Interaksi sosial antar umat beragama: studi kasus jama'ah Shalawat Wahidiyah dan jama'ah Nahdliyin di Desa Sukorejo Kab. Sidoarjo.

(1)

INTERAKSI SOSIAL ANTAR UMAT BERAGAMA

(Studi Kasus Jama’ah Shalawat Wahidiyah dan Jama’ah Nahdliyin Di Desa Sukorejo Kab. Sidoarjo)

Skripsi

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Disusun Oleh

:

Brenda Fadkhuli Jannahti

NIM. E02213004

PROGRAM STUDI AGAMA-AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

TAHUN


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Brenda Fadkhuli Jannahti E02213004, Interaksi Sosial Antarumat Beragama (Studi Kasus Jama’ah Shalawat Wahidiyah dan Jama’ah Nahdliyin yang berada di Desa Sukorejo Kab. Sidoarjo).

Penelitian ini merupakan hasil penelitian lapangan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dua persoalan, yaitu pertama, untuk mendeskripsikan sejarah, ajaran, dan aktivitas keagamaan jama’ah Wahidiyah dan jama’ah Nahdliyin. Dimana masing-masing jama’aah ini memiliki sejarah , ajaran, dan aktivitas yang berbeda, akan tetapi dua jama’ah tersebut saling menghormati, meskipun mempunyai pemahaman yang berbeda. Kedua, untuk menganalisis bentuk interaksi sosial antara jama’ah Wahidiyah dengan jama’ah Nahdliyin (NU). Dimana bentuk interaksi sosial mempunyai makna sebagai kegiatan individu atau kelompok individu dalam rangka pertentangan, pemanfaatan, partisipasi, dan penyesuaian dengan individu atau kelompok individu lainnya (lingkungannya). Manfaat dari penelitian ini sebagai sumber informasi khususnya dalam bermasyarakat. dan jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yaitu penelitian lapangan yang menggambarkan suatu kenyataan sosial dalam masyarakat. penelitian ini menggunakan penelitian lapangan dengan metode kualitatif. metode ini menjadi langkah awal bagi penulis untuk melihat, mengamati dan menyelidiki fakta-fakta yang terjadi, setelah penulis melakukan wawancara dan dokumentasi. sumber data dari penelitian ini diperoleh dari masyarakat yang di jadikan informan yaitu jama’ah lembaga keagamaan tersebut dan tokoh masyarakat desa Sukorejo. Hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh peneliti tentang Interaksi Sosial Antarumat Beragama (Studi kasus Jama’ah Wahiddiyah dan Jama’ah Nahdliyin di Desa Sukorejo, Kab. Sidoarjo) bahwa Interaksi sosial sangatlah penting untuk dilakukan karena dengan cara berinteraksi dapat membuat kesejahteraan hidup bagi setiap individu, bahkan interaksi sosial yang baik dapat mempererat tali persaudaraan antar umat beragama. Dengan cara berinteraksi kepada lembaga keagamaan lain dapat memperoleh pengetahuan dan pengalaman baru. Oleh karena itu adanya interaksi sosial merupakan kunci dari kehidupan sosial, tanpa adanya interaksi sosial, tidak akan mungkin ada kehidupan bersama. Kata Kunci: Interaksi Sosial, Umat Beragama, Jama’ah Shalawat


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL LUAR...

SAMPUL DALAM...i

PERSETUJUAN PEMBIMBING...ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ...iii

PERNYATAAN KEASLIAN...iv

MOTTO...v

ABSTRAK...vi

PERSEMBAHAN...vii

KATA PENGANTAR...viii

DAFTAR ISI...x

DAFTAR TABEL...xi


(8)

xi BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah...1

B. Rumusan Masalah...6

C. Tujuan Penelitian...6

D. Manfaat Penelitian...6

E. Tinjauan Pustaka...7

F. Metode Penelitian...9

G. Sistematika Pembahasan...14

BAB II: LANDASAN TEORI A. Agama 1. Pengertian Agama...16

2. . Fungsi Agama dalam Masyarakat...18

3. Peran Agama di Masyarakat...20

B. Interaksi Sosial 1. Pengertian Interaksi Sosial...21

2. Unsur Dasar Interaksi Sosial...23

3. Ciri-ciri Interaksi Sosial...25

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Interaksi Sosial...25

5. Faktor-faktor yang Mendasari Berlangsungnya Interaksi Sosial...28

6. Bentuk-bentuk Interaksi Sosial...30

C. Teori Agama Perspektif Emile Durkheim...35


(9)

A. Gambaran Wilayah Desa Sukorejo Sidoarjo

1. Letak Geografis...41

2. Kondisi Demografis...41

3. Kondisi Pendidikan...43

4. Kondisi Ekonomi...44

5. Kondisi Sosial...45

6. Kondisi Keagamaan...45

B. Profil Lembaga Keagamaan 1. Lembaga Jama’ah Shalawat Wahidiyah...47

2. Lembaga Jama’ah Nahdliyin...48

BAB IV: SEJARAH, AJARAN, DAN AKTIVITAS LEMBAGA KEAGAMAAN A. Sejarah dan Ajaran Jama’ah Shalawat Wahidiyah 1. Sejarah Jama’ah Shalawat Wahidiyah...49

2. Ajaran Jama’ah Shalawat Wahidiyah...52

3. Aktivitas Keagamaan Jama’ah Shalawat Wahidiyah...60

B. Sejarah dan Ajaran Jama’ah Nahdliyin 1. Sejarah Jama’ah Nahdliyin...61


(10)

xiii

3. Aktivitas Keagamaan Jama’ah Nahdliyin...69

BAB V: BENTUK-BENTUK INTERAKSI SOSIAL JAMA’AH WAHIDIYAH DAN JAMA’AH NAHDLIYIN A. Bidang Keagamaan...74

B. Bidang Sosial...76

C. Bidang Ekonomi...76

D. Bidang Pendidikan...77

BAB VI: ANALISA DATA A. Jama’ah Shalawat Wahidiyah 1. Sejarah Jama’ah Shalawat Wahidiyah...79

2. Ajaran Jama’ah Shalawat Wahidiyah...81

3. Aktivitas Jama’ah Shalawat Wahidiyah...82

4. Bentuk-bentuk Interaksi Sosial...83

B. Jama’ah Nahdliyin 1. Sejarah Jama’ah Nahdliyin...83

2. Ajaran Jama’ah Nahdliyin...84

3. Aktivitas Jama’ah Nahdliyin...85


(11)

BAB VII: PENUTUP

A. Kesimpulan...89

B. Saran...90

DAFTAR PUSTAKA...92


(12)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Makna kata agama sering menimbulkan banyak kontroversi. Agama dapat dipandang sebagai kepercayaan dan keyakinan yang diyakini kebenarannya sehingga menjadi kepercayaan keagamaan atau kepercayaan religius. Mengadakan upacara-upacara pada momen tertentu, dalam agama dinamakan Ibadah dan dalam antropologi dinamakan ritual dan mempercayai sesuatu yang suci atau sakral sebagai ciri khas kehidupan beragama. Adanya aturan terhadap kehidupan individu dan kehidupan bermasyarakat, yang berhubungan dengan alam linkungannya atau adanya aturan kehidupan yang dipercayai berasal dari Tuhan. Hal tersebut termasuk ciri kehidupan beragama.

Upacara keagamaan dan kepercayaan itu dilakukan dan dihayati secara khusuk, khidmat, cinta, dan intens sekali. Penghayatan ruhaniah terhadap berbagai tingkatannya ini, dari sekedar khusyuk atau cinta mendalam dinamakan aspek mistik atau keruhanian dalam kehidupan beragama dan ditemukan di setiap kehidupan masyarakat dan individu. Semua ini menunjukkan bahwa kehidupan beragama itu aneh tapi nyata, dan merupakan gejala universal, ditemukan dimanapun dan kapanpun dalam kehidupan individu dan masyarakat.1

1Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, (Jakarta: Rajawali Pers,


(13)

2

Adapun hal-hal yang mendorong manusia untuk melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat keagamaan diantarannya adalah karena adanya emosi dan getaran jiwa yang sangat mendalam yang disebabkan rasa takut, terpesona pada sesuatu yang gaib dan keramat, di samping juga adanya harapan-harapan yang mengiringi perjalanan kehidupannya. Perasaan-perasaan itu terpancar dari daya misterius yang merupakan prinsip kemenyatuan dengan alam semesta.

Adanya sikap toleransi beragama merupakan suatu elemen penting dalam kehidupan beragama. Sehingga ketika adanya sikap toleransi dan kesadaran dalam beragama akan terhindar dari konflik dan terciptalah sebuah perdamaian. Karena pada dasarnya konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, adat istiadat, keyakinan dan lain sebagainya. Akan tetapi adanya suatu konflik dalam sebuah organisasi lembaga masyarakat atau komunitas masyarakat merupakan situasi yang wajar, bahkan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya. Konflik tersebut hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.

Oleh karena itu, penyebaran informasi tentang ajaran agama memiliki pengaruh yang sangat besar dalam menciptakan pola pemahaman dan citra keagamaan di tengah-tengah masyarakat. Karena sesungguhnya informasi inilah yang lebih banyak dijadikan titik awal dari kesadaran dan pemahaman keagamaan masyarakat. Maka strategi informasi tentang ajaran agama dan bentuk kesadaran dari pemuka agama


(14)

3

memiliki keterkaitan yang sangat erat dalam menghiasi wajah agama di masyarakat.2 Dalam Setiap keagamaan biasanya mempunyai lembaga-lembaga tersendiri. keikutsertaan lembaga-lembaga keagamaan baik formal maupun non formal sangat besar peranannya dalam melestarikan budaya dan nilai-nilai religius yang sudah ada di tengah-tengah masyarakat.

Lembaga-lembaga keagamaan tersebut adalah Jama’ah Wahidiyah, yang merupakan salah satu bentuk organisasi keagamaan yang berkarakterkan sufistik. Organisasi lembaga ini merupakan salah satu di antara tarekat yang ada di Indonesia. Keberadaanya mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam mensosialisasikan ajaran-ajaran agama Islam, yang mana ajaran tarekat dalam beberapa ritualnya dapat memberikan pembinaan karakter (kepribadian) kepada setiap pengikut dan anggotanya. Dengan arti lain tarekat itu merupakan bentuk pelaksanaan ibadah dengan menjalankan syari’at Islam dan dikerjakan secara istiqamah atau tekun melalui jalan tertentu yang sesuai syari’at Islam.

Merupakan suatu kenyataan di Indonesia, banyak lembaga atau organisasi keagamaan yang tumbuh dan berkembang seiring dengan perubahan zaman. Lembaga atau organisasi keagamaan tersebut mempunyai berbagai macam aliran/ajaran dan metode serta penyebutan nama-nama yang berbeda, sebagai contoh adalah lembaga keagamaan jama’ah Wahidiyah. Pusat atau perkumpulan lembaga tarekat ini tumbuh berkembang pesat di Jawa Timur, di desa Kedunglo Kota Kediri.

2 Ahmad Kholil, Agama Kultural; Masyarakat Pinggiran, (Malang: UIN-Maliki


(15)

4

Yang mana perkembangannya sampai ke Desa Sukorejo Kota Sidoarjo, dan keberadaan jama’ah Wahidiyah ini turut mewarnai pola dan perilaku masyarakatnya, terutatama dalam prilaku keagamaan dan budayanya.

Lembaga keagamaan lain yakni jama’ah Ahlussunnah wal Jama’ah atau NU (Nahdlatul Ulama). Organisasi yang dipimpin oleh para kyai dan ulama yang basis kekuatan masanya terkonsentrasi di pesantren-pesantren yang memiliki momentum-momentum historis sepanjang gerakan-gerakannya.3 NU (Nahdlatul Ulama) merupakan bentuk organisasi keagamaan yang berkarakterkan tasawuf (sufisme). NU (Nahdlatul Ulama) dikenal telah mampu mengembangkan suatu organisasi yang stabilitasnya sangat mengagumkan, walaupun sering menghadapi tantangan-tantangan dari luar yang cukup berat. Modal utamanya adalah karena para kyai memiliki memiliki suatu perasaan kemasyarakatan yang dalam dan tinggi (highly developed social sense) dan selalu menghormati tradisi.4

Dalam kehidupan berkelompok atau bermasyarakat terdapat tradisi-tradisi keagamaan yang dimiliki oleh individu menjadi bersifat kumulatif dan kohesif, yang menyatukan keanekaragaman interpretasi dan sistem-sistem keyakinan keagamaan. Penyatuan keanekaragaman itu dapat terjadi karena, pada hakikatnya, dalam setiap kehidupan berkelompok terdapat pola-pola interaksi tertentu yang melibatkan dua orang atau lebih, dan dari pola-pola tersebut para anggotanya secara bersama memiliki satu tujuan atau tujuan-tujuan utama yang diwujudkan sebagai

3 Faisal Ismail, NU Gusdurisme dan Politik Kiai, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), 11


(16)

5

tindakan berpola. Itu dimungkinkan karena kegiatan-kegiatan berkelompok tersebut terarah atau terpimpin berdasarkan atas norma-norma yang disepakati bersama, yang terwujud dari kehidupan berkelompok.

Kelompok-kelompok tersebut terwujud karena adanya kesamaan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh para anggotanya, dan mereka merasa bahwa dalam kelompok itulah tujuan-tujuan yang ingin dicapai akan terlaksana dengan lebih baik. Dalam kelompok keagamaan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh para anggotannya didasari oleh keyakinan keagamaan mereka, suatu keyakinan yang berisikan penjelasan-penjelasan dan petunjuk-petunjuk untuk memahami gejala-gejala dan pengalaman-pengalaman; penjelasan yang menghasilkan berbagai bentuk rasional yang masuk akal dan menghasilkan penemuan-penemuan mengenai kenyataan-kenyataan yang dihadapi dalam kehidupan manusia. Kehidupan manusia di mana pun, tidak selamanya mulus; selalu dibayangi oleh kegagalan, frustasi, dan rasa ketidakadilan. Agama menjadi fungsional dalam struktur kehidupan manusia dalam usaha untuk mengatasi dan menetralkan bayangan-bayangan buruk tersebut. Usaha-usaha menetralkan dan mengatasi hal-hal buruk dalam kehidupan manusia yang dilakukan dalam kelompok dirasakan lebih efektif dan meyakinkan dibandingkan dengan usaha-usaha secara pribadi.5

5Roland Robertson, ed, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis,


(17)

6

Berdasarkan uraian di atas penulis tergugah untuk mengadakan suatu penelitian yang lebih jauh tentang Interaksi Sosial Antar Umat Beragama; Jama’ah Wahidiyah dan Jama’ah Nahdliyin yang berada di Desa Sukorejo Kab. Sidoarjo.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah, ajaran dan aktivitas keagamaan jama’ah Wahidiyah dan jama’ah Nahdliyin di Desa Sukorejo Kab. Sidoarjo ?

2. Bagaimana bentuk-bentuk interaksi sosial antara jama’ah Wahidiyah dan jama’ah Nahdliyin di Desa Sukorejo Kab. Sidoarjo ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mendeskripsikan sejarah, ajaran dan aktivitas keagamaan jama’ah Wahidiyah dan jama’ah Nahdliyin di Desa Sukorejo Kab. Sidoarjo.

2. Untuk menganalisis bentuk-bentuk interaksi sosial antara jama’ah Wahidiyah dengan jama’ah Nahdliyin di Desa Sukorejo Kab. Sidoarjo .

D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Masyarakat

a. Sebagai sumber pengetahuan dan informasi khususnya dalam bermasyarakat. b. Bagi mahasiswa akan dapat membantu untuk mengetahui arti perbedaan dalam

praktik keagamaan.

c. Diharapkan menjadi respon positif sebagai kajian ilmiah terutama bagi mahasiswa maupun masyarakat.


(18)

7

2. Bagi Peneliti

a. Bagi peneliti akan sangat bermanfaat sebagai bekal untuk memahami perbedaan melakukan praktik keagamaan.

b. Penulis akan dapat memperluas cakrawala tentang ajaran yang ada pada jama’ah Wahidiyah dan jama’ah Nahdliyin.

c. Dengan adanya kajian ini, diharapkan akan mampu memberikan manfaat yang besar, baik bagi penulis maupun semua orang yang menaruh perhatian besar terhadap agama, sebagai wujud cinta kepada Tuhan.

E. Tinjauan Pustaka

Mengetahui tinjauan terdahulu terhadap tarekat Wahidiyah ini sudah pernah diteliti oleh Nurul Rochani, mahasiswa UIN Sunan Ampel Fakultas Ushuluddin tahun 2014.6 Penelitian tersebut dengan menggunakan pendekatan psikologi agama. Pembahasannya meliputi organisasi Sholawat Wahidiyah kedudukan organisasi di daerah tersebut, aktifitas organisasi Wahidiyah kepada masyarakat tersebut (bidang agama, sosial, budaya, dan pendidikan).

Akan tetapi dalam hal ini penulis membahas dan menulis tentang interaksi sosial antara jama’ah Wahidiyah dengan jama’ah Nahdliyin, serta kondisi sosial masyarakat, teologi dan ajaran, model pengamalan keagamaan serta budaya tarekat Wahidiyah dan jama’ah Nahdliyin, dengan menggunakan pendekatan Sosiologi.

6 Nurul Rochani, Pengaruh Spiritualis Sholawat Wahidiyah Terhadap Prilaku Jama’ah di Balong Dinding Menganti Gresik, (Skripsi: UINSA, 2014)


(19)

8

Dalam pembahasan penelitian ini penulis menggunakan beberapa sumber data sekunder, diantaranya:

1. Lailatun Naqiyah, Kumpulan Teks Kuliah Wahidiyah, (Kediri: DPW Wahidiyah, 1999) buku ini membahas tentang hal menjernihkan hati Sholawat, ajaran Wahidiyah, hal adab, hal mujahadah, hal tangis dalam mujahadah dan penyiaran Sholawat Wahidiyah.

2. DPP PSW, Pedoman Pokok-pokok Sholawat Sahidiyah, (Jombang: TA, 1997) buku ini membahas tentang ajaran Wahidiyah , pokok-pokok ajaran Shalawat Wahidiyah, kebaikan/keuntungan, kerugian/kecemasan di dalam wilayah dan lain-lain.

3. H. Qomari Mukhtar, Sejarah dan Awal Perjuangan Wahidiyah, (Kediri Kedunglo, 1997) buku ini membahas tentang mengenal akhlakul karimah mualif Wahidiyah, sejarah ringkas lahirnya Wahidiyah, sekilas peristiwa yang terjadi di awal perjuangan Wahidiyah, hikayah-hikayah yang penuh hikmah, mutiara hikmah dawuh-dawuh mualif Sholawat Wahidiyah.

4. Faisal Ismail, NU Gusdurisme dan Politik Kiai, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999) buku ini menceritakan sejarah Nahdlatul ulama serta organisasi yang ada di Nahdlatul Ulama.

5. Ridwan, Paradigma Politik NU, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) buku ini melihat keterkaitan NU secara idiologis mengenai rancang bangun pemikiran NU. 6. Munawir Abdul Fattah, Tradisi Orang-orang NU, (Yogyakarta: LKIS Pustaka


(20)

9

orang NU sendiri, pendasarannya yang kukuh yang diambil dari kitab-kitab kuning.

7. Soeleman B. Taneko, Struktur dan Proses Sosial, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993) buku ini mempelajari tentang kemasyarakatan, baik mengenai aspek struktural maupun prosesesualnya.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah strategi umum yang dianut dalam pengumpulan data dan analisa data yang diperlukan guna menjawab persoalan yang diahadapi, sebagai rencana pemecahan masalah terhadap permasalahan yang diselidiki.7 Adapun metode yang digunakan penulis adalah jenis metode penelitian Kualitatif. Menurut Bagdan dan Taylor, metode penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data diskriptif, berupa kata-kata tertulis, lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.8 Dan penelitian diskriptif merupakan penelitian non hipotesis, sehingga dalam melangkah penelitiannya tidak perlu merumuskan hipotesis tersebut. Metode diskriptif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

“Dilakukan pada latar alamiah atau pada kontek dari suatu keutuhan (unity) manusia (peneliti atau dengan bantuan orang lain), sebagai alat pengumpul data utama, menggunakan metode kualitatif, menggunakan metode analisa data secara induktif, lebih menghendaki arah bimbingan, penyusunan teori berasal dari data.

7 Arief Farhan, Pengatar Penelitian dalam Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), 50.

8 Lexy J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1993), 3.


(21)

10

Sedang data yang berupa kata-kata bergambar lebih banyak mementingkan proses dari pada hasil, adanya batas yang ditentukan oleh fokus, adanya kriteria khusus untuk keabsahan data desain yang bersifat sementara, juga menghendaki agar pengertian dan hasil interpretasi yang diperoleh dan dirundingkan, disepakati oleh manusia yang akan dijadikan objek atau sumber data”.9

Sedangkan ciri diskriptif menurut Jalaluddin Rahmat “Titik beratnya pada observasi dan suasana alamiah (Naturalistic setting) peneliti betindak sebagai pengamat, dan hanya membuat kategori perilaku, mengamati gejala dan mengamatinya dalam buku observasinnya”.10

Agar data yang ditulis dapat dipertanggungjawabkan secara akademis, maka diperlukan metode tertentu dalam melakukan penelitian. Dengan adanya metode maka diharapkan suatu penelitian lebih terarah dan mudah dikaji. Adapun metode yang dipakai dalam penulisan skripsi adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data kualitatif, karena metode ini lebih menekankan pada aspek pemahaman secara mendalam terhadap suatu masalah. Penelitian ini menggunakan pendekatan Sosiologi Agama. Dalam hal ini meliputi:

a. Kondisi sosial masyarakat (baik ekonomi, sosial budaya, dan pendidikan).

b. Pengaruh ajaran tarekat Wahidiyah dan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah (NU) dalam kehidupan masyarakat.

c. Tokoh Agama jama’ah Wahidiyah, sebagai koordinator Wahidiyah.

9 Ibid., 49.

10 Jalaluddin Rahmat, Metodologi Penelitian Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992), 25.


(22)

11

d. Anggota (pengikut Wahidiyah) Jama’ah Wahiddiyah.

e. Tokoh Agama Nahdlatul Ulama, sebagai koordinator Nahdliyin. f. Anggota Jama’ah Nahdlatul Ulama.

g. Tokoh masyarakat dan masyarakat desa Sukorejo pada umumnya.

h. Bentuk interaksi sosial antara jama’ah Wahidiyah dengan jama’ah Nahdliyin. 2. Sumber Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa sumber data primer dan sumber data sekunder.

a. Sumber Primer

Sumber data yang bersifat utama dan terpenting untuk mendapat informasi yang diperlukan oleh peneliti lapangan di mana peneliti terjun langsung untuk mencari data atau keterangan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Terutama informasi dari tokoh jama’ah Wahidiyah dan tokoh jama’ah Nahdliyin.

b. Sumber Sekunder

Sumber sekunder merupakan sumber data yang bersifat menunjang dan melengkapi sumber data primer yaitu menjadi sumber data sekunder adalah buku-buku kepustakaan dan informasi dari tokoh masyarakat desa sekitar.

3. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini untuk mengumpulkan data penulis menggunakan teknik metode analisis mendalam ( in-depth analysis ), yaitu mengkaji masalah secara kasus perkasus. Sebagai pendukung agar dapat terselesainya penelitian ini penulis juga


(23)

12

menggunakan data literatur, yaitu bahan-bahan yang bersifat teoritis, bersumber dari buku-buku atau majalah yang berkaitan dengan topik pembahasan.

Dalam metode pengumpulan data, penulis menggunakan metode sebagai berikut: a. Metode Observasi: yaitu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan

pengamatan dan pencatatan dengan sistematik fenomena-fenomena yang dimiliki.11 Dalam penelitian ini hal yang perlu di observasi meliputi:

1) Bagaimana sejarah dan aktivitas keagamaan antara jama’ah Wahidiyah dan jama’ah Nahdliyin di desa Sukorejo.

2) Faktor apa saja yang mempengaruhi adanya bentuk interaksi sosial antar umat beragama antara jama’ah Wahidiyah dan jama’ah Nahdliyin di Desa Sukorejo Kab. Sidoarjo.

3) Adapun cara yang digunakan penulis dalam mengumpulkan data adalah dengan ikut berperan aktif dan membaur diri ke dalam pergaulan masyarakat desa dan anggota lembaga keagamaan di wilayah penelitian.

Metode observasi juga memerlukan adanya data lapangan, yaitu sumber data yang dapat diperoleh dari lokasi penelitian yang berupa dokumen dan arsip-arsip penting sebagai pelengkap dari data. Sumber-sumber ini berasal dari:

a) Jumlah penduduk yang mengikuti jama’ah Wahidiyah. b) Jenis kegiatan keagamaan jama’ah Wahidiyah.

c) Sarana tempat peribadatan Wahidiyah.

11 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid II, (Yogyakarta: Andi Offset, 1992), 137.


(24)

13

d) Jumlah penduduk yang mengikuti jama’ah Nahdliyin. e) Jenis kegiatan keagamaan jama’ah Nahdliyin.

f) Sarana tempat peribadatan jama’ah Nadhliyin.

b. Metode Wawancara, yaitu metode pengumpulan data dengan tanya jawab sepihak yang dikerjakan dengan sistematik dan berlandaskan pada tujuan penelitian.12 Wawancara ini dibutuhkan dalam rangka mengkaji perihal:

1) Bagaimana pendapat masyarakat yang mengikuti ajaran Nahdliyin terhadap jama’ah tarekat Wahidiyah, serta bagaimana pendapat masyarakat yang mengikuti ajaran Wahidiyah terhadap jama’ah Nahdliyin di Desa Sukorejo. 2) Bagaimana tanggapan anggota jama’ah Wahidiyah dalam menjalankan

ajaran-ajarannya dalam kehidupan sehari-hari.

3) Serta bagaimana syarat-syarat dan ketentuan menjadi anggota Jama’ah Wahidiyah dan menjadi jama’ah Nahdliyin.

Metode Wawancara ini meliputi semua personil yang ada di tempat penelitian dan yang menjadi responden terdiri dari:

a) Tokoh Agama Wahidiyah, sebagai koordinator jama’ah Wahidiyah. b) Tokoh Agama Nadhliyin, sebagai koordinator jama’ah Nahdliyin. c) Anggota (pengikut Wahidiyah) Jama’ah Wahidiyah.

d) Anggota Jama’ah Nahdliyin.

e) Tokoh masyarakat Desa Sukorejo pada umumnya.


(25)

14

3. Teknik Analisa Data

Setelah data terkumpul, tahap berikutnya adalah analisa data, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Salah satu dari pokok penelitian kualitatif adalah analisisnya mudah dilakukan semenjak pengumpulan data dan untuk selanjutnya baru dikerjakan secara intensif sesudah meninggalkan lapangan.

Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber. Setelah dibaca, dipelajari dan ditelaah, maka langkah selanjutnya adalah mengadakan reduksi data yang dilakukan denga jalan abstraksi, kemudian menyusun dalam satuan-satuan dan dikategorikan pada langkah selanjutnya. Juga tidak mengabaikan prinsip berfikir induktif dan deduktif yang akan digunakan secara proposional dalam proses analisa data.

G. Sistematika Pembahasan

Untuk memberikan sistematika yang jelas maka pada proposal pengajuan judul skripsi ini penulis menguraikan isi kajian pembahasan. Adapun sistematika pembahasan terdiriri dari lima bab dengan uraian sebagai berikut:

Bab I pendahuluan, data pada bab ini di uraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan judul,


(26)

15

telaah kepustakaan, kajian teori, metode penelitian, sistematika pembahasan dan daftar pustaka.

Bab II Berisi tentang pengertian agama, pengertian tentang interaksi sosial dan kajian teori yang digunakan untuk menguatkan penelitian. Dalam bab ini peneliti menggunakan teori-teori yang berkaitan dengan interaksi sosial antar umat beragama, yakni antara jama’ah Wahidiyah dan jama’ah Nahdliyin.

Bab III Berisi tentang gambaran umum desa sukorejo yang meliputi letak geografis, kondisi demografis, pendidikan, ekonomi, dan sosial budaya.

Bab IV berisi tentang pembahasan pokok yang terdiri dari tiga sub pokok bahasan a) sejarah berdirinya jama’ah Wahidiyah dan Nahdlatul Ulama di Desa Sukorejo. b) pembahasan tentang ajaran anggota jama’ah Wahidiyah dan jama’ah Nahdlatul Ulama terhadap ajaran-ajaran yang sudah di lakukan. c) aktivitas keagamaan jama’ah Wahidiyah dan jama’ah Nahdlatul Ulama.

Bab V berisi tentang bentuk-bentuk interaksi sosial jama’ah Shalawat Wahidiyah dan jama’ah Nahdliyin, yang meliputi aspek bidang keagamaan, pendidikan, ekonomi, sosial budaya.

Bab VI Merupakan penyajian dan analisa data yang terdiri dari: a) sejarah jama’ah Wahidiyah dan Nahdlatul Ulama di Desa Sukorejo. b) ajaran

jama’ah Wahidiyah dan Nahdlatul Ulama. c) aktivitas jama’ah Wahidiyah dan Nahdlatul Ulama. d) kondisi sosial masyarakat atau bentuk-bentuk interaksi sosial jama’ah Wahiddiyah dan Nahdlatul Ulama.


(27)

16

Bab VII Merupakan pembahasan yang terakhir dalam skripsi ini yang berisikan tentang kesimpulan dan saran.


(28)

17 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Agama

1. Pengertian Agama

Agama dipandang sebagai institusi yang mempunyai tugas (fungsi) agar masyarakat berfungsi dengan baik, baik dalam lingkup lokal, regional, maupun nasional. Maka dalam tinjauannya yang dipentingkan ialah daya guna dan pengaruh agama terhadap masyarakat, sehingga eksistensi dan fungsi agama (agama-agama), cita-cita masyarakat (akan keadilan, dan kedamaian, dan akan kesejahteraan jasmani dan rohani) dapat terwujud.1 Agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaannya sendiri dan keberadaan alam semesta. Agama telah menimbulkan khayalnya yang paling luas dan juga digunakan untuk membenarkan kekejaman orang yang luar biasa terhadap orang lain. Agama dapat membangkitkan kebahagiaan batin yang paling sempurna, dan juga perasaan takut. Meskipun perhatian tertuju sepenuhnya kepada adanya suatu dunia yang tidak dapat dilihat (akhirat), namun agama (juga) melibatkan dirinya dalam masalah-masalah kehidupan sehari-hari di dunia. Agama senantiasa dipakai untuk menanamkan keyakinan baru ke dalam hati.


(29)

18

Namun demikian agama juga berfungsi melepaskan belenggu-belenggu adat atau kepercayaan manusia.2

Secara lebih khusus, agama dapat didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi respon terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci. Sebagai suatu sistem keyakinan, agama berbeda dari sistem-sistem keyakinan atau isme-isme lainnya karena landasan keyakinan keagamaan adalah pada konsep suci (sacred) yang dibedakan dari, atau dipertentangkan dengan yang duniawi (profane), dan pada yang gaib atau supranatural (supernatural) yang menjadi lawan dari hukum-hukum alamiah (natural).

Agama, sebagai sebuah sistem keyakinan, berisikan ajaran dan petunjuk bagi para penganutnya agar diberi keselamatan dalam kehidupan setelah mati. Karena itu juga keyakinan keagamaan dapat dilihat sebagai berorientasi pada masa yang akan datang. Dengan cara mengikuti kewajiban-kewajiban keagamaan dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan agama yang dianut dan diyakininya. Dan salah satu perbedaan yang ada dalam agama, yang berbeda dari isme-isme lainnya, adalah penyerahan diri secara total kepada Tuhannya. Penyerahan diri ini tidak terwujud dalam bentuk ucapan melainkan dalam tindakan-tindakan keagamaan dan bahkan juga dalam tindakan-tindakan duniawi sehari-hari. Tidak ada satu agama pun yang

2 Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), 3-4


(30)

19

tidak menuntut adanya penyerahan diri secara total dari para penganut atau pemeluknya, termasuk juga agama-agama lokal yang di Indonesia digolongkan sebagai religi atau kepercayaan.

Dapat dikatakan bahwa agama merupakan sistem keyakinan yang dipunyai secara individual yang melibatkan emosi-emosi dan pemikiran-pemikiran yang sifatnya pribadi, dan yang diwujudkan dalam tindakan-tindakan keagamaan (upacara, ibadat, dan amal ibadah) yang sifatnya individual ataupun kelompok dan sosial yang melibatkan sebagian atau seluruh masyarakat. Bahkan dalam hal pahala, misalanya, pahala yang lebih banyak adalah dalam kegiatan beribadat secara berjamaah dibandingkan dengan kegiatan ibadat secara individual. Kegiatan-kegiatan keagamaan dalam bentuk berjamaah, kongregasi atau upacara-upacara keagamaan dalam kelompok amat penting dalam setiap agama.3

2. Fungsi Agama dalam Masyarakat

Masyarakat merupakan suatu sistem sosial, yang unsur-unsurnya saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Perubahan salah satu bagian akan mempengaruhi bagian lain, yang akhirnya mempunyai dampak terhadap kondisi sistem secara keseluruhan. Masyarakat dan kebudayaannya merupakan dwitunggal yang sukar dibedakan, di dalamnya tersimpul sejumlah pengetahuan yang terpadu dengan kepercayaan dan nilai. Yang

3Roland Robertson, ed, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis,

(Jakarta:


(31)

20

menentukan situasi dan kondisi perilaku anggota masyarakat. Dengam kata lain, di dalam kebudayaan tersimpul suatu maknawi (symbolic system of meanings).

Dilihat dari terminologi kebudayaan, agama merupakan cultural universal, artinya agama terdapat di setiap daerah kebudayaan di mana saja masyarakat dan kebudayaan itu bereksistensi. Salah satu prinsip teori fungsional antara lain menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya. Dengan kata lain setiap unsur kebudayaan memiliki fungsi, konsekuensinya sesuatu pola atau lembaga sosial yang berfungsi akan sirna. Karena sejak dahulu hingga sekarang, agama dengan tangguh menyatakan eksistensinya, berarti agama mempunyai dan memerankan sejumlah fungsi di dalam masyarakat.

Fungsi psikologis maupun sosial yang diperankan oleh agama sangat mendasar. Agama berfungsi memenuhi sebahagian atau mungkin seluruh kebutuhan manusia. Di dalam masyarakat terdapat norma-norma perilaku masyarakat tradisional yang kadang-kadang sukar ditelusuri asal mulanya. Tetapi tidak sedikit aturan tradisional itu mengandung nilai ajaran agama. Misalnya secara tradisional hormat kepada orang tua adalah sangat dianjurkan dan merupakan perilaku terpuji.

Ternyata aturan tersebut terdapat juga di dalam ajaran agama. Sehingga agama berfungsi sebagai pendukung adat istiadat, dan memperkuat keutuhan sistem nilai sosial yang telah mapan. Bagi para penganut agama


(32)

21

melaksanakan tradisi, karena ia melakukan hal itu bukan hanya demi tradisi, tetapi dirasakan secara manifes, sebagai pemenuhan titah Tuhan timbul dari rasa sakral.4

3. Peran Agama di Masyarakat

Konsepsi tentang agama merupakan bagian tak terpisahkan dari pandangan hidup dalam bermasyarakat dan sangat diwarnai oleh perasaan yang khas terhadap apa yang dianggap sakral (suci).5 Signifikansi eksistensi agama adalah membimbing sekaligus mengikat manusia demi terwujudnya ketenangan, kedamaian dan kesejahteraan mereka dalam kehidupan di dunia serta kehidupan di hari kemudian, yaitu kehidupan ukhrawi. Setiap agama membawa misi suci walaupun pada tataran implementasi oleh penganutnya tidak selalu demikian yang terjadi. Ketidak sinkronan antara fakta normatif dan historis ini disebabkan karena pandangannya yang berbeda terhadap dan segala yang terlahir darinya berupa doktrin yang berhubungan dengan aturan ritual maupun sosial.6

Agama memenuhi kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan untuk memahami tujuan hidup. Untuk memenuhi tujuan agama, maka lembaga agama memberikan konstribusi kepada kehidupan sosial sekular. Untuk memberi arti kepada eksistensi pribadi, agama memberi gambaran tentang dunia tempat manusia hidup. Misalnya di dalam testamen baru disebutkan bahwa alam raya

4Djamari, Agama Dalam Perspektif Sosiologi, (Bandung: Alfabeta, 1993),79-82

5 Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat,....5 6 Ahmad Kholil, Agama Kultural; Masyarakat Pinggiran,...23


(33)

22

ada tiga tingkatan, yang di bawah adalah neraka, di tengah adalah dunia, di atas adalah surga. Struktur realitas seperti itu membantu manusia untuk belajar bagaimana seharusnya manusia berperilaku di dunia ini sehingga terhindar dari neraka dan bisa masuk surga. Gambaran dunia secara religius menentukan realitas sosial yang pengaruhnya bukan semata-mata persoalan agama itu sendiri.7

B. Interaksi Sosial

1. Pengertian Interaksi Sosial

Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidaklah lepas dari hubungan satu dengan yang lain. Ia selalu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sehingga kepribadian individu, kecakapan-kecakapannya, ciri-ciri kegiatannya baru menjadi kepribadian individu yang sebenar-benarnya apabila keseluruhan sistem psycho-physik tersebut berhubungan dengan lingkungannya.

Bentuk umum sosial adalah interaksi sosial (yang juga dapat dinamakan proses sosial), karena interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktifitas-aktifitas sosial. Bentuk lain dari proses sosial hanya merupakan bentuk-bentuk khusus dari interaksi sosial. Dalam konteks ini Wood Worth menambahkan bahwa hubungan manusia dengan lingkungan meliputi pengertian :


(34)

23

a. Individu dapat bertentangan dengan lingkungan

b. Individu dapat menggunakan lingkungan

c. Individu dapat berpartisipasi (ikut-serta) dengan lingkungan

d. Individu dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungan.8

Dari pengertian tersebut, maka interaksi sosial adalah kegiatan individu atau kelompok individu dalam rangka pertentangan, pemanfaatan, partisipasi, dan penyesuaian dengan individu atau kelompok individu lainnya (lingkungannya).

Di dalam interaksi sosial ada kemungkinan individu dapat menyesuaikan dengan yang lain, atau sebaliknya. Pengertian penyesuaian di sini dalam arti yang luas, yaitu bahwa individu dapat meleburkan diri dengan keadaan di sekitarnya, atau sebaliknya individu dapat mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan dalam diri individu, sesuai dengan apa yang diinginkan oleh individu yang bersangkutan.9

Pengertian yang diberikan Worth tersebut, diperjelas oleh H. Bonner dengan menitikberatkan fungsi manusia dalam interaksi sosia. Ia menyebutkan bahwa:

8 Abu Ahmadi, Psikologi Sosial, (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), 53

9 Bimo Walgito, Psikologi Sosial (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Andi Offset, 2003), 57


(35)

24

“Interaksi sosial adalah suatu hubungan antara 2 individu atau lebih, di mana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memberbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya”.10

Soerjono Soekamto dalam bukunya mengatakan:

“Interaksi sosial adalah hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok-kelompok manusia”.11

Dari beberapa pengertian tersebut, dapat dijelaskan dalam penulisan skripsi ini, bahwa interaksi sosial adalah kegiatan individu atau kelompok individu dalam rangka pertentangan, pemanfaatan, partisipasi dan penyesuaian dengan individu atau kelompok individu lainnya (lingkungannya), dalam rangka memperbaiki kelakuan yang lain atau sebaliknya, baik dilakukan secara pasif maupun aktif.

2. Unsur Dasar Interaksi Sosial

Di dalam interaksi sosial mengandung makna tentang kontak secara timbal balik atau inter-stimulasi dan respon antara individu-individu dan kelompok-kelompok. Karena itu, bagi Alvin dan Helen Gouldner suatu interaksi sosial tidak mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat yaitu:

a. Adanya Kontak Sosial

Kontak pada dasarnya merupakan aksi dari individu atau kelompok dan mempunyai makna bagi pelakunya, yang kemudian di tangkap oleh

10 Abu Ahmadi, Psikologi Sosial,....54


(36)

25

individu atau kelompok. Kontak antara individu tidak saja terjadi pada jarak yang dekat misalnya dengan berhadapan muka, juga tidak hanya pada jarak sejauh kemampuan panca indera manusia, tetapi alat-alat kebudayaan manusia memungkinkan individu-individu berkontak pada jarak yang amat jauh, misalnya orang menelpon dan mendapat jawaban dari seorang individu di ujung lain. Maka telah terjadi kontak diantara kedua itu.

b. Adanya Komunikasi

Sehubungan dengan komunikasi, Schlegel berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial yang dapat bergaul dengan dirinya sendiri, menafsirkan makna-makna obyek-obyek didalam kesadarannya dan memutuskan bagaimana ia bertindak secara berarti sesuai dengan penafsirannya itu. Sehubungan komunikasi sebagai kegiatan interaksi sosial ini, Schlegel menyampaikan pandangan tentang bahwa:

“Tetapi keadannya tidak berbeda dengan tingkah laku kelompok yang melibatkan beberapa atau banyak orang, misalnya, tingkah laku kelompok sosial adalah seperti keluaga-keluarga, lembaga-lembaga sosial (seperti bank) atau organisasi (seperti partai)”.

“Tingkah laku kelompok yaitu tingkah laku bersama harus dibentuk melalui proses penafsiran juga, agar orang-orang (di dalam kelompok) dapat bertindak bersama dalam keadaan-keadaan yang dihadapi kelompok itu. Tetapi yang menafsirkan dan bertindak adalah orang-orang juga. Kelompok tidak pernah bertindak; kelompok terdiri dari orang-orang dan mereka bertindak bersama. Tingkah laku di dalam kelompok, tindakan banyak orang bisa sama, karena makna-makna dari keadaan itu ditafsirkan sama”.12

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tidak dapat hubungan antara kelompok atau perorangan dengan kelompok, oleh karena kelompok itu tidak

12 Soleman B. Taneko, Struktur dan Proses Sosial; suatu pengantar sosiologi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993), 110-112


(37)

26

bisa bertindak dan karena kelompok itu adalah orang-orang juga, maka hubungan yang terjadi adalah antara orang dengan orang, antara satu orang dengan banyak orang, atau antara banyak orang dengan banyak orang.

3. Ciri-ciri Interaksi Sosial

Apabila dilacak dengan seksama deskripsi di atas, maka ucapan dari Charles P. Lommis mengenai ciri-ciri penting dari interaksi sosial yaitu:

a. Jumlah pelaku lebih dari seorang, bisa dua atau lebih.

b. Adanya komunikasi antara para pelaku dengan menggunakan simbol-simbol.

c. Adanya suatu dimensi waktu yang meliputi masa lampau, kini dan akan datang, yang menentukan sifat dari aksi yang sedang berlangsung.

d. Adanya tujuan-tujuan tertentu, terlepas dari sama atau tidak sama dengan yang diperkirakan oleh para pengamat.

Apabila interaksi sosial itu diulang menurut pola yang sama dan bertahan untuk waktu yang lama, maka akan terwujud hubungan sosial (social relation).

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Interaksi Sosial

a. Toleransi

Toleransi terhadap kelompok-kelompok manusia dengan kebudayaan sendiri hanya mungkin tercapai dalam suatu akomodasi. Apabila toleransi


(38)

27

tersebut mendorong terjadinya komunikasi, maka faktor tersebut dapat mempercepat terjadinya interaksi sosial.

b. Kesempatan-kesempatan yang seimbang di Bidang Ekonomi

Adanya kesempatan yang seimbang di bidang ekonomi bagi pelbagai golongan masyarakat dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda dapat mempercepat proses interaksi sosial. Di dalam sistem ekonomi yang demikian, dimana masing-masing individu mendapat kesempatan yang sama untuk mencapai kedudukan tertentu atau dasar kemampuan dan jasa-jasanya. Proses interaksi dipercepat oleh karena kenyataan yang demikian dapat menetralisir perbedaan-perbedaan kesempatan yang diberikan sebagai peluang oleh kebudayaan-kebudayaan yang berlainan tersebut.

c. Sikap menghargai orang asing dan kebudayaannya

Sikap saling menghargai terhadap kebudayaan yang didukung oleh masyarakat yang lain dimana masing-masing mengakui kelemahan-kelemahannya, kelebihan-kelebihannya akan mendekatkan masyarakat-masyarakat yang menjadi pendukung kebudayaan-kebudayaan tersebut. Apabila ada prasangka, maka hal demikian akan menjadi penghambat bagi berlangsungnya proses interaksi sosial.

d. Sikap terbuka dari golongan berkuasa dalam masyarakat

Sikap terbuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat juga mempercepat proses interaksi sosial. Hal ini misalnya dapat diwujudkan


(39)

28

dengan memberikan kesempatan yang sama bagi golongan minoritas untuk memperoleh pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penggunaan tempat rekreasi dan seterusnya.

e. Persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan

Pengetahuan akan persamaan-persamaan unsur pada kebudayaan yang berlainan, akan lebih mendekatkan masyarakat pendukung kebudayaan yang satu dengan yang lainnya.

f. Perkawinan campuran (Amalgamation)

Perkawinan campuran agaknya merupakan faktor paling menguntungkan bagi lancarnya proses interaksi sosial. Hal itu terjadi, apabila seorang warga dari golongan tertentu menikah dengan golongan lain, apakah itu terjadi dengan golongan minoritas atau mayoritas atau sebaliknya.

g. Adanya musuh bersama di luar

Adanya musuh bersama di luar cenderung memperkuat kesatuan masyarakat atau golongan masyarakat yang mengalami ancaman musuh tersebut. Dalam keadaan demikian, antara golongan minoritas dengan golongan mayoritas akan mencari suatu kompromi agar dapat secara bersama-sama menghadapi ancaman-ancaman luar yang membahayakan seluruh masyarakat.


(40)

29

5. Faktor-faktor yang Mendasari Berlangsungnya Interaksi Sosial

Faktor-faktor yang mendasari berlangsungnya interaksi sosial, baik secara tunggal maupun secara bergabung ialah:

a. Faktor Imitasi

Menurut G. Tarde faktor imitasi ini merupakan satu-satunya faktor yang mendasari atau melandasi interaksi sosial. G. Tarde mengatakan bahwa, masyarakat itu tiada lain dari pengelompokkan manusia dimana individu-individu yang satu mengimitasi dari yang lain atau sebaliknya, bahkan masyarakat itu baru menjadi masyarakat sebenarnya apabila manusia mulai mengimitasi kegiatan manusia lainnya.

Faktor imitasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses interaksi sosial, salah satu segi positifnya yaitu bahwa imitasi dapat mendorong seseorang untuk memenuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku. Faktor imitasi mungkin pula mengakibatkan hal-hal yang negatif dimana yang ditiru adalah perbuatan-perbuatan yang menyimpang. Imitasi juga dapat melemahkan atau mematikan pengembangan daya kreasi seseorang.

Jadi, faktor imitasi merupakan suatu segi dari proses interaksi sosial yang menerangkan mengapa dan bagaimana dapat terjadi keseragaman dalam pandangan dan tingkah laku.


(41)

30

b. Faktor Sugesti

Yang dimaksud faktor sugesti ialah pengaruh psikis, baik yang datang dari diri sendiri, maupun yang datang dari orang lain, yang pada umumnya diterima tanpa adanya kritik dari individu yang bersangkutan.

Faktor sugesti berlangsung apabila seseorang memberi suatu pandangan atau sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh pihak lain. Proses ini hampir sama dengan faktor imitasi akan tetapi titik tolaknya berbeda. Berlangsungnya faktor sugesti dapat terjadi karena pihak yang menerima dilanda emosi, hal mana menghambat daya pikirnya secara rasional. Kiranya mungkin pula bahwa faktor sugesti terjadi oleh sebab memberikan pandangan atau sikap merupakan bagian terbesar dari kelompok yang bersangkutan.

c. Faktor Identifikasi

Identifikasi adalah suatu istilah yang dikemukakan oleh Freud. Menurut Freud, identifikasi merupakan dorongan untuk menjadi identik (sama) dengan orang lain. Identifikasi sifatnya lebih mendalam daripada imitasi, oleh karena kepribadian seseorang dapat terbentuk atas dasar proses ini. Proses identifikasi dapat berlangsung dengan sendirinya (secara tidak sadar), maupun dengan sengaja olek karena seringkali seseorang memerlukan tipe-tipe ideal tertentu di dalam kehidupannya.


(42)

31

d. Faktor Simpati

Faktor simpati merupakan perasaan rasa tertarik kepada orang lain. Maka simpati timbul tidak atas dasar logis rasional, melainkan atas dasar perasaan atau emosi. Dalam simpati orang merasa tertarik kepada orang lain yang seakan-akan berlangsung dengan sendirinya, apa sebabnya merasa tertarik sering tidak dapat memberikan penjelasan lebih lanjut. Di samping individu mempunyai kecenderungan tertarik pada orang lain, individu juga mempunyai kecenderungan untuk menolak orang lain, ini yang sering disebut antipati. Jadi kalau simpati itu bersifat positif, maka antipati bersifat negatif.13 Hal-hal tersebut diatas merupakan proses minimal yang terjadi dan

berlangsungnya interaksi sosial yang dalam kenyataannya sangat kompleks, sehingga kadang-kadang sulit mengadakan pembedaan tugas antara proses tersebut. Imitasi dan sugesti terjadi lebih cepat, dan pengaruhnya kurang mendalam bila dibandingkan dengan identifikasi dan simpati yang secara relatif agak lebih cepat proses berlangsungnya.

6. Bentuk-bentuk Interaksi Sosial

Interaksi sosial terdiri dari kontak dan komunikasi, dan di dalam proses komunikasi mungkin saja terjadi pelbagai penafsiran makna perilaku. Mengetahui hal tersebut maka bentuk-bentuk dari interaksi sosial itu adalah terdiri dari :


(43)

32

a. Kerja Sama

b. Pertikaian

c. Persaingan

d. Akomodasi

Soerjono Soekanto menyatakan bahwa pada dasarnya ada dua bentuk umum dari interaksi sosial, yaitu assosiatif dan dissosiatif. Suatu interaksi sosial yang assosiatif merupakan proses yang menuju pada kerja sama. Sedangkan bentuk interaksi dissosiatif dapat diartikan sebagai suatu perjuangan melawan seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu. Proses interaksi dissosiatif mungkin berguna bagi masyarakat yang bersangkutan terutama dalam hal-hal sebagai berikut:

1) Untuk menyalurkan keinginan-keinginan yang bersifat kompetitif.

2) Sebagai suatu jalan atau saluran di mana keinginan-keinginan, kepentingan-kepentingan serta nilai-nilai yang ada pada suatu masa menjadi pusat perhatian, tersalur dengan sebaik-baiknya.

3) Sebagai alat untuk mengadakan seleksi sosial.

4) Sebagai alat untuk menyaring warga-warga masyarakat untuk mengadakan pembagian kerja.


(44)

33

Menelaah pernyataan di atas, maka dapat dikemukakan bahwa bentuk umum dan bentuk khusus dari bentuk umum dari interaksi sosial adalah sebagai berikut:

Bentuk umum Assosiatif, meliputi bentuk khusus diantaranya:

a) Kerja Sama

Timbulnya kerja sama, menurut Charles H. Cooley adalah apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama, dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut melalui kerja sama.

Pada masyarakat dimana bentuk kerja samamerupakan unsur dari sistem nilai-nilai sosial yang seringkali dijumpai dalam keadaan-keadaan dimana warga masyarakat-masyarakat ttersebut tidak mempunyai inisiatif ataupun daya kreasi, oleh karena perorangan atau individu tersebut mengandalkan bantuan dari rekan-rekannya. Kerjasama sebagai salah satu bentuk interaksi sosial merupakan gejala universal yang ada pada masyarakat. Walaupun secara tidak sadar kerja sama tersebut mungkin timbul terutama didalam keadaan-keadaan dimana kelompok tersebut mengalami ancaman dari luar.


(45)

34

b) Akomodasi

Soerjono Soekamto menyatakan, bahwa akomodasi itu menunjuk pada dua arti atau makna. Pertama, akomodasi menunjuk pada suatu keadaan dan kedua, akomodasi itu menunjuk pada suatu proses. Sebagai suatu proses, akomodasi menunjuk pada usaha-usaha untuk mencapai penyelesaian pertikaian; sedangkan sebagai suatu keadaan, akomodasi menunjuk pada suatu kondisi selesainya pertikaian tersebut.

Bentuk unum Dissosiatif, meliputi bentuk khusus diantaranya:

(1) Pertikaian

Pertikaian dapat terjadi karena proses interaksi, di mana penafsiran makna perilaku tidak sesuai dengan maksud dari fihak pertama, yaitu fihak yang melakukan aksi, sehingga menimbulkan suatu keadaan di mana tidak terdapat keserasian di antara kepentingan-kepentingan para fihak yang melakukan interaksi. Oleh karena telah terjadi suatu situasi yang tidak serasi, maka untuk mencapai tujuan yang dikehendaki dilakukan dengan carav mengenyahkan fihak yang telah menjadi penghalangnya itu. Pada pertentangan atau pertikaian terdapat usaha untuk menjatuhkan fihak lawan dengan cara kekerasan (violence).

Mungkin, pertentangan atau pertikaian ini timbul karena persaingan atau kompetisi, tetapi hal ini tidak selalu demikian. Horton dan Hunt, menyatakan bahwa sekali pertikaian dimulai, maka proses ini sulit untuk dihentikan. Sejak saat itu dapat terjadi tindakan-tindakan yang agresif yang


(46)

35

pada dasarnya diilhami oleh sifat bermusuhan tersebut, sehingga proses pertikaian terus berlangsung dan menumbuhkan situasi yang tidak menguntungkan.

(2) Persaingan

Persaingan adalah suatu perjuangan (struggle) dari fihak-fihak untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Suatu ciri dari persaingan adalah perjuangan menyingkirkan fihak lawan itu dilakukan secara damai atau secara “fair-play”, artinya selalu menjunjung tinggi batas-batas yang diharuskan.

Persaingan dapat terjadi dalam segala bidang kehidupan, misalnya bidang ekonomi dan perdagangan, kedudukan, kekuasaan, percintaan dan sebagainya. Persaingan meliputi beberapa fihak yang melakukan persaingan, fihak-fihak yang berkomprtisi (bersaing) disebut “saingan”.14

Keempat bentuk-bentuk dari interaksi sosial tersebut merupakan suatu kontinuitas dalam arti bahwa interaksi itu dimulai dengan kerja sama yang kemudian menjadi pertikaian untuk akhirnya pada akomodasi. Akan tetapi ada baiknya untuk menelaah proses-proses interaksi-interaksi tersebut didalam kelangsungannya, sebagai contoh dapat ditelaah kemungkinan apa yang akan terjadi apabila suatu kelompok baru (misalnya kaum pendatang dari arab) datang untuk menetap disuatu daerah yang telah ada penduduknya yang merupakan masyarat asli daerah tersebut (misalnya jawa)

14 Soleman B. Taneko, Struktur dan Proses Sosial; suatu pengantar sosiologi,....114-124


(47)

36

C. Teori Agama Menurut Emile Durkheim

Dalam pembahasan judul “Interaksi Sosial Antar Umat Beragama (Studi kasus Jama’ah Wahidiyah dan Jama’ah Nahdliyin Di Desa Sukorejo, Kab. Sidoarjo)”, Penulis menggunakan pendekatan kajian Sosiologi. Dengan menggunakan teori tokoh Emile Durkheim yang merupakan figur yang berpengaruh kuat terhadap pemikiran sosiologi.15

Persoalan yang dikemukakan oleh Durkheim yang diuraikan dalam bukunya The Elementary Forms of The Religious Life adalah melihat “Sebab yang selalu hadir yang menjadi tempat bergantungnya bentuk-bentuk pemikiran dan praktek keagamaan yang paling esensial” dan untuk melakukan hal itu Durkheim perlu mengkaji agama dalam “Bentuknya yang paling primitif dan sederhana” dan mencoba membahas sifatnya dengan mengkaji asal-usulnya.16 dalam hal ini Durkheim berusaha mencari definisi yang lebih luas. “Agama itu lebih dari sekedar gagasan tentang Tuhan dan roh” tulisnya dan “Konsekuensinya tidak dapat didefinisikan semata-mata dalam kaitannya dengan kedua hal tersebut”. Maka Durkheim kemudian mendefinisikan dari sudut pandang yang sakral. Bagi Durkheim agama pada dasarnya merupakan sesuatu yang kolektif, dan bahkan Durkheim membedakan agama dari magis dengan menyatakan bahwa magis merupakan

15 Brian Morris, Antropologi Agama: Kritik Teori-teori Agama Kontemporer,

(Yogyakarta: AK Group, 2003), 133.


(48)

37

upaya individual, sementara agama tidak bisa dipisahkan dari ide komunitas, peribadatan atau moral.17

Dalam bukunya The Elementary Forms of The Religious Life tersebut Durkheim juga mengemukakan teori tentang dasar-dasar agama yang sama sekali berbeda dengan teori-teori yang pernah dikembangkan oleh para ilmuwan sebelumnya.

Teori itu berpusat pada pengertian dasar berikut:

1. Bahwa untuk pertama kalinya, aktivitas religi yang ada pada manusia bukan karena alam pikirannya terdapat bayangan-bayangan abstrak tentang jiwa atau roh (suatu kekuatan yang menyebabkan hidup dan gerak di dalam alam) tetapi, karena suatu getaran jiwa, atau emosi keagamaan yang timbul dalam alam jiwa manusia dahulu, karena pengaruh suatu sentimen kemasyarakatan. 2. Bahwa sentimen kemasyarakatan dalam batin manusia berupa suatu

kompleksitas perasaan yang mengandung rasa terikat, bakti, cinta, dan perasaan lainnya terhadap masyarakat di mana ia hidup.

3. Bahwa sentimen kemasyarakatan yang menyebabkan timbulnya emosi keagamaan dan merupakan pangkal dari segala kelakuan keagamaan manusia itu, tidak selalu berkobar-kobar dalam alam batinnya. Apabila tidak dipelihara, maka sentimen kemasyarakatan itu menjadi lemah, sehingga perlu dikobarkan sentimen kemasyarakatan dengan mengadakan satu kontraksi masyarakat, artinya dengan mengumpulkan seluruh masyarakat dalam pertemuan-pertemuan.


(49)

38

4. Bahwa emosi keagamaan yang timbul karena rasa sentimen kemasyarakatan membutuhkan suatu objek tujuan. Sifat yang menyebabkan sesuatu itu menjadi objek dari emosi keagamaan bukan karena sifat luar biasanya, anehnya melainkan tekanan anggapan umum masyarakat. Objek itu ada karena terjadinya satu peristiwa secara kebetulan di dalam sejarah kehidupan suatu masyarakat yang menarik perhatian di dalam masyarakat tersebut. Objek yang menjadi tujuan emosi keagamaan juga objek yang bersifat sakral. Maka objek lain yang tidak mendapat nilai keagamaan (tirual value) dipandang sebagai objek yang tidak sakral (profane).

5. Objek sakral sebenarnya merupakan suatu lambang masyarakat. Pada suku-suku bangsa asli Australia misalnya, objek sakral sering berupa binatang dan tumbuh-tumbuhan. Objek sakral seperti itu disebut Totem. Totem adalah mengkonkretkan prinsip suatu kelompok di dalam masyarakat berupa clan (suku) atau lainnya.

Pendapat tersebut, yang pertama mengenai emosi keagamaan dan sentimen kemasyarakatan. Menurut Durkheim, pengertian-pengertian dasar yang merupakan inti atau esensi dari religi, sedangkan ketiga pengertian lainnya yakni kontraksi masyarakat, kesadaran akan objek yang sakral berlawanan dengan objek yang tidak sakral, dan totem sebagai lambang masyarakat.

Objek sakral dan totem akan menjelaskan upacara, kepercayaan, dan metodologi. Ketiga unsur tersebut menentukan bentuk lahir dari suatu agama.


(50)

39

Perbedaan itu tampak dari upacara-upacara kepercayaan dan metodologinya.18

Pendekatan Emile Durkheim senada dengan paralelisme metafora

(Metaphoric Paralelism) dari winter. Ia meyakini bahwa dunia sakral adalah

dunia yang paralel dengan “keduniaan” (mundane world). Pola-pola perilaku yang akan menyebabkan kekacauan sosial dicegah dengan takut kepada sanksi dari kekuasaan supernatural, yang dikatakan sebagai taboo. Menurut Durkheim istilah tuhan adalah suatu metafor (ibarat) bagi masyarakat, karena itu kata Durkheim, menyembah tuhan sebenarnya menyembah masyarakat sendiri. Orang tidak menyadari proses proyeksi seperti ini, akhirnya taboo dan kode moral menjadi mutlak dan mengikat tanpa dipersonalkan lagi.

Kaum fungsionalis tidak selalu sependapat dengan Durkheim, bahwa percaya kepada tuhan adalah fatamorgana atau angan-angan saja, bagi kebanyakan fungsionalis ada atau tidak adanya tuhan di luarkemampuan empirik untuk membuktikkannya. Masalah kaum fungsionalis tidak memperdulikan kepada benar atau palsunya suatu kepercayaan, tetapi yang penting bagaimana kepercayaan dan ritual itu fungsinya atau pengaruhnya dalam masyarakat.

Emile Durkheim dan Radcliffe Brown menganggap bahwa agama mungkin melayani beberapa fungsi individual, tetapi fungsi agama terpenting adalah struktural. Bahkan Emile Durkheim menekankan bahwa kontribusi

18 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), 29-30


(51)

40

agama bukan menentukan identitas individu tetapi memperkuat identitas kolektif. Agama membantu kelompok mengidentifikasi siapa mereka, agama membantu mereka menentukan kelompok sebagai suatu komuniti moral dengan nilai-nilai dan misi umum dalam kehidupan.19

Dalam definisi yang diberikan Durkheim tentang agama, dia mengatakan bahwa agama adalah satu sistem kepercayaan dengan perilaku-perilaku yang utuh dan selalu dikaitkan dengan yang sakral, yaitu sesuatu yang terpisah dan terlarang.20 Durkheim juga mengatakan bahwa kekuatan agama adalah kekuatan manusia, kekuatan moral. Memang benar oleh karena sentimen kolektif dapat mendorong kesadaran warga atau masyarakat dengan cara mendekatkan diri mereka kepada objek di luar diri mereka yakni kekuatan-kekuatan keagamaan, kekuatan-kekuatan agama bahkan dapat menjelma menjadi semacam unsur fisik, dalam hal ini agama akan berpadu dengan kehidupan material, kemudian dianggap mempunyai kemampuan yang menjelaskan apa yang terjadi. Tetapi jika kekuatan-kekuatan agama hanya ditilik atau dilihat dari sudut pandangan ini, hanya aspek yang paling superfisial yang dapat dilihat. Dalam kenyataan, unsur-unsur esensial yang membentuk sentimen kolektif ini diperoleh melalui pemahaman. Biasanya nampak bahwa kekuatan-kekuatan agama itu hanya memiliki karakter manusia apabila kekuatan-kekuatan itu dimengerti dari segi manusiannya, tetapi bahkan yang

19 Djamari, Agama Dalam Perspektif Sosiologi,.... 86-88

20 Daniel L. Pals, Dekonstruksi Kebenaran Kritik Tujuh Teori Agama, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2001), 156


(52)

41

paling anonim dan paling impersonal sekalipun tak lain adalah sentimen-sentimen yang diobjektivasi.21

Seluruh pandangan Durkheim berada dalam klaimnya yang mengatakan bahwa “agama adalah sesuatu yang bersifat sosial”. Durkheim menegaskan, walaupun sebagai orang individu memang memiliki pilihan-pilihan dalam hidup ini, namun pilihan itu tetap berada dalam kerangka sosial. Dalam setiap kebudayaan, agama adalah bagian yang paling berharga dari seluruh kehidupan sosial. Dia (agama) melayani masyarakat dengan menyediakan ide, ritual dan perasaan-perasaan yang akan menuntun seseorang dalam hidup bermasyarakat.22

21 Roland Robertson, ed, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis,...44-45


(53)

BAB III

GAMBARAN UMUM DESA SUKOREJO

A. Gambaran Wilayah Desa Sukorejo

1. Letak Geografis

Sukorejo adalah nama sebuah dusun dan Buduran adalah kecamatan di Sidoarjo. Sidoarjo adalah sebuah kabupaten yang terletak di Jawa Timur antara 112, 5’ dan 112, 9’ Bujur Timur dan antara 7,3’ dan 7,5’ Lintang Selatan. Kabupaten Sidoarjo terdiri dari 18 kecamatan, batas sebelah utara wilayah Sidoarjo adalah Kotamadya Surabaya dan Kabupaten Gresik, sebelah selatan adalah Kabupaten Pasuruan, sebelah timur adalah Selat Madura dan sebelah barat adalah Kabupaten Mojokerto. Dataran Sidoarjo dengan ketinggian antara 0 s/d 25 m, ketinggian 0-3 m dengan luas 19.006 Ha.

2. Kondisi Demografis

Berdasarkan data terakhir pada bulan juni 2017 jumlah penduduk di Desa Sukorejo Kecamatan Buduran ini seluruhnya berjumlah 4.728 jiwa terdiri dari 1.338 Kepala Keluarga (KK). Dari keseluruhan jumlah penduduk, laki-laki berjumlah 2.413 jiwa, sedangkan perempuan bejumlah 2.315 jiwa. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel berikut:


(54)

43

Tabel 1

Jumlah Penduduk dilihat dari jenis kelamin

NO Jenis Kelamin Jumlah

1. Laki-laki 2.413

2. Perempuan 2.315

Jumlah 4.728

Sumber data dokumen Desa Sukorejo bulan Juni 2017

Sedangkan jumlah penduduk secara rinci berdasarkan usia, dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2

Keadaan Peduduk berdasarkan usia

No. Usia Jumlah

1. 0-3 819

2. 4-6 136

3. 7-12 283

4. 13-15 152

5. 16-18 175

6. 19 keatas 3.163

Jumlah 4.728


(55)

44

3. Kondisi Pendidikan

Kondisi pendidikan di desa Sukorejo terbilang sudah maju atau bersifat modern. Karena mendekati sekolahan-sekolahan yakni SDN Sukorejo, SMPN Buduran dan SMKN Buduran, jadi pendidikan di desa sukorejo ini terbilang cukup baik. Keadaan penduduk dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 3

Keadaan Penduduk berdasarkan Pendidikan

No Pendidikan Jumlah

1. Taman Kanak-kanak 389

2. Sekolah Dasar 1.830

3. SMP/SLTP 680

4. SMA/SLTA 580

5. Sarjana (S1-S3) 151

6. Pondok Pesantren 95

7. Madrasah 133

8. Sekolah Luar Biasa 5

Sumber data dokumen Desa Sukorejo bulan Juni 2017

Dari data di atas dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan masyarakat desa Sukorejo ini cukup baik.


(56)

45

4. Kondisi Ekonomi

Sebagaimana data geografis yang dipaparkan sebelumnya, sebagian besar mata pencaharian penduduk desa Sukorejo ini adalah pegawai swasta, namun banyak juga yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS), petani dan lain-lain. Lahan yang berada di desa Sukorejo terbilang cukup luas yakni telah di bangun berbagai macam pabrik, seperti pabrik kayu, pabrik pengupasan udang, dan lain sebagainya. Keadaan penduduk dari kondisi pekerjaan/ekonomi dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 4

Keadaan Penduduk berdasarkan Pekerjaan/Ekonomi

No. Mata Pencaharian Jumlah

1. Pegawai Negeri Sipil 180

2. Pegawai Swasta 2.765

3. ABRI 120

4. Tani 5

5. Pertukangan 80

6. Buruh Tani 20

7. Pensiunan 111

8. Pedagang 1.447


(57)

46

5. Kondisi Sosial

Penduduk desa Sukorejo memiliki berbagai karakteristik individu yang meliputi berbagai variabel seperti nilai-nilai, sifat kepribadian, dan sikap saling berinteraksi satu sama lain dan kemudian berinteraksi pula dengan faktor-faktor lingkungan yang menentukan faktor prilaku mereka. Faktor lingkungan memiliki kekuatan besar dalam menentukan perilaku, bahkan kadang-kadang kekuatannya lebih besar dari pada karakteristik individu. Hal inilah yang menjadikan prediksi perilaku lebih kompleks.

6. Kondisi Keagamaan

Penduduk di desa sukorejo memiliki berbagai macam keyakinan dalam beragama yakni Islam, Kristen, Katolik, dan Hindu. Namun penduduk di desa Sukorejo 95% beragama Islam. Keadaan penduduk dari kondisi keyakinan beragama dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 5

Keadaan Penduduk berdasarkan Keyakinan Beragama

No. Agama Jumlah

1. Islam 4.573

2. Kristen 107

3. Katolik 7

4. Hindu 1


(58)

47

Sumber data dokumen Desa Sukorejo bulan Juni 2017

Di desa sukorejo ada empat lembaga keagamaan. Namun dalam penulisan karya ini, penulis membahas dua lembaga keagamaan yakni lembaga keagamaan Shalawat Wahidiyah dan lembaga keagamaan Nahdliyin. Berikut adalah jumlah keseluruhan jama’ah Shalawat Wahidiyah dan jama’ah Nahdliyin (NU) di desa Sukorejo, Buduran, Sidoarjo:

a. Shalawat Wahidiyah

Di kalangan jama’ah Shalawat Wahidiyah pengurus jama’ah Wahidiyah di tingkat desa disebut imam jama’ah. Jumlah jama’ah Pengamal Shalawat Wahidiyah di desa Sukorejo kurang lebih hanya 2% dari jumlah total penduduk yang berada di desa Sukorejo.

b. Nahdlatul Ulama

Jumlah seluruh jama’ah warga NU di desa Sukorejo secara keseluruhan mencapai 90% dari 4.728 jiwa. Agar mengetahui pengikut jama’ah Nahdliyin pada tahun 2013 warga desa Sukorejo khususnya jama’ah Nahdliyin wajib mempunyai kartu tanda anggota Nahdlatul Ulama, mulai dari jama’ah yang masih remaja hingga dewasa dan yang mempunyai kartu tanda anggota NU di desa Sukorejo sebanyak 650 orang.1

B. Profil Lembaga Keagamaan


(59)

48

1. Profil Lembaga Jama’ah Shalawat Wahidiyah

Shalawat Wahidiyah adalah rangkaian doa-doa Shalawat Nabi SAW seperti tertulis dalam lembaran Shalawat Wahidiyah, termasuk kafiyah (cara dan adab/tatakrama) dalam mengamalkannya. Mulai disiarkan dan dan diamalkan sejak tahun 1963. mualif Shalawat Wahidiyah adalah Hadratul Mukarram Romo Kiai Haji Abdoel Madjid Ma’roef, pimpinan pesantren kedunglo , Desa Bandar, Kediri.

Shalawat Wahidiyah berfaedah menjernihkan hati, dan ma’rifat (sadar) kepada Allah dan Rosul-Nya SAW. Shalawat Wahidiyah mempunyai tujuan terwujudnya keselamatan, kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan hidup lahir batin dan akhirat bagi masyarakat umat manusia di seluruh dunia.

Shalawat Wahidiyah tidak termasuk dalam kategori jami’iyah Thoriqoh, tetapi berfungsi sebagai thoriqoh dalam arti “Jalan” menuju kesadaran kepada Allah SWT dan Rasul SAW. Shalawat Wahidiyah sama seperti shalawat-shalawat yang lain, boleh diamalkan oleh siapa saja, tanpa syarat adanya sanad atau silsilah, karena sanad dari segala shalawat adalah Shohibus sholawat itu sendiri, yakni Rasulullah SAW.2

2. Profil Lembaga Jama’ah Nahdliyin

Nahdlatul Ulama’ (NU) didirikan pada taahun 1926 di jawa timur. Didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Chasbullah. NU

2 Lailatun Naqiyah, Kumpulan Teks Kuliah Wahidiyah, (Kediri: DPW Wahidiyah, 1999), 1-2


(60)

49

merupakan organisasi para ulama nusantara. Secara keagamaan NU bermadzhab Sunni, umunya berkiblat pada imam syafi’i. NU sebagai jami’iyah Diniyah Islamiah beraqidah/berasas islam menurut paham Ahlu Sunnah wal Jama’ah dan menganut satu dari madzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali.

Pola pikir yang diambil NU yakni mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (spiritualis). karena itu sumber hukum Islam bagi NU tidak hanya al-Qur’an, Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal dan realitas empirik. Tujuan NU adalah menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah wal Jama’ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.3


(61)

BAB IV

SEJARAH, AJARAN, DAN AKTIVITAS LEMBAGA KEAGAMAAN

A. Sejarah, Ajaran dan Aktivitas Keagamaan Jama’ah Shalawat Wahidiyah

1. Sejarah Shalawat Wahidiyah

Shalawat bentuk jamak dari kata salla atau salat yang berarti: doa, keberkahan, kemuliaan kesejahteraan, dan ibadah. Arti bershalawat dapat dilihat dari pelakunya. Jika shalawat yang datang itu dari Allah Swt. Berarti memberi rahmat kepada makhluk. Shalawat dari malaikat berarti memberikan ampunan. Sedangkan shalawat dari orang-orang mukmin berarti suatu doa agar Allah Swt memberi rahmat dan kesejahteraan kepada nabi Muhammad Saw dan keluarganya.

Shalawat juga berarti doa, baik untuk diri sendiri atau pun kepentingan bersama. Sedangkan shalawat sebagai ibadah ialah pernyataan hamba atas ketertundukkannya kepada Allah Swt, bahwa orang yang bershalawat kepadanya akan mendapatkan pahala yang besar, baik shalawat itu dalam bentuk tulisan maupun lisan (ucapan).

Kita mungkin sering membaca shalawat, dan shalawat juga banyak sekali jenisnya. Pengertian shalawat menurut bahasa sebagai berikut:


(62)

51

Shalawat merupakan bentuk jamak dari kata salat yang berarti: doa, keberkahan, kemuliaan, kesejahteraan dan ibadah. Jadi shalawat menurut bahasa bisa diartikan sebagai doa.

Sebagaimana dalam firman Allah sebagai berikut:

ُرهَطُت ًةَقَدَص ْمِه ِلَوْمَأ ْنِم ْذُخ

َو ْمُه

َزُت

ْمِهيَلَع لَصَو اَه ِب ْمِهيك

ُهللاَو ْمُهَل ٌنَكَس َكَتوَلَص نإ

ُمي ِلَع ٌعيِمَس

.

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka, dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (at-Taubah: 103)

Pengertian shalawat menurut istilah atau syar’i adalah pujian kepada nabi-nabi. Ada berbagai macam bacaan shalawat, seperti Shalawat Nariyah, Shalawat Munjiat, Shalawat Badar, Shalawat Wahidiyah dan lain-lainnya. Namun bacaan shalawat yang paling singkat dan secara umum adalah Allahumma Solli Ala Muhammad atau Sollu Ala Muhammad/Sollu Ala Nabi.

Dari beberapa pengertian shalawat diatas maka yang di maksud Shalawat Wahidiyah adalah rangkaian doa shalawat Nabi Shollallohu’ alaihiwasallam


(63)

52

sebagaimana tertulis dalam lembaran Shalawat Wahidiyah, termasuk cara adab

pengamalannya.1

Shalawat Wahidiyah mempunyai berbagai manfaat dan faedah bagi yang meyakininya, antara lain berfaedah menjernihkan hati, membuahkan ketenangan batin dan ketenangan jiwa, serta meningkatkan daya ingat/sadar/ma’rifat kepada Allah Swt Tuhan Yang Maha Esa dan Rosul Saw.

Shalawat Wahidiyah mempunyai berbagai kandungan berupa sistem yang disebut ajaran Wahidiyah. shalawat Wahidiyah dan ajaran Wahidiyah mulai disiarkan pada tahun 1963 dan telah diberikan ijazah mutlak oleh Mualif untuk diamalkan dan disiarkan kepada masyarakat luas tanpa pandang bulu dengan ikhlas tanpa pamrih dan dengan bijaksana.

Sejarah Shalawat Wahidiyah tak bisa dilepaskan dari kejadian ghaib yang dialami oleh Hadratul Mukarram Romo Kiai Haji Abdoel Madjid Ma’roef, pimpinan pesantren kedunglo , Desa Bandar, Kediri. Pengalaman itu terjadi, kira-kira awal bulan juli 1959. Suatu saat, di awal bulan itu, dalam keadaan terjaga (sadar), Beliau menerima pesan dari alamat ghaib. Pesan itu agar beliau ‘mengangkat masyarakat’. Maksudnya adalah agar beliauturut serta dalam memperbaiki dan membangun mental masyarakat, khususnya melalui jalan batiniah, agar mental mereka dapat dilandasi oleh kesadaran kepada Allah Swt. Dan Rasulullah saw.

1 Abdul Muhit, Shalawat Wahidiyah Sejarah dan Ajarannya, (Jakarta: JPW “Miladiyah” Mualif Wahidiyah, 2006), 9


(64)

53

Setelah menerima alamat ghaib itu, Beliau semakin meningkatkan ibadah dan konsentrasi dalam bermujahadah dan mendeatkan diri kepada Allah Swt. Seraya bermunajat kepada Yang Maha Kuasa. Dalam munajatnya Beliau selalu memohon agar umat dan masyarakat dapat meraih kesejahteraan, dan yang utama

Beliau selalu memohon agar terjadi perbaikan akhlak dan mental masyarakat.2

2. Ajaran Jama’ah Shalawat Wahidiyah

Jama’ah Shalawat Wahidiyah berkarakterkan sufistik. Jama’ah Shalawat Wahidiyah ini merupakan salah satu di antara Jama’ah Shalawat yang ada di Indonesia. Keberadaanya mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam mensosialisasikan ajaran-ajaran agama Islam, yang mana ajaran tersebut dalam beberapa ritualnya dapat memberikan pembinaan karakter (kepribadian) kepada setiap pengikut dan anggotanya. Dengan arti lain Jama’ah Shalawat ini merupakan bentuk pelaksanaan ibadah dengan menjalankan syari’at Islam dan dikerjakan secara istiqamah atau tekun melalui jalan tertentu yang sesuai syari’at Islam. Ajaran yang ada pada jama’ah Shalawat Wahidiyah sebagai berikut:

a. Definisi (ta’rif) Ajaran Shalawat Wahidiyah

Yang dimaksud Ajaran Shalawat Wahidiyah adalah bimbingan praktis lahiriyah dan batiniah dalam mengamalkan dan menerapkan tuntunan Rasulullah SAW. Mencakup bidang syari’at dan hakikat yang meliputi penerapan iman,

pelaksanaan Islam, ihsan dan pembentukan akhlaqulkarimah, dengan landasan

al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.


(65)

54

Bimbingan praktis Wahidiyah telah meliputi segala bentuk kegiatan hidup dalam hubungan manusia dengan Allah yang disebut dengan hablun mina-Allah, hubungan manusia dalam kehidupan bermasyarakat sebagai insan sosial atau hablun minan-Nas, hubungan insan dengan keluarga, rumah tangga, dengan

bangsa (international public relations) serta hubungan manusia dengan segala

makhluk di lingkungan hidup pada umumnya.

b. Mujahadah Shalawat Wahidiyah

Mujahadah Shalawat Wahidiyah atau bisa disebut mujahadah adalah pengalaman Shalawat Wahidiyah atau bagian darinya (Shalawat Wahidiyah) menurut kaifiat atau cara yang telah ditentukan oleh mu’alif, sebagai penghormatan kepada Rasulullah SAW. Yang sekaligus merupakan do’a kepada Allah SWT. Yang merupakan doa untuk pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara, serta seluruh makhluk ciptaan Allah SWT.

c. Pengamalan Wahidiyah

Pengamalan Wahidiyah adalah upaya melakukan mujahadah Shalawat Wahidiyah dan mengamalkan ajaran Wahidiyah, sebagaimana telah dirumuskan (Lillah-Billah, Lirrasul-Birrasul, Lilghauts-Bilghauts, Yukti Kulladzii Haqqin Haqqoh, Taqdiimul Aham Fal Aham Tsummal Anfa’ Fal Anfa’) dalam kehidupan sehari-hari.


(1)

89

Dari analisa data mengenai interaksi sosial antara dua jama’ah tersebut teori yang dikemukakan Emile Durkheim sangatlah benar bahwa agama mungkin melayani beberapa fungsi individual, tetapi fungsi agama terpenting adalah struktural. Bahkan Emile Durkheim menekankan bahwa kontribusi agama bukan menentukan identitas individu tetapi memperkuat identitas kolektif. Agama membantu kelompok mengidentifikasi siapa mereka, agama membantu mereka menentukan kelompok sebagai suatu komuniti moral dengan nilai-nilai dan misi umum dalam kehidupan.

Seluruh pandangan Durkheim yang menjelaskan bahwa “agama adalah sesuatu yang bersifat sosial”. Durkheim menegaskan, walaupun sebagai orang individu memang memiliki pilihan-pilihan dalam hidup ini, namun pilihan itu tetap berada dalam kerangka sosial. Dalam setiap kebudayaan, agama adalah bagian yang paling berharga dari seluruh kehidupan sosial. Dia (agama) melayani masyarakat dengan menyediakan ide, ritual dan perasaan-perasaan yang akan menuntun seseorang dalam hidup bermasyarakat.


(2)

BAB VII

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pada pembahasan yang diuraikan dalam skripsi ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

Interaksi sosial adalah kegiatan individu atau kelompok individu dalam rangka pertentangan, pemanfaatan, partisipasi, dan penyesuaian dengan individu atau kelompok individu lainnya (lingkungannya).

Interaksi sosial merupakan suatu hubungan antara 2 individu atau lebih, di mana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memberbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya. Di dalam interaksi sosial mengandung makna tentang kontak secara timbal balik atau inter-stimulasi dan respon antara individu-individu dan kelompok-kelompok.

Interaksi sosial yang ada pada kedua jama’ah di desa Sukorejo yakni jama’ah Shalawat Wahidiyah dan Nahdliyin (NU), karena adanya sikap gotong royong dan tolong-menolong, akomodasi melalui toleransi dan asimilasi. karena manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. maka dari itu pentingnya komunikasi dan sosialisasi dalam kehidupan sehari-hari juga menunjang sebagai suatu bentuk interaksi sosial.

Interaksi yang baik dan benar dapat mempererat tali persaudaraan. bahkan interaksi antar individu sangat dibutuhkan dalam menjalin sebuah hubungan


(3)

91

seperti dalam menjalin hubungan kekeluargaan atau persahabatan. Oleh sebab itu interaksi sosial merupakan kunci dari kehidupan sosial, tanpa adanya interaksi sosial, tidak akan mungkin ada kehidupan bersama.

Oleh karena itu dibutuhkan juga adanya sikap toleransi beragama, yang merupakan suatu elemen penting dalam kehidupan beragama. Sehingga ketika adanya sikap toleransi dan kesadaran dalam beragama akan terhindar dari konflik dan terciptalah sebuah perdamaian. Karena pada dasarnya konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, adat istiadat, keyakinan dan lain sebagainya. Akan tetapi adanya suatu konflik dalam sebuah organisasi lembaga masyarakat atau komunitas masyarakat merupakan situasi yang wajar, bahkan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya. Konflik tersebut hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri

B. Saran

Dalam penelitian ini masih banyak kekurangannya baik dalam segi penulisan atau tentang informasi yang berkaitan dengan jama’ah Shalawat Wahidiyah dan jama’ah Nahdliyin (NU).

Mengenai Interaksi sosial sangatlah penting untuk dilakukan karena dengan cara berinteraksi dapat membuat kesejahteraan hidup bagi setiap individu, bahkan interaksi sosial yang baik dapat mempererat tali persaudaraan antar umat beragama. Dengan cara berinteraksi kepada lembaga keagamaan lain dapat


(4)

92

memperoleh pengetahuan dan pengalaman baru. Oleh karena itu adanya interaksi sosial merupakan kunci dari kehidupan sosial, tanpa adanya interaksi sosial, tidak akan mungkin ada kehidupan bersama.

Hasil dari penelitian yang sudah dilakukan oleh peneliti tentang “Interaksi Sosial Antar Umat Beragama (Studi kasus Jama’ah Wahiddiyah dan Jama’ah Nahdliyin di Desa Sukorejo, Kab. Sidoarjo)” ini belum tentu sempurna. Namun karya ini di harapkan mampu memberikan konstribusi dalam menunjang pengetahuan yang berkaitan dengan interaksi sosial. Jika dari hasil penelitian ini masih banyak kekurangan baik dalam segi penulisan ataupun tentang informasi yang berkaitan dengan interaksi sosial, maka bisa dilakukan pengkajian ulang yang lebih mendalam untuk menyempurnakan hasil penelitian yang sudah peneliti tulis dalam karya ini.


(5)

92

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu, Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta, 1999.

Agus, Bustanuddin, Agama Dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: Rajawali Pers, 2005.

Abdul Fatah, Munawir, Tradisi Orang-orang NU. Yogyakarta: LKIS Pustaka Pesantren, 2006.

Djamari, Agama Dalam Perspektif Sosiologi. Bandung: Alfabeta, 1993.

Farhan, Arief, Pengatar Penelitian dalam Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional, 1982.

Hendropuspito, D, Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1983.

Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Jilid II. Yogyakarta: Andi Offset, 1992. Ismail, Faisal, NU Gusdurisme dan Politik Kiai. Yogyakarta: Tiara Wacana,

1999.

Kholil, Ahmad, Agama Kultural; Masyarakat Pinggiran. Malang: UIN-Maliki Press, 2011.

Kahmad, Dadang, Sosiologi Agama. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.

Muhit, Abdul, Shalawat Wahidiyah Sejarah dan Ajarannya. Jakarta: JPW “Miladiyah” Mualif Wahidiyah, 2006.

Morris, Brian, Antropologi Agama: Kritik Teori-teori Agama Kontemporer. Yogyakarta: AK Group, 2003.


(6)

93

Moloeng, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya,1993.

Nottingham, Elizabeth. K, Agama dan Masyarakat. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996.

Naqiyah, Lailatun, Kumpulan Teks Kuliah Wahidiyah. Kediri: DPW Wahidiyah, 1999.

Pals, Daniel L, Dekonstruksi Kebenaran Kritik Tujuh Teori Agama. Yogyakarta: IRCiSoD, 2001.

Rahmat, Jalaluddin, Metodologi Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992.

Rochani, Nurul, Pengaruh Spiritualis Sholawat Wahidiyah Terhadap Prilaku Jama’ah di Balong Dinding Menganti Gresik, Skripsi: UINSA, 2014. Robertson, Roland, ed, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis.

Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995.

Sitompul, Einar M, NU dan Pancasila. Jakarta: Muliasari, 1996.

Taneko,Soleman B, Struktur dan Proses Sosial; suatu pengantar sosiologi. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993.

Walgito, Bimo, Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Andi Offset, 2003.