BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kinerja Perusahaan 2.1.1 Definisi Kinerja - ANALISIS PENGUKURAN KINERJA PERUSAHAAN DENGAN PENDEKATAN BALANCED SCORECARD PADA CV XY - UMBY repository

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Kinerja Perusahaan

2.1.1 Definisi Kinerja

  Kinerja adalah istilah umum yang digunakan untuk menunjukkan sebagian atau seluruh tindakan atau aktivitas dari suatu organisasi pada suatu periode (Mulyadi, 2001 dalam Hanuma, 2011). Menurut (Mulyadi, 2007:328 dalam Nugrahayu dan Retnani, 2015), kinerja perusahaan sebagai keberhasilan perusahaan secara keseluruhan dalam mencapai sasaran-sasaran strategik yang telah ditetapkan melalui inisiatif strategik pilihan. Kinerja perusahaan diartikan sebagai kemampuan perusahaan untuk meraih tujuannya melalui pemakaian sumber daya secara efisien dan efektif dan menggambarkan seberapa jauh suatu perusahaan mencapai hasilnya setelah dibandingkan dengan kinerja terdahulu previous perfomance dan kinerja organisasi lain benchmarking, serta sampai seberapa jauh meraih tujuan dan target yang telah ditetapkan (Muhammad, 2008:14 dalam Nugrahayu dan Retnani, 2015). Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanan suatu kegiatan/program kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam perumusan skema strategis (strategic planning) suatu organisasi (Wibowo, 2010:7 dalam Tahaka, 2013).

  Dari berbagai definisi kinerja di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja merupakan perfomance atau penampilan atau hasil kerja seseorang maupun organisasi dalam melaksanakan pekerjaan untuk mencapai tujuan serta dapat diukur dengan standar yang telah ditetapkan selama periode tertentu.

2.1.2 Pengukuran Kinerja

  Pengukuran kinerja merupakan pendekatan sistematik dan terintegrasi untuk memperbaiki kinerja organisasi dalam rangka mencapai tujuan strategi organisasi dan mewujudkan visi dan misinya (Mahmudi, 2005:15 dalam Pratiwi dan Mildawati, 2014). Pengukuran kinerja adalah salah satu faktor yang sangat penting bagi perusahaan karena merupakan usaha memetakan strategi ke dalam tindakan pencapaian target tertentu (Giri, 1998 dalam Dewi, 2015). Sistem pengukuran kinerja dapat dijadikan sebagai alat pengendalian organisasi, karena pengukuran kinerja diperkuat dengan menetapkan reward dan punishment system (Ulum, 2009 dalam Dewi, 2015).

  Menurut (Horngren, 1998 dalam Dewi, 2015), pada dasarnya ukuran kinerja yang baik mempunyai karakteristik sebagai berikut: 1) Berhubungan dengan tujuan perusahaan 2) Mempunyai perhatian yang seimbang antara jangka pendek dan jangka panjang 3) Menggambarkan aktivitas kunci manajemen 4) Dipengaruhi oleh tindakan karyawan 5) Siap dipahami oleh karyawan 6) Digunakan dalam evaluasi dan bermanfaat bagi karyawan 7) Bertujuan logis dan merupakan pengukuran yang mudah

  8) Digunakan konsisten dan teratur Pengukuran kinerja diperlukan untuk mengetahui tinggi rendahnya kinerja seseorang atau organisasi. Pengukuran kinerja ini merupakan hal yang penting untuk dilakukan karena hasil pengukuran suatu kinerja berpengaruh pada pengambilan keputusan dan kebijakan manajemen terkait dengan pencapaian visi dan misi organisasi atau perusahaan. Hasil pengukuran kinerja juga memberikan infomasi atas pencapaian atau prestasi perusahaan dalam menjalankan strategi perusahaan. Apabila dari hasil pengukuran kinerja tersebut perusahaan mengalami kendala dalam menjalankan strategi yang ditetapkan perusahaan sebelumnya, perusahaan dapat memperbaiki berbagai sisi dari kinerja perusahaan yang diukur.

2.1.3 Tujuan dan Manfaat Pengukuran Kinerja

  Tujuan pengukuran kinerja perusahaan menurut (Tangkilisan, 2007:174 dalam Nugrahayu dan Retnani, 2015) adalah sebagai berikut:

  a. Untuk memastikan pemahaman para pelaksana dan ukuran yang digunakan untuk pencapaian prestasi b. Memastikan tercapainya skema prestasi yang disepakati

  c. Untuk memonitor dan mengevaluasi kinerja dengan perbandingan antara skema kerja dan pelaksanaannya d. Untuk memberikan penghargaan maupun hukuman yang obyektif atas prestasi pelaksanaan yang telah diukur, sesuai dengan metode pengukuran yang telah disepakati

  e. Menjadikannya sebagai alat komunikasi antara bawahan dan pimpinan dalam upaya memperbaiki kinerja perusahaan f. Mengidentifikasi apakah kepuasan pelanggan sudah terpenuhi g. Membantu proses kegiatan perusahaan

  h. Untuk memastikan bahwa pengambilan keputusan telah dilakukan secara obyektif i. Menunjukkan peningkatan yang perlu dilakukan j. Mengungkapkan permasalahan yang terjadi

  Manfaat pengukuran kinerja adalah untuk memperoleh informasi yang akurat dan valid tentang perilaku dan kinerja anggota organisasi (Mulyadi dan Setiawan, 1999:227 dalam Pratiwi dan Mildawati, 2014). Manfaat pengukuran kinerja menurut (Mulyadi, 2001 dalam Hanuma dan Kiswara, 2010) adalah sebagai berikut:

  a) Mengelola operasi organisasi secara efektif dan efisien melalui pemotivasian karyawan secara maksimum.

  b) Membantu pengambilan keputusan yang bersangkutan dengan karyawan seperti promosi, pemberhentian dan mutasi.

  c) Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan karyawan dan untuk menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan karyawan.

  d) Menyediakan umpan balik bagi karyawan mengenai bagaimana atasan mereka menilai kinerja mereka.

  e) Menyediakan suatu dasar bagi distribusi penghargaan.

  Dalam pengukuran kinerja, diperlukan alat ukur yang tepat untuk mengukur kinerja. Sistem pengukuran kinerja yang efektif adalah sistem pengukuran yang dapat memudahkan manajemen untuk melaksanakan proses pengendalian dan memotivasi manajemen untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerjanya.

2.2 Balanced Scorecard

2.2.1 Pengertian Balanced Scorecard

  Menurut (Mulyadi, 2001 dalam Rosyada, 2015), balanced scorecard terdiri dari dua kata, yaitu: a. Kartu skor (scorecard) yaitu kartu yang digunakan untuk mencatat skor hasil kinerja seseorang. Kartu skor juga dapat digunakan untuk merencanakan skor yang hendak diwujudkan oleh personel di masa depan.

  b. Berimbang (balanced) yaitu menunjukkan bahwa kinerja personel atau karyawan diukur secara seimbang dari dua aspek: keuangan dan non keuangan, jangka pendek dan jangka panjang, intern dan esktern.

  Menurut (Kaplan & Norton, 2000:17 dalam Dewi, 2015), Balanced

  scorecard (kartu stok berimbang) adalah suatu kerangka kerja untuk

  mengintegrasikan berbagai ukuran yang diturunkan dari stategi perusahaan, yaitu: (1) ukuran kinerja finansial masa lalu dan (2) memperkenalkan pendorong kinerja finansial masa depan. Kerangka kerja ini meliputi perspektif pelanggan, proses bisnis internal, dan pembelajaran serta pertumbuhan, diturunkan dari proses penerjemahan strategi perusahaan yang dilaksanakan secara eksplisit dan ketat ke dalam berbagai tujuan dan ukuran yang nyata. Balanced scorecard merupakan sekelompok ukuran yang berkaitan langsung dengan strategi suatu perusahaan.

  Kartu skor adalah kartu yang digunakan untuk mencatat skor hasil kinerja seseorang. Melalui kartu skor, skor yang akan diwujudkan personil di masa depan dibandingkan dengan hasil kinerja sesungguhnya. Hasil perbandingan ini digunakan untuk melakukan evaluasi atas kinerja personil yang bersangkutan.

  Berimbang menunjukkan bahwa kinerja personil diukur secara berimbang dari dua aspek, yaitu aspek keuangan dan non keuangan, jangka pendek dan jangka panjang, intern dan esktern.

  Definisi balanced scorecard menurut (Pearce & Robinson, 2007:254 dalam Dewi, 2015) adalah suatu kumpulan dari empat ukuran yang berkaitan langsung dengan strategi suatu perusahaan, yaitu: (1) kinerja keuangan, (2) pengetahuan mengenai pelanggan, (3) proses bisnis internal, serta (4) pembelajaran dan pertumbuhan.

  Hansen dan Mowen (2006) yang dikutip oleh Dewi (2015), menyatakan bahwa visi dan strategi organisasi diterjemahkan ke dalam tujuan operasional dan ukuran kinerja yang terdapat dalam empat perspektif Balanced

  

scorecard, yaitu: (1) perspektif keuangan, (2) perspektif pelanggan, (3) perspektif

  proses bisnis internal, dan (4) perspektif pembelajaran dan pertumbuhan (infrastruktur).

  Menurut (Pearce dan Robinson, 2007:255 dalam Dewi, 2015),

  

Balanced scorecard mengarahkan suatu perusahaan untuk mengaitkan strategi

jangka panjangnya dengan sasaran dan tindakan yang nyata.

  Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Balanced

  

scorecard merupakan suatu kerangka kerja pengukuran kinerja yang menyatakan

  visi dan strategi organisasi dalam empat perspektif, yaitu perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan.

2.2.2 Keunggulan dan kelemahan Balanced Scorecard

  Menurut (Mulyadi, 2007 dalam Nugrahayu dan Retnani, 2015), keunggulan

  Balanced scorecard adalah sebagai berikut :

  1. Komprehensif

  Balanced scorecard memperluas perspektif yang dicakup dalam

  perencanaan strategik dari yang sebelumnya hanya terbatas pada perspektif keuangan, meluas pada tiga perspektif yang lain, yaitu customer, proses serta pembelajaran dan pertumbuhan.

  2. Koheren

  Balanced scorecard mewajibkan personel untuk membangun hubungan

  sebab akibat (causal relationship) diantara berbagai sasaran yang dihasilkan dalam perencanaan strategik. Setiap sasaran strategik yang ditetapkan dalam perspektif non keuangan harus mempunyai hubungan kausal dengan sasaran keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung.

  3. Balance (Seimbang) Keseimbangan antara sasaran srategik yang di perspektifnya, karena pengukuran kinerja dengan menggunakan konsep balanced scorecard tidak hanya memperhatikan aspek keuangan perusahaan saja, namun juga aspek non keuangan seperti pelanggan, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan.

  4. Terukur Semua strategi yang ditetapkan di tiap perspektif balanced scorecard memiliki tolok ukur masing-masing. Sasaran strategis yang ada di perspektif non keuangan merupakan hal yang tidak mudah diukur, namun dengan pendekatan balanced scorecard, sasaran-sasaran strategis non keuangan (perspektif pelanggan, proses bisnis internal serta perspektif pembelajaran dan pertumbuhan) ditentukan ukurannya sehingga dapat dikelola dan dievaluasi hasilnya serta dapat diketahui kontribusinya terhadap kinerja perspektif keuangan.

  Menurut (Mulyadi, 2001:18 dalam

  

  kelemahan Balanced scorecard adalah sebagai berikut :

  1. Balanced scorecard belum dapat menetapkan secara tepat sistem kompensasi yang biasanya merupakan tindak lanjutan dari hasil penilaian kinerja.

  2. Bentuk organisasi yang cocok untuk perkembangan proses dalam organisasi. Empat perspektif dalam Balanced scorecard merupakan indikator yang saling berpengaruh (hubungan sebab akibat), sehingga diperlukan suatu wadah struktur yang dapat memberikan umpan balik kepada semua ini.

  3. Belum adanya standar ukuran yang baku terhadap hasil penilaian kinerja perusahaan dengan metode Balanced scorecard.

2.2.3 Perbandingan Balanced Scorecard dengan Pengukuran Tradisional

  Menurut (Mulyadi, 2007 dalam ) , ada empat perbedaan mendasar antara manajemen strategik tradisional dengan manajemen strategik berbasis Balanced scorecard, yaitu:

  1. Orientasi Manajemen strategik tradisional tidak berfokus ke customer.

  Strategi yang berorientasi ke dalam menyebabkan perusahaan tidak mampu memantau perubahan kebutuhan customer. Manajemen strategik dalam manajemen tradisional menggunakan pandangan luas terhadap pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan. Semua stakeholders dipandang sama pentingnya bagi perusahaan dalam manajemen strategik tradisional. Manajemen strategik dipaju oleh pesaing, bukan customer, sehingga strategic

  initiatives yang dipilih lebih didominasi dengan langkah-langkah yang

  ditempuh untuk mengalahkan pesaing, bukan untuk memuaskan kebutuhan

  customer. Manajemen strategik berbasis balanced scorecard berorientasi ke

  customer. Manajemen strategik berbasisbalanced scorecard dikenal pula dengan nama customer value-based model of strategic management.

  Tiga pertanyaan yang harus dicari jawabannya dalam proses manajemen strategik berbasis Balanced scorecard adalah: a) Apa yang disediakan untuk customer?

  b) Bagaimana kita dapat menyediakan value customer tersebut?

  c) Apa yang dapat kita peroleh dari penyediaan value tersebut? Pertanyaan pertama menunjukkan bahwa proses manajemen strategik merupakan customer-driven process, proses yang dipacu oleh usaha untuk memenuhi kebutuhan tertentu customer; bukan proses yang dipacu oleh kebutuhan internal perusahaan, sebagaimana proses manajemen strategik dalam manajemen tradisional. Oleh karena dipacu oleh usaha untuk memenuhi kebutuhan customer, manajemen strategik menuntut manajemen untuk melakukan eksplorasi ke lingkungan makro dan lingkungan industri yang akan dijadikan tempat beroperasinya perusahaan. Hasil eksplorasi ini akan menghasilkan misi yang menjawab tiga pertanyaan mendasar berikut ini: (1) what need do we meet, (2) who

  is our customer? dan (3) what business are we in?

  Pertanyaan kedua menuntut manajemen untuk mencari inisiatif strategik yang mampu menghasilkan value terbaik untuk memuasi kebutuhan

  

customer, kemudian menjabarkan inisiatif tersebut ke dalam langkah-langkah tactical

dan operational.

  Pertanyaan ketiga menuntut manajemen untuk melipat gandakan laba perusahaan dari hasil pemenuhan kebutuhan customer, agar perusahaan mampu mempertahankan kelangsungan hidupnya dan bertumbuh. Setelah ditetapkan kebutuhan yang akan dipenuhi, diidentifikasi customer yang akan dilayani, dan dipilih bisnis yang akan dijalankan, manajemen kemudian merumuskan kompetensi inti (core

  

competence) yang diperlukan untuk menjalankan bisnis. Core competence adalah

  kompetensi modal manusia perusahaan dalam memanfaatkan sumber daya, yang sulit untuk ditandingi oleh pesaing dalam menghasilkan produk/jasa bagi customer.

  2. Tahapan Manajemen strategik tradisional terdiri dari empat tahap: perencanaan strategik, penyusunan program, penyusunan anggaran, pengimplementasian dan pengendalian. Perencanaan dibagi menjadi dua: perencanaan laba jangka panjang dan perencanaan laba jangka pendek. Dalam manajemen tradisional, perencanaan laba jangka panjang disusun melalui dua tahap, yaitu: 1) Perencanaan strategik

  Perencanaan strategik menghasilkan rencana laba jangka panjang yang berupa misi, visi, keyakinan dasar, nilai dasar, tujuan, strategi, sasaran strategik dan inisiatif strategik. Penyusunan program merupakan proses penjabaran inisiatif strategik ke dalam program. Perencanaan laba jangka pendek berupa penyusunan anggaran yang merupakan penjabaran program yang akan dilaksanakan dalam tahun tertentu. Anggaran yang dihasilkan kemudian dilaksanakan pada tahap pengimplementasian dan dikendalikan pada tahap pengendalian. Manajemen strategik berbasis Balanced Scorecard terdiri dari enam tahap: perumusan strategi, perencanaan strategik, penyusunan program, penyusunan anggaran, pengimplementasian, dan pemantauan. Perencanaan laba jangka panjang dalam manajemen strategik berbasis Balanced Scorecard dipecah ke dalam tiga tahap yang terpisah: perumusan strategi, perencanaan strategik, dan penyusunan program.

  Perencanaan laba jangka panjang dimulai dari langkah pertama berupa perumusan strategi yang menghasilkan misi, visi, tujuan, keyakinan dasar, nilai dasar, dan strategi, berdasarkan hasil trendwatching dan SWOT

  analysis. Langkah berikutnya adalah perencanaan strategik yang berupa

  proses penerjemahan misi, visi, tujuan, keyakinan dasar, nilai dasar, dan strategi ke dalam sasaran dan inisiatif strategik yang komprehensif, koheren, terukur dan berimbang.

  Langkah terakhir adalah penyusunan program berupa proses penjabaran inisiatif strategik ke dalam program, rencana kegiatan jangka panjang disertai dengan sumber daya yang diperoleh dari dan dikorbankan untuk perwujudan sasaran-sasaran strategik.

  2) penyusunan program Pemisahan rencana laba jangka panjang ke dalam tiga tahap tersebut disebabkan oleh pemanfaatan Balanced Scorecard pada tahap perencanaan strategik untuk menjadikan sasaran strategik yang dihasilkan pada tahap tersebut memiliki karakteristik: komprehensif, koheren, terukur dan seimbang.

  Oleh karena tahap perencanaan strategik dengan rerangka Balanced

  Scorecard harus dapat menghasilkan rencana strategik yang memiliki empat

  karakteristik tersebut, maka tahap perencanaan strategik harus dipisahkan sebagai langkah tersendiri yang terpisah dari tahap sebelumnya (perumusan strategi) dan tahap sesudahnya (tahap penyusunan program). Dengan dimanfaatkannya rerangka Balanced Scorecard dalam perencanaan strategik, perencanaan laba jangka panjang dipecah menjadi tiga tahap terpisah dengan fungsi setiap tahap sebagai berikut: a) Tahap perumusan strategi berfungsi sebagai alat untuk trendwatching, analisis SWOT, envisioning, dan pemilihan strategi. Sebagai alat

  trendwatching, tahap perumusan strategi digunakan untuk memantau trend perubahan lingkungan makro, lingkungan industri dan lingkungan

  persaingan. Hasil trendwatching digunakan untuk mengidentifikasi peluang dan ancaman dan hasil analisis internal digunakan untuk mengidentifkasi kekuatan dan kelemahan melalui analisis SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, and threats).

  Sebagai alat envisioning, tahap perumusan strategi ini digunakan untuk merumuskan misi, visi, tujuan, keyakinan dasar dan nilai dasar berdasarkan hasil analisis SWOT. Tahap ini juga berfungsi sebagai alat pemilihan strategi berdasarkan hasil analisis SWOT.

  b) Tahap perencanaan strategik berfungsi sebagai alat untuk menerjemahkan keluaran yang dihasilkan oleh tahap perumusan strategi. Kerangka

  Balanced Scorecard digunakan pada tahap perencanaan strategik sebagai

  penerjemah misi, visi, tujuan, keyakinan dasar, nilai dasar dan strategi ke dalam sasaran-sasaran strategik yang komprehensif, koheren, terukur dan berimbang. Setelah sasaran strategik yang memiliki empat karakteristik tersebut dirumuskan, kemudian dipilih inisiatif strategik untuk mewujudkan setiap sasaran strategik tersebut.

  c) Tahap penyusunan program berfungsi sebagai: 1) Alat untuk menjabarkan inisiatif strategik ke dalam program; 2) Alat untuk mengevaluasi ketercapaian sasaran strategik; 3) Alat untuk mengevaluasi efektivitas inisiatif strategik dalam mewujudkan sasaran strategik; 4) Alat untuk mengalokasikan sumber daya dalam jangka panjang (long- range resource allocation tool).

  Oleh karena setiap tahap dalam penyusunan rencana laba jangka panjang tersebut merupakan pekerjaan besar yang memiliki fungsi sangat menentukan bagi bisnis, manajemen strategik berbasis Balanced Scorecard memisahkan perumusan strategi, perencanaan strategik, dan penyusunan program sebagai kegiatan yang terpisah yang terkait satu dengan lainnya. Perumusan strategi menentukan bisnis yang dipilih dan arah yang dituju oleh perusahaan dalam perjalanannya menuju ke masa depan.

  Hasil tahap perumusan strategi menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan perusahaan. Di samping itu, tahap perumusan strategi menetapkan strategi yang dipilih untuk mewujudkan visi perusahaan. Strategi ini menjadi landasan penentuan sasaran dan inisiatif strategik yang akan ditempuh oleh perusahaan dalam mewujudkan visinya. Perencanaan strategik menentukan kualitas penerjemahan keluaran yang dihasilkan tahap perumusan strategi.

  Pekerjaan besar yang dilaksanakan pada tahap perencanaan strategik adalah:

  a) perumusan sasaran-sasaran strategik yang komprehensif, koheren dan berimbang b) penentuan ukuran hasil dan ukuran pemacu kinerja untuk setiap sasaran strategik yang dirumuskan c) penentuan target yang diharapkan dapat diwujudkan dalam mencapai sasaran strategik d) pemilihan inisiatif strategik untuk mewujudkan setiap sasaran strategik

  Penyusunan program merupakan pekerjaan besar berikut ini: 1) penjabaran inisiatif strategik ke dalam program, 2) pengevaluasian ketercapaian sasaran strategik, 3) pengevaluasian efektivitas inisiatif strategik untuk mewujudkan sasaran strategik 4) pengalokasian sumber daya

  Manajemen strategik tradisional mencakup lingkup yang sempit atau hanya berfokus ke perspektif keuangan. Di lain pihak, manajemen strategik berbasis

  Balanced Scorecard mencakup lingkup yang luas, melampaui perspektif

  keuangan. Dengan digunakannya Balanced Scorecard sebagai alat penerjemah misi, visi, tujuan, keyakinan dasar, nilai dasar dan strategi, perencanaan strategik menghasilkan sasaran strategik yang komprehensif, mencakup perspektif keuangan, customer, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan. Perluasan cakupan ke perspektif customer, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan ini dimaksudkan untuk memfokuskan usaha ke pemacu sesungguhnya kinerja keuangan perusahaan, sehingga perusahaan mampu menjadi institusi pelipatganda kekayaan.

  4. Koherensi Dalam manajemen tradisional, koherensi keluaran yang dihasilkan oleh tahap perencanaan strategik, penyusunan programdan penyusunan anggaran tidak dipandang penting. Sebagai akibatnya, perencanaan strategik hanya menghasilkan daftar sasaran sasaran strategik dan di antara sasaran strategik yang satu dengan sasaran strategik yang lain tidak dibangun hubungan sebab akibat. Bahkan di antara misi, visi, tujuan, keyakinan dasar, nilai dasar dan strategi tidak dibangun keterkaitan erat dengan sasaran strategik dan inisiatif strategik. Dalam manajemen strategik berbasis Balanced Scorecard, ada lima koherensi berikut ini yang dengan sengaja dibangun:

  a. Koherensi antara hasil trendwatching dan analisis SWOT dengan misi, visi, tujuan, keyakinan dasar, nilai dasar dan strategi. b. Koherensi antara misi, visi, tujuan, keyakinan dasar, nilai dasar dan strategi yang dirumuskan pada tahap perumusan strategi dengan sasaran-sasaran strategik yang dirumuskan pada tahap perencanaan strategik.

  c. Koherensi antara inisiatif strategik yang dipilih pada tahap perencanaan strategik dengan program yang dirumuskan pada tahap penyusunan program.

  d. Koherensi antara program yang dipilih pada tahap penyusunan program dengan anggaran yang dirumuskan pada tahap penyusunan anggaran.

  e. Koherensi di antara sasaran strategik di berbagai perspektif: keuangan, customer, proses bisnis intern, pembelajaran dan pertumbuhan.

2.2.4 Perspektif Balanced Scorecard

  Balanced scorecard merupakan sistem manajemen strategis yang

  menterjemahkan visi dan strategi suatu organisasi ke dalam tujuan dan ukuran operasional (Hansen dan Mowen, 2003 dalam Deviani dan Setiawarman, 2015).

  Balanced scorecard mempunyai empat perspektif sebagai komponen dalam

  melakukan pengukuran kinerja perusahaan, hal tersebut dapat memberikan keseimbangan antara tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang, antara hasil yang diinginkan dengan faktor pendorong serta atara ukuran obyektif yang keras dengan ukuran subyektif yang lunak (Kaplan dan Norton, 2000:55 dalam Sari dan Retnani, 2015).

  Empat perspektif balanced scorecard tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Perspektif keuangan

  Perspektif keuangan ini berorientasi kepada para pemegang saham. Menurut (Kaplan, 1996 dalam Ciptani, 2000), pada saat perusahaan melakukan pengukuran secara finansial, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah mendeteksi keberadaan industri yang dimilikinya.

  Dalam perspektif finansial, terdapat tiga aspek dari strategi yang dilakukan suatu perusahaan, yaitu: a) Pertumbuhan pendapatan dan kombinasi pendapatan yang dimiliki suatu organisasi bisnis b) Penurunan biaya dan peningkatan produktivitas

  c) Penggunaan aset yang optimal dan strategi investasi Pengukuran kinerja keuangan mempertimbangkan adanya tahapan dari siklus kehidupan bisnis, yaitu: growth, sustain, dan harvest (Kaplan dan

  Norton, 2001 dalam Hanuma dan Kiswara, 2010). Tiap tahapan memiliki sasaran yang berbeda, sehingga penekanan pengukurannya pun berbeda pula. Tahapan tersebut adalah sebagai berikut:

  a) Growth (berkembang) adalah tahapan awal siklus kehidupan perusahaan dimana perusahaan memiliki produk atau jasa yang secara signifikan memiliki potensi pertumbuhan yang baik. Disini manajemen terikat dengan komitmen untuk mengembangkan suatu produk atau jasa baru, membangun dan mengembangkan suatu produk/jasa dan fasilitas produksi, menambah kemampuan operasi, mengembangkan sistem, infrastruktur dan jaringan distribusi yang akan mendukung hubungan global, serta membina dan mengembangkan hubungan dengan pelanggan. b) Sustain (bertahan) adalah tahapahan kedua dimana perusahaan perusahaan masih melakukan investasi dan reinvestasi dengan mengisyaratkan tingkat pengembalian terbaik. Dalam tahap ini, perusahaan mencoba mempertahanka pangsa pasar yang ada, bahkan mengembangkannya jika mungkin. Investasi yang dilakukan umumnya diarahkan untuk menghilangkan bottleneck, mengembangkan kapasitas dan meningkatkan perbaikan operasional secara konsisten. Sasaran keuangan pada tahap ini diarahkan pada besarnya tingkat pengembalian atas investasi yang dilakukan. Tolak ukur yang kerap digunakan pada tahap ini, misalnya ROI (Return On Investment), Profit Margin dan

  Operating Ratio.

  c) Harvest (panen) adalah tahapan ketiga dimana perusahaan benar-benar memanen/menuai hasil investasi di tahap-tahap sebelumya. Tidak ada lagi investasi besar, baik ekspansi maupun membangun kemampuan baru, kecuali pengeluaran untuk pemeliharaan dan perbaikan fasilitas.

  Sasaran keuangan adalah hal yang utama dalam tahap ini, sehingga diambil sebagai tolak ukur, yaitu memaksimumkan arus kas masuk dan pengurangan modal kerja.

  Dalam mengukur kinerja perusahaan dari perspektif keuangan, perusahaan juga dapat menggunakan analisis rasio. Adapun rasio yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja keuangan perusahaan menurut (Hansen dan Mowen, 2006 dalam Dewi, 2015) adalah sebagai berikut:

  a. Rasio Likuiditas, yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka pendeknya dengan menggunakan aset lancar yang dimiliki. Ukuran rasio yang digunakan untuk mengukur rasio likuiditas adalah Current Ratio, Quick Ratiodan Cash Ratio.

  b. Rasio Solvabilitas, disebut juga sebagai rasio leverage mengukur perbandingan dana yang memiliki perusahaan dengan dana yang dipinjam dari kredit perusahaan tersebut. Rasio yang digunakan untuk mengukur rasio solvabilitas yaitu Total Debt to Equity Ratio dan Total

  Debt to Total Asset Ratio.

c. Rasio Profitabilitas, yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur

  kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba. Ukuran yang dipakai untuk menghitung rasio profitabilitas yaitu Gross Profit Margin, Net

  Profit Margin, Return On Investment dan Return On Equity.

  d. Rasio Pertumbuhan, digunakan untuk menghitung besarnya tingkat pertumbuhan perusahaan dalam suatu periode tertentu. Rasio yang digunakan untuk menghitung rasio pertumbuhan adalah rasio laba terhadap saham beredar (EPS), rasio harga saham terhadap laba per lembar saham (P/E Ratio), rasio harga saham terhadap penjualan (P/S Ratio) dan rasio harga saham terhadap nilai buku (PB/V Ratio).

  2. Perspektif pelanggan Perspektif ini berorientasi pada pelanggan, yaitu pelayanan yang optimal terhadap pelanggan dan segmen pasar yang dikuasai oleh perusahaan.

  Dalam perspektif pelanggan ini, pengukuran dilakukan dengan lima aspek utama menurut (Kaplan, 1996:67 dalam Ciptani, 2000), yaitu: a) Pengukuran pangsa pasar

  Pengukuran terhadap besarnya pangsa pasar perusahaan mencerminkan proporsi bisnis dalam satu area bisnis tertentu yang diungkapkan dalam bentuk uang, jumlah customer, atau unit volume yang terjual atas setiap unit produk yang terjual.

b) Customer retention (retensi pelanggan)

  Pengukuran dapat dilakukan dengan mengetahui besarnya prosentase pertumbuhan bisnis dengan jumlah customer yang saat ini dimiliki oleh perusahaan.

  c) Customer acquisition (akuisisi pelanggan)

  Pengukuran dapat dilakukan melalui prosentase jumlah penambahan

  customer baru dan perbandingan total penjualan dengan jumlah customer baru yang ada.

  d) Customer satisfaction (kepuasan pelanggan)

  Pengukuran terhadap tingkat kepuasan pelanggan ini dapat dilakukan dengan berbagai macam teknik, diantaranya adalah: survei melalui surat/pos, interview melalui telepon, atau personal interview.

  e) Customer profitability (profitabilitas pelanggan)

  Profitabilitas pelanggan merupakan besar keuntungan yang berhasil diraih oleh perusahaan dari penjualan produk atau jasa kepada pelanggan. Profitabilitas pelanggan dihitung dari keutungan jasa atau produk dibagi dengan total pendapatan jasa atau produk dan dinyatakan dalam persen.

  Aspek-aspek pengukuran tersebut di atas masih bersifat terbatas, sehingga diperlukan pengukuran lain yaitu pengukuran terhadap semua aktivitas yang mencerminkan nilai tambah bagi customer yang berada pada pangsa pasar perusahaan. Pengukuran lain tersebut dapat berupa: atribut produk atau jasa yang diberikan kepada customer (kegunaan, kualitas dan harga), hubungan atau kedekatan antar customer (pengalaman membeli dan hubungan personal dengan customer), image dan reputasi produk atau jasa di mata customer.

  3. Perspektif proses bisnis internal Perspektif proses bisnis internal merupakan pengukuran terhadap seluruh kinerja perusahaan, termasuk manajer dan karyawan dalam menyediakan produk yang dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan dan pemegang saham. Ada tiga proses dalam perspektif bisnis internal, yaitu: (1) Proses Inovasi

  Proses inovasi merupakan hal yang penting untuk dapat mempertahankan posisi dalam segmen pasar yang telah dikuasai perusahaan atau bahkan meningkatkan posisi perusahaan dalam segmen pasar. Hal ini dikarenakan pelanggan selalu tertarik pada produk yang lebih canggih, lebih baik kualitas maupun bentuknya dan berbeda dibandingkan dengan produk-produk yang sudah ada di pasaran.

  Sehingga proses inovasi ini harus diperhatikan oleh perusahaan demi kepuasan pelanggan dan kemajuan perusahaan.

  (2) Proses Operasi Proses operasi lebih menitikberatkan pada efisiensi proses, konsistensi dan ketepatan waktu dari barang dan jasa yang diberikan kepada customer.

  Proses operasi ini berkaitan dengan penyediaan barang hingga barang sampai pada customer.

  (3) Pelayanan purna jual Pengukuran pelayanan purna jual terhadap customer, meliputi pelayanan servis, garansi, penanganan terhadap produk cacat atau rusak, serta proses pembayaran atas transaksi penjualan kredit. Pengukuran pada pelayanan purna jual ini merupakan hal yang penting karena berpengaruh pada tingkat kepuasan pelanggan terhadap perusahaan yang nantinya akan mempengaruhi pangsa pasar dan pendapatan perusahaan untuk jangka panjang.

  4. Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan Menurut (Hansen dan Mowen, 2006 dalam Dewi, 2015), perspektif pembelajaran dan pertumbuhan (infrastruktur) mendefinisikan kemampuan yang diperlukan oleh organisasi untuk memperoleh pertumbuhan jangka panjang dan perbaikan bahwa perspektif pembelajaran dan pertumbuhan ini memiliki tiga tujuan utama, yaitu:

  (1) Peningkatan kemampuan pegawai Dalam usaha untuk meningkatkan kemampuan pegawai, perusahaan perlu memberikan pelatihan kepada pegawai agar pegawai memiliki keahlian yang diharapkan dapat bersinergi untuk mencapai tujuan perusahaan.

  (2) Peningkatan motivasi pegawai Motivasi merupakan hal yang sangat penting bagi pegawai, karena dengan motivasi yang tinggi akan meningkatkan semangat pegawai dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, sehingga berpengaruh pada kinerja yang baik yang akan memudahkan perusahaan untuk menjalankan strategi dan mencapai tujuan perusahaan. Tidak dipungkiri bahwa motivasi terkadang naik turun, sehingga perusahaan perlu melakukan tindakan untuk meningkatkan motivasi pegawai agar pegawai bisa memberikan kinerja terbaik untuk pencapaian tujuan perusahaan. (3) Peningkatan kemampuan sistem informasi Informasi yang tepat dan akurat sangat diperlukan oleh pegawai.

  Pegawai akan terbantu dengan ketersediaan informasi yang akurat mengenai informasi pelanggan, informasi jumlah barang, informasi ketersediaan barang dan informasi lainnya. Sehingga perusahaan perlu meningkatkan kemampuan sistem informasi, agar kinerja pegawai dan aktivitas perusahaan berjalan dengan lancar.

  2.2.5 Kerangka Berpikir

  Untuk memudahkan penelitian, maka penulis menggambarkan kerangka pemikiran atas penelitian ini sebagai berikut: Analisis Pengukuran Kinerja Perusahaan dengan Pendekatan

  Balanced Scorecard pada CV Alamtara Indonesia

  Proses Perspektif

  Perspektif Pembelajaran dan

  Proses Bisnis Pelanggan

  Pertumbuhan Internal

  1. Kepuasan karyawan

  1. Proses inovasi

  1. Retensi pelanggan

  2. Retensi karyawan

  2. Proses Operasi

  2. Akuisisi Pelanggan

  3. Masa kerja karyawan

  3. Pelayanan purna

  3. Kepuasan pelanggan jual

  4. Motivasi, pemberdayaan dan keselarasan

  Pengumpulan Data Data Primer & Data Sekunder Hasil pengujian dan pembahasan

  Kesimpulan dan saran

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Penelitian

  2.2.6 Penelitian Terdahulu

  Beberapa penelitian mengenai penerapan balanced scorecard untuk penilaian kinerja suatu organisasi telah dilakukan oleh beberapa peneliti pada organisasi yang berbeda dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana hasil penilaian kinerja organisasi atau perusahaan dengan menggunakan pendekatan balanced scorecard. Beberapa jurnal penelitian tersebut diantaranya:

  1. Fevi Milyarsih (2015) yang melakukan penelitian dengan judul “Analisis Pendekatan Balanced Scorecard Sebagai Alat Pengukuran Kinerja Terhadap PT Godangtua Jaya Farming”. Variabel penelitian tersebut adalah perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif bisnis internal serta perspektif pertumbuhan dan pembelajaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perspektif keuangan terlihat kurang baik walaupun ada beberapa rasio yang fluktuatif sebagai berikut, kemampuan dalam membayar utang dari aktiva lancar sebesar 201,94%, kemampuan dari keseluruhan aktiva dalam membayar hutang sebesar 174,57%, perolehan laba bersih dari total asetnya sebesar 6,85%, kemampuan dalam mengembalikan investasi 6,86%, laba bersih dari total aset setelah dikurangi kewajiban sebesar 19,8%, perputaran aset untuk menghasilkan pendapatan sebesar 168,02%.Sedangkan untuk perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal dan perspektif pertumbuhan dan pembelajaran masing- masing memiliki rata-rata persentase 82,72%, 72,15%, 68,48% dengan predikat perspektif pelanggan baik, perspektif proses bisnis internal baik dan perspektif pertumbuhan dan pembelajaran baik.

  2. Erika Ributari Nugrahayu dan Endang Dwi Retnani (2015) yang melakukan penelitian yang berjudul “Penerapan Metode Balanced Scorecard Sebagai Tolok Ukur Pengukuran Kinerja Perusahaan (Studi kasus pada PT Glory Indonesia Abadi)”. Variabel penelitian tersebut adalah perspektif keuangan, perspektif pelanggan, persepektif proses bisnis internal serta perspektif pertumbuhan dan pembelajaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penilaian kinerja pada perspektif keuangan menunjukkan angka yang fluktuatif, perspektif pelanggan menunjukkan hasil yang baik, perspektif proses bisnis internal menunjukkan bahwa perusahaan telah nelakukan proses inovasi seperti daur ulang bahan baku kertas menjadi kertas koran dan memproduksi macam-macam kertas HVS warna serta kesediaan pelayanan untuk memenuhi permintaan pelanggan di saat mendesak, sedangkan perspektif pertumbuhan dan pembelajaran menunjukkan kondisi kinerja perusahaan yang baik karena dapat meningkatkan kualitas para karyawannya, sehingga penerapan metode balanced scorecard dapat dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan suatu perusahaan.

  3. Yanne Christiani Tahaka (2013) yang melakukan penelitian dengan judul “Penerapan Balanced Scorecard Sebagai Alat Ukur Kinerja pada PT. Bank Sulut”. Variabel yang diteliti adalah perspektif keuangan, perspektif pelanggan yang meliputi akuisisi pelanggan dan retensi pelanggan, perspektif proses bisnis internal, serta perspektif pertumbuhan dan pembelajaran dilihat dari retensi karyawan dan pelatihan karyawan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perspektif keuangan sudah cukup baik karena mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, perspektif pelanggan pada akuisisi pelanggan dinilai belum maksimal, sedangkan dari retensi pelanggan dinilai sudah baik untuk mempertahankan jumlah dan kepuasan pelanggan dan sudah cukup baik dalam menangai keluhan pelanggan, pada perspektif proses bisnis internal, peningkatan pendapatan dan berkurangnya keluhan secara meyeluruh dinilai cukup baik, serta perspektif pertumbuhan dan pembelajaran yang dilihat dari retensi karyawan, PT. Bank Sulut mampu mempertahankan karyawannya, dan untuk pelatihan karyawan dinilai masih kurang sehingga menyebabkan produktivitas karyawan belum maksimal. Hasil keseluruhan pengukuran kinerja dari empat perspektif Balanced

  Scorecard diketahui bahwa kinerja perusahaan dinilai cukup baik.

  4. Wayan Adhitya Nugroho (2013) yang melakukan penelitian dengan judul “ Analisis Pengukuran Kinerja Perusahaan dengan Konsep Balanced Scorecard (Studi Kasus pada PT. Wijaya Karya)”. Variabel yang diteliti adalah perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal serta perspektif pertumbuhan dan pembelajaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengukuran kinerja dengan balanced scorecard pada PT. Wijaya Karya dari empat perspektif tersebut menghasilkan total pengukuran kinerja yang memuaskan, serta tingkat produktivitas dari setiap bagian tergolong baik, kecuali pada bagian industri lainnya dan perdagangan.

  5. Anggraini Puspita Sari dan Endang Dwi Retnani (2015), yang melakukan penelitian dengan judul “Penerapan Balanced Scorecard Sebagai Alat Pengukuran Kinerja Pada Rumah Sakit Islam Surabaya”. Variabel yang diteliti adalah perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal serta perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Rumah Sakit Islam Surabaya telah memiliki visi, misi, tujuan dan sasaran strategis yang jelas dan mudah dipahami. Indikator-indikator yang kinerja yang telah disesuaikan dengan kesepakatan pihak manajemen Rumah Sakit Islam Surabaya pada masing-masing perspektif balanced scorecard yaitu: perspektif keuangan terlihat pada tingkat pertumbuhan pendapatan, rasio operasi dan perbandingan laba dari pendapatan. ROI menunjukkan tingkat perbandingan pertumbuhan yang mencapai target. Perspektif pelanggan terlihat pada BOR, BTO, serta kepuasan pelayanan menunjukkan keberhasilan Rumah

  Sakit Islam Surabaya dalam memberikan pelayanan terbaiknya. Perspektif proses bisnis internal terdiri dari tingkat penyediaan obat, penambahan peralatan dan pemeliharaan dan sanitasi lingkungan telah terlaksana dengan baik. Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan menunjukkan bahwa produktivitas karyawan, lama pegawai bekerja, diklat dan seminar tercapai sehingga target terpenuhi.

  6. Firdaus Maulana Adi (2016) yang meneliti tentang “Analisis Pengukuran Kinerja Perusahaan Dengan Pendekatan Balanced Scorecard Pada Perusahaan Penerbit Buku Deepublish CV. Budi Utama Yogyakarta”. Hasil penelitian menunjukan bahwa kinerja perusahaan penerbit buku Deepublish dengan pendekatan Balance

  Scorecard menghasilkan total pengukuran kinerja yang baik. Perspektif keuangan

  baik, margin laba kotor sebesar 73,6%, margin laba operasi sebesar 18,27%, ROA sebesar 25,21%. Current Ratio sebesar 445,37%, dan TATO sebesar 137,97%. Perspektif pelanggan baik, namun ada catatan pada akuisisi pelanggan yang mengalami penurunan, retensi pelanggan mengalami penurunan sebesar 0,38%, akuisisi pelanggan mengalami penurunan sebesar 23,34%, dan tingkat kepuasan pelanggan pada tanggapan positif >50%. Perspektif bisnis internal kurang baik, ada bagian yang harus diperbaiki oleh manajemen yaitu pada bagian proses inovasi dan penanganan barang cacat, sedangkan untuk proses bisnis ada penurunan waktu sebesar 6 hari. Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan kurang baik, produktivitas karyawan mengalami penurunan sebesar Rp 8.138.170,00, perputaran karyawan mengalami peningkatan sebesar 16,62%, pada survey kepuasan karyawan tanggapan positif >60%.