perusahaan dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari (Kasmir, 2008 dalam Widiyanti, 2014). Jenis-jenis Rasio Aktivitas (Activity Ratio) yaitu:

  1) Receivable Turn Over (Perputaran Piutang)

  Rasio untuk mengukur berapa lama penagihan piutang selama satu periode atau berapa kali dana yang ditanam dalam piutang ini berputar dalam satu periode. Standar umum rata-rata industri untuk perputaran piutang adalah 15 kali. Semakin tinggi rasio menunjukkan bahwa modal kerja yang ditanamkan dalam piutang semakin rendah dan tentunya kondisi ini bagi perusahaan semakin baik. Sebaliknya jika rasio semakin rendah ada over dalam piutang (Kasmir, 2008 dalam Widiyanti, 2014).

  investment

  Rumusnya yaitu:

   Receivable Turn Over = Penjualan Kredit Piutang

  2) Inventory Turn Over (Perputaran Persediaan)

  Rasio untuk mengukur berapa kali dana yang ditanam dalam sediaan (inventory) ini berputar dalam suatu periode. Standar umum rata-rata industri adalah 20 kali. Apabila mencapai sampai 20 kali berarti inventory

  turn over lebih baik, perusahaan tidak menahan sediaan dalam jumlah

  yang berlebihan. Apabila rasio yang diperoleh tinggi, ini menunjukkan perusahaan bekerja secara efisien dan likuid persediaan semakin baik.

  Demikian pula apabila perputaran sediaan rendah berarti perusahaan bekerja secara tidak efisien atau tidak produktif dan banyak barang sediaan yang menumpuk. Hal ini akan mengakibatkan investasi dalam tingkat pengembalian yang rendah (Kasmir, 2008 dalam Widiyanti, 2014).

  Rumusnya yaitu:

  Inventory Turn Over = Sales Inventory

  3) Working Capital Turn Over (Perputaran Modal Kerja)

  Mengukur atau menilai keefektifan modal kerja perusahaan selama periode tertentu. Artinya seberapa banyak modal kerja berputar selama suatu periode atau dalam suatu periode. Untuk mengukur rasio ini, dibandingkan antara penjualan dengan modal kerja atau dengan modal kerja rata-rata.

  Apabila perputaran modal kerja yang rendah, dapat diartikan perusahaan sedang kelebihan modal kerja. Hal ini mungkin disebabkan karena rendahnya peputaran persediaan atau piutang atau saldo kas yang terlalu besar. Demikian pula sebaliknya jika perputaran modal kerja tinggi, mungkin disebabkan tingginya perputaran persediaan atau perputaran piutang atau saldo kas yang terlalu kecil. Rata-rata industri untuk perputaran modal kerja adalah 6 kali (Kasmir, 2008 dalam Widiyanti, 2014). Rumusnya yaitu:

  Working Capital Turnover = Sales Net Working Capital

  4) Total Assets Turn Over (Perputaran Total Aktiva)

  Mengukur perputaran semua aktiva yang dimiliki perusahaan dan mengukur berapa jumlah penjualan yang diperoleh dari tiap rupiah aktiva..

  Standar umum rata-rata industri untuk rasio ini adalah 2 kali, jika dibawah standar berarti perusahaan belum mampu memaksimalkan aktiva yang dimiliki dan perusahaan diharapkan meningkatkan lagi penjualannya atau mengurangi sebagian aktiva yang kurang produktif (Kasmir, 2008 dalam Widiyanti, 2014).

  Total Assets Turn Over = Sales Total Assets

2.4.6 Rasio Nilai Pasar

  Rasio ini digunakan untuk mengukur harga saham perusahaan relatif terhadap nilai bukunya. Rasio yang digunakan yaitu: Price Earning Ratio (PER) dan Earning Per Share (EPS).

  Price Earning Ratio (PER) merupakan perbandingan antara harga pasar

  suatu saham (market price) dengan laba perlembar saham, dan merupakan indikator perkembangan perusahaan di masa mendatang. Menurut (Murhadi, 2013 dalam Sutomo dan Ardini, 2017) Price to Earning Ratio menggambarkan perbandingan antara harga pasar dengan pendapatan per lembar saham. Perusahaan yang mempunyai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang lebih besar adalah perusahaan yang memiliki price earning ratio yang tinggi. Semakin tinggi ratio PER, semakin tinggi pertumbuhan laba yang diharapkan oleh pemodal. Apabila PER perusahaan tinggi, maka saham perusahaan dapat memberikan reaksi pasar yang tinggi bagi para investor.

  Sedangakan Earning Per Share (EPS) adalah rasio yang menunjukkan berapa besar kemampuan per lembar saham dalam menghasilkan laba. EPS juga merupakan analisis laba dari sudut pandang pemilik yang dipusatkan pada perlembar saham dalam suatu perusahaan. Angka EPS paling sering digunakan dalam publikasi mengenai performance perusahaan yang menjual sahamnya kepada masyarakat umum karena EPS merupakan pendapatan yang diperoleh dari tiap lembar saham yang diinvestasikan dimana besarnya pendapatan tergantung pada laba bersih yang diperoleh perusahaan dan jumlah lembar saham yang beredar (Muhardi, 2013 dalam Sutomo dan Ardini, 2017).

2.4.7 Ukuran Perusahaan

  Ukuran perusahaan merupakan suatu skala dimana diklasifikasinya perusahaan menurut besar kecilnya. Besar kecilnya suatu perusahaan dapat dilihat dari jumlah pendapatan, total aset, jumlah karyawan dan total modal. Semakin besar ukuran pendapatan, total aset, jumlah karyawan dan total modal maka akan mencerminkan keadaan perusahaan yang semakin kuat (Basyaib, 2007 dalam Mutia dkk, 2011). Menurut Departement Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia ukuran perusahaan terbagi dalam tiga kategori yaitu perusahaan besar, perusahaan menengah dan perusahaan kecil. Suatu perusahaan yang sudah mapan akan memiliki aktivitas yang lebih besar dan memiliki risiko atau tanggung jawab yang besar pula sesuai dengan aktivitas yang dilakukan, semakin besar suatu perusahaan maka akan semakin dikenal masyarakat, yang berarti semakin mudah untuk mendapatkan informasi mengenai perusahaan (Jogiyanto, 2003 dalam Mutia dkk, 2011).

  Ukuran perusahaan (size) adalah indikasi ukuran sebuah perusahaan yang memperlihatkan pencapaian skala produksi sebuah perusahaan. Size yang dimiliki perusahaan jika mengalami peningkatan mengidentifikasikan meningkatkan kinerja perusahaan dari sudut penjualan dan laba (Sudharmadji, 2007 dalam Hasni dkk, 2013). Ukuran perusahaan sangat identik dengan besarnya skala produksi yang dihasilkan sebuah perusahaan dalam satu periode tertentu. Bentu-bentuk ukuran perusahaan terdiri dari total nilai penjualan, besarnya nilai kapitalisasi pasar dan struktur assets yang dimiliki perusahaan (Phalipu, 2005 dalam Hasni dkk, 2013).

2.4.8 Dividend Payout Ratio

  Dividend Payout Ratio merupakan indikasi atas persentase jumlah

  pendapatan yang diperoleh yang didistribusikan kepada pemilik atau pemegang saham dalam bentuk kas (Gitman, 2003 dalam Rosdini, 2009).

  Dividend Payout Ratio (DPR) ini ditentukan perusahaan untuk membayar

  dividen kepada para pemegang saham setiap tahun, penentuan DPR berdasarkan besar kecilnya laba setelah pajak.

   Dividend Payout Ratio = Dividend per share Earnings per share

2.5 Definisi Dividen

  (Stice et al, 2005 dalam Suharli, 2007) Mengartikan dividen sebagai pembagian laba kepada para pemegang saham perusahaan sebanding dengan jumlah saham yang dipegang oleh masing-masing pemilik. Dividen dapat saham dapat dinyatakan sebagai persentase atas nilai saham atau sejumlah uang tiap lembar saham yang dimiliki.

  Dividen merupakan bagian dari laba yang tersedia bagi pemegang saham biasa (earning available for common stock holders) yang dibagikan kepada para pemegang saham biasa dalam bentuk tunai (Warsono, 2003 dalam Sihombing 2014). (Hanafi, 2004 dalam Sihombing, 2014) menyatakan bahwa “Dividen merupakan kompensasi yang diterima oleh pemegang saham, disamping capital gain.

2.5.1 Jenis Dividen

  Dividen dapat dibagikan dalam berbagai bentuk. Dilihat dari bentuk

dividen yang didistribusikan kepada pemegang saham, dividen dapat dibedakan

menjadi beberapa jenis (Darmadji dan Fakhruddin, 2006) :

1. Dividen Tunai (cash dividend) : Dividen yang dibagikan kepada

  pemegang saham dalam bentuk kas (tunai),

  Dividen kas yang dibayarkan merupakan penilaian investor atas suatu saham. Dividen kas mencerminkan arus kas kepada pemegang saham dan menginformasikan kinerja perusahaan saat ini dan yang akan datang. Sebab retained earnings (laba ditahan) adalah salah satu bentuk pendanaan internal, maka keputusan mengenai dividen dapat mempengaruhi kebutuhan pendanaan eksternal perusahaan. Dengan demikian, semakin besar pula jumlah pendanaan eksternal yang dibutuhkan melalui pinjaman hutang atau penjualan saham (Gitman, 2003 dalam Suwetja, 2014).

2. Dividen Saham (stock dividend): Dividen yang dibagikan bukan

  dalam bentuk tunai melainkan dalam bentuk saham perusahaan

  Di Indonesia saham yang dibagikan sebagai dividen tersebut. tersebut disebut saham bonus. Dengan demikian para pemegang saham mempunyai jumlah lembar saham yang lebih banyak setelah menerima Dividen Saham (stock Dividend). Dividen saham dapat berupa saham yang sama jenisnya maupun yang berbeda jenisnya.

  Pembayaran dividen dalam bentuk saham yaitu berupa pemberian tambahan saham kepada para pemegang saham tanpa diminta pembayaran dan dalam jumlah saham yang sebanding dengan saham yang dimiliki (

  Munandar, 1983 dalam Sihombing, 2014).

  3. Dividen harta (property dividend): Dividen harta merupakan dividen yang diberikan kepada para pemegang saham dalam bentuk barang-barang (bukan berupa uang tunai ataupun modal saham perusahaan). Contoh Dividen Harta adalah dividen berupa persediaan atau saham yang merupakan investasi perusahaan pada perusahaan lain. Pembagian dividen berupa harta lebih sulit dibanding pembagian dividen tunai. Perusahaan melakukan dividen harta ini karena uang tunai perusahaan tertanam dalam investasi saham perusahaan lain atau persediaan dan penjualan investasi atau persediaan terutama bila jumlah cukup banyak akan menyebabkan harga jual investasi ataupun persediaan turun sehingga merugikan perusahaan dan pemegang saham sendiri

4. Dividen likuiditas (liquidating dividend): Dividen yang diberikan kepada pemegang saham sebagai akibat likuidasinya perusahaan.

  Dividen yang dibagikan adalah selisih nilai realisasi aset

  (

  perusahaan dikurangi dengan semua kewajibannya Munandar, 1983 dalam Sihombing, 2014).

2.6. Kebijakan Dividen

  Kebijakan dividen (dividend policy) adalah keputusan apakah laba yang diperoleh perusahaan akan dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen atau akan ditahan dalam bentuk laba ditahan guna pembiayaan investasi dimasa datang. Apabila perusahaan memilih untuk membagikan laba sebagai dividen, maka akan mengurangi laba yang ditahan dan selanjutnya akan mengurangi total sumber dana intern atau internal financing (Sartono, 2001 dalam Latiefasari, 2011). Kebijakan dividen merupakan bagian yang tidak dapat dipisahan dengan keputusan pendanaan perusahaan.

  Kebijakan dividen merupakan salah satu kebijakan dalam perusahaan yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan secara seksama (Sartono, 2001 dalam Latiefasari, 2011).

  Laba ditahan merupakan salah satu dari sumber dana yang paling penting untuk membiayai pertumbuhan perusahaan, sedangkan dividen merupakan aliran kas yang dibayar kepada para pemegang saham (Riyanto, 1999). Dividen merupakan nilai pendapatan bersih perusahaan setelah pajak dikurangi dengan laba ditahan. Dividen ini untuk dibagikan kepada para pemegang saham sebagai keuntungan dari laba perusahaan. Rasio pembayaran dividen (dividend payout ratio) yaitu perbandingan antara

  

Dividend Per Share (DPS) dengan Earning Per Share (EPS). Keputusan

  mengenai jumlah laba yang ditahan dan dividen yang dibagikan diputuskan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) (Robert, 1997 dalam Latiefasari, 2011).

2.6.1 Teori Kebijakan Dividen

  Menurut Sartono (2001) terdapat beberapa pendapat dan teori yang mengemukakan tentang dividen diantaranya yaitu:

1. Dividen Tidak Relevan

  Menurut Modigliani dan Miller (MM) dalam (Sartono, 2001), mereka berpendapat bahwa bagaimanapun kebijakan dividen itu memang tidak mempengaruhi harga saham maupun kemakmuran pemegang saham. Lebih lanjut MM berpendapat bahwa nilai perusahaan ditentukan oleh earning

  

power dan asset perusahaan. Dengan demikian nilai perusahaan ditentukan

  oleh keputusan investasi. Sementara itu keputusan apakah laba yang diperoleh akan dibagikan dalam bentuk dividen atau akan ditahan tidak mempengaruhi nilai perusahaan. MM menyatakan bahwa dividen tidak relevan berdasarkan asumsi-asumsi di bawah ini: a.

  Pasar modal sempurna, di mana para investor mempunyai kesamaan informasi, tidak ada biaya transaksi dan tidak ada pajak. b.

  Para investor bersifat rasional.

  c.

  Semua peserta pasar bersifat price-taker.

  d.

  Kebijakan investasi perusahaan tidak berubah. Pada praktiknya pasar modal yang sempurna sulit ditemui, biaya emisi saham baru pasti ada, pajak pasti ada, dan kebijakan investasi perusahaan tidak mungkin berubah.

  Beberapa ahli menentang pendapat MM tentang dividen adalah tidak relevan dengan menunjukkan bahwa adanya biaya emisi saham baru akan mempengaruhi nilai perusahaan.

2. Teori The Bird In the Hand

  Gordon dan Lintner (Sartono, 2001) berpendapat bahwa investor lebih merasa aman untuk memperoleh pendapatan berupa pembayaran dividen daripada menunggu capital gain. Sementara itu MM berpendapat dan telah dibuktikan secara matematis bahwa investor merasa sama saja apakah menerima dividen saat ini atau menerima capital gain dimasa datang. Gordon dan Lintner (Sartono, 2001) beranggapan bahwa para investor memandang seekor burung ditangan lebih berharga daripada seribu burung di udara. Sementara itu MM berpendapat bahwa tidak semua investor berkeinginan untuk menginvestasikan kembali dividen mereka diperusahaan yang sama atau sejenis dengan memiliki resiko yang sama, oleh sebab itu tingkat resiko pendapatan mereka dimasa datang bukannya ditentukan oleh kebijakan dividen, tetapi ditentukan oleh tingkat resiko investasi baru.

  3. Teori Perbedaan Pajak Litzenberger dan Ramaswamy (Sartono, 2001). Mereka menyatakan bahwa karena adanya pajak terhadap keuntungan dividen dan capital gains dapat menunda pembayaran pajak. Oleh karena itu investor mensyaratkan suatu tingkat keuntungan yang lebih tinggi pada saham yang memberikan

  

dividen yield tinggi, capital gains yield rendah daripada dividen yield rendah,

  tinggi. Jika pajak atas dividen lebih besar daripada pajak

  capital gains yield atas capital gains, perbedaan ini akan makin terasa.

  Jika manajemen percaya bahwa teori dividen tidak relevan menurut MM (Sartono, 2001) adalah benar, maka perusahaan tidak perlu memperdulikan berapa besar dividen yang harus dibagi. Jika mereka menganut teori the bird in the hand, mereka harus membagi seluruh EAT

  

(Earning After Tax) dalam bentuk dividen. Dan bila manajemen cenderung

  mempercayai teori perbedaan pajak (Tax Differential Theory), mereka harus menahan seluruh EAT (Earning After Tax) atau DPR (Dividend Payout

  Ratio) = 0%.

  4. Teori Signaling Hypothesis Ada bukti empiris bahwa jika ada kenaikan dividen, sering diikuti dengan kenaikan harga saham. Sebaliknya penurunan dividen pada umumnya menyebabkan harga saham turun. Fenomena ini dapat dianggap sebagai bukti bahwa para investor lebih menyukai dividen daripada capital gains. Tapi MM (Sartono, 2001) berpendapat bahwa suatu kenaikan dividen yang diatas biasanya merupakan suatu sinyal kepada para investor bahwa manajemen perusahaan meramalkan suatu penghasilan yang baik di masa mendatang. Sebaliknya, suatu penurunan dividen atau kenaikan yang dibawah kenaikan normal (biasanya) diyakini para investor sebagai suatu sinyal bahwa perusahaan menghadapi masa sulit di waktu mendatang.

  Seperti teori dividen yang lain, teori signaling hypothesis ini juga sulit dibuktikan secara empiris. Adalah nyata bahwa perubahan dividen mengandung beberapa informasi. Tapi sulit apakah kenaikan dan penurunan harga setelah adanya kenaikan dan penurunan dividen semata-mata disebabkan oleh efek sinyal atau disebabkan karena efek sinyal dan preferensi dividen.

5. Teori Clientele Effect

  Terdapat banyak kelompok investor dengan berbagai kepentingan, ada investor yang lebih menyukai memperoleh pendapatan saat ini dalam bentuk dividen seperti halnya individu yang sudah pension sehingga investor ini menghendaki perusahaan untuk membayar deviden yang tinggi. Tetapi ada pula investor yang lebih menyukai untuk menginvestasikan kembali pendapatan mereka, karena kelompok ini berada dalam tarif pajak yang cukup tinggi (Sartono, 2001).

2.6.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan Dividen

  Berbagai faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen (Sartono, 2001):

  1. Kebutuhan dana perusahaan Kebutuhan dana bagi perusahaan dalam kenyataanya merupakan faktor yang harus dipertimbangkan dalam menentukan kebijakan dividen yang akan diambil. Aliran kas perusahaan yang diharapkan, pengeluaran modal dimasa datang yang diharapkan, kebutuhan tambahan piutang dan persediaan, pola (skedul) pengurangan utang dan masih banyak faktor lain yang mempengaruhi posisi kas perusahaan harus dipertimbangkan dalam analisis kebijakan dividen.

  2. Likuiditas Likuiditas perusahaan merupakan pertimbangan utama dalam banyak kebijakan dividen. Karena dividen bagi perusahaan merupakan kas keluar, maka semakin besar posisi kas dan likuiditas perusahaan secara keseluruhan akan semakin besar kemampuan perusahaan untuk membayar dividen.

  3. Kemampuan meminjam Kemampuan meminjam dalam jangka pendek tersebut akan meningkatkan fleksibilitas likuiditas perusahaan. Selain itu fleksibilitas perusahaan juga dipengaruhi oleh kemampuan perusahaan untuk bergerak di pasar modal dengan mengeluarkan obligasi. Perusahaan yang semakin besar dan establish akan memiliki akses yang lebih baik di pasar modal. Kemampuan meminjam yang lebih besar, fleksibilitas yang lebih besar akan memperbesar kemampuan membayar dividen.

4. Keadaan pemegang saham

  Jika perusahaan itu kepemilikan sahamnya relatif tertutup, manajemen biasanya mengetahui dividen yang diharapkan oleh pemegang saham dan dapat bertindak dengan tepat. Jika hampir semua pemegang saham berada dalam golongan high tax (pajak yang lebih tinggi) dan lebih suka memperoleh capital gains, maka perusahaan dapat mempertahankan dividend payout yang rendah.

  Dengan dividend payout yang rendah tentunya dapat diperkirakan apakah perusahaan akan menahan laba untuk kesempatan investasi yang profitable. Untuk perusahaan yang jumlah pemegang sahamnya besar hanya dapat menilai dividen yang diharapkan pemegang saham dalam konteks pasar.

5. Stabilitas dividen

  Bagi para investor faktor stabilitas deviden akan lebih menarik daripada dividend payout ratio yang tinggi. Stabilitas disini dalam arti tetap memperhatikan tingkat pertumbuhan perusahaan, yang ditunjukkan oleh koefisien arah yang positif. Bagi investor pembayaran dividen yang stabil merupakan indikator prospek perusahaan yang stabil pula dengan demikian resiko perusahaan juga relatif lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan dengan perusahaan yang membayar dividen tidak stabil.

2.6.3 Jenis Kebijakan Dividen

  Kebijakan dividen menurut (Riyanto, 2001 dalam Sihombing, 2014 ) dapat dibagi ke dalam 4 (empat) bagian sebagai berikut:

  1. Kebijakan dividen yang stabil Kebijakan dividen yang stabil merupakan jumlah dividen per lembar saham yang dibayarkan setiap tahunnya relatif tetap selama jangka waktu tertentu meskipun pendapatan per lembar saham per tahunnya berfluktuasi.

  2. Kebijakan pembayaran dividen dengan penetapan jumlah minimal plus jumlah ekstra tertentu Kebijakan ini menetapkan jumlah rupiah minimal dividen per lembar saham setiap tahunnya. Dalam keadaan keuangan yang lebih baik perusahaan akan membayarkan dividen ekstra di atas jumlah minimal tersebut.

  3. Kebijakan dividen dengan penetapan dividend payout ratio yang konstan.

  Kebijakan ini menjelaskan bahwa perusahaan yang menjalankan kebijakan

  dividend payout ratio yang konstan dan dividen per lembar saham yang

  akan dibayarkan setiap tahunnya akan berfluktuasi sesuai dengan perkembangan keuntungan bersih yang diperoleh setiap tahunnya.

  4. Kebijakan dividen yang fleksibel Perusahaan menetapkan rasio pembayaran dividen yang besarnya tiap tahunnya disesuaikan dengan posisi keuangan dan kebijakan pendanaan dari perusahaan yang bersangkutan. Apabila keuntungan tinggi maka besarnya dividen yang dibagikan relatif tinggi. Sebaliknya, jika tingkat keuntungan rendah maka besarnya dividen yang dibayarkan juga rendah atau dapat dikatakan besarnya selalu proporsional dengan tingkat keuntungan.

2.7. Hasil Penelitian Terdahulu

  Bansaleng, Tommy, dan Saerang (2014) melakukan penelitian mengenai Pengaruh Kebijakan Hutang, Struktur Kepemilikan dan Profitabilitas Terhadap Kebijakan Dividen Pada Perusahaan Food and

  Beverage Di Bursa Efek Indonesia Tahun 2007 - 2011. Hasil penelitian

  tersebut menyebutkan bahwa kebijakan hutang dan struktur kepemilikan tidak berpengaruh terhadap kebijakan dividen, sedangkan profitabilitas berpengaruh terhadap kebijakan dividen.

  Lopolusi (2013) melakukan penelitian mengenai Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan Dividen Sektor Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Periode 2007 - 2011. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa profitabilitas, likuiditas, utang, pertumbuhan, free cash

  flow tidak berpengaruh terhadap perubahan kebijakan dividen,sedangkan ukuran badan usaha berpengaruh terhadap perubahan kebijakan dividen.

  Idawati dan Sudiartha (2014) melakukan penelitian mengenai Pengaruh Profitabilitas, Likuiditas dan Ukuran Perusahaan Terhadap Kebijakan Dividen Perusahaan Manufaktur Di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2009 - 2011. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa profitabilitas dan likuiditas berpengaruh terhadap kebijakan dividen sedangkan ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap kebijakan dividen.

  Nurwani (2017) melakukan penelitian mengenai Pengaruh Likuiditas Dan Profitabilitas Terhadap Kebijakan Dividen (Studi Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Tahun 2013 - 2015).

  Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa profitabilitas dan likuiditas tidak berpengaruh terhadap kebijakan dividen.

  Novianti dan Amanah (2017) melakukan penelitian mengenai Pengaruh Profitabilitas, Growth, Kebijakan Hutang dan Kepemilikan Institusional Terhadap Kebijakan Dividen. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa profitabilitas, growth, kebijakan hutang menunjukkan tidak berpengaruh terhadap kebijakan dividen sedangkan kepemilikan institusional menunjukkan berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen.

  Sandy dan Asyik (2013) melakukan penelitian mengenai Pengaruh Profitabilitas Dan Likuiditas Terhadap Kebijakan Dividen Kas Pada Perusahaan Otomotif. Penelitian Dilakukan Pada Tahun 2009

  • – 2011. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa profit margin, return on equity,

  

current ratio, dan quick ratio menunjukkan tidak berpengaruh terhadap

  kebijakan dividen sedangkan return on assets menunjukkan berpengaruh terhadap kebijakan dividen.

2.8 Hipotesis

2.8.1 Pengaruh Profitabilitas Terhadap Kebijakan Dividen

  Profitabilitas mempengaruhi kebijakan dividen dikarenakan profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba dan dividen akan dibagi apabila perusahaan tersebut memperoleh laba. Dari laba setelah pajak tersebut sebagian dibagikan sebagai dividen kepada para pemegang saham dan sebagian lain ditahan di perusahaan (laba ditahan). Jika laba yang diperoleh kecil, maka dividen yang akan dibagikan juga kecil. Agar para pemegang saham dapat menikmati dividen yang besar, maka manajemen akan berusaha untuk memperoleh laba yang sebesar-besarnya guna meningkatkan kemampuan membayar dividen. Semakin besar kemampuan dalam menghasilkan laba maka laba yang diperoleh perusahaan yang disediakan kepada pemegang saham juga akan semakin besar. Laba yang di sediakan bagi para pemegang saham yang besar memungkinkan para pemegang saham untuk memperoleh dividen dalam jumlah besar. Semakin besar dividen yang diterima oleh para pemegang saham maka kemakmuran pemegang saham akan meningkat dengan demikian tujuan perusahaan untuk memakmurkan pemegang saham dapat tercapai (Darminto, 2008). (Jumaah, 2008 dalam Lopolusi, 2013) menyatakan bahwa profitabilitas memiliki pengaruh positif terhadap kebijakan dividen. Hal ini dinyatakan dengan semakin besar keuntungan yang diperoleh suatu perusahaan maka semakin besar dividen yang dibagikan. Jika laba tinggi maka dividen yang dibagikan tersebut memperoleh keuntungan sehingga perusahaan yang semakin besar keuntungannya akan memiliki jumlah kas yang besar pula dan perusahaan tersebut dapat membagikan dividen dalam jumlah yang besar pula. Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis penelitian yang diajukan sebagai berikut :

  H 1 = Profitabilitas berpengarung terhadap kebijakan dividen.

2.8.2 Pengaruh Likuiditas Terhadap Kebijakan Dividen

  Rasio likuiditas menggambarkan kemampuan perusahaan untuk menyelesaikan kewajiban-kewajiban yang harus segera dipenuhi. Kewajiban yang harus segera dipenuhi adalah hutang jangka pendek. Perusahaan yang mampu memenuhi kewajibannya tepat pada waktunya, berarti perusahaan tersebut dikatakan likuid. Salah satu rasio likuiditas yang dapat menggambarkan kemampuan likuiditas perusahaan, yang juga akan digunakan dalam penelitian, adalah CR (cash ratio). Posisi kas ini merupakan suatu alat analisis yang perlu dipertimbangkan sebelum membuat keputusan mengenai kebijakan dividen. Pembayaran dividen merupakan arus kas keluar, sehingga semakin kuat posisi kas perusahaan, berarti semakin besar kemampuan untuk membayar dividen (Suwetja, 2014). (Jumaah, 2008 dalam Lopolusi, 2013) menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif antara likuiditas terhadap kebijakan dividen. Hal ini dinyatakan dengan semakin baik likuiditas yang dimiliki suatu perusahaan maka akan meningkatkan kebijakan dividen perusahaan tersebut. Likuiditas yang semakin baik dalam perusahaanmencerminkan bahwa adanya peningkatan kas yang dimiliki perusahaan tersebut. Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis penelitian yang diajukan sebagai berikut :

  H 2 : Likuiditas berpengaruh terhadap kebijakan dividen.

2.8.3 Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Kebijakan Dividen

  Perusahaan kecil memiliki aset yang lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan besar. Perusahaan kecil yang memiliki aset kecil akan cenderung membagikan dividen yang rendah karena laba dialokasikan pada laba ditahan untuk menambah aset perusahaan (Chang dan Ree, 1990 dalam Dewi, 2008).

  (Jumaah, 2008 dalam Lopolusi, 2013) menyatakan bahwa ada pengaruh positif antara ukuran perusahaan terhadap kebijakan dividen. Hal ini dinyatakan dengan semakin besar suatu perusahaan maka omset yang dihasilkan akan semakin tinggi dan menyebabkan laba yang dihasilkan tinggi.

  Jika laba tinggi maka dividen yang dibagikan juga akan tinggi. Perusahaan besar diperkirakan akan mampu membayar dividen yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan kecil. Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis penelitian yang diajukan adalah :

  H : Ukuran perusahaan berpengaruh terhadap kebijakan dividen.

  3

  

2.8.4 Pengaruh Profitabilitas, Likuiditas dan Ukuran Perusahaan

Terhadap Kebijakan Dividen

  Profitabilitas berarti hasil yang diperoleh melalui usaha manajemen terhadap dana yang diinvestasikan pemilik dan investor. Semakin besar tingkat laba atau profitabilitas yang diperoleh perusahaan akan mengakibatkan semakin besar dividen yang akan dibagikan dan sebaliknya (Sunarto dan Kartika, 2013 dalam Sandy dan Asyik, 2013).

  Likuiditas merupakan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya dengan tepat waktu. Bagi perusahaan, dividen adalah arus kas keluar, dan hal tersebut mempengaruhi posisi dari kas perusahaan. Hal tersebut mengakibatkan kesempatan perusahaan dalam melakukan investasi menggunakan kas yang dibagikan dalam bentuk dividen tersebut berkurang (Suharli, 2006 dalam Idawati dan Sudiartha, 2014).

  Semakin likuid sebuah perusahaan, kemungkinan pembayaran dividen yang dilakukan perusahaan tersebut akan semakin besar (Idawati dan Sudiartha, 2014).

  Perusahaan dengan ukuran yang besar cenderung memiliki suatu kemudahan dalam aksesnya menuju pasar modal. Tentu saja hal tersebut mempengaruhi fleksibilitas perusahaan besar tersebut dalam memperoleh dana dalam jumlah besar. Perolehan dana tersebut, dapat digunakan sebagai pembayaran dividen bagi pemegang sahamnya. Semakin besar tingkat ukuran suatu perusahaan, kemungkinan tingkat pembayaran dividen akan semakin besar pula (Idawati dan Sudiartha, 2014). Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis penelitian yang di ajukan adalah :

  H

4 : Profitabilitas, likuiditas dan ukuran perusahaan berpengaruh terhadap

kebijakan dividen.

2.9. Kerangka Pemikiran

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

  H1 : Profitabilitas H2 : Likuiditas

  Kebijakan Dividen H3 : Ukuran perusahaan

Dokumen yang terkait

ANALISIS PENGARUH LIKUIDITAS, PROFITABILITAS, DAN LEVERAGE TERHADAP DIVIDEN KAS (Studi Kasus Pada Perusahaan Sektor Industri Barang Konsumsi yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2010-2013)

0 7 17

PENGARUH LIKUIDITAS, PROFITABILITAS DAN UKURAN PERUSAHAAN TERHADAP KUALITAS PENGUNGKAPAN LAPORAN TAHUNAN (Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia 2011-2013)

0 8 17

PENGARUH KEPUTUSAN INVESTASI, LEVERAGE DAN KEBIJAKAN DIVIDEN TERHADAP NILAI PERUSAHAAN (Studi Pada Perusahaan Sektor Industri Barang Konsumsi Yang Terdaftar Di BEI Tahun 2011-2013)

0 5 20

IMPLEMENTASI CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY, GOOD CORPORATE GOVERNANCE, LEVERAGE, UKURAN PERUSAHAAN DAN KEBIJAKAN DIVIDEN TERHADAP NILAI PERUSAHAAN (Studi Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Periode 2010-2012)

1 58 98

PENGARUH SALES GROWTH, UKURAN PERUSAHAAN DAN KEBIJAKAN DIVIDEN TERHADAP KEBIJAKAN HUTANG (Studi Pada Perusahaan Manufaktur Di Bursa Efek Indonesia) ARTIKEL ILMIAH

0 0 18

PENGARUH SALES GROWTH, UKURAN PERUSAHAAN DAN KEBIJAKAN DIVIDEN TERHADAP KEBIJAKAN HUTANG (Studi Pada Perusahaan Manufaktur Di Bursa Efek Indonesia) - Perbanas Institutional Repository

0 0 17

PENGARUH SALES GROWTH, UKURAN PERUSAHAAN DAN KEBIJAKAN DIVIDEN TERHADAP KEBIJAKAN HUTANG (Studi Pada Perusahaan Manufaktur Di Bursa Efek Indonesia) - Perbanas Institutional Repository

0 0 21

PENGARUH PROFITABILITAS, PERTUMBUHAN PENJUALAN, UKURAN PERUSAHAAN DAN PAJAK TERHADAP STRUKTUR MODAL (Studi Kasus Pada Industri Barang Konsumsi Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Periode 2015-2017)

0 0 21

PENGARUH LIKUIDITAS DAN PROFITABILITAS TERHADAP KEBIJAKAN HUTANG PERUSAHAAN (Studi Pada Perusahaan Manufaktur Sektor Barang Konsumsi Yang Terdaftar Di Daftar Efek Syariah Periode 2012-2016) - Raden Intan Repository

0 0 145

PENGARUH BIAYA AGENSI TERHADAP KEBIJAKAN DIVIDEN (Studi Pada Perusahaan Sektor Industri Barang Konsumsi Yang Terdaftar di Daftar Efek Syariah Tahun 2016-2017) - Raden Intan Repository

0 0 121