FILOSOFI PENDIDIKAN Pandangan Para Tokoh

1

LANDASAN FILOSOFIS PENDIDIKAN
(Pandangan Para Tokoh Pendidikan Indonesia)

Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Landasan Pendidikan yang Dibimbing
oleh Dr. Waras, MPd

Disusun oleh:
Ahmad Chafid Alwi, S.Pd
Arwini Hasyim, S.Pd

PROGRAM S2 PENDIDIKAN EKONOMI
PASCA SARJANA UNIVERSITAS NEGERI MALANG
2015

2

A. PENDAHULUAN

Hakekat pendidikan perlu dipahami dengan mendalami arti landasan

pendidikan secara mendalam. Landasan-landasan pendidikan dan pembejaran
adalah asumsi, atau gagasan, keyakinan, prinsip yang dijadikan titik tolak atau
pijakan dalam rangka berpikr atau melakukan praktik pendidikan dan
pembelajaran.

Landasan-landasan

pendidikan meliputi

Landasan-Landasan

Historis, Filosofis, Politik, Ekonomi, Psikologis, Sosiologis, Antropologis, dan
Komparatif. Dalam konteks ini pendidikan dapat dimaknai berbeda-beda sesuai
dengan prinsip-prinsip yang dijiwai dari masing masing landasanlandasan ini.
Karya ilmiah ini ditulis bertujuan untuk menjelaskan landasan filosofis
pendidikan. Dihasilkan melalui studi deskriptif yang di dapat dari berbagai
sumber. Fokus pada tulisan ini adalah pembahasan landasan filosofis yang
dimulai dari makna filosofis dari berbagai tokoh, penjelasan filosofis pendidikan
yang di Indonesia dengan menghadirkan beberapa pemikiran dari Ki Hajar
Diwantara, KH. Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan, serta menghadirkan

fakta-fakta mengenai nilai filosofi pendidikan yang sudah mulai hilang. Tokohtokoh tersebut kami hadirkan sebagai wujud penghargaan kami atas jasa-jasanya
untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Ki Hajar Diwantara adalah bapak
pendidikan Indonesia yang ikut andil dalam mencerdaskan bangsa Indonesia di
era penjajahan. KH. Hasim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan juga merupakan
tokoh yang sangat berperan dalam perkembangan pendidikan Pondok Pesantren,
madrasah-madrasah, dan sekolah Muhammadiyah.
Kami berharap tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi insan akademika
yang sedang mendalami Landasan-landasan pendidikan.

B. DEFINISI FILOSOFI
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, filosofi/filsafat adalah 1.
pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang
ada, sebab, asal, dan hukumnya; 2. Teori yang mendasari alam pikiran atau suatu
kegiatan; 3 ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistimologi.

3

Pemaparan Cohen LNM dalam Abdul Halim dan Supriyono menjelaskan
bahwa Filosofi berarti “Cinta Kebijaksanaan”. Kata Filosofi terbentuk dari 2 kata
dari bahasa Yunani , yaitu philo yang berarti cinta dan Sophos yang berarti

kebijaksanaan. Dengan demikian Filosofi (Filsafat) dapat diartikan sebagai cinta
kebijaksanaan (alhikmah). Beberapa tokoh terkenal memberikan pengertianpengertian yang sedikit berbeda. Hal ini lebih jelas digambarkan pada table
berikut:

No.

Tokoh

Makna filosofi

1

SOCRATES

proses yang mempertanyakan asal-usul alam
dan

berusaha

menggunakan


menjawabnya
rasio

dan

dengan

tidak

lagi

mempercayai hal-hal yang berkaitan dengan
mitos

(penyelidikan

hakikat

alam


dan

untuk

memahami

realitasnya

dengan

mengandalkan akal budi).

2

PLATO

penyelidikan tentang sebab-sebab dan asasasas yang paling akhir dari segala sesuatu
yang ada.


3

ARISTOTLE

upaya mencari prinsip-prinsip dan penyebabpenyebab berbagai realitas yang ada.

4

RENE DESCRATES

himpunan dari segala pengetahuan yang
pangkal penyelidikannya berkaitan dengan
Tuhan, alam, dan manusia.

5

TITUS

proses pemikiran terhadap yang benar yang
bersifat kritis, terbuka, toleran, bersedia

meninjau masalah dari berbagai sudut tanpa
prasangka.

Fisafat

berusaha

untuk

memperoleh pandangan menyeluruh dari
berbagai ilmu dan pengalaman manusia.
6

AL-FARABI

ilmu

tentang

alam


yang

maujud

dan

4

bertujuan

menyelidiki

hakekat

yang

sebenarnya.
Sumber: Diadopsi dari presentasi Dr. Hariwahyono,M.Pd. 2015. Filsafat Ilmu Ekonomi


Filosofi berkeinginan memahamkan manusia akan hubungan yang
menyeluruh antara sifat alamiah dunia dan ketuhanan. Filosofi menguraikan
pikiran alami manusia, dimana manusia dan institusinya dapat saling memahami.
Filosofi melihat untuk memahami apakah manusia bebas atau dalam perbudakan
dan apakah dia dapat merubah jalan sejarah. (K.K. Shrivastava, 2003)
Filosofi seperti sebuah idealism dan realism. Kembali pada tubuh secara
utuh yang memberikan pandangan dunia mengenai pendidikan hanyalah sebuah
bagian. Sebaliknya, pendidikan teorinya berfokus pada pendidikanya sendiri dan
pendidikannya di sekolah.

5

1. Filosofis idealisme merupakan hakikat dunia fisik hanya bisa dipahami
dengan ketergantungan pada jiwa dan spirit. Kaum idealis percaya bahwa
anak merupakan bagian dari alam spiritual yang memiliki pembawaan
spiritual yang sesuai dengan potensialnya. Pendidikan yang idealisme
memandang anak sebagai tujuan bukan alat.
2. Filosofis realisme merupakan pengetahuan manusia itu dalam gambaran
yang baik dan tepat dari kebenaran. Menurut aliran realisme murid adalah
yang mengalami inferiorisasi berlebih karena ia dipandang tak memiliki

pengetahuan apapun kecuali apa-apa yang pendidikan berikan
3. Filosofis Esensialisme merupakan aliran yang ingin kembali pada
kebudayaan-kebudayaan lama. Tujuannya yakni agar anak didik bisa
mencapai kebahagiaan demi kebaikan hidupnya sendiri
4. Filosofis prakmatisme merupakan aliran dengan tokohnya Dewey yang
mengatakan bahwa sistem pendidikan sekolah harus diubah, dimana sains
tidak harus diberikan melalui

buku-buku, melainkan harus diberikan

kepada siswa melalui praktik dan tugas-tugas yang berguna
5. Metafisika menyelidiki hakikat realitas atau menjawab petanyaan: “Apa
hakikat realitas?”. Bidang telaah dari flsafat-metafisika merupakan tempat
berpijak dari setiap pemikiran filsafati termasuk pemikiran ilmiah.
Metafisika diibaratkan sebagai tempat landasan meluncurkan pemikiran
manusia untuk berspekulasi secara filsafati tentang hakikat dunia yang
sepintas nyata ini.
6. Epistemologi berasal dari bahasa Latin “episteme” yang artinya “ilmu
pengetahuan” dan “logos” yang berarti “teori”. Jadi epistemologi berarti
teori


ilmu

pengetahuan

(Salahudin,

2011:

131).

Epistemologi

mempertanyakan: “Apa hakekat ilmu pengetahuan?” Bagaimana kita dapat
mengetahui?”. Epistemologi berhubungan dengan pengetahuan dan
mengetahui. Epistemologi berhubungan erat dengan metode mengajar dan
belajar. Bagi orang idealis, pengetahuan

dan mengetahui dipandang

sebagai mengingat ide-ide laten di dalam pikiran. Para realis memandang
pengetahuan bermula dengan sensasi obyek (stimulus sensori). Para

6

pragmatis memandang bahwa kita menciptakan pengetahuan dengan
berinteraksi dengan lingkungan (pemecahan masalah).

Setelah kita mengkaji istilah istilah yang terdapat pada table di atas kita dapat
mendalami makna pendidikan berdasarkan kajiannya. Berikut pemaparannya:
a.

Menurut

pandangan

idealism

metafisik,

realitas

adalah

ketidakperubahan spiritual atau mental. Sedangkan menurut realism
metafisik, realitas adalah obyektif dan yang disusun dari bahan dan
bentukan yang bercampur berdasarkan hokum alam. Menurut
pragmatis metafisik, realitas adalah interaksi individu dengan
lingkungan atau pengalaman yang juga selalu berubah. Sedangkan
menurut eksistensilis metafisik, realitas adalah subyektif, dengan
pokok-pokok terdahulu yang sudah ada.
b. Menurut idealis aksiologi, mengetahui adalah berfikir kembali tentang
ide-ide yang terpendam. Berdasarkan realis epistimologi, mengetahui
teridiri atas sensasi dan abstraksi. Hasil “mengetahui” juga berasal dari
pencarian pengalaman yang didapat dari penggunaan metode ilmiah.
Sedangkan

menurut

eksesial

epistimologi,

mengetahui

berarti

membuat pilihan personal.
c. Dipandang dari aksiologi idealism, nilai adalah sesuatu yang absolut
dan kekal, dan realis menambahkan bahwa keabsolutan itu berdasarkan
pada hokum alam. Sedangkan menurut pragmatis aksiologi, nilai
bersifat situasional atau relative, dan berdasarkan eksistensialism, nilai
haruslah menjadi pilihan yang bebas.
d. Idealism penerapan pendidikan, subyek bahan kurikulum menekankan
ide yang besar dari budaya. Pandangan realism, subyek bahan
kurikulum sangat menekankan humanistic dan disiplin ilmiah.
Menurut pragmatis, pengajaran yang mengatur pemecahan masalah
sesuai metode ilmiah. Pandangan eksensialisme mengangggap dialog
kelas merangsang kesadaran tiap individu untuk menciptakan konsep
pilihannya masing-masing.

7

C. FILSAFAT PENDIDIKAN INDONESIA
1. Konsep dari Pandangan Ki Hajar Dewantara
Dasar-dasar pendidikan barat dirasakan Ki Hajar Dewantara tidak
tepat dan tidak cocok untuk mendidik generasi muda Indonesia karena
pendidikan barat bersifat regering, tucht, orde (perintah, hukuman dan
ketertiban). Menurut Ki Hadjar Dewantara pendidikan adalah daya-upaya
untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter),
pikiran (intelek) dan tubuh anak, dalam rangka kesempurnaan hidup dan
keselarasan dengan dunianya. Pendidikan itu membentuk manusia yang
berbudi pekerti, berpikiran (pintar, cerdas) dan bertubuh sehat.
Menurut Ki Hajar Diwantara seharusnya bangsa Indonesia
haruslah, pertama, manusia Indonesia yang berbudi pekerti adalah yang
memiliki kekuatan batin dan berkarakter. Artinya, pendidikan diarahkan
untuk meningkatkan citra manusia di Indonesia menjadi berpendirian
teguh untuk berpihak pada nilai-nilai kebenaran. Ekspersi kebenaran itu
terpancarkan secara indah dalam dan melalui tutur kata, sikap, dan
perbuatannya terhadap lingkungan alam, dirinya sendiri dan sesamanya
manusia. Jadi, budi pekerti adalah istilah yang memayungi perkataan,
sikap dan tindakan yang selaras dengan kebenaran ajaran agama, adatistiadat, hukum

positif,dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai

kemanusiaan universal.
Kedua, manusia di Indonesia yang maju pikirannya adalah yang
cerdas kognisi (tahu banyak dan banyak tahu) dan kecerdasannya itu
membebaskan dirinya dari kebodohan dan pembodohan dalam berbagai
jenis dan bentuknya (misalnya: karena rekayasa penjajah berupa
indoktrinasi). Istilah maju dalam pikiran ini menunjukkan meningkatnya
kecerdasan dan kepintaran. Manusia yang maju pikirannya adalah manusia
yang berani berpikir tentang realitas yang membelenggu kebebasannya,
dan berani beroposisi berhadapan segala bentuk pembodohan
Ketiga, manusia di Indonesia yang mengalami kemajuan pada
tataran fisik atau tubuh adalah yang tidak semata sehat secara jasmani, tapi
lebih-lebih memiliki pengetahuan yang benar tentang fungsi-fungsi

8

tubuhnya dan memahami fungsi-fungsi itu untuk memerdekakan dirinya
dari segala dorongan ke arah tindakan kejahatan. Manusia yang maju
dalam aspek tubuh adalah yang mampu mengendalikan dorongandoroangan tuntutan tubuh. Dengan dan melalui tubuh yang maju itu pula,
pikiran yang maju dan budi pekerti yang maju memperoleh dukungan
untuk mendeklarasi kemerdekaan diri dari segala bentuk penindasan ego
diri yang pongah dan serakah di satu sisi dan memiliki kemampuan untuk
menegaskan eksistensi diri secara beradab sebagai manusia yang merdeka
(secara jasmani dan ruhani) di sisi lain. Dalam praksis kehidupan,
kemajuan dalam tubuh bisa dipahami sebagai memiliki kekuatan untuk
memperjuangkan

kemerdekaan

dan

keterampilan

untuk

mengisi

kemerdekaan itu dengan segala pembangunan yang humanis.
Dalam konteks penalaran atas konsep pendidikan Ki Hajar
Dewantara di atas, pendidikan adalah upaya pemanusiaan manusia secara
manusiawi secara utuh dan penuh ke arah kemerdekaan lahiriah dan
batiniah. Dengan makna pendidikan yang demikian, proses pendidikan
dapat mengembalikan manusia kembali kepada hakekatnya.
Sejalan dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara yang menekankan
pentingnya karakter budi pekerti muncul dua tokoh yang sangat
berpengaruh di Indonesia. Beliau yaitu KH Hasyim Asyari dan KH
Ahmad Dahlan, keduanya mengedepankan karakter akhlakul karimah
(perbuatan yang baik dan benar) dalam pendidikanya.

2. Konsep Pendidikan Menurut KH. Ahmad Dahlan
Tujuan Pendidikan menurut KH. Ahmad Dahlan, pendidikan islam
hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi
pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu
keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Tujuan
pendidikan tersebut merupakan pembaharuan dari tujuan pendidikan yang
saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan
sekolah model Belanda. Disalah satu sisis pendidikan pesantren hanya bertujuan
untuk menciptakan individu yang salih dan mengalami ilmu agama. Sebaliknya,

9

pendidikan sekolah Belanda merupakan pendidikan sekuler yang didalamnya
tidak diajarkan sama sekali. Akibat dialisme pendidikan tersebut lahirlah dua
kutub intelegensi : lulusan pesantren yang menguasai ilmu agama namun tidak
memiliki pengetahuan umumdan sekolah Belanda yang menguasai ilmu umum
namun tidak menguasai ilmu agama. Melihat ketimpangan tersebut, KH. Ahmad
Dahlan

berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah

melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu agama dan ilmu umum,
material, dan spiritual serta duania dan akhirat. Bagi KH. Ahmad Dahlan
berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah pendidikan yang
utuh yang menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan spiritual serta
dunia dan akhirat. Bagi KH. Ahmad Dahlan kedua hal tersebut adalah (agamaumum, material-spiritualdan dunia-akhirat) merupakan hal yang tidak bias
dipisahkan satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan mengapa KH. Ahmad
Dahlan mengajarkan pelajaran agama dan ilmu umum sekaligus di Madrasah
Muhammadiyah.
Materi pendidikan berangkat dari tujuuan pendidikan tersebut KH. Ahmad
Dahlan berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya
meliputi :
a. Pendidikan moral, akhlaq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter
manusia yang baik berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b. Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran
individu yang utuh yang berkesinambungan antara perkembangan mental
dan gagasan, antara keyakinan fan intelek serta antara dunia dengan
akhirat.
c. Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan
kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.
Model mengajar didalam menyampaikan pelajran agama KH.
Ahmad Dahlan tidak menggunakan pendekatan yang tekstual. Karena
pelajaran agama

tidak cukup hanya dihafalkan atau dipahami secara

kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai dengan situasi dan kondisi. Cara
belajar-mengajar dipesantren menggunakan system Weton dan Sorogal,
madrasah Muhammadiyah menggunakan system masihal seperti Sekolah

10

Belanda. Bahan pelajaran agama di Pesantren mengunakan kitab agama.
Sedangkan di Muhammadiyah bahan pelajarannya diambil dari buku-buku
umum. Dipesanten hubungan guru-murid dipesantren biasanya terkesan
otoriter karena kyai dianggap memiliki ilmu yang sakral. Sedangkan
madrasah Muhammadiyah mulai mengembangkan hubungan murid yang
sah (Raejodin,2012)

3. Konsep Pendidikan Menurut KH Hasyim Asy’ari
Tujuan pendidikan yang ideal menurut K.H. Hasyim Asy’ari
adalah untuk membentuk masyarakat yang beretika tinggi (akhlaqul
karimah). Rumusan ini secara implisit dapat terbaca dari beberapa hadits
dan pendapat ulama yang dikutipnya. Beliau menyetir sebuah hadits yang
berbunyi: “diriwayatkan dari Aisyah r.a. dari Rasulullah SAW bersabda :
kewajiban orang tua terhadapnya adalah membaguskan namanya,
membaguskan

ibu

susuannya

dan

membaguskan

etikanya”

(Alfauzany,2012). K.H. Hasyim tidak merumuskan definisi belajar secara
kongkret dalam karyanya Adab ‘Alim Wa Al-Muta’allim. Untuk
mendapatkan rumusan yang jelas tentang konsep belajar beliau, mau tidak
mau harus menarik pengertian dari keseluruhan isi kitab, baru kemudian
dicoba dirumuskan definisi tersebut.
Tujuan pendidikan yaitu untuk mewujudkan masyarakat beretika,
titik tekan pada moralitas itu tampak mendominasi di berbagai tempat
dalam karyanya. Konsep dasar belajar yaitu mengembangkan seluruh
potensi jasmani dan rohani untuk pelajar, menghayati, menguasai dan
mengamalkan secara benar ilmu-ilmu yang dtuntut untuk keperluan dunia
dan agama. Konsep dasar mengajar yaitu ada beberapa hal etika yang
harus dilakukan guru dianataranya: mendekatkan diri kepada Allah,
bersikap tenang, wara/ tawadhu, khusu; mengadukan segala persoalan
kepada allah, bersikap zuhud, dan rajin memperdalam kajian keilmuan.
Konsep dasar belajar menurut K.H. Hasyim Asya’ri sesungguhnya dapat

11

ditelusuri melalui penjelasannya tentang etika seorang murid yang sedang
belajar, etika seorang murid terhadap pelajarannya, dan etika seorang
murid terhadap sumber belajar (kitab, buku, dan guru). Dari tiga konsep
etika tersebut dapat ditemukan gambaran yang cukup terang bagaiman
konsep dan prinsip-prinsip belajar menurut beliau. K.H. hasyim
mengiventarisir terdapat sepuluh macam etika yang harus dicamkan
seorang siswa dalam belajar, Berdasarkan kutipan Sarwo imam taufiq;
2008; 28) dari Kitab Adab A’lim Wa Muta’allim karangan K.H. Hasyim
Asy’ari bahwa yaitu : (1) membersihkan hati dari berbagai sifat yang
mengotori, seperti : iri, dengki, dendam serta akhlak dan akidah yang
rusak.(2) meniatkan mencari ilmu semata-mata karena Allah SWT, untuk
mengamalkannya, menghidupkan syari’atnya dan menyinari hatinya. (3)
menyegerakan menuntut ilmu selagi kesempatan memungkinkan.(4)
bersifat menerima terhadap pemberian tuhan. (5) membagi waktu dengan
sebaik-baiknya. (6) menyedikitkan makan dan minum, karena kebanyakan
makan menyebabkan kemalasan. (7) wara’ (8) menghindari makan yang
dapat menimbulakan kemalasan dan mengurangi kecerdasan. (9)
mengurangi

tidur

selama

tidak

membahayakan

kesehatan.

(10)

menghindarai pergaulan yang tidak bermanfaat, terlebih lagi terhadap
lawan jenis.
Konsep kedua: etika seorang murid ketika sedang belajar, K.H.
Hasyim menginventariskannya menjadi tiga belas macam, yaitu: (1)
mendahulukan mempelajari ilmu yang bersifat fardhu ‘ain. (2) memahami
tafsir serta seluk beluknya.(3) berhati-hati dalam menyikapi persoalan
yang masih menjadi perdebatan para ulama. (4) mendiskusikan atau
mengkonsultasikan hasil belajar kepada orang yang dipercayainya. (5)
segera menyimak suatu ilmu, terutama hadist. (6) mempunyai motivasi
yang tinggi untuk selalu menelalah ilmu dan tidak menunda-nundanya. (7)
dekat

dengan

orang

alim

serta

bersama-sama

mengkajinya.(8)

mengucapkan salam ketika memasuki suatu majelis ta’lim. (9) aktif
bertanya (10) sportif dalam bertanya ketika banyak yang bertanya (11)
hendaknya membacakan kitab dihadapan syekh atau guru, ketika snag

12

guru sedang tidak sibuk. (12) memantapkan pemahaman (13) senang
terhadap ilmu.
Konsep ketiga : etika seoarng murid terhadap sumber belajar
(buku, kitab), kiai Hasyim mengiventariskan menjadi lima macam etika,
yaitu: (1) hendaknya murid memiliki buku yang diperlukan. (2) dianjurkan
untuk meminjam buku kepada orang lain (saling percaya). (3) meletak
buku pada tempatnya. (4) jika mau meminjam atau membeli, hendaklah
teliti. (5) suci dari hadas ketika menela’ah buku.

4. Konsep pendidikan yang ada di Indonesia
Pancasila adalah dasar Negara Republik Indonesia. Pancasila yang
dimaksud

adalah

Pancasila

yang

rumusannya

termaktub

dalam

“Pembukaan” Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, yaitu: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpi oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Karena Pancasila adalah dasar Negara Indonesia,
implikasinya maka Pancasila juga adalah dasar pendidikan nasional.
Sejalan dengan ini Pasal 2 Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003
Tentang “Sistem Pendidikan Nasional” menyatakan bahwa: “Pendidikan
nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Sehubungan dengan hal di atas, bangsa Indonesia memiliki
landasan filosofis pendidikan tersendiri dalam sistem pendidikan
nasionalnya, yaitu Pancasila. Kita perlu mengkaji nilai-nilai Pancasila
untuk dijadikan titik tolak dalam rangka praktek pendidikan maupun studi
pendidikan lebih lanjut. Barangkali Anda bertanya: “jika demikian halnya,
untuk apa kita mempelajari landasan filosofis pendidikan dari berbagai
aliran (Idealisme, Konstruktivisme, Pragmatisme, dsb.)
Metafisika: Hakikat Realitas. Bangsa Indonesia meyakini bahwa
realitas atau alam semesta tidaklah ada dengan sendirinya, melainkan
sebagai ciptaan (makhluk) Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan adalah Sumber

13

Pertama dari segala yang ada, Ia adalah Sebab Pertama dari segala sebab,
tetapi Ia tidak disebabkan oleh sebab-sebab yang lainnya; dan Ia juga
adalah tujuan akhir segala yang ada. Di alam semesta bukan hanya realitas
fisik atau hanya realitas non fisik yang ada, realitas yang bersifat fisik
dan/atau non fisik tampak

dalam

pluralitas fenomena alam semesta

sebagai keseluruhan yang integral. Terdapat alam fana dengan segala isi,
nilai,

norma

atau

hukum

di

dalamnya.

Alam

tersebut

adalah

tempat/prasarana dan sarana bagi manusia dalam rangka hidup

dan

kehidupannya, dalam rangka melaksanakan tugas hidup untuk mencapai
tujuan hidupnya. Di balik itu, terdapat alam akhir yang abadi dimana
setelah mati manusia akan dimintai pertanggung jawaban dan menerima
imbalan atas pelaksanaan tugas hidup dari Tuhan YME. Dalam uraian di
atas tersurat dan tersirat makna adanya realitas yang bersifat absolut dan
relatif, terdapat realitas yang bersifat abadi dan realitas yang bersifat fana.
Epistemologi:

Hakikat

Pengetahuan.

Segala

pengetahuan

hakikatnya bersumber dari Sumber Pertama yaitu Tuhan YME. Tuhan
telah menurunkan pengetahuan baik melalui Utusan-Nya (berupa wahyu)
maupun melalui berbagai hal yang digelarkanNya di alam semesta
termasuk hukum-hukum yang terdapat di dalamnya. Manusia dapat
memperoleh

pengetahuan

melalui

keimanan/kepercayaan,

berpikir,

pengalaman empiris, penghayatan, dan intuisi.
Aksiologi: Hakikat Nilai. Sumber Pertama segala nilai hakikatnya
adalah

Tuhan

YME.

Karena

manusia

adalah

makhluk

Tuhan,

pribadi/individual dan sekaligus insan sosial, maka hakikat nilai
diturunkan dari Tuhan YME, masyarakat dan individu.

D. FILOSOFI PENDIDIKAN YANG SUDAH MULAI HILANG
Era globalisasi dan perkembangan peradaban manusia khususnya
di Indonesia tentunya membawa perubahan yang besar pada masyarakt
Indonesia. Terlebih dalam bidang pendidikan Indonesia. Perkembangan
tata perpolitikan modern ternyata juga sedikit banyak mempengaruhi
pendidikan Indonesia. Di era globalisasi ini pengetahuan umum sangat

14

dibutuhkan dalam hidup bermasyarakat. Melalui pengetahui umum
seorang individu dapat memecahkan suatu permasalahan ayng ada
disekitarnya. Meskipun memiliki pengetahuan umum, ternyata sekarang
masih banyak penyimpangan –penyimpangan yang terjadi diantaranya
yakni pembunuhan, perampokan, korupsi, nepotisme, dan lain sebagainya.
Hal ini dikarenakanan kurangnya pengetahun mengenai agama. Sehingga
ketika seorang individu bertindak tidak hanya secara logika namun juga
berdasar agama. Oleh karena itu, perlu diseimbangkan antara agama dan
pengetahuan umum. Perkembangan peradaban ini mulai melunturkan
karakter bangsa Indonesia yang seharusnya terus dijaga.
Pertama, dari segi social, budaya budi pekerti nampaknya perlahan
mulai sirna di dunia pendidikan. Masa ini diawali ketika anak berada pada
jenjang sekolah menengah atau madrasah tsanawiyah. Namun mulai
sangat nampak pada pendidikan atas seperti SMA dan Perguruan Tinggi.
Konsep pendidikan modern yang mengusung misi “guru adalah teman”
nampak mulai menunjukkan sisi negatifnya. Rasa hormat kepada guru
sudah berkurang yang ditunjukkan dengan sikap beraninya peserta didik
untuk bercanda yang berlebih kepada gurunya, mengubah nama gurunya
dengan beragam inisial, tatacara menyapa gurunya yang mulai kurang
sopan, bahkan sudah mulai ada yang memulai kisah kasih kepada gurunya.
Ini adalah fenomena yang hampir ada di seluruh daerah di Indonesia.
Dalam ajaran filsafat pendidikan Indonesia zaman dahulu etika budi
pekerti menjadi penekanan. Menganggap “guru adalah orang tua” ketika
berada disekolah, sehingga keluh kesah siswa dan permasalahan siswa
disampaikan dengan cara yang benar layaknya anak menceritakan
masalahnya kepada orang tuanya. Hal ini yang sudah hilang dalam filosofi
pendidikan Indonesia yang seharusnya mulai kita munculkan kembali
dalam dunia pendidikan.
Kedua, yurisdiksi pemerintah juga mulai menggeser peranan
pendidikan yang seharusnya. Perubahan kurikulum yang secara yuridis
dan sangat sering dilakukan oleh pemerintah Indonesia justru menjadikan
pendidikan Indonesia tidak jelas arah tujuannya.

Bukan diartikan

15

kurikulum 2013 tidak bagus, tetapi lebih kepada proses terbentuknya dan
terlaksananya kurikulum yang kurang bagus. Kesan setiap terjadi
pergantian menteri pendidikan pasti berubahlah kurikulumnya seakan
melekat pada masyarakat awam. Dua kurikulum digunakan di tahun yang
sama dan bahkan berbeda wilayah beda kurikulumnya. Hal ini menjadikan
pendidikan pada tahun 2015 ini menjadi tidak jelas tujuannya. KTSP dan
Kurikulum 2013 memiliki konsepsi pengajaran yang berbeda. Sehingga
yang terjadi, sekolah yang sudah menerapkan kurikulum 2013 memiliki
fasilitas lebih untuk mengajak peserta didiknya berpikir scientific.
Sedangkan pada sekolah yang masih menerapkan KTSP terlebih untuk
daerah 3T (terdepan, terbelakang, terpelosok) menjadi semaikin tertinggal
kemajuannya. Tentunya hal ini sangatlah tidak baik bagi pendidikan
Indonesia.
Ketiga, hal terpenting yang sudah mulai hilang dari filosofi
pendidikan Indonesia yakni kejujuran. Nilai siswa semestinya didapatkan
dari sutau proses pembelajaran dari siswa tersebut. Nilai didapat
dikarenakan kemampuan yang dimiliki siswa. namun pada kenyataanya
beberapa siswa melakukan berbagai cara untuk mendapatkan nilai yang
bagus. Cara-cara tersebut diantaranya dengan cara mencontek dari teman
lain, melihat catatan dibuku, membuat kertas-kertas kecil, dan lain
sebagainya. Padahal tanpa sadar mereka telah membohongi dirinya sendiri
dikarenakan mendapatkan nilai tidak dikarenakan kemampuannya. Hla
yang sama dilakukan oleh guru. Dimana yang seharusnya niali yang
diberikan menjadi tolak ukur kemampuan siswa tersebut. Malah terdapat
beberapa guru memanipulasi nilai siswa dikarenakan alasan agar nilai pada
mata pelajaran tersebut dianggap baik ataupun dengan alasan untuk
menolong siswa khususnya siswa yang kesulitan pada mata pelajaran
tersebut.

16

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim dan Supriyono. 2012. Teori-Teori dan Diskursus (White Paper):
Landasan-Landasan Pendidikan dan Pembelajaran. Malang:
PascaSarjana Universitas Negeri Malang
Cohen, L.N.M. 1999.Module One: History and Philosophy of Education. School
of Education. Oregon: Oregon State University
Hamzah Harun Al-Rasyid. 2015. Konsep Pemdidikan Menurut KH. Hasyim
Asyari.

(online):

http://hamzah-

harun.blogspot.co.id/2012/02/konsep-pendidikan-menurutkhhasyim_08.html . diakses pada 30 September 2015 pukul 23.41
WIB
Rahman Zuhdi. 2013. Pendidikan akhlak KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim
Asyari. Skripsi tidak diterbitkan. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga
Reojudin. 2012.Pemikiran Pendidikan Kh. Ahmmad
Dahlan.(Online),http://cahaya
ibnuadam.blogspot.ca/2012/02/pemikiran-pendidikan-khahmaddahlan.html?m=1. Dikases pada tanggal 2 Oktober 2015
Robert D. Heslep. Chapter 12: Philosophical roots of education. Western Oregon
University
Sambho, B & Yasunari, O. 2010. Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara Dan
Tantangantantangan Implementasinya Di Indonesia Dewasa Ini.
Skripsi tidak diterbitkan. Bandung: Universitas Katolik
Parahyangan
Salahudin, A.2011.Filsafat Pendidikan.Bandung: CV Pustaka Setia
Shrivastava KK. 2003. Philosophical Foundation of Education. New Delhi:
KANISHKA PUBLISHERS
Tatang . 2010. Bahan Belajar Mandiri: Landasan Filosofis Pendidikan.
Wahjoedi. Filsafat ilmu: landasan membangun pengetahuan Ilmiah. Malang:
Universitas Negeri Malang
Wahyono,H. 2015. Filsafat Ilmu Ekonomi. Malang: PPs UM

17

Yoyok Amirudin. 2014. Konsep Pemikiran Abdurahman Wahid Tentang
Pendidikan Nilai Karakter. Tesis tidak diterbitkan. Yogyakarta:
UIN Sunan Kalijaga

Dokumen yang terkait

EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN (P3K) TERHADAP SIKAP MASYARAKAT DALAM PENANGANAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Di Wilayah RT 05 RW 04 Kelurahan Sukun Kota Malang)

45 393 31

PENGEMBANGAN TARI SEMUT BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER DI SD MUHAMMADIYAH 8 DAU MALANG

57 502 20

STRATEGI PEMERINTAH DAERAH DALAM MEWUJUDKAN MALANG KOTA LAYAK ANAK (MAKOLA) MELALUI PENYEDIAAN FASILITAS PENDIDIKAN

73 431 39

ANALISIS VALIDITAS BUTIR SOAL UJI PRESTASI BIDANG STUDI EKONOMI SMA TAHUN AJARAN 2011/2012 DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN JEMBE

1 50 16

ANTARA IDEALISME DAN KENYATAAN: KEBIJAKAN PENDIDIKAN TIONGHOA PERANAKAN DI SURABAYA PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG TAHUN 1942-1945 Between Idealism and Reality: Education Policy of Chinese in Surabaya in the Japanese Era at 1942-1945)

1 29 9

Pandangan Islam Tentang politik pendidikan

0 29 69

PENGARUH HASIL BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN TERHADAP TINGKAT APLIKASI NILAI KARAKTER SISWA KELAS XI DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH DI SMA NEGERI 1 SEPUTIH BANYAK KABUPATEN LAMPUNG TENGAH TAHUN PELAJARAN 2012/2013

23 233 82

JUDUL INDONESIA: IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA METRO\ JUDUL INGGRIS: IMPLEMENTATION OF INCLUSIVE EDUCATION IN METRO CITY

1 56 92

NILAI PENDIDIKAN KARAKTER PADA CERPEN-CERPEN KARYA SISWA SMP DALAM MAJALAH HORISON DAN IMPLIKASINYA SEBAGAI BAHAN AJAR SASTRA DI SMP

2 33 89

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TINGGI TANJUNG KARANG PERKARA NO. 03/PID.SUS-TPK/2014/PT.TJK TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI DANA SERTIFIKASI PENDIDIKAN

6 67 59