FAKTOR RISIKO KEJADIAN STUNTED PADA ANAK USIA 7-24 BULAN DI DESA HARGOREJO, KECAMATAN KOKAP, Faktor Risiko Kejadian Stunted Pada Anak Usia 7-24 Bulan Di Desa Hargarejo, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta.

FAKTOR RISIKO KEJADIAN STUNTED PADA ANAK USIA
7-24 BULAN DI DESA HARGOREJO, KECAMATAN KOKAP,
KABUPATEN KULONPROGO, YOGYAKARTA

NASKAH PUBLIKASI

Disusun oleh :

RESTIKA INDAH LESTARI
J 310 141 046

PROGRAM STUDI ILMU GIZI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016

HALAMAN PER

PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil pekerjaan

saya sendiri dan di dalamnya tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan lembaga
pendidikan lainnya. Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penerbitan maupun
yang belum/tidak diterbitkan sumbernya dijelaskan di dalam tulisan dan daftar
pustaka.

Surakarta, 22 Maret 2016

Restika Indah Lestari

FAKTOR RISIKO KEJADIAN STUNTED PADA ANAK USIA 7-24 BULAN DI
DESA HARGOREJO, KECAMATAN KOKAP, KABUPATEN KULONPROGO,
YOGYAKARTA
Restika Indah Lestari J310141046
Pembimbing : 1. Dwi Sarbini, SST., M.Kes
2. Luluk Ria Rakhma, S.Gz., M.Gizi
Program Studi Ilmu Gizi Jenjang S1 Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl. A. Yani Tromol Pos I Pabelan Surakarta 57162
Email : restika71@gmail.com

ABSTRAK
Pemerintah mengupayakan adanya perbaikan gizi penduduk Indonesia melalui
Program Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu program gizi yang
dimulai sejak janin berada di kandungan sampai anak berusia 2 tahun. Salah
satu target dari program ini adalah menurunkan prevalesi stunted menjadi 32%
untuk anak usia di bawah lima tahun pada tahun 2015. Stunted dan severe
stunted adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut
Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U). Stunted terjadi karena
kekurangan gizi dalam jangka panjang yang mengakibatkan perkembangan
kemampuan kognitif tidak maksimal, mudah sakit serta berdaya saing rendah.
Mengetahui hubungan riwayat BBLR, riwayat ISPA, riwayat diare, asupan
protein, asupan seng dan kejadian stunted pada anak usia 7-24 bulan di Desa
Hargorejo, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Rancangan
penelitian cross sectional. Jumlah subyek penelitian sebanyak 46 balita usia 7-24
bulan. Data riwayat berat badan, riwayat ISPA, riwayat diare diperoleh dari
wawancara, data asupan protein dan seng diperoleh dengan metode Food
Frequency Questionnaire-Semi Qualitative (FFQ-SQ) dan data tinggi badan
balita diperoleh dari pengukuran menggunakan lenghtboard atau micotoise. Data
dianalisis dengan korelasi Rank Spearman dan Pearson Product Moment.
Prevalensi kejadian stunted sebesar 45,7%, prevalensi riwayat BBLR sebesar

19,6%, prevalensi riwayat ISPA sebesar 76,1%, prevalensi riwayat diare sebesar
39,1%, anak yang memiliki tingkat kecukupan asupan protein kategori cukup
sebesar 60,9%, anak yang memiliki tingkat kecukupan asupan protein kategori
cukup sebesar 37%. Ada hubungan riwayat berat lahir (p: 0,038), riwayat ISPA
(p: 0,005), asupan protein (p: 0,003), asupan seng (p: 0,005) dengan kejadian
stunted pada anak usia 7-24 bulan. Tidak terdapat hubungan riwayat diare (p:
0,851) dengan kejadian stunted pada anak usia 7-24 bulan.
Kata kunci: stunted, BBLR, ISPA, Diare, Protein, Seng

ABSTRACT
Government strives for their nutritional improvement of Indonesians through First
Day of Life 1000 program (FDL), a nutrition program that is started since the fetus
is in the womb until the child is 2 years old. One of the targets of this program is
to decrease the prevalence of stunted to 32 % in under five children in 2015.
Stunted and severe stunted are nutritional status based on indexs of the Length
for Age (PB/U) or Height for Age (TB/U). Stunted occurs because of malnutrition
in the long term that to impairment development of cognitive abilities, easily to get
sicks and low competitiveness. To assess the correlations between histories of
low birth weight, upper respiratory infections and diarrhea, intakes of protein and
zinc and stunted in children aged 7-24 months in Hargorejo, Kokap, Kulon Progo,

Yogyakarta. This was a cross sectional study. Number of subjects was 46
children aged 7-24 months. Histories of low birth weight, upper respiratory
infections, and diarrhea, data were obtained from interviews, the intakes of
protein and zinc data were obtained through the method of the Semi QualitativeFood Frequency Questionnaire (SQ-FFQ) and length/height were obtained from
measurements used length board or microtoise. Data were analyzed using
Spearman Rank correlation and Pearson Product Moment test. Prevalence of
stunted was 45,7%, prevalence of history of low birth weight was 19,6%,
prevalence of history of respiratory infections was 76,1%, prevalence history of
diarrhea was 39,1%. The numbers of subjects who had sufficient intakes of
protein and zinc were 60,9% and 37%, respectively. There were correlations
between history of low birth weight (p: 0,038), history of upper respiratory
infections (p: 0,005), intake of protein (p: 0,003), intake of zinc (p: 0,005) and
stunted in children aged 7-24 months. There was not correlation between
diarrhea history (p: 0,851) and stunted in children aged 7-24 months.
Keyword: stunted, low birth weight, upper respiratory infections, diarrhea,
protein, zinc
PENDAHULUAN
Pemerintah
mengupayakan
adanya perbaikan gizi penduduk

Indonesia melalui Program Gerakan
1000 Hari Pertama Kehidupan
(HPK), yaitu program gizi yang
dimulai sejak janin berada di
kandungan sampai anak berusia 2
tahun. Salah satu target dari
program ini adalah menurunkan
prevalesi stunted menjadi 32% untuk
anak usia di bawah lima tahun pada
tahun
2015
(Kementerian
Perencanaan
Pembangunan
Nasional, 2013). Sedangkan hasil
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
pada tahun 2010 dan tahun 2013,
prevalensi
stunted
mengalami

kenaikan sebesar 1,6% yaitu dari

35,6% menjadi 37,2% (Balitbangkes
2010; Balitbangkes 2013).
Stunted merupakan keadaan
gizi kurang yang sudah berjalan
lama.
Anak
yang
stunted
memerlukan waktu yang cukup lama
untuk dapat berkembang dan pulih
kembali (Gibney et al, 2009;
Kemenkes, 2011). Anak yang gagal
tumbuh dapat mengalami defisit
perkembangan, gangguan kognitif,
prestasi yang rendah saat usia
sekolah dan saat dewasa menjadi
tidak
produktif

yang
akan
mempengaruhi
pertumbuhan
ekonomi dan kesejahteraan suatu
bangsa (Allen & Gillespie, 2001;
Kementerian
Perencanaan
Pembangunan Nasional, 2013).

2

United
Nations
Children’s
Fund/UNICEF
(1998)
mempublikasikan secara umum
status gizi dipengaruhi oleh tiga
faktor utama yaitu faktor langsung,

meliputi asupan dan infeksi; faktor
tidak
langsung
meliputi,
ketersediaan pangan rumah tangga,
pola asuh, serta jangkauan dan
kualitas
pelayanan
kesehatan..
Faktor lain seperti Berat Badan Lahir
Rendah
(BBLR)
diasumsikan
sebagai salah satu faktor yang
mempengaruhi terjadinya stunted.
Anak yang BBLR mengalami
gangguan pencernaan karena belum
berfungsi baik, seperti kurang dapat
menyerap lemak dan mencerna
protein yang berdampak pada

kurangnya cadangan zat gizi dalam
tubuh. Akibatnya pertumbuhan bayi
BBLR akan terganggu dan dapat
menyebabkan
anak
stunted
(Nasution, 2014).
Anak yang dilahirkan dengan
BBLR jika nutrisinya tidak terpenuhi
dalam
jangka
panjang
akan
mengalami kegagalan pertumbuhan,
anak menjadi stunted (Mionoki, dkk,
2015). Hasil penelitian melaporkan
anak yang terlahir dengan berat
badan
kurang dari 2500 gram
berisiko 1,97 kali menjadi stunted

pada anak usia 0-36 bulan di Cina
(Jiang, et al, 2014)
Seorang
anak
yang
mengalami defisien gizi mudah
terkena infeksi.
Penyakit infeksi
yang menjadi pembunuh utama bayi
dan balita adalah diare dan infeksi
saluran
napas,
utamanya
pneumonia (Notoatmodjo, 2007).
Kekurangan gizi pada anak
dihubungkan
dengan
defisiensi
makronutrien maupun mikronutrien.
Anak yang mengalami defisiensi

asupan protein pada masa seribu
hari
pertama
kehidupan
dan
berlangsung lama meskipun asupan
energinya tercukupi akan mengalami

pertumbuhan tinggi badan yang
terhambat (Almatsier, 2011). Seng
berfungsi dalam sintesis protein
serta sebagai komponen dari
beberapa enzim sehingga defisiensi
seng merupakan faktor penyebab
stunted (Proverawati dan Wati,
2011).
Berdasarkan laporan tahun
2014
Puskesmas
Hargorejo
Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon
Progo,
Yogyakarta
didapatkan
prevalensi stunted anak usia 7-24
bulan sebesar 41,12%. Oleh karena
itu peneliti tertarik mengetahui
hubungan riwayat BBLR, riwayat
penyakit ISPA, riwayat diare, asupan
protein, asupan seng dan kejadian
stunted pada anak usia 7-24 bulan di
Desa Hargorejo, Kecamatan Kokap,
Kabupaten
Kulon
Progo,
Yogyakarta.
METODE PENELITIAN
Jenis
penelitian
yang
dilakukan
adalah
penelitian
observasional dengan rancangan
cross sectional. Populasi dalam
penelitian ini adalah balita usia 7-24
bulan.
Teknik pengambilan sampel
menggunakan systematic random
sampling dengan kriteria inklusi
balita diasuh oleh ibu balita, tidak
memiliki cacat fisik/kelainan tulang,
tidak memiliki penyakit bawaan lahir.
Jumlah sampel pada penelitian ini
adalah 46 balita.
Data tinggi badan balita
diperoleh
dengan
pengukuran
langsung menggunakan microtoise
atau lenghtboard. Data riwayat berat
badan lahir, riwayat ISPA selama
dua bulan, riwayat diare selama dua
bulan diperoleh dengan wawancara
ibu balita sedangkan asupan protein
dan seng diperoleh menggunakan
metode
food
frequency
questionnaire-semi qualitative (FFQSQ).

3

Pengolahan dan analisis data
menggunakan uji pearson product
moment dan rank spearman untuk
mengetahui hubungan riwayat berat
badan lahir, riwayat diare, riwayat
ISPA, asupan protein dan seng
dengan kejadian stunted pada anak
usia 7-24 bulan.

puskesmas terhadap kasus stunted
adalah kurang dari 20%, sehingga
kasus ini masuk dalam perencanaan
program gizi tahunan Puskesmas
Kokap I di tahun 2015.
1. Analisis Univariat
a. Karakteristik subyek
Distribusi jumlah subyek
yang hampir sama antara usia
7-11 bulan (47,8%) dan usia 12 tahun (52,2%). Distribusi
jumlah subyek berdasarkan
jenis kelamin, sebagian besar
berjenis kelamin perempuan
(56,5%) dan laki-laki (43,5%).
Data ditampilkan pada Tabel
1.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Desa Hargorejo merupakan
satu dari tiga desa yang berada di
wilayah kerja Puskesmas Kokap I.
Dua desa yang lain adalah
Hargomulyo
dan
Kalirejo.
Puskesmas Kokap I terletak di Desa
Hargorejo, tepatnya di Dusun
Ngaseman. Puskesmas Kokap I
memiliki kasus balita stunted yang
cukup tinggi pada tahun 2014, yaitu
sebesar 26,03%. Sementara target
Tabel 1.
Karakteristik Subyek Penelitian Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin
Karakteristik subyek
1. Usia
a. 7–11 (bulan)
b. 1–2 (tahun)
2. Jenis kelamin
a. Laki-laki
b. Perempuan

Jumlah
n

%

22
24

47,8
52,2

20
26

43,5
56,5

b. Distribusi kejadian stunted, riwayat BBLR, riwayat ISPA, riwayat
diare, asupan protein, asupan seng
Distribusi kejadian stunted, riwayat BBLR, riwayat ISPA, riwayat
diare, tingkat kecukupan asupan protein, tingkat kecukupan asupan seng
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2.
Distribusi Kejadian Stunted riwayat BBLR, riwayat ISPA, riwayat diare, tingkat
kecukupan asupan protein, tingkat kecukupan asupan seng
Variabel
Frekuensi (n)
Persentase (%)
Kejadian stunted
Stunted
21
45,7
Normal
25
54,3
Riwayat BBLR
Berat lahir rendah
9
19,6
Normal
37
80,4
Riwayat ISPA
Pernah
35
76,1
Tidak pernah
11
23,9

4

Riwayat Diare
Pernah
Tidak pernah
Tingkat kecukupan protein
Kurang
Cukup
Tingkat kecukupan seng
Kurang
Cukup
Tabel 2 menunjukkan adanya
kejadian stunted sebesar 45,7%;
anak yang memiliki riwayat BBLR
sebesar 19,6%; sebagian besar
anak pernah menderita ISPA
(76,1%) selama dua bulan (OktoberNovember 2015);
anak yang

18
28

39,1
60,9

18
28

39,1
60,9

29
63
17
37
mengalami diare selama dua bulan
(Oktober- November 2015) sebesar
39,1%; anak yang memiliki asupan
protein kurang sebesar 39,1% dan
anak yang memiliki asupan seng
kurang sebesar 63%.

2. Analisis Bivariat
Distibusi riwayat berat lahir, riwayat ISPA, riwayat Diare, tingkat
kecukupan asupan protein dan tingkat kecukupan asupan seng dengan
kejadian stunted dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3.
Distribusi Riwayat BBLR, Riwayat ISPA, Riwayat Diare, Tingkat Kecukupan
Asupan Protein dan Tingkat Kecukupan Asupan Seng dengan Kejadian Stunted
Kejadian stunted
Jumlah
Berat badan lahir
Normal
Stunted
p
n
%
n
%
n
%
Riwayat BBLR
BBLR
8
88,9
1
11,1
9
100
0,038*
Normal
13 35,1 24 64,9 37
100
Riwayat ISPA
Pernah
20 57,1 15 42,9 35
100
0,005*
Tidak pernah
1
9,1
10 90,9 11
100
Riwayat Diare
Pernah
9
50
9
50
18
100 0,851**
Tidak pernah
12 42,9 16 57,1 28
100
Tingkat Kecukupan
Asupan Protein
Kurang
14 77,8
4
22,2 18
100
0,003*
Cukup
7
25
21
75
28
100
Tingkat Kecukupan
Asupan Seng
Kurang
18 62,1 11 37,9 29
100
0,005*
Cukup
3
17,6 14 82,4 17
100
*uji pearson product moment
** uji rank spearman

5

Proporsi kejadian stunted pada
balita lebih banyak ditemukan pada
balita yang memiliki riwayat BBLR
(88,9%) dibandingkan balita yang
terlahir dengan berat badan normal
(35,1%). Ibu hamil dengan gizi
kurang yang terjadi pada trisemester
awal sampai akhir kehamilan akan
berdampak pada kelahiran anak
dengan berat lahir rendah yang
nantinya akan menjadi stunted
(Kusharisupeni,1997).
Nasution (2014) menyatakan
bayi BBLR mengalami gangguan
saluran pencernaan karena belum
berfungsi secara baik, seperti kurang
dapat meyerap lemak dan mencerna
protein mengakibatkan kurangnya
cadangan zat gizi dalam tubuh.
Akibatnya pertumbuhan bayi BBLR
akan terganggu, bila keadaan ini
berlanjut dengan pemberian makan
yang tidak cukup, sering mengalami
infeksi dan perawatan kesehatan
yang tidak baik dapat menyebabkan
anak stunted.
Teori lain menyatakan tumbuh
kembang anak yang terlahir dengan
BBLR tidak seoptimal bayi yang
terlahir dengan berat normal,
terutama pada usia 5 tahun pertama.
Tubuh anak akan lebih pendek dan
kurus sehingga terlihat lebih kecil
dari anak seusianya yang bergizi
baik (Moehyi, 2008).
Penelitian ini sejalan dengan
penelitian Nasution (2014) di Kota
Yogyakarta menemukan pada anak
usia 6-24 bulan yang terlahir dengan
BBLR memiliki 5,6 kali lebih besar
untuk menjadi stunted dibandingkan
dengan anak yang lahir dengan
berat badan normal. Gagal tumbuh
pada usia dini (2 bulan) pada
periode selanjutnya memiliki risiko
mengalami gagal tumbuh. Penelitian
serupa yang dilakukan di Aceh pada
anak usia 6-24 bulan oleh Lestari,
dkk (2014) melaporkan anak yang
terlahir dengan BBLR memiliki risiko

menjadi anak stunted sebesar 3,26
kali dibandingkan dengan anak yang
terlahir berat normal.
Proporsi kejadian stunted pada
balita lebih banyak ditemukan pada
balita yang memiliki riwayat ISPA
(57,1%) dibandingkan balita tanpa
riwayat ISPA (9,1%). Anak yang
mempunyai riwayat ISPA memiliki
risiko menjadi stunted dibandingkan
dengan anak yang tidak memiliki
riwayat ISPA.
ISPA merupakan salah satu
penyakit infeksi yang paling sering
diderita oleh anak. Penyakit infeksi
memberikan
dampak
negatif
terhadap status gizi anak dalam hal
mengurangi nafsu makan dan
penyerapan zat gizi dalam usus,
terjadi peningkatan katabolisme
sehingga cadangan zat gizi yang
tersedia
tidak
cukup
untuk
pembentukan jaringan tubuh dan
pertumbuhan (ACF International,
2007 dalam Lestari, 2014). ISPA
yang diderita anak menyebabkan
kenaikan suhu sehingga terjadi
peningkatan kebutuhan asupan gizi.
Namun kondisi yang seperti ini yang
tidak diimbangi peningkatan asupan
zat
gizi
dapat
menyebabkan
malnutrisi dan gagal tumbuh (Abuya,
et al, 2012 dalam Lestari, 2014).
Penelitian
yang
dilakukan
pada balita usia 12-24 bulan di
Semarang oleh Al-Anshori (2013)
menyatakan anak yang memiliki
riwayat penyakit ISPA berisiko 4 kali
lebih
besar
terjadi
stunting
dibandingkan dengan anak yang
tidak memiliki riwayat penyakit ISPA.
Penelitian lain yang dilakukan di
Aceh pada anak usia 6-24 bulan
melaporkan anak yang menderita
ISPA memiliki risiko 5,71 kali untuk
menjadi stunted dibanding dengan
anak yang tidak pernah menderita
ISPA dalam 2 bulan terakhir (Lestari,
dkk., 2014).

6

Proporsi kejadian stunted pada
balita yang memiliki riwayat diare
(50%) dan balita tanpa riwayat diare
(42,9%) tidak berbeda jauh. Tidak
terdapat hubungan antara kejadian
stunted dan riwayat diare.
Dampak langsung dari diare
adalah penurunan berat badan
dibandingkan
dampak
pada
terhambatnya tinggi badan. Anak
yang
menderita
diare
akan
mengalami anoreksia dan dehidrasi
yang
akan
berdampak
pada
penurunan berat badan (Supariasa,
2012).
Faktor
lain
yang
dapat
mempengaruhi kejadian stunted
adalah pola asuh yang salah
satunya adalah praktek pemberian
makan. Hasil wawancara langsung,
responden mengakui apabila anakanak mereka lebih menyukai makan
jajanan
kemasan
dibandingkan
dengan makanan yang yang telah
disediakan oleh responden. Tidak
hanya itu, responden akan berhenti
menyuapi makanan ke anak apabila
anak sudah tidak ingin makan
meskipun makanan belum habis. Hal
ini dibuktikan dari penelitian Astuti
(2016) yang dilakukan pada subyek,
tempat dan variabel terikat yang
sama yaitu skor kuesioner terendah
pada pernyataan “Menghentikan
menyuapi si anak saat anak merasa
kenyang, meskipun makanan belum
habis”.
Penelitian yang dilakukan oleh
Astuti (2016) melaporkan terdapat
hubungan antara pola asuh dan
kejadian stunted (p: 0,031). Pola
asuh
yang
meliputi
praktek
pemberian makan mempengaruhi
kejadian stunted apabila pemberian
makan
tidak
memperhatikan
kuantitas dan kualitas gizi. Praktek
pemberian makan yang buruk
mengakibatkan
anak
tidak
mendapatkan asupan energi dan zat
gizi lain dengan seimbang dan

selanjutnya berdampak terhadap
terjadinya gangguan pertumbuhan
(Astari, 2005). Porsi makan yang
telah diatur atau diberikan oleh anak
tentu
sesuai
dengan
standar
sehingga saat anak sudah merasa
kenyang namun makanan belum
habis diusahakan dan dibujuk untuk
menghabiskan persentase pola asuh
gizi yang dilakukan ibu dalam
kategori baik yaitu ≥ 50% (Azwar,
2012).
Hasil penilitian ini tidak sejalan
yang dilakukan oleh Lestari, dkk
(2014) di Aceh melaporkan bahwa
anak yang mendeita diare berisiko
5,04 kali menjadi stunted pada anak
usia 6-24 bulan. Hasil penelitian ini
serupa dengan penelitian Efendi
(2015) di Puskesmas Gilingan
Surakarta yang menyatakan tidak
ada hubungan kejadian stunted dan
riwayat diare (p: 0,548).
Proporsi kejadian stunted pada
balita lebih banyak ditemukan pada
balita yang asupan proteinnya
kurang (77,8%) dibandingkan pada
balita yang asupan proteinnya cukup
(25%). Anak yang memiliki asupan
protein kurang berisiko menjadi
stunted dibandingkan dengan anak
yang memiliki asupan protein cukup.
Protein
berfungsi
sebagai
pembentuk jaringan baru di masa
pertumbuhan dan perkembangan
tubuh, memelihara, memperbaiki
serta mengganti jaringan yang rusak
(Achmadi,
2013).
Anak
yang
mengalami defisiensi asupan protein
pada masa seribu hari pertama
kehidupan dan berlangsung lama
meskipun
asupan
energinya
tercukupi
akan
mengalami
pertumbuhan tinggi badan yang
terhambat (Almatsier, 2004). Hasil
uji regresi logistik menunjukan anak
yang mengalami defisiensi asupan
protein berisiko menjadi stunting
1.926 kali lebih besar dari anak yang

7

asupan proteinnya tercukupi (Picauly
& Toy, 2013).
Pertumbuhan yang terjadi
pada
anak
membutuhkan
peningkatan jumlah total protein
dalam
tubuh
sehingga
membutuhkan asupan protein yang
lebih besar dibanding orang dewasa
yang
telah
terhenti
masa
pertumbuhannya. Anak–anak di
Negara Barat mengkonsumsi lebih
banyak protein dari kebutuhan
dibanding
dengan
di
negara
berkembang. Seorang anak yang
kekurangan asupan proteinnya akan
tumbuh lebih lambat dibanding anak
yang asupan proteinnya cukup
(Bender, 2002)
Hasil penelitian ini sejalan
dengan hasil penelitian pada anak
usia 12-59 bulan di Sumatera oleh
Fitri (2012) yang menyatakan bahwa
proporsi kejadian stunting yang
dialami balita dengan asupan protein
kurang lebih banyak dibandingkan
balita dengan asupan protein cukup.
Balita yang memiliki asupan protein
kurang, berisiko menjadi stunting
sebesar 1,2 kali dibanding dengan
balita yang memiliki asupan protein
cukup.
Proporsi kejadian stunted pada
balita lebih banyak ditemukan pada
balita yang asupan sengnya kurang
(62,1%) dibandingkan pada balita
yang
asupan sengnya cukup
(17,6%). Anak yang memiliki asupan
seng kurang berisiko menjadi
stunted dibandingkan dengan anak
yang memiliki asupan seng cukup.
Seng berperan dalam fungsi
kekebalan, yaitu dalam fungsi sel T
dan dalam pembentukan antiodi oleh
sel B. Seng berperan pula dalam
detoksifikasi
alkohol
dan
metabolisme vitamin A. Dengan
terkaitnya seng dengan metabolisme
vitamin A, berarti seng terkait
dengan berbagai fungsi vitamin A.
Karena
kekurangan
seng

mengganggu metabolisme vitamin
A.
Kekurangan
vitamin
A
menurunkan respon antibodi yang
bergantung pada sel T sehingga
seseorang yang kekurangan vitamin
A mudah terkena infeksi (Almatsier,
2004). Anak yang malnutrisi lebih
mudah terkena infeksi menyebabkan
anak tidak ingin makan dan mereka
dengan cepat memakai protein dan
energi dalam tubuhnya sehingga
menyebabkan
pertumbuhan
melambat sebagai tanda malnutrisi
(Biddulph and Stace, 1999).
Kekurangan seng berpengaruh
terhadap hormon pertumbuhan,
seperti
rendahnya
Insuline-like
Growth Factor I (IGF-1), Growth
Hormone (GH), reseptor dan GH
binding protein RNA. Rendahnya
konsentrasi hormon-hormon tersebut
dapat menghambat pertumbuhan
linier
hingga
terhentinya
pertambahan berat badan. Cepatnya
masa pertumbuhan (growth spurt)
pada masa balita menyebabkan
cepatnya sintesis jaringan yang
berdampak pada rendahnya serum
dan plasma seng. Seng berperan
dalam
pembentukan
dan
mineralisasi tulang, sehingga pada
kasus defisiensi seng metabolik GH
terhambat yang mengakibatkan
sintesis dan sekresi IGF-1 berkurang
(Adriani & Wirjatmadi, 2014).
Penelitian yang dilakukan Wessells
dan Brown (2012) menyatakan
prevalensi stunted pada balita
berhubungan
positif
dengan
penilaian asupan seng inadekuat.
Penelitian ini sejalan dengan
penelitian oleh Anindita (2012) di
Semarang yang menyatakan ada
hubungan antara tingkat kecukupan
seng dengan stunted (pendek) pada
balita. Hasil penelitian tersebut
melaporkan sebesar 63,6% balita
memiliki tingkat kecukupan seng
yang kurang dan sisanya 36,4%

8

memiliki tingkat kecukupan yang
baik
KESIMPULAN
1. Prevalensi kejadian stunted pada
anak usia 7-24 bulan di Desa
Hargorejo sebesar 45,7%.
2. Prevalensi riwayat BBLR pada
anak usia 7-24 bulan sebesar
19,6%.
3. Prevalensi riwayat ISPA pada
anak usia 7-24 bulan sebesar
76,1%.
4. Prevalensi riwayat diare pada
anak usia 7-24 bulan sebesar
39,1%.
5. Anak usia 7-24 bulan yang
memiliki
tingkat
kecukupan
asupan protein kategori cukup
sebesar 60,9%
6. Anak usia 7-24 bulan yang
memiliki
tingkat
kecukupan
asupan seng kategori cukup
sebesar 37%.
7. Ada hubungan riwayat berat lahir
dan kejadian stunted pada anak
usia 7-24 bulan (p: 0,038).
8. Ada hubungan riwayat ISPA dan
kejadian stunted pada anak usia
7-24 bulan (p: 0,005).
9. Tidak ada hubungan riwayat diare
dan kejadian stunted pada anak
usia 7-24 bulan (p: 0,851).
10.
Ada
hubungan
asupan
protein dan kejadian stunted pada
anak usia 7-24 bulan (p: 0,003).
11.
Ada hubungan asupan seng
dan kejadian stunted pada anak
usia 7-24 bulan (p: 0,005).
SARAN
Perlu dilakukan penelitian
tentang riwayat berat lahir dengan
memperhatikan usia gestasi yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan
bayi yang dilahirkan. Bagi Puskemas
Kokap I perlu diadakan penyuluhan
terhadap ibu balita dan ibu hamil
tentang pentingnya masa 1000 Hari
Pertama Kehidupan (HPK) terkait

gizi anak. Bagi ibu untuk lebih
memperhatikan
asupan
anak
dengan memberikan makanan yang
cukup jumlah dan kualitasnya serta
menghindari jajanan kemasan untuk
diberikan kepada anak.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U. F. 2013. Kesehatan
Masyarakat
Teori
dan
Aplikasi.
Jakarta:
RajaGrafindo
Adriani, M. & Wirjatmadi, B. 2014.
Gizi dan Kesehatan Balita
Peranan Mikro Zinc pada
Pertumbuhan
Balita.
Jakarta: Kencana.
Al-Anshori, H. 2013. Faktor Risiko
Kejadian Stunting Pada
Anak Usia 12-24 Bulan
(Studi
di
Kecamatan
Semarang Timur). Skripsi.
Program Studi Ilmu Gizi
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Diponegoro.
Semarang.
Allen, L. H. & Gillespie, S. R. 2001.
What works? A review of
the
efficacy
and
effectiveness of nutrition
interventions. Philippines.
United Nations ACC/SCN
and Asian Development
Bank.
Almatsier, S. 2004. Prinsip-prinsip
Dasar Ilmu Gizi. Jakarta:
Gramedia.
Almatsier, S., Soetardjo, Susirah &
Soekatri, M. 2011. Gizi
Seimbang Dalam Daur
Kehidupan.
Jakarta:
Gramedia.
Astari L D, Nasoetion A, Dwiriani C.
M.
2005.
Hubungan
Karakteristik Keluarga, Pola
Pengasuhan Dan Kejadian
Stunting Anak Usia 6-12
Bulan.
Media
gizi
&
keluarga 29(2): 40-46.

9

Astuti, D. K. 2016. Hubungan Pola
Asuh Dan Karakteristik Ibu
Dengan Kejadian Stunted
Pada Balita Usia 7-24 Bulan
Di Desa Hargorejo, Kulon
Progo, Yogyakarta. Skripsi.
Program Studi Ilmu Gizi
Universitas Muhammadiyah
Surakarta. Surakarta.
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI.
2013. Riset Kesehatan
Dasar 2010.
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI.
2013. Riset Kesehatan
Dasar 2013
Bender, D. 2002. Introduction To
Nutrition And Metabolism
Third Edition. Taylor &
Francis e-Library: London.
Biddulph, J. and Stace, J. 1999.
Kesehatan
Anak
untuk
Perawat,
Petugas
Penyuluhan Kesehatan dan
Bidan di Desa. Yogyakarta:
UGM press.
Effendi,
A.
2015.
Hubungan
Kejadian Stunting Dengan
Frekuensi Penyakit ISPA
Dan Diare Pada Balita Usia
12-48 Bulan Di Wilayah
Kerja Puskesmas Gilingan
Surakarta. Skripsi. Program
Studi Ilmu Gizi Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Surakarta.
Fitri. 2012. Berat Lahir Sebagai
Faktor Dominan Terjadinya
Stunting Pada Balita (12-59
Bulan)
Di
Sumatera
(Analisis Data Riskesdas
2010). Tesis. Program Studi
Ilmu Kesehatan Masyarakat
UI. Depok.
Gibney, M. J., Margetts, B. M.,
Kearney, J. M. & Arab, L.

2009.
Gizi
Kesehatan
Masyarakat. Jakarta: EGC.
Jiang, Y., Su, X., Wang, C., Zhang,
L., Zhang, X., Wang, L., &
Cui, Y. 2014. Prevalence
and Risk Faktors for
Stunting
and
Severe
Stunting Among Children
Under Three Years Old in
Mid-Western Rural Areas of
China. Child: care, health
and development, 41 (1):
45-51.
Kemenkes.
2011.
Standar
Antropometri
Penilaian
Status Gizi Anak. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian
Perencanaan
Pembangunan
Nasional.
2013. Buletin 1 1000 Hari
Pertama
Kehidupan.
Jakarta:
Kementerian
Perencanaan
Pembangunan
Nasional
(BAPPENAS).
Kusharisupeni. 1997. Peran Status
Kelahiran
Terhadap
Stunting Pada Bayi. J
Kedokteran Trisakti, 2313:
73-80.
Lestari, W., Margawati, A. &
Rahfiludin, M. Z. 2014.
Faktor Risiko Stunting Pada
Anak Umur 6-24 Bulan di
Kecamatan
Penanggalan
Kota Subulussalam Provinsi
Aceh. Jurnal Gizi Indonesia,
Vol 3 No 1: 126-134.
Mianoki, dkk. 2015. Edisi II, Tahun IMajalah Kesehatan Muslim:
Kemanakah Anda Berobat.
Yogyakarta:
Pustaka
Muslim.
Moehyi, S. 2008. Bayi Sehat dan
Cerdas Melalui Gizi dan
Makanan Pilihan. Jakarta:
Pustaka Mina
Nasution, D. 2014. Hubungan Berat
Badan
Lahir
Rendah
(BBLR) Dengan Kejadian

10

Stunting Pada Anak Usia 624
Bulan
di
Kota
Yogyakarta. Tesis. Program
Ilmu
Kesehatan
Gizi
Masyarakat
UGM.
Yogyakarta.
Notoatmodjo, S. 2007. Kesehatan
Masyarakat Ilmu dan Seni.
Jakarta: Rineka Cipta.
Picauly, I. & Toy S. M. 2013. Analisis
Determinan Dan Pengaruh
Stunting Terhadap Prestasi
Belajar Anak Sekolah Di
Kupang Dan Sumba Timur,
NTT. Jurnal Gizi dan
Pangan, Maret 2013, 8(1):
55-62.
Proverawati dan Wati. 2011. Ilmu
Gizi Untuk Keperawatan
dan
Gizi
Kesehatan.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Supariasa, I. D. N., Bakri, B. & Fajar,
I. 2012. Penilaian Status Gizi.
Jakarta: EGC.
UNICEF. 1998. The state of the
world’s children. New York.
UNICEF.
Wessells, K. R. & Brown, K. H. 2012.
Estimating
the
Global
Prevalence
of
Zinc
Deficiency: Results Based
on Zinc Availability in
National Food Supplies and
the Prevalence of Stunting.
Plos one Vol 7: 1-11.

11

Dokumen yang terkait

FAKTOR RISIKO KEJADIAN STUNTED PADA ANAK USIA7-24 BULAN DI DESA HARGOREJO, KECAMATAN KOKAP, Faktor Risiko Kejadian Stunted Pada Anak Usia 7-24 Bulan Di Desa Hargarejo, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta.

0 2 17

PENDAHULUAN Faktor Risiko Kejadian Stunted Pada Anak Usia 7-24 Bulan Di Desa Hargarejo, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta.

0 2 6

DAFTAR PUSTAKA Faktor Risiko Kejadian Stunted Pada Anak Usia 7-24 Bulan Di Desa Hargarejo, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta.

1 15 5

HUBUNGAN PENGETAHUAN GIZI DAN PERILAKU HIGIENE SANITASI TERHADAP KEJADIAN STUNTED PADA BALITA Hubungan Pengetahuan Gizi dan Perilaku Higiene Sanitasi Terhadap Kejadian Stunted pada Balita Usia 7-24 Bulan di Desa Hargorejo Kulon Progo.

0 7 13

SKRIPSI Hubungan Pengetahuan Gizi dan Perilaku Higiene Sanitasi Terhadap Kejadian Stunted pada Balita Usia 7-24 Bulan di Desa Hargorejo Kulon Progo.

0 5 17

PENDAHULUAN Hubungan Pengetahuan Gizi dan Perilaku Higiene Sanitasi Terhadap Kejadian Stunted pada Balita Usia 7-24 Bulan di Desa Hargorejo Kulon Progo.

0 2 5

FAKTOR RISIKO BERKAITAN DENGAN KEJADIAN GIZI KURANG PADA ANAK USIA 24-36 BULAN DI DESA TEGALMADE KECAMATAN Faktor Risiko Berkaitan Dengan Kejadian Gizi Kurang Pada Anak Usia 24-36 Bulan Di Desa Tegalmade Kecamatan Mojolaban Kabupaten Sukoharjo.

0 2 16

PENDAHULUAN Faktor Risiko Berkaitan Dengan Kejadian Gizi Kurang Pada Anak Usia 24-36 Bulan Di Desa Tegalmade Kecamatan Mojolaban Kabupaten Sukoharjo.

0 1 7

DAFTAR PUSTAKA Faktor Risiko Berkaitan Dengan Kejadian Gizi Kurang Pada Anak Usia 24-36 Bulan Di Desa Tegalmade Kecamatan Mojolaban Kabupaten Sukoharjo.

0 3 4

PUBLIKASI KARYA ILMIAH FAKTOR RISIKO BERKAITAN DENGAN KEJADIAN GIZI KURANG PADA ANAK USIA Faktor Risiko Berkaitan Dengan Kejadian Gizi Kurang Pada Anak Usia 24-36 Bulan Di Desa Tegalmade Kecamatan Mojolaban Kabupaten Sukoharjo.

0 2 14