KUASA MEDIA DI BALIK GLOBALISASI DAN PEN

KUASA MEDIA DI BALIK GLOBALISASI DAN PENYEBARAN
BUDAYA POPULER SEBAGAI ANCAMAN BAGI BUDAYA LOKAL
Rahmi Surya Dewi1; Agus Rino2
Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Andalas
2
STKIP PGRI Sumatera Barat
1
rahmi.ikom@gmail.com; 2 agusrino8@gmail.com
1

Abstrak
Media mempunyai peran yang cukup besar dalam arus globalisasi dan arus budaya
popular bagi kalangan masyarakat (terutama anak muda) di Indonesia. Sebagai sebuah
proses, globalisasi bertujuan untuk menghomogenisasi segala bidang, termasuk budaya.
Proses ini disebarluaskan melalui berbagai media termasuk new media , yang dikuasai dan
dikontrol oleh negara- negara maju sehingga negara- negara berkembang seperti Indonesia
berada pada posisi resesif, mudah terpengaruh daripada memengaruhi. Konsekuensinya,
identitas negara-negara maju, berkembang secara cepat di Indonesia. Hal ini
mengindikasikan bahwa globalisasi dan budaya popular sesungguhnya mengancam
identitas budaya Indonesia dan gaya hidup masyarakatnya. Budaya popular yang pernah
berkembang di Indonesia seperti Hollywood, Jepang, Taiwan dan dalam satu dekade ini

budaya popular Korea juga telah sukses di Indonesia. Penelitian ini bertujuan; 1) satu
adalah untuk mengetahui kuasa media dalam penyebaran budaya popular Korea. 2) dua
adalah untuk mengetahui memudarnya budaya lokal bagi mahasiswa di kota Padang.
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan metode penelitian
wawancara mendalam dan observasi untuk memperoleh data di lapangan. Hasil penelitian
menunjukkan sejumlah mahasiswa di kota Padang aktif menggunakan media dengan
konten Korea dan mengkonsumsi sejumlah produk Korea berupa fashion, kuliner, kosmetik
sampai pada aksesoris Korea yang mereka gunakan sehari-hari.
Kata Kunci: Media, Globalisasi dan Budaya Populer Korea.
Pendahuluan
Begitu kuatnya penetrasi budaya yang terglobalkan telah menyebabkan sebagian
orang merasa identitas aslinya telah usang (tidak mengikuti tren atau kolot) karena tidak
sejalan dengan globalisasi. Mereka mengalami krisis identitas dan akibatnya meninggalkan
the self untuk bergabung dalam dunia virtual atau the net . Fenomena ini begitu masif di

tengah masyarakat saat ini, hal ini terlihat dari jumlah pengguna new media (internet) /
media sosial. Hal ini merupakan salah satu bentuk globalism, Tingkatan kepadatan
globalism di era kontemporer ditandai oleh peningkatan density networks, institutional
velocity, dan transnational participation (Keohane dan Nye 2000, 107 dalam Mubah).


Bentuk globa lism ini adalah pergerakan ide, informasi, orang, dan citra ( image).
Pada tingkatan tertinggi, social globalism mempengaruhi kesadaran individu dan sikapnya
terhadap budaya, politik, dan identitas personal, jika d ibandingkan dengan era sebelumnya,

1

dalam globalisasi, perbedaan dihapuskan untuk menciptakan pola kehidupan sama di semua
negara. Pada akhirnya masyarakat lantas makan makanan sama, menonton film yang sama,
memakai pakaian sama, menggunakan bahasa sama. Berkembangnya homogenisasi ini
dapat menyebabkan hilangnya ciri khas budaya, identitas kultural, dan lenyapnya pemikiran
kritis. Dunia saat ini paling tidak mengalami revolusi di bidang Technology,
Telecomunication, yang memiliki efek sebagai pendorong global dominan sehingga batas

antar wilayah semakin kabur dan berujung pada terciptanya global village seperti prediksi
Marshall McLuhan (Saptadi 2008). Kondisi itu memunculkan permasalahan pada
melunturnya nilai- nilai identitas kultural. Hal ini terlihat pada gaya bahasa, gaya
berpakaian, pola konsumsi, dan teknologi informasi. Fenomena ini terlihat pada sejumlah
anak muda di Indonesia, khususnya di kota Padang. Oleh sebab itu yang akan dikaji dalam
penelitian adalah bagaimana kuasa media dalam penyebaran budaya popular sebagai bentuk
globalisasi serta apa saja bentuk dari memudarnya budaya lokal bagi mahasiswa yang

berasal dari Univeristas Negeri Padang, Uniersitas Andalas, Universitas Putra Indonesia di
kota Padang.
Kajian Teoritis dan Konsep
Munculnya Globalisasi
Globalisasi pada tahap awal perkembangannya telah dimulai sekitar abad ke-16
ketika imperium militer dan politik berkuasa secara ekspansif pada masa itu (Held 1999
dalam Datta 2004). Namun, setelah kejatuhan Uni Sovyet pada tahun 1990 yang kemudian
menjadikan AS sebagai satu-satunya negara adidaya dunia, polarisasi dua blok berubah
menjadi homogenisasi kekuatan hegemonik. Ian Clark memandang globalisasi sebagai
salah satu penyebab berakhirnya perang dingin karena globalisasi telah mendorong
marjinalisasi Uni Sovyet dengan menyingkap kelemahan-kelemahan di dalam negara
komunis itu. Pada saat yang sama, globalisasi juga muncul sebagai efek perang dingin.
Karena itu, globalisasi dapat dikatakan sebagai sistem kontinuitas antara tatanan pada
perang dingin dan pasca-perang dingin (Clark dalam Baylish dan Smith 2001, 737; ).
Berawal dari kontinuitas tersebut, nilai- nilai Barat khususnya AS semakin kuat
dipromosikan ke berbagai negara. Identitas kultural awalnya hanya dianut oleh komunitas
atau Negara tertentu kemudian diglobalkan ke seluruh wilayah dunia. Globalisasi budaya
ini semakin mudah dipromosikan seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi dan
informasi yang begitu pesat. Jaringan internet memegang peran terbesar dalam
melancarkan penyebaran identitas lokal dan nasional suatu negara ke ranah global. Melalui

jejaring internet atau new media , setiap orang di dunia dapat berhubungan secara cepat dan
2

merasa dekat satu sama lain sehingga memungkinkan mereka melakukan kontak identitas,
nilai, dan budaya yang berbeda-beda. Terkait dengan itu, Manuel Castells (1996)
mengatakan bahwa meluasnya jejaring komunikasi yang menyebabkan hubungan antar
masyarakat di seluruh dunia berjalan secara cepat dan dekat telah menimbulkan dilema
antara tetap bertahan dalam identitas asli, menjadi diri sendiri (the self) atau ikut melebur
dalam identitas masyarakat yang mengidentifikasi diri sebagai masyarakat jaringan global
(the net ) (dalam Mubah, 2011: 252).
Adapun persolan penting terkait dengan globalisasi; 1) satu adalah semakin
memudarnya rasa persatuan saat ini seiring menjamurnya pemakaian budaya asing yang
disebarkan oleh arus globalisasi ke masyarakat Indonesia; 2) dua adalah Kesenian-kesenian
tradisional daerah menghadapi ancaman yang serius. (http://kebudayaan.kemdikbud.go.id) .
Hal ini disebabkan oleh berkembangnya budaya pop negara asing yang semakin diminati
masyarakat karena dianggap lebih modern; 3) tiga adalah Budaya konvensional yang
menempatkan tepo seliro, toleransi, keramahtamahan, penghormatan pada yang lebih tua
juga digempur oleh pergaulan bebas dan sikap individualistik yang dibawa oleh arus
globalisasi; 4) empat adalah berakibat pada memudarnya identitas nasional dan budaya
lokal. Itulah masalah terbesar dalam relasi globalisasi dan identitas Indonesia saat ini.

Media dan Budaya Populer
Media dalam hal ini bersifat merekonstruksi materi sumber dengan berbagai cara,
untuk berbagai alasan terutama untuk menjadikannya menarik bagi audiens. Media
mempengaruhi suatu konstruksi sosial dan mampu menciptakan isu-isu serta membentuk
suatu opini tertentu. Burton (1999:28) menjabarkan beberapa proposisi umum dalam
sosiologi media dengan merujuk pada kajian media, di antaranya media telah menciptakan
audiens massa dan memiliki pengaruh terhadap audiens tersebut. Studi tentang media
berkaitan erat dengan pemahaman tentang struktur dominan dan pandangan dominan dalam
masyarakat. Menurut Turner (1984), budaya pop dan media massa memiliki hubungan
simbiotik. Keduanya saling tergantung dalam sebuah kolaboras i yang sangat kuat.
Kepopuleran suatu budaya sangat tergantung pada seberapa jauh media massa gencar
mengkampanyekannya. Begitu pula, media massa hidup dengan cara mengekspos budayabudaya yang sedang dan akan populer.
Wacana

menurut

Michel Foucault bukanlah sesuatu yang dipahami sebagai

serangkaian kata atau proposisi dalam teks. Wacana di sini dipahami sebagai sesuatu yang
memproduksi yang lain (gagasan, konsep atau efek). Wacana dapat dideteksi karena secara

sistematis suatu ide, opini, konsep dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks
3

tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu (Eriyanto, 2005:65).
Wacana tertentu dapat menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu yang
menimbulkan efek kuasa. Kebenaran disini, oleh Fo ucault tidak dipahami sebagai sesuatu
yang datang begitu saja, bukan juga sebuah konsep yang abstrak. Namun ia diproduksi,
setiap kekuasaan menghasilkan dan memproduksi kebenaran sendiri malalui mana
khalayak digiring untuk mengikuti kebenaran yang telah d itetapkan tersebut. Dalam bahasa
Foucault dinyatakan;
Truth is the world; it is produced there by virtue of multiple constra in. Each society
has its regime of truth;its genera l politics of truth; that is the types of discourse it
harbours and causes to function as true, the machanisms and instances which
enable one to distinguish true from false statements, the way in wich each is
sanctioned, the techniques and procedures which are valorised for obtaining truth.
The status of those who are charged with saying what count as true. (Dikutip dari
Mills. 1997:18)
Wacana tertentu menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu yang

menimbulkan efek kuasa (Aditjondro, 1994: 58-60). Strategi kuasa tidak bekerja melalui

penindasan dan represi, tetapi melalui normalisasi dan regulasi. Publik tidak dikontrol lewat
kekuasaan yang sifatnya fisik, tetapi dikontrol, diatur dan didisiplinkan lewat wacana.
Kekuasaan dalam pandangan Foucault disalurkan melalui hubungan sosial, dalam
memproduksi bentuk-bentuk kategorisasi perilaku sebagai baik atau buruk, sebagai bentuk
pengendalian perilaku. Relasi sosial itulah yang memproduksi bentuk subjektivitas dan
perilaku lebih secara sederhana digambarkan sebagai bentuk restriksi. (Eriyanto, 2005: 67).
Dalam kaitannya dengan wacana yang dimaksud oleh Foucault maka Budaya Populer
Korea khususnya tentang Life Style (gaya hidup) merupakan suatu wacana yang dibentuk,
dikemas dan disebarluaskan ke berbagai negara melalui media seperti musik, film dan
drama-drama di televisi.
Kuasa dan Wacana
Foucault tertarik tentang bagaimana kuasa dipraktekkan dalam pengetahuan
(knowledge) dan kebenaran (truth) serta bagaimana kebenaran dibentuk melalui praktek.
Ketertarikannya pada kebenaran tidak bersifat abstrak atau filosofis, melainkan ketertarikan
dalam menganalisa apa yang disebutnya sebagai permainan kebenaran ( truth games) (Allan
dalam Agustin, 2005:445). Istilah permainan dalam hal ini, tidak merujuk bahwa kebenaran
dalam sejarah yang ada adalah sebuah kesalahan atau hanya konstruksi bahasa. Namun
Foucault berpendapat, sesuatu bisa dikatakan “salah” jika kebenaran telah lebih dahulu
diasumsikan.


Sehingga Foucault

mencoba

membedah bagaimana kebenaran

itu

diasumsikan.
4

Pada umumnya kuasa sering dikaitkan dengan orang atau lembaga tertentu,
khususnya aparat negara, tetapi menurut Foucault, strategi kuasa berlangsung dimana-mana
(Berthens, 1996:320). Letak kuasa ada dalam tindakan-tindakan tersebut, bukan pada orang
yang sedang berkuasa atau struktur sosial. Kuasa seharusnya dianalisa sebagai sesuatu yang
sifatnya berputar, serta dilihat sebagai sesuatu yang berfungsi dalam bentuk rantai. Kuasa
digunakan dan dipraktekkan dalam organisasi-organisasi. Individual hanya dilihat sebagai
„kendaraan‟ kuasa, bukan sebagai pengendali kuasa (Mills, 2003: 35). Dalam pandangan
Foucault kuasa tidak bersifat negatif, ia tersebar di mana- mana dan diselenggarakan oleh
wacana-wacana yang muncul. Di mana saja terdapat susunan, aturan-aturan, sistem-sistem

regulasi, di mana saja ada manusia yang mempunyai hubungan tertentu satu sama lain dan
dengan dunia, di situ juga kuasa sedang bekerja. Kuasa tidak datang dari dunia luar, tetapi
menentukan susunan, aturan-aturan dan hubungan-hubungan itu dari dalam. Kuasa juga
tidak selalu bekerja melalui penindasan dan reputasi tetapi terutama melalui normalisasi
dan regulasi. Kuasa tidak bekerja secara negatif dan represif, melainkan dengan cara positif
dan produktif (Agustin, 2005:446).
Metode Penelitian
Penelitian ini mengkaji tentang bagaimana kuasa media dalam pembentukan
globalisasi dan penyebaran budaya popular, sehingga kian melunturnya budaya lokal dan
kian terkikisnya identitas diri remaja dalam gempuran budaya popular melalui berbagai
media teurtama new media. Penelitian ini menggunakan studi literatur terkait dengan
persoalan kuasa media, globalisasi dan penyebaran budaya popular. Selain itu juga
wawancara mendalam terhadap tujuh orang mahasiswa tentang pemanfaatan new media
dengan wacana budaya popular serta perubahan identitas diri mereka sebagai seorang anak
Indonesia.
Dalam penelitian ini yang dijadikan subjek adalah mahasiswa yang aktif dalam
pemanfaatan new media dengan wacana budaya populer. Kriteria utama informan adalah
mahasiswa yang mengalami fenomena pemanfaatan new media , merasakan pengaruh
budaya popular Korea sampai tahap mengidolakan artis Korea serta produk-produk Korea,
memiliki ketertarikan untuk memahami dan mendalami maknanya, mau berpartisipasi

dalam wawancara mendalam, dan mempublikasikannya untuk kepentingan ilmiah, Clark
Moustaqas (1994). Jumlah informan sebagaimana direkomendasikan John W. Creswell
(2014: 108) eksplorasi pada kelompok individu yang telah mengalami fenomena tersebut.
Kelompok di indentifikasi yang mungkin beragam dalam ukurannya dari 3 hingga 4 hingga
10 hingga 15 individu. Kemudian yang dijadikan objek dalam penelitian ini adalah
5

pemanfaatan media dan perubahan pada diri informan. Teknik pengumpulan data dilakukan
dengan cara observasi, wawancara mendalam, dokumentasi dan studi pustaka.
Hasil dan Analisis
Terkait kuasa media terutama dalam globalisasi dan budaya popular telah membawa
sebuah perubahan besar pada sejumlah masyarakat terutama anak muda. Dalam hal ini
penulis mengambil tujuh orang mahasiswa yang menggunakan new media dan tergolong
Korean lovers di kota Padang. Keseharian mereka dalam pemanfaatan media dan gaya

hidup yang identik dengan sikap “hedonisme” serta selalu memperhatikan penampilan
dalam kesehariannya yang fashionable.
Ada beberapa temuan dalam riset ini 1) satu adalah dalam pe manfaatan media,
kegiatan yang dilakukan Korean Lovers ini adalah selalu mengikuti berita dan informasi
terhadap artis idolanya melalui twitter atau youtube, majalah Asia Plus dan Star Magazine

untuk melihat gaya fashion. Update status di BBM, pasang DP (display picture) dan ganti
PM (persona l messege ) kalau menonton drama Korea. Mereka merasa kehilangan sesuatu
jika dalam sehari tidak mengikuti informasi terbaru tentang Korea dan tidak melakukan up
date status di media sosial.
2) dua adalah Penampilan Fisik, sebagai fans fanatik, mereka telah membangun
konsep diri melalui kepemilikan terhadap barang-barang atau atribut serta aksesoris yang
berkaitan dengan idolanya. Mereka rela menghabiskan uang atau tabungan mereka untuk
membeli barang-barang yang identik dengan para idolanya sebagai bentuk sikap
menghargai hasil karya dari idolanya. Para penggemar kerap kali meniru penampilan atau
fashion para personil band yang mereka sukai, seperti gaya rambut, ataupun meniru gaya
pakaian personil yang mereka idolakan, seperti foto berikut ini;

Foto di atas tampak sebelah kiri adalah mahasiswa dan sebelah kanan artis Korea
Jang Geunsuk, terlihat bahwa mahasiswa tersebut mengikuti penampilan atau fashion dari
salah satu personil boy band korea ini. Foto ini sengaja dibuat dan diperlihatkan pada
teman-temannya bahkan diposting lewat media sosial, ia ingin seperti artis yang
6

diidolakannya. Konstruksi yang dilakukan oleh para penggemar boy band ini, menunjukkan
bahwa mereka merupakan salah satu penggemar boy band atau gir l band Korea. Hal ini
juga sebagai salah satu bentuk identitas untuk menujukkan bahwa mereka adalah
penggemar korean wave. Mereka mengkontruksikan diri sebagai penggemar Korea pada
masyarakat atau orang lain yang melihat.
3) tiga adalah pandangan mereka terhadap te man yang berjenis kelamin be rbeda
(opposite sex peers self-concept). Penampilan artis Korea yang selalu perfect didukung

dengan wajah dan postur tubuh mereka yang menarik perhatian, dengan wajah putih, postur
tubuh mereka yang tinggi serta pakaian yang full color pada setiap performance mereka.
Hal inilah yang kerap kali membuat para fans mereka menyukainya. Ukuran tampan bagi
sebagian anak muda saat ini pria yang berkulit bersih, postur tinggi fashionable dan gaya
seperti artis Korea. Bahkan beberapa mahasiswa mengaku ciri tersebut sebagai ukuran
mereka untuk memilih pacar/ kekasihnya. Mereka merasa seolah-olah punya “pacar
bayangan” saat menonton reality show artis yang mereka idolakan, bahkan beberapa orang
di antaranya mengaku bahwa sejak menyukai artis Korea, mereka kurang/tidak tertarik
dengan anak muda Indonesia. Mereka juga mengatakan bahwa budaya, fashion, kosmetik
bahkan tempat wisata, saat ini yang mereka sukai adalah Korea.

Kesimpulan
1. Globalisasi yang bertujuan homogenisasi adalah kondisi yang tidak terelakkan dan
harus disikapi secara strategis dan kritis oleh semua negara, termasuk Indonesia.
2. Lalulintas kultural global ini masuk melalui media komunikasi dan informasi.
Indonesia sebagai negara berkembang mengalami kesulitan dalam menahan arus
penetrasi identitas tersebut. Dalam hal ini Indonesia bisa menerapkan kurikulum
sejak dini untuk menanamkan kecintaan siswa pada budaya Indonesia.
3. Kajian media harus dikembangkan pada penguasaan atas media dan informasi,
memperbanyak kajian-kajian tentang revitalisasi budaya lokal untuk direbranding,
diterapkan dan dipublikasikan melalui berbagai media seperti film- film, drama serta
musik di Indonesia. Dalam hal ini negara memiliki peran yang sangat penting,
membuat regulasi media yang melindungi usaha- usaha kreatif yang berbasis budaya
lokal dan nasional.

7

Daftar Pustaka
Allan, Kenneth. Contemporary Socia l a nd Sociology Theory. California: Pine Forge Press,
Sage Pub, Inc.
Berthens, K. 1996. Seri Filsafat Atmajaya: Filsafa t Bara t Abad XX jilid II: Prancis. Jakarta: Pt
Gramedia Pustaka Utama.
Burton, Graeme. 1999. Penganta r untuk mema ha mi media da n budaya populer . Yogyakarta:
Jalasutra
Clark, Ian, 2001. “Globalization and Post-Cold Wa r Order ,” dalam Baylis, John, dan Steve Smith
(eds.), 2001. The Globa liza tion of World Politics. Second Edition . Oxford: Oxford
University Press.
Cresswell, John W 2014. Peneltia n Kua lita tif & Desa in Riset: Memilih di Anta ra Lima Pendeka tan
(Terjema han), Pustaka Pelajar. Yokyakarta

Datta, Anup, 2004. “Globalization in International Relations,” dalam Majumdar, Anindyo J. dan
Shibashis Chatterjee, 2004. Understanding Globa l Politics, Issues & Trends . New
Delkhi: Lancer‟s Books.
Eriyanto. 2005. Analisis wacana. Yogyakarta. LKIS
Keohane, Robert O. dan Joseph S. Nye Jr., 2000. “Globalization: What’s New? What’s
Not? (And So What?),” dalam Foreign Policy, Spring.
McQuail, Denis. 1996. Teori Komunikasi Massa: Suatu Pengantar (edisi kedua). Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Mills, Sara. 1997. Discourse . London and New York: Routledge.
Mills, Sara. 2003. Michel Foucault. New York: Routledge
Mulyana. 2008. Penga ntar Ilmu Komunika si. Bandung. Remaja Rosda Karya.
Nye, Russel B. 1978. “Populer C ultural as a Genre”, dalam Wayne A Wiegand (ed.), Popular
Culture and The Libara ry: Proceedings of symposium II. Lexington, Kentuucky:
University of Kentucky, college of Libra ry Science
Rakhmat. Jalaluddin. 1999. Psikologi Komunikasi. Bandung. Remadja Rosda Karya.
Saptadi, Krisnadi Yuliawan, 2008. “Membaca Globalisasi dalam Kaca Mata Perang Budaya”.
Makalah Semina r Globalisasi, Seni, dan Moral Ba ngsa di
Lembaga
Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) Jakarta
Storey, John. 1993. An Introductory guide to cultra l theory and populer culture. Hertfordshire:
Harvester wheatsheaf.
Taylor, Anita. 1977. Communica ting . EngleWood Cliffs: Prentice-Hall, Inc
Sumber Jurnal dan karya ilmiah lainnya
Aditjondro, George Junus. 1994. Pengeta huan-pengeta hua n lokal ya ng tertindas . Jurnal kalam
Agustin, Sari Monik. 2005. Konstruksi Waca na Tubuh Norma tif Terha dap Konep Diri Perempuan
La jak Gemuk Dewasa di Jakarta . Thesis. Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi. Jakarta.
Departemen Ilmu Komunikasi Fisip UI.
Amellita, Nesya. 2010. Kebuda yaan Populer . Skripsi.FIB UI. Diakses 17 Februari 2014
Mubah, A Syafril. 2011. Revitalisasi Identitas Kultural Indonesia di Tengah Upaya
Homogenisasi Global. Globa l & Stra tegis, Edisi Khusus, Desember 2011
Thorne, Scott dan Gordon C.Burner II. 2006. “An explora tory investigation of the
characteristics of consumer fanaticism”Qualitative Market Research: An
Interna sional Journal 9: 51-72.
Internet:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37286/4/Chapter%20II.pdf,
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbbandung/2015/05/29/sisingaan-kesenian-tradisionalkabupaten-subang/

8