peran negara birokrasi dalam ekonomi politik baru haris faozan 2002
Peran Negara Dan Birokrasi Dalam Ekonomi Politik Baru1
Oleh. Haris Faozan
Pendahuluan
Konsep demokrasi ekonomi senantiasa menjadi wacana yang tiada habis dibicarakan.
Menurut Sri Mulyani Indrawati, hal ini mungkin disebabkan oleh 2 (dua) hal. Pertama,
issue demokrasi ekonomi merupakan issue klasik yang memang tak akan pernah selesai
perdebatanya. Kedua, mungkin karena issue ini adalah issue yang begitu
multiinterpretatif, sehingga memungkinkan masuknya semua penafsiran dan
interpretasi, termasuk kekuasaan itu sendiri. Dalam konteks makalah ini, penafsiran dan
interpretasi diteropong melalui kacamata ekonomi politik.
Pokok-pokok kaidah negara yang fundamental yang tercantum di dalam Pembukaan
UUD’45 merupakan pondasi bagi berdirinya negara Indonesia. Salah satu nilai
fundamental tersebut mengamanatkan bahwa negara Republik Indonesia bertujuan
untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Penjabaran dari nilai
ini dituangkan dalam pasal 33 UUD’45 yang terdiri atas 3 ayat yang kesemuanya
merupakan pilar-pilar demokrasi ekonomi yang mendasari mekanisme perekonomian
nasional. Di dalam penjelasan pasal 33 UUD’45 dinyatakan sebagai berikut:
“Produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pemimpin pemilikan
anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan,
bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan
itu ialah “koperasi”. Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi,
kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting
bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasi oleh negara.
Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang seorang yang berkuasa dan
rakyat yang banyak ditindasnya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat
hidup orang banyak boleh ada di tangan orang seorang”.
Dari penjelasan tersebut berarti UUD’45 telah mengamanatkan kepada pemerintah dan
aparat birokrasinya agar berkomitmen dan melakukan intervensi dalam perekonomian
nasional untuk kemakmuran rakyat banyak. Namun demikian, kenyataannya amanat
tersebut belum dapat dilaksankan sebagaimana mestinya dan selayaknya perwujudan
keberpihakan negara dan birokrasi kepada rakyat banyak patut terus dipertanyakan.
Kecenderungan yang terjadi adalah munculnya keberpihakan negara dan birokrasi
kepada perusahaan orang seorang (konglomerat dan multinasional) sehingga
mengakibatkan terjadinya penguasaan sebagian besar perekonomian Indonesia di tangan
mereka. Meskipun debirokratisasi dan deregulasi terus dilakukan, tetapi keadaan
tersebut tetap menguntungkan birokrat dan perusahaan orang seorang, sementara usahaTerbit dalam buku “Menguak Peluang dan Tantangan Administrasi Publik: Bunga Rampai Wacana
Administrasi Publik”. Sugiyanto (editor), Jakarta: Lembaga Administrasi Negara, 2002.
1
1
usaha kecil dan koperasi sulit beranjak apalagi bersaing secara sehat. Saragih (1998)
menyatakan bahwa belum berkembangnya usaha-usaha kecil dan koperasi di tanah air,
selain disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi juga disebabkan oleh kecenderungan
oknum birokrat yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan dirinya,
keluarganya, maupun kelompoknya, baik secara sendiri-sendiri maupun berkolusi
dengan orang lain (pihak luar) yang biasa disebut sebagai korupsi.
Kondisi sebagaimana diuraikan di atas, menunjukkan bahwa demokrasi ekonomi
sebagaimana di amanatkan UUD’45 terasa berat untuk dapat diwujudkan. Hal ini akan
bertambah semakin berat karena liberalisasi dan globalisasi menghendaki berfungsinya
sebesar mungkin mekanisme pasar berdasarkan persaingan bebas yang lebih
memberikan kesempatan kepada mereka yang memiliki daya saing tinggi, sementara di
lain pihak demokrasi ekonomi menuntut diterapkannya semaksimal mungkin prinsip
keadilan dalam kesempatan berusaha maupun pemerataan pendapatan. Dengan
demikian, peran negara dan birokrasi yang mampu memberikan intervensi yang
proporsional dalam mekanisme pasar maupun prinsip keadilan dalam kesempatan
berusaha dan pemerataan pendapatan mutlak dibutuhkan.
Makalah ini akan mengupas bagaimana seharusnya negara dan birokrasi berperan di
dalam ekonomi politik baru (new political economy). Secara berturut-turut akan dibahas
teori peran negara dalam bidang ekonomi dan teori kegagalan pemerintah (government
failure). Makalah akan dilanjutkan dengan membahas peluang negara dan birokrasi
dalam ekonomi politik baru dari perspektif ekonomi politik.
Teori Peran Negara dalam Bidang Ekonomi
Beberapa teori tentang peran negara telah dibahas oleh para ekonom dan teori-teori
tersebut jauh melewati seluruh aneka warna politik (political spectrum). Berbagai upaya
telah dilakukan dalam rangka mengklasifikasikan teori-teori negara. Douglas C. North
(1979) berpendapat bahwa semua teori negara dapat dikategorikan ke dalam 2 (dua)
kelompok, yaitu: 1) teori kontrak (a contract theory) dan 2) teori negara pemangsa atau
eksploitatif (a predatory or exploitation theory). Teori kontraktarian negara melihat
kondisi rasionalitas individu-individu yang masuk ke dalam kontrak sosial bersama
indivudu-individu lain yang membentuk sebuah masyarakat komunal (communal
society). Buchanan (1994) mengamati bahwa dalam kesepakatan untuk diperintah
(agreeing to be governed), secara eksplisit atau implisit, pertukaran kebebasan
individual dengan yang lain yang sama-sama menyerahkan kebebasannya dalam
pertukaran untuk mendapatkan manfaat yang ditawarkan oleh sebuah rejim dicirikan
oleh keterbatasan perilaku (behavioural limits).
Di lain pihak, teori negara eksploitatif atau pemangsa senantiasa melihat peluang
memperoleh keuntungan dan memfokuskan pada pergulatan transfer-transfer kekayaan
yang dibuat serba mungkin oleh eksistensi kewenangan yang terpusat. Negara
pemangsa akan menetapkan seperangkat hak milik yang memaksimalkan pendapatan
kelompok di dalam kekuasaan tanpa memperhatikan dampaknya pada kemakmuran
masyarakat secara keseluruhan.
2
Sehubungan dengan hal tersebut, menarik kiranya pernyataan Alt dan Chrystal yaitu
bahwa negara bisa mempunyai peranan protektif atau netral, bisa produktif dan positif
tapi bisa juga eksploitatif atau negatif bagi ekonomi2. Dalam teori liberal klasik, negara
netral merupakan negara minimalis dengan fungsi yang terbatas pada ketertiban
masyarakat, pertahanan dan keamanan. Negara produktif adalah welfare state yang
menjalankan kebijakan publik sebagai upaya memperbaiki market failure. Sedangkan
negara eksploitatif merupakan bentuk negara yang justru menciptakan kegagalan
birokrasi karena pasar kemauan politik bertentangan dengan pasar ekonomi yang
sebenarnya.
Masih sejalan dengan pemikiran ini, Chang (1994) mengusulkan sebuah klasifikasi tiga
pihak (a tripartite of classification) dalam teori negara, yaitu: 1) the autonomous-state
approach, 2) the interest group approach, dan 3) the self-seeking bureaucrats
approach. The autonomous-state approach memandang negara sebagai kekuatan yang
terpisah dan independen dalam masyarakat. Kedua, the interest group approach
memandang negara hanya sebagai medium bagi kelompok-kelompok kepentingan
ekonomi dan pergerakan sosial yang memperebutkan porsi kebijakan publik dan alokasi
yang dihasilkan fiscal reward di antara yang lain. Ketiga, the self-seeking bureaucrats
approach secara langsung menyerang konsepsi ‘benevolent state’ dari paradigma
kegagalan pasar dengan asumsi bahwa pegawai-pegawai pemerintah berperilaku dalam
kerangka asumsi homo economicus3. Dengan kata lain birokrat mencari pemenuhan
kebutuhan mereka sendiri secara maksimal daripada kesejahteraan sosial pada
umumnya.
Kegagalan Pemerintah (Government Failure)
Wallis & Dollery (1999) menyatakan bahwa kegagalan pemerintah dapat diidentifikasi
ke dalam 3 (tiga) bentuk utama. Ketiga bentuk tersebut diuraikan oleh mereka sebagai
berikut: pertama, kegagalan legislatif (legislative failure) mengacu pada inefisiensi
dalam pengalokasian yang muncul dari banyaknya persyaratan barang publik karena
politisi mengejar strategi yang dirancang untuk memaksimalkan kesempatan dalam
pemilihan mereka kembali ketimbang merumuskan kebijakan yang akan menghasilakan
kebaikan bersama pada masa yang akan datang. Kondisi ini sedang marak terjadi di
Indonesia di mana kalangan anggota DPR/MPR sedang gencar-gencarnya mencoba
mencari peluang untuk mencapai kepentingan mereka sendiri. Budaya hormatmenghormati, saling asah, asih, dan asuh antara legislatif dan eksekutif (presiden)
hampir tidak tampak beberapa waktu belakangan ini.
Kedua, bahkan jika kebijakan-kebijakan yang bermanfaat secara sosial dapat
diterapkan, kegagalan birokrasi (bureaucratic failure) akan menjamin bahwa kebijakankebijakan tersebut tidak dapat diimplementasikan secara efisien karena pegawai negeri
2
3
Lihat Chriatianto Wibisono, Demokrasi Ekonomi dalam Perspektif Ekonomi Politik, Jurnal Administrasi dan
Pembangunan Vol 2, No. 1, 1998.
Didik J. Rachbini (1996) mengartikan konsep homo economicus sebagai suatu bentuk kecenderungan manusia untuk
memaksimalkan utilitas karena dihadapkan pada keterbatasan sumberdaya yang dimilikinya.
3
kurang cukup insentif untuk melaksanakan kebijakan secara efisien. Besarnya kuantitas
PNS yang dimiliki oleh republik ini, bukan berarti jumlah tersebut mampu menerapkan
berbagai kebijakan yang telah disepakati. Alasan mendasar yang sangat berbengaruh
terhadap ketidakmampuan PNS adalah tidak diterapkannya manajemen kinerja
(performance management) secara benar. Dengan tidak diterapkannya manajemen
kinerja secara benar berarti konsep kompensasi, karir, dan disiplin tidak dilaksanakan
secara benar. Ilustarsi semacam ini dapat menunjukkan betapa manajemen sumberdaya
manusia di kalangan instansi pemerintah dalam keadaan sangat kronis.
Bentuk ketiga kegagalan pemerintah terletak pada pemburu rente (rent-seeking) karena
sebenarnya intervensi pemerintah selalu menciptakan transfer kemakmuran dan orangorang yang menjadi penyedia sumberdaya terbatas tersebut dipekerjakan dalam
penciptaan kemakmuran sampai pada pendistribusian kembali kemakmuran yang ada
berdasarkan selera mereka. Kondisi semacam ini, para birokrat dan para pengambil
keputusan bukan lagi sebagai pihak-pihak yang bebas dari kepentingan pribadi, mereka
bukan pihak netral yang berpihak pada kepentingan publik. Sebaliknya para birokrat
dan para pengambil keputusan bertindak sebagai pelaku-pelaku tersendiri dengan
tujuan-tujuan untuk melayani kepentingan mereka.
Dalam kaitannya dengan pemburu rente ekonomi di Indonesia, Arief (1998)
menengaskan bahwa perbuatan pencarian dan pemupukan rente ekonomi pemerintah
bukan disebabkan oleh rendahnya pendapatan mereka, tetapi lebih berakar pada sikap
budaya feodal yang telah dimanifestasikan dalam bentuk sikap budaya sang penguasa
dan golongan priyayi yang mendukungnya. Sebagian kelompok birokrat dan priyayi
menjalankan kekuasaan atas nama sang penguasa melalui suatu sistem pemerintahan
yang sangat bersifat patrimonial.
Ekonomi Politik Baru
Pengertian ekonomi politik baru (new political economy) mulai dikaji sejak dasa warsa
1970-an. Dengan pakar-pakar seperti Anthony Downs, Mancur Olson, James Buchanan,
Gordon Tullock, dan Douglas North. Perspektif teori New Political Economy (NPE)
dikenal dengan sebutan Rational Choice atau Public Choice. Perspektif NPE berupaya
untuk menjembatani ilmu ekonomi denga fenomena dan kelembagaan non pasar (nonmarket institutions) pada bidang-bidang di luar ekonomi.
Dalam membahas NPE layak kiranya mengutip sebuah buku yang bertitel ‘Politics and
Policy Making in Developing Countries’, karya Gerald Meier yang menguraikan proses
perumusan dan pengambilan keputusan kebijakan publik yang mana terbagi dalam dua
model, yaitu 1) society-centered forces dan 2) state-centered meliputi teknokrat dan
birokrat4. Pada society-centered forces model maka masyarakat berada dalam kelas,
interest group dan partai politik. Masyarakat sebagai voter, memegang peranan penting
dalam mempengaruhi para pengambil keputusan. Sebaliknya dalam state-centered
forces model, masyarakat tidak memiliki peran signifikan dalam pengambilan
keputusan. Sementara itu di pihak lain, Stephan Haggard juga menulis ‘Pathways from
4
Lihat Christianto Wibisono (1998), op.cit.
4
the Periphery: The Politics of Growth in the Newly Industrializing Countries’. Kedua
pakar dan guru besar ekonomi internasional tersebut menyajikan gambaran yang
komprehensif mengenai kebijakan publik di negara maju dan berkembang yang
dibandingkan secara empiris dengan pola perumusan kebijakan di negara maju yang
telah mapan sistem politik dan demokrasinya5.
Dari tulisan kedua pakar tersebut, dapat disimpulkan sementara bahwa ekonomi politik
baru lebih dapat dirasakan dalam negara yang berkiblat pada masyarakat (societycentered forces) dan sulit diterapkan pada negara-negara berkembang. Menurut Olson
(1982), hal ini mungkin dapt disebabkan oleh keberadaan rent-seeker yang tidak akan
dengan suka rela melepaskan kepentingannya yang telah mapan untuk memperbaiki
kepentingan umum. Sementara itu Buchanan et al. (1980) mengemukakan bahwa proses
politik dalam suatu negara bisa merupakan suatu proses yang disebut sebagai a complex
competitive game.
Dalam proses politik ini berbagai pelaku ekonomi berusaha mempertahankan dan
bahkan memperluas kepentingan mereka yang kebanyakan saling bertentangan. Para
pelaku ekonomi kuat dan memiliki dana yang banyak dapat melakukan lobbying untuk
mempengaruhi para policy maker. Hubungan yang kuat antara rent-seeker dengan
policy makers tersebut tercipta suatu koalisi, yang dalam pemikiran Olson (1982)
dicetuskan dalam konsep distributional coalition. Koalisi yang dibangun merupakan
jejaring sejenis kartel yang bertujuan untuk meraup rente ekonomi semaksimal mungkin
bagi anggota-anggota kartel tersebut.
Di pihak lain Mitchel & Simmons (1994) telah mengembangkan model representative
democracy (Lihat Gambar 1). Model politik ini pada esensinya mengurangi
kompleksitas kehidupan politik dalam masyarakat industrialisasi secara kontemporer
menuju pada mekanisme politik untuk mengalokasikan sumberdaya terbatas yang
sejalan dengan mekanisme pasar.
Peluang Negara dan Birokrasi dalam Ekonomi Politik Baru
Kegagalan pasar (market failure) tejadi karena beberapa aspek mendasar yang harusnya
dipenuhi –keseimbangan pelaku-pelaku ekonomi, keadilan kesempatan berusaha,
kejelasan aturan main- belum dapat disediakan. Rachbini (1996) menyatakan bahwa
mekanisme pasar bukanlah problem solver dalam segenap masalah-masalah ekonomi,
dan tidak jarang pasar menimbulkan dampak eksternalitas.
5
Lihat Christianto Wibisono (1998), ibid.
5
Gambar 1
Public Choice Model of Politics
Security
Maximation
BURAEUCRATS
Utility Maximation
Profit Maximation
CONSUMERS
PRODUCERS
POLITICIANS
Vote
Maximation
Sumber: W.C. Mitchel and R.T. Simmons (1994), Beyond Politics, Westview Press,
SF. dalam Joe Wallis and Brian Dollery (1999)
Sementara itu kegagalan pemerintahan (government failure) dapat dipengaruhi oleh
beberapa aspek mendasar diantaranya adalah kegagalan legislatif, birokrasi, dan
keberadaan rent-seeking. Kedua kubu tersebut –kegagalan pasar dan kegagalan
pemerintahan- pada dasarnya dapat dijadikan peluang oleh negara untuk memperbaiki
kondisi keduanya. Untuk melihat konseptualisasi peranan negara sesuai dengan
kapabilitasnya, World Bank Development Report (1997) mengilustrasikan dalam
Gambar 2.
Sebagaimana telah diuuraikan di muka bahwa negara memiliki potensi untuk bertindak
positif maupun negatif dalam bidang ekonomi. Oleh karena itulah dalam kerangka
ekonomi politik baru peran negara dan birokrasi perlu diperbaiki dan dioptimalkan
sehingga ekonomi politik yang dihasilkan dapat memberikan manfaat yang besar
kepada rakyat banyak.
Dalam konteks ini Rachbini (1996) menyatakan bahwa tugas-tugas birokrasi dalam
bidang ekonomi harus mempertimbangkan perspektif teori-teori ekonomi yang
mengarah pada pasar, efisiensi, pencapaian keuntungan yang optimal, dan kesejahteraan
anggota masyarakat secara umum. Alasan-alasan pentingnya peran pemerintah dalam
sistem ekonomi pasar dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Dengan adanya market failure dalam sistem ekonomi, negara memiliki peluang
untuk berperan dalam mendukung mekanisme pasar secara lebih efektif. Efektivitas
mekanisme pasar yang tercipta dapat memberikan peluang terhadap tercapainya
kesejateraan para pelaku pasar secara lebih baik. Yang perlu mendapat perhatikan
secara seksama adalah sejauhmana negara mampu berperan sesuai dengan
kapasitasnya agar eksistensi pasar dapat meningkat lebih baik bukannya justru
bertambah buruk.
6
Gambar 2
Peranan Negara
Minimal
function
Intermediate
function
Addressing
market failure
Providing pure
public goods:
Defense
Law and Order
Property Right
Macroeconomics
management
Public Health
Addressing
externalities:
Improving
Equity
Protecting the
poor:
Antipoverty
programs
Disaster relief
Basic Education
Environmental
protection
Utility
regulation
Antitrust policy
Regulating
monopoly:
Overcoming
imperfect
information:
Insurance
(health, life,
pensions)
Financial
regulation
Consumer
protection
Providing
social
insurance:
Redistribution
pensions
Family
allowan ces
Unemployment
insurance
Coordinating
Redistribution:
private activity:
Fostering
Asset
markets
redistribution
Cluster
initiatives
Sumber: World Bank Development Report (1997) dalam Wallis & Dollery (1999)
Activist
function
2. Untuk dapat memasuki ekonomi pasar secara aman –tidak berdampak buruk
terhadap pasar itu sendiri- pemerintah perlu memiliki basis teori tentang pemerintah
dan perlu mengetahui bagaimana seharusnya berperilaku dalam sistem ekonomi
pasar. Kondisi demikian bukan saja akan sangat membantu publik dalam
menumbuhkan sistem ekonomi tetapi juga dapat mengembalikan kredibilitas
pemerintah di dalam sistem ekonomi pasar.
3. Tidak bekerjanya pasar secara sempurna dan minimnya informasi dapat
menyebabkan ketidakadilan dalam pengalokasian sumber-sumber ekonomi. Dalam
konteks ini pemerintah memiliki peran yang sangat penting, karena pasar tidak
mampu menciptakan distribusi sumber-sumber ekonomi secara adil dan merata, dan
bahkan lebih jauh pasar tidak mampu membimbing para pelaku pasar bertindak
berdasarkan etik dan moral.
7
Referensi
Arief, Sritua. 1998. Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan, PT. Pustaka CIDESINDO,
Jakarta.
Buchanan, James M. et al. (eds). 1980. Toward a Theory of Rent-Seeking Society,
Texas A & M University, College Station, Texas.
Jurnal Administrasi dan Pembangunan Vol 2, No. 1, 1998.
Olson, Mancur. 1982. The Rise and Decline of Nations, Yale University, New Haven,
Connecticut.
Rachbini, Didik J. 1996. Ekonomi Politik: Paradigma, Teori dan Perspektif Baru,
CIDES-INDEF, Jakarta.
Wallis, Joe and Brian Dollery. 1999. Market failure, government failure, leadership and
public policy, St. Martin’s Press, Inc., NY.
8
Oleh. Haris Faozan
Pendahuluan
Konsep demokrasi ekonomi senantiasa menjadi wacana yang tiada habis dibicarakan.
Menurut Sri Mulyani Indrawati, hal ini mungkin disebabkan oleh 2 (dua) hal. Pertama,
issue demokrasi ekonomi merupakan issue klasik yang memang tak akan pernah selesai
perdebatanya. Kedua, mungkin karena issue ini adalah issue yang begitu
multiinterpretatif, sehingga memungkinkan masuknya semua penafsiran dan
interpretasi, termasuk kekuasaan itu sendiri. Dalam konteks makalah ini, penafsiran dan
interpretasi diteropong melalui kacamata ekonomi politik.
Pokok-pokok kaidah negara yang fundamental yang tercantum di dalam Pembukaan
UUD’45 merupakan pondasi bagi berdirinya negara Indonesia. Salah satu nilai
fundamental tersebut mengamanatkan bahwa negara Republik Indonesia bertujuan
untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Penjabaran dari nilai
ini dituangkan dalam pasal 33 UUD’45 yang terdiri atas 3 ayat yang kesemuanya
merupakan pilar-pilar demokrasi ekonomi yang mendasari mekanisme perekonomian
nasional. Di dalam penjelasan pasal 33 UUD’45 dinyatakan sebagai berikut:
“Produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pemimpin pemilikan
anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan,
bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan
itu ialah “koperasi”. Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi,
kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting
bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasi oleh negara.
Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang seorang yang berkuasa dan
rakyat yang banyak ditindasnya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat
hidup orang banyak boleh ada di tangan orang seorang”.
Dari penjelasan tersebut berarti UUD’45 telah mengamanatkan kepada pemerintah dan
aparat birokrasinya agar berkomitmen dan melakukan intervensi dalam perekonomian
nasional untuk kemakmuran rakyat banyak. Namun demikian, kenyataannya amanat
tersebut belum dapat dilaksankan sebagaimana mestinya dan selayaknya perwujudan
keberpihakan negara dan birokrasi kepada rakyat banyak patut terus dipertanyakan.
Kecenderungan yang terjadi adalah munculnya keberpihakan negara dan birokrasi
kepada perusahaan orang seorang (konglomerat dan multinasional) sehingga
mengakibatkan terjadinya penguasaan sebagian besar perekonomian Indonesia di tangan
mereka. Meskipun debirokratisasi dan deregulasi terus dilakukan, tetapi keadaan
tersebut tetap menguntungkan birokrat dan perusahaan orang seorang, sementara usahaTerbit dalam buku “Menguak Peluang dan Tantangan Administrasi Publik: Bunga Rampai Wacana
Administrasi Publik”. Sugiyanto (editor), Jakarta: Lembaga Administrasi Negara, 2002.
1
1
usaha kecil dan koperasi sulit beranjak apalagi bersaing secara sehat. Saragih (1998)
menyatakan bahwa belum berkembangnya usaha-usaha kecil dan koperasi di tanah air,
selain disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi juga disebabkan oleh kecenderungan
oknum birokrat yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan dirinya,
keluarganya, maupun kelompoknya, baik secara sendiri-sendiri maupun berkolusi
dengan orang lain (pihak luar) yang biasa disebut sebagai korupsi.
Kondisi sebagaimana diuraikan di atas, menunjukkan bahwa demokrasi ekonomi
sebagaimana di amanatkan UUD’45 terasa berat untuk dapat diwujudkan. Hal ini akan
bertambah semakin berat karena liberalisasi dan globalisasi menghendaki berfungsinya
sebesar mungkin mekanisme pasar berdasarkan persaingan bebas yang lebih
memberikan kesempatan kepada mereka yang memiliki daya saing tinggi, sementara di
lain pihak demokrasi ekonomi menuntut diterapkannya semaksimal mungkin prinsip
keadilan dalam kesempatan berusaha maupun pemerataan pendapatan. Dengan
demikian, peran negara dan birokrasi yang mampu memberikan intervensi yang
proporsional dalam mekanisme pasar maupun prinsip keadilan dalam kesempatan
berusaha dan pemerataan pendapatan mutlak dibutuhkan.
Makalah ini akan mengupas bagaimana seharusnya negara dan birokrasi berperan di
dalam ekonomi politik baru (new political economy). Secara berturut-turut akan dibahas
teori peran negara dalam bidang ekonomi dan teori kegagalan pemerintah (government
failure). Makalah akan dilanjutkan dengan membahas peluang negara dan birokrasi
dalam ekonomi politik baru dari perspektif ekonomi politik.
Teori Peran Negara dalam Bidang Ekonomi
Beberapa teori tentang peran negara telah dibahas oleh para ekonom dan teori-teori
tersebut jauh melewati seluruh aneka warna politik (political spectrum). Berbagai upaya
telah dilakukan dalam rangka mengklasifikasikan teori-teori negara. Douglas C. North
(1979) berpendapat bahwa semua teori negara dapat dikategorikan ke dalam 2 (dua)
kelompok, yaitu: 1) teori kontrak (a contract theory) dan 2) teori negara pemangsa atau
eksploitatif (a predatory or exploitation theory). Teori kontraktarian negara melihat
kondisi rasionalitas individu-individu yang masuk ke dalam kontrak sosial bersama
indivudu-individu lain yang membentuk sebuah masyarakat komunal (communal
society). Buchanan (1994) mengamati bahwa dalam kesepakatan untuk diperintah
(agreeing to be governed), secara eksplisit atau implisit, pertukaran kebebasan
individual dengan yang lain yang sama-sama menyerahkan kebebasannya dalam
pertukaran untuk mendapatkan manfaat yang ditawarkan oleh sebuah rejim dicirikan
oleh keterbatasan perilaku (behavioural limits).
Di lain pihak, teori negara eksploitatif atau pemangsa senantiasa melihat peluang
memperoleh keuntungan dan memfokuskan pada pergulatan transfer-transfer kekayaan
yang dibuat serba mungkin oleh eksistensi kewenangan yang terpusat. Negara
pemangsa akan menetapkan seperangkat hak milik yang memaksimalkan pendapatan
kelompok di dalam kekuasaan tanpa memperhatikan dampaknya pada kemakmuran
masyarakat secara keseluruhan.
2
Sehubungan dengan hal tersebut, menarik kiranya pernyataan Alt dan Chrystal yaitu
bahwa negara bisa mempunyai peranan protektif atau netral, bisa produktif dan positif
tapi bisa juga eksploitatif atau negatif bagi ekonomi2. Dalam teori liberal klasik, negara
netral merupakan negara minimalis dengan fungsi yang terbatas pada ketertiban
masyarakat, pertahanan dan keamanan. Negara produktif adalah welfare state yang
menjalankan kebijakan publik sebagai upaya memperbaiki market failure. Sedangkan
negara eksploitatif merupakan bentuk negara yang justru menciptakan kegagalan
birokrasi karena pasar kemauan politik bertentangan dengan pasar ekonomi yang
sebenarnya.
Masih sejalan dengan pemikiran ini, Chang (1994) mengusulkan sebuah klasifikasi tiga
pihak (a tripartite of classification) dalam teori negara, yaitu: 1) the autonomous-state
approach, 2) the interest group approach, dan 3) the self-seeking bureaucrats
approach. The autonomous-state approach memandang negara sebagai kekuatan yang
terpisah dan independen dalam masyarakat. Kedua, the interest group approach
memandang negara hanya sebagai medium bagi kelompok-kelompok kepentingan
ekonomi dan pergerakan sosial yang memperebutkan porsi kebijakan publik dan alokasi
yang dihasilkan fiscal reward di antara yang lain. Ketiga, the self-seeking bureaucrats
approach secara langsung menyerang konsepsi ‘benevolent state’ dari paradigma
kegagalan pasar dengan asumsi bahwa pegawai-pegawai pemerintah berperilaku dalam
kerangka asumsi homo economicus3. Dengan kata lain birokrat mencari pemenuhan
kebutuhan mereka sendiri secara maksimal daripada kesejahteraan sosial pada
umumnya.
Kegagalan Pemerintah (Government Failure)
Wallis & Dollery (1999) menyatakan bahwa kegagalan pemerintah dapat diidentifikasi
ke dalam 3 (tiga) bentuk utama. Ketiga bentuk tersebut diuraikan oleh mereka sebagai
berikut: pertama, kegagalan legislatif (legislative failure) mengacu pada inefisiensi
dalam pengalokasian yang muncul dari banyaknya persyaratan barang publik karena
politisi mengejar strategi yang dirancang untuk memaksimalkan kesempatan dalam
pemilihan mereka kembali ketimbang merumuskan kebijakan yang akan menghasilakan
kebaikan bersama pada masa yang akan datang. Kondisi ini sedang marak terjadi di
Indonesia di mana kalangan anggota DPR/MPR sedang gencar-gencarnya mencoba
mencari peluang untuk mencapai kepentingan mereka sendiri. Budaya hormatmenghormati, saling asah, asih, dan asuh antara legislatif dan eksekutif (presiden)
hampir tidak tampak beberapa waktu belakangan ini.
Kedua, bahkan jika kebijakan-kebijakan yang bermanfaat secara sosial dapat
diterapkan, kegagalan birokrasi (bureaucratic failure) akan menjamin bahwa kebijakankebijakan tersebut tidak dapat diimplementasikan secara efisien karena pegawai negeri
2
3
Lihat Chriatianto Wibisono, Demokrasi Ekonomi dalam Perspektif Ekonomi Politik, Jurnal Administrasi dan
Pembangunan Vol 2, No. 1, 1998.
Didik J. Rachbini (1996) mengartikan konsep homo economicus sebagai suatu bentuk kecenderungan manusia untuk
memaksimalkan utilitas karena dihadapkan pada keterbatasan sumberdaya yang dimilikinya.
3
kurang cukup insentif untuk melaksanakan kebijakan secara efisien. Besarnya kuantitas
PNS yang dimiliki oleh republik ini, bukan berarti jumlah tersebut mampu menerapkan
berbagai kebijakan yang telah disepakati. Alasan mendasar yang sangat berbengaruh
terhadap ketidakmampuan PNS adalah tidak diterapkannya manajemen kinerja
(performance management) secara benar. Dengan tidak diterapkannya manajemen
kinerja secara benar berarti konsep kompensasi, karir, dan disiplin tidak dilaksanakan
secara benar. Ilustarsi semacam ini dapat menunjukkan betapa manajemen sumberdaya
manusia di kalangan instansi pemerintah dalam keadaan sangat kronis.
Bentuk ketiga kegagalan pemerintah terletak pada pemburu rente (rent-seeking) karena
sebenarnya intervensi pemerintah selalu menciptakan transfer kemakmuran dan orangorang yang menjadi penyedia sumberdaya terbatas tersebut dipekerjakan dalam
penciptaan kemakmuran sampai pada pendistribusian kembali kemakmuran yang ada
berdasarkan selera mereka. Kondisi semacam ini, para birokrat dan para pengambil
keputusan bukan lagi sebagai pihak-pihak yang bebas dari kepentingan pribadi, mereka
bukan pihak netral yang berpihak pada kepentingan publik. Sebaliknya para birokrat
dan para pengambil keputusan bertindak sebagai pelaku-pelaku tersendiri dengan
tujuan-tujuan untuk melayani kepentingan mereka.
Dalam kaitannya dengan pemburu rente ekonomi di Indonesia, Arief (1998)
menengaskan bahwa perbuatan pencarian dan pemupukan rente ekonomi pemerintah
bukan disebabkan oleh rendahnya pendapatan mereka, tetapi lebih berakar pada sikap
budaya feodal yang telah dimanifestasikan dalam bentuk sikap budaya sang penguasa
dan golongan priyayi yang mendukungnya. Sebagian kelompok birokrat dan priyayi
menjalankan kekuasaan atas nama sang penguasa melalui suatu sistem pemerintahan
yang sangat bersifat patrimonial.
Ekonomi Politik Baru
Pengertian ekonomi politik baru (new political economy) mulai dikaji sejak dasa warsa
1970-an. Dengan pakar-pakar seperti Anthony Downs, Mancur Olson, James Buchanan,
Gordon Tullock, dan Douglas North. Perspektif teori New Political Economy (NPE)
dikenal dengan sebutan Rational Choice atau Public Choice. Perspektif NPE berupaya
untuk menjembatani ilmu ekonomi denga fenomena dan kelembagaan non pasar (nonmarket institutions) pada bidang-bidang di luar ekonomi.
Dalam membahas NPE layak kiranya mengutip sebuah buku yang bertitel ‘Politics and
Policy Making in Developing Countries’, karya Gerald Meier yang menguraikan proses
perumusan dan pengambilan keputusan kebijakan publik yang mana terbagi dalam dua
model, yaitu 1) society-centered forces dan 2) state-centered meliputi teknokrat dan
birokrat4. Pada society-centered forces model maka masyarakat berada dalam kelas,
interest group dan partai politik. Masyarakat sebagai voter, memegang peranan penting
dalam mempengaruhi para pengambil keputusan. Sebaliknya dalam state-centered
forces model, masyarakat tidak memiliki peran signifikan dalam pengambilan
keputusan. Sementara itu di pihak lain, Stephan Haggard juga menulis ‘Pathways from
4
Lihat Christianto Wibisono (1998), op.cit.
4
the Periphery: The Politics of Growth in the Newly Industrializing Countries’. Kedua
pakar dan guru besar ekonomi internasional tersebut menyajikan gambaran yang
komprehensif mengenai kebijakan publik di negara maju dan berkembang yang
dibandingkan secara empiris dengan pola perumusan kebijakan di negara maju yang
telah mapan sistem politik dan demokrasinya5.
Dari tulisan kedua pakar tersebut, dapat disimpulkan sementara bahwa ekonomi politik
baru lebih dapat dirasakan dalam negara yang berkiblat pada masyarakat (societycentered forces) dan sulit diterapkan pada negara-negara berkembang. Menurut Olson
(1982), hal ini mungkin dapt disebabkan oleh keberadaan rent-seeker yang tidak akan
dengan suka rela melepaskan kepentingannya yang telah mapan untuk memperbaiki
kepentingan umum. Sementara itu Buchanan et al. (1980) mengemukakan bahwa proses
politik dalam suatu negara bisa merupakan suatu proses yang disebut sebagai a complex
competitive game.
Dalam proses politik ini berbagai pelaku ekonomi berusaha mempertahankan dan
bahkan memperluas kepentingan mereka yang kebanyakan saling bertentangan. Para
pelaku ekonomi kuat dan memiliki dana yang banyak dapat melakukan lobbying untuk
mempengaruhi para policy maker. Hubungan yang kuat antara rent-seeker dengan
policy makers tersebut tercipta suatu koalisi, yang dalam pemikiran Olson (1982)
dicetuskan dalam konsep distributional coalition. Koalisi yang dibangun merupakan
jejaring sejenis kartel yang bertujuan untuk meraup rente ekonomi semaksimal mungkin
bagi anggota-anggota kartel tersebut.
Di pihak lain Mitchel & Simmons (1994) telah mengembangkan model representative
democracy (Lihat Gambar 1). Model politik ini pada esensinya mengurangi
kompleksitas kehidupan politik dalam masyarakat industrialisasi secara kontemporer
menuju pada mekanisme politik untuk mengalokasikan sumberdaya terbatas yang
sejalan dengan mekanisme pasar.
Peluang Negara dan Birokrasi dalam Ekonomi Politik Baru
Kegagalan pasar (market failure) tejadi karena beberapa aspek mendasar yang harusnya
dipenuhi –keseimbangan pelaku-pelaku ekonomi, keadilan kesempatan berusaha,
kejelasan aturan main- belum dapat disediakan. Rachbini (1996) menyatakan bahwa
mekanisme pasar bukanlah problem solver dalam segenap masalah-masalah ekonomi,
dan tidak jarang pasar menimbulkan dampak eksternalitas.
5
Lihat Christianto Wibisono (1998), ibid.
5
Gambar 1
Public Choice Model of Politics
Security
Maximation
BURAEUCRATS
Utility Maximation
Profit Maximation
CONSUMERS
PRODUCERS
POLITICIANS
Vote
Maximation
Sumber: W.C. Mitchel and R.T. Simmons (1994), Beyond Politics, Westview Press,
SF. dalam Joe Wallis and Brian Dollery (1999)
Sementara itu kegagalan pemerintahan (government failure) dapat dipengaruhi oleh
beberapa aspek mendasar diantaranya adalah kegagalan legislatif, birokrasi, dan
keberadaan rent-seeking. Kedua kubu tersebut –kegagalan pasar dan kegagalan
pemerintahan- pada dasarnya dapat dijadikan peluang oleh negara untuk memperbaiki
kondisi keduanya. Untuk melihat konseptualisasi peranan negara sesuai dengan
kapabilitasnya, World Bank Development Report (1997) mengilustrasikan dalam
Gambar 2.
Sebagaimana telah diuuraikan di muka bahwa negara memiliki potensi untuk bertindak
positif maupun negatif dalam bidang ekonomi. Oleh karena itulah dalam kerangka
ekonomi politik baru peran negara dan birokrasi perlu diperbaiki dan dioptimalkan
sehingga ekonomi politik yang dihasilkan dapat memberikan manfaat yang besar
kepada rakyat banyak.
Dalam konteks ini Rachbini (1996) menyatakan bahwa tugas-tugas birokrasi dalam
bidang ekonomi harus mempertimbangkan perspektif teori-teori ekonomi yang
mengarah pada pasar, efisiensi, pencapaian keuntungan yang optimal, dan kesejahteraan
anggota masyarakat secara umum. Alasan-alasan pentingnya peran pemerintah dalam
sistem ekonomi pasar dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Dengan adanya market failure dalam sistem ekonomi, negara memiliki peluang
untuk berperan dalam mendukung mekanisme pasar secara lebih efektif. Efektivitas
mekanisme pasar yang tercipta dapat memberikan peluang terhadap tercapainya
kesejateraan para pelaku pasar secara lebih baik. Yang perlu mendapat perhatikan
secara seksama adalah sejauhmana negara mampu berperan sesuai dengan
kapasitasnya agar eksistensi pasar dapat meningkat lebih baik bukannya justru
bertambah buruk.
6
Gambar 2
Peranan Negara
Minimal
function
Intermediate
function
Addressing
market failure
Providing pure
public goods:
Defense
Law and Order
Property Right
Macroeconomics
management
Public Health
Addressing
externalities:
Improving
Equity
Protecting the
poor:
Antipoverty
programs
Disaster relief
Basic Education
Environmental
protection
Utility
regulation
Antitrust policy
Regulating
monopoly:
Overcoming
imperfect
information:
Insurance
(health, life,
pensions)
Financial
regulation
Consumer
protection
Providing
social
insurance:
Redistribution
pensions
Family
allowan ces
Unemployment
insurance
Coordinating
Redistribution:
private activity:
Fostering
Asset
markets
redistribution
Cluster
initiatives
Sumber: World Bank Development Report (1997) dalam Wallis & Dollery (1999)
Activist
function
2. Untuk dapat memasuki ekonomi pasar secara aman –tidak berdampak buruk
terhadap pasar itu sendiri- pemerintah perlu memiliki basis teori tentang pemerintah
dan perlu mengetahui bagaimana seharusnya berperilaku dalam sistem ekonomi
pasar. Kondisi demikian bukan saja akan sangat membantu publik dalam
menumbuhkan sistem ekonomi tetapi juga dapat mengembalikan kredibilitas
pemerintah di dalam sistem ekonomi pasar.
3. Tidak bekerjanya pasar secara sempurna dan minimnya informasi dapat
menyebabkan ketidakadilan dalam pengalokasian sumber-sumber ekonomi. Dalam
konteks ini pemerintah memiliki peran yang sangat penting, karena pasar tidak
mampu menciptakan distribusi sumber-sumber ekonomi secara adil dan merata, dan
bahkan lebih jauh pasar tidak mampu membimbing para pelaku pasar bertindak
berdasarkan etik dan moral.
7
Referensi
Arief, Sritua. 1998. Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan, PT. Pustaka CIDESINDO,
Jakarta.
Buchanan, James M. et al. (eds). 1980. Toward a Theory of Rent-Seeking Society,
Texas A & M University, College Station, Texas.
Jurnal Administrasi dan Pembangunan Vol 2, No. 1, 1998.
Olson, Mancur. 1982. The Rise and Decline of Nations, Yale University, New Haven,
Connecticut.
Rachbini, Didik J. 1996. Ekonomi Politik: Paradigma, Teori dan Perspektif Baru,
CIDES-INDEF, Jakarta.
Wallis, Joe and Brian Dollery. 1999. Market failure, government failure, leadership and
public policy, St. Martin’s Press, Inc., NY.
8