KATA ISRAF DALAM AL-QUR’AN : STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN Prof. Dr. HAMKA DAN IBN KATHIR.

(1)

KATA

ISRA>F

DALAM AL-QUR

AN

(Studi Komparatif Penafsiran Prof. Dr. Hamka dan Ibn Kathir)

SKRIPSI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

KHOIRUL FAIZ E03212017

PROGRAM PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR JURUSAN TAFSIR HADITH

FAKULTAS USULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Khoirul Faiz, 2016. KATA ISRA>F DALAM AL-QUR’AN (Studi Komparatif Penafsiran Prof. Dr. Hamka dan Ibn Kathir). Skripsi Jurusan Tafsir Hadith Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Penulis sengaja memilih tema ini karena dirasa sangat menarik dan penting untuk dikaji. Tema ini bertujuan untuk memperjelas makna kata Isra>f. Walaupun Allah telah menurunkan al-Qur’an dengan bahasa Arab yang jelas, tetapi belum semua umat Islam paham dan mengerti makna kata-kata yang terdapat dalam al-Qur’an.Khusunya mengenai makna dan penafsiran kata Isra>f.

Maka yang menjadi pokok penelitian Skripsi ini adalah menguraikan makna dan penafsiran kata Isra>f yang terdapat dalam al-Qur’an, serta bagaimana

penafsiran kata Isra>f menurut Hamka dan Ibnu Kathir, pada konteks apa saja Isra>f itu dimaknai dengan berlebih-lebihan, melampaui batas dan boros dalam hal apapun, dan apakah ada makna lain selain yang telah disebutkan di atas. Untuk mewujudkan hal ini, maka langkah-langkah yang penulis lakukan mengikuti

prosedur yang telah digariskan berkenaan dengan metode tafsir Muqaran

(perbandingan) yaitu Membandingkan suatu ayat dengan ayat lainnya.

Membandingkan ayat dengan Hadith yang membahas kasus yang sama atau

sebaliknya.Membandingkan suatu tafsir dengan tafsir lainnya mengenai sejumlah ayat al-Qur’an yang memuat kata Isra>f, serta menafsirkannya dengan penafsiran Hamka dan Ibnu Kathir. Penelitian ini termasuk dalam jenis/kategori penelitian pustaka (library research) yaitu penelitian yang menitik beratkan pada literatur dengan cara menganalisis muatan isi dari literatur-literatur yang terkait dengan penelitian baik dari sumber data primer maupun skunder. Data primer yang disajikan adalah segala yang berkaitan langsung dengan pokok kajian. Sedangkan data skundernya adalah berupa referensi-referensi yang secara tidak langsung terkait dengan tema dalam al-Qur'an. Adapun kesimpulan yang penulis peroleh adalah bahwa Hamka dalam menafsirkan Q.S al-Furqa>n ayat 67 dalam kata

(

اْوفر

ْْسي

)

ْ dengan dua arti yaitu, Royal dan Ceroboh, dan Ibn Kathir dalam kata

(

اْوفرْسي

)

yaitu, dengan mengartikan menghambur-hamburkan, karena dari perbedaan teori yang digunakan oleh Hamka dan Ibn Kathir berbeda, sehingga menghasilkan makna yang berbeda. Makna kata Isra>f dalam berbagai bentuk secara garis besar maknanya melampaui batas atau berlebih-lebihan. penggunaan

lafaz} Isra>f terkadang digunakan dalam hal yang berkaitan dengan makanan dan minuman, berinfak, dan juga dalam membunuh. Dan terkadang term Isra>f ada yang merujuk kepada orang-orang kafir dan ada juga yang tidak, tergantung pada konteks ayat yang berisi term Isra>f.


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL HALAMAN ... i

SAMPUL DALAM ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

ABSTRAK ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

TRANSLITERASI ... xv

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang …………...……… 1

B. Identifikasi Masalah ………... 4

C. Rumusan Masalah ...………... 5

D. Tujuann Penelitian ...……….. 6

E. Kegunaan Penelitian ……….. 6

F. Telaah Pustaka …...……….. 7

G. Metodologi Penelitian …..……….. 9


(8)

BAB II : KAIDAH ANALISIS TAFSIR

A. Asba>b al-Nuzu>l

1. Pengertian Asba>b al-Nuzu>l ... 14

2. Urgensi Mengetahui Asba>b al-Nuzu>l ... 15

3. Cara-cara Mengetahui Asba>b al-Nuzu>l ... 17

4. Asba>b al-Nuzu>l dalam Pemanakan Ayat ... 17

5. Contoh Penerapan Teori Asba>b al-Nuzu>l... 23

B. Teori Mun>asabatul Ayat 1. Pengertian Muna>sabatul Ayat……….. 25

2. Penerapan Muna>sabatul Ayat………... 27

3. Contoh Penerapan Teori Muna>sabatul Ayat ... 28

C. Kebahasaan dalam Pendekatan Ilmu al-Bala>ghah 1. Pengertian Ilmu Bala>ghah………. 34

2. Penerapan Teori Ilmu al-Bala>ghah dalam Tafsir …….. 37

3. Contoh Penerapan Teori Ilmu al-Bala>ghah…………... 37

BAB III : BIOGRAFI HAMKA DAN IBN KATHIR A. Biografi Dr. Hamka 1. Kelahiran dan Wafatnya ………... 40

2. Latar Belakang Geopolitik dan Sosio Histori Hamka ... 43

3. Karya-karyanya ………. 45

4. Tentang Tafsir al-Azhar ……… 47

5. Metode Dan Corak Penafsiran Hamka ………. 50 B. Biografi Ibn Kathir


(9)

1. Kelahiran dan Wafatnya …..………... 51

2. Pendidikan ... 53

3. Guru-guru ... 54

4. Karya-karya Tafsir ... 55

5. Tentang Tafsi>r al-Qur’an al-Az}i>m……….. 56

6. Sistematika, Metode dan Corak Penafsiran Ibn Kathir 58

BAB IV : PENAFSIRAN KATA ISRAF MENURUT HAMKA DAN IBN KATHIR A.Pendekatan Kata Isra>f 1. Pengertian kata Isra>f ... 61

2. Kategori Ayat Tentang Isra>f

(

ف

ا

رسا

)

... 65

3. Istilah-Istilah yang Berkaitan dengan Isra>f ... 66

B.Penafsiran Kata Isra>f Menurut Hamka dan Ibn Kathir 1. Penefsiran Hamka ... 67

2. Penafsiran Ibn Kathir ... 73

C. Analisis Kata Isra>f Menurut Hamka dan Ibn Kathir 1. Analisis Kata Isra>f Menurut Hamka ... 77

2. Analisis Kata Isra>f Menurut Ibn Kathir ... 84

D.Bentuk-Bentuk Perbuatan Isra>f a. Akibat dari Perbuatan Isra>f ... 91

b. Kerugian-Kerugian Isra>f ... 91


(10)

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ………. 95

B. Kritik dan saran ……….. 97


(11)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur‘an adalah Kala>mullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, melalui perantara malaikat Jibril yang berfungsi sebagai pedoman bagi umat manusia dan membacanya bernilai ibadah. Oleh karena itu, al-Qur‘an adalah kitab suci umat Islam yang secara harfiyah berarti bacaan yang sempurna sehingga tidak ada bacaan satupun atau tulisan yang mampu menandingi kesempurnaan dari isi kandungan di dalam al-Qur‘an. Meskipun umat manusia telah mengenal tulis dan baca sejak lima ribu tahun yang lalu.1

Al-Qur’an kitab suci yang lengkap, di dalamnya mengandung banyak pengajaran dan teladan sebagai panduan dan pedoman umat manusia masa kini. al-Qur’an mempunyai pokok-pokok masalah di dalamnya, diantaranya masalah yang menyangkut tentang etika-etika, membahas tentang moralitas, aturan-aturan formal tentang kriteria baik dan buruk dan sistem tingkah laku manusia, adapun etika itu sama halnya dengan ilmu akhlak. Dalam al-Qur’an terdapat sekitar 500 ayat yang membicarakan tentang konsep atau ajaran tentang etika.2

Selain keterangan yang diberikan oleh Rosulullah Saw, Allah memerintahkan pula kepada umat manusia seluruhnya agar memperhatikan dan mempelajari

1 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan pustaka, 2007), hlm. 3

2 Taufik Abdullah, Cakrawala Ilmu dalam al-Qur’an (Jakarta: pustaka firdaus, 2003) hlm. 187.


(12)

2

Qur’an. pokok-pokok Agama yang dinyatakan Allah untuk menyelamatkan manusia melalui al-Qur’an terkadang diungkapkan dengan lafaz} yang berbeda-beda tetapi maknanya tetap cocok dan serasi, tidak ada tantangan di dalamnya. Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang menyebutkan kata Isra>f dan Tabdhi>r namun dalam penafsiran ulama’ terkadang mempunyai perbedaan meskipun dalam kata yang sama.

Kata berlebih-lebihan atau melampaui batas, dalam al-Qur’an menggunakan beberapa term (istilah), diantaranya Isra>f dan Tabdhi>r. Jika dilihat dari esensinya sama-sama mengandung arti melampaui batas atau berlebih-lebihan.

Menurut Pro. DR. Hamka Berkata : kata. “Boros” kita pilih buat menjadi arti dari kalimat Mubadhi>r” atau Tabdhi>r”. Imam Sya>fi’i> mengatakan: Bahwa Mubadhir itu ialah membelanjakan harta tidak pada jalannya. Imam Malik berkata :Bahwa Mubadhir ialah mengambil harta dari jalannya yang pantas, tetapi mengeluarkannya dengan jalan yang tak pantas.3

Mujahid berkata: Walaupun seluruh hartanya di habiskan untuk jalan yang benar, tidaklah dia Mubadhir, tetapi walaupun segantang padi dikeluarkannya, padahal tidak pada jalan yang benar, itu sudah Mubadhir. Berkata Qatada: Tabdhir itu ialah menafkahkan harta pada jalan maksiat kepada Allah, pada jalan yang tidak benar dan merusak.4

Ibnu Kathir dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan Isra>f adalah suatu ketetapan-Nya terhadap tindakan penghalalan atau pengharaman orang yang

3 Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), hlm. 48. 4 Ibid, 48-49


(13)

3

melampaui batas. Maksudnya adalah mereka menghalalkan dengan penghalalan yang haram atau mengharamkan yang halal. Padahal Allah mewajibkan agar menghalalkan apa yang Allah halalkan dan mengharamkan apa yang Allah haramkan, sebab yang demikian itu merupakan keadilan yang diperintahkan-Nya.5

Isra>f berasal dari kata Sarafa berarti melampaui ukuran dan batas dalam setiap perbuatan yang dilakukan manusia.6 Dalam kamus al-Munawwir, kata Asrafa berarti memboroskan dan Isra>f yang artinya pemborosan.7

Dalam al-Qur’an, kata Isra>f terulang sebanyak 23 kali dalam 21 ayat dalam 17 surat dengan bentuk fi’il madhi, fi’il mudhari’ ataupun masdarnya.8 Diantara ayat-ayatnya adalah sebagai berikut:



















































Hai anak adam pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid. Makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan (

al-A’ra>f: 31).9

5 Ismail Abu Fida bin umar Ibin Katsir, Tafsi>r Ibn Kathi>r, ter, jilid III (Jakarta: Imam Asy-Syafi’I, 2002). hlm. 373.

6 Al-Raghib al-Isfahani, al-Mufrada>t al-Fa>z} al-Qur’a>n (Beirut: Dar al-Syamiyah, tt), hlm.

407.

7 H. Ahmad St, Kamur Munawwar (PT. karya Toha Putra, semarang, 2002), hlm. 374.

8 Muhammad Fu’ad Abdul Baqi,al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fa>z} al-Qur’a>n (Beirut: Dar

al-Fikr, 1980), hlm.429.

9 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahanya (Jakarta: PT. Syamil Cipta Media, 2005), hlm. 155.


(14)

4

Menurut Must}afa al-Maragh}i> kata Isra>f artinya adalah suatu sifat atau tindakan yang melebihi batas atau membelanjakan harta serta tidak sesuai dengan batas naluri, batas ekonomi dan batas syar’i.10 ayat tersebut memerintahkan kepada kita untuk memanfaatkan rizqi yang telah Allah berikan kepada kita salah satunya dengan makan dan minum serta semua yang telah Allah berikan, halalkan untuk manusia tanpa berlebihan. Maksud sebaliknya dari ayat tersebut ialah larangan untuk melakukan perbuatan melampaui batas, yaitu tidak berlebihan dalam menikmati apa yang dibutuhkan oleh tubuh dan jangan pula melampaui batas-batas makanan yang di halalkan.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merasa tertarik untuk meneliti atau mengkaji lebih lanjut tentang ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan masalah Isra>f. Untuk lebih memudahkan dalam kajian ini, penulis lebih memfokuskan penelitian terhadap dua kitab Tafsir yaitu; kitab Tafsir Al-Azhar karya Prof. Dr. Hamka dan Tafsir Ibn Kathir dengan judul “Kata Isra>f dalam al-Qur’an” (Studi komparatif penafsiran Prof. Dr. Hamka dan Tafsir Ibn Kathir).

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang di atas dapat di simpulkan, Islam melarang sikap berlebih-lebihan dalam membelanjakan harta (Isra>f) dan juga melarang membelanjakan harta untuk hal yang sia-sia (Tabdhi>r), dan pelaku Tabdhi>r ini disebut mubadhir. Dan kedua perbuatan ini terkadang dalam bahasa Indonesia sama-sama disebut dengan


(15)

5

mubadhir. Mari kita simak lebih jelas apa definisi dan batasan dari Isra>f dan Mubadhi>r, karena banyak sekali yang salah paham dalam memahaminya seperti dalam surah al-Isra>’ ayat 26-27.

Pada penafsiran kedua penafsir ini, yaitu dengan mengkaji dan mengungkap Makna kata Isra>f menurut Prof. Dr. Hamka dan Tafsir Ibn Kathir dalam al-Qur‟ān (Kajian Perbandingan), Melalui penelitian ini, penulis akan mengungkap dan menelusuri makna Isra>f di dalam al-Qur’an dengan membandingkan penafsiran antara Prof. Dr. Hamka dan Tafsir Ibn Kathir.

Jadi dari perbedaan kedua Penafsiran ini yang akan menjadi fokus penelitian penulis, yang nantinya juga akan di munculkan kekurangan dan kelebihanya. Sehingga jelas apa yang melatar belakangi adanya perbedaan pada kedua penafsir ini dalam menafsirkan Isra>f dalam al-Qur’an.

C. Rumusan masalah

Berdasarkan pembahasan masalah diatas, maka penulis dapat merumuskan masalah menjadi tiga, yaitu :

1. Bagaimana pendekatan dan teori Prof. Dr. Hamka dan Ibn Kathir dalam menafsiran ayat-ayat tentang Isra>f?

2. Apakah persamaan dan perbedaan penafsiran Prof. Dr. Hamka dan Tafsir Ibn Kathir terkait dengan kata Isra>fdalam al-Qur’an?


(16)

6

D. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pendekatan dan teori Prof. Dr. Hamka dan Ibn Kathir dan penafsiran ayat-ayat tentang Isra>f.

2. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan penafsiran Prof. Dr. Hamka dan Tafsir Ibn Kathir terkait dengan Kata Isra>fdalam al-Qur’an.

E. Kegunaan Penelitian

Beberapa hasil yang didapatkan dari studi ini diharapkan akan bermanfaat sekurang-kurangnya untuk hal-hal sebagai berikut:

1. Menambah khazanah keilmuan bagi semua kalangan, khususnya dalam bidang memahami penafsiran Prof. Dr. Hamka dan Tafsir Ibn Kathir terkait penafsiran kata Isra>f.

2. Dapat dijadikan bahan pertimbangan atau pegangan dalam memahami konsep Isra>f dalam al-Qur’an yang di telaah dalam sebuah penafsiran komparatif (perbandingan).

3. Manfaat atau kegunaan penelitian ini dari segi teoritis, merupakan kagiatan dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya pada bidang tafsir melalui pendekatan metode Muqarin. Sedangkan dalam segi praktis, hasil penelitian ini dapat dijadikan landasan atau pedoman untuk memahami konsep Isra>f yang di telaah melalui penafsiran komparatif.


(17)

7

F. TelaahPustaka

Sejauh penelusuran yang dilakukan penulis, sangat jarang literatur yang membahas mengenai kata Isra>f secara utuh dan menyeluruh. Penulis hanya menemukan satu judul Skripsi yang membahas tema yang sama dengan judul “Penafsiran kata Isra>f dalam al-Qur’an menurut Ibn Kathi>r dan al-Mara>ghi> (Kajian perbandingan)” oleh Nurfaizah (10932006605) tahun 2014 Fakultas Ushuludin UIN Suka Riau dalam bimbingan Drs. Azwir. Dalam Skripsi ini dijelaskan penyebutan kata Isra>f dalam al-Qur’an beserta penafsiran Ibnu kathir dan al-Mara>ghi> terkait dengan kata Isra>f.

Selain itu, pembahasan mengenai Isra>f kebanyakan dikaji secara ringkas dalam bab-bab yang ringkas, bahkan hanya disisipkan dalam tema-tema lain. Seperti dalam kitab Ihya’> Ulu>m al-Di>n,11 Di dalamnya Ima>m Ghaza>li> menjelaskan solusi agar terhindar dari perilaku Isra>f dengan cara membiasakan diri dengan pola hidup sederhana, serta disertai dengan Qanaah. Qanaah ialah sifat menerima apa adanya, Ia merupakan harta yang tak pernah sirna. Dilanjutkan dengan kiat-kiat memiliki sifat qanaah.

Isra>f dan Tabdhi>r: Konsepsi Etika Religius dalam al-Qur’a>n Dan Perspektif Materialisme-Konsumerisme karya Dudung Abdurrahman, Bandung. Karya tersebut berbentuk sebuah abstrak yang menjelaskan konsep Isra>f dan Tabdhi>r yang


(18)

8

merupakan sebagian dari konsep etika religius dalam al-Qur’a>n. Inti tulisan tersebut adalah penjelasan tentang hubungan Isra>f dan Tabdhi>r dengan sikap materialisme dan sikap konsumtif yang tinggi pada masyarakat.

Hadith-hadith Tentang Etika Makan (Studi Ma’ani al-Hadith Tentang Larangan Makan Berlebihan). Karya tersebut merupakan sebuah Skripsi yang ditulis oleh M. Rosidin Nawawi, seorang mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta pada tahun 2011. Karya tersebut merupakan sebuah kajian Hadith yang berbicara tentang perintah makan sekedar menegakkan tulang punggung dan jika tidak mampu hendaknya membagi perut menjadi tiga bagian yaitu sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum, dan sepertiga untuk nafas. Penulis mengkaji hadith tersebut dari segi sanad (Naqd al-Khariji) dan dari segi matan hadith (Naqd al-Dakhili) kemudian pada bagian akhir, penulis juga menjelaskan hadith dengan petunjuk ayat-ayat al-Qur’an dimana salah satunya penulis karya tersebut juga menyebutkan surah al-A’ra>f ayat 31.

Selanjutnya, kitab al-Mausu>’ah al-Fiqhiyyah, yang merupakan tulisan dari departemen Agama Kuwait, di dalamnya menjelaskan tentang arti Isra>f secara etimologis dan terminologis, dll. Sementara dalam lingkup UIN sunan Ampel belum ada kajian dalam bentuk Skripsi ataupun disertasi yang membahas tentang term ini.

Dengan demikian, kajian ini bukanlah kajian ulang atau pengulangan dari apa yang telah dikaji oleh para terdahulu. Disini penulis mengkaji tentang penafsiran


(19)

9

yang menggunbakan metode Muqaran, yaitu membandingkan ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tema tertentu atau membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan Hadith Nabi Muhammad Saw. Meskipun Skripsi yang ada juga menggunakan metode yang sama, namun kajian yang penulis lakukan berbeda pada tokoh mufasir yang dibandingkan, yakni antara penafsiran Prof. Dr. Hamka dan Tafsir Ibn Kathir.

G. Metodologi Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library research) karena yang menjadi sumber penelitian ini adalah data-data yang tertulis yang erat hubungannya dengan permasalahan atau topik yang akan diteliti. Proses penyajian dan analisa masalah Isra>f dengan menggunakan metode perbandingan (Muqaran). Untuk itu langkah-langkah yang diambil adalah sebagai berikut:

1. Sumber Data

Karena penelitian ini adalah sebagai penelitian pustaka, maka data yang penulis ambil adalah dari berbagai sumber tertulis diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Data Primer: yaitu, data utama yang bersumber dari Tafsir Prof. Dr. Hamka dan Tafsir Ibn Kathir.

b. Data Sekunder: yaitu, sumber data yang diperoleh dari kitab Tafsir dan karya ilmiah lainnya yang berkaitan dengan tema pokok.


(20)

10

2. Teknik Pengumpulan Data

Keseluruhan data yang diambil akan dikumpulkan kemudian dilakukan dengan cara pengutipan baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Kemudian disusun secara sistematis sehingga menjadi satupaparan yang jelas tentang Penafsiran kata Isra>f menurut Prof. Dr. Hamka dalam Tafsir al-Azhar dan Ibn Kathir dalam Tafsi>r al-Qur’an al-‘Az}i>m dan (Kajian Perbandingan).

3. Teknik Analisa Data

Dalam menganalisa data-data yang ada, maka penulis menggunakan metode deskriptif. Agar mampu memaparkan semua gambaran tentang penafsiran dari masing-masing mufasir untuk kemudian dianalisa sehingga diperoleh sebuah kesimpulan yang akurat. Untuk mencapai proses akhir penelitian, yaitu menjawab semua persoalan yang muncul sekitar kajian ini, maka penulis menggunakan metode komparatif (muqaran). Karena yang dikaji disini adalah pendapat dua mufasir, maka penulis menggunakan dalam analisis data ini adalah membandingkan pendapat dua ulama tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.12 Tafsir Muqaran dapat dikategorikan kepada tiga bentuk:

a. Membandingkan suatu ayat dengan ayat lainnya.

b. Membandingkan ayat dengan hadith yang membahas kasus yang sama atau sebaliknya.

12 Nasruddin Baidan, Metode Penelitian al-Qur’an Cetakan 1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset 1998), hlm.65.


(21)

11

c. Membandingkan suatu tafsir dengan tafsir lainnya mengenai sejumlah ayat yang ditetapkan oleh penafsir itu sendiri.13

13 Kadar Muhammad Yusuf,


(22)

12

H. Sistematika pembahasan

Untuk mempermudah penjelasan dari hasil penelitian ini, maka akan dibuat rangkaian pembahasan dengan sistematika sebagai berikut:

Bab I adalah pendahuluan, yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan. Hal yang sedemikian rupa disusun sebagai kerangka awal dalam melakukan penelitian.

Bab II adalah Kaidah Analisis Tafsir atau Landasan teori Ulu>m al-Qur’an. Bab ini terdiri dari pengertian Asba>b al-Nuzu>l, Munasa>batul Ayat dan Kebahsaan, untuk mengetahui teori yang digunakan oleh Hamka dan Ibn Kathir.

Bab III adalah sajian data. Bab ini terdiri dari biografi Hamka dan Ibn Kathir, latar belakang Geopolitik dan Sosio Historis Hamka dan Ibn Kathir, Karya-karya Hamka dan Ibn Kathir, tentang tafsir Hamka dan Ibn Kathir, Metode Penulisan Tafsir, kelebihan dan kekurangan Tafsir Hamka dan Ibn Kathir, Metode dan corak penafsiran Hamka dan Ibn Kathir, agar mengetahui pentunjuk-petunjuk al-Qur’an dalam menafsirkan.

Bab IV adalah Penafsiran Hamka dan Ibn Kathir. Bab ini berisi penafsiran kata Isra>f, pengelompokan ayat-ayat Isra>f yang tersebar dalam al-Qur’an, dan Analisis terhadap penafsiran Hamka dan Ibn Kathir dalam memaknai kata Isra>f.


(23)

13

Bab V adalah penutup, yang di dalamnya terdiri dari dua poin, yakni kesimpulan dan saran-saran.


(24)

14

BAB II

KAIDAH ANALISIS TAFSIR

Berdasarkan masalah penelitian pada bab I tersebut, penulis berasumsi bahwa perbedaan penafsiran tersbut terjadi oleh teori yang digunakan kedua toko berbeda. Yaitu, teori Asba>b al-Nuzu>l, Munasa>batul Ayat dan Kebahasaan. Maka dari teori tersebut dijadikan pedoman dasar yang digunakan oleh kedua mufasir tersebut secara umum dan guna mendapatkan pemahaman atas petunjuk-petunjuk al-Qur‟an.

Selanjutnya penulis menggunakan teori-teori tersebut menjadi landasan teori dalam menghubungkan dan membandingkan kandungan kata Isra>f dalam al-Qur‟an, yang mengandung arti mujmal yang diperinci dalam ayat-ayat lain, untuk mengetahui perbedaan dari kedua penafsir tersebut.

Maka dapat disimpulkan bahwa kedua penafsir tersebut dalam menafsirkan al-Qur‟an menggunakan landasan teori, untuk menjelaskan kata Isra>f yang terkandung dalam al-Qur‟an secara menyeluruh, baik dari Asba>b al-Nuzu>l, Munasa>batul Ayat dan Kebahasaan. Sehingga kedua mufasir lebih mudah dalam menerapkan asumsi-asumsinya.

A.Teori Asba>b al-Nuzu>l

1. Pengertian Asba>b al-Nuzu>l

Menurut bahasa “

لْو لا

ٌ اَ ْسأ

” berarti turunnya ayat-ayat al-Qur‟an. al-Qur‟an diturunkan Allah Swt. Kepada Muhammad Saw. secara berangsur-angsur dalam masa lebih kurang 23 tahun. al-Qur‟an diturunkan untuk memperbaiki


(25)

15

akidah, Ibadah, Akhlak, dan pergaulan manusia yang sudah menyimpang dari kebenaran. Karena itu, dapat dikatakan bahwa terjadinya penyimpangan dan kerusakan dalam tatanan kehidupan manusia merupakan sebab turunnya al-Qur’an. Hal ini tidak termasuk dalam pembahasan yang hendak di bicarakan. Sebab al-Nuzul atau Asba>b al-Nuzu>l (sebab turu ayat) disini dimaksudkan sebab-sebab yang secara khusus berkaitan dengan turunnya ayat-ayat tertentu.1

Asba>b al-Nuzu>l adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunnya ayat, baik sebelum maupun sesudah turunnya, dimana kandungan ayat tersebut berkaitan atau dapat dihubungkan dengan suatu peristiwa.2 Al-Za>rqani> berpenda pat secara subtansi yang dimaksud Asba>b al-Nuzu>l ialah sesuatu yang menjadi latar belakang turunnya suatu ayat baik berupa peristiwa atau dalam bentuk pertannyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad Saw.3

2. Urgensi Mengetahui Asba>b al-Nuzu>l

Ulama’ menganggap pengetahuan tentang Asba>b al-Nuzu>l itu penting sehingga mereka merincinya, sebagaimana berikut ini:4

1) Memberikan petunjuk tentang hikmah yang dikehendaki Allah Swt, atas apa yang telah ditetapkan hukumnya.

1 Ahmad Syadali, Ahmad

Roَ’i, Ulu>m al-Qur’an (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), hlm.

89

2 M. Quraish Shihab,

Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013 ), 235.

3 Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm.

136.


(26)

16

2) Memberikan petunjuk tentang adanya ayat-ayat tertentu yang memiliki kekhususan hukum tertentu.

3) Merupakan cara yang efisien dalam memahami makna yang terkandung dalam al-Qur’an.

4) Menghindar dari keraguan tentang ketentuan pembatas yang terdapat dalam al-Qur’an.

5) Menghilangkan kemusykilan memahami ayat.

Berikut terdapat beberapa ulama’ yang menganggap pengetahuan tentang Asba>b al-Nuzu>l itu sesuatu yang penting:5

a) al-Sya>t}ibi> berpendapat bahwa pengetahuan tentang Asba>b al-Nuzu>l merupakan keharusan bagi orang yang ingin mengetahui kandungan al-Qur’an.

b) Al-Wa>hidi> mengemukakan pendapatnya bahwa tidak mungkin dapat diketahui tafsir ayat al-Qur’an tanpa terlebih dahulu mengetahui. kisahnya dan keterangan sebab turunnya ayat yang bersangkutan. Dan pasti ayat-ayat yang dimaksud adalah yang memiliki Asba>b al-Nuzu>l. c) Ibn Daqi>q al-‘I>d berpendapat bahwa keterangan sebab turunnya ayat

merupakan cara yang tepat untuk dapat memahami makna-makna al-Qur’an, khususnya ayat-ayat yang mempunyai Asba>b al-Nuzu>l.

5 Ibid,136.


(27)

17

d) Ibn Taymiyah mengemukakan pendapatnya bahwa, pengetahuan sebab

turunnya ayat membantu memahami ayat al-Qur’an. Karena,

pengetahuan tentang sebab akan mewariskan pengetahuan tentang akibat dari turunnya ayat.

3. Cara-cara Mengetahui Asba>b al-Nuzu>l

Cara-cara dalam mengetahui Asba>b al-Nuzu>l bisa dilakukan dengan cara mengetahui susunan atau bentuk redaksi yang memberi petunjuk tentang Asba>b al-Nuzu>l, sebagaimana dibawa ini:6

1) Adanya bentuk redaksi dengan secara tegas berbunyi

َا

َك

َ لا

ل

ْو

ن

ب

َ

َس

2) Adanya huruf al-Fa’ al-Sababiyah yang masuk pada riwayat yang dikaitkan dengan turunnya ayat, misalnya:

لا ل ف

3) Adanya keterangan yang menjelaskan, bahwa Rasulullah ditanya sesuatu kemudian diikuti dengan turunnya ayat sebagai jawabannya.

4) Bentuk redaksi seperti

ف لا لو ن

atau

لا ل ف

menurut Ibn Taymiyah, bentuk tersebut mengandung dua kemungkinan, pertama menunjukkan sebagai sebab turunnya ayat. Dan kedua sebagai keterangan tentang maksud ayat dan bukan sebagai turunnya ayat.

4. Asba>b al-Nuzu>l dalam Pemana’an Ayat

Sebagian Ulama’ juga mengatakan bahwa diantara surat dan ayat al-Qur’an ternyata ada yang mengalami dua kali turun. Diantara surat dan ayat yang

6 Baidan,


(28)

18

mengalami dua kali turun adalah al-Isra>’ ayat 85. Kemudian ada ayat yang satu kali turun tetapi memiliki lebih satu sebab contohnya ayat tentang li’a>n dalam surah al-Nu>r ayat 6. Terkadang, ada dua riwayat atau lebih yang mengemukakan tentang Asba>b al-Nuzu>l untuk satu ayat tertentu.7

a) Hubungan Sebab-Akibat Dalam Kaitannya Dengan Asba>b al-Nuzu>l

Ulama’ telah membahas tentang hubungan antara sebab yang terjadi, dengan ayat yang turun. Hal seperti ini dianggap penting karena sangat erat kaitannya dengan penerapan hukum. Adanya perbedaan pemahaman tentang suatu ayat berlaku secara umum berdasarkan bunyi lafaz}nya, atau terkait sebab turunnya, mengakibatkan lahirnya dua kaidah antara lain:8

Kaidah Asba>b al-Nuzu>l

َا

ْل

ع

ْ

َر

ب

ع

م

ْو

لا

ْف

ظ

َ

ب

خ

ص

ْو

سلا

َ

ب

Patokan atau yang menjadi pegangan dalam memahami makna ayat ialah lafaz}nya yang bersifat umum bukan sebabnya.9

ْلا

ع

ْ

َر

ب

خ

ص

ْو

سلا

َ

ب

ب

ع

م

ْو

لا

ْف

ظ

Pemahaman ayat ialah berdasarkan sebabnya bukan redaksinya, kendati redaksinya bersifat umum.10

Dalam pengaplikasian atau pemakaian kaidah Asba>b al-Nuzu>l diatas, akan diberikan contoh ayat al-Qur’an surat al-Ma>’idah ayat 93, sebagaimana berikut:11

7Baidan, Wawasan Baru, 145. 8Ibid., 146.

9Ibid, 163

10M. Quraish Shihab,


(29)

19













Tidak berdosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (Q S. al-Ma>idah: 93).12

Menurut pengertian arti ayat diatas, terkesan bahwa ayat itu membenarkan orang yang beriman makan atau minum apa saja, walaupun haram, selama mereka beriman dan bertakwa. Makna ini jelas salah. Makna demikian adalah akibat ketiadaan pengetahuan tentang sebab turunnya ayat tersebut. Diriwayatkan bahwa ketika turun ayat pengharaman minuman keras, sementara sahabat Nabi bertanya: Bagaimana nasib mereka yang telah wafat, padahal tadinya mereka gemar meminum khamar? Ayat diatas menjelaskan bahwa Allah tidak meminta pertanggung jawaban mereka yang telah wafat itu sebelum datangnya ketetapan hukum tentang haramnya makanan dan minuman tertentu selama mereka beriman.13

Demikian terlihat betapa Saba>b al-Nuzu>l dalam ayat ini dan sekian ayat yang lain amat dibutuhkan. Kendati demikian, harus diakui pula bahwa tidak 11Ibid, 238

12 Departemen Agama RI, QS. al-Ma>idah: 93, hlm. 163 13 Shihab,


(30)

20

semua ayat ditemukan riwayat sebabnya, sementara ada juga ayat dapat dipahami dengan baik tanpa mengetahui atau memperhatikan Sebabnya.14

Dari redaksi riwayat yang menampilkan Saba>b al-Nuzu>l tersirat sifat sebab itu. Jika perawinya menyebut satu peristiwa, kemudian dia menyatakan

Fa Nazalat al-Ayat (

لا ل ف

) atau menegaskan bahwa Ayat ini turun disebabkan oleh ini, yakni menyebutkan peristiwa tertentu, maka berarti ayat tersebut turun semasa atau bersamaan dengan peristiwa yang disampaikan. Tetapi apabila redaksinya menyatakan Nazalat al-Ayat fi (

ف لا ل ن

) yang menegaskan bahwa ayat ini turun menyangkut suatu hal, baru kemudian menyebut peristiwa, maka hal itu berarti bahwa kandungan ayat itu menckup peristiwa tersebut.15

Dalam kontek pemahaman makna ayat-ayat dikenal kaidah yang menyatakan:

ْلا

ع

ْ

َر

ب

ع

م

ْو

لا

ْف

ظ

ب

خ

ص

ْو

سلا

َ

ب

Patokan atau yang menjadi pegangan dalam memahami makna ayat ialah lafaz}nya yang bersifat umum bukan sebabnya.16

Setiap peristiwa memiliki atau terdiri dari unsur-unsur yang tidak dapat dilepaskan darinya, yaitu waktu, tempat, situasi tempat, pelaku, kejadian, dan faktor yang menyebabkan terjadinya peristiwa itu.

14 Ibid, 329

15 Ibid, 238 16 Ibid, 239


(31)

21

Kaidah diatas menjadikan ayat tidak terbatas berlaku terhadap pelaku, akan tetapi bagi siapapun selama redaksi yang digunakan ayat bersifat umum. Perlu diingat bahwa yang dimaksud dengan Khus}u>s al-Sabab adalah sang pelaku saja, sedang yang dimaksud dengan redaksinya yang bersifar umum harus dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi, bukannya terlepas dariperistiwanya.17

Dalam Firman Allah Surah al-Ma>’idah ayat 33 diterangkan, sebagai berikut:18























Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.19

Salah satuh riwayat menyatakan bahwa ayat ini turun berkaiatan dengan hukuman yang diterapkan oleh beberapa sahabat Nabi dalam kasus suku al-„Urainiyin. Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa sekelompok orang dari suku „Ukal dan „Urainah datang menemui Nabi Setelah menyatakan bahwa mereka

17 Ibid, 230 18 Ibid, 230 19Shihab,


(32)

22

telah Islaman. Mereka mengadu tentang sulitnya kehidupan mereka. Maka Nabi memberi mereka sejumlah unta agar dapat mereka manfaatkan. Di tengah jalan mereka membunuh pengembala unta itu, bahkan mereka murtad. Mendengar kejadian tersebut Nabi mengutus pasukan berkuda yang berhasil menangkap mereka sebelum sampai di perkampungan mereka. Pasukan itu, memotong tangan, tangan dan kaki, serta mencungkil mata mereka dengan besi yang dipanaskan, kemudian ditahan hingga meninggal.20

Apabila memahami makna memerangi Allah dan Rasul-Nya dan melakukan perusakan di bumi dalam pengertian umum, terlepas dari Saba>b al-Nuzu>l, maka banyak sekali kedurhakaan yang dapat dicakup oleh redaksi tersebut. Keumuman lafaz} itu terkait dengan bentuk peristiwa yang menjadi Saba>b al-Nuzu>l sehingga ayat ini hanya berbicara tentang sanksi hukum bagi pelaku yang melakukan perampokan yang disebutkan oleh sebab di atas, yaitu kelompok orang dari suku „Ukal dan „Urainah, serta semua yang melakukan seperti apa yang dilakukan oleh rombongan kedua suku tersebut (perampokan).21

Sementara Ulama masa lampau tidak menerima kaidah tersebut. Mereka menyatakan bahwa:22

20Shihab,

Kaidah Tafsi>r, 239.

21 Ibid. 230 22 Ibid.231


(33)

23

َا

ْل

ع

ْ

َر

َ

ب

خ

ص

ْو

ا

سل

َ

ب

ب

ع

م

ْو

لا

ْف

ظ

Pemahaman ayat ialah berdasarkan sebabnya bukan redaksinya, kendati redaksinya bersifat umum.23

Jadi menurut mereka ayat di atas hanya berlaku terhadap kedua suku tersebut, yakni suku „Ukal dan „ Urainah. Sementara sebagian Ulama berkata bahwa kendati kedua rumusan diatas bertolak belakang, tetapi hasilnya akan sama, karena hukum perampokan yang dilakukanselain mereka dapat ditarik dengan menganalogikan kasus baru dengan kasus turunnya ayat di atas.24 5. Contoh Penerapan Teori Asba>b al-Nuzu>l

Dalam Ulumul Qur’an, ilmu Asba>b al-Nuzu>l merupakan ilmu yang sangat penting dalam menunjukkan hubungan dialektika antara teks dan realita.25 Dalam uraian lebih rinci, urgensi Asba>b al-Nuzu>l dalam memahami al-Qur’an sebagai berikut:

Membantu dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an dan mengatasai ketidak pastian dalam menangkap pesan dari ayat-ayat tersebut.26 Umpamanya dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 115.

23Ibid., 241.

24 Shihab, Kaidah Tafsi>r, 239.

25Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas al-Qur’an, Cet. I (Yogyakarta: Lkis, 2001), hlm. 125 26M. Quraish Shihab.

Sejarah dan Ulumul Qur’an, Cet. I (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), hlm. 80


(34)

24

Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah”. (Surah al-Baqara>h: 115).27

Dalam Kasus Shalat: Dengan melihat ayat di atas, seseorang boleh menghadap kiblat ketika shalat. Akan tetapi, setelah melihat Asba>b al-Nuzu>l-nya, kekeliruan interpretasi tersebut sangat jelas, sebab ayat di atas berkaitan dengan seseorang yang sedang berada dalam perjalanan dan melakukan shalat di atas kendaraan dan tidak diketahui dimana arah kiblat.

Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum; Umpamanya dalam Surah al-An’a>m 145.











Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging Babi. Karena sesungguhnya semua, barang siapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhan-Mu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S al-An’a>m: 145).28

Menurut al-Sha>fi’i> pesan ayat ini tidak bersifat umum, tapi untuk mengatasi kemungkinan adanya keraguan dalam memahami ayat di atas, beliau menggunakan Asba>b al-Nuzu>l. Ayat ini menurutnya, diturunkan sehubungan

27Departemen Agama RI, Q S. Surah al-Baqara>h: 115, hlm. 22 28 Departemen Agama RI, Q S. al-An’a>m: 145, hlm. 198


(35)

25

dengan orang-orang kafir yang tidak mau memakan sesuatu, kecuali apa yang telah dihalalkan Allah, dan menghalalkan yang telah diharamkan Allah merupakan kebiasaan orang-orang kafir, terutama orang Yahudi, maka turunlah ayat diatas.

Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam ayat al-Qur’an bagi ulama yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang bersifat khusus dan bukan lafaz} yang bersifat umum.

B.Teori Muna>sabatul Ayat

1. Pengertian Muna>sabatul Ayat

Munasabah bersal dari kata

َ

َسا

َ

ب

سا

َ

َب

َسا

َن

yang berarti dekat, serupa, mirip dan rapat

َ

َ

َسا

َ

ملا

sama artinya dengan

َ

َب

َ ا

َ

ملا

yakni mendekatkannya dan menyesuaikannya:

ب

س

ٌ لا

artinya

ل

ص

ت

ملا

ر

َ لا

(Dekat dan berkaitan). Misalnya, dua orang bersaudara dan anak paman. ini terwujud bila kedua-duanya saling berdekatan dalam artian ada ikatan atau hubungan antara kedua-duanya. al-Nasib juga berarti al-Rabit}, yakni ikatan, pertalian dan hubungan.29

Munasabah secara bahasa bererti kedekatan atau kesesuain. Secara termonologi, Munasabah adalah kemiripan-kemiripan yang terdapat pada hal-hal tertentu dalam al-Qur’an baik surat maupun ayat-ayatnya yang menghubungkan uraian satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini, Munasabah bias berarti satu pengetahuan yang di peroleh secara Aqli dan bukan diperoleh melalui Tauqifi.

29Rachmat Sy


(36)

26

dengan demikian, akallah yang berusaha mencari dan menemukan hubungan, pertalian, atau keserupaan antara sesuatu. Demikianlah al-Za>rkashi> mengemukakan pendapatnya tentang Munasabah.30

Ilmu Muna>sabah ialah yang menerangkan korelasi atau hubungan antara suatu ayat dengan ayat yang lain, baik yang ada dibelakangnya atau ayat yang ada di dalamnya.31

Tentang adanya hubungan tersebut, maka dapat diperhatikan lebih jelas bahwa ayat-ayat yang terputus-putus tanpa adanya kata penghubung (pengikat) mempunyai Munasabah atau persesuaian antara yang satu dengan yang lain.32

Menurut istilah Munasabah atau

َوٌسلاَو

اَ ا

بسا

َ َت

ْ ع

ialah ilmu untuk mengetahui alasan-alasan penertiban dari bagian-bagian al-Qur’an yang mulia.

Ilmu ini menjelaskan tentang segi-segi hubungan antara beberapa ayat atau beberapa surat al-Qur’an. Pengertian Munasabah ini tidak hanya sesuai dalam arti sejajar dan pararel saja. melainkan yang kontrasikpun termasuk Munasabah. Sebab ayat-ayat itu kadang-kadang merupakan “teknisis” (penghususan) dari ayat yang

30Ibid, 97

31Ahmad Syadali, Ahmad Rofi, Ulu>m al- Qur’an (Bandung: CV. Pustaka Setia: 2000), hlm

168


(37)

27

umum, kadang-kadang sebagai penjelas hal-hal yang konkrik terhadap hal-hal yang abstrak.33

2. Penerapan Muna>sabatul Ayat

Ahli tafsir biasanya memulai penafsirannya dengan mengemukakan lebih dulu Asaba>b al-Nuzu>l ayat. Sebagian dari mereka sesungguhnya bertanya-tanya yang manakah yang lebih baik, memulai penafsiran dengan penguraian tentang Asba>b al-Nuzu>l atau mendahulukan penjelasan tentang Munasabah ayat-ayat, pertanyaan itu mengandung pertanyaan yang tegas mengenai kaitan ayat-ayat al-Qur’an dan hubungannya dalam rangkaian yang serasi.34

Pengetahuan mengenai korelasi atau Munasabah antara ayat-ayat bukanlah taufiqi (sesuatu yang di tetapkan Rasul), melainkan hasil Ijthad mufasir.

Al-Sha>t}ibi> menjelaskan bawa satu surat, walaupun dapat mengandung masalah, namun masalah-masalah tersebut berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Sehingga seseorang hendaknya jangan hanya mengarahkan pandangan pada awal surat, tetapi hendaknya memperhatikan pada akhir surat, atau sebaliknya. Karena bila tidak demikian akan terabaikan maksud ayat-ayat yang akan diturunkan itu.

Tidak dibenarkan seseorang hanya memperhatikan bagian-bagian dari satu pembicaraan, kecuali pada saat ia bermaksud untuk memahami arti lahiryah dari satu kosa kata menurut tinjauan etimologis, bukan maksud si pembicara. Kalau arti

33IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi al-Qur’an (Surabaya: IAIN SA Press, 2012), hlm, 218 34IAIN Sunan Ampel Surabaya, hlm, 230


(38)

28

tersebut tidak dipahaminya, maka ia harus segera memperhatikan seluruh pembicaraan dari awal hingga akhir, demikian kata al-Sha>t}ibi>.35

Mengenai hubungan satu ayat/surat dengan ayat/surat lain (sebelum/sesudah), tidak kalah pentingnya dengan mengetahui Nuzulul ayat, sebab mengetahui adanya hubungan antara ayat-ayat dan surat-surat itu dapat pula membantu kita memahami dengan tepat ayat-ayat dan surat-surat yang bersangkutan. Ilmu al-Qur’an masalah ini disebut:

3. Contoh Penerapan Teori Muna>sabatul Ayat

Hubungan antara ayat dengan ayat dalam al-Qur’an terbagi dalam dua macam.

Pertama, hubungan yang sudah jelas antara kalimat terdahulu dengan kalimat kemudian, atau akhir kalimat dengan awal kalimat berikutnya, atau masalah yang terdahulu dengan masalah yang dibahas kemudian. Hubungan ini dapat berbentu

ارتعا

,

د د ت

,

dan

ريسفت

.36

Kedua ,hubungan belum jelas antara ayat dengan ayat atau kalimat dengan kalimat. Hubungan demikian terdiri dari dua macam lagi, yaitu

فطع و ت َ

dan

فوطع و ت

.37

35Ahmad Syadali, Ahmad Rof

’i, Ulumul Quran, 168-169

36Ima>m al-Zarka>shi>, al-Burha>n fi Ulu>m al-Qur’an, jilid, III (Bairut: Dar al-Fikri, 1988), hlm.

40


(39)

29

a. Ma’t}ufah

Secara umum dapat dikatakan bahwa adanya huruf ‘At}af ini mengisyaratkan adanya hubungan pembicaraan. Ini dapat dilihat misalnya dalam surat al-Baqarah ayat 245:



Namun demikian, ayat-ayat yang ma’thuf itu dapat diteliti melalui bentuk susunan berikut.

1)

ة اا ملا

(perlawanan/bertolak belakang antara satu kata dengan kata yang lain) Misalnya kata

امحرلا

disebut setelah

ااااعلا

. kata

ا غرلا

sesudah

اا رلا

;

menyebut janji dan ancaman sesudah menyebut hukum-hukum. Hubungan ini banyak terdapat dalam surah al-Baqarah, al-Nisa>’ al-Ma>idah.38 Misal lain seperti dalam surah al-Baqarah ayat 6:





Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. (Q.S al-Baqarah: 6).39

Ayat ini menerangkan watak orang kafir yang pembangkang, keras kepala, tidak percaya kepada kitab-kitab Allah. Sedangkan pada ayat

38Prof. DR. H. rahmad syafei,

Pengantar Ilmu Tafsir, hlm. 40


(40)

30

sebelumnya Allah menerangkan watak orang mukmin yang berlawanan dengan orang-orang kafir.40 al-Baqarah ayat 3-4:





















(yaitu) Mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. (3) Dan mereka yang beriman kepada kitab (al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.41 (4) 2)

ةارطتااسَا

(pindah kekata lain yang ada hubungannya atau penjelasannya

lebih lanjut). Misalnya surah al-A’ra>f; 26:













Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa. Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat.42

Ayat tersebut menjelaskan tentang nikmat Allah. Sedang Ditengah dijumpai kata

َواْ

تلا

اَ لَو

yang mengalihkan pada penjelasan ini (pakaian).

40Abu Anwar.

Ulumul Quran Sebuah Pengantar. hlm. 72

41aDepertemen Agama RI, QS. al-Baqarah: 3-4, hlm. 2 42Departemen Agama RI, QS. al-Ara’a>f: 26, hlm. 206


(41)

31

Dalam hal ini Munasabah yang dapat dilihat adalah antara menutup tubuh atau aurat dengan kata-kata taqwa.

3)

ختاالا

(melepaskan kata kesatu ke kata lain, tetapi masih berkaitan) Misalnya ayat 35 surat al-Nu>r ayat 35:

































Ada lima

اص ختلا

, yaitu :

1. Menyebut

وان

dengan perumpamaanya, lalu di Takhallush-kan ke

اَجاَج لا

dengan menyebut sifatnya.

2. Kemudian menyebut

وان

dan

اَنوتْ َ

yang meminta bantu darinya, lalu di

takhallush dengan menyebut

َرَجَش

.

3. Dari

َرَجَش

di-takhallush dengan menyebut sifat zaitun. 4. Lalu di-takhallush dari menyebut sifat

َن

وتْ َ

ke sifat

ون

.


(42)

32

b. Tidak ada Ma’t}ufah

Dalam hal ini tidak ada Ma’thufah dapat dicari hubungan maknawiyahnya, seperti hubungan sebab akibat.43 Ada tiga bentuk yaitu:

1.

ريظ تلا

(Berhampiran/berserupaan)

Misalnya dalam surah al-Anfal ayat 4 dan 5:

















Huruf al-Kaf ( ) pada ayat lima brfungsi sebagai pengingat dan sifat bagi َi’il yang tersembunyi (

لعفرما

). Hubungan itu tampak dari jiwa itu. Maksud ayat itu, Allah menyuruh untuk mengerjakan urusan harta rampasan, seperti yang kalian lakukan pada perang badar meskipun kaummu membenci cara demikian itu. Allah Swt, menurunkan ayat ini agar kaum Nabi Muhammad Saw, mengingat nikmat yang telah diberikan Allah dengan diutusnya Rasul dari kalangan mereka (QS. surah al-Baqarah:151)

اَ ْ َسْ َأ

اَمَك

ْ ْ ا

َواسَ ْ ياف

,

sebagai mana juga kaummu membencimu (Rasul) ketika engkau mengajak mereka keluar dari rumah untuk berjihad. Hubungan ini terjadi dengan ayat yang jauh sebelumnya.44

43Rahmad syafei, Pengantar Ilmu Tafsir, hlm 42 44M. Qhuraish Shihab, hlm. 10-11


(43)

33

2.

ةارطتسَا

(pindah ke perkataan lain yang erat kaitannya)

Misalnya surat al-A’ra>f: 26 tentang pakaian takwa lebih baik. Allah menyebutkan pakaian itu untuk mengingatkan manusia bahwa pakain penutup aurat itu lebih baik. Pakain berfungsi sebagai alat untuk memperbagus apa yang telah Allah ciptakan. Pakaian adalah penutup aurat dan kebejatan karena membuka aurat adalah hal yang jelek dan bejat. Sedangkan penutup aurat adalah pintu takwa.

3.

ة

ا ملا

(perlawanan)

Misalnya surah al-Baqarah ayat 6.





Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.45

Allah tidak memberi petunjuk kepada mereka yang kafir itu. Ayat ini berlawanan dengan ayat-ayat sebelumnya yang menyebutkan tentang kitab, orang mukmin, dan petunjuk. Hal ini berkaitan dengan surah al-Baqarah: 23













Adapun hikmahnya adalah agar mukmin merindukan dan memantapkan iman berdasarkan petunjuk Allah Swt.

ا ع وا ثلا و ا وثتلا

لوَا

.


(44)

34

C.Kebahasaan dalam Pendekatan ‘Ilmu al-Bala>ghah 1. Pengertian ‘Ilmu al-Bala>ghah

Istilah „Ilmu Bala>ghah terdiri atas dua kata, yaitu „Ilmu dan al-Bala>ghah. Kata „ilm dapat ditujukan sebagai nama suatu bidang tertentu. Kata „ilm juga diartikan sebagai materi-materi pembahasan dalam kajian suatu disiplin ilmu (al-Qadlaya al-Lati> Tubhathu> Fi>hi). Kata „ilm juga dapat diartikan sebagai pemahaman yang dimiliki oleh seseorang tentang materi kajian dalam suatu bidang tertentu.46

Sedangkan kata Bala>ghah di definisikan oleh para ahli dalam bidang ini dengan definisi yang beragam, diantaranya adalah:

a. Menurut Ali Jarim dan Must}afa Amin dalam al-Ba>laghah al-Wa>dlihah.

َأ

ْلاا

َ

َل

َغ

َف

َ

َت

ْأ

ة

َ

ْلا

َم

ْع

َ

ْلا

َج

ْي

ل

َو

ا

ح

ب

ا

ع

َ

َ ا

َص

ح

ْي

َح

َل

َ

ف

ا

ْ

لا

ْف

َأ

َث

ٌر

خ

َل

ٌ

َ

َ

َع

َل

ئ

َم

َك

َل

ل

ْ

َم

ْو

لا

ْ

َ

َلا

ف

ْي

َو

َ ْلا

ْش

َخ

ا

لا

ْ

َ

َخ

ا

ْو

َ

Adapun Balaghah itu adalah mengungkapkan makna yang estetik dengan jelas mempergunakan ungkapan yang benar, berpengaruh dalam jiwa, tetap menjaga relevansi setiap kalimatnya dengan tempat diucapkannya ungkapan itu, serta memperhatikan kecocokannya dengan pihak yangdiajak bicara.”47

b. Menuerut Dr. Abdullah Syahhatah

َا

ْل

َح

د

صلا

ح

ْي

ح

ل

ْ

َ

َل

َغ

ف

ْ

ْلا

َ

َل

َو

َأ

ْ

َ

ْ

َغ

ب

ْلا

م

َت

َ

ْ

َا

ر

ْ

د

ْ

َن

ْف

سلا

ا

ب

إ

َب

َ

ْو

ْلا

ْق

َ

ا

َ

ْلا

َع

ْ

ل

َو

ْلا

و

ْج

َد

ا

46Wahbah al-Zuhaili>, Us}ul al-Fiqh al-Isla>mi>, jilid I, (Bairut: Dar al-Fikr, 1997), hlm 5 47Ali al-Jarim & Mus


(1)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

95

95

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan kata Isra>f diatas, maka penulis dapat menyimpulkan penafsiran Hamka dan Ibn Kathir sebagai berikut:

1. Pendekatan dan teori Hamka dan Ibn Kathir dalam menafsirkan ayat-ayat Isra>f a) Pendekatan dan teori yang digunakan oleh Hamkan dalam menafsirkan

al-Quran. Yaitu, menggunakan teori Asba>b al-Nuzu>l, Munasa>batul Ayat dan Kebahasaan. Tetapi Hamka dalam menggunakan teori tersebut mengaitkan dengan keadaan masyarakat sehingga menimbulkan perbedaan penafsiran, sedangkan tafsir Hamka tergolong dalam metode Tahlili dan Ijmali dan Tafsi>r al-Ada>bi> al-Ijtimai> atau corak sastra dan budaya kemasyarakatan yaitu tafsir menunjukkan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat.

b) Pendekatan dan teori yang digunakan oleh Ibn Kathir dalam menafsirkan al-Qur’an. Yaitu, menggunakan teori Asba>b al-Nuzu>l, Munasa>batul Ayat dan Kosa kata. Tetapi Ibn Kathir dalam menggunakan teori tersebut lebih menekakan pada turunnya ayat yang terjadi pada masa Nabi Muhammad Saw, sehingga penafsiran Ibn Kathir hanya ditekankan pada keadaan tersebut dalam mengumpul Hadith-ِaditِ dan pendapat para Saِabat dan Tabi’in, untuk mengetahui sebab turunnya ayat tersebut. Ibn Kathir juga menggunakan metode


(2)

96

Tahlili dan disertai dengan Tafsi>r bi al-Riwa>yah, ini terbukti dengan dalam tafsirnya memakai Riwayah dan Hadith.

2. Persamaan dan perbedaan penafsiran Hamka dan Ibn Kathir terkait dengan kata Isra>f.

Persamaan Hamka dan Ibn Kathir sama-sama menggunakan Asba>b al-Nuzu>l, Munasa>batul Ayat dan Kebahasaan. Tetapi Hamka dalam menggunakan corak bi al-Ma’thu>r teori tersebut mengaitkan dengan kebudayaan masyarakat, sedangkan Ibn Kathir menggunakan corak al-Ra’yi> lebih cendrung terhadap Riwayah dan Hadith sehingga menimbulkan perbedaan penafsiran,

metode Tahlili, yaitu menjelaskan kandungan al-Qur’an dari seluruh aspek, mengikuti susunan ayat sesuai dengan Tartib Mushafi. Sedangkan perbedaannya, Hamka lebih condong terhadap Tafsi>r al-Ada>bi> al-Ijtimai> atau corak sastra dan budaya kemasyarakatan. sedangkan Ibn Kathir lebih condong terhadap Tafsi>r bi al-Riwa>yah, yaitu memakai Riwayah dan Hadith.

Sehingga dalam menafsirkan kata

(

اْوفرْسي

)

kedua Mufasir tersebut berbeda, yaitu Hamka memaknai kata Isra>f dengan royal dan ceroboh, karna Hamka menafsirkan dengan kebiasaan masyarakat. Sedangkan Ibn Kathir dalam memaknai kata tersebut menghambur-hamburkan, karena Ibnu Kathir melihat dari kontek Asba>b al-Nuzu>l, Riwayah dan Hadith dan lain-lain.


(3)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

97

B. Saran

Penelitian ini banyak terdapat kekurangan, maka sebagai saran dari penulis diharapkan nantinya pembaca akan melanjutkan kajian ini lebih luas lagi, sehingga akan bertambahnya ilmu pengetahuan.

Setelah diselesaikan penelitian ini, maka penulis memberikan saran yang berbentuk positif kepada pembaca terutama kepada penulis sendiri supaya menghindari dan menjauhi perbuatan Isra>f karena perbuatan itu sangat dilarang. Disisi lain sudah saatnya para pengkaji al-Qur’an menumbuِkan kesadaran untuk meningkatkan kualitas dan kehati-hatian dalam memahami kata-kata dalam


(4)

98

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemmahannya, Jakarta: PT. Syamil Cipta Media, 2005

Achmad Warson munawwir, kamus al-Munawwir: Arab Indonesia terlengkap,

Pustaka progresif: Surabaya, 1997

Al-Sa’di>. Abdurrahman bin Nas}i>r, Taisi>r Karim Rahman fi> Tafsi>r Kalam al-Manna>n, terj, Jakarta: Pustaka Sahifa, 2007

M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an. Bandung: Mizan pustaka. 2007

Taufik Abdullah, Cakrawala Ilmu dalam al-Qur’an, Jakarta: pustaka firdaus, 2003 Nasruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Tangerang: Lentera Hati, 2013

Drs. M Abdul al Mannar, Pemikiran Hamka, Kajian Filsafat dan Tasawuf, Jakarta: Prima Aksara, 1993

M. Quraish Shihab, Sejarah dan Ulumul Quran, cet, pertama Jakarta: CV. Indah Press, 2002

Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstual al-Qur’an, cet pertama, Yogyakarta: Lkis, 2001 http://id.wikipedia.org/wiki/Hamka

http://syeevaulfa.blogspot.co.id/2015/02/tafsir-ibnu-katsir.html

Racِmat Syaَi’i, Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung: Pustaka Satia, 2006

Aِmad Syadali, Aِmad Roَi’i, Ulum Quran, Bandung: CV Pustaka Setia 2000 IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi al-Quran, Surabaya: IAIN Press, 2012


(5)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

99

Wahbah al-Zuhaili>, Us}ul al-Fiqh al-Isla>mi>, jilid, pertama, Bairut: Dar al-Fikr, 1997 Ali al-Jarim & Must}afa Amin, al-Bala>ghah al-Wa>dlihah,Kairo: Dar Ma’ariَ, tt Abd Jalal, Ulumul Quran, cet. Ke-II, Surabaya: Dunia Ilmu, 2000

Muhammad Husein al-Dhahabi, al-Tafsi>r wa al-Mufasiri>n, jilid II, Mesir: Maktabah Wahbah, 1985

Ali Ibn Nayif al-Shahud, al-Khula>sah Fi> ‘Ilm al-Bala>ghah, Juz 1, hlm. 1. Aly al-Jarim, Mustafa Amin, al-Bala>ghah al-Wa>dlihah Mesir: Darul Ma’ariَ, tt Ahmad Must{afa> al-Mara>ghi>, Tafsi>r al-Mara>gh}i> Jilid 4,5,6, Semarang: Toha Putra,

1993

Ibn Kathir , al-Bida>yah wa al-Nihaya>h, terj, Jilid XIV, Jakarta: Pustaka Azzam, 2010 Hamka, Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1983

Ibin Katsir, Tafsi>r Ibn Kathi>r, terj,jild 3. Jakarta: Imam Asy-Syaَi’I. 2002 Al-Raghib al-Isfahani, al-Mufrada>t al-Fa>z} al-Qur’a>n, Beirut; Dar al-Syamiyah, tt

Muِammad Fu’ad Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fa>z} al-Qur’a>n, Beirut; Dar al-Fikr, 1980.

Ima>m Ghaza>li>, Ihya>’ ulum al-Ddi>n, Semarang: CV. Asy syifa, 2003

Nasruddin Baidan, Metode Penelitian al-Qur’an, Cet, 1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. 1998.

Kadar Muhammad Yusuf, Studi al-Qur’an, Cet. 2. Jakarta: Hamzah, 2010

Al-Mara>ghi>, Ahmad Must}afa, al-Faz} al-Mubi>n fi> T}abaqat al-Us}u>liyah, Beirut: Muhammad Amin Co,1993


(6)

100

Abdurrahman bin Nas}ir al-Sa’di, Taisi>r al-Kari>m ar-Rahmān fi> Tafsi>r kalam al-Mannān, terj, Jakarta: Pustaka Sahifa, 2007

Imam Ghazali, Ihya>’ Ulu>muddi>n,Semarang: CV. Asy-Syifa, 2003

Abd Fattah Lasyim, al-Ma’a>nin Fi> Dlau’ Asalib al-Qur’an, Kairo: Dar Fikr