MASA DEPAN PARTAI POLITIK ISLAM : STUDI TENTANG KONFLIK ELIT PPP DALAM PERSPEKTIF PENGURUS DPW PPP JAWA TIMUR.
MASA DEPAN PARTAI POLITIK ISLAM
(Studi tentang Konflik Elit PPP dalam Perspektif PengurusDPW PPP Jawa Timur)
Skripsi:
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) dalam Filsafat Politik Islam
Oleh :
DINDA APRILIASTI NIM: E04211017
PROGRAM STUDI FILSAFAT POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2015
(2)
(3)
(4)
(5)
MASA DEPAN PARTAI POLITIK ISLAM
Studi tentang Konflik Elit PPP Dalam Perspektif Pengurus DPW PPP Jawa Timur
Oleh: Dinda Apriliasti
ABSTRAK
Studi ini berjudul Masa Depan Partai Politik Islam Studi tentang Konflik Elit PPP dalam Perspektif Pengurus DPW PPP Jawa Timur yang menjawab pertanyaan tentang pertama peta politik di DPW PPP Jawa Timur dan kedua masa depan partai Persatuan Pembangunan. Tujuan penelitian ini mendeskripsikan peta politik yang ada di DPW PPP Jawa Timur serta menganalisa masa depan partai PPP. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif berbasis studi kasus. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode observasi, wawancara (interview), dan dokumentasi. Teknik analisis data pada penelitian ini adalah analisis kualitatif yang terdiri dari tiga langkah yaitu reduksi data, penyajian data serta verifikasi. Hasil studi ini menunjukkan, pertama, DPW Jawa Timur memiliki faksi-faksi di dalamnya. Adapun faksi tersebut adalah Musyaffa Noer yang merepresentasikan kubu Romahurmuziy dan Masykur Hasyim serta Mujahid Anshori yang merupakan representasi kubu Djan Faridz. Konflik PPP yang terjadi saat ini dimulai pada Pilpres 2014 lalu yang menunjukkan rivalitas politik antara Suryadharma Ali dan Romahurmuziy. Konflik ini juga sampai pada PPP level Jawa Timur. Struktur kepengurusan di DPW PPP Jawa Timur didominasi oleh kubu Romahurmuziy dalam hal ini yakni kepengurusan Musyaffa Noer. Kubu Djan Faridz yang diwakili oleh kepengurusan Masykur Hasyim memang tidak memiliki akses di DPW namun tidak menjadi masalah baginya yang terpenting adalah konsolidasi hingga ke cabang. Kedua, berdasarkan konflik PPP yang terjadi di level Jawa Timur, maka masa depan PPP dapat dilihat dalam 2 (dua) perspektif: Pertama, menurut Musyaffa’ Noer konflik PPP tidak mempengaruhi eksistensi partainya, karena masyarakat sudah paham jika konflik yang ada sebenarnya hanya di level atas, dan di level DPW Jawa Timur sendiri semuanya cenderung berjalan lancar, namun tetap saja PPP butuh inovasi yang lebih kekinian sehingga konstituen tidak jenuh dengan konflik yang ada. Kedua, menurut Mujahid Anshori konflik elit di PPP berkaitan dengan pelembagaan partai politik. Oleh karenanya PPP harus bisa merespon isu-isu di masyarakat serta mampu menerjemahkannya dalam program yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. Dengan mengelola konflik secara baik maka masa depan PPP tidak akan terganggu.
(6)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN ABSTRAK... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN... iv
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI... v
HALAMAN MOTTO... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN... vii
KATA PENGANTAR... ix
DAFTAR ISI... xi
DAFTAR TABEL... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 7
E. Definisi Konseptual ... 8
F. Telaah Pustaka ... 10
G. Metode Penelitian... 12
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian... 12
2. Sumber Data ... 14
a. Data Primer... 14
b. Data Sekunder ... 17
3. Lokasi dan Alasan Pemilihan... ... 18
4. Metode Pengumpulan Data... ... 18
a. Metode Observasi... 19
b. Metode Wawancara... 19
(7)
5. Teknik Analisis Data... ... 21
6. Teknik Keabsahan Data... ... 22
7. Triangulasi... 23
H. Sistematika Pembahasan ... 24
BAB II KERANGKA TEORI ... 25
A. Teori Konflik ... 25
1. Penyebab Konflik ... 27
2. Bentuk-bentuk Konflik... 28
3. Dampak Konflik. ... 30
B. Konsep Elit Politik ... 31
C. Faksionalisme Partai ... 34
1. Definisi Faksionalisme ... 35
2. Konsep Pokok Faksionalisme ... 37
3. Penyebab Faksionalisme. ... 39
4. Dampak Faksionalisme. ... 40
BAB III DESKRIPSI PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN ... 41
A. Partai Persatuan Pembangunan ... 41
1. Latar Belakang Berdirinya PPP ... 41
2. Platform Partai ... 43
a. Program Kerja Partai ... 45
3. Sejarah di tubuh PPP. ... 49
B. Perbandingan Perolehan Suara PPP dalam Pemilu ... 50
C. Sejarah Konflik PPP ... 52
D. PPP Jawa Timur. ... 55
1. Muktamar Surabaya ... 56
(8)
BAB IV DINAMIKA POLITIK PARTAI PPP ... 61
A. Peta Politik di DPW PPP Jawa Timur ... 62
1. Faksi-faksi dalam DPW Jawa Timur ... 63
2. Model Konflik ... 66
3. Dialektika antar faksi ... 72
B. Masa Depan Partai Persatuan Pembangunan ... 75
BAB V PENUTUP ... 85
A. Kesimpulan ... 85
B. Saran ... 86
DAFTAR PUSTAKA ... 87 LAMPIRAN
(9)
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Perolehan suara Tujuh Partai Politik di Provinsi Jawa Timur dari
Pemilu tahun 2004 hingga 2014... 5
Tabel 2 Perolehan Suara Partai Persatuan Pembangunan dari Pemilu
1977-2014... 53
Tabel 3 Susunan Dan Personalia Pengurus Harian Wilayah Dewan
Pimpinan Wilayah Partai Persatuan Pembangunan Provinsi Jawa Timur Masa Bakti 2011-2016 versi
Romahurmuziy... 56
Tabel 4 Susunan Dan Personalia Pengurus Harian Wilayah Dewan
Pimpinan Wilayah Partai Persatuan Pembangunan Provinsi Jawa Timur Masa Bakti 2011-2016 versi Djan
(10)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Moralitas, kepemimpinan dan kesantunan dalam berpolitik menjadi
persoalan panjang yang tidak terselesaikan dalam kehidupan politik bangsa.
Perilaku para elit politik yang sering kali meninggalkan nilai-nilai moral luhur
dalam melakukan aktivitas politiknya, telah mencederai persoalan moral dalam
kehidupan politik bangsa ini. Berbagai solusi telah ditawarkan, sebagai upaya
penyelesaian persoalan kemerosotan moral di bidang politik yang menimpa
bangsa. Salah satunya adalah agar bangsa Indonesia kembali pada ajaran agama,
sebagai upaya mengatasi persoalan kemerosotan moral, terutama yang terjadi
pada elit politik. Dan juga yang tak kalah pentingnya pada masyarakat bangsa
secara keseluruhan.
Kemerosotan moral bisa ditandai dengan banyaknya penyelewengan yang
terjadi. Sekalipun bukan termasuk dalam seutuhnya penyelewengan, konflik para
elit yang sempat memanas di internal Partai Persatuan Pembangunan pun secara
tidak langsung juga sudah merupakan bukti nyata kemerosotan moral elit politik
Indonesia. Terlebih Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini merupakan Partai
Politik Islam yang mau tidak mau pasti diidentikkan dengan jiwa religius; pecinta
damai, tidak suka berkonflik.
Konflik elit PPP sebenarnya sudah ada sejak berdirinya Partai berlambang Ka‟bah ini. Namun akhirnya konflik pun semakin memanas saat pemilihan
(11)
2
Presiden beberapa waktu lalu. Konflik itu muncul karena adanya perbedaan
pandangan politik di antara pimpinan PPP. Pada Pilpres lalu, PPP secara resmi
mendukung pencalonan Prabowo-Hatta. Namun di satu pihak ada keinginan juga
dari internal PPP untuk bergabung ke kubu Jokowi. Saat itu, situasi internal PPP
semakin panas karena terjadi juga klaim kepengurusan antara kubu Suryadharma
Ali (SDA) dengan kubu Emron Pangkapi.
Perbedaan pandangan politik, ditambah juga saling klaim kepengurusan
akhirnya secara tidak langsung menimbulkan dualisme kepemimpinan dalam
tubuh internal PPP. Oleh karenanya konflik yang menimpa internal PPP ini dirasa
bisa diselesaikan dengan dilaksanakannya Muktamar. Namun persoalan sejak
awal adalah karena adanya dualisme kepemimpinan, maka sekalipun Muktamar
ini dilaksanakan tetap saja memicu perpecahan di tubuh Partai PPP.
Terhitung sejak 09 Oktober 2014, Suryadharma Ali resmi diberhentikan
sebagai Ketua Umum PPP. Dimana sebagai balasan pemberhentian dirinya,
Suryadharma Ali pun memecat balik jajaran kepengurusan harian DPP PPP. Yang
dipecat oleh Suryadharma antara lain, Wakil Ketua Umum PPP Emron Pangkapi
dan Suharso Monoarfa, serta Sekretaris Jenderal PPP Romahurmuziy. Saat seperti
itulah Suryadharma Ali kemudian membentuk susunan kepengurusan baru. Hal
yang serupa juga dilakukan oleh Emron Pangkapi. Akibatnya, dualisme
kepemimpinan dan saling klaim di antara masing-masing jajaran pengurus DPP
PPP pun semakin tidak bisa dihindari.
Dualisme kepemimpinan ini semakin terlihat dari Muktamar yang
(12)
3
Kubu Suryadharma Ali melaksanakan Muktamar ke VIII pada 30 Oktober 2014
sampai 2 November 2014 dan bertempat di Jakarta. Adapun hasil Muktamar
Jakarta tersebut menetapkan Djan Faridz sebagai ketua umum partai PPP. Dalam
hasil rapat paripurna, Djan Faridz ditetapkan sebagai calon ketua umum tunggal
mengesampingkan Ahmad Yani, yang sebelumnya juga dicalonkan sebagai ketua
umum.
Sedangkan kubu Emron Pangkapi memilih untuk menyelenggarakan
Muktamar ke VIII di Surabaya pada tanggal 15-18 Oktober 2014. Hasil Muktamar
tersebut adalah Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan, M.
Romahurmuziy resmi menjabat sebagai Ketua Umum PPP periode 2014-2019.
Adapun Romahurmuziy menjadi calon tunggal ketua umum dalam Muktamar
Surabaya dan dipilih secara aklamasi oleh kader PPP1.
Partai Persatuan Pembangunan ini termasuk dalam kategori Partai Politik Islam selain dikarenakan lambang partainya yang berupa Ka‟bah tetapi juga karena ideologi partainya yang selalu dipegang teguh dalam AD-ART nya yaitu
partai politik Islam berazaskan Islam. Meskipun demikian PPP bukanlah partai
yang berada di luar pemerintahan. Sebaliknya, PPP selalu masuk dalam
pemerintahan. Hal ini terbukti dari perolehan suara PPP tingkat provinsi.
Sekalipun dalam skala nasional, dari tahun 2004 misalnya, PPP memang tidak
pernah menduduki bangku 5 (lima) besar partai politik di Indonesia.
1Ryan Situmeang, “Romy Ketua PPP Muktamar Surabaya”,
http://www.tempo.co/read/news/2014/10/16/078614776/Romy-Resmi-Jadi-Ketua-Umum-PPP-Muktamar-Surabaya/(Minggu 08 Maret 2015, 15:26)
(13)
4
Hal ini menjadi menarik terlebih karena PPP sendiri melaksanakan
Muktamar ke-VIII nya di Provinsi Jawa Timur, tepatnya di Surabaya. Terlepas
dari konflik yang ada, diakui atau tidak tetap saja Partai Persatuan Pembangunan
merupakan partai Islam yang memegang teguh kultur ke NU-an yakni ahlus sunnah wal jama‟ah. Sehingga tidak mengherankan jika Muktamar ke VIII oleh kubu Romahurmuziy ini dilaksanakan di Surabaya yang notabenenya ke
NU-annya sangat kuat, sebab basis Nahdlatul Ulama‟ sendiri juga ada di Jawa Timur.
Hal ini terbukti dari peserta Muktamar VIII Surabaya yang turut hadir ada
sebanyak 29 kepengurusan dari total keseluruhan ada 33 kepengurusan. Ini jelas
berbeda dari peserta Muktamar VIII Jakarta oleh Suryadharma Ali yang hanya
dihadiri oleh sekitar 10 kepengurusan sekalipun notabenenya Jakarta adalah „basecamp‟ dari DPP PPP. Mengutip dari Didik Noerman selaku Sekretaris
Wilayah DPW PPP Jawa Timur2, bahwa:
“Muktamar ke delapan kemarin adalah langkah tepat. Bahkan harlah kita pun diselenggarakan di Bangkalan yang merupakan penyumbang suara terbanyak bagi PPP”.
Fakta lainnya adalah perolehan suara PPP tingkat provinsi khususnya Jawa
Timur yang cukup fluktuatif sekalipun memang mengalami penuruan di tiap
tahunnya. Berikut adalah tabel perolehan suara Tujuh Partai Politik di Provinsi
Jawa Timur dari Pemilu tahun 2004 hingga 20143:
2Didik Noerman,
Wawancara, Kantor DPW PPP Jawa Timur Kendangsari Surabaya, 16 April 2015.
(14)
5
Tabel 1.1
Perolehan suara Tujuh Partai Politik di Provinsi Jawa Timur dari Pemilu tahun 2004 hingga 2014
TAHUN GOLKAR PDIP PKB DEMOKRAT PKS PAN PPP
2004 21,58% 18,53% 10,57% 7,45% 3,23% 5,6% 8,15%
2009 14,5% 14,0% 8,87% 20,9% 7,9% 6,0% 5,3%
2014 9,35% 18,92% 18,92% 12,06% 5,23% 6,0% 6,53%
Sumber: http://www.kpujatim.go.id
Dari tabel diatas terlihat bahwa partai Golkar, PAN, dan juga PPP relatif
stabil antara Pemilu tahun 2009 dan 2014. Pada tahun 2014 sendiri, 3 (tiga) besar
di Jawa Timur memang diduduki oleh PKB, PDIP, dan Gerindra, namun tidak
dapat dipungkiri bahwa dari tahun ke tahun PPP sendiri mengalami dinamika
perolehan suara yang cukup fluktuatif. Maksudnya PPP tidak hanya mengalami
penurunan saja tetapi juga mengalami peningkatan yang walaupun sedikit dan
juga tetap saja lebih rendah daripada tahun-tahun sebelumnya saat PPP belum
diguncang konflik internal. Namun tetap saja dikatakan PPP mengalami
peningkatan. Dimana PPP mendapat 8,15% suara pada tahun 2004 dan kemudian
turun menjadi 5,3% saja pada tahun 2009. Dan ternyata itu bukan masalah penting
bagi PPP, sebab sekalipun sudah mulai dihinggapi konflik elit di internal
partainya, PPP tetap memperoleh suara sebanyak 6,53% pada tahun 2014 yang
artinya mengalami peningkatan. Hasil perolehan tersebut jika dikonversikan ke
dalam kursi DPR RI memang hanya meningkat 1 (satu) kursi, dari 38 kursi
menjadi 39 kursi. Peningkatan jumlah kursi secara signifikan sendiri dapat dilihat
(15)
6
perolehan kursi PPP di seluruh wilayah Indonesia di DPRD Provinsi meningkat
5% dari pemilu 2009, yakni dari 126 kursi menjadi 132 kursi. Sedangkan
perolehan kursi PPP di DPRD Kabupaten/Kota seluruh Indonesia meningkat 13%,
yakni dari 936 kursi pada tahun 2009 meningkat menjadi 1079 kursi DPRD
Kabupaten/Kota4.
Sehingga hal ini pun dirasa menarik bagi penulis, melihat saat konflik elit
di internal Partai Persatuan Pembangunan mulai mencapai klimaks lalu
diputuskan untuk melaksanakan Muktamar di Jawa Timur sebagai solusi atas
konfliknya. Surabaya pada khususnya merupakan lumbung suara bagi PPP secara
tidak langsung. Dimana ternyata Muktamar VIII Surabaya ini pun juga
merupakan representasi dari konflik elit PPP terkait adanya kubu-kubu dalam
internal partai PPP. Hal ini dapat dilihat dari komposisi kepengurusan DPW PPP
Jawa Timur sendiri yang ternyata memang di dominasi oleh mereka kubu
Romahurmuziy (selanjutnya disebut Romy) selaku Ketua Umum PPP periode
2011-2016 hasil dari Muktamar Surabaya dan kubu Djan Faridz juga menjadi
pengurus namun tidak menjadi mayoritas dan kebanyakan justru diberhentikan.
Mengutip dari Zuman Malaka selaku Wakil Sekretaris Wilayah DPW PPP Jawa
Timur5, bahwa:
“Di DPW Jatim ini semua kubu Romy. Bukan asal-asalan milih kubu, tetapi kita memihak ke Romy dengan landasan karena memang Romy yang dapat SK MENKUNHAM sebagai Ketua Umum PPP. Itu pemerintah sendiri yang melegalkan mbak, jadi DPW Jawa Timur jelas mengikuti yang jelas sah kepemimpinannya”.
4Dokumen AD ART Muktamar VIII Partai Persatuan Pembangunan, 39. 5Zuman Malaka,
Wawancara, Kantor DPW PPP Jawa Timur Kendangsari Surabaya, 4 Juni 2015.
(16)
7
Selain itu penelitian ini menjadi menarik juga dikarenakan PPP merupakan
partai politik yang memiliki basis massa menjanjikan di Jawa Timur dengan
begitu dapat diamati dinamika kepartaiannya sehingga bisa menganalisa juga
bagaimana eksistensi PPP ini di tahun 2019.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan di atas, maka rumusan
masalahnya adalah:
1. Bagaimana peta politik di DPW PPP Jawa Timur pasca Muktamar VIII
Surabaya?
2. Bagaimana masa depan PPP Jawa Timur pasca konflik elit PPP?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuannya adalah untuk:
1. Mendeskripsikan peta politik di DPW PPP Jawa Timur pasca Muktamar
VIII Surabaya. Peta politik yang dimaksud adalah faksi-faksi yang ada di
DPW PPP Jawa Timur, dan bagaimana model konflik serta dialektika antar
faksi di DPW PPP Jawa Timur.
2. Menganalisis masa depan PPP Jawa Timur pasca konflik elit PPP.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang dilakukan peneliti adalah sebagai berikut:
(17)
8
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperoleh cakrawala dan
wawasan pengetahuan yang lebih mendalam tentang masa depan partai
politik Islam. Dalam penelitian ini adalah masa depan Partai Persatuan
Pembangunan yang dilanda konflik elit di internal partainya.
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi para
elit politik dalam hal pengelolaan partai politiknya. Selain itu juga dapat
dijadikan sebagai referensi strategi partai politik yang berbasis massa Islam.
Dalam penelitian ini elit politik yang dimaksud adalah kepengurusan DPW
PPP Jawa Timur untuk lebih bisa memposisikan diri dalam melihat konflik
yang ada salah satunya dengan tidak berat pada salah satu kubu.
E. Definisi Konseptual
1. Konflik: dalam ilmu politik konflik seringkali dikaitkan dengan kekerasan, seperti kerusuhan, kudeta, terorisme, dan revolusi. Konflik mengandung pengertian “benturan”, seperti perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan antara individu dan individu, kelompok dan
kelompok, individu dan kelompok, dan antara individu atau kelompok
dengan pemerintah. Sehingga, ada konflik yang berwujud kekerasan dan
ada pula konflik yang tak berwujud kekerasan6.
6Ramlan Surbakti,
Memahami Ilmu Politik (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana, 1999), 75.
(18)
9
Dalam penelitian ini, konflik yang dimaksud adalah perbedaan
pandangan politik antara elit PPP sehingga menimbulkan dualisme
kepemimpinan dalam internal PPP.
2. Elit: orang tertentu yang berkuasa dan mengemban tugas dengan kedudukan tinggi dalam masyarakat. Elit politik yang dimaksud adalah
individu atau kelompok elit yang memiliki pengaruh dalam proses
pengambilan keputusan politik. Suzanne Keller mengelompokkan ahli
yang mengkaji elit politik ke dalam dua golongan. Pertama, ahli yang
beranggapan bahwa golongan elite itu adalah tunggal yang biasa disebut
elit politik (Aristoteles, Gaetano Mosca dan Pareto). Kedua, ahli yang
beranggapan bahwa ada sejumlah kaum elit yang berbagi kekuasaan,
tanggung jawab, dan hak-hak atau imbalan (ahlinya adalah Saint Simon,
Karl Mainnheim, dan Raymond Aron). Keller menambahkan
pemerintahan oleh elit merupakan syarat yang harus dipenuhi bila
masyarakat ingin tetap terintegrasi. Menurut Keller, untuk masyarakat
yang kompleks dan heterogen, ada kecenderungan memiliki elit yang
beragam pula atau lebih popular dengan istilah Elit Strategis. Di setiap
bidang kehidupan penting (ekonomi, politik dan sosial) akan muncul
orang/sekelompok orang yang memiliki kekuasaan lebih besar daripada
yang lain. Elit dirumuskan sebagai posisi puncak dalam struktur-struktur
sosial terpenting di masyarakat. Elit strategis ini tidak hanya dipegang
oleh merka yang termasuk dari bagian struktur-struktur sosial penting,
(19)
10
ataupun pengaruh lebih besar dari lainnya sekalipun mereka tidak
termasuk dalam struktur sosial penting masyarakat.
Elit yang dimaksud adalah pengurus partai PPP khususnya di DPW PPP
Jawa Timur dan juga mereka yang memiliki pengaruh penting bagi PPP
secara umum dan DPW PPP Jawa Timur pada khususnya.
3. DPP PPP: Dewan Perwakilan Pusat; lembaga resmi partai politik Islam yang kedudukannya paling tinggi.
4. DPW PPP Jawa Timur
:
Dewan Perwakilan Wilayah; lembaga resmi partai politik Islam tingkat provinsi, dalam hal ini Jawa Timur.F. Telaah Pustaka
Berdasarkan penelusuran terhadap penelitian dan penyajian yang telah ada,
ditemukan karya ilmiah yang sejalur dengan tema kajian penelitian ini. Berikut
hasil usaha penelusuran tentang tesis yang berkaitan dengan tema penelitian ini:
1. Nurul Radiatul Adawiah, Konflik Internal Partai Nasdem (Studi tentang
DPW Partai Nasdem Sulawesi Selatan), 2013. Skripsi. Program Studi Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial
dan Politik, Universitas Hasanuddin.
Fokus masalah yang diteliti dalam skripsi ini adalah tentang
perbedaan pandangan yang muncul dikarenakan adanya perbedaan
kepentingan antar anggota maupun pengurus partai dalam hal ini adalah
Partai Nasdem. Faksi-faksi di internal Partai Nasdem terbentuk karena
(20)
11
pusat mengakibatkan terjadinya rembetan konflik sampai ke tingkat
wilayah dengan adanya pembekuan Kepengurusan DPW Partai Nasdem
Sulawesi Selatan. Partai politik sebagai organisasi modern akan selalu
dihadapkan pada realitas konflik. Misalnya saja konflik yang berupa
perbedaan pandangan, ide atau paham, pertentangan kepentingan dan
seterusnya. Partai Nasdem sebagai satu-satunya partai baru yang
dinyatakan lolos ferifikasi KPU secara struktur menginginkan adanya
perbaikan dari segi struktur kepengurusan guna mempersiapkan diri
menghadapi Pemilu 2014. Hal inilah yang menjadi cikal bakal terjadinya
konflik di Internal Partai Nasdem.
Berdasarkan masalah dan kesimpulan diatas maka perbedaan
skripsi ini dengan penelitian yang akan penulis lakukan terletak pada fokus
pembahasannya. Dalam skripsi ini hanya dipaparkan mengenai akibat dari
konflik perbedaan pandangan dari internal partai Nasdem sehingga
memunculkan faksi-faksi di tingkat DPW. Sedangkan penelitian yang
akan penulis lakukan selain akan membahas tentang dampak dari konflik
internal di tubuh partai akan diteliti (dalam hal ini adalah PPP) juga akan
membahas tentang masa depan dari partai PPP pasca konflik elit yang
terjadi di tingkat pusat itu.
2. Bambang, Konflik Internal Partai Kebangkitan Bangsa di Karawang
(Studi tentang Sumber dan Dampak pada Pemilu 2009), 2010. Skripsi. Program Studi Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan,
(21)
12
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah.
Penelitian ini membahas tentang partai politik di Indonesia belum
terinstitusionalisasi dengan baik. Kita semua tentu berharap kelak
institusionalisasi partai-partai politik di Indonesia akan kian membaik
seiring dengan semakin dewasa umur demokrasi kita. Untuk itu mutlak
dibutuhkan upaya perbaikan kehidupan kepartaian melalui jalur institusi
dengan menempatkan kelompok masyarakat sipil sebagai motor
penggerak utama. Kelompok-kelompok masyarakat sipil dapat
mendesakkan sejumlah agenda perbaikan institusional terhadap
partai-partai politik melalui perangkat-perangkat regulasi yang dapat merangsang
perbaikan internal di dalam tubuh partai-partai politik tersebut. Dengan
institusionalisasi partai politik yang semakin baik diharapkan kehidupan
politik di Indonesia pun akan menjadi lebih stabil sehingga kesejahteraan
rakyat sebagai tujuan demokrasi menjadi tercapai secara maksimal.
Berdasarkan kesimpulan diatas skripsi tersebut hanya memaparkan
mengenai sumber dan dampak dari konflik. Sedangkan penelitian yang
akan penulis lakukan juga akan membahas tentang bagaimana elit politik
(yakni DPW PPP Jawa Timur) memandang konflik yang sedang terjadi di
(22)
13
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Sesuai dengan judul penelitian ini yakni Masa Depan Partai Politik
Islam (Studi tentang Konflik Elit PPP dalam Perspektif Pengurus DPW
PPP Jawa Timur) maka jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan
skripsi ini adalah field research (penelitian lapangan) yang artinya
penelitian ini berangkat dari studi kasus di lapangan, yang bertujuan
untuk memperoleh data yang relevan. Peneliti sekaligus penulis
mendatangi tempat yang menjadi lokasi penelitian, hal ini dilakukan
sebagai upaya dalam menemui informan yang telah dilakukan. Adapun
peneliti mendatangi Kantor DPW PPP Jawa Timur. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa informasi-informasi tertulis
atau lisan dari orang-orang terkait7. Dalam penulisan karya ilmiah di
perguruan tinggi, Jalaluddin Rahmat berpendapat bahwa penelitian
kualitatif adalah data yang digunakan merupakan data Kualitatif (data
yang tidak terdiri dari angka-angka) melainkan berupa gambaran dan
kata-kata8. Peneliti sekaligus penulis dengan berbekal daftar wawancara
berupa pertanyaan yang nantinya akan dijawab oleh informan secara
lisan. Adapun landasan ataupun alasan menggunakan pendekatan dan
jenis penelitian ini untuk mendapatkan informasi yang mendalan tentang
7Noeng Muhadjir,
Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1994), 14.
8Jalaluddin Rahmat,
Metode Penelitian Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), 36.
(23)
14
Masa Depan Partai Politik Islam khususnya bila ditinjau dari konflik elit
partai PPP menurut perspektif DPW PPP Jawa Timur.
2. Sumber Data
Sumber data merupakan subjek yang memberikan data sesuai
dengan klasifikasi data penelitian yang sesuai. Di sini memiliki data yang
berfungsi sebagai penunjang dalam penelitian. Sumber data dalam
penelitian ini dibagi menjadi:
a. Primer
Data primer merupakan sumber data utama dan kebutuhan
mendasar dalam penelitian ini. Sumber data diperoleh dari informan
saat peneliti terjun langsung ke lokasi penelitian. Beberapa informan
akan dipilih berdasarkan kebutuhan penelitian, serta berkaitan dengan
tema penelitian. Selama di lapangan, peneliti sekaligus penulis tidak
hanya mendapatkan data melalui wawancara secara mendalam dengan
informan. Peneliti juga mendapatkan buku AD ART dari Partai
Persatuan Pembangunan.
Informan adalah orang yang bisa memberikan informasi tentang
situasi dan juga kondisi latar penelitian9. Informan bukan hanya
sebagai sumber data, melainkan juga aktor yang menentukan berhasil
atau tidaknya penelitian berdasar hasil informasi yang diberikan.
Sehingga antara peneliti dan informan mempunyai peran dan fungsi
(24)
15
yang kurang lebih sama yakni memberikan jawaban-jawaban atas
rumusan masalah yang telah diuraikan.
Yang dimaksudkan informan dalam penelitian adalah segenap
jajaran kepengurusan DPW PPP Jawa Timur sebagai elit politiknya.
Dimana dalam penelitian ini elit politik di DPW PPP Jawa Timur
adalah mereka yang pro dengan kubu Romy. Selain itu, informan yang
juga dirasa representatif dalam penelitian ini sesuai dengan pendapat
Suzenne Keller tentang elit politik bukan hanya tentang mereka yang
ada pada struktur penting dalam masyarakat saja melainkan juga
mereka yang sekalipun tidak masuk dalam struktur tetapi berpengaruh
penting dalam masyarakat. Elit yang dimaksud adalah mereka yang
sebenarnya masuk dalam kepengurusan DPW PPP Jawa Timur tetapi
karena pro dengan Djan Faridz maka diberhentikan, sehingga informan
ini secara tidak langsung termasuk dalam elit di luar kepengurusan.
Adapun informan dari kubu Romy adalah:
1. Ketua DPW PPP Jawa Timur, Musyaffa‟ Noer. Informan ini
berguna untuk pemenuhan data tentang peta politik di DPW PPP
Jawa Timur pasca Muktamar VIII Surabaya sekaligus masa depan
PPP Jawa Timur pasca konflik elit yang terjadi.
2. Nurman Zein selaku Sekretaris Wilayah DPW PPP Jawa Timur.
Informan ini berguna untuk pemenuhan data tentang peta politik di
(25)
16
3. Zuman Malaka selaku Wakil Sekretaris Wilayah DPW PPP Jawa
Timur. Informan ini berguna untuk pemenuhan data tentang peta
politik di DPW PPP Jawa Timur pasca Muktamar VIII Surabaya.
Sedangkan informan dari kubu Djan Faridz adalah sebagai berikut:
1. Mujahid Anshori adalah pengurus dari DPW PPP Jawa Timur.
Beliau merupakan bagian dari mereka yang pro dengan Djan
Faridz. Adapun informan ini berguna untuk pemenuhan data
tentang bagaimanakah peta politik yang ada di DPW PPP Jawa
Timur pasca Muktamar VIII Surabaya dari sudut pandang yang
berbeda dan juga merupakan pihak yang berkonflik (dimana DPW
PPP Jawa Timur merupakan kubu pro Romy dan Mujahid selaku
kubu pro Djan Faridz). Konflik yang awalnya hanya masalah
pembagian kursi kemudian semakin berkembang hingga pada
adanya intervensi pihak luar, sehingga tidak heran di DPW
sekalipun juga ada dua kubu. Dimana hal ini bisa mempengaruhi
eksistensi PPP jika terus menerus hanya berpusat pada masalah.
Perlu dicari inovasi lainnya untuk tetap meraih minat masyarakat
luar kepada partai politik Islam.
2. Masykur Hasyim. Adapun informan ini guna pemenuhan data
dengan bagaimana sesungguhnya peta politik yang ada di DPW
PPP Jawa Timur dari sudut pandang yang berkonflik (dalam hal
(26)
17
Teknik yang digunakan dalam pemilihan informan menggunakan
Purpossive Sampling, artinya teknik penentuan sumber data mempertimbangkan terlebih dahulu, bukan diacak. Artinya
menentukan informan sesuai dengan kriteria terpilih yang relevan
dengan masalah penelitian10.
b. Sekunder
Data sekunder adalah data penunjang sumber utama untuk
melengkapi sumber data primer. Data sekunder juga sering disebut
sebagai sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada
pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau dokumen. Jadi data ini
berupa bahan kajian yang digambarkan oleh bukan orang yang ikut
mengalami atau hadir dalam waktu kejadian berlangsung. Sehingga
sumber data bersifat penunjang dan melengkapi data primer. Dalam
penelitian ini jenis sumber data yang digunakan adalah literatur dan
dokumentasi. Sumber literatur adalah referensi yang digunakan untuk
memperoleh data teoritis dengan cara mempelajari dan membaca
literatur yang ada hubungannya dengan kajian pustaka dan
permasalahan penelitian baik yang berasal dari buku maupun internet
seperti. Sedangkan untuk dokumentasi sebagai tambahan, dimana bisa
berupa arsip DPW PPP Jawa Timur, dan lain sebagainya.
10Burhan Bungin,
Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya (Jakarta: Fajar Interpratama, 2007), 107.
(27)
18
3. Lokasi dan Alasan Pemilihan
Lokasi yang diambil oleh peneliti untuk mencari dan menggali data
tentang permasalahan yang sedang dibahas oleh peneliti terkait dengan
Masa Depan Partai Politik Islam khusunya ditinjau dari konflik elit partai
PPP menurut perspektif DPW PPP Jawa Timur. Maka lokasi penelitian
dilakukan Jawa Timur atau lebih tepatnya di DPW PPP Jawa Timur.
Alasan memilih lokasi penelitian tersebut karena ada 2 (dua) faktor.
Pertama, semenjak dimulainya konflik internal dalam tubuh partai Ka‟bah, sedikit banyak DPW PPP Jatim juga diikut sertakan. Terlebih Muktamar ke VIII pun dilakukan di Surabaya. Selain itu Surabaya
merupakan basis massa dari PPP.
Muktamar sendiri dianggap sebagai solusi atas adanya konflik yang
terjadi di internal PPP. Dengan begitu penelitian ini pun menjadi menarik
sebab bisa menganalisis secara langsung bagaimana posisi DPW PPP
Jawa Timur memandang konflik yang ada di internal PPP sekaligus
bagaimana masa depan PPP pasca konflik yang terjadi ini.
4. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data, terkait penelitian ini menggunakan:
(28)
19
Observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk
menghimpun data penelitian melalu pengamatan dan pengindraan11. Para
ilmuwan hanya dapat bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai
dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi12. Dalam hal ini
peneliti mengamati secara langsung kejadian-kejadian di tempat
penelitian13. Observasi yang dilakukan peneliti termasuk dalam jenis
observasi partisipatif. Observasi partisipatif adalah observasi dimana
peneliti secara langsung terlibat dalam kegiatan sehari hari informan.
Dalam metode observasi ini peneliti tidak hanya mengamati objek studi
tetapi juga mencatat hal hal yang terdapat pada objek tersebut, sehingga
peneliti benar benar mendapatkan data tentang situasi dan kondisi secara
universal dari informan.
b. Metode Wawancara,
Dalam penelitian kualitiatif kata-kata dan tindakan yang utama,
untuk itu wawancara sangat penting dalam penelitian ini. Wawancara
adalah merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan
ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam
suatu topik tertentu14. Peneliti langsung terjun ke lapangan, dengan
cara menanyakan terhadap informan terkait posisi DPW PPP Jawa
Timur memandang konflik yang terjadi di internal PPP. Data diperoleh
11Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2007), 118.
12Sugiyono. Metode Penelitian Kombinas “Mixed Method” (Bandung: Alfabeta, 2011),
226.
13M Natsir,
Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), 14.
(29)
20
langsung dari informan melalui wawancara. Dalam penelitian kualitatif
ini peneliti menggunakan teknik purpossive sampling. Menurut
Sugiyono purpossive sampling adalah teknik pengambilan sampel
sumber data dengan pertimbangan tertentu yakni sumber data dianggap
paling tahu tentang apa yang diharapkan, sehingga mempermudah
peneliti menjelajahi obyek atau situasi sosial yang diteliti15. Dalam
penelitian ini wawancara berstruktur, dimana peneliti sudah
menyiapkan instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan.
Dengan wawancara terstruktur ini setiap informan diberi pertanyaan
yang sama, dan peneliti mencatatnya16. Wawancara terstruktur ini
dilaksanakan secara bebas dan juga mendalam, tetapi kebebasan ini
tetap tidak terlepas dari pokok permasalahan yang akan ditanyakan
kepada informan dan telah dipersiapkan sebelumnya oleh
pewawancara17.
c. Metode Dokumentasi
Teknik ini dilaksanakan dengan melakukan pencatatan terhadap
berbagai dokumen-dokumen, ataupun artisp-arsip yang tersedia
dengan tujuan mendapatkan bahan yang menunjang secara teoritis
terhadap topik penelitian. Pada intinya metode ini digunakan untuk
menelusuri data histori dan sosial. Sebagian besar fakta data sosial
tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi, seperti
15Sugiyono,
Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta CV, 2010), 219.
16Sugiyono,
Metode Penelitian Kualitati f (Bandung:: Alfabeta CV, 2005), 73.
17Burhan Bungin,
Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya, (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2007), 113.
(30)
21
buku, literatur, arsip atau dokumen pemerintah18. Dalam penelitian ini,
menggunakan dokumen tertulis dapat berupa media cetak sebagai
bahan bukti data yang relevan dengan penelitian, seperti koran-koran
yang memuat pemberitaan tentang Partai Persatuan Pembangunan.
Penulis sekaligus peneliti telah mendapatkan dokumen yang diberikan
oleh staff DPW PPP Jawa Timur berupa buku AD ART dari Muktamar
VII (tujuh) dan VIII (delapan) Partai PPP.
5. Teknik Analisis Data
Analisis data pada umumnya dilakukan untuk memperoleh
gambaran umum dan menyeluruh tentang situasi sosial yang diteliti objek
penelitian. Analisa data kualitatif adalah bersifat induktif, yaitu suatu
analisa berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan
menjadi hipotesis. Berdasarkan hipotesis yang dirumuskan berdasarkan
data tersebut, selanjutnya dicarikan data lagi secara berulang-ulang
sehingga selanjutnya dapat disimpulkan apakah hipotesis tersebut ditolak
atau diterima berdasarkan data yang terkumpul. Bila berdasarkan data
yang dapat dikumpulkan secara berulang-ulang dengan tehnik triangulasi
ternyata hipotesa diterima maka hipotesis akan berkembang menjadi
teori19. Analisis data juga dapat menerapkan salah satu teori kajian sastra
lisan. Peneliti juga dapat menggabungkan beberapa teori sebagai peta
18M Natsir,
Metode Penelitian, 121.
19Sugiyono,
Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta CV, 2010). 245.
(31)
22
kajian dalam membahas, mengkaji, dan menganalisis data-data yang sudah
didapatkan pada masa-masa penelitian berlangsung20.
Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah analisa deskriptif
dan dijabarkan secara sistematis. Adapun dengan menggunakan Reduksi
Data, Kategorisasi, dan Sintesisasi. Yang pertama Reduksi data yakni
mengidentifikasi data yang sesuai dengan fokus dan masalah penelitian,
yang kedua Kategorisasi, merupakan teknik analisis data berupaya
memilah-milah kepada bagian data yang memiliki kesamaan, dan yang
ketiga Sintesisasi, setelah data ditemukan kesamaannya maka data dicari
kaitan antara satu kategori dengan kategori yang lainnya, sedangkan
kategori yang satu dengan yang lainnya diberi nama/label21.
6. Tekhnik Keabsahan Data
Teknik keabsahan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Teknik keabsahan data perpanjangan keikutsertaan, disini peneliti
dalam pengumpulan data karena peneliti disini harus ikutserta dalam
memperoleh data yang valid.
b. Teknik keabsahan data ketekunan/keajegan pengamatan, peneliti disini
harus juga tekun untuk mencari data yang valid serinci mungkin yang
nantinya peneliti nanti lebih bersifat terbuka.
20M Natsir,
Metode Penelitian, 104. 21Lexy J. Moleong,
Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
(32)
23
c. Teknik keabsahan data hasil pemeriksaan sejawat melalui diskusi,
diskusi merupakan tenik keabsahan yang hampir terakhir, dikarenakan
data yang ditemukan nanti masih didiskusiakn dengan rekannya dan
teknik keabsahan data uraian rinci.
d. Teknik keabsahan data yang terakhir adalah uraian rinci, peneliti sangat
strategis dalam menekuni hasil dari temuan data dicari serinci mungkin
sesuatu yang relevan dengan pokok bahasan22.
7. Triangulasi
Triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai
pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai
waktu. Terdapat triangulasi sumber, triangulasi teknik pengumpulan data,
dan waktu. Triangulasi sumber dilakukan dengan cara mengecek data yang
telah diperoleh melalui beberapa sumber, triangulasi teknik dilakukan
dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang
berbeda, dan triangulasi waktu dilakukan dengan cara melakukan
pengecekan dengan wawancara, observasi atau teknik lain dalam waktu
atau situasi yang berbeda. Sugiyono memaparkan triangulasi dapat juga
dilakukan dengan cara mengecek hasil penelitian23.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan triangulasi sumber dan
teknik dimana peneliti mengecak data yang telah diperoleh dari beberapa
22Lexy J. Moleong.
Metode Penelitian Kualitatif, 327-336.
23Sugiyono,
Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D.( Bandung: Alfabeta CV, 2010), 221
(33)
24
sumber (informan), hingga data tersebut bisa dinyatakan benar (valid) dan
juga melakukan observasi serta dokumentasi diberbagai sumber.
H. Sistematika Pembahasan
Dalam pembahasan penelitian ini diuraikan menjadi beberapa bab dan sub
bab untuk memudahkan dalam penulisan dan mudah untuk dipahami secara
runtut. Adapun sistematikanya terdiri dari lima bab sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, telaah pustaka,
metode penelitian dan sistematika pembahasan.
BAB II : Berisi tentang Kajian Teori atau Kerangka Konseptual
yang akan menjelaskan tentang teori konflik, elit politik,
dan faksionalisme partai.
BAB III : Setting penelitian yakni deskripsi tentang partai PPP
yang meliputi latar belakang berdirinya partai, struktur
kepengurusan DPW PPP Jawa Timur dari masing-masing
kubu, dan perbandingan perolehan suara PPP dalam
Pemilu.
BAB IV : Analisis Data. Bab ini akan menjelaskan tentang analisa
peta politik di DPW PPP Jawa Timur dan masa depan PPP
pasca konflik.
(34)
BAB II
KERANGKA TEORI
Dalam penelitian ini menjelaskan tentang beberapa pendekatan teoritik yang
nantinya akan menunjang dalam analisis data. Beberapa teoritik tersebut adalah
teori konflik, elit politik dan faksionalisme partai. Teori konflik digunakan dalam
penelitian ini dikarenakan fokusnya terletak pada konflik yang terjadi di tubuh
partai PPP. Sedangkan elit politik digunakan dalam penelitian ini karena aktor
yang berkonflik di partai PPP merupakan para elit di partai PPP. Dan pendekatan
faksionalisme partai adalah untuk menganalisis data tentang kubu-kubu yang ada
di DPW PPP Jawa Timur.
A. Teori Konflik
Konflik dalam ilmu politik seringkali dikaitkan dengan kekerasan, seperti
kerusuhan, kudeta, terorisme, dan revolusi. Konflik mengandung pengertian “benturan”, seperti perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan antara individu dan individu, kelompok dan kelompok, individu dan kelompok, dan
antara individu atau kelompok dengan pemerintah. Sehingga, ada konflik yang
berwujud kekerasan dan ada pula konflik yang tak berwujud kekerasan23.
Konflik adalah suatu bentuk interaksi sosial dimana seseorang individu
atau kelompok dalam mencapai tujuan maka individu atau kelompok akan
mengalami kehancuran, sedang yang lain menilai bahwa konflik merupakan
23Ramalan Surbakti,
Memahami Ilmu Politik ,( Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana, 1999), hal:75
(35)
26
sebuah proses sosial dimana individu-individu atau kelompok individu berusaha
memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan dengan ancaman atau
kekerasan24. Menurut Soerjono Soekanto, “Konflik adalah proses sosialisasi
dimana orang perorang atau kelompok manusia berusaha memenuhi tujuannya
dengan jalan menentang pihak lawan dengan ancaman atau kekerasan”.
Menurut Coser, konflik adalah perselisihan mengenai nilai-nilai atau
tuntutan-tuntutan mengenai dengan status, kuasa, sumber-sumber kekayaan yang
persediaannya tidak mencukupi, dimana pihak-pihak yang berselisih tidak hanya
bermaksud memperoleh barang yang diinginkan melainkan juga memojokkan,
merugikan atau bahkan menghancurkan pihak lawan. Perselisihan atau konflik
dapat berlangsung antar individu-individu, kumpulan-kumpulan atau antar
individu dengan kumpulan. Bagaimanapun konflik baik yang bersifat antara
kelompok maupun intra kelompok, selalu ada ditempat hidup orang bersama.
Konflik disebut unsur interaksi yang penting, dan tidak sama sekali tidak boleh
dikatakan selalu tidak baik atau memecah belah dan merusak, justru konflik dapat
menyumbangkan banyak pada kelestarian kelompok dan memepererat hubungan
antar anggotanya.
Setiap sistem politik terutama sistem politik demokrasi penuh kompetisi
dan sangat dimungkinkan adanya perbedaan kepentingan, rivalitas, dan
konflik-konflik. Hal ini merupakan realitas sosial yang terjadi di tengah masyarakat
modern, karena masing-masing mempunyai interest atau tujuan yang mungkin
saling bertentangan. Maka konflik dalam ilmu politik sering diterjemakhkan
24Slamet Santosa,
(36)
27
sebagai oposisi, interaksi yang antagonistis atau pertentangan, benturan antar
macam-macam paham, perselisihan kurang mufakat, pergesekan, perkelahian,
perlawanan dengan senjata dan perang.
1. Penyebab Konflik
Timbulnya konflik kepentingan menurut Dahrendorf25, berawal dari
orang-orang yang tinggal bersama dan meletakkan dasar-dasar bagi
bentuk-bentuk organisasi sosial, dimana terdapat posisi-posisi dalam hal mana para
penghuni mempunyai kekuasaan memerintah dalam konteks-konteks tertentu
dan menguasai posisi-posisi tertentu, serta terdapat posisi lain dimana para
penghuni menjadi sasaran perintah demikian itu. Perbedaan ini berhubungan
baik sekali dengan ketidak seimbangan distribusi kekuasaan yang melahirkan
konflik kepentingan itu.
Dahrendorf melihat hubungan yang erat antara konflik dengan perubahan
dalam hal ini sejalan dengan pendapat Lewis Coser bahwa seluruh aktifitas,
inovasi dan perkembangan dalam kehidupan kelompoknya dan masyarakatnya
disebabkan terjadinya konflik antara kelompok dan kelompok, individu dan
individu serta antara emosi dan emosi didalam diri individu. Dahrendorf juga
menjelaskan bahwa konflik sosial mempunyai sumber struktur, yakni
hubungan kekuasaan yang berlaku dalam struktur organisasi sosial. Dengan
kata lain, konflik antar kelompok dapat dilihat dari sudut konflik tentang
keabsahan kekuasaan yang ada.
25Pluit Dean J dan Rubbin Jeffry,
Teori Konflik Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 151.
(37)
28
Menurut Maurice Duverger, penyebab terjadinya konflik adalah: (1)
Sebab-sebab individual. Sebab-sebab individual seperti kecendrungan
berkompetisi atau selalu tidak puas terhadap pekerjaan orang lain dapat
menyebabkan orang yang mempunyai ciri-ciri seperti ini selalu terlibat dalam
konflik dengan orang lain dimanapun berada. (2) Sebab-sebab kolektif, adalah
penyebab konflik yang terbentuk oleh kelompok sebagai hasil dari interaksi
sosial antara anggota-anggota kelompok. Penyebab konflik ini dihasilkan oleh
adanya tantangan dan masalah yang berasal dari luar yang dianggap
mengancam kelompoknya.
2. Bentuk-bentuk Konflik
Dalam teori konflik terdapat beberapa bentuk konflik dan tertuju pada
permasalahan konflik, seperti yang dikemukakan oleh para ilmuan barat,
masalah konflik tidak mengenal demokratisasi maupun diktatorisasi dan
bersifat universal.
Menurut teori Fisher, pola konflik dibagi ke dalam tiga bentuk: (1) Konflik
laten yaitu konflik yang sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat kepermukaan
sehingga dapat ditangani secara efektif. (2) Konflik manifest atau terbuka
yaitu konflik yang berakar dalam dan sangat nyata, dan memerlukan bebagai
tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai macam efeknya. (3)
Sedangkan konflik permukaan memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar
dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sesuatu yang dapat
(38)
29
Menurut Maurice Duverger ada tiga bentuk konflik yang berkaitan dengan
kekuasaan atau politik antara lain: (1) Konflik yang sama sekali tidak
mempunyai dasar prinsipil, bentuk konflik ini berhubungan langsung dengan
masalah praktis bukan dengan masalah ideologi yang dilakukan baik oleh
individu maupun golongan atau kelompok. (2) Konflik yang lebih menitik
beratkan kepada perbedaan pandangan baik individual maupun kelompok
yang menyangkut dengan masalah partai politik atau yang berhubungan
dengan kepentingan partai politik, masyarakat yang dianggap mewakili rakyat.
(3) Konflik yang menitik beratkan kepada permasalahan perbedaan ideologi,
masing-masing memperjuangkan ideologi partainya yang semuanya merasa
benar.
Menurut Coser ada dua bentuk dasar konflik yaitu konflik realistis dan
konflik non-realistis. Konflik realistis adalah konflik yang mempunyai sumber
konkrit atau bersifat material, seperti perebutan wilayah atau kekuasaan, dan
konflik ini bisa teratasi kalau diperoleh dengan merebut tanpa perkelahian dan
pertikaian26.
Konflik non-realistis adalah konflik yang didorong oleh keinginan yang
tidak rasional dan cenderung bersifat ideologis, seperti konflik antar agama
dan organisasi-organisasi masyarakat, dan konflik non-realistis adalah satu
cara mempertegas atau menurunkan ketegangan suatu kelompok. Dalam
sejarah Indonesia baik pada masa kolonial maupun pada masa pasca
kemerdekaan konflik ini dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu: (1)
26Lewis Coser,
Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada: 2009), 54.
(39)
30
Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antar negara atau antara aparat
negara dengan warga negara baik secara individual maupun kelompok, seperti
pemberontakan bersenjata yang bertujuan memisahkan diri dari NKRI. (2)
Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjadi antar kelompok-kelompok
diberbagai lokasi biasanya dilandasi oleh suatu sentimen subyektif yang
sangat mendalam yang diyakini warganya seperti sentimen kesukuan atau
sentimen organisasi.
3. Dampak Konflik
Menurut Fisher suatu konflik tidak selalu berdampak negatif, tapi ada
kalanya konflik juga memiliki dampak positif. Dampak positif dari suatu
konflik adalah sebagai berikut: (1) Konflik dapat memperjelas berbagai aspek
kehidupan yang masih belum tuntas. (2) Adanya konflik menimbulkan
penyesuaian kembali norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat. (3) Konflik dapat meningkatkan solidaritas diantara angota
kelompok. (4) Konflik dapat mengurangi rasa ketergantungan terhadap
individu atau kelompok. Sedangkan dampak negatif dari suatu konflik adalah
sebagai berikut: (1) Keretakan hubungan antar individu dan persatuan
kelompok. (2) Kerusakan harta benda bahkan dalam tingkatan konflik yang
lebih tinggi dapat mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. (3) Berubahnya
kepribadian para individu atau anggota kelompok. (2) Munculnya dominasi
(40)
31
B. Konsep Elit Politik
Dalam pengertian yang umum elit menunjuk pada sekelompok orang
orang yang ada dalam masyarakat dan menempati kedudukan tinggi. Dalam
pengertian khusus dapat diartikan sebagai sekelompok orang yang terkemuka di
bidang-bidang tertentu dan khususnya golongan minoritas yang memegang
kekuasaan.
Dalam studi sosial golongan minoritas yang berada pada posisi atas yang
secara fungsional dapat berkuasa dan menentukan dikenal dengan elit. Elite
adalah suatu minoritas pribadi-pribadi yang diangkat untuk melayani suatu
kolektivitas dengan cara yang bernilai sosial.
Elit politik yang dimaksud adalah individu atau kelompok elit yang
memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan politik. Suzanne Keller
mengelompokkan ahli yang mengkaji elit politik ke dalam dua golongan. Pertama,
ahli yang beranggapan bahwa golongan elite itu adalah tunggal yang biasa disebut
elit politik (Aristoteles, Gaetano Mosca dan Pareto). Kedua, ahli yang
beranggapan bahwa ada sejumlah kaum elit yang berkoeksistensi, berbagi
kekuasaan, tanggung jawab, dan hak-hak atau imbalan. (ahlinya adalah Saint
Simon, Karl Mainnheim, dan Raymond Aron).
Menurut Aristoteles, elit adalah sejumlah kecil individu yang memikul
semua atau hampir semua tanggung jawab kemasyarakatan. Definisi elit yang
dikemukakan oleh Aristoteles merupakan penegasan lebih lanjut dari pernyataan
Plato tentang dalil inti teori demokrasi elitis klasik bahwa di setiap masyarakat,
(41)
32
dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles kemudian diperluas kajiannya oleh dua
sosiolog politik Italias, yakni Vilpredo Pareto dan Gaetano Mosca27.
Pareto menyatakan bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok
kecil orang yang mempunyai kualitas yang diperlukan dalam kehidupan sosial dan
politik. Kelompok kessil itu disebut dengan elit, yang mampu menjangkau pusat
kekuasaan. Elit adalah orang-orang berhasil yang mampu menduduki jabatan
tinggi dalam lapisan masyarakat. Pareto mempertegas bahwa pada umumnya elit
berasal dari kelas yang sama, yaitu orang-orang kaya dan pandai yang mempunyai
kelebihan dalam matematika, bidang musik, karakter moral dan sebagainya.
Pareto lebih lanjut membagi masyarakat dalam dua kelas, yaitu pertama elit yang
memerintah dan elit yang tidak memerintah. Kedua, lapisan rendah (non- elite)
kajian tentang elit politik lebih jauh dilakukan oleh Mosca yang mengembangkan
teori elit politik. Menurut Mosca, dalam semua masyarakat, mulai dari yang
paling giat mengembangkan diri serta mencapai fajar peradaban, hingga pada
masyarakt yang paling maju dan kuat selalu muncul dua kelas, yakni kelas yang
memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang memerintah, biasanya
jumlahnya lebih sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan
dan menikmati keuntungan-keuntungan yang didapatnya dari kekuasaan. Kelas
yang diperintah jumlahnya lebih besar, diatur dan dikontrol oleh kelas yang
memerintah28.
Pareto dan Mosca mendefinisikan elit sebagai kelas penguasa yang secara
efektif memonopoli pos-pos kunci dalam masyarakat. Definisi ini kemduain
27Ibid., 34. 28Ibid.
(42)
33
didukung oleh Robert Michel yang berkeyakinan bahwa ”hukum besi oligarki” tak terelakkan. Dalam organisasi apapun, selalu ada kelompok kecil yang kuat,
dominan dan mampu mendiktekan kepentingannya sendiri. Sebaliknya, Lasswell
berpendapat bahwa elit sebenarnya bersifat pluralistik. Sosoknya tersebar (tidak
berupa sosok tunggal), orangnya sendiri beganti-ganti pada setiap tahapan
fungsional dalam proses pembuatan keputusan, dan perannya pun bisa naik turun
tergantung situasinya. Bagi Lasswell, situasi itu yang lebih penting, dalam situasi
peran elit tidak terlalu menonjol dan status elit bisa melekat kepada siapa saja
yang kebetuan punya peran penting29.
Pandangan yang lebih luwes dikemukakan oleh Dwaine Marvick.
Menurutnya ada dua tradisi akademik tentang elit. Pertama, dalam tradisi yang
lebih tua, elit diperlukan sebagai sosok khusus yang menjalankan misi historis,
memenuhi kebutuhan mendesak, melahirkan bakat-bakat unggul, atau
menampilkan kualitas tersendiri. Elit dipandang sebagai kelompok pencipta
tatanan yang kemudian dianut oleh semua pihak. Kedua, dalam tradisi yang lebih
baru, elit dilihat sebagai kelompok, baik kelompok yang menghimpun yang
menghimpun para petinggi pemerintahan atau penguasa di berbagai sektor dan
tempat. Pengertian elit dipadankan dengan pemimpin, pembuat keputusan, atau
pihak berpengaruh yang selalu menjadi figur sentral.
Field dan Higley menyederhanakan dengan mengemukakan bahwa elit
adalah orang-orang yang memiliki posisi kunci, yang secara awam dipandang
sebagai sebuah kelompok. Merekalah yang membuat kebijakan umum, yang satu
(43)
34
sama lain melakukan koordinasi untuk menonjolkan perannya. Menurut Marvick,
meskipun elit sering dipandang sebagai satu kelompok yang terpadu, tetapi
sesungguhnya di antara anggota-anggota elit itu sendiri, apa lagi dengan elit yang
lain sering bersaing dan berbeda kepentingan. Persaingan dan perbedaan
kepentingan antar elit itu kerap kali terjadi dalam perebutan kekuasaan atau
sirkulasi elit.
Pandangan ilmuwan sosial di atas menunjukkan bahwa elit memiliki
pengaruh dalam proses pengambilan keputusan. Pengaruh yang
memiliki/bersumber dari penghargaan masyarakat terhadap kelebihan elit yang
dikatakan sebagai sumber kekuasaan. Menurut Miriam Budiardjo, sumber-sumber
kekuasaan itu bisa berupa keududukan, status kekayaan, kepercayaan, agama,
kekerabatan, kepandaian dan keterampilan. Pendapat senda juga diungkapkan
oleh Charles F. Andrain30 yang menyebutnya sebagai sumber daya kekuasaan,
yakni: sumber daya fisik, ekonomi, normatif, personal dan keahlian.
C. Faksionalisme Partai
Dewasa ini masalah kelompok-kelompok dan faksi-faksi di dalam partai
telah menjadi poin penting. Karena pentingnya masalah ini secara intrinsik dan
bagaimana masalah ini telah mengambil bentuk yang sangat tajam, maka masalah
ini harus didiskusikan dengan kejelasan yang sempurna. Namun, cukup sering
masalah ini dikedepankan dengan cara yang keliru.
(44)
35
1. Definisi Faksionalisme
Diterapkan istilah 'faksi' kelompok dengan karakteristik yang sangat
berbeda. Dalam kebanyakan kasus, konteks dan ruang lingkup penelitian sebagian
besar mempengaruhi definisi dari faksionalisme. Faksi sebagai kombinasi atau
pengelompokan pemilih dan pemimpin politik yang bersatu di waktu tertentu
dalam mendukung calon. Selanjutnya, definisi dari faksi cenderung dikaitkan
dengan identifikasi kekuatan organisasi. Sebuah analisis rinci dari faksionalisme
partai dipelopori oleh Raphael Zariski dan itu adalah analisis konseptual pertama
yang menawarkan hipotesis untuk menjelaskan politik faksi menggunakan
kerangka komparatif. Zariski mengembangkan berbagai pendekatan untuk
menganalisis kelompok intra-partai yang dilabel sebagai faksi dari fungsi struktur
dan dampak kelompok politik tersebut. Zariski mendefinisikan faksi sebagai:
setiap intra-partai kombinasi, atau pengelompokan yang anggotanya berbagi rasa
identitas umum dan tujuan umum dan diatur untuk bertindak secara kolektif
sebagai blok yang berbeda dalam partai untuk mencapai tujuan mereka31.
Pemahaman Zariski tentang faksi jelas menyiratkan tingkat daya tahan tertentu
dari organisasi. Dia menunjukkan kebutuhan untuk faksi memiliki identitas umum
dan menjadi terorganisir secara kolektif. Kecenderungan ini mengilhami definisi
ini lebih berlaku untuk negara-negara dengan sistem politik yang lebih mapan dan
pihak yang dilembagakan.
31Bima Arya Sugiarto, “Beyond Formal Politics: Party Factionalism and Leadership In
Post-Authoritarian Indonesia” (Thesis tidak diterbitkan, Department Of Political And Social Change Research School Of Pacific And Asian Studies The Australian National University, 2006) 52.
(45)
36
Penafsiran sempit tentang faksi diperkenalkan oleh Nathan yang cenderung
mengasosiasikan faksi dengan ikatan patron-klien terlepas dari tingkat organisasi.
Menggambar dari analisis pengelompokan dalam Partai Komunis China, faksi
menurut Nathan dapat dianggap sebagai "jaringan pribadi pemimpin individu
yang beroperasi pada dasar hubungan klientelis untuk tujuan politik mereka".
Meskipun masalah organisasi, sarjana lain telah mencoba untuk fokus pada dasar
kelompok yang terbagi.
Perdebatan lain yang berkaitan dengan aspek-aspek motivasi dari faksi
partai adalah apakah faksi dasarnya kelompok ideologis. Pembahasan mengenai
faktor ideologis di faksi formasi dasarnya berasal dari gagasan bahwa faksi
mungkin memiliki berbagai tujuan, kepentingan daerah atau kelompok, pengaruh
pada strategi partai dan dari pemerintah, dan promosi seperangkat nilai diskrit.
Dalam banyak kasus, ideologi faksionalisme menjadi aspek penting dalam
pembentukan identitas partai. Ideologi konflik mencerminkan perbedaan pendapat
tentang nilai yang ditegakkan. Magone menyatakan bahwa kontroversi ideologi
sering didasarkan pada desain politik untuk organisasi internal partai dan sistem
politik di masa depan. Beller dan Belloni hati-hati menentukan faksi sebagai:
setiap kelompok yang relatif terorganisir dan yang bersaing dengan rival
kekuasaan keuntungan dalam kelompok yang lebih besar dari yang merupakan
(46)
37
2. Konsep Pokok Faksionalisme
Ada tiga jenis faksi yang kaitannya dengan struktur32: (1)geng faksi atau
kecenderungan; (2)faksi klien-kelompok pribadi; dan (3)melembagakan atau faksi
organisasi. Jenis pertama ditandai dengan ideologi umum, kebijakan, materi atau
minat pribadi dalam mengejar tujuan mereka. Dan ini merupakan jenis faksi yang
tidak resmi terorganisir. Ini sangat informal dan tidak harus dianggap sebagai
bagian resmi dari organisasi. Tipe ini sering digambarkan menggunakan istilah
seperti sayap partai, arus, kecenderungan atau faksi informal.
Tipe kedua, faksi pribadi atau klien-kelompok memiliki bentuk yang lebih
konkret dari jenis yang pertama. Pengelompokan ini secara pribadi merekrut
anggota dan mempertahankan ikatan antara pemimpin dan pengikut. Tipe ini
dapat dibagi lagi menjadi dua bentuk. Yang pertama adalah faksi yang sangat
pribadi direkrut secara pribadi dan berskala kecil, dan sering dalam konteks
tradisional. Yang kedua adalah faksi pribadi direkrut pada yang lebih umum
dengan skala yang lebih besar yang sering bekerja sebagai mesin partai atau
jaringan dalam partai bekerja untuk memperkuat dukungan elektoral partai.
Dibandingkan dengan faksi tradisional-pribadi, jenis-jenis faksi kedua ini yang
dianggap sebagai yang lebih dimodernisasi karena mereka merupakan sejumlah
besar anggota.
32Patrick Köllner and Basedau, “Factionalism in Political Parties:
An Analytical Framework for Comparative Studies”, terj, Research Program Legitimacy and Efficiency of Political Systems German Overseas Institute (DÜI), 2005, 21.
(47)
38
Secara konseptual, Françoise Boucek dalam “Rethinking Factionalism” membedakan „tiga wajah’ faksionalisme, yaitu kooperatif, kompetitif, dan degeneratif. Tipologi ini merujuk pada perilaku aktor-aktor di dalam partai, yang
tidak sekadar meliputi proses dinamis pembelahan sub-sub kelompok di dalam
partai, namun juga proses perubahan yang multi-faceted yang terjadi sebagai
respon terhadap berbagai insentif. Faksionalisme kooperatif muncul kalau ada
kapasitas agregatif partai untuk memfasilitasi kerjasama antar berbagai kelompok
di dalam partai. Berbagai faksi atas dasar pengelompokan militansi ideologis,
primordial, ketokohan, dan lain sebagainya dapat mendinamisasi partai jika ada
kepemimpinan yang berorientasi pada consensus-building. Sebaliknya, wajah
faksionalisme kompetitif akan tampak ketika perbedaan pendapat, konflik
kepentingan, maupun perebutan jabatan-jabatan strategis di partai menghadirkan
gaya politik sentrifugal dan fragmentasi yang semakin mengeraskan perkubuan di
dalam partai. Jika tidak dikelola dengan baik, energi kompetisi faksional ini dapat
mendestabilisasi partai dan membuat kebuntuan pembuatan keputusan (decisional
stalemate) di partai. Yang paling serius adalah faksionalisme yang degeneratif. Ini terjadi ketika muncul banyak faksi yang berorientasi pada kepentingan
kelompoknya semata dan beroperasi sebagai kanal untuk penyaluran patronase.
Privatisasi faksi dan insentif ini tentu mendorong konflik internal yang parah dan
dapat menjerumuskan partai pada perpecahan.
Jenis ketiga, faksi dilembagakan atau organisasi, adalah jenis yang paling
formal. Jenis ini memiliki mekanisme dalam merekrut anggota, dan memiliki
(48)
39
pemimpin-pengikut. Indikator yang sering berlaku untuk jenis golongan ini
mencakup memiliki pejabat, yang tunduk pada aturan formal dan mengikuti
prosedur biasa, memiliki nama atau simbol non-pribadi untuk kelompok.
3. Penyebab Faksionalisme
Faksionalisasi kepartaian sejatinya merupakan hal umum. Biasanya
faksionalisasi menjadi masalah serius ketika demokrasi internal dan
institutionalisasi partai tidak berjalan sehingga terjadi personifikasi kekuasaan.
Dalam konteks internal parpol, penyebab faksionalisme diantaranya kuat
dipengaruhi oleh tiga hal. Pertama yaitu ideologi, kedua kepemimpinan partai,
dan ketiga karakter patronase. Pertama dalam konteks ideologi, parpol dengan
basis ideologi yang kokoh biasanya memiliki daya tahan yang kuat terhadap
perpecahan internal. Sebaliknya, semakin pragmatis karakter partai, semakin
rentan pula lah partai tersebut terhadap perpecahan. Kedua, parpol dengan tradisi
kepemimpinan yang baik juga lebih siap dalam mengelola benturan politik
internal dibandingkan parpol dengan corak kepemimpinan karismatik atau
kepemimpinan instan, karena sebagian besar penyebab faksionalisme terkait
dengan persaingan dalam merebut kendali politik partai.
Ketiga, faktor internal lain yang sangat memperngaruhi pengelolaan
faksionalisme adalah karakter patronase di dalam partai. Model patronase politik
tradisional dimana hubungan antara patron politik dengan kader-kadernya yang
sangat bersifat informal dan personal berpotensi besar mengancam struktur legal
formal partai. Karena loyalitas personal justru menjadi lebih menentukan daripada
(49)
40
lebih kuat daripada loyalitas terhadap platform perjuangan partai. Namun
sebaliknya dengan model patronase politik yang lebih modern, hubungan patron
politik dan kadernya lebih bersifat organisasional-formal. Patronase model ini
lebih sesuai dengan prinsip partai modern dan dapat memiliki fungsi strategis
sebagai mesin pembangunan institusi partai.
4. Dampak Faksionalisme
Faksionalisme yang berkepanjangan jelas menyebabkan semakin
melemahnya konsolidasi organisasi33. Para elit parpol saling melemahkan dan
tidak saling mendukung. Implikasi kegagalan mengelola faksionalisme ini,
misalnya, faksi yang terpinggirkan cenderung membentuk parpol baru atau para
politikus berpindah ke parpol lain sambil mencaci maki parpol yang pernah
dihinggapi. Parpol gagal menjalankan fungsinya sebagai intermediasi politik akan
berimbas terhadap institusi demokrasi (eksekutif-legislatif-yudikatif) dan perilaku
elit politik (pejabat publik) yang perekrutannya melibatkan parpol. Karena itu,
problem di lembaga legislatif, eksekutif, bahkan yudikatif sejatinya sangat
mungkin merupakan imbas dari parpol yang gagal. Jika paprol gagal, maka tentu
saja upaya maksimalisasi pelayanan publik menjadi ilusi alias tak pernah
terwujud.
33Bima Arya Sugiarto, “Beyond Formal Politics: Party Factionalism and Leadership In
Post-Authoritarian Indonesia” (Thesis tidak diterbitkan, Department Of Political And Social Change Research School Of Pacific And Asian Studies The Australian National University, 2006) 126.
(50)
BAB III
DESKRIPSI PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN
A. Partai Persatuan Pembangunan
Partai Persatuan Pembangunan atau biasa dikenal dengan PPP merupakan
salah satu partai politik di Indonesia dan memproklamirkan diri sebagai “Rumah
Besar Umat Islam.”
1. Latar belakang berdirinya PPP
Partai Persatuan Pembagunan (PPP) didirikan tanggal 5 Januari 1973,
sebagai hasil fusi politik empat partai Islam, yaitu Partai Nadhlatul Ulama, Partai
Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (SI), dan Partai
Islam Perti. Fusi ini menjadi simbol kekuatan PPP, yaitu partai yang mampu
mempersatukan berbagai faksi dan kelompok dalam Islam. Untuk itulah wajar
jika PPP kini memproklamirkan diri sebagai “Rumah Besar Umat Islam”. PPP
yang berasaskan Islam berketetapan hati dan bertekad dengan segenap
kemampuannya untuk berusaha mewujudkan cita-cita proklamasi 17 Agustus
1945, yakni terwujudnya masyarakat adil dan makmur, rohaniah dan jasmaniah
yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam wadah Negara Kesatuan
(51)
42
PPP didirikan oleh lima deklarator yang merupakan pimpinan empat
Partai Islam peserta Pemilu 1971 dan seorang ketua kelompok persatuan
pembangunan, semacam fraksi empat partai Islam di DPR. Para deklarator itu
adalah:
* KH Idham Chalid, Ketua Umum PB Nadhlatul Ulama;
* H.Mohammad Syafaat Mintaredja, SH, Ketua Umum Partai
Muslimin Indonesia (Parmusi);
* Haji Anwar Tjokroaminoto, Ketua Umum PSII;
* Haji Rusli Halil, Ketua Umum Partai Islam Perti; dan
* Haji Mayskur, Ketua Kelompok Persatuan Pembangunan di Fraksi
DPR.
PPP berasaskan Islam dan berlambangkan Ka'bah. Akan tetapi dalam
perjalanannya, akibat tekanan politik kekuasaan Orde Baru, PPP pernah
menanggalkan asas Islam dan menggunakan asas Negara Pancasila sesuai dengan
sistem politik dan peratururan perundangan yang berlaku sejak tahun 1984. Pada
Muktamar I PPP tahun 1984 PPP secara resmi menggunakan asas Pancasila dan
lambang partai berupa bintang dalam segi lima. Setelah tumbangnya Orde Baru
yang ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto tanggal 21 Mei 1998 dan dia
digantikan oleh Wakil Presiden B.J.Habibie, PPP kembali menggunakan asas
Islam dan lambang Ka'bah. Secara resmi hal itu dilakukan melalui Muktamar IV
(52)
43
berkomitemen untuk mendukung keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila. Hal ini
ditegaskan dalam Pasal 5 AD ART PPP yang ditetapkan dalam Muktamar VII
Bandung 2011 bahwa: “Tujuan PPP adalah terwujudnya masyarakat madani yang
adil, makmur, sejahtera lahir batin, dan demokratis dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila di bawah rida Allah Subhanahu
Wata’ala.
PPP merupakan partai politik penerus estafeta empat partai Islam dan
wadah penyelamat aspirasi umat Islam, serta cermin kesadaran dan
tanggungjawab tokoh-tokoh umat Islam dan Pimpinan Partai untuk bersatu,
bahu-membahu membina masyarakat agar lebih meningkatkan keimanan dan
ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa T'a'ala melalui perjuangan politik. PPP
yang berasaskan Islam berketetapan hati dan bertekad dengan segenap
kemampuannya untuk berusaha mewujudkan cita-cita proklamasi 17 Agustus
1945, yakni terwujudnya masyarakat adil dan makmur, rohaniah dan jasmaniah
yang diridlai Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
2. Platform Partai
PPP berpendapat bahwa Islam sebagai syari‟at terakhir yang diturunkan Allah Subhanahu wa T'a'ala kepada umat manusia di muka bumi adalah suatu
kebenaran mutlak yang mengandung tuntunan kebajikan yang bersifat universal
serta meliputi seluruh aspek kehidupan dan berlaku sepanjang masa. Islam
(53)
44
diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada umat manusia untuk
memuliakan martabat kemanusiaan pada derajat yang paling sempurna di antara
ciptaan-Nya. Islam sebagai ad-dien merupakan sekumpulan perintah dan larangan
(syariat) yang mengandung tuntunan kebajikan bertujuan menebarkan kedamaian dan kasih sayang untuk sekalian alam semesta (rahmatan lil „alamiin).
PPP memandang bahwa paham keagamaan yang dianut mayoritas umat
Islam Indonesia dan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia adalah paham
keagamaan ahlussunnah wal jama‟ah dalam arti luas. Yaitu suatu paham
keagamaan yang bersandar kepada Nabi Muhammad SAW dan para sahabat
sertasalaf as-sholeh. Paham keagamaan Islam ahlus sunnah wal jama‟ah adalah
paham keagamaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai moderasi (tawasuth),
toleransi (tasamuh),menjaga keseimbangan (tawazun), dan menebarkan nilai-nilai
kasih sayang untuk semesta alam (rahmatan lil „alamiin). Paham
keagamaan ahlussunnah wal jama‟ah menolak segala bentuk sikap dan pandangan
yang ekstrim(tatharruf), anarkisme, radikalime dan budaya kekerasan lainnya34.
Islam sebagai ideologi dimaksudkan bahwa seluruh pemikiran, sikap dan
kebijakan Partai dan kader-kadernya harus bersumber dari ajaran Islam. Ideologi
adalah sekumpulan nilai yang dihubungkan secara sistemik yang menjadi dasar
sebuah tindakan. Ideologi adalah penuntun, pedoman dan arah untuk mencapai
tujuan politik. Untuk itu perlu terus dilakukan penanaman dan internalisasi
nilai-nilai ideologi kepada semua kader dan komponen partai yang hakikatnya
34Dokumen AD ART Muktamar VIII Partai Persatuan Pembangunan, 21-26
(54)
45
merupakan aparat ideologi partai (ideological party aparatus) untuk mencapai
tujuan dan cita-cita kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai
dengan visi dan misi PPP.
Islam sebagai ideologi dimaksudkan bahwa internalisasi nilai-nilai
ideologi harus menjadi warna, corak, dan shibghah (identitas) Partai, yang
melambangkan keluhuran dari ajaran Islam. PPP harus menyadari bahwa sebagai
Partai yang membawa ideologi Islam memiliki beban dan tanggung jawab yang
sangat besar untuk menjaga kehormatan dan marwah agama Islam.
a. Program Kerja Partai PPP
Berdasarkan sejarah perjuangan dan jati diri di atas, maka visi PPP adalah
“Terwujudnya masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT dan negara
Indonesia yang adil, makmur, sejahtera, bermoral, demokratis, tegaknya
supremasi hukum, penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), serta
menjunjung tinggi harkat-martabat kemanusiaan dan keadilan sosial yang
berlandaskan kepada nilai-nilai keislaman”.
Di bidang agama, platform PPP menegaskan tentang; Perlunya penataan
kehidupan masyarakat yang Islami dan berakhlaqul karimah dengan prinsip amar
makruf nahi munkar; Pentingnya peran agama (Islam) sebagai panduan moral dan
sumber inspirasi dalam kehidupan kenegaraan; Paradigma hubungan antara Islam
dan negara yang bersifat simbiotik, sinergis serta saling membutuhkan dan
memelihara, yang berpegang pada prinsip harmoni antara universalitas Islam dan
(55)
46
beragama. Sementara itu di bidang politik, PPP berkomitmen untuk meningkatkan
kualitas kehidupan demokrasi di Indonesia, terutama pada aspek penguatan
kelembagaan, mekanisme dan budaya politik yang demokratis dan berakhlaqul
karimah. PPP menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), menghargai
kebebasan berekspresi, berpendapat dan berorganisasi, terwujudnya good and
clean goverment, dan upaya mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Platform ekonomi PPP mempertegas keberpihakannya pada konsep dan
sistem ekonomi kerakyatan, terwujudnya keadilan ekonomi, penyediaan lapangan
kerja, pengentasan kemiskinan, penguasaan negara terhadap cabang-cabang
ekonomi yang menguasai hidup orang banyak, maksimalisasi peran BUMN dan
BUMD, dan mendorong peningkatan keswadayaan nasional (unit usaha
keluarga/individual, usaha swasta, badan usaha negara dan koperasi) demi
terwujudnya kemandirian ekonomi masyarakat dan bangsa Indonesia.
PPP berkomitmen pada upaya tegaknya supremasi hukum, penegakan
HAM, terwujudnya tradisi kepatuhan hukum dan tradisi berkonstitusi,
pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme, pembaruan hukum nasional,
terciptanya tertib sipil dan rasa aman masyarakat, penguatan institusi dan
instrumen penegak hukum, serta penguatan moralitas penegak hukum.
PPP berjuang demi terwujudnya kehidupan sosial yang religius dan
bermoral, toleran dan menjunjung tinggi persatuan, taat hukum dan tertib sipil,
(1)
84
yang menyebutkan bahwa selama konflik ini maka suara PPP akan menurun.
Masyarakat yang cerdas tidak akan memilih partai yang berkonflik. Selain itu,
sesuai dengan peraturan KPU bahwasanya Partai yang berkonflik tetap bisa
mengirimkan calonnya dengan catatan dilengkapi dengan 2 (dua) rekomendasi
dari masing-masing kubu. Jadi sekalipun dokumennya berbeda tetapi calonnya
sama maka itu yang akan lolos. Hanya beberapa daerah yang calonnya sama, yang
tidak sama yaa tidak bisa berangkat. Oleh karenanya tidak semua PPP bisa ikut
Pilkada. PPP akan tetap menjadi partai yang dikagumi masyarakat jika strateginya
(2)
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Peta politik yang ada di DPW Jawa Timur terdiri dari faksi-faksi yang ada di
dalamnya, model konflik yang terjadi dan dialektika antar faksi. Pertama, faksi
yang dimaksud adalah Musyaffa Noer yang merupakan representasi kubu
Romahurmuziy dan Masykur Hasyim serta Mujahid Anshori yang
merepresentasikan kubu Djan Faridz. Kedua, konflik elit di DPP PPP yang
terjadi saat dimulai pada Pilpres 2014 lalu yang menunjukkan rivalitas politik
antara Suryadharma Ali dan Romahurmuziy dimana akhirnya konflik tersebut
juga sampai pada PPP level Jawa Timur. Struktur kepengurusan di DPW PPP
Jawa Timur didominasi oleh kubu Romahurmuziy dalam hal ini yakni
kepengurusan Musyaffa Noer. Kubu Djan Faridz yang diwakili oleh
kepengurusan Masykur Hasyim memang tidak memiliki akses di DPW namun
tidak menjadi masalah baginya yang terpenting adalah konsolidasi hingga ke
cabang.
2. Masa depan PPP pasca konflik elit yang terjadi ini menurut Musyaffa’ Noer
tidak mempengaruhi eksistensi partainya, karena masyarakat sudah paham jika
konflik yang ada sebenarnya hanya di level atas, dan di level DPW Jawa Timur
sendiri semuanya cenderung berjalan lancar, namun tetap saja PPP butuh
(3)
86
pelembagaan partai politik. Oleh karenanya PPP harus bisa merespon isu-isu di
masyarakat serta mampu menerjemahkannya dalam program yang langsung
bersentuhan dengan masyarakat. Dengan mengelola konflik secara baik maka
masa depan PPP tidak akan terganggu.
B. Saran
1. Dengan adanya konflik di PPP ini dan akhirnya menghasilkan kubu-kubu di
dalamnya hendaklah lebih memahami bagaimana mengelola pelembagaan
partai politiknya. Selain itu juga dapat dijadikan sebagai referensi strategi
partai politik yang berbasis massa Islam supaya lebih menonjolkan azas
keIslamannya dan menarik masyarakat secara lebih luas.
2. Masa depan partai Islam memang tidak hanya bergantung pada internal partai
saja melainkan juga butuh dukungan dari kaum Islam pula. Pelembagaan
partai politik yang optimal akan bisa mengelola konflik yang ada. Karena
pemilih Islam sekarang makin rasional. Tidak hanya tertarik pada isu-isu
keagamaan saja tetapi sudah mulai paham tentang pencitraan yang baik secara
ekonomi juga. Oleh sebab itu eksistensi parpol Islam bisa ditingkatkan dengan
inovasi yang lebih kekinian sehingga konstituen tidak jenuh dengan konflik
(4)
87
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Budiardjo, Miriam. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik, dan Ilmu Sosial lainnya Jakarta: Fajar Interpratama.
Coser, Lewis. 2009 Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada.
Dean J, Pluit dan Jeffry, Rubbin. 2004. Teori Konflik Sosial Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Franz, Magnis Suseno. 2001. Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Moleong, Lexy J. 2009. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Muhadjir, Noeng. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake
(5)
88
Natsir, M. 1998. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKiS.
Rahmat, Jalaluddin. 2000. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kombinas “Mixed Method”. Bandung:
Alfabeta.
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Zen, Fathurin. 2004. NU Politik: Analisis Wacana Media. Yogyakarta: LKiS.
Perundang-Undangan:
AD ART Partai Persatuan Pembangunan
Digital:
An Analytical Framework for Comparative Studies”, terj, Research Program Legitimacy and Efficiency of Political Systems German Overseas Institute (DÜI), 2005
Bima Arya Sugiarto, “Beyond Formal Politics: Party Factionalism and
(6)
89
Department Of Political And Social Change Research School Of Pacific And Asian Studies The Australian National University, 2006)
Patrick Köllner and Basedau, “Factionalism in Political Parties:
Internet:
http://radarpena.com/read/2014/09/14/11723/5/2/Muktamar-Bisa-Selesaikan-Dualisme-Kepemimpinan-PPP, (Minggu 08 Maret 2015 10:26 Wib)
http://www.tempo.co/read/news/2014/10/16/078614776/Romy-Resmi-Jadi- Ketua-Umum-PPP-Muktamar-Surabaya, (Minggu 08 Maret 2015 15:26 Wib)
Wikipedia, http://id.wikipedia. (Kamis, 4 Juni 2015, 12.15 Wib)