Pilkada Jawa Timur dan Politik Indonesia Masa Depan.

PILKADA JAWA TIMUR JENDELA POLITIK INDONESIA MASA DEPAN
Oleh: GPB Suka Arjawa
Hasil hitung cepat Pilkada Jawa Timur telah memperlihatkan calon petahana (Karsa),
berhasil merebut suara paling banyak sekitar 42%. Pasangan keempat (Kofifah)
mendapatkan posisi kedua dengan perolehan suara sekitar 38%. Kandidat independen
(Egy Sujana) mendapatkan suara pada kisaran 2%. Tetapi perolehan suara dari kandidat
ketiga (Bambang DH) yang mencapai 12% cukup mengejutkan. Kandidat ini disusung
oleh PDI Perjuangan, partai yang sempat mendominasi Jawa Timur beberapa waktu lalu.
Bahwa Kofifah mendapatkan suara dengan jumlah seperti yang disebutkan diatas, ini
boleh dikatakan sebagai sebuah prestasi juga karena memperlihatkan bahwa
pendukungnya tidak bergeser meski telah sempat ”dikerjain”. Kesetiaan kelompok NU
sebagai pendukungnya patut dipandang sebagai kekuatan politik signifikan, yang selalu
akan menjadi pengawas pemerintah daerah di sana.
Jawa Timur bukanlah wilayah yang boleh dipandang sebelah mata dalam konstelasi
politik Indonesia. Sebab, disamping kenyataannya merupakan bagian dari Pulau Jawa,
yakni pulau paling berpengaruh di Indonesia, juga memiliki beragam nilai, baik dari sisi
sejarah, demografis, ekonomi, aneka ragam kultur bahkan prestasi olahraga, yang
mampu berpengaruh secara nasional. Dari sisi sejarah, kerajaan-kerajaan besar
berpengaruh di Nusantara, ada di Jawa Timur. Paling utama adalah Majapahit, yang
situsnya sampai sekarang masih bisa dilihat di Trowulan. Sejarah kepahlawanan
kemerdekaan, dengan perlawanan heroik ada di Surabaya. Perlawanan rakyat Surabaya

kepada sekutu itulah yang dipakai sebagai tonggak hari Pahlawan Indonesia (10
November). Baik peninggalan sejarah maupun semangat juang itu masih terasakan di
Jawa Timur sekarang. Secara demografis, Jawa Timur mempunyai penduduk padat
dengan aneka ragam kulturnya, mulai dari Madura, Tengger, Arek, Malang dan
sebagainya memberikan corak tersendiri bagi karakteristik daerah ini. Tidak bisa
dilupakan, pelabuhan Tanjung Perak dikenal sebagai urat nadi perdagangan laut yang
menggerakkan perekonomian Indonesia bagian tengah sampai timur. Olahraganya,
terutama sepakbola, sama sekali tidak mau kalah dengan pusat Jakarta. Sejak dekade
tujuhpuluhan, Persebaya dengan Persija selalu bersaing menjadi juara dan bersaing pula
memasok pemain-pemain nasional. Jawa Timur selalu menduduki strata elit dalam Pekan
Olahraga Nasional. Belum lagi kalau dimasukkan indikator media massa. Itulah
beberapa indikator yang membuat Jawa Timur memegang peranan penting dalam
percaturan politik nasional. Sebagai sebuah kekuatan politik, akumulasi segala macam
nilai diatas merupakan sumber daya Jawa Timur untuk berkompetisi dalam percaturan
politik nasional.
Pemilu kepala daerah yang kini (29 Agustus 2013) digelar, mempunyai hubungan
menarik dengan konstelasi sumber daya yang ada di Jawa Timur. Pemilu (gubernur) ini
memiliki relevansi untuk memperlihatkan bagaimana sang gubernur kelak mampu
mengelola berbagai indikator sumber daya tersebut agar menjadi kekuatan memadai
pada tingkat nasional. Persoalan ini cukup relevan karena empat kandidat yang bertarung

pada pemilihan umum ini mempunyai karakter menarik, yang mungkin akan mempunyai

visi berbeda dalam melihat Jawa Timur. Boleh dikatakan, keempat kandidat tersebut
mempunyai visi nasionalis keindonesiaan. Spesifikasinyalah yang mempungkinkan ada
perbedaan kebijakan ketika memerintah saat memenangkan pemilihan. Dua kandidat
adalah nasionalis dengan basis sosial yang berbeda. Dua kandidat lagi mempunyai basis
agama yang juga basisnya berbeda.
Politik selalu manis di awal, apalagi menjelang pemilihan umum. Bagaimanapun
mengeluhnya rakyat terhadap berbagai janji yang telah dikeluarkan itu, tetapi memang
demikianlah ciri dari politik. Barack Obama pun berbicara yang baik-baik saja manakala
memulai kampanye pemilihan presiden. Maka ketika melihat debat televisi yang
memperlihatkan para kandidat mengumbar janji, sekali lagi ini boleh dikatakan wajar dari
sisi politik (meski dari sisi sosial mengecewakan). Empat pasangan kandidat dalam
kompetisi pilkada Jawa Timur, sederhananya boleh dibagi dua, yakni nasionalis demokrat
dan nasionalis agama. Kelompok nasionalis demokrat ini, terbagi menjadi nasionalis
demokrat yang bertitik tolak pada percepatan pembangunan ekonomi (Demokrat dan
Golkar/Karsa) dan nasionalis demokrat yang berbasis kerakyatan (PDI
Perjuangan/Bambang DH). Nasionalis keagamaan di Jawa Timur boleh dikatakan
dikuasai oleh NU (Kofifah). Meskipun Egy Sujana juga ikut dalam percaturan politik ini,
akan tetapi perolehan suaranya yang kecil, mungkin tidak terlalu signifikan dalam tataran

politik, terutama pengumpulan suara.
Melihat hasil hitung cepat pada pilkada Jawa Timur kemarin, memperlihatkan bahwa
kemenangan kandidat petahana (Karsa) dengan 42 persen itu, merupakan kemenangan
dari nasionalis demokrat yang mekankan pada percepatan pembangunan ekonomi.
Sesungguhnya kalau dilihat dari sisi perbandingan politik, perolehan suara ini mendapat
tantangan cukup serius dari kandidat saingannya. Sebab, kelompok nasionalis agamis di
Jawa Timur (Kofifah/NU) dengan nasionalis demokrat berbasis pembangunan
kerakyatan (Bambang DH/PDI Perjuangan), akan bisa bergabung menjadi kelompok
lebih besar dalam menandingi kekuatan pemenang (Karsa). Secara teoritik, kekuatan
politik akan bisa bergabung dalam sebuah gerakan kalau mereka mempunyai persamaan
pada sisi sosial. Kekuatan NU dengan PDI Perjuangan ada pada masyarakat lapis bawah
dan pedesaan dengan budaya yang melekat dengan nilai-nilai sosial kegotongroyongan.
Pusatnya ada di pedesaan dan kelompokk marginal perkotaan. Sedangkan kekuatan
nasionalis demokrat yang menekankan pada percepatan pembangunan ekonomi, ada di
kota dengan nilai-nilai gotong royong agak renggang. Mekanismenya diikat dengan nilainilai profesional. Di Jawa Timur kekuatan ini lebih rendah dibanding dengan nasionalis
yang didukung oleh gabungan NU dan PDI Perjuangan.
Karena itu menarik untuk melihat bagaimana kebijakan-kebijakan pemerintahan di Jawa
Timur nanti ketika telah menjalankana kekuasaannya. Sekitar 32 juta penduduk Jawa
Timur akan menjadi tanggung jawab Pak De Karwo dan Gus Ipul. Dan inilah yang harus
dijadikan pelajaran oleh pemerintah daerah lain yang juga mempunyai komposisi suara

seperti itu, termasuk Bali.
Akan tetapi, fenomena menarik lain yang harus dicermati dari pilkada jawa timur ini
adalah keterpurukan PDI Perjuangan. Dengan perolehan sementara seperti yang

diperlihatkan dalam pemilu di Jawa Timur itu, semakin banyak saja suara PDI
Perjuangan mersosot di berbagai daerah. Akan tetapi, mungkin ini akan menjadi salah
satu bagian untuk melihat jendela politik Indonesia di masa depan. Saat ini pandangan
sudah berbalik dibanding masa lalu. Jika di masa lalu, individu aktor politik yang
didongkrak oleh partai politik, kini indivodulah yang akan mendongkrak elektabilitas
partai. Bukan tidak mungkin Jokowi akan dipilih sebagai kandidat presiden oleh PDI
Perjuangan untuk mendongkrak elektabilitas partai tersebut. Gubernur DKI tersebut saat
ini mendapatkan suara terbanyak dalam survei yang dilakukan oleh lembaga kredibel.
Tetapi sampai sekarang PDI Perjuangan (Megawati) masih ragu-ragu menetapkan calon
presiden. Pemilu Jawa Timur mungkin akan menjadi jendela politik Indonesia tahun
depan.****
Penulis adalah staf pengajar sosiologi politik, Universitas Udayana