Membongkar Jaring Kuasa di Balik Aksi Kekerasan Berjubah Agama.

セ@

:")

Diterbitkan:
Unit Penerbitan
Fakultas Sastra Unud

I PJIB I

Volume

セャ@

I

Nomor2

I

Halaman

145 - 295

Denpasar
Agustus 2012

ISSN
0215-9198

PUSTAKA
Jurnal Ilmu-Ilmu Budaya
ISSN 0215-9198
JS.184.12
Volume XII, Nomor 2 • Agustus 2012

Terbit dua kali setahun pada bulan Februari danAgustus. Berisi tulisan yang diangkat
dari hasil penelitian dan kajian analitis-kritis bidang kebudayaan. ISSN 0215-9198

..

Ketua Penyunting

Made Jiwa Atmaja
Sekretaris Penyunting
I Ketut Sudewa
Penyunting Pelaksana
IB. Putra Yadnya
I Nyoman Suarka
I Ketut Kaler
Maria Maltidis Banda
Mitra Bestari
I Wayan Cika (Unud)
I Dewa Putu Wijana (UGM)
Nengah Bawa Atmadja (UNDIKSHA)
Henricus Supriyanto (IKIP Negeri Surabaya)
I Ketut Subagiasta (IHDN Denpasar)

Pelaksana Tata Usaba
I Gusti Bagus NgurahAntara, SE.,MM

Alamat Penyunting dan Tata Usaha: Fakultas Sastra Unud
Jln. Nias 13, Denpasar-Bali, Telp (0361)224121,E-milatmajajiwa@yahoo.corn

Pustaka Jurnal Ilmu-ilmu Budaya terbit pertama kali dengan nama Widya Pustaka
Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam
media lain. Naskah diketik di atas kerta HVS kuarto spasi ganda sepanjang lebih
kurang 20 halaman, dengan format seperti tercantum pada Petunjuk Bagi (calon)
Penulis Pustaka di bagian belakang jurnal ini. Naskah yang masuk dievaluasi dan
disunting untuk keseragaman format, istilah dan tata cara lainnya.
.... ..

PJIB
PUSTAKA
Jurnal Ilmu-Ilmu Budaya
ISSN 0215-9198
Volume·XII, Nomor 2 • Agustus 2012

DAFTARISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................
MEMBONGKARJARING KUASA
DI BALIK AKSI KEKERASAN BERJUBAH AGAMA
I Gusti Ketut Gde Arsana ................................................ セN@


m

145-163

PEMBANGUNAN PUSAT INFORMASI MAJAPAHIT:
UPAYA PEMASYARAKATAN TINGGALAN ARKEOLOGI
DI SITUS TROWULAN
Zuraiclah .................................................... ...... ...................................................... 164-174
UPAYA MENINGKATKAN KES.ADARAN DAN APRESIASI
MASYARAKAT TERRl\DAP MUSEUM:
STUDI KASUS PENGELOLAAN MUSEUM MANUSIA PURBA
DI GILIMANUK KABUPATEN JEMBRANA-BALI
I Nyoman Wardi dan I Wayan Srijaya ............................................................... 175-195
YOGA DALAM PENINGKATAN KEROHANIAN
BAGI MASYARAKAT HINDU BALI
(SEBUAH KASUS DI DUSUN SILAKARANG)
Ni Ketut Suci ........................................................................................................ 196-206
LANGKAH SIMBOLIK DALAM MEMAHAMI KARYA SASTRA
MENURUT PAUL RECOEUR
Maria Matildis Banda ......................................................... ,................................. 207..;215

TOKOH MAGGIE KAJIAN PSIKOLOGI SOSIAL
Yusuf Santoso ...................................................................................................... 216-229
1

BEBERAPA KENDALA PEMBELAJAR BAHASA INDONESIA
PENUTUR BAHASAJEPANG
I Wayan Simpen .................................................................................................... 230-256
DEFINITE AND INDEFINITE ARTICLE IN ENGLISH AND FRENCH
(COMPARATIVE STUDY)
Putu Weddha Savitri ............................................................................... .-............ 257-267
FUNCTIONS OF QUESTIONS IN SCHOLARLY WRITING
f Nyoman Tri Ediwan ......................................................................................... 268-280
MAKNA VERBA AGARU SEBAGAI VERBA INTRANSITIF
YANG BERPOLISEMI DALAM BAHASA JEPANG
Ira Natasha Naomi Purba ................................................................................... 281-292
Pedoman Bagi Penulis
Untuk Jw:nal Ilmu-ilmu Budaya PUSTAKA .................................................. 293-294
Indeks Penulis ................................................................ セN@

295


11
Mセ@

KATA PENGANTAR

Aksi anarkis yang mengatasnamakan. agama seperti diperl.i.1iatkan televisi
swasta nasional telah menjadi pemandangan keseharian. Pernyataan ini mungkin
agak berlebihan, tetapi mungkin ungkapan
yang dapat merepresentasikan
perasaan tidak nyaman sebagian orang ketika aksi kekerasan mengatasnamakan
agama menj'.1-di fenomenal. Di sisi lain. dari representasi itu, tersimpan pertanyaan
mengapa harus meialrukan tindakan kekerasan ketika suatu realita keagamaan
tampak h.erbeda dari apa yang kita yakini. Bahkan, dengan mengatasnamakan
agama tertenffi kita mengontrol perilaku cLm realitas lain, yang dalam pandangan
kita tampak berbeda clan tidak sesuai dengan apa yang kita p_ersepsikan. Apakah
fenomena ini merupakan tempat ketidaksaran agama dalam melakukan tindakan
tertentu?
Seorang- ilmuwan memiliki kepekaan untuk melihat kemudian mengamati
suatu fenomena yang menyimpang dari nilai kemanusiaan clan k.:!benaran. Walaupun

kebenaran itu sendiri·bersifat relatif, kadang-kaclang kehilangan tolok ukur, seorang __
ilmuwan membawa. watak yang konsisten dalam memperjuangkan kebenaran,
meskipun jiwanya terancam. Dari sisi tematik, jelas fenomena seperti ito.1 merupakan
objek aktual yang ·perlu dikaji seraya menunjukkan sikap keberpihakan ilmu
·pengetahuan, lebih khusus ilmu ·humaniora kepada kebenaran dan kemanusiaan.
Tentu saja dalam mengkaji fenomena yang clemikian, sang ilmuwan harus melakukan
analisis yang tajam, tidak memihak clan mengutamakan argumentasi.
dセ@
Pustaka ]urnal Ilmu-ilmu Budaya nomor 2, Agustus 2012, pembaca
yang budimari disajikan tulisan yang membongkar fenomena tindakan anarkis
seperti itu, cWam tulisan berjuclul "Membongkar Jaring Kekuasaan di Balik Aksi
Kekerasan Berjubah Agama", yang ditulis I Gusti Ketut Arsana", disusul tulisan
"Pembangunan Pusat lnformasi Majapahit: Upaya Pemasyarakatan Tinggalan
Arkeologi" karya Zuraidah, clan "Upaya :t-.1eningkatkan Kesadaran clan Apresiasi
Masyarakat Terhadap Museum: Stucli Kasus Kabupaten Jembrana-Bali'' karya I ·
Nyoman Wardi clan I Wayan Sujaya. Keclua tulisan terakhir ini menunjukkan sikap
kepedulian arkeolog -kita terhaclap informasi mengenai tinggalan arkeologi yang
menurut pengamatan mereka kurang menclapatkan perhkuan yang sepatutnya..
Bukanlah sesuatu yang ironis ketika aksi arnakis mengatasnamakan agama
menjadi fenomenal di Jakarta, scmentara di sebuah desa di Bali, -yakni di Silkarang,

Ubud dikembangkan latihan yoga untuk menjernihkan pikiran clan tinclakan. Karena
tinclakan bersumber dari pikiran, betapa pentingnya menjernihkan pikiran, sebelum
bertindak. Hal ini diteliti oleh antropolog Ni Ketut Suci yang kemudian menuliskan

mi

iii

laporannya ber.judul ''Yoga dalam Peningkatan Kerohanian bagi Masyarakat di
Dusun Silkarang". Selanjutnya, Maria Maltidis Banda mencoba mengaplikasikan
teori estetika Paul Recoeur tcrhadap puisi Chairil Anwar cukup baik dijadikan
inspirasi bagi mahasiswa sastta Indonesia. Tulfaan Maria Maltidis Banda berjudul
"Langkah Simbolik dalam Memahami K.arya Sastta Menurut Paul Ricoeur".
Melengkapi kajian sastta Banda, Yusuf Santoso menulis "Tokoh Maggie:
Kajian Psikologi Sosial" yang dapat memunculkan pertanyaan apakah teori psikologi
sosial dalam diaplikasi dengan tepat terhadap tokoh fiktif, kecuali dengan suatu
penganclaian? Empat tulisan berikutnya adalah serangkaian kajian linguistik dengan
objek bahasa berbeda, juga untuk memperkaya perspektif kita.
Semoga sajtan kali ini ada manfaat:r:iya.


Denpasar, 1Juli2012
Ketua Penyunting

lV

MEMBONGKARJARING KUASA
DI BALIK AKSI KEKERASAN BERJUBAH AGAMA
I Gusti Kctut Gdc Arsana

Jurusan Antropologi Falculw Sastra Unud
ABSTllACT:
Critics toward the government's slow and discriminative responses in dealing with issues related to religious
beliefs are the indications that there areno clear boundaries between Nation and religions in Indonesia. Indonesia
is not a country that is based on a certain religion or secularism. The vagueness of this identity often generates
:nisle-..ding policies in conducting the nation authority. In relation to that, the nation can be no longer cleac
from the influence of majority religion that has power. The psychological condition influenced by the majority
of_ religion that has been very dominant in the nation's policies permits political protection upon religion
that is hyper protected. Such politica1 authority tends to support the demands of majority gioup in order to
protect religion that is legally acknowledged by the nation hence suppressing other religious communities or
beliefs that are consented by the decree and human rights. The majority group and the nation then becomes

an ally compositing political authority that often determines the policies in this 」ッオョセᄋ@
that is the exchange of
authority to support one another. This situation implicates to the vague position between nation and religion.
The absence of the nation law and the takeover of the authority for the sake of the majority religion that can
often be seen are the results of the collaboration. In the name of majorit)•, a violent aggression for the sake of
protecting the religion seems to be legal from the view of religion and the nation law.

. Keywords: authority, violence, and religion

1.

Pendahuluan

Dibandingkan dengan realitas lainnya seperti politik clan ekonoini, agama
tampaknya menempati posisi unik dalam janmng kehidupan manusia. Jika ekonomi
secara langsung clan kongkret bersentuhan dengan pemenuhan manusia secara
6.sik, maka agama tidaklah demikian. Agama adalah · realitas 'langit' bersumber
dari realitas ontologis yang mutlak, sehingga pembumian clan pemanusiaan agama
melewati rentang antropologis, sosiologis dan historis yang berliku dan panjang.
Menurut Syamsul Ari6.n (2005), dalam diri manusia memang terdapat potensi

religious (fitrah majbullah); sehingga dari sudut セ@
agama yang dihadirkan melalui
proses pewahyuan (utusan Tuhan) 'sekadar' mengafumasikan potensi itu. Meskipun
demikian, menurutnya penerimaan seseorang kepada agama sampai pada proses
fungsionalisasinya tidaklah bersifat seketika. Adanya jarak waktu, sejarah dangeografi,
fungsionalisasi agama pertama-tama akan menghadapi otentisitasnya. Biasanya·para
Ahli agama berkeyakinan, persoalan otentisitas ini dapat diatasi jika kembali ke akar
tradisi agama yang otoritatif, yakni kitab suci. Namun, dalam realitasnya tidaklah
sesederhana itu; sebab kandungan bahasa dalam kitab suci memberi peluang seluasluasnya munculnya beragam pandangan yang sangat menyulitkan mana yang bisa
145

dianggap paling otentik, kecuali sebatas pada truth ofclaim saja yang dilakukan oleh
masing-masing paham. Sejarah perkembangan agama ternyata sering direpotkan
oleh persoalan itu, karena banyaknya paham-paham keagamaan yang sama-sama
bersil--ukuh terhadap hasil pengembaraan hermeneutiknya guna menemukan apa
yang dianggap paling otentik dari paham keagamaan yang dikembangkan. - ·
Selanjutnya Syamsul Arifin mempertanyakan, kalau agama secara doktrinal
mengajarkan kedamaian lalu mengapa dalam realitasnya justeru rentan terhadap
konflik? Konflik sebenamya lebih banyak berada pada ranah sosiologis, baik di
tingkat pemaknaan, maupun pada tataran interaksi sosial. Pada tingkat pemaknaan,
sejauh ini ma::.ih cukup dominan adanya anggapan bahwa agama yang paling benar
dan dapat memberikan jalan keselamatan adalah hanya agama yang dipeluknya;
sedangkan yang lain sesat. Pandangan beragama semacam ini akan mendorong
munculnya sLlcap ganda sekaligus, yaitu defensif dan opensif. Dengan sikapnya
yang pertama, seseorang akan mempertahankan mati-matian terhadap intervensi
kebenaran yangdatangdariagamalain; dan dengan sikap yangkedua, akanmendorong
seseorang membentangkan jalan keselamatan kepada pemeluk agama lain. Menurut
Ari.fin, semua sikap ini muncul karena seseorang lebih terpaku pada eksklusivismeagama, yakni agama dipahami hanyalah semata sebagai kategori ウゥュ「ッセ@
formalistik
dan ritualistik; atau agama dalam kawasan eksoterik, yang memang mengandung
perbedaan antara· agama/ paham yang satu dengan yang lain, karena itu sangatlah
mustahil untuk dipertemukan (Syamsul Arifin, 2005: 5-6).
Uday Mashudi mengkategorisasi ke dalam dua kelompok cara pemaknaan
agama yang biasanya berkembang di dalam kehidupan inasyarakat. Pertama,
kelompokorangyangmendalamireligiusitas tertentudankemudianmengartikulasikan
keimanan pada level yang lebih kongkret dengan mengamalkannya bagi kebajikan
sesama, siapa pun dan dari kepercayaan apapun. Kedua, adalah kelompok
masyarakat religius yang menekuni keimanan dan keyakinan tertentu, tetapi tidak
bersedia keluar dari kelompok keimanannya dan cenderung menganggap kelompok
keimanan yang lainnya, sebagai sesuatu yang salah, sesat, menyimpang,
oleh
karenanya perlu diluruskan (salvation ofclaim).
Selanjutnya, Mashudi membedakan bahwa kelompok pertama memahami
agama sebagai penghayatan, dan yang kedua lebih banyak memahaminya sebagai
semata ilmu pengetahuan. Sebagai penghayatan, dalam pandangan kelompok
pertama, agama adalah sejumput nilai yang harus dikunyah sebelum dilafalkan;
agama dengan demikian dipandang sebagai norma yang -harus diimani dengan
segenap rasa, jiwa, dan kemudian laku. Sebaliknya, bagi kelompok kedua, agama
dipelajari sebagai pengetahuan yang lebih menekankan pada kemampuan untuk
melafalkannya. Ajaran ·agama dilafalkan dengan riuh-gemuruh tetapi seringkali
146

:,1

i

•セ@

'l

セ@

'
;\

1,

セ@

'

•,

!
·1

j

l

l'
I

iセN|@

kehilangan makna terdalamnya. Mereka lebih asyik masuk tenggelam clalam
kebisingan lafal ayat-ayat suci dan jarang sekali menceburkan diri clalam 'tempuran'
realitas spiritual. Dalam kasus Ahmadiyah misalnya, Mashudi menilai bahwa clalam
masyarakat kita (di Indonesia) tampak sekali lebih banyak 、ゥセ・ュ。ョァエ@
oleh hingarbingar pelafalan ayat-ayat sud, klaim-klaim sebagai kelompok yang paling benar;
dan bahkan agama telah dipakai secara institusional sebagai instrumentarium untuk
melegitimasi pembenaran. Kasus yang menimpa Ahmadiyah memang hanya salah
satu dari sekian persoalan yang ada. Berbagai aksi yang mengarah kepada gangguan
dan ketenteraman beragama dari penghalangan kegiatan beribadah, penutupan
tempat ibadah, pengerusakan tempat ibadah yang tak pelak lagi sampai menimbulkan
korban jiwa, sampai saat ini m::.sih menjadi persoalan di negeri yang sangat majemuk
dari segi agama ini (Mashudi, 2005: 19-21). Mセ。ューゥ@
memasuki penghujung tahun
2012 ini pun persoalan kehidupan beragama di negeri ini belum menunjukkan tandatanda berakhir. Beberapa saja contoh dari kondisi sejenis, misalnya ketegangan yang
berlanjut pembakaran pusat pendidikan agama (pesantren) yang terjadi di Sampang
Madura, dan ketegangan antar umat beragama di sekitar komplek perumahan. Taman
Yasmin Bogor (TY. One,16 dan 22 Januari 2012). Sementara persoalw. mengenai
keberadaan Jemaah Ahmadiyah yang telah berkepanjangan, sampai kini pun masih
belum menemukan solusinya.

2.

Kekerasan Bejubah Agama

Fenomena yangsebangundengancara pemahaman beragama yang dogmatism,
negeri ini masih dihantui oleh mitos para "jihader" (Suhadah) yang mengiklaskan
dirinya menjadi bomerdalam peristiwa ''born bunuh diri" (dengan sebutan populer
"calon pengantin surga''); Gejala semacam itu pada dasarnya bersumher dari
produk proses pemahaman beragama yang terdoktrinasi oleh pemikiran-pemikiran
yang cendrung bersifat imajiner. Hal ini seringkali herakar dari proses intemalisasi
beragam.a yang ditanamkan melalui sistem pedagogis yang terdoktrinir clan inbreeding. Proses ini terjadi karena umumnya mereka adalah kelompok-kelompok
kecil dengan rekruitmen yang relatif tertutup. Pemikiran mereka cendrung ke
dalam, tidak ada upaya untuk meluaskan horizon ke luar, sehingga tidak tnuncul
input yang terbuka. Jadi, radikalisme mereka sesungguhnya bersifat emosional clan
tradisi berpikirnya cendrung politis clan militan. Melalui tesis-tesisnya yang biasanya
simplistik clan naff menyebabkan mereka mudah terasut untuk bertindak anarkis,
terlcbih-lebih dalam menyikapi masalah-masalah penistaan aqidah agama. Produk
ini kemudian dengan mudah diarahkan sebagai instrument untuk mendukung
misi gerakan-gerakan radikalisme ekstrim militant yang sedang diemban oleh para
147

pemimpinnya (Kuntowijoyo, 1993: 206).
Tampaknya sulit dijelaskan dengan akal rasional, tetapi memang begitulah
agama; Agama bukannya tidak rasional, melainkan berada di wilayah pemikiran
'irasional'. Para penganut Maocis kemudian mendifinisikannya bahwa 'agama'
adalah madat bagi rakyat (Moeslim Abdurrahman, 2003: 54). Pandangan semacam
itu seringkali berangkat dari asumsi-asumsi seputar bagaimana suatu ajaran (agama)
diintermilisasikan, apakah lebih menyentuh keimanan/ ke-taqwa-an seseorang
ataukah lebih mengarah kepada pembentukan imajinasi. Apabila sasarannya lebih
mengarah kepada pembentukan imajinasi, maka sangatlah mungkin perilaku
beragama seperti yang disebutkan di atas bisa terjadi. Ketika imajinasi telah
tertanamkan dengan kuat maka wilayah pemikiran rasionalitas akan mudah diliputi
oleh obsesi-obsesi imajiner yang halusinatif.. Dalam proses intemalisasi inilah
doktrin-doktrin (ideologt) akan berkembang menjadi berhala-berhala; dan biasanya
dengan mudah membentuk pandangan-pandangan yang bersentimenkan agama.
Fanatisme beragama biasanya lahir dari cara pemahaman beragama semacam itu
dan ketika diarahkan menjacli ekstrim, sangatlah mungkin menjadikannya benihbenih berkembangnya sikap-sikap radikalisme beragama. Menurut M. Subhi Azhari
(2005: 14), sikap semacam itu tampaknya semakin menguat di Indonesia bersamaan
dengan berlangsungnya proses pelembagaan gerakan-gerakan keagamaan tertentu
di masyarakat. Munculnya Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan (AGAP) yang
terdiri atas berbagai ormas Islam seperti Front Pembela Islam (FPJ), Hisbuttahir
Indonesia (HTI), Front Ukhuwah Islamiah Indonesia (FUil), Persatuan Islam
(Persis) dan sebagainya; menjadikan kelompok-kelompok Islam fanatik yang
sebelumnya berserakan, menemukan salurannya yang tepat. Selain itu, masih ada
gerakan-gerakan agama militan lainnya yang terbentuk melalui proses pemahaman
ajaran agama yang in-breeding. Salah satu di antaranya yang pemah marak
、ゥー・イ「ョセァォ。@
media adalah misalnya Jema'ah Anzhori Taoh'id (JA1) pimpinan
Uztad Abu Bakar Ba'zir. Melalui sistem rekruitmennya yang ketat dan tertutup,
para pengikut gerakan keagamaan semacam itu biasanya dikenal memiliki karakter
militant sehingga memungkinkan para pemimpinnya untuk mengarahkan organisasi
itu sesuai keinginannya. Dalam proses penanaman ajaran agama itu tak jarang
terjadi berbagai manipulasi atau pembajakan ayat-ayat yang terdapat di.dalam kitab
suci. Hal itu dimaksudkan terutama untuk membentuk karakter keagamaan yang
eksklusif. Dengan begitu mereka biasanya menjadi sangat
cenderung absolut セ@
rentan terhadap isu-isu yang bernuansa penistaan agama (Islam) terlebih-lebih yang
telah divonis sesat oleh Majelis Umat Islam (MUI). Keberingasan agama seperti
itu dapat terlihat misalnya dalam menyikapi kasus Jemaah Ahmadiyah. Ketika label
sesat sudah menempel pada diri seseorang atau kelompok, masyarakat umumnya
148

memandang mereka sebagai pihak yang bersalah; oleh karenanya harus dihukum.
Hukum yang diterapkan di sini bukan lagi dalam koridor hukum Negara, melainkan
hukum massa yang jauh lebih kejam clan sadis.
Kekerasan agama (sacred violence) sebetulnya selain muncul dari proses
pembajakan teks-teks kitab suci, dogma, dan tafsir agama yang kemudian ditanamkan
melalui teknik pendoktrinan, juga disebabkan karena agama dihayati sebagai
semacam 'barang' yang serba magis clan serba mutlak. Agama dipandang tidak
bisa diinterpretasikan kembali, apalagi disesuaikan dengan perkembangan jaman.
Agama dengan demikian, dipahami sebagai sesuatu yang serba teosentris, bukan
antroposentris; dan atau sebagai the ultimate concern (mutlak benar dan dipegang
teguh). Akibatnya, agama akhirnya menjadi berhala-berhala baru sehingga orang
beragama menjadikannya 'idolatry · dan bukan sebagai kritik sosial (Qodir, 2007:
225).
Sama bahayanya dengan radikalisme ekstrim, dalam perjalanan sejarah agama
(kini Islam khususnya di Indonesia) juga sedang dihadapkan pada · persoalan
dogmadsme beraganm. Pada hal agama Islam sendiri berbeda sekali dengan
sebagaimana agama dipahami oleh Barat; Islam (main-stream) menurut Kuntowijoyo
bukanlah sebuah sistem teokrasi, ケセエオ@
sebuah kekuasaan yang dikendalikan oleh
pendeta; bukan pula ia merupakan sebuah cru:a yang didikte oleh teologi. Lebih
jauh Kuntowijoyo juga menyatakan bahwa, di dalam struktur keagamaan Islam
tidak dikenal dikotomi antara domain duniawi dan domain agama. Nilai-nilai Islam
pada dasamya bersifat all-embracing. Oleh katena itu, tugas terbesar Islam adalah
melakukan transformasi sosial dan budaya (Kuntowijoyo, 1993: 197).
Agak janggal kalau belakangan ternyata petjalanan sejarah Islam mulai ditandai
oleh berkembangnya pemikiran-pemikiran teokratik yang oleh para penganut
tertentu seolah-olah menempatkan agama (Islam) menjadi 'bagaikan monumen'
clan bukan lagi sebagai medium transformati£ Penyimpangan arah Islam seperti itu
pernah dikritik oleh seorang cendikiawan Islam yang dikenal berpandangan liberal
yaitu Ulil Abshar-Abdala. Kritik yang dilontarkannya itu sesungguhnya berpusat
kepada persoalan trend mengenai bangkitnya kembali isu penegakan 'syari'at' di
Indonesia yang seringkali diliputi tindakan kekeras?-fi. Dalam kritinya, Ulil AbsharAbdala menyatakan berik:ut.
"Praktik-praktik kekerasan dalam beragama yang berdalih untuk menegakkan
'syari'at' tidak lain adalah wujud ketidak-berdayaan umat Islam dalatn
menghadapi masalah yang mengimpit mereka dan menyelesaikannya dengan
cara-cara rasional. Umat Islam menganggap, seolah-olah semua masalah akan
selesai dengan sendirinya manakala syari'at Islam, dalam penafsirannya yang
kolot clan dogmatis , diterapkan di muka bumi. Mereka yang beranggapan
149

bahwa 'syar'at' adalah suatu 'paketlengkap' yang sudah jadi suatu 'resep' Tuhan
untuk menyelesaikan masalah di segala jaman, adalah wujud ketidaktahuan dan
ketidak..-nampuan memahami Sunnah Tuhan itu sendiri. Mengajukan syari'at
Islam sebagai solusi atas semua masalah adalah sebentuk dengan kemalasan
berpikir, atau lebih parah lagi merupakan cara untuk lari dari masalah;
sebentuk eskapisme dengan memakai alasan hukum Tuhan. Eskapisme inilah
yang menjadi sumber kemunduran umat Islam di mana-mana. Saya tidak bisa
mer.erima 'kemalasan'semacam ini, apalagi ditutup-tutupi dengan alasan, itu
semua demi menegakkan hukum Tuhan. Jangan dilupakan: tak ada hukum
Tuhan, yang ada adalah Sunnah Tuhan serta nilai-nilai universal yang dimiliki
umat manusia.
Menurutnya, musuh Islam paling berbahaya sekarang ini adalah dogmatisme,
sejenis keyakinan yang tertutup bahwa suatu doktrin tertentu merupakan obat
mujarab atas semua masalah, dan mengabaikan bahwa kehidupan manusia
terus berkembang; dan perkembangan peradaban manusia dari dulu hingga
sekarang dari hasil usaha bersama, akumulasi pencapaian yang disangga semua
bangsa" (Ulil Abshar-Abdala, 2003: 1-2).
Sistem keyakinan beragama- yang eksklo.sif yang biasanya menjadi ciri utama
dari dogmatisme seringkali diliputi. oleh sikap-sikap prejudice yang mengedepar.kan
penguatan identitas berasaskan sentiment kelompok yang ber-etos-kan solidaritas
'kami dan mereka'atau we and the others. Sikap semacam ini biasany::i. juga mudah
terjangkiti virus mental xenophobia yang berkecenderungan untuk bersikap
curiga-mencurigai, kebencian, serta menafikan dan bahkan terdorong untuk
mengenyahkan (xenos) terhadap segala sesuatu yang berciri 'sang lain' (the othel).
Mereka melihat dirinya seakan-akan hidup di dalam sebuah wadah kontener yang
tertutup dan apa pun yang berada di luar wadah tersebut harus dinafikan (Kristeva,
1991: 191). Sikap inilah dapat mengkondisikan munculnya berbagai rasa keakuan
(egocentrisme), arogansi, intoleransi serta melunturnya rasa empati terhadap
sesama bangsa sendiri, lataran memiliki pandangar: agama yang tidak sebangun
de_ngan dirinya. Mereka seringkali asyik terbuai oleh romantisme mengenai kejayaan
sejarah asal- mula agatnanya. Dalam pandangan mereka, 'Islam yang benar' (azah)
hanyalah yang bertradisi ke-timur tengah-an khususnya yang berafiliasi Mekkah di
Arab Saudi. Atas dasar itu kemudian mereka dengan tegas menolak anasir-anasir
(Islam) yang berasal dari ranah non-Arab. Dengan demikian, Ahmadiyah yang lahir
di luar ranah Arab- Saudi yakni di Qadian (India) kemudian tidak diakuinya sebagai
bagian dari Islam karena .dianggapnya berada di luar mainstream Islam. Selain itu
150

....

kelompok penganut pemikiran tersebut juga menolak tegas teori Gujarat maupun
teori Persia yang berpendapat bahwa Islam yang berkembang di Nusantara berasal
dari wilayah-wilayah tersebut. Mereka hanya sepakat dengan teori Mekkah seperti
yang pernah diajukan oleh Hamka clan Azyumardi Azra. Dalam pandangan kedua
tokoh ini menegaskan bahwa as:i.l-·muasal Islam di Nusantara adalah Mekkah; bukan
Gujarat dan juga bukan dari Persia (AcengAbdulAzis Dy, dkk., 2007: 1). Pemusatan
orientasi tunggal tentang asal-muasal Islam di negeri ini tidak lain climaksudkan.
untuk mengokohkan kembali integritas umat Islam di seluruh kawasan di dunia
yang bersemangatkan "solidaritas Islam dengan pusatnya yang tunggal" (Rhabitah
al-Alam al-Islam1). Melalui pusat yang tunggal inilah kemudian Islam dikendalikan.
Melalui doktrin-dokttinnya yang kuat, pu5at pengendalian Islam tersebut sekaligus
dianggap memegang hak atas otoritas Islam di seluruh dunia. Dalam melancarkan
misinya, sebagian dari mereka cenderung memperjuangkan Islam melalui cara-cara
kekerasan yang terinspirasikan dari tradisi Syaukah di masa lampau. Umumnya
kelompok yang berpandangan radikal itu telah tertanamkan begitu k:uat etos
perjua.ngan agama yang mengusung metode gital Gihad bersenjata atau kekerasan).
Atas ulahnya inilah kemudian berkembang dugaan bahwa markas pusat Islam
tersebut menjadi sarangnya bagi 'Muslim Fanatik". Atau dalam sebutan Snouck
Hurgronje sebagai Tarekat yang menganut pah.am 'mistik urakan' dan kini lebih
populer dengan sebutan 'teroris' (Baso, 2005:215). Mereka tidak pernah hentinya:
untuk menebar hantu teror yang menakuti, sehingga mengakibatkan runtuhnya
citra Islam di kalangan Barat karena Islam disti.gma identik dengan agama penebar
teror. (Esposito, dkk..,2008:176). Menurut Dawam Rahardjo (2005:3) perang teror
yang kembali muncul itu mengingatkannya pada sejarah masa lalu tentang hubungan
kelam antara Barat clan Timur (Islam) yang dikenal dengan teori 'perang ideologi'
antar peradaban (gash al-fik.f). Polarisasi dan pengkutuban Barat dan Timur sampai
sekarang masih terus berlanjut yang clitandai dengan adanya rasa sating curiga.
Pengkutuban tersebut lahir sebagai produk sejarah panjang pembenturan ideologis
antara Islam sebagai dunia Timur dan Kristen sebagai representasi Barnt. Dalam .
pembacaan Hassan Hanafi (dalam Listiyono Santoso, dkk.., 2007: 280) bahwa
muatan konseptual ideologis inilah yang membuat setiap pertemuan antara clua
tradisi selalu disertai clengan letupan-letupan kecurigaan clan kewaspadaan satu
terhaclap lainnya.
Selain 'xenophobia' masih ada istilah lain yang dipakai untuk melukiskan mitos
tentang Islam yang pernah berkembang di Negara-negata Bara:t, seperti 'lslamofobi'
clan 'Eurabia'. Mitos ini merupakan bagian clari proyek radikalisme eksu1.m yang
pernah menghantui orang-orang di sekitar Eropa. Mitos itu menggambarkan
bahwa Eropa clalam bahaya peng-Islam-an dan diubah menjadi claerah kekuasaan

151

baru Muslim. Mitos itu didasarkan pada realitas pertumbuhan populasi Muslim
di wilayah tersebut yang terus mengalami peningkatan. Imigran yang berasal dari
wilayah-wilayah timur-:tengah seperti Turki clan ataupun juga imigran kulit hitam asal
ser:ius
Hungaria yang berubah aga..-na menjadi Muslim, dipandang sebagai 。ョ」ュセ@
bagi penduduk Eropa yang beragama Kristen. Dalam mitos itu juga dihubungkan
pula dengan seorang penembak jitu (snipei) kulit hitam terkenal yang beralih agama
menjadi Muslim bernama John Allen Muhammad. Pengalaman sejarah mencatat
bahwa orang-orang kulit hitam yang beralih agama menjadi Muslim sering berbalik
haluan untuk melawan N egaranya. Atas dasar pengalaman sejarah itulah, tokoh
tersebut dicurigai clan ditakuti (Esposito, dkk., 2008: 176).
Di Afganistan, tokoh mitos yang pernah menghantui dunia Barat, misalnya
Osama Bin-Laeden yang disebut-sebut sebagai gembongnya Jama'ah al-Islamiah
OI) yang juga menempuh perlawanan terhadap dunia Barat melalui cara-cara teror
kekerasan. Organisasi tersebut -memiliki jaringan luas di seluruh dunia termasuk
Asia khususnya Indonesia. Namanya menjadi lebih populer sebagai ikon "jihader"
manakala ia secara gemilang berhasil meluluh-lantahkan pusat bisnis dunia yakni
gedung kembar WfC (Word Trade Centre) di Amerika Serikat melalui cara
menabrakkan pesawat terbang. Walaupun gembong teroris tersebut kini telah tiada,
tetapi mitos bertemakan perang teror yang dikonstruksinya masih mengahantui
dunia Barat karena sepeninggalnp masih banyak para pengikutnya yang potensial
melanjutkan petjuangannya sebagai "sUhadah".
Menurut Zuly Qodir (2007: 34) fenomena beragama semacam itu merupakan
sinyalemen bahwa agama telah tergerus dan dimanfaatkan menjadi' ideologi ketika
agama tersebut berkesempatan melakukan ekspansi. Dalam kesempatan itulah
kemudian para pemeluknya yang fanatik merasa perlu untuk menundukkan agama
lainnya dengan cara-cara kekerasan di luar batas-batas peri-kemanusiaan, karena
mereka menganggap agama atau ajaran iainnya -telah menyimpang dari kehendak
Tuhan. Kekerasan berjubah agama seperti itu jauh lebih mengerikan ketimbang
persebaran ideologi-ideologi dunia seperti yang sering dikhawatirkan ofoh kaum
agamawan, semisal: sosialisme-komunis dan kapitalisme. Menurut Zuly Qodir
berbahayanya dari agama yang menjadi ideologi bukan saja karena agama tersebut
tidak dapat memberikan respons positif dan segera (rapid response) atas problemproblem yang muncul, tetapi tendensinya lebih mengarah pada adanya politisasi dari
kelompok yang merasa memiliki otoritas menafsirkan agama tersebut. Dari sanalah
-agama-agama yang teddeologisasi biasanya lebih mencerminkan wajahnya yang
instanan, kering clan tidak lagi mencerahkan. Selanjutnya, Zuly Qodir menunjukkan
bahwa walaupun semua agama tidak sepenuhnya bisa melepaskan diri adanya ideologi
yang dibawanya, terlebih-lebih agama-agama rumpun Abraham (Yahudi, Kristen
152

.-

dan Islam). Ketiga rumpun agama tersebut menurut Zuly Qodir sangat kuat dengan
ideologi misionarisnya yang tak jarang membawa akibat bentrokan antar sesamanya
termasuk dengan agama lainnya. Dalam sejarahnya selama bertahun-tahun wacana
ketegangan antar mereka terus melanda dunia. Bahkan telah menyulut perang
di berbagai kawasan yang menelan korban jiwa, yang oleh mereka 、ゥー・イ」。ケョセZM@
sebagai 'mati di jalan Tuhan'. Di sinilah sifat dari ambivelensi beragama tersebut;
di satu sisi dia mengajarkan perdamian, keselamatan, tetapi di sisi lainnya justru
dibarengi dengan kekerasan, pertumpahan darah dan menjadi salah satu sumber
bencana kemanusiaan (Zuly Qodir, 2007: 34-35).

3.

Kemayoritasan dan Kekuasaan: Membangun Proyek Koalisi

'Sesat', satu kata yang sampai beJakangan ini masih terus menggulir dan
sekaligus sering mewarnai topik-topi.k pemberitaan media massa di Tanah Air.
Dalam agama Islam, institusi yang dianggap memiliki legalitas untuk mengeluarkan
fatwa seperti sesat-menyesatkan, haram-halal dan sebagainya, adalah Majelis Ulama
Indonesia (MUI). Namun demi.kian, dalam implementasinya fatwa sesat dalam
konteks keagamaan itu selalu merupakan hubungan sinergis antara MUI dengan
institusi-institusi lainnya dalam menjamin leg.ilitasnya. Legalitas fatwa (sesat),
dengan demikian akan dipandang leLih legitimit apabila hal itu dikeluarkan melalui
adanya sinergi antara MUI dan institusi Negara seperti kejaksaan Gaksa Agung),
kementerian agama (Menteri Agama) dan kementerian dalam negeri (Menteri
Dalam Negen).
Terbilang uni.k t:unpaknya di Indonesia, ketika fungsi kejaksaan juga terkait
dengan 'kepentingan agama'; yang dalam konteks kepentingan untuk meluruskan
paham-paham keagamaan yang dianggap menyimpang. Keunikannya itu pen:iah
dipertanyakan 'Kompas"(dimuat dalam terbitan 5 Agustus 1993) yang berbunyi:
"Sejak kapan sebetulnya kejaksaan diberi wewenang begitu luas untuk
menindak ォ・ャッューセ@
agama dan kepercayaan yang dianggap
menyimpang itu?; Sejak kapan kejaksaan mengimajinasi.kan dirinya sebagai
pelindung dari apa yang kemudian disebut kesucian agama dan ketenteraman
kehidupan umat beragama?".
Untuk menemukr.n substansinya, Ahmad Baso (2005:238-240) melacak
kembali fungsi kejaksaan di Indonesia yang ternyata masih kuat disemangati oleh
pemi.kiran-pemi.kiran hukum masa kolonial. Semangat hukum tersebut dalam gerak
perjalanan politik di Indonesia, kemudian diwarnai pula oleh adanya kepentingan
internal di dalam negeri.
153

Dalam UUDS 19 50 Pasal 43 ayat (3) ada disebutkan bahwa "Penguasa memberi
perlindungan yang sama kepada segala perkumpulan clan pcrsekutuan agama
yang diakui". Dalam ayat (5) "Penguasa mengawasi supaya segala persekutuan
dan perkumpulan agama patut taat kepada undang-undang termasuk aturanaturan hukum yang tidak tertulis".
Menurut Ahmad Baso ada dua kata: "diakui" clan "perlindungan", yang
mengarah kepada fungsi Pemerintah (dalmn hal ini kejaksaan) memiliki 'imajinasi'
untuk menentukan mana aga..+na yang diakui clan mana yang tidak; atau mana yang
resmi clan yang tidak resmi.
Menurut Ahmad Baso (2005: 241-247), kemunculan biro Pengawasan
Terhadap Kepercayaan Masyarakat (Pakem) terinspirasikan dari UUDS 1950
pasal 43 yang sesungguhnya rumusan kata-katanya masih mengandung sejumlah
kelemahan. Untuk mengatasi kelemahan dari kata dalam pasal 18 UUDS 1950
tersebut maka Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo (menjabat 19 53-19 55) berinisiatif
membentuk Panitia Interdepartemental Peninjauan Kepercayaan-icepercayaan
di dalam masyarakat (disingkat: Panitia lnterdep Pakem) dengan SK. No. 167 /
PROMOSI/1954 yang diketuai oleh Kepala Reserse Pusat Kejaksaan Agung
pada Mahkamah Agung. Salah satu tugas dari panitia ini adalah "mempelajari dan
menyelidiki bentuk, corak, clan tujuan dari kepercayaan-kepercayaan di dalam
masyarakat beserta cara-cara perkawinan".
Dalam upaya untuk mengefektifkan penangkalan terhadap kemunculan aliranaliran paham keagamaan semacam itu, maka pada tahun 1960, lembaga tersebut
Pakem' (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat). Biro
ditingkatkan menjadi セゥイッ@
pa.kem tersebut memiliki tugas pokok yaitu "mengkoordinasikan tugas pengawasan
terhadap aliran-aliran kepercayaan dalam masyarakat bersama instansi-instansi ·
pemerintah lainnya untuk kepentingan keagamaan clan ketertiban umum". Lembaga
ini kemudian dikukuhkan pula oleh Tap MPRS No. II/1960 tentang Garis-Garis
·Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta berencana Tahapan Pertama 19611969. Ada tiga tugas pokok yang dijabarkan dalam Tap MPRS tersebut, sebagai
berikut:
(1) Menyalurkan kepercayaan/ agama ke arah pandangan yang sehat;
(2) Menyalurkan perkembangan kepercayaan/ agama itu ke arah ke-Tuhan-an
Yang Maha Esa;
(3) Menjaga keamanan clan kesejahteraan rohani bangsa Indonesia.

154

.. -

Tap MPRS ini pula yang mendasari lahirnya UU Pokok Kejaksaan tahun 1961
yang membebankan tugas kepada kejaksaan pada fungsi 'pengawasan terhadap
kelompok-kelompok agama kepercayaan dalam masyarakat'. Lembaga PAK.EM ini
kemuclian menjadi bersifat nasional, didirikan di tiap-tiap provinsi clan kabupaten,
melalui Surat Edaran Departemen Kejaksaan Biro Pakem Pusat No. 34/Pakem/
S.E./61 tanggal 7 April 1961. Tugas pokok Pakem terutama adalah:
"mengikuti, memperhatikan, mengawasi gerak-gerik serta perkembangan dari
semua gerakan agama, semua aliran kepercayaan/ kebatinan, memerikas clan
mempelajari buku-buku, brosur-brosur keagamaan/ aliran kepercayaan, baik
yang berasal dari dalam maupun luar negeri, demi kepentingan ketertiban
umum".

Untuk memperlancar pelaksanaan tugas-tugas dalam penertiban agama/
kemunculan aliran kepercayaan yang berpotensi dapat · mengganggu ketertiban
umum, maka melalui Surat Instruksi Jaksa Agung No. 1/Insr/Secr/1963 tanggal 5
Pebruari 1963dirumuskan dua butir tugas dari biro Pakem, seperti:
(1) Ajaran-ajaran/ gerakan-gerakan yang dapat menimbulkan gangguan
ketertiban/ keamanan umum;
(2) Ajaran-ajaran/ gerakan-gerakan yang dapat merugikan para pengikutnya
Dalam
atau masyarakat umwnnya di bidang mental/ spiritual clan ュ。エセイゥャN@
hal suatu gerakan agama/ aliran kepercayaan memunpakkan tanda-tanda
clan kecenderungan kea rah kesesatan, maka Tim Pakem harus mengambil
tindakan pencegahan.
Pada hakikatnya secai:a hukum, kedudukan Pakem dipandang masih· lemah
karena bclum memilik:i. payung hukum yaitu Undang-undang. Menurut Weinata
Sairin (1996: 26-28), tugas pengawasan yang dilimpahkan kapada Biro Pakem
Kejaksaan mulai mendapat kedudukan hukum (hukum positif) sejak dikeluarkannya
Penetapan Presiden No.1 Tahun 1965 tanggal 27Januari1965 tentang "Pencegahan
clan Penyalahgunaan clan/ atau Penodaan Agama, yang kemudian menjadi hukum
posirif. Dalam pasal 1·disebutkan:
"Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan,
menganjurkan, atau mengusahakan dukungan um.um, untuk melakukan
penafsiran tentang suatu agama yang diantit di Indonesia, atau melakukan
kegiatan-kegiatan keagarnaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan
yang menyerupai dari agama itu, penafsiran clan kegiatan mana menyimpang
dari pokok-pokok ajaran agama".
155

Tujuan pokok dari penetapan Presiden tersebut adalah untuk 'mengamankan'
agama-agama rcsmi yang diakui negara dari tindakan penyimpangan clan penistaan
dari kelompok-kelompok agama atau kepercayaan lain, yang pada gilirannya
juga untuk mengamankan stabilitas kekuasaan negara. Selanjutnya menurut
Weinata Seirin (1996:79), ini adalah salah satu momen ketika agama dan negara
saling bertukar tempat clan sekaligus saling memperalat satu sama lain. Karena
dalam aturan itu disebutkan larangan melakukan penafsiran atau kegiatan yang
'menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama'. Aturan inilah selanjutnya clipakai
dasar oleh kelompok-kelompok agamawan di Indonesia terutama yang sedang
gencarnya menjalankan agenda-agenda purifikasi atau lebih populemya 'pemurnian
agama semurni-murninya'. Wacana kemurnian dan kesahihan tafsir yang benar, jelas
akan dijadikan dalih oleh kalangan agamawan untuk mengontrol dan mengendalikan
sejauh mana prakti.k-praktik keagamaan yang dijalankan individu atau kelompok
masyarakat menyimpang dari garis-garis pokok ajaran keagamaan. Sekaligus sebagai
kelanjutannya, memaks3kan agenda-agenda puritanisasi atau proselitisasi bagi
komunitas-komunitas agama yang tidak mengindahkan garis pemurnian, garis-garis
dan pokok ajaran yang benar dalam agama.
Dalam menjalankan agendanya itu, seringkali tampak adanya keterlibatan
aparat (polisi ataupun juga tentara) sehingga terkesan bahwa praktik-praktik
keagamaan adalah sesuatu yang 'kriminal'. Kriminal, karena dicap 'sesat' yang oleh
tokoh-tokoh agama dan aparatur negara dianggap berpotensi dapat menggangu
ketenteraman warga (Daniel Dhakidae, 2003: 67). Berdasarkan catatan Kahumas
Kejaksaan Agung, sejilk tahun 1949 hingga tahun 1992 saja sudah terdapat 517
aliran kepercayaan di wilayah RI yang 'mati' (Kompas, 5 Agustus 1993). Dapat
dibayangkan berapa jumlahnya kalau dihitung sampai sekarang; karena yang jelas
belum. termasuk pembubaran aliran-aliran keagamaan/ kepercayaan atau pun yang
telah difatwa sebagai aliran 'sesat' yang masih marak tetjadi belakangan ini. 'Mari'
adalah bahasa lain dari bubar, membubarkan diri, dibubarkan, dilarang, disesatkan
atau dikriminalkan; sebagaimana logika yang biasa dianut oleh kelompok dominan
yang merasa sebagai agama yang diakui resmi oleh Nega..-a.
Pengkafuan berlanjut pada vonis penyesatan tak terlepas dari keimanan
yang bercorak misionaristis yang selalu berangkat dari keyakinan kebenaran yang
monolitik dan keyakic.an ortodoksi yang absolut. Moeslim Abdurrahman (2003:
150-151) menilai hal.itu sebagai sebuah kecenderungan kuat yang biasanya terjadi
dalam jenis agama wahyu. Sebagai contoh misalnya, ia melihat betapa kerasnya
Islam dalam menuntut ketegasan antara 'identitas agama' dengan sinkretisme
agama. Islam yang dimaksudkan di sini terutama adalah mereka yang mendasari diri
dari ajaran agama yang bersumLer dari fiqli yang preskriptif. Umumnya, mereka
156
..ii.,.,

merasa Islam-nyalah yang paling benar; clan atas pandangan teologis semacam itu
kemudian menjadi bersikap tidak toleran terhadap siapa pun yang mengungkapkan
ke-Islam-an itu dalam wajah clan produk budaya mereka sendiri. 'Islamisasi' yang
dipakai contoh oleh Moeslim Abdurrahman, dipandang sebagai proses sejarah
yang tidak akan pernah berakhir. Karena hal itu memang merupakan panggilan
agama (calling) sebagai bagian dari tugas suci. Dengan begitu, orang-orang yang
merasa 'lebih Islam', tentu terpanggil akan berusaha, terus-menerus, dengan
keyakinan clan ikhtiarnya, agar orang lain menjadi Islam, seperti dirinya. Ingatlah
akan dalih tentang seruan agama untuk mengajak 'agar mereka kembali ke jalan
Allah'. Menurut Moeslim Abdurrahman, inilah alasan mengapa selama ini tumbuh
semangat dakwah; semangat yang menempatkan bahwa dalam mengekspresikan
'ke-Islam-ari' harus ada kriteria normatif yang bisa menggolongkan umat Tuhan.
Seolah-olah yang satu merasa harus menjadi subyek clan yang lain menjadi obyek
dari kegiatan dakwah keagamaan.
Pada dasarnya, seruan 'agar mereka kembali ke jalan Allah' merupakan reaksi
yang didorong oleh adanya perubahan-perubahan yang dipandang berada di luar
jalur ajaran agama. Oleh karena pemahaman atas isi ajaran agama (yang benar)
itu menjadi klaim para pemuka agama (claim ofreligious elite) yang biasanya juga
adalah pimpinan-pimpinan di masyarakat (elite class), maka atas kepentingannya
untuk mempertahakan status quo-nya; dengan demikian, mereka juga harus
dapat mengendalikan clan mengarahkan peninjauan kembali ajaran-ajaran agama
demi juga mempertahankan kedudukannya di masyarakat. Dengan demikian,
pemahaman baru terhadap agama tergantung kepada mereka. Tentu saja mereka
tidak serta merta dapat menerima 'sesuatu yang berasal dari luar'. Sebagai pimpinan
masyarakat mereka akan berusaha lfl.engendalikan clan mengarahkan berdasarkan
prinsip-prinsip seleksi; mana yang baik buat diri mereka, clan mana yang dianggap
akan merugikan atau dianggap merusak sistem tatanan masyarakat; serta yang
bertentangan dengan ajaran-ajaran agama yang dipahaminya. Pada fungsi penolakan
inilah sering terkumpul luapan emosi, arogansi atau otoritarianisme yang eksplosif
( Muh. Shaleh Isre, 1999: 77) clan selanjutnya dapat mendorong munculnya sikap
hiperprotection di kalangan pemimpin agama.
Majelis U1ama Indonesia (MUI) yang sejauh ini banyak menuai kritik terutama
dalam kiprahnya untuk membentengi umat Islam dari kekhawatirannya terhadap
merebatnya paham kebebasan di masyarakat. Dalam mukadimaah MUI yang
. tercantum di dalam buku "Mengawal Aqidah Umat: Fatwa MUI Tentang AliranAliran Sesat Di Indonesia" (t.t.: 1-2), secara sistematis telah dirancang pedoman
/kriteria-kriteria normatif tentang ajaran agama Islam untuk menetapkan, apakah
ajaran tertentu menyimpang dan/ atau tidak, dari aqidah maupun syariah Islam.
157

Kriteria tersebut selanjutnya diperankan untuk menyeleksi paham atau pun ajaranajaran yang tuenyerupai Islam. Berdasarkan hasil penyeleksian itu kemudian
selanjutnya dipakai landasan dalam mengambil langkah-langkah kelembagaan.
Penetapan fatwa yang populer dikenal dengau 'sesat-menyesatkan' terhadap aliran
keagamaan Islam yang berkembang di Indonesia, berpedoman dari. 'Kriteria Aliran
Sesat'berdasarkan keputusan Rapat Kerja Nasional MUI tanggal 6Nopember 2007
(dimuat dalam buku saku "Catatan Seputar Kesesatan Ahmadiyah", 2008: 17-19).
Ada 10 butir kriteria yang dirumuskan dalam menentukan bahwa suatu paham
keagamaan dapat digolongkan sebagai aliran sesat, seperti:
(1) Mengingkari salah satu dari. rukun iman yang 6 (en.un) yakni beriman kepada
Allah, kepada malaikat-Nya, kepada kitab-Nya, kepada rasul-rasul-Nya,
kepada hari akhirat, kepada qadla clan qadar clan rukun Islam 5 Qima) yakni
mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, mengeluarkan syakat,
berpuasa pada bulan Ramadhan, menunaikan ibadah haji;
(2) Meyakini clan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan dalil syar'i (alQur'an dan Assunnah);
(3)" Meyakini turunnya wahyu setelah al-Qur'an;
(4) Menginglr.ari otentisitas dan atau kebenaran isi al-Qur'an;
(5) Melakukan penafsiran al-Qur'an yang tidak betadasarkan kaidah-kaidah
tafsir;
(6) Mengingkari kedudukan hadits Nabi sebagai sumber ajaran Islam;
(7) Menghina, melecehkan dan atau merendahkan;
(8) Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir;
(9) Merubah, menambah clan atau mengurangi. pokok-pokok ibadah yang telah
ditetapkan oleh syari'ah seperti haji tidak ke Baitullah, shalat fardlu tidak 5
waktu;
(10) Mengkafukan sesama muslim tanpa dalil syar'i, seperti mengkafukan muslim
hanya karena bukan kelompoknya.
Juga ditekankan bahwa suatu alitan dinyatakan sesat apabila termasuk dalam
salah satu dari. sepuluh kriteria tersebut, tetapi tampaknya tidak ada rumusan yang
menyatakan keputusan itu bersifat mengi.kat. Ini menunjukkan bahwa MUI dapat
dikatakan hanya memiliki peranan sebatas sebagai institusi keagamaan yang bersifat
adhoq. Keputusan pelarangan ataupun pembubaran yangmemiliki kekuatan hukum
tetap terhadap aliran yang digolongkan sesat berada di wilayah huk.um Negara, yang
sejauh ini masih berpedoman pada Penetapan Presiden No.1 Tahun 1965 tanggal
27 Januari 1965 yang selanjutnya dikukuhkan sebagai Undang-undang No.5 Tahun
1969. Dasar hukum untuk menetapkan suatu aliran sesat sebagai bentuk pelanggaran

158

......



hukum (Negara) inipun masih arus memenuhi lagi dua delik. (pelanggaran) dalam
bidang agama, yakni 'delik. penyelewengan agama' clan delik. 'anti agama'. Ketentuan
tersebut tercantum dalam Surat Kejaksaan Agung RI No.B-1177 /D.1/10 1982
tanggal 30 Oktober 1982 tentang: 'Tindak Pidana Agama' (Baso, 2005: 244-245).
Dapat dikatakan Surat Kejagung RI tersebut telah dengan gemilang berhasil
memberangus 517 aliran kepercayaan sejak tahun 1949 hingga tahun 1992 seperti
dilansir harian Kompas 5 Agustus 1993; clan jumlahnya tentu terus meningkat
sampai belakangan. Namun, jangkaun hukum untuk memutuskan bahwa aliran
Ahmadiyah dapat digolongkan sebagai bentuk pelanggaran tindak pidana agama,
sejauh ini tampaknya masih belum dapat memenuhi persyaratan. Karena pada
dasarnya kegiatan sempalan agama tersebut belum terbukti secara hukum melakukan
pelanggaran yang dapat cligolongkan sebagai tindak pidana agama. Menurut Ahmad
Baso, fatwa sesat clan menyesatkan tidak lain hanyalah imajinasi sekelompok Ulama
yang tergabung dalam MUI untuk menunjukkan dukungan mereka terhadap
komitmen ikrar semangat 'solidaritas Islam' yang cligelorakan untuk mengitnbangi
kekuasaan Barat yang bersekutu. Mt::nurut pembacaan Ahmad Baso, MUI dalam
hal ini identik dengan 'ke-mayoritas-an' sehingga menjadikannya sebagai faktor
penggerak pendifinisian segenap dinamika sosial-politik umat Islam di Indonesia
sampai sekarang. Imajinasi kemayoritasan ini pada gilirannya · menentukan satu
bentuk representasi kehidupan sosial-politik. Artinya, ia tidak hanya bernilai
secara politis, bermanfaat untuk kepentingan artikulasi politik, tetapi menjadikan
dirinya bagian dari politik itu sendiri. Oleh karena umat Islam di Indonesia adalah
mayoritas, maka negara berkewajiban melaksanakan hukum Islam (Baso, 2005: 314315). Selanjutnya Ahmad Baso juga menyitir bahwa dalam konteks ini, Islam (MUI)
memang tidak tampak menyatu atau melebur ke dalam negara. Namun, menempati
posisinyamasing-masingyang 'empuk', yang di dalatnnya seringkali dapat berlangsung
tukar menukar kekuasaan. Negara terpanggil juga menjalankan hukum Islam, dan
MUI diupayakan mendukung legitimasi kebijakan negara. MeWui praktik-praktik
perselingkuhan seperti inilah potret ketidak-tegasan identitas bentuk Negara RI
ditampilkan: Indonesia bukan negara agama clan bukan pula negara sekuler. Bukan
Negara Agama karena negara tidak menjadi satu dengan agama, masing-masing
sudah ada pembagian kerja dengan wilayah tugasnya masing-masing. Bukan pula
Negara Sekuler karena Negara tidaklah angkat tangan (hands ッセ@
terhadap agama,
clan agama menjadi urusan Negara. Artinya, ketidakjelasan identitas 'kelamin'seperti
itu menurut Ahmad Baso bukannya berarti kontradiktif, tetapi malah produktif.
Sama-sama melahirkan suatu bentuk pengetahuan clan kuasa demi kepentingan
masing-masing, baik Islam maupun Negara sehingga tidak menimbulkan protes
dari rakyat. Pengetahuan clan kuasa itu justru akan lenyap clan relasi harmonis antara

159

agama (Islam) dan Negara pun berantakan, kalau identitas 'kelamin'nya terungkap;
Indonesia 'negara agama', 'Negara Islam' atau, Indonesia 'Negara Sekuler'. Maka
menurut Ah..tnad Baso lebih baik identitas 'kelamin' Negara ini dalam bahasa fiqih
dibuat khuntsa, dibuat remang-remang; bukan laki dan bukan perempuan, tapi
bukan pula waria (Baso, 2005: 321). Memosisikan antara agama (Islam sebagai
mayoritas) dengan Negara sampai sekarang tampaknya masih menimbulkan
beragam pandangan. Ada yang berpandangan bahwa Islam adalah agama sekaligus
Negara (din wa daula); tetapi sebaliknya, ada pula yang berpandangan bahwa
dalam Islam agama dan politik adalah dunia yang berbeda dan terpisah, mulai sejak
jaman Nabi Muhammad sampai sekarang. Di Mesir misalnya, pandangan yang
memisahkan antara agama (Islam) dengan negara dianut oleh seorang cendikiawan
berpengaruh di negeri itu yaitu Ali Abdul Raziq. Dalam pandangannya itu, Raziq
bahkan menegaskan bahwa kekhalifahan atau sistem pemerintahan Islam tertentu
tidak pernah ada atau tidak pemah dibutuhkan dalam Islam; dan oleh karena itu
ia menganjurkan pemisahan antara agama Win Negara. Di Indonesia, pandangan
semacam Raziq umumnya dianut oleh kalangan cendikiawan Islam yang tergolong
generasi 'neo-modemis Islam'. Mereka yang sering dis