Para Tokoh Belum Hayati Etika Berdemokrasi

Para Tokoh Belum Hayati Etika
Berdemokrasi
Koento Wibisono
Di era reformasi sekarang ini proses jalannya demokrasi bagi bangsa Indonesia
justru semakin tersendat, hal ini disebabkan oleh beberapa instrument demokrasi
yang belum bisa berjalan secara optimal, instrument tersebut antara lain Partai
Politik, kalangan intelektual kampus, Ormas Islam, Birokrasi, aparat penegak
hukum dan lembaga legislative. Melihat fenomena tersebut apakah bangsa
Indonesia secara budaya dan politik masih memiliki potensi dan konsep
demokratisasi? Dan apa yang harus disumbangkan umat Islam dalam proses
demokratisasi untuk masa depan bangsa Indonesia? Untuk menjawabnya berikut
kita ikuti wawancara Ton Martono dari SM dengan Prof.DR.H.Koento Wibisono,
Guru Besar Filsafat UGM, Ketua disiplin ilmu Sastra dan Filsafat Majelis Dikti
Depdiknas, Ketua Umum Dewan Harian 45 Propinsi DIJ, Guru Besar di berbagai
Perguruan Tinggi termasuk IAIN Sunan Kalijaga dan Sunan Ampel Surabaya, dan
anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Secara filsafat inti demokrasi itu sebenarnya apa menurut anda?
Kalau kita melihat sejarahnya, pada abad ke-5 sebelum Masehi di Yunani Kuno
ada salah seorang filosof yang memperkenalkan demokrasi, pada waktu itu
kondisinya sedemikian rupa sehingga negara kota di Athena yang penduduknya
sekitar lima ribu orang itu bisa dikumpulkan jadi satu, lalu mengambil keputusan

dan keputusan itulah dikerjakan dalam kehidupan mereka. Jadi demokrasi pada
waktu itu adalah dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, tetapi hanya kaum pria
saja sedangkan kaum wanita tidak disertakan. Nah ide dasarnya itu lalu
dikembangkan dari tahun ke tahun hingga pada abad ke-l8 di Amerika Jeverson
itu yang memeperkenalkan demokrasi, bahkan tokoh penerusnya dialah yang
mendivinisikan bahwa dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat yang
penyelenggaraanya itu bisa langsung, satu hal yang sudah tidak mungkin bagi
perkembangan negara maju dan moden dan demokrasi di selenggarakan secara
perwakilan, Perwakilan itu melalui pemungutan suara atau melalui Pemilihan
Umum secara syah. Jadi yang perlu diperhatikan adalah demokrasi itu
mengandung makna kebebasan, demokrasi merupakan satu institusi atau lembaga
yang menjadi wadah dan ajang bagi pengembangan kebebasan itu tadi. Nah
disinilah demokrasi menuntut syarat-syarat yang sebagaimana seharusnya kalau
demokrasi itu akan menunjukkan makna yang benar dan tepat. Artinya bahwa
demokrasi itu memberikan kebebasan kepada seluruh warga masyarakat dan
kebebasan itu dilaksanakan melalui pemilihan umum secara bebas. Kemenangan
dalam pemilihan umum akan memperoleh kursi dalam perwakilan. Dan semangat
demokrasi mengandung arti juga adanya perbedaan pendapat dalam arti
pluralisme, dan pluralisme mengandung kesetiaan untuk menerima keputusankeputusan yang di terima secara mayoritas. Namun demikian kemenangan


mayoritas dalam demokrasi bukanlah merupakan satu kekuatan yang otoriter,
tidak ada pemekasaan mayoritas atas minoritas itu yang perlu diperhatikan. Jadi
kalau kita melihat perkembangan demokrasi dalam arti makna yang benar, bahwa
demokrasi itu mengandung kebebasan, kebebasan akan berkembang sebagaimana
yang menjadi ideal kalau didukung apa yang sekarang terkenal dengan hak asasi,
setiap individu mempunyai hak dan kewajiban. Hak asasi hanya akan berlangsung
secara ideal kalau di dukung oleh supremasi hukum, supremasi hukum dalam
pengembangannya harus disemangati oleh roh demokrasi, kalau tidak supremasi
hukum akan menjadi suatu yang represif dan kontraproduktif.
Jadi demokrasi dalam praktek atau dalam proses demokratisasi yang sehat itu
seperti apa yang sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia?
Menurut hemat saya ada trilogy dalam proses demokratisasi itu terlepas darimana
memulainya unsure yang integral dan menyatu yakni demokrasi, hak asasi
manusia dan supremasi hukum. Demokrasi akan berkembang dalam arti
demokrasi politik, ekonomi, sosial kalau di dukung oleh hak asasi. Hak asasi
dalam kata yang sebenarnya akan bisa dilaksanakan secara ideal kalau didukung
dengan hukum yang suprematif, setiap orang memiliki kedudukan yang sama
dihadapan hukum, hukum akan mendukung hak asasi kalau didukung oleh roh
demokrasi, tanpa disemangati oleh roh demokrasi hukum akan menjadi represif.
Nah demokrasi untuk masa depan Indonesia saya pikir masih berproses dalam

waktu yang cukup lama, karena bangsa kita baru belajar demokrasi, karena kita
itu selama tiga puluh tahun lebih kita mengalami penyumbatan artikulasi
komunikasi antar warga, disumbat oleh kekuasaan otoriter sedemikian rupa
sehingga dengan tumbangnya kekuasaan Orde Baru yang otoriter itu melalui
reformasi. Tapi sayangnya sekarang ini reformasi kehilangan daya dasarnya dan
kehilangan arah setelah tujuan utama itu dicapai. Gerakan reformasi yang
dimualai tahun l998 itu tujuan utamanya adalah melengserkan Presiden dari kursi
kekuasaannya, tetapi setelah presiden dilengserkan unsur-unsur reformasi jadi
kehilangan dasar dan arah, masing-masing mengembangkan gagasan secara
sendiri-sendiri, akibatnya keadaan seperti sekarang ini yakni melahirkan partaipartai politik yang belum bisa memungkinkan untuk mengembangkan demokrasi
dalam arti yang sebenarnya, karena syarat-syarat pendukungnya belum tersedia.
Demokrasi yang kita gembar-gemborkan tentang adanya kebebasan-kebebabsan,
tetapi kebebasan itu tanpa didukung oleh adanya hak asasi dan supremasi hukum,
sehingga sekarang ini demokrasi mengalami distorsi. Misalnya orang yang
menuntut keadilan, keadilan memang dalam secara filosofi sangat abstrak tidak
bisa diraba, tetapi keadilan menjadi sangat kongkrit kalau seseorang atau
masyarakat merasa keadilannya itu dirampas. Saya mengusulkan dimasa
mendatang demokrasiu itu bisa di masukkan dalam pendidikan formal di sekolag
dari SD hingga Perguruan Tinggi agar arti demokrasi itu bisa difahami dan di
amalkan oleh bangsa Indonesia.

Apakah bangsa Indonesia ini secara budaya dan politik cukup memiliki potensi
atau konsep demokratisasi seperti yang anda utarakan tadi?

Kalau kita bicara soal budaya bahwa setiap kebudayaan itu ada dua unsur yakni
desertasi dan progresif, disertasi adalah masyarakat yang mempunyai anggapan
nilai-nilai yang terbaik, nilai-nilai budaya yang harus dipertahankan karena
dianggap itu yang paling baik sedemikian rupa sehingga upaya untuk
melestarikannya bisa berlangsung. Disisi lain tidak ada kebudayaan yang tidak
progresif, nah disinilah bahwa budaya itu ada unsur-unsur perubahan yang lebih
baik. Di Indonesia misalnya budaya gotong royong itu masih sangat kental di
kalngan masyarakat, tetapi sejauh mana kegotongroyongan itu bisa
diimprovisasikan sebagai masyarakat yang terbuka dalam kompetisi dan
berprestasi dan sebagainya. Dan mudah-mudahan bangsa Indonesia ini setelah
tahun 2004 ada kristalisasi, terutama partai politik itu bisa menimba pengalamanpengalaman dari kesalahn-kesalahan selama ini.
Apakah anda merasa optimis bahwa Partai Politik yang ada sekarang ini bisa
menjadi instrument demokratisasi di Indonesia?
Saya masih agak pesimis walaupun seharusnya bisa, cuma ya itu tadi kondisinya
sekarang ini sama sekali belum mendukung bagi berlakunya instrumen politik,
karena kondisi obyektif sekarang Partai-partai politik yang ada orientasinya ke
tahun 2004 untuk merebut kekuasaan, sehingga demokrasi yang mereka emban itu

demokrasi yang sempit demokrasi yang terpaku kepada kepentingan kelompok
yang kadang-kadang kepentingan kelompok itu mengorbankan kepentingan yang
lebih besar. Sekarang ini banyak partai politik yang secara internal itu ingin
mempertahankan semangat demokrasi semangat reformasi dengan
mempertahankan konstitusi malah akhirnya pecah satu sama lain.
Melihat situasi yang demikian, bagaimana kemungkinan yang akan terjadi pada
pemilu tahun 2004, apakah bisa merobah keadaan atau tidak?
Kalau dalam ilmu filsafat itu tidak ada kata kemungkinan, tetapi yang kita
harapkan adalah bahwa Panitia Pemilihan Umum yang akan datang supaya
menata dengan aturan yang lebih demokratis. Pengalaman-pengalaman masa
lampau rakyat Indonesia semakin matang dalam menjalankan praktek demokrasi
sedemikian rupa sehingga hasil Pemilu yang akan datang itu bisa lebih baik.
Lalu apa yang harus disumbangkan oleh umat Islam dalam proses demokratisasi
di Indonesia?
Manuver awal yang paling baik adalah ketika Ketua PP Muhammadiyah Syafii
Maarif dengan Ketua PB NU Hasyim Muzadi menjalin silaturahmi dan menjalin
kekeluargaan, ini merupakan satu awal yang menggembirakan bagi umat Islam.
Mudah-mudahan momen itu menumbuhkan citra Islam dalam sebuah kedamaian
dan ramah, sebab selama ini citra umat Islam tercoreng akibat ulah beberapa
kelompok Islam garis keras yang membawa image di masyarakat sebagai Islam

itu identik dengan kekerasan, teroris dan sebagainya.

Pertemuan itu merupakan hawa sejuk, sehingga Islam menjadi tidak ditakuti dan
Islam adalah damai.
Lalu apa harapan anda terhadap para elit politik dan intelektual kampus serta
Ormas Islam dan elit partai politik agar peran mereka bisa lebih optimal dalam
proses demokratisasi di Indonesia?
Saya kira para tokoh, baik dari elit parpol, ormas Islam, kalangan intelaktual itu
masih belum mampu menghayati secara filosofi dalam etika berdemokrasi,
mereka bertindak hanya secara praktis dan untuk kepentingan sesaat terutama bagi
elit parpol. Sementara untuk kalangan intelektual kampus saya kira bisa menjadi
eksponen-ekponen mercusuar, tetapi jangan lupa bahwa kampus pun tidak akan
bisa lepas dari pengaruh lingkungan, sehingga apapun sekarang itu dibutuhkan
suatu kontrol yang ketat, sebab kalau tidak kampuspun bisa terkooptasi oleh
pengaruh lingkungan luar yang ganas. Jadi kalangan kampus diharapkan melalui
tokoh-tokoh intelektualnya bisa mampu secara optimal berperan dalam proses
demokratisasi yang obyektif dan netral.
Kemudian untuk Ormas Islam supaya mereka mampu menjadikan dirinya sebagai
salah satu instrumen, tetapi instrumen ini akan berhasil kalau lingkungannya
mendukung proses demokratisasi yang disemangati oleh hak asasi dan supremasi

hukum.
Sumber: SM-02-2005