Penafsiran Ibnu Kathir dan Hamka terhadap lafadz Awliya' dalam surat al-Ma'idah ayat 51.

(1)

PENAFSIRAN IBNU KATHI>R DAN HAMKA TERHADAP

LAFAZ}

AWLIYA>

’ DALAM SURAT AL-MA>

IDAH AYAT 51

Skripsi:

Disusun Untuk Memenuhi tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar

Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

.

Oleh:

MISBAAHUL MUNIR E03213054

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

viii ABSTRAK

Misbaahul Munir: Penafsiran Ibnu Kathi>r dan Hamka terhadap Lafaz} Awliya>’

dalam Surat Al-Ma>’idah ayat 51

Al-Qur’a>n merupakan sumber pertama ajaran Islam sekaligus petunjuk

bagi manusia, maka penafsiran terhadap al-Qur’a>n bukan hanya merupakan hal

yang diperbolehkan, bahkan lebih dari itu, merupakan suatu keharusan bagi

orang-orang yang memenuhi kualifikasi untuk melakukan hal itu. Al-Qur’a>n

adalah kitab terakhir yang diturunkan maka banyak pula penafsiran-penafsiran yang sesuai dengan latar belakang mufasir atau pendidikan mufasir tersebut. Maka dari itu penulis di sini berinisiatif mengambil satu ayat yang sedang ramai

dibicarakan pada akhir-akhir ini yaitu dalam surat al-Ma>’idah ayat 51 tentang

lafaz} Awliya>’. Karena pada ayat tersebut terdapat banyak perbedaan penafsiran

mengenai lafaz} Awliya>’. Dalam memahami perbedaan penafsiran tersebut, maka

penulis merujuk pada dua tafsir yakni tafsir al-Qur’a>n al-Az{im karya Ibnu Kathi>r

dan tafsir al-Azhar karya Hamka, karena kedua mufasir tersebut dalam

menafsirkan lafaz} Awliya>’ terdapat perbedaan penafsiran dan teori yang dipakai

untuk menafsirkan ayat tersebut. Penelitian ini adalah kategori penelitian keperpustakaan (library research) yaitu suatu penelitian yang menjadikan sumber penelitianya adalah bahan pustaka, tanpa melakukan survei maupun observasi. Dan sumber primer dari penelitian ini adalah tafsir Ibnu Kathi>r dan tafsir al-Azhar. Memahami ayat ini dengan kedua mufasir ini dalam tolak ukur pandang kaidah tertentu yang telah di sebutkan. Agar bagaimana tahu menyingkapi perbedaan antara mufasir karena berbeda kaidah atau teori dalam penafsiranya. Kesimpulan dari permasalahan ini yakni mengetahui akan kaidah-kaidah yang dipergunakan dalam menafsiri lafaz} Awliya>’ dalam surat al-Ma>’idah ayat 51

yang berfokus pada kaidah kebahasaan, kaidah ulumul qur’a>n (asbab al-nuzul dan

munasabah ayat). Yang nantinya akan diketahui bahwa dalam penafsiran lafaz}

Awliya>’ dalam tafsir Ibnu Kathi>r mengunakan teori asbab al-nuzul dan

munasabah, Sedangkan penafsiran lafaz} Awliya’ dalam tafsir al-Azhar

menggunakan Kaidah kebahasaan yakni semantik dan asba>b al-nuzu>l.


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN SKRIPSI ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

ABSTRAK ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

PEDOMAN TRANSLITRASI ... xiii

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Rumusan Masalah ... 7

D. Tujuan Penelitian ... 8

E. Kegunaan Penelitian ... 8

F. Tinjauan Pustaka ... 8

G. Metodologi Penelitian ... 11


(8)

xii

BAB II : KAIDAH ANALISIS TAFSIR ... 14

A. Kaidah Kebahasaan ... 14

1. Bala>ghah ... 14

2. Semantik... 16

B. Kaidah Ulumul Qur’a>n ... 21

1. Asba>b al-Nuzu>l ... 21

2. Munasabah Ayat ... 35

BAB III : PENAFSIRAN SURAT AL-MAIDAH AYAT 51 ... 45

A. Penafsiran Ibnu Kathi>r... 45

B. Penafsiran Hamka ... 50

BAB IV : ANALISIS ... 58

A. Penggunaan Kaidah Kebahasaan ... 58

B. Penggunaan Kaidah Ulumul Qur’an ... 60

1. Asba>b al-Nuzu>l ... 60

2. Munasabah Ayat ... 66

BAB V : PENUTUP ... 70

A. Kesimpulan ... 70

B. Saran ... 71


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’a>n merupakan sumber pertama ajaran Islam sekaligus petunjuk bagi manusia, maka penafsiran terhadap al-Qur’a>n bukan hanya merupakan hal yang diperbolehkan, bahkan lebih dari itu, merupakan suatu keharusan bagi orang-orang yang memenuhi kualifikasi untuk melakukan hal itu.1 Al-Qur’a>n adalah kitab suci yang mengandung hidayah. Al-Qur’a>n mengandung makna lahir (literal teks) dan batin (makna konteks). Apabila seorang mukmin ingin mendapatkan hidayah dari keduanya, tentunya harus melewati proses perenungan, pemahaman dan pemaknaan setiap ayat dan kalimat.2

Al-Qur’a>n di dalamnya menjelaskan perintah dan larangan, memberi kabar gembira (kepada orang mukmin) dan mengancam (kepada orang kafir). Dia tidak ridho kepada kita hanya dengan membacanya tanpa memikirkan ayat-ayat yang kita baca, dan hanya dengan mempelajarinya tanpa memahami hakikatnya. Untuk sampai kepada maksud-maksud yang mulia itu tidak ada jalan lain kecuali dengan mengetahui penafsiran dan hukum-hukumnya, membedakan antara yang halal dan haram yang diterangkan di dalamnya, mengetahui sebab turunya dan sumpah-sumpah yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu al-Qur’a>n merupakan pokok dari segala ilmu dan sumber pengetahuan.3

1

Ali Hasan Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir terj. Ahmad Arqom (Jakarta: Raja Grapindo

Persada, 1994), VII.

2

Shahal Abd. Al-Fattah al-Khalidi, Lathaif Qur’aniyyah terj. Arif Budiono (Surabaya: UINSA

Press, 2013), vii.


(10)

2

Al-Qur’a>n sebagai sumber utama ajaran Islam tidak membicarakan satu masalah secara sistematis sebagaimana buku-buku ilmiah lainnya yang disusun manusia, al-Qur’a>n membicarakan satu masalah secara global, parsial dan menampilkan suatu masalah dalam prinsip-prinsip dasar dan garis besar. Dalam konteks itulah kemudian usaha untuk memahami makna al-Qur’a>n selalu ada dan muncul seiring dengan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi. Atau yang lebih dikenal dengan istilah tafsir.4

Begitu juga terhadap pemahaman makna lafaz} awliyā’ dalam al-Qur’a>n, setiap mufassir mempunyai pemahaman tersendiri yang berbeda dengan mufassir lainnya, hal ini memungkinkan karena pemaknaan awliyā’ akan berkembang selaras dengan perubahan masa atau zaman sejak dahulu hingga sekarang. Awliya’ merupakan orang-orang mulia, disebutkan dalam al-Qur’a>n orang- orang

yang beriman dan bertakwa adalah orang-orang yang mendapat sebutan sebagai wali-wali Allah.

Istilah kata wali mempunyai definisi yang berbeda-beda sesuai konteks kata yang dipergunakan. Jika dikaitkan dengan masalah perkawinan, maka wali mempunyai arti orang yang memiliki hak otoritas secara syar’i untuk menikahkan orang yang berada di bawah perwaliannya, tanpa harus menunggu persetujuan orang lain terlebih dahulu.5 Sementara jika dikaitkan dengan bidang

tasawuf, maka wali mempunyai arti seseorang yang telah mencapai maqam dan ahwal tertentu, sehingga ia menjadi orang yang dekat dengan Allah dan

4

Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011),13-14.

5Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group,


(11)

3

mendapat karamah dari-Nya. Pengertian wali dalam dunia tasawuf sering menekankan dimensi mistiknya, dalam perspektif inilah yang mendapat pandangan masyarakat Indonesia. Apalagi pemahaman tersebut didukung dengan tradisi mistik dan klenik yang masih melekat pada sebagian masyarakat Indonesia. Dari sinilah, kata wali (awliyā’) mengalami penyempitan makna di kalangan masyarakat Indonesia. Kebanyakan masyarakat ketika mendengar kata wali yang terbayang di benak mereka adalah orang yang alim, taqwa, istiqamah dalam berdzikir, beribadah, dan memiliki kelebihan yang tidak dimiliki kebanyakan manusia. Seorang wali Allah adalah yang bisa terbang, bisa berjalan di atas air, memiliki tenaga dalam, dan kekuatan lainnya yang bisa mereka banggakan.6

Kata wali dalam al-Qur’a>n disebutkan 44 kali, sedangkan bentuk pluralnya awliyā’ disebutkan sebanyak 42 kali. Penyebutan wali (dalam bentuk mufrad) lebih banyak menunjuk pada Allah dan merupakan salah satu nama (asma) dari asma’ al-husna yang berjumlah 99. Sedangkan wali dalam bentuk plural awliyā’ menunjukkan pada selain Allah SWT.

Dalam beberapa uraian lafaz} awliya>’ di atas, penulis mengambil satu ayat yang sedang ramai dibicarakan pada akhir-akhir ini yaitu dalam surat al-maidah ayat 51. Di sini penulis akan membahas tentang penafsiran pada lafaz} Awliya>’ pada surat al-Ma>’idah ayat 51 yang bunyinya:

6Asep Usman Ismail, Apakah Wali itu Ada? : Menguak Makna Kewalian dalam Tasawuf


(12)

4

َُّوتَي ْنَمَو ٍضْعب ُءاَيِلْوَأ ْمُهُضْعب َءاَيِلْوَأ ىَراَصنلاَو َدوُهيْلا اوُذِختت ََاوُنَمآ َنيِذلا َاهيَأ اَي

ْمُهنِم َََُُِِ ْمُُْنِم ْم

َيِمِلاظلا َمْوَقْلا يِدْهي ََ َُللا نِإ

‛Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (pimpinanmu); sebagian mereka adalah wali (pimpinan) bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi wali (pimipinan), Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.‛7

Kata kunci di Surat Al-Ma>’idah ayat 51 terletak pada lafaz} awliya>’, yang merupakan bentuk jamak/plural dari kata wali. Berdasarkan kamus al-Munawwir kata Awliya>’ bermakna : (1) yang mencintai, (2) teman/sahabat, (3) yang menolong, (4) orang yang mengurus perkara seseorang atau wali.8

Sedangkan dalam kamus al-Arsy kata awliya>’ bermakna : (1) wakil, pejabat pelaksana, caretaker. (2) penolong (3) sahabat, teman (4) wali, orang yang bertaqwa (5) tuan, kepala (6) yang mencintai (7) orang yang mengurus perkara seseorang (8) tetangga (9) sekutu (10) pengikut (11) pemilik (12) penanggung jawab, kepala, pemimpin (13) putra mahkota (14) wali yang diwasiatkan (15) pengasuh anak yatim (16) yang dermawan.9

Kata wali dengan segala bentuk derivasinya memang memiliki makna yang beragam. Itulah sebabnya, muncul perbedaan tafsir terhadap Al-Ma>’idah ayat 51. Karena itu, perdebatan tafsir itu sebenarnya tidak perlu bertele-tele apalagi saling menyalahkan seandainya para pihak yang berdebat fokus pada kajian lafadz awliya>’ dan konteksnya di ayat tersebut.

7Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan terjemahan (Semarang: CV TOHA PUTRA, 1989), 164.

8

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif,

1997), 1582.

9


(13)

5

Kembali pada surat al-Ma>’idah ayat 51 di atas, menurut penafsiran Ibnu Kathi>r ayat tersebut menjelaskan Allah melarang hamba-Nya yang beriman berwali, berlindung, bersandar, berpemimpin pada semua musuh Islam baik dari kaum Yahudi atau Nashara (Kristen),10 sedangkan menurut penafsiran Jalaluddin as-Suyuthi pengarang tafsir Jalalain, ayat tersebut menjelaskan bahwa umat Islam dilarang memilih pemimpin dari golongan Yahudi dan Nasrani.11 Hal senada juga disampaikan oleh Sayyid Quthb dalam kitab tafsir karyanya yakni Tafsir Zhilalil Qur’a>n, sebab kaum yahudi dan Nasrani pada dasarnya selalu memusuhi umat Islam.12

Dalam memahami perbedaan penafsiran lafaz} Awliya>’ dalam surat Maidah ayat 51 di atas, maka penulis merujuk pada dua tafsir yakni tafsir al-Qur’a>n al-Az}im karya Ibnu Kathi>r dan tafsir al-Azhar karya Hamka, karena kedua mufasir tersebut dalam menafsirkan lafaz} Awliya>’ terdapat perbedaan arti dan teori yang dipakai untuk menafsirkan ayat tersebut, Oleh karena itu perbedaan inilah yang menjadi kajian penelitian dengan menganalisa dari segi metode dan teori yang digunakan Ibn Kathi>r dan Hamka, karena dalam kedua tafsir tersebut ditemukan perbedaan makna. Setiap mufassir selalu mempunyai metode, pendekatan atau teori yang berbeda-beda untuk menafsirkan ayat al-Qur’a>n. Dilatarbelakangi oleh hal inilah, penulis berusaha melakukan pengkajian dan analisa dengan tujuan agar mampu memahami pengertian tentang lafadz

10Al-Imam Abdul Fida Ismail Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Katsir Juz 2, ter. Bahrun

Abu Bakar (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2002), 116.

11Bahrun Abu bakar, terjemahan Tafsir Jalalain (Bandung: Sinar baru Algesindo, 2010), 452

12Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an dibawah Naungan Al-Quran, ter. As’ad Yasin dkk, jil 1


(14)

6

Awliya>’ dalam surat al-Ma>’idah ayat 51, antara Tafsir al-Qur’a>n al-az}im karya Ibn Kathi>r yang termasuk tafsir klasik dengan Tafsir al-Azhar karya Hamka yang merupakan tafsir modern.

Dari kedua tokoh di atas menarik bagi peneliti untuk diteliti, karena kedua mufassir mempunyai latar belakang kehidupan yang berbeda, yang menghasilkan tafsir bercorak klasik dan modern. Dalam menafsirkan al-Qur’a>n kedua tokoh tersebut juga melakukan ijtihad, ijtihad yang mereka lakukan tentunya akan berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa latar belakang sejarah, sosiologi, wawasan intelektual dan sudut pandang kedua tokoh dalam memahami al-Qur’a>n sangat berbeda pada hasil penafsiran.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul ‚Penafsiran Ibnu Kathi>r dan Hamka terhadap lafaz} Awliya>’ dalam Surat al-Ma>’idah ayat 51.‛

B. Identifikasi Masalah

Bertolak dari latar belakang di atas dan keterbatasan kemampuan jangkauan penulis untuk menganalisis pemikiran Ibnu Kathi>r dan Hamka yang begitu luas cakupannya dalam bebagai bidang ilmu pengetahuan dan kehidupannya, maka penulis membatasi dalam masalah yang diteliti yakni bagaimana penafsiran Ibnu Kathi>r dan Hamka terhadap lafaz} Awliya>’ dalam surat al-Ma>’idah ayat 51, kemudian menitik beratkan pada analisa terhadap penggunaan teori apa yang dipakai oleh kedua mufassir dalam menafsirkan ayat tersebut yang akan dibahas dalam peneliti, guna mengetahui manfaat yang di pakai oleh para mufassir.


(15)

7

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang perlu diajukan adalah:

1. Bagaimana penafsiran Ibnu Kathi>r terhadap lafaz} Awliya>’ dalam surat al-Ma>’idah ayat 51?

2. Bagaimana penafsiran Hamka terhadap lafaz} Awliya>’ dalam surat al-Ma>’idah ayat 51?

3. Teori apa yang digunakan Ibnu Kathi>r dan Hamka dalam menafsirkan lafaz}

Awliya>’ dalam surat al-Ma>’idah ayat 51? D. Tujuan Penelitian

1. Untuk memahami penafsiran Ibnu Kathi>r dan Hamka terhadap lafaz} Awliya>’ dalam surat al-Ma>’idah 51.

2. Untuk memahami teori apa yang digunakan Ibnu Kathi>r dan Hamka dalam menafsirkan lafaz} Awliya>’ dalam surat al-Ma>’idah 51.

E. Kegunaan Penelitian

Beberapa hasil yang didapatkan dari studi ini diharapkan akan bermanfaat sekurang-kurangnya untuk hal-hal sebagai berikut:

1. Menambah wawasan dalam perkembangan ilmu tafsir yakni khusus pada surat al-Maidah ayat 51 tentang makna Awliya>’.

2. Dapat dijadikan bahan pertimbangan atau pegangan dalam memahami lafaz} Awliya>’ pada surat al-Ma>’idah ayat 51 yang di telaah dalam kedua penafsiran tersebut.


(16)

8

3. Memberikan kontribusi yang praktis secara terperinci mengenai perbedaan tafsiran dalam memaknai satu pokok pembahasan ayat al-Qur’a>n

4. Melengkapi kaidah-kaidah yang belum pernah ada dalam penelitian sebelumnya tentang pokok pembahasan.

F. Tinjauan Pustaka

Penelitian terdahulu pada topik yang sama

1. Skripsi dengan judul: ‚Memilih pemimpin menurut al-Qur’an surat al-Maidah ayat 51 : studi perbandingan penafsiran antara M. Quraish shihab dan Hamka‛, Moh Hasin Adi, Mahasiswa UIN Sunan Ampel SBY fakultas Ushuluddin jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir tahun 2012.

Hasil dari penelitian ini membataskan pada maksud dari ayat yang menyinggung tentang larangan menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin yang tertuang dalam surat Maidah ayat 51 dalam tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab dan tafsir al-Azhar karya Hamka. Secara khusus Keduanya sama sama melarang menjadikan orang Yahudi dan Nasrani menjadi seorang pemimpin (dalam tataran pengambil kebijakan tertinggi), hanya saja Quraish Shihab memberikan pengecualian, sebab tidak semua umat Yahudi dan Nasrani berperilaku buruk terhadap umat Islam. Sedangkan menurut Hamka pengangkatan pemimpin dari kalangan Yahudi dan Nasrani diperbolehkan asal bukan pada tingkat pemilik kebijakan tertinggi (presiden). Quraish Shihab menafsirkan dengan mengurai kata yang Global sehingga bisa ditemukan makna pengembangan dari kata kata yang ditafsirkan, sedangkan Hamka menafsirkan ayat secara menyeluruh dan dikaitkan dengan sejarah


(17)

9

atau peristiwa yang hampir menyamai dengan kasus yang disinggung dalam ayat.

2. ‚Membelanjakan Harta Dijalan Allah Perspektif Ibnu Katsir dan Ahmad Musthafa al-Maraghi Telaah Surat Al-Baqarah ayat 195‛, Khoiro Ummah, Mahasiswa UIN Sunan Ampel SBY fakultas Ushuluddin jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir tahun 2017.

Hasil penelitian menyimpulkan, dalam penafsiran Ibnu Katsir yang dimaksud membelanjakan harta di jalan Allah adalah nafkah yang mana mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan/ penghasilan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan ajaran islam. Sedangkan menurut al-Maraghi yang dimaksud membelanjakan harta di jalan Allah adalah mengeluarkan uang untuk belanja, yakni membelanjakan hartanya untuk membeli persenjataan yang digunakan untuk berjihad. Jadi antara kedua Mufassir tersebut mempunyai perbedaan pendapat terkait membelanjakan harta di jalan Allah karena jenis harta yang dimaksudkan dalam Ibnu Katsir merupakan harta yang tidak habis dengan satu kali digunakan tetapi dapat digunakan lama menurut apa adanya (Isti’mal). Sedangkan harta yang dimaksudkan al-Maraghi merupakan sesuatu yang tidak dapat diambil kegunaannya dan manfaatnya secara biasa kecuali dengan menghabiskannya (Istihlak). Maka jika dikaitkan dengan fenomena sosial menafkahkan harta di jalan Allah layaknya pendapat Ibnu Katsir begitu banyak cara yang bisa digunakan seperti halnya menafkahkan tanah yang hendak digunakan untuk menanam padi sehingga hasil dari panen bisa disadaqahkan. Sedangkan berjihad di jalan Allah


(18)

10

selayaknya pendapat al-Maraghi yaitu dengan mengeluarkan harta untuk mencari ilmu, mengeluarkan harta untuk kesehatan dan juga memberikan kesejahteraan sosial.

Oleh karena itu, dari sisi pustaka tersebut, sepanjang pengamatan penulis belum menemukan penelitian yang membahas tentang ‚Penafsiran Ibnu Kathi>r dan Hamka terhadap lafadz Auliya’ dalam Surat al-Maidah ayat 51.‛

G. Metodologi Penelitian 1. Model dan jenis penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif sebuah metode penelitian atau inkuiri naturalistik atau alamiyah, perspektif kedalam dan interpreatif.13 Inkuiri naturalistik adalah pertanyaan yang muncul dari diri penulis terkait persoalan tentang permasalahan yang sedang diteliti. Perspektif ke dalam adalah sebuah kaidah dalam menemukan kesimpulan khusus yang semula didapatkan dari pembahasan umum. Sedangkan interpretatif adalah penterjemahan atau penafsiran yang dilakukan oleh penulis dalam mengartikan maksud dari suatu kalimat, ayat atau pernyataan.

Jenis penelitian adalah library research (penelitian kepustakaan) yaitu penelitian yang memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh data


(19)

11

penelitiannya.14 Dengan cara mencari dan meneliti ayat yang dimaksud, kemudian mengelolanya memakai keilmuan tafsir.

2. Sumber data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini, bersumber dari dokumen perpustakaan tertulis, seperti kitab, buku ilmiah dan referensi tertulis lainnya. Sumber data yang di gunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua bagian, antara lain;

a. Sumber data primer atau sumber pokok dalam penelitian yang akan di kaji dalam penelitian ini adalah : Tafsir al-Qur’a>n al-az}im karya Ibn Kathi>r dan Tafsir al-Azhar karya Hamka.

b. Sumber data sekunder atau pendukung antara lain :

Sumber data skunder dari penelitian ini menggunakan kitab-kitab tafsir berbahasa arab dan terjemahan, buku-buku, artikel, dan sumber tertulis yang berkaitan dengan tema yang diangkat.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik atau cara yang ditempuh dalam penelitian ini yaitu: mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan fokus pembahasan, kemudian mengklarifikasi sesuai dengan sub bahasan dan penyusunan data yang akan digunakan dalam penelitian berdasarkan konsep-konsep kerangka penulisan yang telah dipersiapkan sebelumnya.15

14Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Yogyakarta: Buku Obor, 2008), 1.

15Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, (Bandung: Remaja Rosda


(20)

12

4. Teknik Analisa Data

Penelitian ini menguanakan metode deskriptif dan komparatif analitis, metode deskriptif yang mengadakan penyelidikan mengemukakan beberapa data yang diperoleh kemudian menganalisis dan mengklasifikasikan.16Dan dianalisis sesuai dengan sub bahasa masing-masing. Selanjutnya dilakukan telaah mendalam atas karya-karya yang memuat objek penelitian dengan mengunakan analisi isi, yakni suatu teknik sistematik utuk menganalisis isi pesan dan mengolahnya dengan tujuan menangkap pesan yang tersirat dari beberapa pertanyaan. Selain itu, analisis isi juga berarti mengkaji bahan dengan tujuan spesifik yang ada dalam benak peneliti.

H. Sistematika Pembahasan

Dalam penyusunan penelitian ini, penulis meringkas semua permasalahan yang dibahas mulai dari bab satu sampai bab akhir, yaitu dengan menggunakan penyusunan sebagai berikut:

1.Bab I Pendahuluan yang berisikan gambaran umum yang memuat pola dasar penelitian ini, yang meliputi: latar belakang, identifikasi masalah dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, sistematika pembahasan.

2.Bab II Merupakan pembahasan tentang kaidah analisis tafsir atau landasan teori. Bab ini terdiri dari kaidah kebahasaan yang meliputi Bala>ghah dan

16

Muhammad, Kepemimpinan Laki Laki Atas Perempuan Dalam Alqur’an (Studi Komparatif

Penafsiran Quraish Shihab Dan Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieq, 2010, Skripsi UIN Sunan Ampel Surabaya, 16.


(21)

13

Semantik serta kaidah ulumul qur’a>n yang meliputi asba>b al-Nuzu>l, Munasabat Ayat untuk mengetahui teori apa yang di gunakan oleh Ibnu Kathi>r dan Hamka dalam menafirkan lafaz} Awliya>’ dalam surat al-Ma>’idah ayat 51.

3.Bab III merupakan pembahasan yang terdiri dari penafsiran surat al-Ma>’idah ayat 51 yang meliputi penafsiran Ibnu Kathi>r dan penafsiran Hamka.

4.Bab IV dalam bab ini akan dibahas mengenai analisa dari kaidah-kaidah analisis tafsir yang digunakan peneliti untuk meneliti data yang diperoleh dari beberapa penafsiran yakni tafsir Ibnu Kathi>r dan tafsir al-Azhar karya Hamka. 5.Bab V merupakan bab penutup. Di dalamnya berisi kesimpulan dan saran.


(22)

14

BAB II

KAIDAH ANALISIS TAFSIR

A. Kaidah Kebahasaan 1. Bala>ghah

Al-Qur’a>n bukan kitab sastra dan bukan pula hasil dari karya yang direnungkan oleh sastrawan, melainkan sebuah kitab suci yang bertujuan membimbing umat ke jalan yang benar agar manusia hidup dengan selamat dari dunia sampai akhirat. Berdasarkan kenyataan yang demikian, maka untuk memahami al-Qur’a>n dengan diperlukannya penguasaan ilmu bala>ghah atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan ilmu susatra atau kesusastraan.

Dari berbagai literasi ilmu dapat disimpulkan bahwa ilmu bala>ghah membahas tentang kaidah-kaidah yang berhubungan dengan kalam Arab, khususnya berkenaan dengan pembentukan kalimat dan gaya bahasa dalam berkomunikasi. Apabila pembahasannya difokuskan dalam bidang makna yang dikandung oleh ungkapan atau kalimat yang disampaikan, ini disebut dengan ‚Ilmu Ma’a>ni ‛; jika pembahasannya menyangkut penyampaian suatu maksud dengan menggunakan berbagai pola kalimat yang bervariasai, ini bisa disebut ‚Ilmu Baya>n‛; dan jika yang dikaji adalah kaidah yang berhubungan dengan cara penyusunan bahasa yang indah dan gaya estetis yang tinggi, ini disebut dengan ‚Ilmu Badi>’‛.17 Maka ilmu balaghah ini membahas tiga

bidang pokok: Ilmu Ma’a>ni, atau dalam bahasa Indonesia dapat dikategorikan

17Ah}mad al-H{a>shimi>, Jawa>hir al-Bala>ghah fi> al-Ma’a>ni wa Badi>’, Cet. XII (Beirut: Da>r al-Fikr, 1978), 45-46.


(23)

15

ke dalam kajian semantik; Ilmu Bayan, antara lain membicarakan ungkapan metaforis, kiasan, dan sebagainya; dan Ilmu Badi’, khususnya membicarakan keindahan suatu ungkapan dari sudut redaksi dan maknanya.

Bala>ghah mempunyai implikasi yang besar dalam proses menafsirkan al-Qur’a>n. Dari itu, tidaklah berlebihan bila al-Dhahabi> menjadikannya sebagai salah satu persyaratan utama yang harus dipenuhi oleh seorang mufassir. Ibnu Khaldun juga sependapat dengan hal tersebut. Namun, ada beberapa ulama yang tidak sepakat dengan kesimpulan itu, seperti Ibn Qashsh, dari kalangan ulama Shafi>’iyah, Ibn Khuwayaz Mandad dari Makiyah, Dawud al-Zahiri>. Mereka yang menolak ini pada umumnya berpendapat bahwa pemakaian kata-kata majaz (kiasan) dalam pembicaraan baru digunakan dalam keadaan terpaksa. Kondisi semacam ini mustahil bagi Tuhan; bahwa dengan sedikit berlebihan mereka berkata: ‚majaz adalah saudara bohong, dan al-Qur’a>n suci dari kebohongan.‛

Pendapat serupa ini bisa membawa kepada kesimpulan bahwa untuk memahami dan menafsirkan al-Qur’a>n tidak diperlukan penguasaan ‚Ilmu Bala>ghah‛ khususnya ‚Ilmu Baya>n‛.Mayoritas ulama menolak pendapat ini karena tidak adanya dukungan oleh pengalaman empiris dalam proses penafsiran tersebut. Bahkan al-Zarkashi> dan al-Suyu>th}i> menyatakan bahwa pendapat itu adalah batal. Seandainya tidak ada majaz dalam al-Qur’a>n demikian al-Suyu>t}i> niscaya gugurlah sebagian keindahannya sebab para sastrawan telah sepakat bahwa majaz jauh lebih indah dan efektif (ablagh) dari makna yang sebenarnya (hakiki).


(24)

16

2. Semantik

Semantik secara bahasa berasal dari bahasa Yunani semantikos yang memiliki arti memaknai, mengartikan, dan menandakan. Secara istilah semantik menyelediki tentang makna, baik berkenaan dengan hubungan antar kata-kata dan lambang.

Semantik merupakan salah satu metode yang ideal dalam mengungkapkan makna dan pelacakan perubahan makna yang sesuai dengan maksud penyampaian oleh Allah. Pendekatan yang paling cocok dalam mengungkap makna serta konsep yang terkandung dalam al-Qur’a>n adalah semantika al-Qur’an. Jika dilihat dari struktur kebahasaan maka semantik mirip dengan ilmu balaghah dalam bahasa Arab. Selain itu medan persamaan antara satu dengan yang lainnya mirip dengan munasabah ayat dengan ayat. Makna yang serupa dengan ini Allah menjelaskan dalam surah-surah al-Ra’d: 37, al-Nahl: 103, Taha : 113, al-Shu’ara: 195, al-Zumar: 28, Fussilat: 3, al-Shura : 7, al-Zukhruf: 3, dan al-Ahqaf: 12.

Berdasarkan kenyataanya, maka sangat menarik dan masuk akal bila penguasaan bahasa Arab dijadikan salah satu kriteria yang sangan penting dalam memahami al-Qur’a>n. Dalam kaitan ini kiranya tidak berlebihan bila Mujahid, seorang tokoh mufassir di kalangan tabi’in, menegaskan: ‚Tidak wajar bagi orang yang mengaku beriman kepada Allah dan hari akhirat membicarakan sesuatu tentang kandungan Kitab Allah sebelum mendalami bahasa Arab‛.


(25)

17

Konsep pokok yang terkandung dalam makna kata-kata al-Qur’a>n dijelaskan dalam beberapa langkah penelitian, yaitu: Pertama, menentukan kata yang akan diteliti makna dan konsep yang terkandung di dalamnya. Kemudian menjadikan kata tersebut sebagai kata fokus yang dikelilingi oleh kata kunci yang mempengaruhi pemaknaan kata tersebut hingga membentuk sebuah konsep dalam sebuah bidang semantik. Kata fokus adalah kata kunci yang secara khusus menunjukkan dan membatasi bidang konseptual yang relatif independen berbeda dalam keseluruhan kosa kata yang lebih besar dan ia merupakan pusat konseptual dari sejumlah kata kunci tertentu. Kata kunci adalah kata-kata yang memainkan peranan yang sangat menentukan dalam penyusunan struktur konseptual dasar pandangan dunia al-Qur’a>n. Sedangkan medan semantik adalah wilayah atau kawasan yang dibentuk oleh beragam hubungan diantara kata-kata dalam sebuah bahasa.18

Kedua, langkah berikutnya adalah mengungkapkan makna dasar dan makna relasional dari kata fokus. Makna dasar adalah sesuatu yang melekat pada kata itu sendiri yang selalu terbawa dimanapun kata itu diletakkan. Sedangkan makna relasional adalah sesuatu yang konotatif yang diberikan dan ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan kata pada posisi khusus dalam bidang khusus, atau dengan kata lain makna baru yang diberikan pada sebuah kata bergantung pada kalimat dimana kata tersebut digunakan.19

18J. D. Parera, Teori Semantik (Jakarta: Erlangga, 1990), 27.

19Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’a>n .terj, Khoiron Nahdliyin (Yogyakarta: LKiS,


(26)

18

Makna dasar bisa diketahui dengan menggunakan kamus bahasa Arab yang secara khusus membahas tentang kata-kata yang ada di dalam al-Qur’a>n. Sedangkan makna relasional dapat diketahui setelah terjadinya hubungan sintagmatis antara kata fokus dengan kata kunci dalam sebuah bidang semantik.20

Ketiga, langkah selanjutnya adalah mengungkapkan kesejarahan makna kata atau semantik historis. Dalam pelacakan sejarah pemaknaan kata ini ada dua istilah penting dalam semantik, yaitu diakronik dan sinkronik. Diakronik adalah pandangan terhadap bahasa yang menitikberatkan pada unsur waktu. Sedangkan sinkronik adalah sudut pandang tentang masa dimana sebuah kata lahir dan mengalami perubahan pemaknaan sejalan dengan perjalanan sejarah penggunaan kata tersebut dalam sebuah masyarakat penggunanya untuk memperoleh suatu sistem makna yang statis. Dalam pelacakan sejarah kata dalam al-Qur’a>n, secara diakronik melihat penggunaan kata pada masyarakat Arab, baik pada masa sebelum turunnya al-Qur’a>n, pada masa Nabi SAW, pada masa setelah Nabi SAW hingga era kontemporer untuk mengetahui sejauh mana pentingnya kata tersebut dalam pembentukan visi Qur’ani. Sedangkan secara sinkronik lebih menitikberatkan pada perubahan bahasa dan pemaknaannya dari sejak awal kata tersebut digunakan hingga ia menjadi sebuah konsep tersendiri dalam al-Qur’a>n yang memiliki makna penting dalam pembentukan visi Qur’ani.


(27)

19

Keempat, setelah mengungkapkan kesejarahan kata dan diketahui makna dan konsep apa saja yang terkandung di dalam kata fokus, langkah terakhir adalah mengungkapkan konsep-konsep apa saja yang ditawarkan al-Qur’a>n kepada pembacanya agar bisa dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga terbentuklah kehidupan yang berlandaskan aturan-aturan al-Qur’a>n (Allah), dan mewujudkan visi Qur’ani terhadap alam semesta. Hal ini lebih terlihat pada implikasi pemahaman konsep tersebut dalam kehidupan sehari-hari dimana konsep yang ditawarkan oleh al-Qur’a>n bisa menjadi sebuah gaya hidup baru yang lebih baik.

Dari berbagai nama jenis makna telah di kemukakan orang dalam berbagai buku linguistik atau semantik:

1. Semantik Leksikal, Gramatikal dan Kontekstual

Semantik leksikal ialah kajian semantik yang lebih memusatkan pada pembahasan sistem makna yang terdapat dalam kata. Makna tiap kata yang diuraikan di kamus merupakan contoh dari semantik leksikal, seperti kata rumah, dalam kamus diartikan sebuah bangunan yang digunakan sebagai tempat tinggal oleh manusia.21 Semua makna (baik berbentuk dasar maupun bentuk turunan) yang terdapat dalam kamus disebut makna leksikal.22 Dapat juga dikatakan bahwa makna leksikal adalah makna yang

sebenarnya, sesuai dengan hasil observasi indera kita atau makna apa adanya. Semantik gramatikal ialah studi semantik yang khusus mengkaji

21Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), 74.

22Fatimah Djajasudarma, Semantik 1: makna leksikal dan gramatikal, (Bandung: Refika Aditama,


(28)

20

makna yang terdapat dalam suatu kalimat.Misalnya, berkuda, kata dasar kuda berawalan ber- yang bermakna mengendarai kuda.23Semantik kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam satu konteks. Makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasinya, yakni tempat, waktu dan lingkungan penggunaan bahasa itu.24

2. Semantik Referensial dan Non-referensial

Sebuah kata atau leksem dikatakan bermakna referensial jika ada referensnya atau acuannya. Ada sejumlah kata yang disebut kata deiktik, yang acuannya tidak menetap pada satu wujud. Misalnya : kata-kata pronominal, seperti, dia, saya dan kamu. Makna referensial disebut juga makna kognitif, karena memiliki acuan. Misalnya :orang itu menampar orang.25

3. Semantik Denotatif dan semantik Konotatif

Semantik denotatif adalah makna asli, makna asal atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem. Semantik denotatif sebenarnya sama dengan makna leksikal. Semantik konotatif adalah makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang yang menggunakan kata tersebut. Konotasi sebuah kata bisa berbeda antara seseorang dengan orang lain.26

23Pateda, Semantik ..., 71

24Abdul Chaer, linguistik umum (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), 290.

25

Chaer, Linguistik ...., 291.

26


(29)

21

B. Kaidah Ulumul Qur’a>n 1. Asba>b al-Nuzu>l

a. Definisi Asba>b al-Nuzu>l

Secara etimologis Asba>b al-Nuzu>l terdiri dari dua kalimat isim yakni : Asba>b yang mempunyai arti sebab-sebab, dan Nuzu>l yang mempunyai arti turun, kemudian dua kalimat tersebut di ko mulasikan menjadi Asba>b al-Nuzu>l yang berarti sebab-sebab turun, artinya pengatahuan tentang sebab turunnya al-qur’a>n. Sedangkan secara termenologis para ulama’ berbeda pendapat dalam memberikan pengertian secara redaksional meskipun subtansinya sama.27

Diantara ‘Ulama’ yang memberikan pengertian tentang Asba>b al-Nuzu>l sebagai berikut;

1) Menurut Manna’ Khalil al-Qatt}a}n memberikan pengertian: Asba>b al-Nuzu>l adalah peristiwa yang menyebabkan turunya al-Qur’a>n berkenaan denganya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi.28

2) Shubhi>} al-Sha>lih} memberi pengertian: bahwa Asba>b al-Nuzu>l adalah Ayat atau beberapa ayat yang turun karena adanya sebab, baik yang mengandung sebab, memberi jawaban terhadap sebab, atau menerangkan hukum pada saat terjadinya peristiwa itu.29 M. Quraish

27Sahid, ‘Ulu>m al-Qur’a>n ‚Memahami otentifikasi al-quran‛ (Surabaya: Pustaka Idea, 2016) ,99.

28Manna> Al-Qatha>n, Maba>hith Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, terj.Mudzakir (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa), 93.

29Shubhi} > al-Sha>lih,} Maba>hith Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n(Da>r l ‘Ilm li al-Ma>la>yi>n , Bairut, 1977, cet; 10,) 132


(30)

22

Shihab memperjelas pengertian Asba>b al-Nuzu>l al-Qur’a>n tersebut dengan cara memilah peristiwanya dan menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan Asba>b al-Nuzu>l al-Qur’a>n ialah:

a) Peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunya ayat, dimana ayat tersebut menjelaskan pandangan al-Qur’a>n tentang peristiwa tadi atau mengomentarinya.

b) Peristiwa-peristiwa yang terjadi sesudah turunya suatu ayat, dimana peristiwa tersebut dicakup pengertianya atau dijelaskan hukumnya oleh ayat tadi.30

Secara umum Asba>b al-Nuzu>l adalah segala sesuatu yang menjadi suatu sebab atau yang melatarbelakangi turunya Al-Qur’a>n baik secara untuk mengomentari, menjawab, ataupun menerangkan hukum pada saat sesuatu itu terjadi. Oleh karenanya, yang harus diperhatikan adalah bahwa berbagai peristiwa massa lalu pada zaman Nabi dan Rasul tidak semuanya termasuk Asba>b al-Nuzu>l. Peristiwa yang menjadi Asba>b al-Nuzu>l adalah peristiwa yang menjadi latar belakang turunya suatu ayat atau surah dalam al-Qur’a>n.

Asba>b al-Nuzu>l dalam tinjauan aspek bentuknya bisa berbentuk peristiwa dan pertanyaan. Dalam bentuk peristiwa yang melatar belakangi turunnya al-Qur’a>n ada tiga macam: pertengkaran, kesalahan yang serius, cita-cita dan harapan. Dan dalam bentuk pertanyaan dapat pula dibagi kepada tiga macam, yaitu pertanyaan tentang masa lalu, masa yang


(31)

23

sedang berlangsung, dan masa yang akan datang.31 Secara tegas Para ‘Ulama’ berpendapat bahwa hal yang berkaitan dengan Historis atau latar belakang di turunkannya al-Qur’a>n menunjukkan ayat-ayat al-Qur’a>n di turunkan dengan dua cara. Pertama dengan cara di turunkan oleh allah tanpa sebab atau peristiwa tertentu yang melatarbelakanginya. Kedua al-Qur’a>n di turunkan dengan sebab peristiwa tertentu. Berbagai hal yang menjadi peristiwa turunnya al-Qur’a>n inilah yang kemudian oleh para ‘Ulama’ Tafsir di istilahkan menjadi ilmu Asba>b al-Nuzu>l‚ Asba>b al-Nuzu>l adalah suatu konsep, teori atau berita tentang sebab-sebab turunya wahyu tertentu dari al-Qur’a>n kepada nabi Muhammad Saw, baik berupa satu ayat maupun rangkaian ayat.

b. Urgensi Mengetahui Asba>b al-Nuzu>l

Ulama’ menganggap pengetahuan tentang Asba>b al-Nuzu>l itu penting sehingga mereka merincinya, sebagaimana berikut ini:32

1) Memberikan petunjuk tentang hikmah yang dikehendaki Allah SWT, atas apa yang telah ditetapkan hukumnya.

2) Memberikan petunjuk tentang adanya ayat-ayat tertentu yang memiliki kekhususan hukum tertentu.

3) Merupakan cara yang efisien dalam memahami makna yang terkandung dalam al-Qur’a>n.

4) Menghindar dari keraguan tentang ketentuan pembatas yang terdapat dalam al-Qur’a>n.

31Ramli Abdul Wahid, ‘Ulum al - Qur’an (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 38.


(32)

24

5) Menghilangkan kemusykilan memahami ayat.

Berikut terdapat beberapa ulama’ yang menganggap pengetahuan tentang Asba>b al-Nuzu>l itu sesuatu yang penting:33

a) Al-Sya>t}ibi berpendapat bahwa pengetahuan tentang Asba>b al-Nuzu>l merupakan keharusan bagi orang yang ingin mengetahui kandungan al-Qur’a>n.

b) Al-Wa>hidi> mengemukakan pendapatnya bahwa tidak mungkin dapat diketahui tafsir ayat al-Qur’a>n tanpa terlebih dahulu mengetahui kisahnya dan keterangan sebab turunnya ayat yang bersangkutan. Dan pasti ayat-ayat yang dimaksud adalah yang memiliki Asba>b al-Nuzu>l.

c) Ibn Daqi>q al-‘I>d berpendapat bahwa keterangan sebab turunnya ayat merupakan cara yang tepat untuk dapat memahami makna-makna al-Qur’a>n, khususnya ayat-ayat yang mempunyai Asba>b al-Nuzu>l.

d) Ibn Taymiyah mengemukakan pendapatnya bahwa, pengetahuan sebab turunnya ayat membantu memahami ayat al-Qur’a>n. Karena, pengetahuan tentang sebab akan mewariskan pengetahuan tentang akibat dari turunnya ayat.

c. Cara mengetahui riwayat Asba>b al-Nuzu>l

Asba>b al-Nuzu>l adalah peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah Saw. oleh karena itu, tidak ada jalan lain untuk mengetahuinya selain berdasarkan periwayatan yang benar dari orang-orang yang melihat


(33)

25

dan mendengar langsung turunya ayat al-Qur’a>n, serta tidak mungkin diketahui dengan jalur pikiran manusia (Ra’yi).34 Kemungkinan berijtihad

tidak ada dan tidak diperkenankan. Melakukan ijtihad untuk mengetahui dengan menggunakan logika atau rasio, dinilai melakukan tindakan tanpa dasar dan tanpa ilmu. Dalam al-Qur’an surat al-Isra’ [17] ayat 36 Allah berfirman:

ًَوُؤْسَم ُُْنَع َناَك َكِئلوُأ لُك َداَؤُفْلاَو َرَصَبْلاَو َعْمسلا نِإ ٌمْلِع ُِِب َكَل َسْيَل اَم ُفْقت َََو

Dan janganlah engkau mengikuti apa yang engkau tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.35

Selain dalil al-Qur’a>n juga terdapat hadis riwayat al-Turmudzi yang menegaskan tidak diperkenankannya menafsirkan al-Qur’a>n tanpa dasar ilmu. Dalam sebuah hadis Rasulullah saw bersabda:

رانلا

ْنِم

َُدَعْقَم

ْأوَ بَتَيْلَ

ٍمْلِع

ِْيَغِب

ِنآْرُقْلا

ِِ

َلاَق

ْنَم

Barang siapa yang berkata dalam (menafsirkan) al-Qur’a>n tanpa dasar ilmu, maka tempatnya adalah neraka.36

Berdasarkan ayat dan hadis di atas, Para ‘Ulama salaf menjauhi atau mengesampingkan adanya bentuk penafsiran terhadap ayat yang tidak mereka ketahui. Yahy}a bin Sa‘i>d dari Sa‘i>d bin Musayyab meriwayatkan bahwa jika ia ditanya tentang penafsiran ayat-ayat

34Sauqiyah Musyafa’ah, dkk. Studi Al-Qur’an (Surabaya: IAIN SA Press, 2012),169.

35

Departemen Agama RI. Al-Qur’a>n dan terjemahan.., 420

36Muha}mmad bin ‘I<sa bin Saurah al-Turmudzi>, Sunan al-Turmudzi>. juz 5 (Beirut: Maktabah


(34)

26

Qur’an, ia menjawab bahwa dirinya tidak akan berkomentar tentang sesuatu apa pun dalam al-Qur’a>n.37

Dengan demikian, penggunaan rasio tidak menjadi dasar dalam memahami Asba>b al-Nuzu>l. Untuk menjaga kesalahan dalam menafsirkan ayat al-Qur’a>n, ulama membatasi cara mengetahui Asbab> al-Nuzu>l dengan riwayat yang shahih. Mereka tidak membenarkan seseorang mengeluarkan pendapat atau berijtihad dalam masalah Asba>b al-Nuzu>l . Dalam hal ini al-Suyu>thi> mengatakan: sebagaimana beliau mengutip dari pendapatnya al-Wahidi>, Tidak diperkenankan berpendapat tentang sebab turunnya al-Kitab kecuali dengan dasar riwayat dan mendengar dari orang-orang yang menyaksikan turunnya ayat, memahami sebab-sebab turunnya ayat, dan membahas berdasarkan ilmu sebab-sebab turunnya ayat.38

Dengan singkat bahwa Asba>b al-Nuzu>l diketahui melalui riwayat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Tetapi tidak semua riwayat yang disandarkan kepadanya dapat dipegang, riwayat yang dapat dipegang ialah riwayat yang memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana ditetapkan para ahli hadis. Secara khusus dari riwayat Asba>b al-Nuzu>l ialah riwayat dari orang-orang yang terlibat dan mengalami peristiwa yang diriwayatkan, yaitu pada saat wahyu turun, riwayat yang berasal dari tabi’in yang tidak merujuk pada Rasulullah SAW dan para sahabatnya dianggap lemah atau dhaif. Apabila terdapat

37

Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: Tafakkur, 2009), 78

38


(35)

27

sebab-sebab turunnya ayat dari tabi’in, maka untuk diterima terdapat empat hal yang disyaratkan:

1) Hendaknya ungkapannya jelas (eksplisit) dalam kata-kata sebab, dengan mengatakan "sebab turunnya ayat ini adalah begini", atau hendaknya memuat fa’ ta’qibiyah, dalam hal ini fa’ fungsinya sebagai kata sambung yang masuk pada materi turunnya ayat (matan hadis), setelah penyebutan peristiwa atau pertanyaan seperti kata-kata "terjadi begini dan begini" atau "Rasulullah ditanya tentang hal ini. Kemudian Allah menurunkan ayat ini atau turunlah ayat ini".

2) Memiliki Isnad yang sahih.

3) Tabi’in yang dimaksud termasuk imam tafsir yang mengambil darisahabat.

4) Di dukung dengan riwayat tabi’in yang lain, yang menyempurnakan suatu syarat. Apabila syarat ini sempurna pada riwayat tabi’in, maka diterima dan mendapat hukum hadis mursal.

Berdasarkan keterangan diatas, maka Asba>b al-Nuzu>l yang diriwayatkan dari seorang sahabat dapat diterima sekalipun tidak dikuatkan dan didukung riwayat lain. Adapun Asba>b al-Nuzu>l dengan hadis mursal (hadis yang gugur dari sanadnya seorang sahabat dan mata rantai periwayatnya hanya sampai kepada seorang tabi’in), riwayat


(36)

28

seperti ini tidak diterima kecuali sanadnya sahih dan dikuatkan hadis mursal lainnya.39

Adapun susunan atau bentuk redaksi yang dapat memberi petunjuk secara tegas tentang Asba>b al-Nuzu>l adalah:

a) Bentuk redaksi yang tegas berbunyi:

...

ا

ذك

ﺔيﻷ

ا

لو

ﺰَ

ببس

b) Adanya huruf fa’ al-sababiyah yang masuk pada riwayat yang dikaitkan dengan turunya ayat. Misalnya

...

ى ﺔيﻷا ﺔلﺰنَ

c) Ada keterangan yang menjelaskan, bahwa Rasul ditanya sesuatu kemudian diikuti dengan turunya ayat sebagai jawabanya. Dalam hal ini tidak digunakan pernyataan tertentu.

d. Asba>b al-Nuzu>l dalam Pema’naan Ayat

Sebagian Ulama’ juga mengatakan bahwa diantara surat dan ayat al-Qur’an ternyata ada yang mengalami dua kali turun. Diantara surat dan ayat yang mengalami dua kali turun adalah al-Isra’> ayat 85. Kemudian ada ayat yang satu kali turun tetapi memiliki lebih satu sebab contohnya ayat tentang li’a>n dalam surah al-Nu>r ayat 6. Terkadang, ada dua riwayat atau lebih yang mengemukakan tentang Asba>b al-Nuzu>l untuk satu ayat tertentu.40 Hubungan Sebab-Akibat Dalam Kaitannya Dengan Asba>b al-Nuzu>l.

39Fahd bin Abdurrahman Ar-Rumi, Ulumul Qur'an; Studi Kompleksitas Al-Qur'an, terj. Amirul

Hasan dan Muhammad Halabi (Yogyakarta: Titian Ilahi, 1996), 185

40


(37)

29

Ulama’ telah membahas tentang hubungan antara sebab yang terjadi, dengan ayat yang turun. Hal seperti ini dianggap penting karena sangat erat kaitannya dengan penerapan hukum. Adanya perbedaan pemahaman tentang suatu ayat berlaku secara umum berdasarkan bunyi lafaz}nya, atau terkait sebab turunnya, mengakibatkan lahirnya dua kaidah antara lain:41

Kaidah Asba>b al-Nuzu>l

ببسلا

صوصخ

َ

ظفللا

مومعب

ةرعلا

Patokan atau yang menjadi pegangan dalam memahami makna ayat ialah lafaznya yang bersifat umum bukan sebabnya.

ظفللا

مومعب

َ

ببسلا

صوصخ

ةرعلا

Pemahaman ayat ialah berdasarkan sebabnya bukan redaksinya, kendati redaksinya bersifat umum.42

Dalam pengaplikasian atau pemakaian kaidah Asba>b al-Nuzu>l diatas, akan diberikan contoh ayat al-Qur’an surat al-Ma>’idah ayat 93, sebagaimana berikut:43

اوُلِم َعَو اوُنَمآَو اْوَقتا اَم اَذِإ اوُمِعَط اَميَِ ٌحاَنُج ِتاَِِاصلا اوُلِمَعَو اوُنَمآ َنيِذلا ىَلَع َسْي َل

َيِنِسْحُمْلا بُُِ ُُللاَو اوُنَسْحَأَو اْوَقتا ُث اوُنَمآَو اْوَقتا ُث ِتاَِِاصلا

Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman,

41

Ibid., 146.

42M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013), 237.


(38)

30

kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.44

Menurut pengertian arti ayat diatas, terkesan bahwa ayat itu membenarkan orang yang beriman makan atau minum apa saja, walaupun haram, selama mereka beriman dan bertakwa. Makna ini jelas salah. Makna demikian adalah akibat ketiadaan pengetahuan tentang sebab turunnya ayat tersebut. Diriwayatkan bahwa ketika turun ayat pengharaman minuman keras, sementara sahabat Nabi bertanya: Bagaimana nasib mereka yang telah wafat, padahal tadinya mereka gemar meminum khamar? Ayat diatas menjelaskan bahwa Allah tidak meminta pertanggung jawaban mereka yang telah wafat itu sebelum datangnya ketetapan hukum tentang haramnya makanan dan minuman tertentu selama mereka beriman.45

Demikian terlihat betapa Saba>b al-Nuzu>l dalam ayat ini dan sekian ayat yang lain amat dibutuhkan. Kendati demikian, harus diakui pula bahwa tidak semua ayat ditemukan riwayat sebabnya, sementara ada juga ayat dapat dipahami dengan baik tanpa mengetahui atau memperhatikan sebabnya.46

Dari redaksi riwayat yang menampilkan Saba>b al-Nuzu>l tersirat sifat sebab itu. Jika perawinya menyebut satu peristiwa, kemudian dia menyatakan Fa Nazalat al-Ayat atau menegaskan bahwa Ayat ini turun disebabkan oleh ini, yakni menyebutkan peristiwa tertentu, maka berarti

44

Departemen Agama RI. Al-Qur’a>n dan terjemahan.., 172

45Shihab, Kaidah Tafsi>r, 328. 46Ibid., 329


(39)

31

ayat tersebut turun semasa atau bersamaan dengan peristiwa yang disampaikan. Tetapi apabila redaksinya menyatakan Nazalat al-Ayat fi yang menegaskan bahwa ayat ini turun menyangkut suatu hal, baru kemudian menyebut peristiwa, maka hal itu berarti bahwa kandungan ayat itu mencakup peristiwa tersebut.47

Dalam konteks pemahaman makna ayat-ayat dikenal kaidah yang menyatakan:

ببسلا

صوصخ

َ

ظفللا

مومعب

ةرعلا

Patokan atau yang menjadi pegangan dalam memahami makna ayat ialah lafaz}nya yang bersifat umum bukan sebabnya.48

Setiap peristiwa memiliki atau terdiri dari unsur-unsur yang tidak dapat dilepaskan darinya, yaitu waktu, tempat, situasi tempat, pelaku, kejadian, dan faktor yang menyebabkan terjadinya peristiwa itu.

Kaidah diatas menjadikan ayat tidak terbatas berlaku terhadap pelaku, akan tetapi bagi siapapun selama redaksi yang digunakan ayat bersifat umum. Perlu diingat bahwa yang dimaksud dengan Khusu>s} al-Sabab adalah sang pelaku saja, sedang yang dimaksud dengan redaksinya yang bersifat umum harus dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi, bukannya terlepas dari peristiwanya.49

Dalam Firman Allah Surah al-Ma>’idah ayat 33 diterangkan, sebagai berikut:

47Ibid., 238

48Ibid., 239 49Ibid., 230


(40)

32

اَِّإ

َنْوَعْسَيَو َُُلوُسَرَو َُللا َنوُبِراَُُ َنيِذلا ُءاَﺰَج

تَقي ْنَأ اًداَسََ ِضْرَْﻷا ِِ

ْوَأ اوُبلَصُي ْوَأ اوُل

ت

ْمِهيِدْيَأ َعطَق

ْنِم ْمُهُلُجْرَأَو

نُي ْوَأ ٍف ََِخ

اْوَف

ِضْرَْﻷا َنِم

َكِلَٰذ

ْمَُّ

ِخ

ٌيْﺰ

ِِ

َدلا

اَي

ْمََُّو

ِِ

ِةَرِخ ْْا

ٌباَذَع

ٌميِظَع

Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. 50

Salah satu riwayat menyatakan bahwa ayat ini turun berkaiatan dengan hukuman yang diterapkan oleh beberapa sahabat Nabi dalam kasus suku al-‘Urainiyin. Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa sekelompok orang dari suku ‘Ukal dan ‘Urainah datang menemui Nabi setelah menyatakan bahwa mereka telah Islaman. Mereka mengadu tentang sulitnya kehidupan mereka. Maka Nabi memberi mereka sejumlah unta agar dapat mereka manfaatkan. Di tengah jalan mereka membunuh pengembala unta itu, bahkan mereka murtad. Mendengar kejadian tersebut Nabi mengutus pasukan berkuda yang berhasil menangkap mereka sebelum sampai di perkampungan mereka. Pasukan itu, memotong tangan dan kaki, serta mencungkil mata mereka dengan besi yang dipanaskan, kemudian ditahan hingga meninggal.51

Apabila memahami makna memerangi Allah dan Rasul-Nya dan melakukan perusakan di bumi dalam pengertian umum, terlepas dari Saba>b alNuzu>l, maka banyak sekali kedurhakaan yang dapat dicakup oleh redaksi tersebut. Keumuman lafaz} itu terkait dengan bentuk peristiwa

50

Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan terjemahan..,159


(41)

33

yang menjadi Saba>b al-Nuzu>l sehingga ayat ini hanya berbicara tentang sanksi hukum bagi pelaku yang melakukan perampokan yang disebutkan oleh sebab di atas, yaitu kelompok orang dari suku ‘Ukal dan ‘Urainah, serta semua yang melakukan seperti apa yang dilakukan oleh rombongan kedua suku tersebut (perampokan).52

Sementara Ulama masa lampau tidak menerima kaidah tersebut. Mereka menyatakan bahwa:53

ظفللا

مومعب

َ

ببسلا

صوصخ

ةرعلا

Pemahaman ayat ialah berdasarkan sebabnya bukan redaksinya, kendati redaksinya bersifat umum.54

Jadi menurut mereka ayat di atas hanya berlaku terhadap kedua suku tersebut, yakni suku ‘Ukal dan ‘Urainah. Sementara sebagian Ulama berkata bahwa kendati kedua rumusan diatas bertolak belakang, tetapi hasilnya akan sama, karena hukum perampokan yang dilakukan selain mereka dapat ditarik dengan menganalogikan kasus baru dengan kasus turunnya ayat di atas.55

e. Contoh Penerapan Teori Asba>b al-Nuzu>l

Dalam Ulumul Qur’a>n, ilmu Asba>b al-Nuzu>l merupakan ilmu yang sangat penting dalam menunjukkan hubungan dialektika antara teks dan realita.56 Dalam uraian lebih rinci, urgensi Asba>b al-Nuzu>l dalam memahami al-Qur’a>n sebagai berikut:

52Ibid., 230

53Ibid., 231. 54Ibid., 241.

55Shihab, Kaidah Tafsi>r, 239.


(42)

34

Membantu dalam memahami ayat-ayat al-Qur’a>n dan mengatasi ketidak pastian dalam menangkap pesan dari ayat-ayat tersebut.57 Umpamanya dalam al-Qur’a>n surah al-Baqarah ayat 115.

ُبِرْغَمْلاَو ُقِرْشَمْلا ُِلِلَو

اَمَنيَأََ

اولَوُ ت

مَثَ

ُِللا ُُْجَو

Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah.58

Dalam Kasus Shalat: Dengan melihat ayat di atas, seseorang boleh menghadap kiblat ketika shalat. Akan tetapi, setelah melihat Asba>b al-Nuzu>l-nya, kekeliruan interpretasi tersebut sangat jelas, sebab ayat di atas berkaitan dengan seseorang yang sedang berada dalam perjalanan dan melakukan shalat di atas kendaraan dan tidak diketahui dimana arah kiblat.

Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum; Umpamanya dalam Surah al-An’a>m 145.

ُُمَعْطي ٍمِعاَط ىٰلَع اًمرَُُ ََِإ َيِحْوُأ اَم ِِْ ُدِجَأ َ ْلُق

َِإ

ْنَأ

َنْوُُي

ًﺔَتْيَم

ْوَأ

اًمَد

اًحْوُفْسم

ْوَأ

َمَِْ

ٍرْيِﺰْنِخ

َََُِِ

ٌسْجِر

ْوَأ

اًقْسَِ

لُِأ

ِْيَغِل

ُِّٰللا

ُِب

ِنَمََ

رُطْضا

ٍداَع ََو ٍغاَب َرْ يَغ

َكبَر نََِِ

ٌمْيِحر ٌرْوُفَغ

Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi. karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"59

57M. Quraish Shihab, Sejarah dan Ulumul Qur’a>n, Cet. I (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), 80

58

Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan terjemahan..,26

59


(43)

35

Menurut al-Sha>fi’i pesan ayat ini tidak bersifat umum, tapi untuk mengatasi kemungkinan adanya keraguan dalam memahami ayat di atas, beliau menggunakan Asba>b al-Nuzu>l. Ayat ini menurutnya, diturunkan sehubungan dengan orang-orang kafir yang tidak mau memakan sesuatu, kecuali apa yang telah dihalalkan Allah, dan menghalalkan yang telah diharamkan Allah merupakan kebiasaan orang-orang kafir, terutama orang Yahudi, maka turunlah ayat diatas.

Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam ayat al-Qur’a>n bagi ulama yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang bersifat khusus dan bukan lafaz} yang bersifat umum.

C. Muna>sabah Ayat

Kata ‚munasabah‛ secara etimologis berarti ‚musyakalah‛ (keserupaan) dari ‚muqarobah‛ (kedekatan). Munasabah ayat adalah hubungan yang terdapat di antara ayat-ayat Al-Qur’a>n dan surat-surat nya baik dari sudut makna, susunan kalimat, letak surat, ayat dan sebagainya. Dalam buku kaidah tafsir karya M.Quraisy Shihab mengatakan bahwa munasabah dari segi bahasa bermakna kedekatan. Nasab adalah kedekatan hubungan antara seseorang yang lain disebabkan oleh hubungan darah/keluarga. Dalam pengertian lain di singung juga bahwa penjelasan munasabah yakni yang menerangkan kolerasi atau hubungan antara suatu


(44)

36

ayat dengan ayat yang lain, baik yang ada dibelakangnya atau ayat yang ada dimukanya.60

Menurut al-Zarkasyi munasabah adalah mengaitkan bagian-bagian permulaan ayat dan akhiranya mengaitkan lafaz umum dan lafaz khusus atau hubungan antara ayat yang terkait dengan sebab akibat. Dengan redaksi yang berbeda al Qaththan berkata munasabah adalah menghubungkan antara jumlah dengan jumlah dalam suatu ayat atau antara ayat dengan ayat pada sekumpulan ayat atau antara surah dengan surah.61

Ulama-ulama al-Qur’a>n mengunakan kata muna^sabah untuk dua makna. Pertama, hubungan kedekatan antara ayat atau kumpulan ayat-ayat al-Qur’a>n satu dengan lainya. Ini dapat mencangkup banyak ragam, antara lain :

a) Hubungan kata demi kata dalam satu ayat b) Hubungan ayat dengan ayat sesudahnya

c) Hubungan kandungan ayat dengan fa^shilah/penutupnya d) Hubungan dengan surah dengan surah berikutnya e) Hubungan awal surah dengan penutupnya

f) Hubungan nama surah dengan tema utamanya

g) Hubungan uraian akhir surah dengan uraian awal surah dan berikutnya.62

60Ahmad Syadali, Ulumul Qur’a>n I (Bandung : Pustaka Setia, 1997), 168.

61Acep Hermawan, Ulumul Qur’a>n, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2011), 122.


(45)

37

Kedua, hubungan makna satu ayat dengan ayat lain, misalnya pengkhususkanya, atau penetapan syarat terhadap ayat lain yang tidak bersyarat, dan lain-lain. QS. Al-Ma’idah (5): 3, misalnya, menjelaskan aneka makanan yang haram, antara lain darah. Tetapi QS. Al-An’am (6):145 menjelaskan bahwa yang haram adalah darah yang mengalir. Nah, ada munasabah antara ayat Al-Maidah dan Al-An’am yang disebut di atas.63

Banyak ulama yang membatasi apa yang mereka namakan dengan ‘Ilm al-munasabah hanya bagian pertama di atas. Bahasan tentang hal ini dimunculkan pertama kali oleh Abu bakar Abdullah bin Muhammad Ziyad An-Naisabury yang wafat tahun 324 H.64 Ulama berbeda pendapat menyangkut ada atau tidak-nya hubungan/munasabah dalam pengertian pertama di atas. Ada yang menolak dengan alasan, antara lain. Bahwa ayat-ayat Al-Quran turun dalam masa yang berbeda-beda dan tidak mungkin ada kaitan antara uraian masa lalu dan masa kemudian.65

Pendapat di atas tidak sepenuhnya benar, karena setiap ayat yang turun. Rasulullah SAW menjelaskan kepada penulis wahyu dimana ayat itu ditempatkan. Memang penempatan sesuatu katakanlah para tamu undangan tidak harus berdasar masa kehadiranya. Presiden yang datang paling akhir menempati tempat paling depan. Yang mendapingi beliaupun bisa

63Ibid., 244.

64Ibid.


(46)

38

beda antara satu acara dengan acara yang lain. Sekali meteri ini dan dikali lain menteri itu sesuai acara yang diselenggarakan.66

Di sisi lain, bahasan ulama-ulama yang mendukung adanya munasabah cukup banyak dan menarik. Salah seorang yang paling memperhatikan bidang ini adalah Ibrahim bin Umar al-Biqa’i (1406-1480), pengarang tafsir Nazhem ad-Durar fi Tanasub al-Ayat wa as-Suwar yang menghidangkan dalam tafsirnya itu ragam-ragam hubungan yang dikemukan di atas. Harus diakui bahwa bahasan tentang hubungan itu sangat mengadalkan pemikiran, bahkan imajinasi atau ragam hubungan yang dikemukakan oleh para mufasir, bahkan bisa jadi seorang mufasir menghidangkan dua tiga hubungan buat satu ayat yang dibahasnya, sebagaimana terlihat dalam karya al-Biqa’i di atas. Di sisi lain, dapat saja pandangan-pandangan tentang munasabah yang ditampilkan oleh ulama/pemikir tidak diterima baik oleh ulama/pemikir yang lain.67

Asy-Syatibi menjelaskan bahwa satu surat walaupun dapat mengandung banyak masalah namun masalah-masalah tersebut berkaitan antara satu dengan yang lainya. Sehingga seorang hendaknya jangan hanya mengarahkan pandangan pada awal suatu tetapi hendaknya memperhatikan pula akhir surat, atau sebaliknya karena bila tidak demikian akan terabaikan maksud ayat-ayat yang diturunkan itu.68 Tidak dibenarkan seseorang hanya memperhatikan bagian-bagian dari satu pembicaraan, kecuali pada saat apa

66Ibid., 245.

67M.Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang : Lentera Hati, 2013), 24.


(47)

39

yang dimaksud untuk memahami arti lahiriyah dari satu kosa kata menurut tinjauan, etimologis, bukan maksud si pembicaraan. Kalau arti tersebut tidak dipahaminya, maka ia harus segera memperhatikan seluruh pembicaraan dari awal hingga akhir, demikian kata As-Syuyuti.69

Mengenai hubungan antara suatu ayat/surat dengan ayat/surat lain sebelum/sesudah, tidaklah kalah pentingnya dengan mengetahui sabab nuzul ayat. Sebab mengetahui adanya hubungan antara ayat dan surat-surat itu dapat pula membantu untuk memahami dengan tepat ayat-ayat dan surat-surat yang bersangkutan dalam Al-Qur’a>n.70

Para ulama mendukung adanya munasabah menyatakan bahwa tidak semua ayat atau bagianya harus dicarikan munasabahnya. Ayat yang di susul pengecualinya tidak perlu dicarikan munasabahnya, seperti ayat 3 surat Al-Ashr (103) dengan ayat kedua. Demikian juga yang kandungannya menguatkan kandungan sebelumnya, seperti QS. Al-Qiyamah (75):32 yang menguatkan ayat 31 sebelumnya.71

ٰىلَص َََو َقدَص ََََ

)

١٣

(

تَو َبذَك نَُِٰلَو

ََٰو

)

١٣

(

Dan ia tidak mau membenarkan (Rasul dan Al Quran) dan tidak mau mengerjakan shalat, tetapi ia mendustakan (Rasul) dam berpaling (dari kebenaran).72

Tidak dibahas juga hubungan antara sepengal ayat dengan bagianya yang lain, atau satu ayat dengan ayat yang lain bila di sela ayat atau bagian satu ayat ada jumlah Mu’taradhah, yakni kata/kalimat yang berada di tengah

69Ibid., 169.

70 Ibid

71Shihab, Kaidah Tafsir, 246

72


(48)

40

dengan tujuan menguatkan pesan atau pilihan yang bersifat sementara. firman allah :

تاََ ْاوُلَعْفت نَلَو ْاوُلَعْفت ّْ نََِِ

َنيِرَِاَُْلِل ْتدِعُأ ُةَراَجِِْاَو ُسانلا اَُدوُقَو ِِلا َرانلا ْاوُق

Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir (QS. al-Baqarah: 24)

Bermacam-macam penjelasan tentang hubungan yang ditemukan antara lain a) Kebertolak belakangan seperti :

ي

ِِ ُجِلَي اَم ُمَلْع

نِم ُُُرََْ اَمَو ِضْرَْﻷا

َمَو اَه

ِﺰْني ا

ي اَمَو ِءاَمسلا َنِم ُل

اَهيَِ ُُُرْع

َوَُو

ُميِحرلا

ُروُفَغْلا

Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa yang ke luar daripadanya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dialah Yang Maha Penyayang lagi Maha Pengampun (QS. Saba' :2)

Perhatikan pada kata-kata bumi dan langit, masuk dan turun, serta keluar dan naik.73

b) Al-Istihrad74

Seperti QS. al-‘Araf (7) 26

َأ ْدَق َمَدآ َِِب اَي

ي اًساَبِل ْمُُْيَلَع اَنْلَﺰَ

ْ يَخ َكِلَذ َىَوْق تلا ُساَبِلَو اًشيِرَو ْمُُِتاَءْوَس يِراَو

ْنِم َكِلَذ ٌر

َنوُركذَي ْمُهلَعَل ُِّللا ِتاَيآ

Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.

c) Percontohan tentang keadaan seperti :75

73M.Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), 247

74Ibid., 248 75Ibid


(49)

41

"Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung."

Menurut Az-Zarkasyi, ayat di atas seakan-akan menyatakan bahwa semua yang dilakukan Allah ada hikmah dan tujuanya yang benar. Tidak seperti kalian, hai kaum musyrik Mekkah, yang melubangi atau atau enggan masuk rumah dari pintu-pintunya.

d)Menjawab pertanyaan/kesan yang diduga lahir.

Dalam QS. al-Baqarah Allah memerintahkan bersedekah (ayat 272-273). Kemudian mengecam dan melarang praktik riba (274-279), lalu memerintahkan menulis utang-piutang (282). Hubungan ayat-ayat di atas adalah: ketika ada perintah bersedekah dan larangan mengembangkan harta riba, bisa jadi timbul kesan bahwa allah tidak menghendaki kaum muslimin menghargai uang. Makauntuk menghapus kesan itu, ayat 282 memberi petunjuk betapa harta harus dipelihara dan di syukuri sehingga utang-piutang, walau sedikit hedaknya di catat dan ditagih pada waktu pelunasanya demi memelihara harta dan menjaga nya agar tidak hilang atau terlupakan, di samping menghindari persilisihan yang mungkin terjadi akibat lupa atau kecurangan.76


(50)

42

e) Menghadirkan gambaran tentang keadaan yang dialami. Misalnya, ajakan untuk memperhatikan secara menurut ibil/ unta, as-asma’/langit. Al-jibal/ gunung, dan al-ardh/bumi. QS. al-Ghasyiyah (88):17-20. Ada ulama yang menghubungkanya dengan mengambarkan dalam benaknya keadaan masyarakat ketika itu. Mereka hidup di padang pasir. Mereka diajak memikirkan hal-hal di sekelilingnya dan yang pertama terlihat oleh masyarakat ketika itu sekaligus sangat berharga bagi mereka adalah unta. Binatang inilah yang membawa mereka mengembala. Dalam pengembaraan, mereka tidak melihat kecuali unta yang mereka tungangi, langit, gunung dan bumi. Maka itulah keadaan mereka dan itu pula yang menghubungkan penyebutan hal-hal tersebut. Ada juga yang memahami kata ibil dalam arti awan. Dan bila demikian. Hubungan penyebutan makhluk-makhluk allah itu sangat jelas.

Para ulama juga menemukan hubungan antara awal ayat/kandungan pesanya dengan akhir ayat. Di sini ditemukan anatara lain :77

1) Tamkin, yakni penutup ayat perlu ditampilkan karena pesanya belum tuntas tanpa penutup itu, seperti :

َٰصْبَْﻷٱ ُُُكِرْدُت َ

َرَٰصْبَْﻷٱ ُكِرْدُي َوَُو ُر

َوَُو

ُفيِطللٱ

ُيِبَْْٱ

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui. (QS. Al-'An`am: 103).

2) Penyesuaian dengan konteks umum uraian.


(51)

43

Badingkanlah konteks kedua ayat berikut yang berbicara tentang persoalan yang sama, tetapi fashilah nya berbeda. Dalam QS. an-Nahl (16): 18. Allah berfirman :

ت نِإَو

اودُع

َﺔَمْعَِ

ُِللٱ

ََ

اَوُصُُْ

نِإ

للٱ

َُ

ٌروُفَغَل

ٌميِحر

Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Masih banyak ragam hubungan yang ditemukan dalam al-Qur’a>n yang tidak dapat ditemukan kesemuanya di sini, namun sekali lagi penulis ingin tekan kan bahwa : upaya menghubungkan ayat-ayat bersifat ijtihadi dan dapat ditemukan, bukan saja melalui pertimbangan nalar, tetapi juga dengan mengangkat kenyataan yang dialami bahkan imajinasi yang melahirkan hal-hal baru, termasuk antara lain mengasumsikan lahirnya pertayaan-pertayaan akibat kandungan uraian yang lalu. Bukankah jika yang bercakap-cakap. Tidak jarang topik pembicaraan beralih dari satu topik ke topik yang lain akibat adanya situasi dan kondisi yang terjadi/muncul saat pembicaraan. Sehingga tema berpindah ke tema yang lain.78

Selanjutnya harus digaris bawahi juga bahwa kendati diperselisihkan tentang ada atau tidaknya munasabah dalam al-Qur’a>n, demikian juga adanya perbedaan penelitian terhadap munasabah yang dikemukakan oleh seorang ulama. Namun yang pasti adalah bahasan tentang masalah ini tetap diperlukan. Bukan saja untuk menampik dugaan kekacauan sistematika


(52)

44

perurutan ayat/surat al-Qur’a>n tetapi juga untuk membantu memahami kandungan ayat:79

Ayat-ayat Al-Qur’a>n telah tersusun sebaik-baiknya berdasarkan petunjuk dari Allah SWT. Sehingga pengertian tentang suatu ayat kurang dapat dipahami begitu saja tanpa mempelajari ayat-ayat sebelumnya. Kelompok ayat yang satu tidak dapat dipisahkan dengan sebelumnya. Kelompok ayat yang satu tidak dapat dipisahkan dengan kelompok ayat berikutnya. Antara satu ayat dengan ayat sebelum kelompok ayat berikutnya. Antara satu ayat dengan ayat sebelum dan sesudahnya mempunyai hubungan yang erat dan kait mengait merupakan mata rantai yang sambung bersambung. Hal inilah yang disebut dengan istilah Munasabah Ayat.80

79Ibid.., 252


(53)

BAB III

PENAFSIRAN SURAT AL-MAIDAH AYAT 51

Sebelum masuk dalam penafsiran, maka penulis akan sedikit memaparkan metode dan corak penafsiran yang dipakai oleh Ibnu Kathi>r dan Hamka di dalam menafsirkan al-Qur’a>n.

Dilihat dari metode penafsirannya, tafsir Ibn Kathi>r ini menggunakan metode analisis (tahlili), yaitu metode penafsiran al-Qur`an yang dilakukan dengan menjelaskan ayat al-Qur’an dalam berbagai aspek, serta menjelaskan maksud yang terkandung di dalamnya, jadi kegiatan penafsirannya meliputi penjelasan ayat perayat, surat persurat, makna lafaz-lafaz tertentu, susunan kalimat, asbabun nuzul, hadits yang berkenaan dengan ayat yang ditafsirkan. Namun demikian Ibn Kathi>r mengabaikan penjelasan lafaz-lafaz dari segi kebahasaan dan balaghahnya.82

Bila dilihat dari sumber penafsirannya.Tafsir Ibn Kathir termasuk kategori tafsir bil-ma’tsur, disebut juga tafsir al-riwayah atau bi al-manqul,83 yaitu tafsir yang mengambil penjelasan dari ayat-ayat al-Qur`an sendiri, Hadits Nabi, atsar sahabat, ataupun perkataan tabi’in. Dan dalam tafsir ini di temukan beberapa corak, hal ini dipengaruhi oleh beberapa disiplin ilmu yang dimilikinya.

82

Jamaluddin Miri, Tafsir Al-Adzim Ibn Kathir: Studi tentang Sumber, Metoda dan Corak

Penafsirannya (jurnal Mutawattir, vol 3, No. 1 Juni 2013), 122; Ibnu Kathir, Bida>yah wa al-Nihaya>h, juz xiv (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.t. th), 22.


(54)

46

Adapun corak tafsir yang ditemukan dalam tafsir Ibn Kathir yaitu corak fiqih, corak ra’yi dan corak qira`at.84

Dan sedangkan dalam tafsir Al-Azhar menggunakan metode tahlili, karna menjelaskan makna-makna yang dikandung dalam al-Quran yang urutannya sesuai dengan tertib ayat dan surah dalam mushaf, yang penjelasannya dari berbagai aspek asbab an-nuzul, serta kutipan dari Nabi, sahabat dan tabiin.85 Dilihat dari coraknya, maka tafsir hamka ini bercorak adabi al-ijtima’i (sastra budaya kemasyarakatan), yaitu tafsir yang menjelaskan petunjuk ayat-ayat al-Quran yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat serta usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau problem masyarakat berdasarkan ayat-ayat al-Quran dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dengan bahasa yang mudah dipahami.

A. Penafsiran Ibnu Kathi>r

َُّوتَي ْنَمَو ٍضْعب ُءاَيِلْوَأ ْمُهُضْعب َءاَيِلْوَأ ىَراَصنلاَو َدوُهيْلا اوُذِختت ََاوُنَمآ َنيِذلا َاهيَأ اَي

ْمُهنِم َََُُِِ ْمُُْنِم ْم

َيِمِلاظلا َمْوَقْلا يِدْهي ََ َُللا نِإ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali-wali (pimpinanmu). sebagian mereka adalah wali (pimpinan) bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi wali (pimpinan), maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.

84Ali Hasan Ridha, Sejarah dan Metodologi Tafsir, ter. Ahmad Akrom ( Jakarta: Rajawali, Press,

1994), 59

85


(55)

47

Dalam ayat ini jelas Allah melarang hamba-Nya yang beriman berwali, berlindung, bersandar, berpemimpin pada semua musuh Islam baik dari kaum Yahudi atau Nashara (Kristen), mereka saling berwali atau bertolongan diantara sesame mereka. Kemudian Allah mengancam bahwa siapa yang berwali pada mereka maka tergolong dari golongan mereka.86

Umar bin Khattab r.a menyuruh Abu Musa Al’asy’ari r.a. supaya melaporkan kepadanya penerimaan dan pengeluaran dalam satu surat (kulit), dan Abu Musa mempunyai penulis seorang Kristen, maka ketika diterima oleh Umar laporannya, kagumlah Umar dan berkata, ‚Sungguh orang itu teliti, apakah anda dapat membaca surat di masjid yang baru kami terima dari Syam?‛

‚Tidak dapat,‛ jawab Abu Musa. Umar bertanya, ‚Mengapakah, apakah ia janabat?‛ Jawab Abu Musa, ‚ Tidak, tetapi ia Kristen.‛

Maka langsung Umar membentak aku dan memukul pupuku sambil berkata, ‚Keluarkan dia dari sini!‛ lalu membaca ayat 51 ini. (R. Ibn Abi Hatim).87

Ada pendapat bahwa turunnya ayat-ayat ini mengenai Abdullah bin Ubay bin Salul sebagaimana keterangan Ibn Jarir: Ubadah bin Asshamit dari suku khazraj datang kepada Nabi saw. Dan berkata, ‚Ya Rosulullah, saya mempunyai maula (sekutu) yang banyak sekali dari Yahudi, dan kini aku lepaskan semua persekutuan dengan mereka hanya berwali kepada Allah dan Rosulullah saw. dan lepas daripada persekutuan dengan kaum Yahudi.‛

86

Al-Imam Abdul Fida Isma’il Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Katsir Juz 2, ter. Bahrun

Abu Bakar, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2002), 116. 87Ibid


(1)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

69

munafik yang masih ragu terhadap Allah dan segala janji-Nya, ragu terhadap kebenaran ajaran Allah dan kekuasaan-Nya. Sedangkan Hamka di sini tidak terlalu menyangkutpautkan teori munasabah dalam menafsirkan surat al-Ma>’idah ayat 51.


(2)

70

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil pembahasan dalam bab IV, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan penafsiran mengenai tentang lafaz} Awliya>’ dalam surat al-Maidah ayat 51 dan di antara Ibnu Kathi>r serta Hamka memiliki pandangan yang berbeda mengenai teori dan kaidah yang digunakan dalam menafsirkan lafaz} Awliya>’ sebagai berikut:

1. Ibnu Kathi>r menafsirkan lafaz} awliya>’ surat al-Ma>’idah ayat 51 adalah larangan bagi orang yang beriman berwali, berlindung, bersandar, berpemimpin pada semua musuh Islam baik dari kaum Yahudi atau Nashara (Kristen), mereka saling berwali atau bertolongan diantara sesama mereka. Kemudian Allah mengancam bahwa siapa yang berwali pada mereka maka tergolong dari golongan mereka.

2. Hamka menafsirkan lafaz} awliya>’ surat al-Ma>’idah ayat 51 adalah larangan bagi orang yang beriman menyerahkan pimpinannya kepada yahudi atau nasrani. Atau menyerahkan kepada mereka rahasia yang tidak patut mereka ketahui, sebab dengan demikian bukanlah penyelesaian yang akan didapat, melainkan bertambah kusut dan bahkan akan lebih menambah kerusakan. Hamka menyatakan bahwa ayat ini adalah tuntutan syari’at atas setiap orang beriman untuk memperhatikan soal kepemimpinan. Syari’at melarang atas setiap orang beriman untuk memilih Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin.


(3)

71

3. Ibnu Kathi>r menafsirkan lafaz} awliya>’ dalam surat al-Ma>’idah ayat 51 di atas menggunakan teori asba>b al nuzu>l dengan kaidah (ظف لا ومعب ﻻ ب سلا صوصخب ر علا) dan menggunakan teori ilmu munasabah berupa munasabah antar ayat. Sedangkan Hamka menggunakan teori kebahasan dengan pendekatan semantik dan menggunakan teori asba>b al nuzu>l dengan kaidah (ب سلاصوصخبﻻظف لا ومعب ر علا).

B. Saran

1. Setelah melakukan penelitian ini penulis hanya berharap akan banyak ada pengetahuan yang manyangkut isi dalam skripsi ini, apalagi yang pembahasan mengenai surat al-Ma>’idah ayat 51 ini, karena dalam hal ini masih banyak perbedaan diantara para mufassir dalam menafsiri lafaz} Awliya>’ dalam surat al-Ma>’idah ayat 51.

2. Penulis berharap dalam adanya skripsi ini bisa menjadikan manfaat dalam ilmu pengetahuan dalam bidang keilmuan.


(4)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Atabik. Al-‘Arsy Kamus Arab Indonesia. Yogyakarta: Mulya Karya Grafika, 1998.

‘Aridl (al), Ali Hasan. Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Arqom.

Jakarta: Raja Grapindo Persada. 1994.

Baidan, Nasruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011.

Chaer, Abdul. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. 1995.

Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan terjemahan .Semarang: CV TOHA PUTRA, 1989.

Dimasyqi (al) Al-Imam Abdul Fida Isma’il Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Juz 2, ter. Bahrun Abu Bakar. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2002.

Djadjasudarma, T. Fatimah. Sematik I. Bandung: PT. ERESCO. 1993. Hamka. Tafsir Al-Azhar juz 6. Jakarta: Pustaka Panjimas.1982.

Hermawan, Acep.Ulumul Quran. Bandung, Remaja Rosdakarya, 2011 Izzan, Ahmad. Metodologi Ilmu Tafsir . Bandung: Tafakkur, 2009.

Khalidi (al), Shahal Abd. Al-Fattah. Lathaif Qur’aniyyah, ter. Arif Budiono. Surabaya: UINSA Pers.2013.

Miri, Jamaluddin. Tafsir Al-Adzim Ibn Kathir: Studi tentang Sumber, Metoda dan Corak Penafsirannya. Jurnal Mutawattir, vol 3, No. 1 Juni 2013. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Bandung: Remaja

Rosdakarya. 2002.

Musyafa’ah, Sauqiyah, dkk. Studi Al-Qur’an. Surabaya: IAIN SA Press, 2012.

Muzammil, Iffah. Studi Tafsir di Indonesia. Jurnal Al-Afkar edisi xiv, Juli-des 2016.


(5)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Pateda, Mansoer. Semantik Leksikal. Jakarta. Rineka Cipta, 2001

Qattan (al), Manna’ Khalil. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, terj. Mudzakir AS.

Bogor: Pustaka Litera AntarNusa.2011.

Quthb, Sayyid. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an dibawah Naungan Al-Quran, ter. As’ad Yasin dkk, jil 1. jakarta: Gema Insani Press, 2000.

Ridha, Ali Hasan. Sejarah dan Metodologi Tafsir, ter. Ahmad Akrom Jakarta: Rajawali, Press, 1994.

Rumi (al), Fahd bin Abdurrahman. Ulumul Qur'an; Studi Kompleksitas Al-Qur'an, terj. Amirul Hasan dan Muhammad Halabi, Yogyakarta: Titian Ilahi, 1996.

Sahid. ‘Ulu>m al-Qur’an ‚Memahami otentifikasi al-quran‛. Surabaya: Pustaka Idea, 2016.

Sha>lih (al), Shubhi}>.} Maba>hith Fi> ‘Ulu>m al-Qur’an, Da>r l ‘Ilm li al-Ma>la>yi>n , Bairut, 1977

Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir. Tanggerang: Lentera Hati. 2013.

Shihab, M. Quraish. Metode Penelitian Tafsir . Ujung Pandang: IAIN Alauddin,1984)

Syadali,Ahmad. Ulumul quran I. Bandung, Pustaka Setia, 1997.

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group, 2009.

Turmudzi (al), Muha}mmad bin ‘I<sa bin Saura>h, Sunan al-Turmudzi>. juz 5. Beirut:

al-Maktabah al-‘Ashriya>h, 2009.

Usman Ismail, Asep. Apakah Wali itu Ada? : Menguak Makna Kewalian dalam Tasawuf Pandangan Hakim al-Tirmidzi dan Ibnu Taimiyah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.

Wahid, Ramli Abdul.‘Ulum al - Qur’an. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996. Warson Munawwir, Ahmad. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya:


(6)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Zahabi (al), Muhammad Husain. Al-Tafsir wa al-Mufassirun, jilid I t,k,:t,p, 1976. Zayd, Nasr Hamid Abu. Tekstualitas al-Qur’an, Cet. I. Yogyakarta: Lkis, 2001

Shihab, M. Quraish. Sejarah dan Ulumul Qur’an, Cet. I. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.