PERSEPSI ORANG TUA TENTANG PENDIDIKAN SEKS ANAK USIA DINI.

(1)

PERSEPSI ORANG TUA TENTANG PENDIDIKAN SEKS ANAK USIA DINI

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Isalam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata

Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

Erwinda Mahluzatin B07212010

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

INTISARI

Perkembangan teknologi (internet) yang semakin berkembang saat ini memudahkan anak untuk mengakses berbagai informasi, baik informasi positif maupun negatif. Hal ini menyebabkan anak-anak rentan terhadap informasi tentang seks. Berbagai fenomena kejahatan seksual anak di bawah umur marak terjadi. Dapat terlihat betapa orang tua belum memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan seks untuk anaknya, sehingga mereka membiarkan anak-anaknya tumbuh dan berkembang tanpa pengawasan langsung. Penelitian ini bertujuan untuk memahami, menggali bagaimana persepsi orang tua tentang pendidikan seks kepada anak usia dini. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan menggunakan triangulasi sebagai validasi data. Subjek penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak berusia dini berkisar 3-6 tahun. Ada tiga subjek yang dijadikan sumber informasi dengan tiga informan tahu sebagai data pendukung.

Hasil penelitian ini menemukan beberapa kategori temuan yang mana terdapat kategori temuan merupakan temuan utama, dan temuan lainnya sebagai temuan tambahan sebagai pelengkap temuan. Pertama, ada persepsi orang tua tentang pendidikan seks dan tujuan dari pendidikan seks, persepsi orang tua tentang pentingnya pemberian pendidikan seks sejak dini. selanjutnya, ditemukan ditemukan bentuk kepedulian orang tua kepada anak. Kemudian kesadaran orang tua akan kebutuhan anak terhadap pendidikan seks, adapun peran orang tua yang lebih besar untuk memberikan pendidikan seks kepada anak, waktu yang dianggap tepat untuk memberikan pendidikan seks kepada anak, dan kesulitan orang tua ketika memberikan pendidikan seks untuk anak usia dini.


(7)

Abstract

The development of internet technology is growing at this time easier for children to be able to access a variety of information, both positive and negative information. This causes children vulnerable to information about sex. Various phenomena of sexual crimes minors rife. It is noticeable that parents do not have awarness of the importance of sex education for their children, so they let their children grow and develop without direct supervision. The purpose this study is to understand, explore how perception of parents in conducting sex education for early childhood. This study is qualitative methode using triangulation of data as data validation. The subjects in this study is mothers of children aged 3-6 years. There are 3 subjects that serve as the main source of information, and 3 subjects as informants knew as supporting of data.

This research found that some categories of findings which are the main categories of findings are the findings, and other findings as additional findings as complementary findings. First, there is the perception of parents about sex education and the purpose of sex education, parents' perceptions related to the importance of early sex education. furthermore. As discovered a form of awareness of parents to children. Then the parent's awareness of the needs of children to sex education, there is the role of parents is more likely to provide sex education to children, time is considered appropriate to provide sex education to children, and the difficulties parents when sex education for young children.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman Sampul ... ... ... i

Halaman Judul ... ii

Halaman Pengesahan ... iii

Pernyataan Keaslian Karya ... iv

Kata Pengantar ... .v

Daftar Isi ... .vii

Lampiran ... ix

Intisari ... x

Abstrack ... xi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang ... ... 01

Fokus Penelitian ... 10

Tujuan Penelitian ... 10

Manfaat Penelitian ... 10

Keaslian Penelitian ... 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Persepsi Orang Tua ... 16

1. Pengertian Persepsi Orang Tua ... 16

2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Persepsi ... 19

B. Pendidikan Seks ... 21

1. Pengertian Pendidikan Seks ... 21

2. Waktu Tepat dalam Memberikan Pendidikan Seks untuk Anak ... 24

3. Tujuan Pendidikan Seks Anak Usia Dini ... 26

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Orang Tua dalam Memberikan Pendidikan Seks Anak Usia Dini ... 27

C. Anak Usia Dini ... 28

1. Pengertian Anak Usia Dini ... 28

2. Karakteristik/Ciri-ciri Anak Usia Dini ... 30

3. Tugas Perkembangan Anak Usia Dini ... 32

4. Perkembangan Sosialisasi Anak Usia Dini ... 33

5. Perkembangan Moral Anak Usia Dini ... 34

6. Perkembangan Seksual Anak Usia Dini ... 36

D. Kerangka Teori ... 37

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 42

B. Lokasi Penelitian ... 43

C. Sumber Data ... 43


(9)

E. Prosedur Analisis dan Interpretasi Data ... 47

F. Keabsahan Data ... 48

BAB IV: HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Subjek ... 50

B. Hasil Temuan ... 56

1. Deskripsi Temuan Penelitian ... 56

2. Analisis Hasil Temuan ... 67

C. Pembahasan ... 77

BAB V: PENUTUP A. Simpulan ... 87

B. Saran ... 88

DAFTAR PUSTAKA ... 90


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Identitas Subjek ... 93

Lampiran 2: Guidence Wawancara ... 96

Lampiran 3: Verbatim Hasil Wawancara ... 101

Lampiran 4: Dokumentasi Subjek Penelitian ... 135

Lampiran 5: Lembar Kesediaan Subjek Penelitian ... 138

Lampiran 6: Lembar Kartu Bimbingan ... 141

Lampiran 7: Surat Izin Penelitian ... 143


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada zaman yang semakin maju akan berbagai macam teknologi dan ilmu pengetahuan yang berkembang ini, nampaknya terselip sebuah masalah yang kian marak di kalangan masyarakat, terutama pada kalangan anak-anak dan remaja khususnya, yakni masalah seks. Media elektronik semacam TV, video, CD, film, internet, HP, dan media cetak seperti koran, majalah, tabloid, brosur, foto, kartu, kertas stensilan yang berbau porno dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat, dan semakin terbuka dan mudah, tanpa ada pengendalian yang memadai. Orang tua dan pemerintah semakin permisif dan seakan memberikan “ dukungan”, karenanya produk “kelam” ini cukup laris di pasaran (Raqib, 2008). Dewasa ini seringnya dijumpai anak-anak remaja bahkan anak-anak-anak-anak yang masih berusia dini sudah pandai mengaplikasikan internet, gadget, dan lainya, tidak menutup kemungkinan berbagai informasi negatif juga akan ditemui mereka, misalnya hal-hal yang berbau seksualitas. Hal ini sangat berbahaya untuk perkembangan mereka selanjutnya jika tidak diarahkan dengan baik.

Melihat fenomenanya, banyak terjadi kasus seksualitas baik dari kalangan remaja bahkan anak di bawah umur sekalipun. Terkait kasus seksualitas yang terjadi pada kalangan remaja seringkali telah mencemaskan banyak pihak, para orang tua khususnya, para pendidik, anak dan remaja itu


(12)

2

memang sedang menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan. Masalah seksualitas merupakan masalah yang cukup pelik untuk diatasi. Perkembangan seksual itu muncul sebagai bagian dari perkembangan yang harus dijalani, namun di sisi lain, penyaluran hasrat seksual yang belum semestinya dilakukan dapat menimbulkan dan berakibat buruk yang serius apabila tidak dapat dikendalikan, diredam secara baik (Gunarsa, 2001).

Berdasarkan hasil Sensus Penduduk Indonesia tahun 2010, 26,8% atau 63 jiwa dari total jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 233 juta jiwa adalah remaja dengan usia 10-24 tahun. Jumlah remaja yang tinggi tentunya akan diikuti oleh berbagai masalah yang berhubungan erat dengan remaja. Salah satu masalah yang dihadapi remaja yang membutuhkan perhatian adalah masalah seks pra nikah yang kian marak dan akan berujung berbagai masalah yang lain. Bedasarkan survey kesehatan reproduksi remaja (15-19 tahun) oleh Badan Pusat Statistik 72% remaja mengaku telah berpacaran dan 10,2% mengaku telah berhubungan seks. Selanjutnya penelitian yang telah dilakukan Suryoputro dkk pada mahasiswa di Semarang Jawa Tengah sebesar 5% mahasiswa mengaku telah berhubungan seks sebelum menikah (Meilani, 2014).

Berdasarkan hasil observasi, didapat bahwa berbagai kasus seksualitas banyak juga terjadi di daerah gresik, banyaknya dijumpai remaja-remaja putri yang masih duduk di bangku SMP mengalami kehamilan tersebut khususnya di daerah Ujungpangkah dan sekitarnya. Padahal jika dilihat kondisi dari daerah ini adalah daerah santri, artinya banyak berdiri pondok-pondok santri.


(13)

3

Namun ternyata masih banyak hal semacam itu yang kian marak terjadi, baik dari kalangan siswi SMP biasa, maupun siswi yang merupakan santri pondok. Selanjutnya, Kasus terkait seksualitas yang juga saat ini sedang marak terjadi adalah tentang pelecehan seksual pada anak di bawah umur yang makin meresahkan, pasalnya saat ini bukan hanya korban yang masih di bawah umur, namun banyak pelaku kejahatan seksual ini masih berstatus remaja bahkan di bawah umur yang merupakan kerabat, terdekatnya maupun teman sebayanya. Misalnya, kasus pelecehan seksual pada (Yuyun) anak usia 12 tahun yang baru-baru ini terjadi pada bulan April lalu. Anak gadis ini diperkosa dan di bunuh oleh 12 pelaku di mana beberapa dari pelaku tersebut masih merupakan pelajar SMP, dan juga merupakan kakak kelasnya (news.okezone.com.read.2016/04/10, diakses pada tanggal 10/05/2016).

Kasus pelecehan seksual terhadap anak dapat dikatakan bahwa 46% justru terjadi di lingkungan sekolah yang melibatkan guru dan murid sebagai pelaku. Salah satu faktor penyebab terjadinya kasus-kasus tersebut adalah minimnya informasi yang diterima oleh masyarakat tentang gejala-gejala yang mengarah pada tindak pelecehan seksual terhadap anak, bentuk tindakan, dan batasan-batasannya. Pada umumnya, pelecehan seksual dipahami sebatas pada tindakan pencabulan atau perkosaan (Fajar, 2014).

Dari secuplik fenomena tersebut menunjukkan bahwa masalah seks nampaknya kian merajalela baik di kalangan remaja bahkan anak-anak di bawah umur sekalipun, hal ini dimungkinkan sebagian besar masyarakat


(14)

4

khususnya orang tua betapapun belum memiliki kesadaran untuk segera menyikapi hal tersebut dengan melakukan pendidikan seks kepada anak sejak awal. Sehingga masih terlihat orang tua kurang aktif menjalankan peran pentingnya dalam mendidik, memperhatikan perkembangan, dan perilaku anaknya. Hal ini menyebabkan ketika anak memasuki usia remaja kurang memiliki pengetahuan yang benar terkait persoalan seksualitas sehingga menyebabkan mereka mudah terjerumus ke dalam perbuatan buruk semacam itu. Kemungkinan lainnya bahwa orang tua masih mempersepsikan seks dalam artian yang sempit dan tabu untuk dibicarakan kepada anak-anaknya, kata seks ini selalu dihubungkan dengan hal-hal yang berbau atau berkonotasi porno, kotor, mesum, dan semacamnya.

Hal tersebut menyebabkan orang tua mengalami kesulitan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dari anak-anaknya terkait apa itu seks. Kesulitan yang dialami orang tua cenderung dialihkan ke hal-hal yang kurang rasional, sehingga anak-anak gencar mengejar dengan pertanyaan yang lebih rumit (Helmi & Paramastri, 1998). Sejalan dengan riset Joy L. Walker (2001), ditemukan beberapa faktor yang dapat meningkatkan dan membatasi komunikasi antara orang tua dengan anak yang saling terkait tentang seks (Joy L. Walker, 2001).

Upaya menanggulangi adanya kekerasan seksual tersebut, terutama kekerasan seksual terhadap anak, telah menjadi masalah yang diseriusi oleh pemerintah. Melalui penerbitan Inpres nomor 5 tahun 2014 tentang GN-AKSA (Gerakan Nasional Anti Kekerasan Seksual terhadap anak).


(15)

5

Pemerintah berupaya mengerahkan semua komponen, baik lembaga pemerintah maupun masyarakat untuk ikut serta terlibat dalam memberantas masalah seksual ini. Komitmen semacam ini tentunya membutuhkan langkah-langkah yang implementatif dan aplikatif yang dapat menyentuh ke segala lapisan masarakat, yaitu melalui sebuah pendidikan, sebab pendidikan memiliki fungsi sebagai alat penyadaran. Oleh sebab itu, pendidikan sebagai alat penyadaran mestinya dapat memberikan informasi yang lebih lengkap dan tepat (Fajar, 2014). Dalam hal ini pendidikan seks sudah sepatutnya mendapat perhatian khususnya dari para orang tua khususnya sebagai upaya preventif sekaligus kontrol sosial terhadap gejala-gejala penyimpangan seksual, khususnya pelecehan seks terhadap anak (Fajar, 2014).

Pendidikan seks sendiri sebenarnya memiliki arti yang sangat luas, menurut Suryadi (2007) (dalam nugraha, 2014) pendidikan seks merupakan usaha pemberian informasi kepada anak tentang kondisi fisiknya sebagai perempuan dan laki-laki, dan konsekuensi psikologis yang berkaitan dengan kondisi tersebut. Secara umum, pendidikan seks terdiri atas penjelasan tentang organ reproduksi, kehamilan, tingkah laku seksual, alat kontrasepsi, kesuburan dan menopouse, serta penyakit kelamin (Nugraha, 2014). Menurut Ulwan (1995), ruang lingkup pendidikan seks tidak hanya mengajarkan mengenai seksualitas, tetapi juga berhubungan dengan aspek moral, etika, hukum, budaya, dan perilaku sosial.

Dalam hal ini diharapkan orang tua memiliki persepsi yang positif terkait pelaksanaan pendidikan seks. Pendidikan seks harus dianggap sebagai


(16)

6

bagian dari proses pendidikan, dengan demikian memiliki tujuan untuk memperkuat dasar-dasar pengetahuan dan pengembangan kepribadian. Dengan kata lain pendidikan seks adalah bagian integral dari usaha-usaha pendidikan pada umumnya. Melalui pendidikan seks ini diusahakan timbulnya sikap emosional yang sehat dan bertanggung jawab terhadap seks. Seks tidak dianggap lagi sebagai sesuatu yang kotor, menjijikkan, bahkan tabu, melainkan sebagai fungsi penting dan luhur dalam kehidupan manusia. Pendidikan seks diharapkan mampu mengurangi ketegangan-ketegangan yang timbul karena menganggap seks adalah sesuatu yang kabur, mencemaskan, bahkan menakutkan. Dengan adanya pendidikan seks ini juga diharapkan mampu mengurangi keingintahuan yang berlebihan terhadap kegiatan seks (Gunarsa, 2001).

Dalam menghadapi masa depannya, pengetahuan dan informasi tentang seks yang benar sangat penting diketahui oleh generasi penerus bangsa. Akan tetapi anak-anak dan remaja rentan terhadap kesalahan informasi tentang pengetahuan seks. Jika tidak mendapatkan pendidikan seks yang benar, mereka akan percaya akan mitos-mitos tentang seks yang tidak benar. Informasi tentang seks sebaiknya didapatkan dari orang tua, guru atau sumber informasi yang benar. Di Indonesia banyak anak-anak tidak mendapatkan pendidikan seks yang benar dan cukup. Mereka justru mendapat informasi tentang seks dari teman sebaya, internet, dan majalah. Padahal sumber informasi tersebut belum tentu benar dan dapat dipertanggungjawabkan (Safita, 2013).


(17)

7

Pendidikan seks sendiri sangat berpengaruh baik dalam perkembangan kehidupan anak ketika memasuki masa remaja dan selanjutnya. Pendidikan seks yang diberikan sejak anak usia dini sangat tepat, di mana dalam usia ini anak-anak sangat kritis dari segi pertanyaan dan tingkah lakunya untuk menjelajahi lingkungannya, oleh sebab itu masa ini disebut dengan ‘masa bertanya’. Itu semua karena pada masa ini anak-anak memiliki rasa keingintahuan yang besar (Hurlock, 1980). Hal ini sejalan

dengan hasil riset Endang Lestari,S.Pd., M.Pd & Jangkung

Prasetyo,S.Pd.,M.Pd (2014), bahwa memperkenalkan seks pada anak tidak ada batas waktu yang jelas. Namun, pendidikan seks ini sepatutnya mulai diberikan sejak anak mulai bertanya tentang seks. Hendaknya orang tua dapat menjawabnya sesuai dengan tahap perkembangan anak (Lestari & Jangkung Prasetyo, 2014) .

Dengan demikian, ketika anak menginjak usia pubertas, remaja, hingga dewasa akan dapat memahami persoalan seksualitas di dalam hidup, ia mengetahui mana yang halal dan mana yang haram, tingkah laku islami yang lurus dapat menjadi adat dan tradisi bagi anak nantinya, serta menghindarkan mereka untuk terjebak dalam perbuatan yang buruk (pergaulan bebas, kejahatan seksual, dan penyimpangan seksual lainnya) seperti beberapa fenomena yang telah dipaparkan sebelumnya. Pendidikan seks yang tidak diberikan sedini mungkin dimungkinkan akan mengakibatkan berbagai akibat buruk di masa perkembangan anak selanjutnya.


(18)

8

Dalam rangka melaksanakan pendidikan seks hendaknya tidak disempitkan artinya sebagai sekedar pembicaraan tentang seks saja,

melainkan hal-hal lain yang berhubungan dengan proses-proses

perkembangan dan kehidupan seks. Dilihat dari sudut ini, maka proses pendidikan seks dapat diberikan sejak anak usia dini sekalipun, di mana pada saat seorang anak mulai bertanya tentang seks, misalnya : Mengapa alat kelaminya berbeda dengan alat kelamin saudaranya?. Akan tetapi pendidikan seks diberikan tidak selalu harus menunggu sampai timbul pertanyaan dari si anak, melainkan dapat direcanakan orang tua sesuai dengan keadaan dan kebutuhan si anak. Sedikitnya sebelum seorang anak memasuki dunia remaja, di mana proses kematangan timbul harus sudah diberikan (Gunarsa, 2001).

Usia dini atau usia Taman Kanak-kanak adalah usia keemasan atau dengan istilah lain Golden Age, adalah masa-masa penting, dimana peran orang tua dan lingkungan sekitarnya sangatlah mendukung untuk membentuk kehidupan anak selanjutnya, dimana anak adalah peniru terhebat didunia, betapapun tidak peduli ia terhadap apa yang terjadi di lingkungan ini, anak sebenarnya sedang memperhatikan apa yang sedang dilakukan oleh orang tua (Nugroho, 2014). Dalam hal ini para ahli yang berkecimpung di dunia anak, pada umumnya sependapat bahwa pendidik terbaik anak adalah orang tuanya sendiri, termasuk dalam hal ini adalah pendidik dalam bidang seks. Oleh sebab itu, peran orang tua akan bermain lebih besar dalam hal ini (Gunarsa, 2001).


(19)

9

Pendidikan seks ini dapat dimulai oleh orang tua selaku keluarga inti dari anak tersebut, karena bagaimanapun orang tua adalah pendidik utama bagi anak-anaknya. Meskipun demikian, peranan guru, atau ahli-ahli lainnya yang benar-benar memiliki dasar-dasar pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan dapat saja melaksanakan pendidikan seks sejauh hal ini memang dibutuhkan karena orang tua kurang dan tidak bisa memberikan pendidikan seks atau pengetahuan seks untuk anaknya (Gunarsa, 2001).

Ada banyak alasan mengapa orang tua dianggap menjadi kunci dalam pendidikan seks, diantaranya karena mereka termasuk fakta bahwa mereka dilihat sebagai individu yang mampu tidak hanya untuk mendidik anak-anak mereka tentang seks saja, tetapi juga untuk pujian dan mempertahankan budaya dan etos dalam keluarga. Mereka mendukung aspek emosional dan fisik kesehatan anak-anak mereka dan membantu mereka dalam mempersiapkan kehidupan dewasa (Nambambi & Mufune, 2011). Oleh karena itu, perlu terlahir kesadaran dari orang tua untuk memberikan pendidikan yang juga tidak kalah pentingnya dengan pendidikan lainnya, yaitu sebuah pendidikan seks seperti yang telah diuraikan di atas dengan berbagai strategi yang dianggap tepat oleh orang tua sebagai upaya pencegahan diri anak dari berbagai kejahatan seksual, dan membentengi anak dari penyimpangan seksual lainnya.

Bertitik tolak dari pokok pikiran di atas, peneliti tertarik untuk menjadikannya sebagai landasan dalam mengadakan sebuah penelitian


(20)

10

tentang pendidikan seks bagi anak usia dini dengan mengangkat judul:

“Persepsi Orang Tua Tetang Pendidikan Seks Anak Usia Dini”.

B. Fokus Penelitian

Bagaimana persepsi orang tua tentang pendidikan seks anak usia dini?

C. Tujuan Penelitian

Untuk menggambarkan persepsi orang tua tentang pendidikan seks anak usia dini.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu baru yang memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, khususnya di dalam bidang psikologi perkembangan, keluarga, pendidikan dalam kaitanya dengan pendidikan seks yang diberikan pada anak sejak usia dini.

2. Secara praktis

Penelitian ini diharapkan dapat membuka wawasan bahwa pedidikan seks sejak usia dini itu perlu diberikan, serta memberikan manfaat bagi orang tua khususnya dalam memberikan pendidikan seks pada anak usia dini. Sehingga akan lebih mudah bagi orang tua untuk menangani pencegahan perilaku seks anak-anaknya hingga memasuki usia remaja, dewasa san seterusnya.


(21)

11

E. Keaslian penelitian

Kajian seks secara umum maupun khusus terkait pendidikan seks ini sebenarnya bukan sesuatu hal yang baru, bahkan sudah pernah diteliti oleh beberapa peneliti lain sebelumnya. Berikut ini adalah beberapa penelitian yang juga membahas tentang pendidikan seks, diantaranya penelitian tentang pendidikan seks yang telah dipublikasikan dalam sebuah jurnal karya Avin Fadilla Helmi & Ira Pramatasari Universitas Gajah Mada (1998). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada perubahan peningkatan pengetahuan tentang seks yang sehat oleh anak-anak.

Adapun penelitian selanjutnya terkait pendidikan seks anak telah dipublikasikan dalam sebuah jurnal karya Dwi Aryo Fajar, S.S., M.Hum., Susanto, S.S., M.Hum., Ribut Achwandi S.S. Universitas Pekalongan (2014). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan pendidikan seks dikatakan belum sepenuhnya dilaksanakan dengan baik, dikarenakan adanya kendala oleh kinerja PNFI yang kurang mampu memenuhi kebutuhan bagi penyelenggara pendidika seks usia dini secara optimal.

Selanjutnya adapun penelitian lain terkait pendidikan seks ini, juga telah dipublikasikan dalam sebuah jurnal karya Endang Lestari,S.Pd., M.Pd & Jangkung Prasetyo,S.Pd.,M.Pd (2014). Hasil dari penelitian ini didapat bahwa memperkenalkan seks pada anak tidak ada batas waktu yang jelas. Namun, pendidikan seks ini sepatutnya mulai diberikan sejak anak mulai bertanya tentang seks. Hendaknya orang tua dapat menjawabnya sesuai dengan tahap perkembangan anak.


(22)

12

Penelitian selanjutnya membahas tentang pendidikan seks juga telah dipublikasikan dalam jurnal karya Inhastuti Sugiasih Fakultas Psikologi Universitas Islam Sultan Agung. Hasil dari penelitian ini didapat pemaparan mengenai kekuatan, hambatan, kelemahan dan peluang yang dimiliki ibu berkaitan dengan pendidikan seksual untuk anak usia 3 – 5 tahun.

Penelitian lainnya terkait pendidikan seks juga telah diterbitkan dalam jurnal karya Ria Rosela Nur’aini Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya (2014). Hasil dari penelitian ini mengungkap bahwa peran orangtua dalam memberikan pendidikan seks tidak begitu besar karena orangtua menganggap bahwa pendidikan seks sudah diberikan ketika di sekolah. Peran konselor sendiri dalam memberikan pemahaman dalam pendidikan seks hanya berpengaruh sekitar 15% sisanya 60% dari teman dan 25% dari internet.

Selanjutnya adapun penelitian yang juga membahas tentang pendidikan seks dan telah diterbitkan dalam sebuah jurnal berbahasa inggris Karya Ndishishi M Nambambi and Pempelani Mufune Department of Sociology, University of Namibia, Namibia. Temuan dari hasil diskusi atau penelitian ini menunjukkan bahwa diskusi tersebut secara tradisional masih dipandang tabu, mereka hanya mengamblil pembicaaraan disekitar masalah menstruasi, kehamilan, dan HIV. Adapun resistensi terhadap diskusi spesifik lebih di sekitra hubungan seksual. Kami menyimpulkan bahwa ada kebutuhan bagi orang tua untuk diajarkan bagaimana memberikan pendidikan seks kepada anak-anaknya.


(23)

13

Selanjutnya penelitian terdahulu yang juga membahas tentang pendidikan seks untuk anak yang juga telah terpublikasikan dalam sebuah jurnal internasional karya Joy L. Walker (2001). Hasil dari penelitian ini adalah ditemukan beberapa faktor yang dapat meningkatkan dan membatasi komunikasi antara orang tua dengan anak yang saling terkait tentang seks.

Adapun penelitian lainnya juga telah diterbitkan dalam jurnal berbahasa inggris karya Almeida, Ana Carla Campos Hidalgo De & Centa, Maria De Lourdes (2008). Hasil dari penelitian ini adalah beberapa orang tua berpendapat bahwa sangat penting untuk berbicara tentang seks kepada anak secara terbuka, walaupun orang tua mengalami kesulitan dalam berkomunikasi. Yakni dengan cara mengejarkan nilai-nilai untuk membangun personalitas dan meningkatkan pengetahuan mereka.

Selanjutnya adapun penelitian asing yang membahas tentang pendidikan seks untuk anak dan juga diterbitkan dalam jurnal inggris karya Netsanet fentahun, Tsion Assefa, Fessahaye Alemseged, dan Fentie Ambaw. Hasil studi ini menyatakan bahwa semua partisipan memiliki keinginan untuk memulai pendidikan seks pada sekolah, semua partisipan mengatakan bahwa usia dini (primary school) yang berisi pendidikan seks abstinence-only dan usia selanjutnya (secondary school) yang berisi abstinence-plus. Pendidikan seks di sekolah seharusnya berdasarkan kebutuhan murid, guru, dan orang tua.

Penelitian asing lainnya juga diterbitkan dalam sebuah jural berbahasa asing karya Hanneke De Graaf, Jany Rademakers, Rutgers Wpf Nivel, The


(24)

14

Netherlands Institute for Health Services Research, Graaf, H. de, Rademakers, J. The psychological measurement of childhood sexual development in Western. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa Dari metode-metode tersebut didapatkan hasil rangkuman sebagai beriut. Dibagi ke dalam 4 tahap perkembangan yang berbeda : bayi dan balita (usia 0 bulan hingga dua tahun), anak-anak pra sekolah ( usia 3 hingga 5 tahun ), masa kanak-kanak tengah (usia 6 hingga 9 tahun ), dan akhir masa kanak-kanak (usia 10 hingga 12 tahun).

Dari beberapa penelitian terdahulu yang telah dipaparkan di atas memang memiliki perbedaan satu sama lainnya, dapat dilihat dari penggunaan metode penelitiannya. Disebutkan ada yang menggunakan metode kualitatif dan metode kuantitatif. Selain itu juga dilihat perbedaan dari

setting penelitiannya, serta pemilihan subjek penelitian yang didasarkan pada kriteria tertentu. Sedangkan penelitian kali ini yang diangkat oleh peneliti dengan judul ‘Persepsi Orang Tua Tentang Pendidikan Seks Anak Usia Dini’ memunculkan perbedaan dengan penelitian sebelumnya. Diantaranya dilihat dari penggalian data dengan setting penelitian yang berbeda, dalam hal ini peneliti akan menggali data terkait bagaimana persepsi orang tua dalam melakukan pendidikan seks pada anaknya, untuk settingnya sendiri mengambil daerah Gresik. Dalam hal ini nantinya akan memilih subjek yaitu orang tua khususnya ibu selaku keluarga terdekat anak yang berprofesi sebagai guru dan ibu rumah tangga, serta memilih informan tahu sebagai penguat data.


(25)


(26)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Persepsi Orang Tua

1. Pengertian Persepsi Orang tua

Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses pengindraan, yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat pengindraan (Walgito, 1981). Selanjutnya Jalaludin (2005) menjelaskan persepsi sebagai pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan (Jalaludin, 2005). Adapun Siagian (2004) persepsi adalah suatu proses di mana seseorang mengorganisasikan dan

menginterprestasikan kesan-kesan sensorinya dalam usahanya

memberikan suatu makna tertentu kepada lingkungannya. Persepsi didahului oleh proses penginderaan terhadap stimulus yang diterima seseorang melalui panca inderanya (Walgito, 2002).

Proses penginderaan stimulus ini selanjutnya akan diteruskan ke proses persepsi yaitu bagaimana seseorang mengorganisasikan dan menginterprestasikan stimulus sehingga orang tersebut menyadari, mengerti tentang apa yang di indera itu. Persepsi diartikan juga sebagai kesadaran intuitif (berdasarkan firasat) terhadap kebenaran atau kepercayaan langsung terhadap sesuatu (Komaruddin, 2000). Menurut Siagian (2004), persepsi seseorang belum tentu sama dengan fakta yang


(27)

17

sebenarnya. Sebab itulah mengapa dua orang yang melihat sesuatu mungkin memberikan interprestasi yang berbeda tentang apa yang dilihatnya.

Perbedaan tersebut muncul karena adanya kecendrungan manusia memilih apa yang ingin dipersepsinya. Apabila objek yang dipersepsi sesuai dengan penghayatannya dan dapat diterima secara rasional dan emosional maka manusia akan mempersepsikan positif atau cenderung menyukai dan menanggapi sesuai dengan objek yang dipersepsi, sementara apabila tidak sesuai dengan penghayatannya maka persepsinya negatif atau cenderung menjauhi, menolak dan menanggapi secara berlawanan terhadap objek persepsi tersebut (Jalaluddin, 2005).

Berdasarkan pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan suatu proses di mana seseorang menginterprestasikan kesan-kesan sensorinya dalam usaha memberikan suatu makna tertentu terhadap lingkungannya berdasarkan firasat terhadap kebenaran atau kepercayaan langsung terhadap sesuatu. Persepsi ini didahului oleh proses penginderaan seseorang terhadap stimulus yang diterima seseorang melalui panca inderanya dan selanjutnya akan diteruskan ke proses persepsi yaitu bagaimana seseorang menginterprestasikan stimulus sehingga orang tersebut menyadari, mengerti tentang apa yang di lihat dan dirasakan.

Mengenai pengertian orang tua dalam kamus besar Indonesia disebutkan ‘Orang tua’ artinya ayah dan ibu (Poerwadarmita, 1984).


(28)

18

Sedangkan dalam penggunaan bahasa arab istilah ‘Orang tua’ dikenal dengan sebutan Al-Walid, pengertian tersebut dapat dilihat dalam Suah Al-Luqman ayat 14 yang berbunyi :

Dan kami perintahkan kepada manusia berbuat baik kepada dua orang tua ibu bapaknya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambahan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepada Ku dan kepada kedua orang tua ibu bapakmu. Dan hanya kepada-Ku lah kembalimu (QS. Al-Luqman : 14).

Banyak dari kalangan para ahli yang mengemukakan pendapatnya tentang pengertian orang tua, salah satunya datang dari seorang ahli Psikologi Ny. Singgih D Gunarsah dalam bukunya Psikologi Untuk Keluarga mengatakan “ Orang tua adalah dua individu yang berbeda memasuki hidup bersama dengan membawa pandangan, pendapat dan kebiasaan-kebiasaan sehari-hari (Gunarsa, 2001).

Berdasakan pengertian mengenai orang tua dari beberapa para ahli di atas dapat diperoleh pengertian bahwa bahwa orang tua memiliki tanggung jawab dalam membentuk dan membina anak-anaknya baik dari segi psikologis maupun pisiologis. Kedua orang tua dituntut untuk dapat mengarahkan dan mendidik anak-anaknya agar dapat menjadi generasi-generasi yang sesuai dengan tujuan hidup manusia.

Dari uraian masing-masing di atas, dapat disimpulkan bahwa persepsi orang tua adalah proses di mana orang tua menginterpretasikan kesan-kesan sensorinya dalam usaha memberikan suatu makna tertentu terhadap segala sesuatu yang diindrainya berdasarkan firasat terhadap kebenaran atau kepercayaan yang dimilikinya. Persepsi orang tua yang


(29)

19

dimaksudkan dalam konsep penelitian ini adalah bagaimana orang tua mempresepsikan atau memahami tentang pemberian pendidikan seks kepada anak usia dini sesuai dengan pemikiran pribadi dan kepercayaanya. Sehingga akan terlihat secara jelas apa saja hal yang dilakukan oleh orang tua tersebut dalam melakukan pendidikan seks untuk anak-anaknya. Dalam hal ini diharapkan orang tua tidak lagi memandang pendidikan seks sebagai hal yang tabu dan enggan untuk diberikan kepada anaknya.

Pendidikan seks ini diberikan oleh orang tua untuk memperkuat dasar-dasar pengetahuan dan pengembangan kepribadian anak. Selain itu, membekali anak dengan informasi yang benar tentang seks, menanamkan akhlaq sejak dini dalam menghadapi persoalan seksual agar terhindar dari pergaulan bebas ketika anak mulai memasuki dunia remaja, dewasa, dan seterusnya. Dalam hal ini, orang tua dapat mulai untuk memberikan pendidikan seks ini sejak anak berusia dini sekalipun dengan berbagai strategi atau cara yang dianggap tepat untuk anaknya. Dengan demikian, berbagai pengaruh negatif dari luar akan dapat dinetralisir jika orang tua sejak dini senantiasa memberikan bimbingan dan pendidikan yang baik kepada anaknya.

2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Persepsi

Persepsi seseorang tidak timbul begitu saja. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi timbulnya persepsi, menurut Mahmud (1990) persepsi hampir 90% dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman sensoris


(30)

20

sehari-hari dengan kebiasaan terdahulu yang di ulang-ulang. Menurut Walgito (2002) dan Jalaluddin (2001) faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi yaitu objek yang dipersepsi, alat indera serta perhatian. Menurut Siagian (2004) ada 3 faktor yang bisa menimbulkan persepsi yaitu:

a. Diri Orang yang Bersangkutan Sendiri

Apabila seseorang melihat sesuatu dan berusaha memberikan interprestasi tentang apa yang dilihatnya itu, ia dipengaruhi oleh karakteristik individual yang turut berpengaruh seperti sikap, motif, kepentingan, minat, pengalaman dan harapannya. Persepsi seseorang terhadap pendidikan seks juga tergantung pada hal-hal tersebut diatas. Sikap, motif, kepentingan, minat, pengalaman, dan harapannya seseorang terhadap pendidikan seks dapat dilihat dari persepsi yang dihasilkan apakah positif atau negatif.

b. Sasaran Persepsi

Sasaran mungkin berupa orang, benda, atau peristiwa. Sifat-sifat sasaran biasanya berpengaruh terhadap persepsi orang yang melihatnya. Sasaran pendidikan seks bukan hanya remaja saja, namun juga anak-anak dini sekalipun, hal ini menimbulkan persepsi pada orang tua yang menggaggap perlu diberikannya pendidikan seks untuk mencegah anak melakukan hal-hal yang tidak di inginkan. Jadi sudah jelas dapat dikatakan bahwa sasaran dapat menimbulkan persepsi yang berbeda dari orang yang melihatnya.


(31)

21

c. Faktor Situasi

Persepsi harus dilihat secara konstektual yang berarti dalam situasi di mana persepsi itu timbul haruslah mendapat perhatian. Situasi merupakan faktor yang berperan dalam menimbulkan persepsi seseorang. Misalnya pendidikan seks, apabila diberikan pada situasi di mana lingkungan menganggap seks adalah hal yang tabu, jelek, kotor, persepsi yang mungkin timbul akan negatif. Tapi situasi dimana lingkungan sudah menyadari pentingnya pendidikan seks diberikan pada anak, maka persepsi positif akan timbul.

B. Pendidikan Seks

1. Pengertian Pendidikan Seks

Pendidikan merupakan proses mengubah sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (Kamus BesarBahasa Indonesia, 2001). Seksual secara umum adalah sesuatu yang berkaitan dengan alat kelamin atau hal-hal yang berhubungan dengan perkara hubungan intim antara laki-laki dengan perempuan (Safita, 2013).

Menurut Roqib (2008) Pendidikan seks merupakan upaya transfer pengetahuan dan nilai (knowledge and values) tentangfisik-genetik dan fungsinya khususnya yang terkait dengan jenis (sex) laki-laki dan perempuan sebagai kelanjutan dari kecenderungan primitif makhluk hewan dan manusia yang tertarik dan mencintai lain jenisnya. Pendidikan seks adalah upaya pengajaran, penyadaran, dan penerangan tentang


(32)

22

masalah-masalah seksual yang diberikan pada anak, dalam usaha menjaga anak terbebas dari kebiasaan buruk serta menutup segala kemungkinan ke arah hubungan seksual terlarang. Pengarahan dan pemahaman yang sehat tentang seks dari aspek kesehatan fisik, psikis, dan spiritual.

Menurut Suryadi (2007) (dalam Nugraha, 2014), pendidikan seks merupakan usaha pemberian informasi kepada anak tentang kondisi fisiknya sebagai perempuan dan laki-laki, dan konsekuuensi psikologis yang berkaitan dengan kondisi tersebut. Secara umum, pendidikan seks terdiri atas penjelasan tentang organ reproduksi, kehamilan, tingkah laku seksual, alat kontrasepsi, kesuburan dan menopouse, serta penyakit kelamin (Nugraha, 2014).

Pendidikan Seks (sex education) adalah suatu pengetahuan yang mengajarkan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan jenis kelamin. Hal ini mencakup mulai dari pertumbuhan jenis kelamin (Laki-laki atau wanita). Bagaimana fungsi kelamin sebagai alat reproduksi, bagaimana perkembangan alat kelamin itu pada wanita dan pada laki-laki, tentang menstruasi, mimpi basah dan sebagainya, sampai kepada timbulnya birahi karena adanya perubahan pada hormon-hormon, Termasuk nantinya masalah perkawinan, kehamilan dan sebagainya. Selain menerangkan tentang aspek-aspek anatomi dan biologis pendidikan seksual juga menerangkan aspek-aspek psikologis dan moral,


(33)

23

dan pendidikan seksual yang benar harus memasukkan unsur-unsur hak asasi manusia (Safita, 2013).

Pendidikan seks harus dianggap sebagai bagian dari proses pendidikan, dengan demikian memiliki tujuan untuk memperkuat dasar-dasar pengetahuan dan pengembangan kepribadian. Dengan kata lain pendidikan seks adalah bagian integral dari usaha-usaha pendidikan pada umumnya. Melalui pendidikan seks ini diusahakan timbulnya sikap emosional yang sehat dan bertanggung jawab terhadap seks. Seks tidak dianggap sebagai sesuatu yang kotor, menjijikkan, bahkan tabu, melainkan sebagai fungsi penting dan luhur dalam kehidupan manusia. Pendidikan seks diharapkan mampu mengurangi ketegangan-ketegangan yang timbul karena menganggap seks adalah sesuatu yang kabur, mencemaskan, bahkan menakutkan. Dengan adanya pendidikan seks ini juga diharapkan mampu mengurangi keingintahuan yang berlebihan terhadap kegiatan seks (Gunarsa, 2001).

Menurut Ulwan (1995), ruang lingkup pendidikan seks tidak hanya mengajarkan mengenai seksualitas, tetapi juga berhubungan dengan aspek moral, etika, hukum, budaya, dan perilaku sosial. Oleh sebab itu, pendidikan seks, seperti ditegaskan Sarwono (2004) dapat digunakan sebagai cara untuk mengurangi atau mencegah penyalahgunaan seks, khususnya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang tidak diharapkan seperti kehamilan yang tidak


(34)

24

direncanakan, penyakit menular seksual, depresi dan perasaan berdosa (Fajar, 2014).

Dari berbagai penjelasan tentang pengertian pendidikan seks di atas, dapat diambil sebuah kesimpulan tentang pendidikan seks terkait konsep penelitian ini adalah bahwa pendidikan seks merupakan usaha yang dilakukan untuk memberikan informasi yang benar kepada anak tentang seks, di mana ruang lingkupnya tidak hanya sekedar menjelaskan tentang (kondisi fisik) saja, melainkan juga tentang konsekuensi psikologis dari kondisi tersebut, mengajarkan moral, etika, dan perilaku sosial yang baik kepada anak. Pendidikan seks ini diberikan dengan harapan agar anak memperoleh informasi yang benar tentang seks, menanamkan akhlaq sejak dini dalam menghadapi persoalan seksual agar terhindar dari pergaulan bebas ketika anak mulai memasuki dunia remaja, dewasa, dan seterusnya.

2. Waktu Tepat Memberikan Pendidikan Seks Anak Usia Dini

Selanjutnya, untuk menentukan kapan seharusnya pendidikan seks atau pengenalan tentang seks ini diberikan pada anak yakni sebagaimana juga dalam pendidikan, maka pendidikan seks merupakan suatu proses yang berkesinambungan. Selain itu sulit untuk ditentukan dengan pasti kapan harus mulai diberikan. Dalam rangka melaksanakan pendidikan seks hendaknya tidak disempitkan artinya sebagai sekedar pembicaraan tentang seks saja, melainkan hal-hal lain yang berhubungan dengan proses-proses perkembangan dan kehidupan seks.


(35)

25

Dlihat dari sudut tersebut, maka proses pendidikan seks dapat diberikan sejak anak usia dini sekalipun, di mana pada saat seorang anak mulai bertanya tentang seks, misalnya : Mengapa alat kelaminya berbeda dengan alat kelamin saudaranya?. Akan tetapi pendidikan seks diberikan tidak selalu harus menunggu sampai timbul pertanyaan dari si anak, melainkan dapat direcanakan orang tua sesuai dengan keadaan dan kebutuhan si anak. Sedikitnya sebelum seorang anak memasuki dunia remaja, di mana proses kematangan timbul harus sudah diberikan, misalnya anak perempuan sebelum mengalami haid pertama kali, atau anak laki-laki sebelum keluar mani pertama kali akan lebih mudah untuk membicarakan masalah seks sebelum anak itu mengalami kematangan seksnya. Karena akan lebih terbuka, dan anak bisa mengurangi rasa malunya. Selain itu juga lebih baik mendahului menerangkan sebelum anak mendapatkan informasi dari orang lain yang mungkin memberikan informasi yang salah karena hanya berfokus pada soal seks saja (Gunarsa, 2001).

Selanjutnya, Dr. Rose Mini AP, M.Psi menyatakan bahwa pengetahuan mengenai seksualitas bagi anak wajib diberikan orangtua sedini mungkin, terutama saat anak masuk play group (usia 3-4 tahun). Tujuannya, agar mereka mengenal persamaan dan perbedaan antara pribadi seorang anak laki-laki dan perempuan, sehingga anak mampu mengenali diri mereka dengan baik. Untuk


(36)

26

merealisasikan pelaksanaan pendidikan seks usia dini dibutuhkan keterlibatan semua pihak (Fajar, 2014).

3. Tujuan Pendidikan Seks Anak Usia Dini

Melalui pendidikan seks ini diusahakan timbulnya sikap emosional yang sehat dan bertanggung jawab terhadap seks. Seks tidak dianggap sebagai sesuatu yang kotor, menjijikkan, bahkan tabu, melainkan sebagai fungsi penting dan luhur dalam kehidupan manusia. Pendidikan seks diharapkan mampu mengurangi ketegangan-ketegangan yang timbul karena menganggap seks adalah sesuatu yang kabur, mencemaskan, bahkan menakutkan. Dengan adanya pendidikan seks ini juga diharapkan mampu mengurangi keingintahuan yang berlebihan terhadap kegiatan seks (Gunarsa, 2001).

Adapun tujuan lain yang ingin dicapai dalam memberikan pendidikan seks kepada anak menurut islam adalah sebagai berikut: a. Penanaman dan pengukuhan akhlak sejak dini kepada anak dalam

menghadapi masalah seksual agar tidak mudah terjerumus pada pergaulan bebas. Diharapkan mereka mampu membentengi diri dalam menghadapi perubahan-perubahan dorongan seksual secara islami.

b. Membina keluarga dan menjadi orang tua yang bertanggung jawab terhadap masa depan seksual anaknya. Dalam hal ini orang tua dapat memberikan contoh berperilaku yang baik kepada anak-anak dalam keseharian.


(37)

27

c. Sebagai upaya preventif dalam kerangka moralitas agama untuk menghindari anak dari pergaulan bebas dan penyimpangan seksual. d. Membekali anak dengan informasi yang benar dan tanggung jawab

tentang seks agar mereka terhindar informasi dari sumber-sumber

yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Misalnya,

memperkenalkan anak tentang nama-nama anggota tubuh dengan benar (vagina milik perempuan dan penis milik laki-laki), memperkenalkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan, dan lain sebagainya.

e. Memahami sejak dini tentang perbedaan mendasar antara anatomi pria dan wanita serta peran masing-masing gender dalam reproduksi manusia (El-Qudsy, 2012).

4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Orang Tua dalam Memberikan Pendidikan Seks pada Anak Usia Dini

Walker (2001) dalam penelitiannya yang dilakukan pada orang tua di Inggris, untuk melihat komunikasi antara orang tua dan anak dalam membicarakan mengenai seks. Walker menemukan faktor-faktor yang dapat meningkatkan dan membatasi komunikasi antara orang tua dan anak yang saling terkait dalam pendidikan seks.

a. Faktor pembatas keterlibatan orang tua dalam pendidikan seks termasuk :

1. Kurangnya kesadaran akan kebutuhan anak mereka untuk pendidikan seks.


(38)

28

2. Tidak melihat pendidikan seks sebagai bagian dari peran orang tua mereka.

3. Perasaan malu yang mengelilingi seluruh pengalaman dalam membicarakan hal-hal seksual.

4. Ketidakpastian tentang apa yang mereka harus tahu, lakukan dan katakan sebagai orang tua.

5. Kesalahpahaman umum dan sosial harapan bahwa orang tua harus memberi anak mereka bicara seks yang formal.

b. Faktor yang meningkatkan pendidikan seks yang ditentukan menjadi:

1. Rangsangan yang memicu kesempatan selama kehidupan

keluarga yang sibuk.

2. Menolak gagasan bahwa masalah kesehatan seksual dalam keluarga adalah tabu.

3. Komunikasi terbuka antara orang tua dan lingkungan sekolah. 4. Akses terhadap informasi dan sumber (Walker, 2001).

C. Anak Usia Dini

1. Pengertian Usia Dini

Anak usia dini disebut juga anak usia pra-sekolah, di mana usia ini merupakan fase perkembangan individu sekitar 2-6 tahun, ketika anak mulai memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai perempuan atau laki-laki, dapat mengatur diriya sendiri dan mengenal bebrapa hal yang dianggap berbahaya. Anak usia pra sekolah adalah anak yang berusia 3


(39)

29

sampai 6 tahun (Supartini, 2004 dan Hasan, 2009). Usia dini berlangsung dari umur dua tahun sampai 6 tahun, masa ini dimulai sebagai penutup masa bayi, di mana masa ketergantungan secara praktis sudah dilewati, dan diganti dengan tumbuhnya kemandirian dan berakhir di sekitar usia masuk sekolah dasar (Hurlock, 1980).

Pada anak usia dini atau pra sekolah pertumbuhan berlangsung secara stabil, terjadi perkembangan dengan aktivitas jasmani yang bertambah dan meningkatnya keterampilan. Ketika anak berada pada usia ini akan mengalami pertumbuhan dalam tinggi dan berat badan (Santrock, 2002). Selain itu, masa pra sekolah dapat dikatakan juga sebagai masa bermain, di mana dalam masa ini anak-anak merasakan kebahagiaan dan amat memuaskan dari seluruh masa kehidupan anak (Hawadi, 2001).

Dari beberapa penjelasan mengenai pengertian anak usia dini di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa anak usia dini merupakan fase perkembangan individu sekitar 2-6 tahun, di mana anak mulai memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai perempuan atau laki-laki, dapat mengatur diriya sendiri dan mengenal bebrapa hal yang dianggap berbahaya. Dalam masa ini anak-anak dapat merasakan kebahagiaan yang amat memuaskan dari seluruh masa kehidupan.


(40)

30

2. Karakteristik / Ciri-ciri Anak Usia Dini

Adapun ciri-ciri tertentu dari periode awal masa kanak-kanak, ciri-ciri ini tercermin dalam sebutan yang biasanya diberikan oleh para orang tua, pendidik dan ahli psikologi. Adapun cirinya sebagai berikut :

a. Sebutan yang digunakan oleh orang tua

Sebagian para orang tua menganggap bahwa awal masa kanak-kanak sebagai usia yang mengundang masalah. Dengan datangnya masa kanak-kanak ini sering terjadi masalah perilaku yang lebih menyulitkan daripada masalah perawatan pisik pada masa bayi. b. Sebutan yang digunakan oleh para pendidik

Para pendidik menyebut tahun-tahun awal masa kanak-kanak ini sebagai masa pra sekolah untuk membedakannya dari saat di mana anak dianggap cukup tua, baik secara fisik maupun mental, untuk menghadapi tugas-tugas pada saat mereka mulai mengikuti pendidikan formal.

c. Sebutan yang digunakan oleh ahli psikologi

Para ahli psikologi memberikan beberapa sebutan yang berbeda untuk menguraikan ciri-ciri yang menonjol dari perkembangan psikologis anak selama tahun-tahun awal masa kanak-kanak. Salah satu sebutan yang banyak digunakan adalah usia kelompok, masa dimana anak-anak mempelajari dasar-dasar perilaku sosial yang lebih tinggi yang diperlukan untuk penyesuaian diri pada waktu mereka masuk kelas satu. Sebutan yang selanjutnya adalah usia


(41)

31

bertanya, di mana anak-anak menggunakan salah satu cara yang umum dalam menjelajahi lingkungannya adalah dengan cara bertanya (Hurlock, 1980).

Anak usia dini atau pra sekolah memiliki karakteristik sebagai individu yang ingin tahu, mereka menanyakan serentetan pertanyaan. Pertanyaan anak-anak yang paling awal nampak kira-kira pada usia 3 tahun, dan pada usia 5 tahun mereka mulai membuat orang-orang dewasa disekitarnya lelah menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka “mengapa”, “bagaimana”, “kapan”, dan sebagainya. Dari pertanyaan-pertanyaan itulah mereka sebenarnya mennjukkan perkembangan mental merekadan mencerminkan rasa keingintahuan yang tinggi. Pada usia dini rasa ingin tahu yang pertama kali muncul adalah mengenai perbedaan struktur tubuh antara anak laki-laki dan perempuan serta anak-anak dan dewasa (Santrock, 2002).

Pada masa pra sekolah, anak memiliki karakteristik yang khas, baik secara fisik, psikis, sosial, moral dan sebagainya. Sebab masa kanak-kanak adalah masapembentukan fondasi dan dasar kepribadian yang akan menentukan pengalaman anak selanjutnya. Pengalaman yang dialami anak pada masa ini akan berpengaruh kuat terhadap kehidupan selanjutnya. Pengalaman tersebut akan bertahap lama, bahkan tidak dapat terhapuskan.


(42)

32

3. Tugas perkembangan Anak Usia Dini

Adapun tugas-tugas perkembangan yang harus terpenuhi pada usia dini adalah sebgai berikut :

a. Belajar makan makanan padat

Pada saat masa bayi berakhir, normal telah belajar makanan-makanan padat, dan mencaai tingkat stabilitas fisiologis yang cukup baik, dan akan disempurnakan setahun atau dua tahunan lagi.

b. Belajar berjalan

Begitupun dengan berjalan, pada masa akhir bayi, bayi normal telah melakukan proses berjalan meskipun dalam tingkat kecakapan yang berbeda.

c. Belajar mengendalikan pembuangan kotoran tubuh

Tugas pokok dalam mengendalikan pembuangan kotoran tubuhsudah hampir sempurna dan akan sepenuhnya dikuasai dalam waktu setahun atau dua tahun lagi.

d. Belajar berbicara

Meskipun sebagian besar bayi telah menambah kosa kata yang berguna, dapat mengerti dari pertanyaan dan perintah secara sederhana, dan dapat menyambungkan beberapa kata menjad satu

kalimat yang berarti. Meskipun demikian, untuk dapat


(43)

33

dalam taraf yang redah.masih banyak yang harus dikuasai sebelum mereka masuk sekolah.

e. Mempelajari perbedaan seks dan tata caranya

Dalam hal ini mereka sudah mempunyai pengetahuan sederhana mengenai kenyataan sosial dan fisik, namun masih sangat kurang. Hanya sedikit bayi yang mengetahui tentang perbedaan seks lebih dari sekedar unsur dasarnya, dan sedikit lagi yang mngetahui tentang sopan santun seksual. Masih diragukan apakah setiap bayi yang memasuki awal masa kanak-kanak benar-benar mengerti mengenai penampilan seks yang benar.

f. Belajar membedakan yang benar dan yang salah, dan mulai mengembangkan hati nurani sebagai bimbingan untuk berperilaku benar dan salah. Hati nurani berfungsi sebagai motivasi anak-anak untuk melakukan apa yang diketahuinya sebagai hal yang salah bilamana mereka sudah terlalu besar untuk selalu diawasi orang tua atau pengganti orang tua (Hurlock, 1980).

4. Perkembangan Sosialisasi Anak Usia Dini

Dasar untuk sosialisasi diletakkan dengan meningkatnya hubungan antara anak dengan teman-teman sebayanya dari tahun-ke tahun. Anak tidak hanya lebih bermain bersama teman-temannya saja, tetapi juga lebih banyak berbicara. Jenis sosial lebih penting dari jumlahnya. Jika anak menyenangi hubungan dengan orang lain meskipun hanya kadang-kadang saja, nama sikap terhadap kontak sosial akan lebih


(44)

34

baik daripada hubungan sosial yang sering tetapi sifat hubungannya kurang baik. Antara usia dua tahun dan tiga tahun, anak menunjukkan minat yang nyata untuk melihat anak-anak lain dan berusaha mengadakan kontak sosial dengan mereka. Pada masa ini merupakan tahap perkembangan yang kritis, karena pada masa inilah sikap dasar sosial dan pola perilaku anak akan dibentuk (Hurlock, 1980).

5. Perkembangan Moral Anak Usia Dini

Kohlberg merincikan dan meluaskan tahap-tahap perkembangan moral piaget dengan memasukkan dua tahapan dari tingkat perkembangan prakonvesional. Dalam tahap pertama, anak-anak berorientasi patuh-dan-hukum dalam arti ia menilai benar salahnya perbuatan berdasarkan aibat-akibat fisik dari perbuatan itu. Dalam tahap kedua anak-anak menyesuaikan diri dengan harapan sosial agar memperoleh pujian. Berakhirnya masa awal kanak-kanak, kebiasaan untuk patuh harus dibentuk agar anak-anak mempunyai disiplin yang konsisten. Namun, dalam hal ini, anak-anak belum mampu mengembangkanhati nuraninya sehingga ia tidak merasa bersalah atau malu bila melakukan sesuatu yang diketahuinya sebagai sesuatu yang salah. Malah untuk mneghindari hukuman ia berusaha membenarkan perbuatannya (Hurlock, 1980).

Selain perkembangan di atas, anak juga akan mengalami perkembangan gender. Gender merupakan salah satu aspek penting yang memengaruhi perkembangan sosial pada masa awal anak-anak. Istilah


(45)

35

gender dimaksudkan sebagai tingkah laku dan sikap yang diasosiasikan dengan laki-laki atau perempuan. Kebanyakan anak mengalami sekurang-kurangnya tiga tahap dalam perkembangan gender.

Pertama, anak mengembangkan kepercayaan tentang identitas

gender, yaitu rasa laki-laki atau perempuan. Kedua, anak

mengembangkan keistimewaanya gender, sikap tentang jenis kelamin mana yang mereka kehendaki. Ketiga, mereka memperoleh ketetapan gender, suatu kepercayaan bahawa jenis kelamin seseorang ditetukan secara bilogis, permanen, dan tak berubah-rubah (Hurlock, 1980).

Selanjutnya, jika anak-anak sudah mulai mengenal perbedaan antara laki-laki dan peempuan, maka mereka akan ingin mengerti apa arti perbedaan tersebut, dan apa penyebabnya. Anak-anak akan menyetakan minatnya terhadap tubuh dengan memberikan komentar tentang berbagai bagian tubuh dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Jika hal itu dianggapnya belum memuaskan, maka ia akan memeriksa bagian tubuh temannya bermainnya. Tidak ada yang lebih menarik dari pada proses pembuangan air kecil dan anak akan memperhatikan dengan penuh minat setiap kali ia masuk ke kamar kecil (Hurlock, 1980). Adapun minat anak terhadap seks, salah satunya ditunjukkan dengan munculnya berbagai keingintahuan mengenai asal-usul bayi yang sangat besar, mereka berusaha bertanya tentang maslah ini untuk memeroleh sebuah jawaban. Beberapa anak yakin bahwa bayi itu datang dari surga, tetapi sebagian


(46)

36

besar anak menganggap bayi itu berasal dari rumah sakitatau toko, atau dibawa burung bangau (Hurlock, 1980).

Banyak anak memperlihatkan minat terhadap seks dengan membicarakannya dengan teman-teman bermainnya. Kalau tidak ada orang dewasa di sekelilingnya, maka mereka akan melihat gambar-gambar pria dan wanita dewasa dalam pose yang merangsang. Karena banyak orang tua yang menganggap bahwa permainan seks itu perbuatan nakal, maka aktivitas seperti itu dilakukan degan cara sembunyi (Hurlock, 1980).

6. Perkembangan Seksual Anak Usia Dini

Menurut Freud (dalam Kartono, 1995), rentang usia antara 3 – 6 tahun anak berada pada tahap phallic. Selama tahap phallic kenikmatan berfokus pada alat kelaminnya. Kenikmatan masturbasi serta kehidupan fantasi anak yang menyertai aktivitas auto-erotik membuka jalan bagi tumbulnya Oedipus Complex. Dimana anak laki -laki ingin memiliki ibunya dan menyingkirkan ayahnya, sedangkan anak perempuan ingin memiliki ayahnya dan menyingkirkan ibunya. Perasaan-perasaan ini menyatakan diri dalam khayalan pada waktu anak melakukan masturbasi (Kartono, 1995).

Pada usia 3 sampai 4 tahun anak sudah mulai menyadari tentang perbedaan alat kelamin yang berbeda antara anak laki-laki dengan anak perempuan serta menanyakan mengenai perbedaan tersebut. Pertanyaan yang sering muncul pada usia ini adalah “dari mana


(47)

37

datangnya bayi”. Perilaku seksual yang biasanya muncul pada anak yang berusia kurang dari 4 tahun adalah : (1) Menyentuh bagian-bagian pribadi mereka di depan umum, (2) Menggosokgosokkan bagian pribadi mereka dengan tangan atau benda yang lain, (3) Mencoba untuk menyentuh paya dara Ibu atau wanita lain, (4) Mencoba untuk melepas baju mereka di depan umum, (5) Mencoba untuk melihat orang lain yang sedang telanjang dan (6) Mengajukan pertanyaan tentang bagian-bagian tubuh mereka beserta fungsinya. Pada usia 4 – 6 tahun perilaku seksual yang pada umumnya muncul adalah : (1) Menjelajah bagian-bagian tubuh mereka sendiri dengan teman- teman seusianya, misalnya dengan bermain “dokter-dokteran”, (2) Meniru perilaku orang dewasa, misalnya mencium, memegang tangan teman lawan jenisnya, (3) Menyebutkan organ-organ vitalnya dengan istilah mereka sendiri (Santrock, 2002) .

D. Kerangka Teori

Dalam penelitian ini, peneliti mengambil tema terkait pendidikan seks untuk anak usia dini. Dalam hal ini peneliti mengambil subjek orang tua yaitu ibu selaku orang tua dari anak dengan objek penelitian bagaimana persepsi orang tua dalam memberikan pendidikan seks untuk anaknya. Sehingga dalam hal ini akan ditemukan bentuk tindakan orang tua ketika memberikan pendidikan seks kepada anaknya sesuai dengan persepsi yang telah dibangun sesuai dengan apa yang dipercayainya.


(48)

38

Selanjutnya alasan mengapa pemberian pendidikan seks ini seharusnya diberikan oleh orang tua adalah karena usia dini adalah usia keemasan atau dengan istilah lain Golden Age, adalah masa-masa penting, dimana orang tua dan lingkungan sekitarnya sangatlah mendukung untuk membentuk kehidupan anak selanjutnya, dimana anak adalah peniru terhebat didunia, betapapun tidak peduli ia terhadap apa yang terjadi di lingkungan ini, anak sebenarnya sedang memperhatikan apa yang sedang dilakukan oleh orang tua (Nugroho, 2014). Dalam hal ini para ahli yang berkecimpung di dunia anak, pada umumnya sependapat bahwa pendidik terbaik anak adalah orang tuanya sendiri, termasuk dalam hal ini adalah pendidik dalam bidang seks. Oleh sebab itu, peran orang tua akan bermain lebih besar dalam hal ini (Gunarsa, 2001).

Pendidikan seks untuk anak baiknya diberikan ketika anak memasuki usia dini (2-6 tahun), usia dini adalah usia keemasan atau dengan istilah lain

Golden Age, adalah masa - masa penting, dimana peran orang tua dan lingkungan sekitarnya sangatlah mendukung untuk membentuk kehidupan anak selanjutnya, dimana anak adalah peniru terhebat di dunia, betapapun tidak peduli ia terhadap apa yang terjadi di lingkungan ini, anak sebenarnya sedang memperhatikan apa yang sedang dilakukan oleh orang tua (Nugroho, 2014). Pada masa ini pendidikan seks sendiri sangat berpengaruh dalam perkembangan kehidupan anak ketika memasuki masa remaja dan selanjutnya. Selain itu, pendidikan seks yang diberikan sejak anak usia dini sangat tepat, di mana dalam usia ini anak-anak sangat kritis


(49)

39

dari segi pertanyaan dan tingkah lakunya untuk menjelajahi lingkungannya, oleh sebab itu masa ini disebut dengan ‘masa bertanya’. Itu semua karena pada masa ini anak-anak memiliki rasa keingintahuan yang besar (Hurlock, 1980).

Karakteristik perkembangan anak usia dini terkait dengan perkembangan seksualitas anak menurut Freud (Santrock, 2002) rentang usia antara 3-6 tahun anak berada pada tahap phallic. Selama tahap phallic kenikmatan berfokus pada alat kelaminnya. Kenikmatan masturbasi serta kehidupan fantasi anak yang menyertai aktivitas auto-erotik membuka jalan bagi tumbulnya Oedipus Complex. Dimana anak laki -laki ingin memiliki ibunya dan menyingkirkan ayahnya, sedangkan anak perempuan ingin memiliki ayahnya dan menyingkirkan ibunya. Perasaan-perasaan ini menyatakan diri dalam khayalan pada waktu anak melakukan masturbasi (Kartono, 1995).

Pada usia 3 sampai 4 tahun anak sudah mulai menyadari tentang perbedaan alat kelamin yang berbeda antara anak laki-laki dengan anak perempuan serta menanyakan mengenai perbedaan tersebut. Pertanyaan yang sering muncul pada usia ini adalah “dari mana datangnya bayi”. Perilaku seksual yang biasanya muncul pada anak yang berusia kurang dari 4 tahun adalah : (1) Menyentuh bagian-bagian pribadi mereka di depan umum, (2) Menggosokgosokkan bagian pribadi mereka dengan tangan atau benda yang lain, (3) Mencoba untuk menyentuh paya dara Ibu atau wanita lain, (4) Mencoba untuk melepas baju mereka di depan umum, (5) Mencoba


(50)

40

untuk melihat orang lain yang sedang telanjang dan (6) Mengajukan pertanyaan tentang bagian-bagian tubuh mereka beserta fungsinya. Pada usia 4 – 6 tahun perilaku seksual yang pada umumnya muncul adalah : (1) Menjelajah bagian-bagian tubuh mereka sendiri dengan teman- teman seusianya, misalnya dengan bermain “dokter-dokteran”, (2) Meniru perilaku orang dewasa, misalnya mencium, memegang tangan teman lawan jenisnya, (3) Menyebutkan organ-organ vitalnya dengan istilah mereka sendiri (Santrock, 2002).

Dalam melakukan pendidian seks untuk anak usia dini oleh orang tua dalam penelitian ini memiliki batasan-batasan tertentu disesuaikan dengan usia dan tingkat pemahaman si anak. Pendidikan seks untuk anak usia dini di sini memiliki esensi dengan tingkatan sederhana sesuai dengan tingkat usia dan pemahaman anak usia dini. Dalam hal ini berupa pengenalan kepada anak tentang bentuk fisik dan pengajaran moral. Terkait pengenalan fisik di sini adalah mengenalkan dan mengajarkan kepada anak tentang bagian-bagian tubuh manusia, seperti memperkenalkan bagian anggota tubuh dan fungsinya yang paling sederhana : mata, telinga, hidung, mulut, rambut, tangan, kaki dan sebagainya hingga ke bagian yang lebih intim yaitu bagian alat kelamin. Memperkenalkan perbedaan antara perempuan dan laki-laki yang nampak atau terlihat oleh mata, misalnya menjelaskan kepada anak terkait pakaian antara laki-laki dan perempuan, di mana jika laki-laki memakai sarung, peci, dan kemeja ketika sholat, sedangkan perempuan memakai mukenah ketika


(51)

41

sholat. Jika anak perempuan memakai anting dan laki-laki tidak diperbolehkan memakai anting, dan lain-lain.

Sedangkan untuk mengajarkan tentang moral kepada anak usia dini disini bisa dimulai dengan mengajarkan tentang perbuatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anak ketika berada di tempat umum, misalnya mengajarkan anak ketika membuang air kecil dibiasakan di kamar mandi, mengajarkan anak untuk menjaga ucapannya, jangan sampai mengucap kata-kata kotor. Selain itu juga memperkenalkan dan mengajarkan anak tentang sholat, serta perbuatan baik lainnya.

Dari pemaparan krangka pemikiran di atas, dapat dikatakan bahwa memang sangat penting dan baik sekali jika pendidikan seks sejak usia dini segera diberikan oleh orang tua yang memiliki peran utama dalam mendidi anak-anaknya, dengan tujuan agar anak memiliki pengetahuan yang besar serta memahami terhadap masalah seksualitas yang benar. Anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik tanpa harus melakukan penyimpangan moral dan penyimpangan seksual yang kini kian merajalela di kalangan remaja dan anak-anak sekalipun. Selain itu anak juga mendapatkan ajaran untuk dapat menjaga dan mengantisipasi dirinya dari kejahatan-kejahatan seksual.


(52)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, di mana esensi dari kualitatif sendiri adalah untuk memahami sesuatu fenomena berdasarkan sudut pandang sekelompok orang lain atau komunitas tertentu dalam setting

alamiah. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Creswell (2010), penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian ilmiah yang lebih dimaksudkan untuk memahami masalah-masalah manusia dalam konteks sosial dengan menciptakan gambaran menyeluruh dan kompleks yang disajikan, melaporkan pandangan terperinci dari para sumber informasi, serta dilakukan dengan setting alamiah tanpa adanya intervensi apapun dari peneliti (Herdiansyah, 2010).

Jenis atau strategi yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini adalah fenomenologi. Fenomenologi menjadi strategi dalam penelitian ini, karena fenomenologi lebih ditunjukan untuk mendapatkan kejelasan dari fenomena dalam situasi natural yang dialami oleh individu setiap harinya daripada melakukan reduksi dari suatu fenomena dengan mencari keterkaitan atau hubungan sebab akibat dari variabel. Fenomenologi berusaha untuk mengungkap dan mempelajari serta memahami suatu fenomena beserta konteksnya yang khas dan unik yang dialami oleh individu hingga tataran “keyakinan” individu yang bersangutan (Herdiansyah, 2010). Dalam konteks


(53)

43

penelitian yang akan dikaji ini fokus utamanya adalah Persepsi Orang Tua Tentang Pendidikan Seks Anak Usia Dini.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Daerah Gresik khususnya Desa Ujungpangkah dan Sidayu, karena di desa ini dijumpai banyak ibu-ibu ketika sedang nimbrung di rumah-rumah tetangga, dalam pelatihan-pelatihan guru, dan ketika sedang dalam kegiatan PKK banyak membahas bersama terkait strategi apa yang tepat dalam memberikan pendidikan seks untuk anak-anaknya sebagai usaha pencegahan dan melindungi anak-anak-anaknya dari berbagai kasus pelecehan seksual anak yang sedang marak terjadi saat ini. Hal ini yang menjadi alasan mengapa peneliti memilih lokasi tersebut. Selanjutnya, proses penelitian akan dilakukan di kediaman subjek atau menyesuaikan keinginan subjek yang akan diwawancarai demi kenyamanan subjek.

C. Sumber Data

Subjek penelitian ini adalah ibu- ibu yang memiliki anak usia dini yang berkisar usia 3-6 tahun, baik ibu yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga atau ibu yang memiliki profesi lain. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 3 subjek key informan (informan pelaku) serta 3 significant

others(informan tahu). Subjek akan di wawancara dengan beberapa

pertanyaan yang telah disiapkan, nantinya akan dilengkapi dengan dokumentasi (foto, rekaman audio, dan lain-lain) sebagai data pendukung. Untuk kriteria lanjutan sebagai subjek penelitian adalah sebagai berikut:


(54)

44

1. Ibu berusia 23- 45 tahun

2. Memiliki anak usia dini (3-6 tahun) 3. Bersedia untuk di wawancara

Dari beberapa kriteria di atas, di dapat 3 (tiga) subjek utama dan 3 (tiga) subjek sebagai significant others (informan tahu). Diantaranya sebagai berikut beserta alasan pemilihan subjek :

1. Ibu Khoiriyyah (43 tahun), merupakan ibu rumah tangga. Subjek mememiliki anak laki-laki bernama Arka (4 tahun) bersekolah di TK Islamiyyah Ujungpangkah Gresik, beliau beralamat di jalan Suaka Burung Rt 05/Rw 07 Pangkah Kulon Ujungpangkah Gresik. Selanjutnya yang bersedia menjadi informan tahu di sini adalah bibi dari subjek yang merupakan anak perempuan dari ibunya subjek, namanya Ibu zaidatin (56 tahun), merupakan ibu rumah tangga dan serumah sama beliau.

Alasan memilih subjek ini, karena subjek mengaku sering menyempatkan waktu berkumpul dengan keluarga untuk menonton televisi bersama, melihat berbagai berbagai berita televisi tentang kasus-kasus kriminalitas dan seksualitas yang kini marak terjadi. Dapat dilihat betapa antusiasnya subjek untuk mengetahui berita-berita tersebut, memahaminya, dan berusaha memberikan ajaran moral yang baik pada anaknya terhindar dari hal itu. Subjek dan bibinya tersebut benar-benar bersedia diwawancarai dengan suka rela tanpa adanya paksaan.


(55)

45

2. Ibu Nurul Afiyah (23 tahun) merupakan ibu rumah tangga, memiliki anak perempuan bernama Alin (5 tahun) bersekolah di TK Al-Muniroh Ujungpangkah Gresik, Bu Nurul ini beralamat di jalan Sitarda Ujungpangkah Gresik. Selanjutnya yang bersedia menjadi informan tahu di sini adalah Vita (22 tahun) yang merupakan sepupu perempuan dari subjek, dan juga tinggal di rumahnya.

Alasan memilih ibu Nurul ini, karena subjek suka berkumpul dengan ibu-ibu lainnya ketika menunggui anaknya di sekolah, subjek dan ibu lainya berbincang-bincang terkait berita-berita yang sedang marak terjadi, tidak terkecuali membahas tentang berita-berita yang banyak tayang di televisi terkait pelecehan seksual anak dan lainnya. Hal ini menarik untuk menjadikan subjek sebagai subjek penelitian untuk menggalih data terkait pendidikan seks pada anak, dimungkinkan beliau telah memahami dan memiliki strategi khusus dalam melakukan pendidikan seks untuk puterinya. Dalam hal ini subjek tersebut benar-benar bersedia diwawancarai dengan suka rela tanpa adanya paksaan.

3. Ibu Siti Juwariyah.S.Pd (34 tahun) memiliki profesi guru di Tk Darul Ikhlas Sidayu Gresik , memiliki anak perempuan bernama Roudhotul Islamiyah (4 tahun) dan bersekolah di TK Darul Ikhlas Sidayu Gresik. Subjek beralamat jl. Pendidikan Rt 01/Rw 01 Desa Sidomulyo Kec. Sidayu Kab. Gresik. Selanjutnya yang menjadi informan tahu di sini


(56)

46

adalah saudara dari beliau sendiri, saudara perempuan dari beliau bernama Ibu Aini, masih merupakan ibu mudah (25 tahun).

Alasan mengapa memilih Ibu Juwariyah ini, karena selain subjek seorang guru, subjek juga merupakan salah satu anggota PKK di Desa Sidayu dan sering ikut pelatihan, melihat sosok subjek yang hebat, merawat anaknya seorang diri (Single parent). Selain itu, subjek juga terlihat sangat memperhatikan sekali dalam mendidik anaknya dalam segala hal demi kebaikan masa depanya, dimungkinkan akan mudah memperoleh data terkait pendidikan seks dari beliau kepada anaknya. Dalam hal ini yang juga penting adalah subjek tersebut benar-benar bersedia diwawancarai dengan suka rela tanpa adanya paksaan.

D. Cara Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang akurat dan kredibel, maka penelitian ini akan menggunakan teknik pengambilan data. Teknik pengambilan data yang akan digunakan diantaranya metode wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi, namun dalam penelitian kali ini peneliti hanya menggunakan metode wawancara mendalam yang didukung dengan pengambilan dokumentasi seperti vidio, rekaman audio, dan lain-lain.

Menurut Singarimbun dan Effendi (2008) (dalam Balgies, 2012), wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seseorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan tertentu. Komunikasi dilakukan


(57)

47

oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang menjawab, wawancara bertujuan untuk menggali dan mendapatkan informasi untuk suatu tujuan tertentu. Setelah mendapatkan data wawancara, maka data wawancara ini dibuat transkip untuk dilakukan koding (Balgies 2012).

Dalam penelitian ini wawancara merupakan alat utama untuk menggali pengalaman orang tua dalam melakukan pendidikan seks kepada anaknya.

E. Prosedur Analisis dan Intrepretasi Data

Menurut Tesch (1990), analisis data adalah proses mengatur urutan data, dalam proses menganalisis data kualitatif yang bersifat elektik yang berarti tidak ada cara yang baku dalam melakukan proses analisis data kualitatif. Semuanya bergantung pada situasi dan kondisi serta temuan di lapangan yang menuntut kreativitas dari peneliti untuk melakukan reduksi dan analisis yang berarti sesuai dengan temuanya tersebut (Herdiansyah, 2010).

Creswell (1994) dalam Herdiansyah (2010) mengemukakan beberapa poin penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan analisis data kualitatif, antara lain:

1. Analisis data kualitatif dapat dilakukan secara stimulan dengan proses pengumpulan data, interpretasi data, dan penulisan naratif lainnya. 2. Data yang diperoleh direduksi ke dalam pola-pola tertentu, kemudian


(58)

48

memiliki kesamaan), kemudian melakukan interprestasi kategori tersebut berdasarkan skema-skema.

3. Data hasil reduksi diubah dalam bentuk matriks, matriks akan mempermudah peneliti dan pembaca untuk melihat data secara lebiih sistematis.

4. Identifikasi prosedur pengodean (coding) digunakan dalam mereduksi informasi kedalam tema-tema atau kategori-ketegori yang ada.

5. Hasil analisis data yang telah melewati prosedur reduksi yang telah diiubah menjadi bentuk matriks yang telah dibentuk matriks yang telah diberi kode (coding). Selanjutnya diseseuaikan dengan model kualitatif yang dipilih (Herdiansyah, 2010).

Beberapa langkah dalam analisis data kualitatif di atas, akan diterapkan dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini data yang didapat ditulis dalam transkip wawancara, lalu di koding, dipilah tema-tema sebagai hasil temuan, dan selanjutnya dilakukan interpretasi data.

F. Keabsahan Data

Penelitian kualitatif ini lebih menekankan pada memberi gambaran secara mendetail apa adanya fenomena yang diteliti melalui pengalaman dan sudut pandang subjek yang diteliti daripada membuktikan konsep teori tertentu terhadap temuan. Ketika peneliti ingin mendapatkan validasi yang tinggi dari subjek yang diteliti, syarat utama yang perlu didapatkan adalah kepercayaan dari subjek yang kita teliti (trust), keterdekatan hubungan ( close-relationship), keamanan bahwa apa yang dikatakan akan dijaga dengan baik


(59)

49

(safety) dan kenyamanan atau tidak adanya tekanan, ancaman atau tuntutan (pleasant).

Menurut Creswell (2010) ada delapan strategi validitas yang dapat digunakan dari yang mudah sampai dengan yang sulit. Namun, dalam penelitian ini akan menggunakan salah satu strategi saja, yaitu strategi

triangulate di mana sumber-sumber data yang berbeda, dengan memeriksa bukti-bukti yang berasal dari sumber-sumber tersebut dan menggunakannya untuk membangun justifikasi tema-tema secara koheren. Tema-tema yang dibangun berdasarkan sejumlah sumber data atau perspektif dari partisipan akan menambah validitas penelitian. Alasan peneliti hanya menggunakan strategi ini adalah karena peneliti memiliki alasan bahwa strategi ini mudah terjangkau untuk digunakan peneliti. Kedua, secara praktis, metode ini lebih mudah dipraktekkan untuk memvalidasi data ini.

Validasi data dengan triangulasi dalam penelitian diambil dari hasil wawancara dengan subjek, dilakukan pengecekan sebagaimana yang tersebut di atas. Pengecekan difokuskan pada tema yang telah ditemukan peneliti berdasarkan hasil wawancara yang terbentuk dalam lampiran verbatim, hasil rekaman audio subjek, rekaman vidio subjek dan lain-lain yang dijadikan sebagai pendukung data.


(60)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Subjek

Subjek penelitian ini adalah ibu-ibu yang memiliki anak usia dini yang berkisar usia 3-6 tahun, baik ibu yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga atau ibu yang memiliki profesi lain yaitu guru. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 3 subjek key informan (informan pelaku) serta 3

significant others (informan tahu). Dalam hal ini akan didiskripsikan tentang subjek-subjek tersebut, sebagaimana berikut ini;

1. Identitas subjek 1 (pertama)

Nama Lengkap: Nurul afiyah

Nama Panggilan : fiya / Nurul

Tempat, Tanggal lahir : Gresik, 03 juni 1993

Alamat : Sitarda, Rt 03/Rw17 Dsn. Kerajan Pangkah Wetan

Agama : Islam

Status : Kawin

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Ibu Nurul Afiyah (23 tahun) ini merupakan ibu rumah tangga, memiliki 2 (dua) anak perempuan, anak yang pertama bernama Alin (5 tahun) bersekolah di TK Al-Muniroh Ujungpangkah Gresik, sedangkan anak ke dua masih balita berusia (6 bulan). Di rumah, Bu Nurul ini tinggal bersama suami dan ayahnya. Dalam kesehariannya,


(1)

87 BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Simpulan yang dapat dihasilkan dari penelitian tentang persepsi orang tua tentanga pendidikan seks untuk anak usia dini di sini adalah sebagai berikut:

1. Di dapat bahwa ketiga subjek utama dalam penelitian ini memiliki persepsi yang positif terhadap pendidikan seks dan memahami dengan baik terkait tujuan dari pendidikan seks itu sendiri untuk anak-anaknya yang berusia dini. Mereka juga mengatakan betapa pentingnya pemberian pendidikan seks untuk anak sejak dini. 2. Ditemukan kesadaran orang tua akan kebutuhan anak untuk

memeroleh pendidikan seks sejak usia dini. 3. Bentuk kepedulian orang tua kepada anak.

4. Persepsi orang tua tentang peran pihak dari orang tua yang memiliki peran lebih besar memberikan pendidikan seks anak usia dini.

5. Waktu yang dianggap tepat oleh orang tua untuk melakukan pendidikan seks kepada anak

6. Kesulitan orang tua ketika melakukan pendidikan seks kepada anak 7. Adapun temuan lain sebagai tambahan temuan adalah gambaran


(2)

88

B. Saran

Saran yang dapat dikemukakan dalam penelitian, berdasarkan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi orang tua terlebih seorang ibu khususnya, hendaknya mau menumbuhkan persepsi yang positif tentang pendidikan seks anak

sebagai upaya menumbuhkan kesadaran dalam diri untuk

menyegerakan melakukan pendidikan seks kepada anaknya mulai anak usia dini (3-6 tahun). Hal ini bertujuan untuk membekali anak tentang pengetahuan seputar seks agar kelak anak dapat menghadapi persoalan seksualitas dengan baik, menanamkan akhlak baik sejak dini kepada anak, serta menghindarkan anak dari hal-hal buruk semacam pergaulan bebas mengingat zaman semakin kacau.

2. Baiknya orang tua mulai mempresepsikan pendidikan seks ini sebagai salah satu bagian dari mendidik anak untuk tumbuh menjadi pribadi yang baik. Merubah pemikiran yang sempit tentang seks, karena seks sebenarnya memiliki arti yang luas.

3. Bagi praktisi baik dilembaga formal maupun non formal seperti psikolog, terapis, pekerja sosial, dapat menjadikan wacana ini sebagai tambahan khasanah ilmu pengetahuan sebagai bekal mendidik anak, khususnya terkait masalah seksualitas.

4. Perlu diadakannya pendidikan seks sejak anak usia dini dalam suatu lembaga pendidikan yang formal.


(3)

89

5. Bagi peneliti selanjutnya yang berminat meneliti tema semacam ini bisa dilakukan riset dengan metode yang berbeda seperti kuantitatif, dapat diungkap dari sisi lainnya yang masih ada kaitannya dengan pendidikan seks.


(4)

90

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. Psikologi Sosial. Jakarta : Rineka Cipta, 2009.

Akbar, R.Hawadi. 2001. Psikologi Perkembangan Anak : Mengenal Sifat, Bakat, dan Kemampuan Anak.Jakarta:PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Almeida, Ana Carla Campos Hidalgo & Centa, Maria De Lourdes. 2009. Parents

Experience With The Sexual Education Of Their Children : Implication For Nursing Care. Journal Actapaul Enferm 2009, 22 (1) : 71. Diakses pada tanggal 07 April 2016.

Creswell, J.W. 2010. Research Dsign Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan Mix, Edisi 3. Jogjakarta: Pustaka Pelajar

D.Gunarsa, Singgih. 2001. Psikologi Praktis: Anak Remaja dan Keluarga.

Jakarta: PT. Gunung Mulia.

Elizabeth, B. Hurlock. 1980. Perkembangan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga.

El-Qudsy, Hasan. 2012. Ketika Anak Bertanya Tentang Seks, Panduan Islami Bagi Orang Tua Mendampingi Anak Tumbuh Menjadi Dewasa. Solo: Tinta Medina.

Fajar, Susanto, Achwandi. 2014. Strategi Optimalisasi Peran Pendidikan Seks Usia Dini Di Paud Dalam Menanggulangi Pelecehan Seks Terhadap Anak Di Pekalongan. Jurnal LITBANG Kota Pekalongan Tahun 2014.

Helmi, Paramastri. 1998. Efektivitas Pendidikan Seksual Dini Dalam Meningkatkan Pengetahuan Perilaku Seksual Sehat. jurnal psikologi. 1998, No 2, 25 – 34.

Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta : Salemba Humanika.

Jalaludin, Rakhmat. 2005. Psikologi Kounikasi, edisi revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2001. www.KamusBahasaIndonesia.org. Diakses pada tanggal 18 Otober 2015 pukul 19.00 WIB

Kartono, Kartini. 1995. Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan). Bandung : Mandar Maju.


(5)

91

Lestari, Sri. 2012. Psikologi Keluarga : Penanaman Nilai dan penanganan Konflik dalam Keluarga Edisi 1. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Nambambi & Mufune. 2011. What Is Talked About When Parents Discuss Sex with Children: Family Based Sex Education In Windhoek, Namibia.

Jurnal Kesehatan Reproduksi Desember 2011;15 (4): 121.

Niken Meilani, Shaluhiyah, Suryoputro. 2014. Perilaku Ibu dalam Memberikan

Pendidikan Seksualitas pada Remaja Awal. Jurnal Kesehatan

Masyarakat Nasional. Vol. 8. No. 8 Mei 2014. Diakses pada tanggal 24 November 2015.

Nugroho. 2014. Peran Orang Tua Dalam Memberikan Pendidikan Seks Sedini Mungkin Di Tk Mardisiwi Desa Kedondong Kecamatan Kebonsari Kabupaten Madiun. Jurnal Ilmiah Pendididkan.Volume 02, Number 02, November 2014. ISSN : 2354-5968.

Okezone, 2016. https://News.okezone.com 2016/04/10. diakses pada tanggal 10 Mei 2016.

Poerwadarmita, W.J.S. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka

Ria Rosela Nur’aini. 2014. Survey Tentang Pemahaman Pendidikan Seks Siswa

Kelas X Smk Dr. Soetomo Tahun Ajaran 2013/2014. Jurnal BK UNESA. Volume 04 Nomor 03 Tahun 2014, 1-12.

Roqib, Moh. 2008. Pendidikan Seks Pada Usia Dini. Jurnal INSANIA, Vol. 13, N. 2 Mei-Agustus 2008. 271-286. Diakses pada tanggal 05 April 2016 Safita, Reny. 2013. Peranan Orang Tua Dalam MemberikanPendidikan Seksual

Pada Anak. Jurnal Edu Bio. 4 (32-40).

Santrock. 2002. Life-Psan Development Perkembangan Masa Hidup. (Jakarta : Erlangga).

Siagian, Sondang P. 2004. Teori Motivasi dan Aplikasinya. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Sugiasih, Inhastuti. (t.t). Need Assessment Mengenai Pemberian Pendidikan Seksual Yang Dilakukan Ibu Untuk Anak Usia 3 – 5 Tahun. Fakultas Psikologi Universitas Islam Sultan Agung. Jurnal Proyeksi, Vol. 6 (1), 71-81. Diakses pada tanggal 03 Maret 2016.

Susanto, Ahmad. 2011. Perkembangan Anak Usia Dini : Pengantar Dalam Berbagai Aspeknya Edisi 1. Jakarta : Kencana Prenada Media Group


(6)

92

Tempo. 2016. https://m.tempo.co/read/news/2016/05/19/064772243/pemerkosaan karyawati-nilah-sms-rahasia-berujung-maut. Diakses pada tanggal 21 Mei 2016.

Walker, Joy L.2001. A Qualitative Study Of Parents’ Experience of Providing Sex

Education For Their Children: The Implications for Health Education.