AGAMA DAN KEKERASAN MASSA DI INDONESIA

AGAMA DAN KEKERASAN MASSA DI INDONESIA1
(Mengurai Akar Ideologis Kekerasan Teologis Pasca Reformasi)
Oleh: Subair2
(subairabdullah@iainambon.ac.id)
Abstrak
Kekerasan massa menjadi kekerasan teologis ketika menggunakan dalih dan dalil agama
untuk melegitimasi penggunaan kekerasan. Aksi kekerasan teologis biasanya “ditutuptutupi” oleh pemuka agama itu sendiri dengan dalih agama pada dasarnya menganjurkan
kebaikan, perdamaian, hidup rukun, dan saling menghormati. Karena itu, perlu sebuah
kritik ideologi terhadap agama yang eksis untuk mengingatkan bahwa agama bukanlah
barang suci yang bebas dari kontaminasi manusia. Tulisan ini, oleh karenanya, ditujukan
sebagai kritik ideologi yang bertujuan menjelaskan bahwa agama terbentuk melalui proses
sejarah, bercampur dengan budaya serta hasrat-hasrat manusia. Kata “agama” sendiri
memiliki jenis pemaknaan yang luas meliputi gagasan-gagasan, praktek-praktek, juga
pengalaman-pengalaman – kadang positif dan kadang negatif. Kritik ideologi bukan
bermaksud melemahkan fungsi agama sebagai jalan hidup manusia, bukan pula sebagai
justifikasi atas kebenaran kaum atheis, tapi refleksi untuk membangun agama menjadi
lebih baik, terutama dalam posisinya sebagai unsur yang melekat dalam sejarah dan
budaya manusia. Akhirnya, jawaban atas kritik itu bukan apologia (membela diri), tetapi
transformasi kritik tersebut untuk pemurnian pemahaman agama.
Kata Kunci: kekerasan agama, radikalisme, fundamentalisme, kritik ideologi
Pendahuluan

Indonesia terperangah, ketika secara tiba-tiba kekerasan sosial, sebagai salah satu
bentuk manifestasi dari konflik sosial, terjadi secara luas hampir di seluruh Indonesia
dalam beberapa tahun terakhir. Dipicu oleh krisis keuangan yang berawal sejak
pertengahan tahun 1997 dan mencapai puncaknya di awal 1998, terjadi serangkaian
kekerasan sosial berupa kerusuhan dan penjarahan di berbagai tempat di Indonesia yang
dipicu oleh kelangkaan dan kenaikan harga bahan-bahan pokok. Setelah itu, gelombang
konflik kekerasan seakan tak pernah berhenti melanda seluruh negeri dengan beragam
motif dan faktor pemicu. Gerakan separatis di Aceh dan Papua, yang sudah ada sejak
lama, mendapatkan momentum baru. Konflik komunal telah memporak-porandakan
Sambas, Poso, Maluku, dan Sampit. Sementara di pulau Jawa banyak orang yang diduga
sebagai dukun santet terbunuh. Lebih lanjut, kasus-kasus tawuran antar kampung, konflik
politik, pertanahan dan hubungan ekonomi lainnya, serta berbagai bentuk konflik dan
kekerasan sosial seperti tak henti-hentinya terjadi hampir di seantero negeri sejak
berlangsungnya krisis ekonomi dan dimulainya transisi menuju demokrasi (Tadjoeddin,
2002: 10).
Seiring dengan itu, isu radikalisme agama sangat menguat dan mengguncangkan
kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Terjadi peristiwa bom Bali menewaskan
ratusan nyawa, ledakan bom di Hotel JW Marriot, Jakarta dan tempat-tempat lainnya.
Kelompok agama fundamental berjuang sekuat tenaga dan dengan segala cara,
memperjuangkan visi dan misi mereka, tanpa peduli akan kenyataan dalam masyarakat

1

Makalah disampaikan pada Seminar Internasional “Kekerasan (Keganasan) Agama: Pendekatan
Ideologi, Hukum dan Pendidikan, kerjasama IAIN Ambon dan Universiti Kebangsaan Malaysia, Ambon 8
November 2015.
2
Staf Pengajar Jurusan Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Ambon.

1

bahwa bangsa ini adalah pluralis. Mengutip cacatan The Wahid Institut (2011: 1),
sepanjang tahun 2011 terdapat 49 kasus (48%) kasus pelanggaran kebebasan beragama
atau berkeyakinan, pelarangan atau pembatasan aktifitas keagamaan atau kegiatan ibadah
kelompok tertentu dengan kemudian tindakan intimidasi dan ancaman kekerasan oleh
aparat negara 20 kasus atau 20%, pembiaran kekerasan 11 kasus (11%), kekerasan dan
pemaksaan keyakinan 9 kasus (9%), penyegelan dan pelarangan rumah ibadah 9 kasus
(9%), dan kriminalisasi atau viktimisasi keyakinan 4 kasus (4%). Jumlah pelanggaran
kebebasan beragama dan berkeyakinan di berbagai daerah di Indonesia itu meningkat
sebanyak 18% dari dari tahun sebelumnya yang hanya terdiri atas 64 kasus.
Belum lagi kekerasan atas kelompok minoritas oleh kelompok mayoritas seperti

penyerbuan Kampus Al-Mubarok, Ahmadiyah di Parung sampai penutupan Rumah Ibadah
Kristiani di Bandung Jawa Barat. Kasus terbaru pada tahun 2015 adalah kasus pembakaran
masjid di Tolikara Papua dan pembakaran gereja di Singkil, Aceh. Berdasarkan catatan
Setara Institute (2012), terdapat 216 kasus serangan terhadap minoritas agama pada 2010,
244 kasus pada 2011, dan 264 kasus pada 2012. Kelompok yang terlibat atau mendukung
penyerangan terhadap minoritas termasuk Forum Umat Islam (FUI), Forum Komunikasi
Muslim Indonesia (Forkami), Front Pembela Islam, Hizbut-Tahrir Indonesia, dan Gerakan
Islam Reformis (Garis). Mereka disatukan dengan satu pemahaman Islam Sunni bahwa
kaum non-Muslim, tak termasuk Kristen dan Yahudi, sebagai "kafir" dan melabeli Muslim
yang berbeda pandangan dengan Sunni ortodok sebagai "penoda agama". Ironisnya,
kekerasan secara langsung terhadap kelompok agama minoritas ditopang infrastruktur
hukum di Indonesia atas nama "kerukunan umat beragama," yang praktiknya justru
menggerogoti kebebasan beragama. UUD 1945 dengan tegas menjamin kebebasan agama,
sebagaimana Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang diratifikasi Indonesia.
Namun, pemerintah Indonesia juga sekian lama membuat, dan dalam beberapa tahun
terakhir memperkokoh, peraturan yang menjadikan agama-agama minoritas didiskriminasi
secara resmi dan menyudutkan penganutnya sehingga rentan diserang oleh komunitas
mayoritas yang tak segan main hakim sendiri (Anonimous, 2013).
Fenomena-fenomena kekerasan atas nama atau bernuansa agama di atas mengubah
wajah agama yang ramah menjadi wajah yang penuh amarah. Inti agama yang berupa

kebaikan, kebenaran, keselamatan, dan cinta kasih berubah menjadi penghakiman,
penyeragaman, dan pemaksaan (Subair, 2014: 34). Wacana agama menjadi paradoksal:
tidak hanya bersifat rahmat bagi semua tapi juga bencana, karena melahirkan fenomenafenomena kekerasan. Meskipun terdapat banyak pernyataan apologetis, khususnya dari
kalangan agamawan, bahwa agama secara esensial hanya mengajarkan perdamaian dan
menentang kekerasan; tetapi manusia saja yang kemudian menyalahgunakan agama untuk
kepentingan pribadi/kelompok sehingga menyulut kekerasan, yang jelas fenomena aksi
kekerasan atas nama agama secara riil (nyata) terjadi dalam kehidupan kita.
Pertanyaan adalah mengapa manusia melakukan kekerasan kepada sesamanya
(dengan) mengatasnamakan agama? Dan bagaimana penjelasan sosiologis terhadap
fenomena tersebut? Tulisan ini, secara umum, memang ditujukkan untuk menjawab
pertanyaan krusial tersebut. Dalam tulisan ini, yang akan dibicarakan adalah kekerasan
dengan mengatas namakan agama. Bentuk kekerasan inilah yang kita kenal sebagai
kekerasan teologis, yaitu menggunakan dalih dan dalil agama untuk melegitimasi kepada
penggunaan kekerasan dalam jihad besar dan perjuangan suci melawan kelompokkelompok lain.
Kekerasan Teologis: Agama sebagai Akar Kekerasan?`
Semua agama mengkritik kekerasan tetapi faktanya, kekerasan atas nama agama
menjadi bagian dari aksi massa yang terjadi di banyak tempat di sepanjang sejarah
kehidupan manusia. Islam, secara doktrinal adalah agama non-kekerasan, namun fakta
2


penaklukan atau dalam bahasa historiografi Islam lebih dikenal dengan pembebasan
(futuhat) yang dilakukan terutama mulai abad 7 juga menggandeng kekerasan. Agama
Kristen yang mengklaim diri dan memiliki misi sebagai agama cinta kasih, namun sejarah
kekristenan juga sarat dengan kekerasan. Beberapa kasus perang agama/perang
salib (crusade), dan kolonialisme barat atas dunia muslim abad 18 dan 19, juga sarat
dengan kekerasan. Bagaimana kemudian peristiwa-peristiwa tersebut hendak diterangkan?
Menurut Haryatmoko (2003: 64), terdapat tiga pemahaman peran agama yang bisa
menjelaskan kaitan antara agama dan kekerasan: pertama, agama sebagai kerangka
penafsiran religius terhadap hubungan sosial (fungsi idiologis); kedua, agama sebagai
faktor identitas; dan ketiga, agama sebagai legitimasi etis hubungan sosial.
Sebagai ideologi, agama berfungsi melegitimasi suatu tindakan. Ia berfungsi
sebagai norma atau tata aturan yang menentukan baik buruknya suatu perbuatan, benar
salahnya suatu tindakan. Karena agama berbicara mengenai kebenaran, tidak jarang
tindakan-tindakan kekerasan itu dilakukan atas nama Tuhan. Begitu pula keyakinan
seseorang selalu diposisikan sebagai sesuatu yang bertentangan satu sama lain. Keimanan
serta kesalehan lalu tak lepas dari tindakan menafikan atau menyalahkan keyakinan yang
lain. Corak berfikir oposisi biner menjadikan agama sebagai sesuatu yang eksklusif.
Ajaran-ajaran agama juga sering menjadikan kekerasan melalui sarana analogi.
Penghalalan darah non-muslim sering kita temui dalam ajaran Islam. Sudah sangat familiar
bahwa ketika suami istri melalukan hubungan intim pada malam Jum’at, pahalanya sama

dengan membunuh seribu orang Yahudi. Bangsa Yahudi sendiri tidak jauh berbeda, dalam
Talmud (Bayamut, no 6) disebutkan bahwa kaum Yahudi akan menjadi bernajis apabila ia
menyentuh kuburan orang-orang non-Yahudi (goim), karena mereka itu binatang, bukan
manusia. Setiap ajaran Abrahamistik hampir memiliki konsep serupa yang dekat dengan
kekerasan. Kristen pun demikian, mereka memiliki semboyan extra ekresia mulasanus,
yang artinya di luar gereja tidak akan ada yang selamat.
Dalam keberagaman etnis dan geografis penduduk Indonesia, agama membentuk
dirinya sebagai identitas masyarakat. Ia menjadi lebih kental lagi bila dikombinasikan
dengan identitas etnis seperti Aceh Muslim, Ambon Protestan, Flores Katolik, Bali Hindu,
dan sebagainya. Pertentangan pribadi atau etnis bisa menyulut dan berubah menjadi
konflik antar-agama yang melibatkan kekerasan massa. Konflik yang terjadi berubah isu
menjadi konflik agama, padahal konflik tersebut mulanya terjadi karena adanya
kesenjangan ekonomi atau perbedaan pilihan politik. Identitas yang terbentuk berdasarkan
latar belakang agama ini, juga dapat memelihara ingatan kolektif masyarakat. Orang akan
terus ingat dengan konflik seperti di Poso, Ambon, Ternate, atau pemboman tempat ibadah
serta penghinaan atas keyakinan (agama). Suatu ketika konflik-konflik semacam ini akan
muncul kembali jika ingatan tersebut masih terpelihara. Pelanggengan ingatan ini biasanya
berjalan melalui lembaga, seperti keluarga maupun pendidikan. Tidak terkecuali penataan
pemukiman yang kurang baik (penataan segregatif berdasarkan etnis dan agama) ikut
memelihara ingatan kolektif ini.

Penjelasan tentang hubungan kekerasan dan agama juga bisa dijelaskan dari
perspektif kekerasan massa. Kekerasan atas nama agama bisa dimasukkan dalam kategori
kekerasan massa karena agama dapat mewakili kelompok massa tertentu. Mengikuti
pikiran Budi Hardiman (2005: 65) yang menggunakan istilah “anatomi” kekerasan massa,
kekerasan masal berasal dari tangan manusia, tetapi peristiwa kekerasan massa melampaui
intensi-intensi dari pelakunya. Kekerasan (dalam bahasa Hardiman: chaos) bukanlah
ledakan spontan ressentiment, melainkan dipersiapkan melalui proses-proses tindakan
manusia, Hardiman menambahkan kekerasan adalah bagian dari suatu proyek untuk
mengubah sebuah tatanan yang dianggap tidak adil. Apakah kekerasan yang ditimbulkan
oleh kelompok agama tertentu memiliki proyek menegakkan keadilan?
3

Dalam kasus kekerasan yang melibatkan agama, keadilan yang ingin dicapai adalah
keadilan menurut Wahyu milik kelompok yang menuntut atau melakukan kekerasan.
Kekerasan yang dilakukan menurut mereka adalah upaya “membela” Wahyu. Kasus yang
menimpa Ahmadiyah bisa dijadikan contoh yang menunjukkan secara jelas bahwa umat
Islam arus utama (mainstream) menghendaki keadilan bagi agama yang dianutnya selama
ini. Mereka tidak ingin Islam mereka diracuni oleh kelompok Ahmadiyah yang membawa
ajaran yang menurut mereka (Islam arus utama) sesat. Lantas kekerasan yang muncul
tersebut akarnya apa? Apakah agama yang menjadi akarnya?

Budi Hardiman (2005: 100) membagi akar kekerasan tersebut menjadi tiga yang
terkait dengan conditio humana, yakni: akar epistemologis, antropologis, dan sosiologis.
a. Akar Epistemologis
Pertama adalah melihat setiap individu. Mengapa individu melakukan kekerasan?
Massa yang menyerang kelompok Ahmadiyah di Cikeusik dengan sangat brutal, penuh
kepuasaan, meneriakkan kebesaran Tuhan, atau berteriak “kafir” secara lantang sulit
dipercaya bahwa para pelaku di dalam peristiwa ini melihat korbannya sebagai “sesama”.
Dengan cara yang sama manusia tidak akan melakukan kekerasan karena dirinya tercermin
dalam diri yang sama tersebut. Kekerasan kemudian dilakukan terhadap yang lain. Korban
diperlakukan sebagai yang lain sampai pada dehumanisasi atau diubah statusnya sebagai
objek. Relasi mereka, pelaku dan korban, diterjemahkan sebagai relasi I-It. Korban
dipersepsikan sebagai benda dan bukan sesama.
Seseorang kemudian mengenali yang lain sebagai anggota suatu kelompok. “Dia
Kristen”, “Mereka Ahmadiyah” atau “Dia makan bersama dengan komplotan pencuri”.
Pada fase kolektivisasi ini orang melihat yang lain sebagai unsur yang sama suatu
kelompok. Orang dalam kelompok yang sama akan semakin mudah melihat kesamaan
sedangkan orang melihat kelompok lain semakin berbeda dengan dirinya. Pengenalan
kolektif ini terdegradasi ke dalam bentuk stigmatisasi. Yang lain, korban kekerasan,
distigmatisasi sebagai sebuah ras, agama, atau kelompok kafir. Lewat stigma kelompok
dibenturkan kepada kelompok sehingga manusia tidak melihat yang lain sebagai manusia,

melainkan sebagai musuh yang harus dihabisi atau dimusnahkan.
b. Akar Antropologis
Seseorang tidak semata-mata bergabung ke dalam sebuah kelompok kemudian
bersama-sama melalukan kekerasan massa secara spontan atau naluriah. “Kewajaran”
dalam menghabisi orang atau kelompok dimungkinkan karena individu-individu melihat
kekerasan mereka sebagai tindakan yang mempunyai nilai dan patut untuk diperjuangkan.
Maka, penting untuk menemukan sistem nilai yang memberikan motivasi atau mendorong
seseorang untuk melakukan kekerasan sehingga kita bisa menemukan akar psikologis dari
kekerasan. Seseorang akan menghabisi atau membunuh yang lain tanpa merasa salah jika
tindakannya tersebut dipandang sebagai realisasi suatu nilai yang dihayati.
Pada prinsipnya manusia memiliki ketakutan terhadap kematian. Untuk mengatasi
ketakutan akan kematian tersebut manusia memeluk nilai-nilai yang ditawarkan oleh
berbagai institusi, salah satunya agama yang menawarkan hidup sudah mati. Nilai tersebut
berfungsi mengatasi rasa panik akan kematian dalam diri manusia. Rasa panik akan
muncul ketika manusia mengalami krisis makna dalam lingkungan sosial. Orang menjadi
rindu akan kepastian datangnya makna. Hal ini menjadi pendorong timbulnya fanatisme,
radikalisme, atau ekstremisme. Ideologi-ideologi tersebut adalah upaya untuk lari dari rasa
ketidakpastian yang sedang dialami.
c. Akar Sosiologis
Kepanikan terletak pada kesadaran dan motivasi manusia. Rasa panik berasal dari

dalam diri, bukan dari luar. Sebagian manusia panik karena merasa takut menghadapi
dirinya sendiri. Manusia merasa takut berada dalam kesepian, bergulat dengan dirinya
sendiri dan menyadari kematiannya dengan lebih tajam. Munculnya kesepian dalam diri
4

individu disebabkan oleh kondisi struktural masyarkat. Zaman sekarang menyulitkan
seseorang untuk menunjukkan dirinya sebagai individu. Manusia terkonsentrasi pada suatu
tempat di mana di situ terkumpul kekuatan modal yang memberi lapangan pekerjaan.
Konsentrasi massa tersebut mengaburkan struktur-struktur sosial dan politik masyarakat
itu. Individu lenyap dalam kolektivitas. Masyarakat tercerabut dari komunitasnya.
Krisis tersebut kemudian diperkuat dengan benturan berbagai khasanah nilai di
dalam masyarakat majemuk. Kekosongan moral dan disorientasi nilai yang dialami
individu ini dapat menjelaskan mengapa suatu ideologi atau sistem nilai yang bersifat
etnosentris, fasistis, fundamentalis muncul di permukaan dan menarik banyak orang yang
sedang dalam situasi krisis. Seolah-olah nilai kekerasan ini menjadi nilai atau “etika semu”
sebagai pelengkap defisit psikis mereka.
Kekerasan atas nama agama juga tidak bisa dilepaskan dari fenomena kebangkitan
radikalisme agama. Di sini, radikalisme secara umum dipahami sebagai gerakan yang
berpandangan kolot dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinan
mereka. Dalam konteks agama, radikalisme adalah ‘segala bentuk fanatisme, dari sikap

sektarian yang yang sekadar mengucilkan yang lain, atau lebih agresif hendak
menaklukkan yang lain dengan kekerasan. Radikalisme agama erat berkaitan dengan
fundamentalisme agama, meski berbeda dalam beberapa hal (Subair, 2014: 54-55).
Fundamentalisme agama tidak serta-merta diikuti oleh radikalisme agama karena tidak
selalu dimanifestasikan dalam agenda dan upaya pencapaian tujuan yang radikal. Banyak
kaum fundamentalis yang menempuh cara yang dilakukan secara gradual, bahkan
berkompromi dengan sistem yang mau diubahnya. Adapun radikalisme lebih menekankan
pada corak pemikiran dan cara bertindak yang hendak mengubah keadaan atau mencapai
tujuan secara cepat dan menjangkau hingga ke hal yang paling dasar.
Istilah radikalisme untuk menyebut kelompok garis keras dipandang lebih tepat
ketimbang fundamentalisme karena fundamentalisme sendiri memiliki makna yang
interpretable. Dalam perspektif Barat, fundamentalisme berarti paham orang-orang kaku
ekstrim serta tidak segan-segan berperilaku dengan kekerasan dalam mempertahankan
ideologinya. Sementara dalam perspektif Islam, fundamentalisme berarti tadjid
berdasarkan pesan moral Al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam tradisi pemikiran teologi
keagamaan, fundamentalisme merupakan gerakan untuk mengembalikan seluruh perilaku
dalam tatanan kehidupan umat Islam kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits (Watt, 1998: 2),
anti-pembaratan (westernisme) (Rahman, 1982: 136). Terkadang fundamentalisme
diartikan sebagai radikalisme dan terorisme karena gerakan fundamentalisme memiliki
implikasi politik yang membahayakan negara-negara industri di Barat.
Dalam beberapa hal, radikalisme agama merupakan bentuk lebih keras dari
fundamentalisme agama. Kepercayaan bahwa agama adalah sistem yang total dan meliputi
seluruh aspek kehidupan dilanjutkan dengan upaya pemaksaan terhadap golongan lain
yang tidak sepaham. Golongan lain dimusuhi dan mau tidak mau harus mengikuti paham
yang dianutnya. Dalam sistem politik, misalnya, kaum radikal agama menggunakan
berbagai cara agar sistem pemerintahan diganti oleh sistem pemerintahan yang sesuai
dengan keyakinannya. Begitu juga sistem sosial dan kebudayaan. Pemerintahan Thaliban
di Afghanistan pada tahun 1996-2001 bisa menjadi contoh dalam hal ini. Mereka merebut
kekuasaan lalu menjalankan syari’at Islam sesuai dengan tafsirnya secara ketat. Pihakpihak yang tidak sepaham disingkirkan bahkan diperangi.
Di sinilah bahayanya radikalisme agama. Radikalisme mereduksi agama menjadi
hanya terfokus pada salah satu dimensi dan menafikan dimensi-dimensi lain. Radikalisme
juga mengubah wajah agama yang ramah menjadi wajah yang penuh amarah. Inti agama
yang berupa kebaikan, kebenaran, keselamatan, dan cinta kasih berubah menjadi
penghakiman, penyeragaman, dan pemaksaan. Bahaya semakin besar apabila radikalisme
agama bermetamorfosis menjadi terorisme atas nama agama (Subair, 2014: 59). Fanatisme
5

menjadi ciri penting dalam radikalisme agama. Kepercayaan yang dibangun sangat kuat,
anti dialog, bahkan mengesampingkan akal sehat. Mereka kerap melakukan tindakan ‘gila’
seperti sekte Aum Shinrikyo di Jepang yang melepaskan gas beracun di kereta bawah
tanah kota Tokyo tahun 1995 yang menewaskan 12 orang. Contoh lainnya adalah
sekte Heaven’s Gatepimpinan Marshall Applewhite di AS yang melakukan bunuh diri
massal pada tahun 1997.
Kebangkitan radikalisme agama tidak bisa dilepaskan dari dominasi modernisme
dalam kehidupan manusia kontemporer. Modernisme yang bertumpu pada materialisme,
menjanjikan kemajuan dan kenyamanan hidup, serta peningkatan taraf hidup, ternyata
membawa dampak negatif yang tak bisa dihindari. Eksploitasi berlebih terhadap alam
mengundang bencana lingkungan. Penguasaan sumber-sumber ekonomi oleh segelintir
orang menciptakan lubang kesenjangan yang menganga lebar. Orientasi berlebihan
terhadap ekonomi menjadikan perlakuan terhadap manusia seperti perlakuan terhadap
benda. Aspek spiritual dan emosional tidak diberi tempat yang layak, bahkan dianggap
mengganggu kemajuan. Akibatnya, manusia terasing dari kehidupan, bahkan dari dirinya
sendiri.
Selain itu, perubahan yang begitu cepat tidak bisa dipahami dengan benar oleh
setiap orang. Banyak orang yang tidak bisa memahami dan mengikuti perubahan sosialekonomi yang terjadi. Lebih parah lagi, pihak yang tidak memahami perubahan ini
menjadi pihak yang termarjinalkan. Ketidakadilan juga tampak mencolok mata dari yang
berskala lokal hingga global. Banyak orang yang menyaksikan rekan seagamanya dianiaya
dalam konflik-konflik yang tak juga mereda. Belum lagi aspek historis dan kerinduan
terhadap kejayaan masa lalu yang dianggap bisa menjadi solusi dari kondisi carut-marut
yang tengah terjadi.
Dalam kondisi seperti ini, tidak semua orang mempunyai kesabaran untuk berpikir
secara terbuka, menggeluti kompleksitas masalah, dan berupaya mencari solusi yang
berorientasi pada kedamaian serta kebaikan seluruh umat manusia, bahkan alam semesta.
Banyak orang yang mencari jalan pintas, memerlukan kebenaran final yang ‘mudah’ untuk
diyakini, dan langkah-langkah yang dianggap mampu memperbaiki keadaan secara cepat
dan menyeluruh. Kebutuhan terhadap hal-hal inilah yang kemudian dipenuhi oleh
radikalisme agama. Gerakan-gerakan radikal menyediakan sistem kebenaran yang tidak
rumit, mudah diamalkan, dan menjanjikan balasan yang pasti dan pikabitaeun, yakni
kebahagiaan surga.
Situasi itu tentu saja membawa dampak traumatis sehingga hadirnya ideologi
nasionalisme di negara-negara Muslim mengalami ketegangan yang tajam, bahkan
perlawanan dari unsur-unsur pembentuknya. Di samping realitas masyarakatnya yang
sangat plural, dipertentangkannya konsepsi negara-bangsa sekuler modern dengan
universalisme tatanan berdasar agama, telah mempertajam ketegangan dan benturan
politik-ideologis yang menghambat perkembangan kesadaran kebangsaan. Akibatnya,
konstruk negara-bangsa modern di negara-negara Muslim umumnya mengalami
delegitimasi dan ancaman terus-menerus. Dan, kondisi ini diperparah oleh krisis yang
dialami negara-bangsa sendiri berikut kelemahan-kelemahannya yang mendasar, serta
kenyataan akan minimnya basis kultural bagi terbentuknya civil society modern dalam
masyarakat.
Demikian juga kenyataan sosial yang sangat plural dan tanpa kesadaran
berdemokrasi telah menciptakan persaingan antar-etnis, dan sektarianisme yang tak
terelakkan untuk memperebutkan akses politik dan ekonomi. Celakanya, civil
society sebagai komunitas politik di mana masyarakat membagi norma-norma dan nilainilai guna membangun konsensus bersama atas dasar kemajemukan, kebebasan, dan
kesetaraan, ternyata demikian rapuh. Konsekuensinya, ketidakmampuan negara-bangsa
menyemai kondisi-kondisi politik yang demokratis dan menyelesaikan krisis ekonomi
6

serta ketidakadilan sosial telah membangkitkan frustrasi masyarakat. Situasi demikian tak
pelak ikut melahirkan gerakan fundamentalisme agama yang lebih bersifat ideologis dan
politis untuk mendelegitimasi negara-bangsa dan menggantikan tatanan maupun nilai-nilai
demokrasi “sekuler”, yang dianggap sebagai biang berbagai krisis tersebut, dengan tatanan
Islam (Tibi, 1998)
Bentuk yang paling nyata dari kekerasan atas nama agama mungkin adalah perilaku
terorisme. Perilaku terorisme sebagaimana yang kini menjadi wacana dunia diidentikan
dengan 'berperang atas nama Tuhan', telah melahirkan pandangan miring terhadap gerakan
keagamaan. Terorisme adalah kekerasan fisik yang berakar dari ekspresi para pengikut
fundamentalisme ketika berhadapan dengan pengikut aliran keagamaan yang tidak
sepaham dengan kaum fundamentalisme. Ekspresi fundamentalisme memang terkadang
sangat menakutkan dengan melakukan bom bunuh diri, membajak pesawat dan
menembaki jamah-jamah keagaman tertentu (Ja’far, 2015).
Fenomena perilaku terorisme yang kini menjadi persoalan dunia dapat dijelaskan
dengan menghubungkannya dengan isu kebangkitan agama. Berger (1994) menjelaskan
bagaimana asal-usul kebangkitan agama yang tampaknya merambas secara luas. Dalam
pengamatannya, ia memberikan dua jawaban. Pertama, modernitas cenderung memporakporandakan kepastian (certainty) yang telah diterima secara taken for granted oleh
masyarakat sepanjang zaman. Tindakan ini amat tidak disukai penganut agama yang tidak
bersikap toleran serta gerakan keagamaan yang menghendaki agar kepastian tersebut dapat
dipertahankan. Kedua, pandangan sekuler tulen tentang realitas memperoleh tempat sosial
yang penting dalam kultur elit. Maka, tidak mengejutkan kalau pandangan ini
menimbulkan kemarahan dari kalangan yang tidak ikut ambil bagian di dalamnya dan
yang merasa hal itu akan menimbulkan pengaruh buruk.
Dari dua persoalan yang disodorkan Berger itu, dapat disimpulkan, prospek
kebangkitan agama akan mengkristal ketika modernitas mulai memberikan pengaruh
bahkan menyingkirkan kaidah normatif yang sudah mapan sebagaimana diyakini kalangan
agamawan. Benturan antara norma agama dengan nilai moderenitas ini yang akhirnya
menjadi basis persoalan perlawanan oleh kalangan agamawan. Memang proposisi bahwa
modernitas menyebabkan posisi agama menjadi menurun, merupakan proposisi bebas nilai
(value free). Artinya, proposisi ini bisa dibenarkan baik oleh orang yang menganggapnya
sebagai berita baik atau pun oleh orang yang menganggapnya sebagai berita buruk.
Dasar persoalan kedua sebagaimana dikemukakan Berger, sebab munculnya
gerakan keagamaan adalah masalah sosio politik. Ketertindasan, ketidakadilan,
kesewenang-wenangan merupakan masalah sosial politik dunia sekarang. Keperkasaan
dunia Barat, misalnya, dalam memonopoli urusan dunia -sosial, politik dan budaya- telah
melahirkan banyak gerakan protes berbasis agama untuk melakukan perlawanan (baca:
jihad). Agama menjadi penggerak dan pemersatu masyarakat yang efektif karena agama
lebih dari ideologi sekuler mana pun. Terlebih agama merupakan sistem integrasi yang
menyeluruh. Agama mengandung otoritas dan kemampuan pengaruh untuk mengatur
kembali nilai dan sasaran yang ingin dicapai masyarakat. Dengan demikian, fungsi sosial
agama adalah memberikan kontribusi untuk mewujudkan dan mengekalkan suatu orde
sosial (tatanan sosial kemasyarakatan). Karenanya secara sosiologis, tampak ada korelasi
positif antara agama dan integrasi masyarakat.
Akar-akar Kekerasan Teologis dalam Agama Islam
Islam merupakan agama kedamaian yang mengajarkan sikap berdamai dan mencari
perdamaian (Madjid, 1995: 260). Islam tidak pernah membenarkan praktek penggunaan
kekerasan dalam menyebarkan agama, paham keagamaan serta paham politik. Tetapi tidak
bisa dibantah bahwa dalam perjalanan sejarahnya terdapat kelompok-kelompok Islam
tertentu yang menggunakan jalan kekerasan untuk mencapai tujuan politis atau
7

mempertahankan paham keagamaannya secara kaku. Dalam bahasa peradaban global,
kelompok ini sering disebut kaum radikalisme Islam (Subair, 2014: 60). Pasca hancurnya
gedung WTC New York yang dituduhkan dilakukan oleh kelompok Islam garis keras (AlQaeda dan Taliban), term radikalisme Islam menjadi wacana yang lebih menglobal yang
berimplikasi pada sikap kecurigaan masyarakat dunia, terutama bangsa Barat dan Amerika
Serikat terhadap gerakan Islam. Hal yang demikian terjadi karena orang-orang Eropa Barat
dan Amerika Serikat berhasil dalam melibatkan dan mewarnai media sehingga mampu
membentuk opini publik. Praktek-praktek kekerasan yang dilakukan sekelompok Islam
dengan membawa simbol-simbol agama telah dimanfaatkan oleh orang-orang Barat
dengan memanfaatkan media massa sebagai alat utama dalam memegang tampuk wacana
peradaban, sehingga Islam terus menerus dipojokkan oleh publik. Barangkali masyarakat
Barat telah tertipu oleh muslihat peradabannya sendiri dalam mengeksploitasi media yang
diciptakannya. Ketergesa-gesaan dalam generalisasi menyebabkan mereka tidak mampu
memandang fenomena historis umat Islam secara obyektif. Tetapi hal ini tidak berarti
pembenaran terhadap praktek radikalisme yang dilakukan umat beragama karena yang
demikian bertentangan dengan pesan-pesan moral yang terkandung dalam agama dan
moralitas manapun.
Sebutan untuk memberikan label bagi gerakan radikalisme bagi kelompok Islam
garis keras juga bermacam-macam seperti ekstrim kanan, fundamentalis, militan dan
sebagainya. Shaban (dikutip dalam Subair, 2014: 61) menyebut aliran garis keras dengan
sebutan neo-khawarij. Sedangkan Nasution (ibid) menyebutnya dengan sebutan khawarij
abad ke dua puluh karena memang jalan yang ditempuh untuk mencapai tujuan adalah
dengan menggunakan kekerasan sebagaimana dilakukan khawarij pada masa pasca
Tahkim.
Sesungguhnya terdapat beberapa pijakan teologis kekerasan dalam Islam yang
perlu direnungkan. Legitimasi kekerasan agama dalam konteks Islam misalnya, dapat
disimak dalam beberapa konsep yang dirangkum oleh Sumbulah (2005) berikut ini.
1. Jihad
Dalam pandangan kelompok tertentu, selama ini pemahaman terhadap jihad pada
umumnya sebagai perang fisik. Padahal jihad juga bisa berarti perang psikis terhadap
segala bentuk nafsu politik, serakah, hegemonik, superioritas, egoisme dan lain-lain. Oleh
karena itu, sebuah hadis nabi yang mengajak para sahabat berpindah dari jihad kecil (jihad
asghar) Jihad kecil atau jihad asghar dalam konteks hadis tersebut adalah ketika para
sahabat selseai perang badar, yakni sebuah peperangan terbesar dalam sejarah kerisalahan
Muhammad, kemudian Rasulullah mengajak para sahabat untuk pergi berjihad akbar,
yakni jihad melawan hawa nafsu. Ini karena, meskipun manusia diberikan fitrah selalu
cenderung kepda kebenaran, namun manusia juga memiliki potensi fujur (fasik,
menentang Tuhan dan lain-lain) ke jihad besar (jihad akbar) menemukan motif suci dan
relevansinya dalam koteks pemaknaan jihad psikis tersebut (QS. As-Syams: 7-8).
Azyumardi Azra (1994: 80-81) menyitir tulisan Rudolph Peter yang mengutip tesis
al-Banna tentang jihad, dimana al-Banna membagi kategorisasi jihad pada dua tataran,
yakni: pertama, jihad yang bernuansa revolusioner sebagai metode yang absah untuk
mencapai cita-cita Islam; kedua, jihad yang secara apologetik bertujuan untuk
membuktikan bahwa Islam bukanlah agama kekerasan dan perang. Sayyid Quthb
memberikan makna jihad lebih bernuansa politis, yakni sebagai upaya membangkitkan
kejayaan Islam vis a vis hegemoni barat. Bagi Quthb, jihad yang lebih bernuansa politis
ketimbang legalistik ini merupakan kelanjutan dari “politik” Tuhan, yakni sebuah
perjuangan politik revolusioner yang dirancang untuk melucuti musuh-musuh Islam,
sehingga memungkinkan kaum muslimin menerapkan syariat Islam yang selama ini
diabaikan dan ditindas oleh “kuku-kuku” imperialis serta rezim-rezim opresif di dunia
muslim. Mengingat pola perjuangan Ikhwanul Muslimin yang berpegang pada 10 prinsip
8

di atas, agaknya pada awalnya gerakan ini menghindari upaya kekerasan. Namun
demikian, tampaknya pergeseran makna jihad pada gerakan ini juga terjadi. Karena itu,
gerakan fundamentalisme kotemporer yang memperjuangkan cita-cita yang sama, melalui
garis kultural maupun strukktural, dengan cara damai maupun kekerasan, menemukan
rujukan historisnya, kendati dengan intensitas yang berbeda, terlebih ketika Ikhwanul
Muslimin menyatakan bertanggung jawab atas terbunuhnya presiden Mesir, Anwar Sadat
dan berbagai aksi kekerasan yang berbuntut pada dibekukannya organisasi tersebut di
seantero Mesir.
Pemahaman tentang jihad dalam konteks sejarah perang, melahirkan konflik
Muslim-Hindu di India dan Pakistan misalnya, atau perang Palestina-Israel dan
sebagainya, menyuguhkan “tontonan” kekerasan. Oleh karena itu, ekspresi keberagamaan
(mungkin lebih tepat disebut perang kepentingan) ini hampir disamakan dengan terorisme,
polarisasi politik, kudeta agamawan, mujahidun dan tentara jihad dan lain-lain. Demikian
pula yang ditunjukkan perang suci (crusade) dalam tradisi Kristen, juga dilakukan dengan
motivasi agama dan dorongan gereja.
2. Konsep dan polarisasi dar al-islam (wilayah damai) dan dar al-harb (wilayah musuh:
non-muslim)
Konsep dar al-harb dan dar al-Islam dalam konsep fiqih, memiliki fungsi
tersendiri untuk mendefinisikan hubungan antara tatanan agama-politik muslim dan entitas
politik non-muslim). Jihad ofensif, dalam kontekks fiqih, seringkali dianggap sebagai
bagian dari serangkaian kewajiban muslim sebagai komunitas dan bukan sebagai individu
(fardhu kifayah). Sedangkan jihad defensif, dinyatakan sebagai kewajiban setiap muslim
sebagai individu (fardhu ‘ain).
Al-Syaibani (murid Abu Hanifah), berpendapat bahwa kaum kafir boleh diserang
jika mengancam umat muslim; al-Farabi berpendapat bahwa perang defensif bisa
dilakukan dalam 5 hal yakni sebagai sarana pembelaan, mendapat kebaikan, pembaruan,
mengambil kembali hak yang dirampas pihak lain, serta sebagai sarana untuk
menundukkan apa yang menjadi tuntutan. Dalam cara pandang beberapa kelompok Islam,
terdapat konsep dar al-Islam dan dar al-harb dengan pembedaan yang fiqih oriented.
Sebagai konsekuensinya, penduduk yang non-muslim diposisikan sebagai musuh yang
karenanya, absah untuk diperangi/ dihancurkan. Oleh karena itu, sebagai akibatnya, ada
beberapa upaya utuk pemaksaan homogenisasi agama, atau paling tidak homogenisasi
hukum dan aturan-aturan tertentu yang hegemonik di tengah pluralitas keagamaan yang
ada. Akibatnya, konflik dan kekerasan tidak terhindarkan (Sumbulah, 2005).
3. Konsep dakwah sebagai ideologi “pengislaman” dunia
Konsep bahwa Islam adalah agama rahmatan li al-‘alamin diinterpretasikan
sebagai ideologi pengislaman dunia, yakni bahwa untuk mendapatkan rahmat Tuhan,
setiap orang harus masuk Islam, tanpa itu kerahmatan Tuhan tidak akan pernah
menyapanya. Dalam perspektif ini, dakwah dijadikan sebagai media dan alat konversi
agama (pengislaman dunia) (Anees et al., 2000: 52-53). Peledakan dan pengeboman di
sejumlah wilayah di tanah air oleh kelompok Islam radikal, pengiriman lasykar jihad
melawan orang Kristen ketika kekerasan komunal Islam-Kristen melanda Ambon,
sweeping warga negara AS yang dianggap salibis dan pendukung kebijkan Zionisme,
adalah di antara bukti konkrit betapa agama Islam yang sesungguhnya bermakna penebar
kedamaian, justru direduksi dan dijungkirbalikkan maknanya sebagai agama teror dan
kekerasan.
Diakui bahwa sesungguhnya, agama Islam mengakui toleransi tetapi membenci
konversi (murtad) tidak hanya karena alasan teologis, tetapi juga karena alasan sosiologis,
dimana orang yang beralih agama maka ia mengalami kelimbungan psikologis, karena
harus merubah dan menjugkirblakkan kebiasaan sebelumnya untuk disesuaikan dengan
agama baru (Hamim, 2004: 209).
9

4. Konsep unitas Islam sebagai entitas agama-politik
Dalam komunitas Islam, terdapat tiga aliran pemikiran tentang relasi agama dan
negara. Pertama, kelompok fundamentalisme yang berpandangan bahwa agama dan
politik adalah dua entitas yang menyatu dalam konsesi dan kohesinya. Ini karena dalam
pandangan kelompok ini, Islam adalah agama yang syumul (komprehensif) yang
mencakup semua aspek kehidupan, baik sosial, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya.
Pandangan kelompok ini sangat kuat, karena memiliki akar historis, di mana dalam
sejarah, terdapat relasi yang kuat antara agama dan politik sejak awal Islam dan tidak ada
pemisahan, bahkan sifat permanen Islam adalah politis sekaligus religius. Bukti historis
lainnya, misalnya dapat dilihat dalam konteks kekhalifahan di era klasik hingga era
modern, Iran, yang sesungguhnya telah dimulai sejak abad X-XI (Johnson, 2002: 65).
Kesyumulan Islam dalam pandangan kelompok ini, harus dilaksanakan secara
kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Karena inti agama bagi mereka adalah apa yang
harus diaplikasikan secara nyata melalui seluruh aspek kehidupan, tidak hanya
menyangkut ritualitas seperti shalat, puasa dan sebagainya, namun juga mencakup masalah
sosial, budaya, ekonomi dan bahkan politik. Oleh karena itu, terwujudkannya lembaga
/institusi sosial yang mampu menjamin terlaksanakannya syari’at Islam menjadi wajib
diupayakan adanya.
Kedua, kelompok Islam syiah, yang berpandangan tidak jauh dari kelompok
pertama, bahwa agama dan negara memiliki relasi yang overlapping sehingga keduanya
tidak bisa dipisahkan dan mana yang menjadi prioritas, karena dalam agama ada politik
dan dalam politik ada agama. Konsep imamah sebagai doktrin yang paling prisnsip dalam
tradisi syiah memberikan motivasi dan spirit tersendiri bagi perjuangan menegakkan
piranti politik-kekuasaan Syiah. Oleh karena itu, berdirinya dinasti Fathimiyah di Mesir
dan satu-satunya negara Islam Syiah di Iran kontemporer, merupakan kesuksesan besar
bagi pandangan dan perjuangan kelompok ini.
Ketiga, kelompok Islam modernis yang mencoba memisahkan antara agama dan
politik karena keduanya merupakan entitas yang berbeda satu sama lain, baik hakikat
maupun tujuannya. Ketika agama “bermesraan” dengan politik, yang justru terjadi adalah
politisasi agama. Agama hanya merupakan entry point “paling empuk” untuk ‘membakar”
semangat dan mengobarkan sentimen keagamaan. Sebagai akibatnya, ketika ada isu politik
yang menatasnamakan agama, maka yang terjadi adalah penggunaan simbol-simbol agama
yang justru dapat berdampak bagi pelecehan dan merosotnya kharisma agama itu sendiri.
Islam sebagai agama damai sesungguhnya tidak membenarkan adanya praktek
kekerasan (Bahri, 2004). Cara-cara radikal untuk mencapai tujuan politis atau
mempertahankan apa yang dianggap sakral bukanlah cara-cara yang Islami. Di dalam
tradisi peradaban Islam sendiri juga tidak dikenal adanya label radikalisme. Istilah
radikalisme Islam berasal dari pers barat untuk menunjuk gerakan Islam garis keras
(ekstrim, fundamentalis, militan) (Ahmed, 1993: 30). Yang menjadi masalah di Barat dan
Amerika sebenarnya bukan Islam itu sendiri tetapi praktek-praktek kekerasan yang
dilakukan oleh sekelompok komunitas Muslim dalam proses pembentukan jati diri
(identitas) kelompoknya (Madjid, 1995: 270). Istilah fundamentalisme dan radikalisme
dalam perspektif Barat sering dikaitkan dengan sikap ekstrim, kolot, stagnasi, konservatid,
anti-Barat, dan keras dalam mempertahankan pendapat bahkan dengan kekerasan fisik.
Penggunaan istilah radikalisme atau fundamentalisme bagi umat Islam sebenarnya tidak
tepat karena gerakan radikalisme itu tidak terjadi di setiap negeri Muslim dan tidak dapat
ditimpakan kepada Islam. Radikalisme merupakan gerakan yang dilakukan oleh individu
atau kelompok yang dirugikan oleh fenomena sosio-politik dan sosio-historis.
Gejala praktek kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok umat Islam itu, secara
historis-sosiologis, lebih tepat sebagai gejala sosial-politik ketimbang gejala keagamaan
meskipun dengan mengibarkan panji-panji keagamaan. Fenomena radikalisme yang
10

dilakukan oleh sebagian kalangan umat Islam, oleh pers Barat dibesar-besarkan, sehingga
menjadi wacana internasional dan terciptalah opini publik bahwa Islam itu mengerikan dan
penuh dengan kekerasan. Akibatnyam tidak jarang image-image negatif banyak
dialamatkan kepada Islam sehingga umat Islam terpojokkan sebagai umat yang perlu
dicurigai.
Hal yang demikian terjadi karena masyarakat barat mampu menguasai pers yang
dijadikan instrumen yang kuat guna memproyeksikan kultur dominan dari peradaban
global. Apa yang ditangkap masyarakat dunia adalah apa yang didefinisikan dalam mediamedia Barat. Label Islam untuk menyebut gerakan fundamentalis sangat menyenangkan
bagi pers Barat ketimbang label Tamil di Srilangka, militan Hindu di India, IRA
(kelompok bersenjata Irlandia Utara), militan Yahudi sayap kanan, sekte kebatinan di
Jepang ataupun bahkan musuh lamanya, komunis-marxis yang tidak jarang menggunakan
jalan kekerasan sebagai solusi penyelesaian masalah.
Karena terlalu mengkaitkan kata-kata radikalisme, fundamentalis atau gerakan
militan dengan Islam maka seringkali media Barat mengabaikan perkembangan praktek
kekerasan yang ditopang keyakinan keagamaan yang dilakukan oleh kalangan non-Islam
ataupun yang ditopang oleh ideologi “kiri”. Contoh yang sangat jelas adalah aksi tutup
mulut para elit politik barat atau aksi bicara dalam kepura-puraan ketika malihat praktek
kekerasan yang dilakukan oleh ekstrimis Yahudi ataupun sedadu Israel atas orang-orang
Arab Palestina. Apa yang dilakukan oleh kelompok-kelompok pelaku kekerasan ini secara
faktual sama dengan apa yang dilakukan oleh kelompok pelaku garis keras “radikalisme
Islam”. Tetapi sebutan radikalisme lebih kental ditujukan kepada gerakan Islam.
Kritik Ideologi atas Agama
Memiliki suatu agama tertentu adalah dasar dari identifikasi diri. Kekuatan rasa
memiliki di antara anggota kelompok agama tersebut menyebabkan pembatasan atau
pengkotak-kotakan dalam kelompok agama tersebut maupun dalam masyarakat luas
(McGuire, 2002: 210). Pembatasan atau pembedaan antar kelompok ini mendorong
terjadinya konflik dalam masyakat. Agama menjadi identitas kelompok yang membedakan
dengan kelompok lain. Ritus-ritus yang ada di dalam suatu agama hendak merayakan
identitas dan kesatuan kelompok. Dengan demikian, mereka terus-menerus membatasi diri
dalam kelompok tersebut dengan yang di luar kelompok. Hal ini semakin mendukung
terjadinya konflik sosial.
Menurut sosiolog Jerman, Max Weber, struktur dan tindakan suatu kelompok
sosial berasal dari komitmennya pada sistem kepercayaan tertentu, yang juga menjadi asal
tujuan, standar perilaku dan legitimasi kekuasaan. Meski teori ini sampai kini masih
menimbulkan pro-kontra, namun tak dapat dibantah bahwa agama merupakan salah satu
faktor yang sedikit banyaknya memiliki andil dalam pembentuk hal ini, di samping faktorfaktor lain seperti politik dan ekonomi. Salah satu hal yang merupakan manifestasi dari
fungsi ini adalah bahwa agama bisa terefleksi menjadi faktor integratif bagi pemeluknya,
dan sekaligus faktor disintegratif antarpemeluk agama yang berbeda terutama jika agama
ini dipahami secara absolut dan eksklusif. Kasus konflik sosial di Ambon yang kemudian
meluas menjadi kasus Maluku merupakan contoh konkret bagi fungsi potensial agama ini.
Memang kasus Maluku ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang sangat kompleks,
termasuk faktor ekonomi dan politik. Namun jelas, bahwa agama menjadi satu faktor yang
cukup dominan juga. Kenyataan ini mendorong kita untuk melihat bagaimana umat
beragama memposisikan dan menginterpretasikan ajaran agama mereka masing-masing,
terutama dalam konteks kehidupan masyarakat bangsa yang plural ini.
Agama seringkali digunakan sebagai landasan ideologis dan pembenaran simbolis
bagi tindak kekerasan yang dilakukan sebagian umat beragama. Karena itu, perlu sebuah
kritik ideologi terhadap agama yang eksis. Kritik ini penting agar kita menyadari bahwa
11

agama bukanlah barang suci yang bebas dari kontaminasi manusia. Agama terbentuk
melalui proses sejarah, bercampur dengan budaya serta hasrat-hasrat manusia. Kata
“agama” sendiri memiliki jenis pemaknaan yang luas meliputi gagasan-gagasan, praktekpraktek, juga pengalaman-pengalaman – kadang positif dan kadang negatif. Kritik ideologi
sendiri bukan untuk melemahkan fungsi agama sebagai jalan hidup manusia, bukan pula
sebagai justifikasi atas kebenaran kaum atheis, tapi refleksi untuk membangun agama
menjadi lebih baik, terutama dalam posisinya sebagai unsur yang melekat dalam sejarah
dan budaya manusia. Akhirnya, jawaban atas kritik itu bukan apologia (membela diri),
tetapi transformasi kritik tersebut untuk pemurnian pemahaman agama (Haryatmoko,
2003:68).
Sudah banyak filsuf yang telah melakukan kritik terhadap agama, seperti Ludwig
Feuerbach yang menyatakan God is not create human, but human creates God; Karl Marx
menyatakan religion is opium; atau Sigmund Freud dalam teori our father rejection. Selain
ingin menyatakan bahwa Tuhan adalah sebuah ilusi, mereka pun ingin menekankan bahwa
agama adalah alat kekuasaan yang selalu ada dan digunakan dalam hubungan sosial.
Konsep takdir, sabar, dan hal-hal ukhrowi dilihat Feuerbach sebagai konsep yang
menjauhkan manusia dalam kemampuannya mengubah dunia. Agama menjadi sebuah
pelarian dalam ketidakmampuan manusia. Allah telah ditempatkan sebagai dalang yang
dengannya manusia berada dalam kondisi pasif.
Untuk konteks keindonesiaan yang sedang concerned terhadap isu-isu
kemanusiaan, kritik ideologi penting dilakukan untuk mengajak umat beragama di
Indonesia bersama-sama mengubah visi keberagamaan dari visi keberagamaan yang
sempit, normatif dan eksklusif menjadi inklusif historis dan humanis. Pandangan senada
pernah dikemukakan masing-masing dalam Cita dan Fakta Toleransi Islam (Arasy, 2003)
karya Khalid Abou El Fadl dan The Heart of Islam karya Seyyed Hosein Nasr (Mizan
2003). Karya Nasr ini mencoba menghadirkan visi universal dan keterbukaan Islam baik
secara normatif maupun historis. Nasr, dengan visi Islam tradisionalnya, menampik
kekerasan atas nama agama. Baginya, pluralisme agama bukan untuk diperkeruh dengan
berbagai konflik tetapi justru ditempatkan pada upaya pencapaian spiritualitas universal
agama-agama. Jika buku El Fadl dan Seyyed Hosein Nasr berbicara dalam konteks agama
Islam, Kimball dengan karyanya tersebut memberikan perspektif seorang Kristiani yang
banyak bergumul dengan soal-soal hubungan antar agama.
Kini dalam masyarakat Indonesia yang sangat plural, kritik idiologi diperlukan agar
agama tidak terus menjadi legitimasi atas berbagai bentuk kekerasan. Bersikap kritis dan
curiga terhadap apa yang terjadi dalam masyarakat adalah hal yang mesti kita lakukan.
Sikap kritis terhadap agama ini hanya bisa kita lakukan ketika kita mengambil jarak
terhadapnya. Mengamati adalah proses melihat, dan melihat membutuhkan jarak.
Selain itu kita harus menyadari bahwa agama merupakan sesuatu yang tidak bisa
lepas dari kerangka sejarah. Setiap tradisi besar agama memiliki wajah yang berbeda
dalam setiap waktu. Tradisi-tradisi tersebut bukan suatu entitas yang statis, namun terus
bergerak; mereka pun tidak melulu homogen tetapi masing-masing membentuk variasivariasi yang beragam (Hick, 1996: 515). Menurut John Hick, konsekuensi dari kesejarahan
ini adalah transformasi eksistensi manusia dari pusat diri (self-centredness) menuju pusat
realitas (reality-centredness) (Hick, 1996: 518). Artinya, pemahaman keagamaan serta
hubungannya dalam masyarakat tidak melulu berpangkal pada kehendak diri pribadi atau
suatu pemeluk, melainkan adanya suatu kesadaran yang didasari atas realitas, yakni
realitas majemuk. Hick bahkan mempertanyakan; If we accept that salvation/liberation is
taking place within all the great religious traditions, why not frankly acknowledge that
there is a plurality of saving human response to the ultimate divine Reality? (Hick, 1996:
516).
12

Pada akhirnya dibutuhkan suatu teori yang dapat membangun atau mendorong pada
maksud praksis. Di Inggris sekitar abad ke-15, kota London sudah sangat metropolis.
Penduduknya berasal dari bermacam golongan, orang-orang lokal dan pendatang dari
berbagai negara semua berkumpul. Raja pada saat itu dipaksa berpikir, bagaimana
membangun suatu kekuatan idiologis agar masyarakatnya yang heterogen tidak terpecahbelah oleh konflik. Maka muncul gagasan tentang multikulturalisme, sebuah gerakan yang
mendorong masyarakat menuju kesadaran dan praxsis hidup bersama. Pada zaman
sekarang, dalam konteks agama, semangat itu kita kenal dengan sebutan pluralisme.
Pluralisme bukan hanya sikap menghargai perbedaan atau menerima bahwa setiap
keyakinan memiliki kebenaran dalam dirinya masing-masing. Meminjam Habermas,
pluralitas secara sosiologis adalah kemampuan untuk menghubungkan secara normatif
individu-individu beserta kepentingannya ke dalam suatu kelompok yang lebih besar.
Prinsip pluralitas yang menghargai opini publik, membuka partisipasi publik seluasluasnya, dan menghargai ekpresi publik muncul bukan karena individu berasal dari satau
kelompok yang berbeda, tetapi karena ia diakui sepenuhnya sebagai bagian dari warga
negara yang dilindungi secara hukum (Habermas, 1996:331).
Penutup
Agama dewasa ini seolah dan terkesan membuat gentar dan cemas lantaran
seringnya tampil dengan wajah yang penuh kekerasan. Agama tampak kehilangan wajah
ramahnya. Agama seringkali tidak lagi dipandang sebagai pembawa rahmat bagi semesta
alam, agama justru sering dinilai sebagai sumber ketidakharmonisan kehidupan umat
manusia. Anggapan ini timbul karena agama telah menciptakan “pagar beton” yang
memisah-misahkan umat manusia. Keadaan ini menyebabkan agama dinilai sebagai
sebuah intitusi yang eksklusif dan egois. Agama juga dinilai hanya berkutat pada dunia
ritual, retorik dan idealisme yang tidak mempu berbuat banyak tatkala berbenturan dengan
kenyataan kehidupan yang sesungguhnya, yang sangat menuntut aksi-aksi sosial nyata dari
agama itu untuk merubahnya. Beberapa tahun belakangan ini termasuk juga di Indonesia,
isu radikalisme agama sangat menguat dan mengguncangkan kehidupan berbangsa dan
bernegara Indonesia. Kelompok agama fundamental berjuang sekuat tenaga dan dengan
segala cara, memperjuangkan visi dan misi mereka, tanpa peduli akan kenyataan dalam
masyarakat bahwa bangsa ini adalah pluralis..
Akar dari sebab munculnya gerakan keagamaan yang salah satunya
diekspresikan dalam aksi kekerasan dan terorisme adalah masalah sosio politik.
Ketertindasan, ketidakadilan, kesewenang-wenangan merupakan masalah sosial
politik dunia sekarang. Keperkasaan dunia Barat, misalnya, dalam memonopoli
urusan dunia --sosial, politik dan budaya-- telah melahirkan banyak gerakan protes
berbasis agama untuk melakukan perlawanan Agama menjadi penggerak dan
pemersatu masyarakat yang efektif karena agama lebih dari ideologi sekuler mana
pun. Terlebih agama merupakan sistem integrasi