Hubungan Stres dengan Siklus Menstruasi pada Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Tahun Masuk 2012

4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Stres

2.1.1

Definisi Stres
Stres adalah respon nonspesifik generalisata tubuh terhadap setiap faktor

yang mengalahkan, atau mengancam untuk mengalahkan kemampuan kompensasi
tubuh untuk mempertahankan homeostasis (Sherwood, 2012). Sebagian stres ini
akan mengakibatkan besar dari stres ini akan mengaktifkan respon tanggapan
(counteractions) di tingkat molekul, sel, atau sistemik yang cenderung
memulihkan sebelumnya, yaitu, respon tersebut adalah reaksi homeostasis
(Ganong, 2012).
2.1.2


Patofisiologi Stres
Respon terhadap stres dipengaruhi langsung atau tidak langsung oleh

hipotalamus. Hipotalamus menerima masukan stresor fisik atau emosi dari hampir
semua bagian otak dan dari banyak reseptor di seluruh tubuh. Sebagai respons,
hipotalamus secara langsung mengaktifkan sistem saraf simpatis, mengeluarkan
CRH ( Corticotropin Releasing Hormon) untuk merangsang pengeluaran ACTH
dan kortisol, serta memicu pelepasan vasopresin. Stimulasi simpatis, pada
gilirannya menyebabkan sekresi epinefrin, yang sama-sama memiliki efek pada
sekresi insulin dan glukagon oleh pankreas. Selain itu, vasokonstriksi arteriol
aferen ginjal oleh katekolamin secara tidak langsung merangsang renin dengan
mengurangi aliran darah beroksigen ke ginjal. Renin, selanjutnya, mengaktifkan
sistem

renin-angiotensin-aldosteron.

Dengan

cara


ini,

hipotalamus

mengintegrasikan respon sistem saraf simpatis dan sistem endokrin selama stres
(Sherwood, 2012).
Agen penginduksi respon secara tepat disebut sebagai stresor, sementara
stres merujuk kepada keadaan yang ditimbulkam oleh stresor. Jenis-jenis
rangsangan yang mengganggu berikut ini menggambarkan ragam faktor yang

Universitas Sumatera Utara

5

dapat menginduksi respon stres: fisik (trauma, pembedahan, panas atau dingin
hebat); kimia (penurunan pasokan O2,ketidakseimbangan asam-basa); fisiologik
(olahraga berat, syok hemoragik, nyeri); infeksi (invasi bakteri); psikologis atau
emosional (rasa cemas, ketakutan, kesedihan); dan sosial (konflik perorangan,
perubahan gaya hidup (Sherwood,2012).
2.1.3


Perubahan Hormon Akibat Stres
Adapun hormon-hormon yang mengalami perubahan selama stres, yaitu :

a. Kortisol
Kortisol berperan kunci dalam adaptasi terhadap stres. Segala jenis stres
merupakan rangsangan utama bagi peningkatan sekresi kortisol. Meskipun peran
persis kortisol dalam adaptasi terhadap stres belum diketahui namun penjelasan
yang spekulatif tetapi masuk akal adalah sebagai berikut. Manusia primitif atau
hewan yang terluka atau menghadapi situasi yang mengancam nyawa harus
bertahan tanpa makan. Pergeseran dari penyimpanan protein dan lemak ke
peningkatan simpanan karbohidrat dan ketersediaan glukosa darah yang
ditimbulkan oleh kortisol akan membantu melindungi otak dari malnutrisi selama
periode puasa terpaksa tersebut. Juga, asam-asam amino yang dibebaskan oleh
penguraian protein akan menjadi pasokan yang siap digunakan untuk
memperbaiki jaringan jika terjadi cedera fisik. Karena itu, terjadi peningkatan
cadangn glukosa, asam amino, dan asam lemak yang dapat digunakan sebagai
kebutuhan.
Peningkatan drastis sekresi kortisol, yang diperantarai oleh susunan saraf
pusat melalui peningkatan aktivitas sistem CRH-ACTH, terjadi sebagai respon

terhadap segala jenis situasi stres. Besar peningkatan konsentrasi kortisol plasma
umumnya setara dengan intensitas stimulasi stres berat menyebabkan peningkatan
sekresi kortisol yang lebih besar daripada stres ringan (Ganong, 2012).

Universitas Sumatera Utara

6

b. Katekolamin
Stimulasi sumbu hipofisis - adrenal dikaitkan dengan pelepasan katekolamin.
Hal ini menyebabkan peningkatan curah jantung, aliran darah ke otot rangka,
retensi natrium, penurunan motilitas usus, vasokonstriksi kulit, peningkatan
glukosa, dilatasi bronkiolus, dan aktivasi perilaku.
Perbedaan antara persepsi keadaan internal atau eksternal menyebabkan
tanggapan stres yang melibatkan beberapa sistem homeostatis. Keadaan seperti
hipoglikemia, hipoksia, perdarahan, kolaps sirkulasi menimbulkan aktivasi SAMS
termasuk stimulasi jantung, splanchnic, kulit, dan vasokonstriksi ginjal. Dalam
situasi ini, aktivitas SAMS berkoordinasi dengan sistem saraf parasimpatis, sistem
hipofisis-adrenocortical, dan mungkin beberapa sistem neuropeptida (Ranabir, S.,
& Reetu, K., 2011).

c. Vasopresin dan Renin-Angiotensin-Aldosteron
Secara bersama-sama, hormon-hormon ini meningkatkan volume plasma
dengan mendorong retensi garam dan H2O. Peningkatan volume plasma
diperkirakan berfungsi sebagai tindakan protektif untuk mempertahankan tekanan
darah seandainya terjadi kehilangan cairan plasma melalui perdarahan atau
berkeringat berlebihan selama periode bahaya. Vasopresin dan angiotensin juga
memiliki

efek

vasopresor

langsung,

yang

dapat

bermanfaat


dalam

mempertahankan tekanan arteri jika terjadi kehilangan darah akut. Vasopresin
juga dipercayai mampu mempermudah proses belajar, yang berdampak pada
adaptasi terhadap stres di mana mendatang (Sherwood, 2012).
d. Gonadotropin
Stres menyebabkan penekanan gonadotropin dan hormon steroid lainnya yang
akan menyebabkan gangguan siklus menstruasi. Tekanan psikologis dan sosial
yang akut dan kronis dapat mengganggu sekresi hormon reproduksi dalam
berbagai spesies primata, bukan hanya manusia. Gangguan ini bisa halus, yang
terdiri dari penekanan ringan pada sekresi hormon reproduksi yang mendasari

Universitas Sumatera Utara

7

penurunan tingkat kesuburan dan perilaku reproduksi. Faktor-faktor yang
berkontribusi terhadap variabilitas respon sumbu reproduksi termasuk jenis stres,
besarnya dan durasi stres, persepsi stres oleh individu, status sosial individu,
tingkat bersamaan perilaku agresif yang ditampilkan oleh individu, dan aktivitas

reproduksi. Namun, lebih banyak pekerjaan yang diperlukan untuk memahami
mekanisme yang mendasari penurunan sumbu reproduksi oleh tekanan psikologis
dan sosial, serta mekanisme yang mendasari perbedaan kerentanan terhadap
gangguan stres yang disebabkan fungsi reproduksi dalam individu. Terlalu lama
stres dapat menyebabkan gangguan fungsi reproduksi . Perjalanan gonadotrophin
releasing hormon ke hipofisis menurun karena peningkatan sekresi CRH (Ranabir,
S., & Reetu, K., 2011).
e. Hormon Tiroid
Fungsi tiroid biasanya menurun selama kondisi stres. Stres menghambat
sekresi thyroid- stimulating hormone (TSH) melalui aksi glukokortikoid pada
sistem saraf pusat. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa stres akut
dan berulang dapat mengubah sekresi hormon (Ranabir, S., & Reetu, K.., 2011).
f. Hormon Pertumbuhan
Kegagalan pertumbuhan tanpa etiologi bisa terkait dengan gangguan perilaku
dan stres psikososial. Kondisi ini meliputi gagal tumbuh, pengerdilan sekunder,
kekurangan gizi kronis, dan hipopituitarisme idiopatik. Beberapa anak
menunjukkan pertumbuhan yang memuncak spontan ketika dihindarkan dari
sumber stres (Ranabir, S., & Reetu, K.., 2011).
2.1.4


Sumber Stres
Kondisi stres dapat disebabkan oleh berbagai penyebab atau sumber,

dalam istilah yang lebih umum disebut stressor. Stressor adalah keadaan atau
situasi, obyek atau individu yang dapat menimbulkan stres. Secara umum, stressor
dapat dibagi menjadi tiga, yaitu stressor fisik, sosial, dan psikologis.

Universitas Sumatera Utara

8

a.

Stressor Fisik
Bentuk dari stressor fisik adalah suhu (panas dan dingin), suara bising,

polusi udara, keracunan, obat-obatan (bahan kimiawi).
b.

Stressor Sosial


i.

Stressor sosial, ekonomi dan politik, misalnya tingkat inflasi yang tinggi,
tidak ada pekerjaan, pajak yang tinggi, perubahan teknologi yang cepat,
kejahatan.

ii.

Keluarga, misalnya peran seks, iri,cemburu, kematian anggota keluarga,
masalah keuangan, perbedaan gaya hidup dengan pasangan atau anggota
keluarga yang lain.

iii.

Jabatan dan karir, misalnya kompetisi dengan teman, hubungan yang
kurang baik dengan atasan atau sejawat, pelatihan, aturan kerja.

iv.


Hubungan interpersonal dan lingkungan, misalnya harapan sosial yang
terlalu tinggi, pelayanan yang buruk, hubungan sosial yang buruk.

c.

Stressor Psikologik

1.

Frustasi
Frustasi adalah tidak tercapainya keinginan atau tujuan karena ada

hambatan.
2.

Ketidakpastian
Apabila seseorang sering berada dalam keraguan dan merasa tidak pasti

mengenai masa depan atau pekerjaannya. Atau merasa selalu bingung dan
tertekan, rasa bersalah, perasaan khawatir dan inferior (Dede, 2009).


2.1.5

Gejala Stres
Gejala terjadinya stres secara umum terdiri dari 2 (dua) gejala, yaitu:

a. Gejala Fisik
Beberapa bentuk gangguan fisik yang sering muncul pada stres adalah :
nyeri dada, diare selama beberapa hari, sakit kepala, mual, jantung berdebar, lelah,
susah tidur, dan lain-lain.

Universitas Sumatera Utara

9

b. Gejala Psikis
Sementara bentuk gangguan psikis yang sering terlihat adalah cepat
marah, ingatan melemah, tak mampu berkonsentrasi, tidak mampu menyelesaikan
tugas, perilaku impulsive, reaksi berlebihan terhadap hal sepele, daya kemampuan
berkurang, tidak mampu santai pada saat yang tepat, tidak tahan terhadap suara
atau gangguan lain, dan emosi tidak terkendali (Dede, 2009).

2.1.6

Tingkatan Respon Terhadap Stres
Hans Selye membagi stres menjadi tiga, yaitu:

a. Eustress
Eustress adalah respon stres ringan yang menimbulkan rasa bahagia,
senang, menantang, dan menggairahkan. Dalam hal ini tekanan yang terjadi
bersifat positif, misalnya lulus ujian, atau kondisi ketika menghadapi perkawinan.
b. Distress
Distress merupakan respon stres yang buruk dan menyakitkan, sehingga
tidak mampu lagi diatasi.
c. Optimal Stress
Optimal stress atau Neustress adalah stres yang berada antara eustress
dan distress, merupakan respon stres yang menekan namun masih seimbang
sehingga seseorang merasa tertantang untuk menghadapi masalah dan memacu
untuk lebih bergairah, berprestasi, meningkatkan produktivitas kerja dan berani
bersaing (Dede, 2009).

2.1.7

Tahapan Stres
Tahapan Stres menurut Amberg (dalam) memiliki enam tahapan, yaitu:

a. Stres Tingkat I
Tahapan ini merupakan tingkat stres yang paling ringan, dan biasanya
disertai perasaan-perasaan sebagai berikut:
1. Semangat besar
2. Penglihatan tajam tidak sebagaimana biasanya

Universitas Sumatera Utara

10

3. Energi dan gugup yang berlebihan, kemampuan untuk menyelesaikan pekerjaan
lebih dari biasanya
4. Tahapan ini biasanya menyenangkan dan orang bertambah semangat, tanpa
disadari bahwa cadangan energinya sedang menipis

b. Stres Tingkat II
Pada tahap ini dampak stres yang menyenangkan mulai menghilang dan
timbul keluhan-keluhan dikarenakan cadangan energi tidak lagi cukup sepanjang
hari. Keluhan yang sering digunakan sebagai berikut:
1. Merasa letih sewaktu bangun pagi
2. Merasa letih sesudah makan siang
3. Merasa lelah menjelang sore hari
4.Terkadang gangguan dalam sistem pencernaan (gangguan usus, perut
kembung), kadang-kadang pula jantung berdebar-debar
5. Perasaan tegang pada otot punggung dan tengkuk (belakang leher)
6. Perasaan tidak santai

c. Stres Tingkat III
Pada tahap ini keluhan keletihan semakin nampak disertai gejala sebagai
berikut:
1. Gangguan usus lebih terasa (sakit perut, mulas, sering ke belakang)
2. Otot-otot terasa lebih tegang
3. Perasaan tegang yang semakin meningkat
4. Gangguan tidur (sukar tidur, sering terbangun malam dan sukar tidur kembali,
atau bangun terlalu pagi
5. Badan terasa oyong, rasa-rasa mau pingsan (tidak sampai jatuh pingsan)
6. Pada tahap ini eksekutif harus berkonsultasi pada dokter, psikolog, kecuali
kalau beban stres atau tuntutan-tuntutan dikurangi, dan tubuh mendapat
kesempatan untuk beristirahat atau relaksasi guna memulihkan suplai energi.

Universitas Sumatera Utara

11

d. Stres Tingkat IV
Tahapan ini sudah menunjukkan keadaan yang lebih buruk ditandai
dengan gejala sebagai berikut:
1. Untuk bertahan sepanjang hari terasa lebih sulit
2. Kegiatan-kegiatan yang semula menyenangkan terasa semakin sulit
3. Kehilangan kemampuan untuk menanggapi situasi, pergaulan sosial, dan
kegiatan-kegiatan rutin lainnya terasa berat
4. Tidur semakin sukar, mimpi-mimpi menegangkan dan seringkali terbangun dini
hari
5. Perasaan negativistik
6. Kemampuan konsentrasi menurun tajam
7. Perasaan takut yang tidak dapat dijelaskan, tidak mengerti mengapa

e. Stres Tingkat V
Tahapan ini merupakan keadaan yang lebih mendalam dari tahap IV,
dengan gejala sebagai berikut:
1. Keletihan yang mendalam (physical dan psychological exhaution)
2. Untuk pekerjaan-pekerjaan yang sedehana saja terasa kurang mampu
3. Gangguan sistem pencernaan (sakit maag dan usus) lebih sering, sukar buang
air besar atau sebaliknya feses encer dan sering ke belakang
4. Perasaan takut yang semakin menjadi, mirip panik

f.Stres Tingkat VI
Tahapan ini merupakan tahapan puncak yang merupakan keadaan gawat
darurat. Tidak jarang eksekutif dalam tahapan ini dibawa ke ICCU. Gejala dalam
tahap ini cukup mengerikan.
Debaran jantung terasa amat keras, hal ini disebabkan karena zat adrenalin yang
dikeluarkan akibat stres tersebut cukup tinggi dalam peredaran darah, nafas sesak,
megap-megap, badan gemetar, tubuh dingin, keringat bercucuran. Tenaga untuk
hal-hal yang ringan sekalipun tidak kurang lagi, pingsan atau kolaps (Dede, 2009).

Universitas Sumatera Utara

12

2.1.8

Klasifikasi Stres

Klasifikasi stres menurut Stuart dan Sundeen (1998) adalah sebagai berikut:
a. Stres Ringan
Pada tingkat stres ini sering terjadi pada kehidupan sehari-hari dan kondisi
ini dapat membantu individu menjadi waspada dan bagaimana mencegah berbagai
kemungkinan yang terjadi.
b. Stres sedang
Pada stres tingkat ini individu lebih cenderung memfokuskan hal penting
saat ini dan mengesampingkan yang lain sehingga mempersempit lahan
persepsinya.
c. Stres Berat
Pada tingkat ini lahan persepsi individu sangat menurun dan cenderung
memusatkan perhatian pada hal-hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk
mengurangi stres. Individu tersebut mencoba memusatkan perhatian pada lahan
lain dan memerlukan banyak pengarahan.
2.2. Menstruasi
2.2.1

Siklus Menstruasi Normal
Menstruasi disebabkan oleh pengurangan mendadak progesteron dan

estrogen pada akhir siklus haid ovarium. Efek pertama adalah penurunan
rangsangan sel-sel endometrium oleh kedua hormon tersebut, diikuti dengan cepat
oleh involusi endometrium itu sendiri sampai sekitar 65 persen tebal sebelumnya.
Selama 24 jam sebelumnya mulai menstruasi, pembuluh darah yang menuju ke
lapisan mukosa endometrium menjadi vasospastik, mungkin karena beberapa efek
involusi, seperti pengeluaran zat vasokonstriktor. Vasospasme dan kehilangan
rangsang hormonal mulai menimbulkan nekrosis pada endometrium. Sebagai
akibatnya, darah merembes dalam lapisan vaskular endometrium, area perdarahan
mulai terbentuk setelah 24 sampai 36 jam. Lambat laun, lapisan luar endometrium
yang nekrotik terlepas dari uterus pada tempat perdarahan, pada 48 jam setelah

Universitas Sumatera Utara

13

mulainya menstruasi, semua lapisan superfisisal endometrium telah mengalami
deskuamasi. Jaringan deskuamasi dan darah dalam kubah uterus memulai
kontraksi uterus yang mengeluarkan isi uterus.
Selama menstruasi normal, sekitar 35 ml darah dan 35 mL cairan serosa
hilang. Cairan menstruasi ini dalam keadaan normal tidak membeku, karena
fibrinolisin dikeluarkan bersama dengan endometrium yang nekrotik.

Dalam tiga sampai tujuh hari setelah menstruasi mulai, perdarahan
berhenti karena pada saat ini endometrium sudah mengalami epitelisasi penuh
(Guyton, 2011).
Menurut Sarwono (2011), siklus menstruasi terbagi atas :
1. Fase Folikular
Siklus diawali dengan hari pertama menstruasi, atau terlepasnya endometrium.
FSH merangsang pertumbuhan beberapa folikel primordial dalam ovarium.
Umumnya hanya satu yang terus berkembang dan menjadi folikel de Graaf dan
yang lainnya berdegenerasi. Folikel terdiri dari sebuah ovum dan dua lapisan sel
yang mengelilinginya. Lapisan dalam, yaitu sel-sel granulosa menyintesis
progesteron yang disekresi ke dalam cairan folikular selama paruh pertama siklus
menstruasi, dan bekerja sebagai prekursor pada sintesis estrogen oleh lapisan sel
teka interna yang mengelilinginya. Estrogen disintesis dalam sel-sel lutein pada
teka interna. Jalur biosintesis estrogen berlangsung dari progesteron dan
pregnenolon melalui 17-hidroksilasi turunan dari androstenedion, testosteron, dan
estreadiol. Kandungan enzim aromatisasi yang tinggi pada sel-sel ini
mempercepat perubahan androgen menjadi estrogen.
Di dalam folikel, oosit primer mulai menjalani proses pematangannya. Pada
waktu yang sama, folikel yang sedang berkembang menyekresi estrogen lebih
banyak ke dalam sistem ini. Kadar estrogen yang meningkat menyebabkan
pelepasan LHRH melalui mekanisme umpan balik positif.

Universitas Sumatera Utara

14

2. Fase Ovulasi
Lonjakan LH sangat penting untuk proses ovulasi pascakeluarnya oosit
dan folikel. Lonjakan LH dipicu oleh kadar estrogen yang tinggi yang dihasilkan
oleh folikel preovulasi. Ovulasi diperkirakan terjadi 24-36 jam pascapuncak kadar
estrogen (estradiol) dan 10-12 jam pascapuncak LH. Di lapangan awal lonjakan
LH digunakan sebagai pertanda/indikator untuk menentukan waktu kapan
diperkirakan ovulasi bakal terjadi. Ovulasi terjadi sekitar 34-36 jam pascaawal
lonjakan LH.
Lonjakan LH yang memacu sekresi prostaglandin, dan progesteron
bersama lonjakan FSH yang mengaktivasi enzim proteolitik, menyebabkan
dinding folikel “pecah”. Kemudian sel granulosa yang melekat pada membran
basalis, pada seluruh dinding folikel, berubah menjadi sel luteal. Pada tikus
menjelang ovulasi, sel granulosa kumulus yang melekat pada oosit, menjadi
longgar akibat enzim asam hialuronik yang dipicu oleh lonjakan FSH. FSH
menekan proliferasi sel kumulus, tetapi FSH bersama faktor yang dikeluarkan
oosit, memacu proliferasi sel granulosa mural, sel granulosa yang melekat pada
dinding folikel.
3. Fase Luteal
Menjelang dinding folikel “pecah” dan oosit keluar saat ovulasi, sel
granulosa membesar, timbul vakuol dan penumpukan pigmen kuning, lutein
proses luteinisasi, yang kemudian dikenal sebagai korpus luteum. Selama 3 hari
pascaovulasi, sel granulosa terus membesar membentuk korpus luteum bersama
sel teka dan jaringan stroma di sekitarnya. Vaskularisasi yang cepat, luteinisasi
dan membrana basalis yang menghilang, menyebabkan sel yang membentuk
korpus luteum sulit dibedakan asal muasalnya.
Pascalonjakan LH, pembuluh darah kapiler mulai menembus lapisan
granulosa menuju ke tengah ruangan folikel dan mengisinya dengan darah. LH
memicu sel granulosa yang telah mengalami luteinisasi, untuk menghasilkan
Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan angiopoetin. Kemudian VEGF

Universitas Sumatera Utara

15

dan angiopetin memacu angiogenesis, dan pertumbuhan pembuluh darah ini
merupakan hal yang penting pada proses luteinisasi. Pada hari ke 8-9 pascaovulasi
vaskularisasi mencapai puncaknya bersamaan dengan puncak kadar progesteron
dan estradiol.
Pertumbuhan folikel pada fase folikuler yang baik akan menghasilkan
korpus luteum yang baik/normal pula. Jumlah reseptor LH di sel granulosa yang
terbentuk cukup adekuat pada pertengahan siklus/akhir fase folikuler, akan
menghasilkan korpus luteum yang baik. Korpus luteum mampu menghasilkan
baik progesteron, estrogen, maupun androgen. Kemampuan menghasilkan steroid
seks korpus luteum sangat tergantung pada tonus kadar LH pada fase luteal.
Kadar progesteron meningkat tajam segera pascaovulasi. Kadar progesteron dan
estradiol mencapai puncaknya sekitar 8 hari pascalonjakan LH, kemudian
menurun perlahan, bila tidak terjadi pembuahan. Bila terjadi pembuahan, sekresi
progesteron tidak menurun karena adanya stimulus dari human Chorionic
Gonadotropin (hCG), yang dihasilkan oleh sel trofoblast buah kehamilan.

2.2.2

Kelainan Menstruasi
Sebagian wanita yang tidak subur mengalami siklus anovulatorik; mereka

tidak mengalami ovulasi, tetapi mendapat haid dengan interval yang relatif teratur.
Siklus anovulatorik hampir selalu terjadi pada 1-2 tahun pertama setelah
menarche dan juga sebelum menopause.
Amenorea berarti tidak adanya periode haid. Bila perdarahan menstruasi
tidak pernah terjadi, keadaan tersebut dinamai amenorea primer. Beberapa wanita
dengan amenorea primer memiliki payudara berukuran kecil dan tanda kegagalan
pematangan seksual lainnya. Terhentinya siklus pada wanita yang sebelumnya
mengalami daur yang normal disebut amenorea sekunder. Penyebab tersering
amenorea sekunder adalah kehamilan. Penyebab lain amenorea adalah rangsangan
emosi, perubahan lingkungan, kelainan hipotalamus, gangguan hipofisis, kelainan
ovarium primer, dan berbagai penyakit sistemik. Bukti memeperlihatkan bahwa

Universitas Sumatera Utara

16

pada beberapa wanita dengan amenorea hipotalamus, frekuensi pulsatil GnRH
melambat akibat aktivitas opioid yang berlebihan di hipotalamus.
Istilah hipomenorea dan menoragia masing-masing mengacu pada darah
haid yang sedikit dan berlebihan, pada daur yang teratur. Metroragia adalah
perdarahan dari uterus yang terjadi di antara periode haid, dan oligomenorea
adalah frekuensi haid yang berkurang (Sylvia, 2002; Lorraine, 2002).
Menurut Manuaba, 2010 beberapa kelainan siklus menstruasi adalah
sebagai berikut:
Tabel 2.1 : Kelainan Menstruasi
Bentuk Kelainan
Hipermenorea

Manifestasi Kliniknya


Sebabnya

Perdarahan banyak saat haid,



Hormonal



gumpalan melebihi 8 hari.

esterogen dominan,

Irreguler shedding, gamgguan

pelepasan



tumbuh endometrium.

endometrium tidak

Banyaknya melebihi 8 cc.

normal-tidak


teratur.
Sebab fisik organ
genital,

seperti:

mioma

uteri,

endometrial
servikal

atau
polip,

endometrium


proliferase
Terapinya,

yaitu:

miomektomi,

Hipomenorea



Perdarahan

sedikit

dan

lamanya kurang dari 3 hari.



dan

lain-lain.
Gangguan
karena

uterus
resoptor

Universitas Sumatera Utara

17





Endometrium kurang subur.

esterogennya

Fertilitas tidak terganggu.



kurang



Pos ablasio uteri



Defisiensi Vit. E

Pos

supravaginal

histerektomi, darah
berasal

dari

sisa

serviks yang masih

Polimenorea




Frekuensi menstruasi pendek



aktif.
Gangguan

kurang dari 21 hari.

hormonal,

Jumlah dan lama perdarahan

luteum defisiensi

sama.



Sebab

korpus

lainnya,

yaitu:
endometriosis dan

Oligomenorea



Siklus

menstruasi

panjang



oligomenorea

Jumlah dan lama perdarahan

berkurang

dan



relatif sama.

durasinya

makin

Patrun ovulatoir menstruasi



pendek.



kompleks.




Terhentinya menstruasi lebih
dari 3 bulan.
Pembagiannya, yaitu: primer
amenorea

Metroragia

Perdarahan

melebihi 35 hari.

fertilitas tidak terganggu.

Amenorea



infeksi ovarium



dan



cukup

Sistem hormonal
Kongenital organ
Kelainan genetik

sekunder

amenorea.
Perdarahan yang banyak di
luar menstruasi.



Sebabnya



Gangguan
hormonal

Universitas Sumatera Utara

18



Berlangsung

di

antara

2

siklus menstruasi.



Gangguan

fisik



uterus



pembekuan darah



Gangguan

Infeksi

dan

perlukaan

alat

reproduksi
Perdarahan uterus
fungsional/tidak
ada

Spotting




Perdarahan sedikit di antra
dua menstruasi
Tidak

banyak




hubungan seksual.
perlukaan





keganasan serviks.

Endometrial/servi
kal polip
Premenstrual
tension

dengan organik
Gangguan emosi
Pemakaian
terapi/KB



Perdarahan yang terjadi saat

Hubungannya



tetapi

mengagetkan

Kontak berdarah



hubungan

hormonal
Pemakaian IUD
Hubungan seksual
saat hamil
Kelainan
reproduksi
eksternal



Kelainan pada uterus



Keganasan



Ketegangan



Ketidakseimban-

menjelang



menstruasi

gan

Emosional, insomnia, gelisah,

dengan



tertekan, cepat marah

estrogen



hormonal
dominan

Mamae tegang, sakit kepala
Gangguan
konsentrasi/ketakutan

Universitas Sumatera Utara

19

Mastodinia




Rasa

nyeri

pada

mamae,



Konsentrasi

menjelang menstruasi

esterogen

Akibat pengaruh esterogen

menyebabkan
retensio

air

dan

garam

pada

mamae,

sehingga

ujung

Mittelschmriz



Rasa sakit saat ovulasi, pada

tertekan
Perdarahan



abdomen bagian bawah

intraabdominal/

Diikuti

akut



temperatur basal

dilakukan

Perdarahan

laparotomi

bleeding

Dismenorea



saraf



peningkatan

intraabdominal
mirip



kehamilan

ektopik terganggu
Rasa nyeri menstruasi dan
disertai

abdomen



gangguan

Primer dismenorea:
tidak

dijumpai

menjalankan tugas sehari-hari

kelainan anatomis

Pembagiannya, yaitu: primer

reproduksi

dismenorea

dan

sekunder

dismenorea



Sekunder
dismenorea:
dijimpai

kelainan

anatomis
reproduksi

2.2.3

Hubungan Stres dengan Siklus Menstruasi
Dalam penelitian sebelumnya tentang hubungan antara stres dan siklus

menstruasi, ditemukan adanya keterkaitan keduanya. Sebuah analisis crosssectional satu tahun data dari 206 wanita menunjukkan adanya korelasi antara

tingkat stres, yang diukur dengan jumlah dan tingkat keparahan peristiwa

Universitas Sumatera Utara

20

kehidupan dengan stres, dan karakteristik siklus, termasuk panjang selang, durasi
berdarah, dan variabilitas dalam kedua hal tersebut.
Ada juga hipotesis lain yang mengatakan bahwa wanita dengan tingkat stres
yang lebih tinggi akan lebih mungkin mengalami siklus yang tidak normal dan
berhubungan dengan panjang fase folikuler dan panjang fase luteal. Ada
kecenderungan non-signifikan bagi perempuan untuk melaporkan tingkat stres
yang lebih tinggi selama siklus oligomenorea dan jelas dibandingkan dengan
siklus normal (Mansfield Et al, 2004).
Menurut Primastuti (2012), terdapat hubungan yang signifikan antara obesitas
dan siklus menstruasi. Obesitas meningkatkan faktor risiko dari ketidakteraturan
siklus menstruasi hingga 3,5 kali lipat. Responden yang memiliki siklus
menstruasi tidak teratur sebesar 18,42% dengan rincian 6,58% ber-BMI normal
dan 11,84% ber-BMI obesitas. Sedangkan yang memiliki siklus menstruasi teratur
sebesar 81,58 didominasi oleh responden ber-BMI normal sebesar 53,95% dan
27,63% ber-BMI obesitas.
Menurut Saerang (2010), terdapat hubungan antara tingkat stres dengan siklus
menstruasi pada mahasiswi Fakultas Kedokteran Sam Ratulangi Manado.
Dibuktikan dengan hasil penelitian dimana terdapat sebagian besar responden
mengalami tingkat stres normal dengan jumlah 54 responden (60%) dan sebagian
besar responden mengalami siklus menstruasi teratur dengan 69 responden
(76,7%).

Universitas Sumatera Utara