Metode Pembelajaran Bahasa inggris AUDIO-LINGUAL METODE

METODE AUDIO-LINGUAL

1.

Pengertian Metode Audio-Lingual

Pada dasarnya metode Audio-Lingual hampir sama dengan metode lainnya. Adapun
metode yang muncul sebelum metode ini adalah metode Direct (Direct Method). The
Audio-Lingual method is the method which focuses in repetition some words to memorize.
[1] Audio-Lingual method is a method which use drills and pattern practice in teaching
language.[2]Adapun Jill Kerper Mora dari San Diego University menyebutkan:

"This method26 is based on the principles of behavior psychology. It adapted many of the
principles and procedures of the Direct Method, in part as a reaction to the lack of
speaking skills of the Reading Approach"[3]
Metode Audio-Lingual ini merupakan sebuah metode yang pelaksanaannya terfokus pada
kegiatan latihan, drill, menghafal kosa kata, dialog, teks bacaan. Adapun dalam praktiknya
siswa diajak belajar (dalam hal ini bahasa Inggris secara langsung) tanpa harus
mendatangkan native language.[4]
Dasar dan prosedur pengajaran dalam metode ini juga banyak diambil dari metode yang
telah ada sebelumnya yaitu metode langsung (Direct Method). Selain itu, tujuan AudioLingual pun juga tidak berbeda dengan Direct Method yaitu untuk menciptakan

kompetensi komunikatif dalam diri siswa.
Sebagaimana diketahui, pengucapan (pronunciation), susunan serta aspekaspek lain antara
bahasa asing dan bahasa ibu sangatlah berbeda. Oleh karenanya, dalam pembelajaran
bahasa asing (dalam hal ini bahasa Inggris) para siswa diharuskan mengucapkan dan atau
membaca berulang-ulang kata demi kata yang diberikan oleh guru agar sebisa mungkin
tidak terpengaruh dengan bahasa ibu.
Pengulangan-pengulangan yang dilakukan lama-kelamaan akan menjadi sebuah kebiasaan
(habit). Begitu juga dalam hal melafalkan kata-kata bahasa asing (bahasa Inggris), jika hal
tersebut sudah menjadi kebiasaan, siswa akan secara otomatis dan refleks dapat
melakukannya. Sehingga dalam pelaksanaannya, agar usaha tersebut dapat berjalan lancar
maka diperlukan memerlukan keseriusan baik dari guru maupun siswa.

2.

Sejarah Metode Audio-Lingual

Metode Audio-Lingual merupakan sebuah metode yang sudah berkembang selama Perang
Dunia II berlangsung.[5] Keikutsertaan Amerika dalam perang dunia II telah memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap pengajaran bahasa Inggris di negara tersebut. Untuk
membekali pemerintah Amerika dengan personel yang fasih berbahasa Jerman, Prancis,

Italia, China, Jepang, Melayu dan bahasa lainnya penerjemah, asisten code-room, dan
pengalih bahasa dibutuhkan sebuah training khusus program bahasa. Pemerintah
menugaskan universitas-universitas di Amerika untuk mengembangkan bahasa asing bagi
personel militer Amerika. Demikian hingga akhirnya Army Specialized Training
Program (ASTP) didirikan pada tahun 1942. pada awal tahun 1943 sebanyak 55
universitas terlibat dalam program ini.[6]
Metode yang juga dikenal sebagai Army method ini berkembang sebagi reaksi terhadap
metode Grammar-Translation dalam pengajaran bahasa asing. Metode GrammarTranslation ini sebelumnya telah dipakai selama seribu tahun, tetapi membutuhkan waktu
yang sangat lama bagi pembelajar untuk dapat berbicara dengan bahasa asing yang
ditargetkan. Kira-kira sejak 1947-1967 pendekatan Audio-Lingual telah menjadi metode
pengajaran bahasa asing yang dominan di Amerika. Dengan metode yang lebih inovatif,
metode Audio-Lingual ini mampu mencapai kompetensi komunikatif lebih cepat. Teori ini
berdasar pada teori behavioristik yang dikembangkan Skinner.[7]
Sebagaimana diketahui bahwa kaum behavioris yakin bahwa belajar bahasa pada
hakikatnya adalah masalah pembisaaan dan pembentukan kebisaaan. Dengan pola pikir
bahwa dalam proses pembelajaran yang penting adalah stimulus dan respons dan adanya
penguatan. Oleh sebab itu, dalam dunia pembelajaran bahasa teori itu melahirkan
pendekatan Audio-Lingual yang banyak memberikan pengulangan. Mereka yakin jika
belajar bahasa itu dilakukan dengan pengulangan, maka kompetensi berbahasa itu akan
dapat diperoleh.

Aliran behaviorisme menjelaskan pengertian tingkah laku melalui aksi dan reaksi atau
yang biasa kita kenal dengan istilah stimulus dan response; stimulus yang berbeda
menghasilkan responsi yang berbeda pula. Adapun hubungan antara stimulus tertentu
dengan responsi tertentu disebut kebiasaan atau habit.
Watson, seorang tokoh aliran psikologi behaviorisme klasik pernah mengemukakan
bahwasanya stimulus dapat mendatangkan responsi, maka dapat disimpulkan jika stimulus

terjadi secara tetap maka responsi pun terlatih dan diarahkan tetap akhirnya dapat terjadi
secara bersifat otomatis.
Dalam metode Audio-Lingual yang didasarkan pada teori behavioristik yang digunakan
dalam penelitian ini, peran guru sangat dominan karena gurulah yang memilih bentuk
stimulus, memberikan punishment dan reward, memberikan penguatan dan menentukan
jenisnya, dan guru juga yang memilih materi, dan cara mengajarkannya.
3.

Teknik Pengajaran yang Digunakan dalam Metode Audio-Lingual

Teknik pengajaran yang digunakan dalam metode Audio-Lingual adalah sebagai berikut:
[8]
a. Menghafal Dialog (Dialog Memorization)

Dalam teknik ini siswa menghafalkan dialog atau percakapan pendek antara dua orang
pada awal pelajaran. Dalam praktiknya siswa memerankan satu orang peran dalam dialog,
sedangkan guru memerankan tokoh pasangannya. Setelah siswa belajar percakapan atau
dialog dari satu tokoh, guru dan siswa berganti peran. Kemudian siswa menghafalkan
dialog baru. Cara lainnya yang bisa digunakan adalah dengan membagi siswa menjadi dua
kelompok. Masing-masing kelompok memerankan satu peran dan menghafalkan dialog
tersebut. Setelah masing-masing kelompok mampu menghafalkan dialog, mereka diminta
untuk untuk berganti peran. Setelah seluruh siswa hafal dialog, guru meminta siswa untuk
mempraktikkan dialog secara berpasangan di depan kelas.
b. Backward Bulld-up (Expansion) Drill
Drill digunakan ketika siswa mengalami kesulitan dalam menghafalkan dialog panjang.
Caranya adalah guru membagi dialog panjang menjadi beberapa potong bagian. Guru
pertmama kali memberikan contoh kemudian siswa menirukan bagian kalimat (bisaanya
pada frasa akhir).
Contoh:
Guru

: It is a beautiful scenery

Guru


: It is a beautiful ………

Siswa : It is a beautiful scenery
c. Repetition Drill
Siswa diminta untuk menirukan guru seakurat dan secepat mungkin.
Contoh:
Guru

: This is the seventh month

Siswa : This is the seventh month
d. Chain Drill
Drill ini dilakukan dengan cara meminta siswa untuk duduk melingkar di dalam ruangan,
kemudian satu persatu siswa bertanya dan menjawab pertanyaan. Guru memulai drill ini
dengan dengan menyapa atau bertanya pada salah satu siswa. Kemudian siswa tersebut
menjawab pertanyaan tadi, kemudian ia bertanya pada teman di sampingnya. Siswa yang
ditanya tadi kemudian menjawab dan bertanya lagi kepada teman di sampingnya, begitu
seterusnya.
e. Single Slot Subtitution

Guru membaca satu baris dari dialog, kemudian siswa mengucapkan satu kata atau
kelompok kata. Siswa diminta untuk menirukan dengan cara memasukkan kata atau
kelompok kata tersebut secara tepat ke dalam bait dialog tadi.
Contoh:
Guru

: I know Him. (Hardly)

Siswa : I hardly know him
f. Multiple Slot Subtitution Drill
Drill ini sama dengan drill single slot substitution, tapi lebih luas. Tidak hanya satu bait
dialog, akan tetapi satu dialog penuh.
g. Transformational Drill
Guru memberi siswa kalimat, kemudian siswa diminta untuk merubah kalimat tersebut
menjadi bentuk yang berbeda seperti: interrogatif, negatif, positif, pasif, imperative dan
sebagainya.
h. Question and Answer Drill
Drill model ini melatih siswa menajwab pertanyaan dengan tepat.
i.


Use Minimal Pairs

Guru menggunakan pasangan kata yang berbeda satu bunyi, misal: ship dan sheep. Siswa
diminta untuk menemukan perbedaan dua kata tersebut, kemudian berlatih untuk
mengucapkan kata tersebut dengan benar.
j. Complete the Dialog
Beberapa kata dalam sebuah dialog dihapus, kemudian siswa diminta untuk melengkapi
dialog tersebut
k. Grammar Game

Game ini mirip dengan game supermarket alphabet, didesain untuk melatih grammar siswa
dalam suatu konteks. Dengan begitu siswa bias mengekspresikan dirinya sendiri, walaupun
dalam porsi yang terbatas.
Dari berbagai teknik yang disebutkan di atas dapat disimpulkan dalam pelaksanaan metode
Audio-Lingual seorang guru akan memberi contoh tentang model yang benar, dalam hal ini
melafalkan (pronounce) dan bagaimana melafalkan (how to pronounce) sebuah kalimat
dan siswa harus menirukan. Kemudian dalam kesempatan lain guru akan melanjutkan
dengan mengenalkan kata-kata baru dengan struktur kata yang sama. Pokok dari metode
ini dan kaitannya dengan pembelajaran pronunciation adalah bagaimana melatih siswa
untuk terus berlatih melafalkan dengan benar sampai mereka dapat melakukannya secara

spontan. Oleh karena itu seperti telah dijelaskan di awal, siswa hanya diberi kosakata
secukupnya (khususnya yang sering dipakai dalam kehidupan sehari-hari) agar
pelaksanaan metode ini dapat berjalan dengan lancar.
4.

Penerapan Metode Audio-Lingual

Metode Audio-Lingual sangat mengutamakan drill. Metode ini muncul karena terlalu
lamanya waktu yang ditempuh dalam bahasa dan target. Padahal,untuk kepentingan
tertentu, perlu penguasaan bahasa dengan cepat misalnya perang, kunjungan dan
seterusnya. Dalam Audio-Lingual yang berdasarkan pendekatan struktural itu, bahasa yang
diajarkan dicurahkan pada lafal kata dan pelatihan berkali-kali secara intensif pada polapola kalimat. Guru dapat memaksa siswa untuk mengulang sampai tanpa kesalahan.
a. Langkah-langkah Pembelajaran dalam Metode Audio-Lingual
Di dalam metode Audio-Lingual terdapat beberapa langkah yang biasa dilakukan dalam
proses pembelajaran. Adapun langkah-langkah tersebut antara lain adalah:
Adapun langkah-langkah yang bisaa dilakukan adalah:
a) Penyajian teks dialog atau teks pendek yang dibacakan guru berulang-ulang dan siswa
menyimak tanpa melihat teks yang dibaca.
b) Peniruan dan penghafalan teks itu secara serentak dan siswa menghafalkannya.
c) Penyajian kalimat dilatih dengan pengulangan.

d) Dramatisasi dialog atau teks yang dilatihkan kemudian siswa memperagakan di depan
kelas.
e) Pembentukan kalimat lain yang sesuai dengan yang dilatihkan.[9]

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya metode ini memberikan perhatian utama kepada
kegiatan latihan, drill, menghafal kosa kata, dialog, teks bacaan, dan pada sisi lain lebih
mengutamakan bentuk luar bahasa (pola, struktur, kaidah) dari pada kandungan isinya, dan
mengutamakan kesahihan dan akurasi dari kemampuan siswa untuk berinteraksi dan
berkomunikasi.
Penerapan metode ini hampir sama dengan penerapan pengajaran bahasa pertama pada
anak-anak, anak-anak menguasai bahasa ibunya melalui peniruan. Peniruan itu biasanya
diikuti oleh pujian atau perbaikan. Melalui kegiatan itulah anak-anak mengembangkan
pengetahuannya mengenai struktur, pola kebiasaan bahasa ibunya. Maka hal yang sama
juga dapat diberlakukan dalam pengajaran bahasa kedua atau bahasa asing. Melalui cara
peniruan dan penguatan, para siswa mengidentifikasi hubungan antara stimulus dan
responsi yang merupakan kebiasaan dalam berbahasa kedua atau bahasa asing.
b. Evaluasi Metode Audio-Lingual
Sebagaimana telah dijelaskan di awal bahwasanya penelitian ini dikhususkan pada
pembahasan penggunaan metode Audio-Lingual dalam pembelajaran pronunciation.
Adapun dalam metode Audio-Lingual sendiri tidak disebutkan secara jelas tentang

evaluasinya. Satu hal yang dikemukakan adalah jika diselenggarakan tes maka masingmasing pertanyaan akan difokuskan pada point apa yang dipelajari pada saat
itu[10] (adapun dalam hal ini adalahpronunciation).
Dalam

penelitian

ini

peneliti

memberikan oral

test untuk

mengukur

peningkatanpronunciation siswa. Selain itu, karena penelitian ini dimaksudkan untuk
mengetahui peningakatan pronunciation siswa maka peneliti akan melakukan penilaian
pada kemampuan untuk melafalkan (skill to pronounce). Adapaun hal-hal yang dinilai
meliputi sounds (mendiskriminasikan bunyi), ritme dan penekanan (rythm and word

stress), intonasi (intonation) dan kelancaran (fluency).
5.

Kelebihan dan Kekurangan Metode Audio-Lingual

Metode Audio-Lingual memiliki kelebihan dan juga memiliki kekurangan di sisi lainnya.
Adapun kelebihan dari metode ini antara lain adalah:[11]
a. Audio-Lingual mungkin merupakan teori pengajaran bahasa pertama yang secara
terbuka mengklaim terbentuk dari gabungan linguistik dan psikologi.
b. Metode Audio-Lingual mencoba membuat pembelajaran bahasa menjadi lebih mudah
diakses oleh pembelajar dalam jumlah besar (kelas besar). Hal tersebut menyebabkan
partisipasi pembelajar melalui teknik drill dapat dimaksimalkan.

c. Secara positif drill dapat membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan
oralnya.
d. Teknik pengajaran dalam metode Audio-Lingual dengan menggunakan tape recording
dan laboratorium bahasa menawarkan latihan kecakapan berbicara dan mendengar yang
merupakan hal paling penting dalam pembelajaran bahasa. Pola-pola drill memberikan
siswa lebih banyak latihan.
e. Metode Audio-Lingual mengembangkan kemampuan berbahasa ke dalam "peralatan
pedagogig" yaitu mendengar (menyimak), membaca dan menulis. Metode Audio-Lingual
secara spesifik memperkenalkan desain teknik pendengaran (listening) dan latihan oral
(speaking). Hal tersebut menunjukkan kesuksesan dalam mengembangkan pemahaman
aural (listening) dan kelancaran berbicara (speaking).
Sedangkan kekurangan dalam metode Audio-Lingual antara lain adalah:
a. Teknik yang digunakan dalam metode Audio-Lingual seperti drill, penghafalan, dan
lain sebagainya mungkin bisa membuat bahasa menjadi sebuah kelakuan (kebisaaan),
tetapi hal tersebut tidak menghaslikan kompetensi yang diharapkan.
b. Dengan metode Audio-Lingual mungkin guru akan mengeluhkan tentang banyaknya
waktu yang dibutuhkan (lama), dan para siswa akan mengeluh tentang kebosanan yang
disebabkan oleh pola drill yang terus-menerus digunakan.
c. Peran dan keaktifan guru merupakan hal yang penting dalam metode Audio-Lingual,
jadi guru lebih banyak mendominasi kelas.[12]
Adapun menurut Roestiyah kelemahan suatu metode atau teknik pembelajaran yang
menggunakan drill adalah sebagai berikut:
a. Sering terjadi cara-cara atau gerak yang tidak dapat berubah, karena merupakan cara
yang telah dibakukan, maka hal tersebut dapat menghambat bakat dan inisiatif siswa.
b. Para siswa tidak boleh menggunakan cara lain atau cara menurut pikirannya sendiri.
c. Keterampilan yang diperoleh siswa umumnya juga menetap/paati, yang akan
merupakan kebiasaan kaku/keterampilan yang salah.
d. Suatu latihan yang dijalankan dengan cara tertentu yang telah dianggap baik dan tepat;
sehingga tidak boleh diubah; mengakibatkan keterampilan yang diperoleh siswa umumnya
juga menetap/pasti, yang akan merupakan kebiasaan yang kaku; atau keterampilan yang
salah.

Sehingga, jika situasi berubah siswa akan sukar sekali menyesuaikan diri atau tidak bisa
mengubah caranya latihan untuk mengatasi keadaan yang lain itu.[13]
Masih menurut Roestiyah, agar latihan tersebut dapat berhasil, instruktur perlu memilki
cara/teknik lain yang menunjang teknik latihan tersebut, sehingga kelemahannya bisa
disempurnakan/dilengkapi dengan teknik lain.[14]

[1] Diane Larsen and Freeman, Techniques and Principles in Language Teaching, (Oxford: Oford University
Press, 1986), hlm. 31

[2] Richards,.Op. Cit., hlm. 44
[3] Audio-Lingual Method
[4] Jill Kreper Mora, Second-Language Teaching Method (http://www.edweb.sdsu.edu, diakses pada tanggal
20 Februari 2009)

[5] Diane Larsen and Freeman, Op. Cit., hlm. 31
[6] Richards and Rodgers, Op . Cit., hlm. 44
[7] Susan Kifutu, Background and Characteristics of the Audio-Lingual Method
(http://www.tcnj.edu, diakses pada tanggal 21 Februari 2009)

[8] Diane Larsen and Freeman , Op. Cit., 45-47
[9] Suyatno, Teknik Pembelajaran Bahasa dan Sastra, (Surabaya: Penerbit ISC, 2004), hlm. 35
[10] Diane Larsen and Freeman , Op. Cit., hlm. 44-45
[11] http://blog.hjenglish.com/yococo/articles/473032.html, diakses tanggal 6 April 2009
[12] Ibid
[13] Roestiyah NK, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hlm. 126-127
[14] Ibid, hlm. 127