Analisis Yuridis Tentang Takharuj (Keluar) Dalam Menerima Bagian Warisan Dan Akibat Hukumnya Menurut Fikih Islam (Studi Kasus Di Kecamatan Lamprit Kota Banda Aceh)

23

BAB II
FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG AHLI WARIS
MENGUNDURKAN DIRI DARI AHLI WARIS

A. Waris dan Dasar Hukum Waris
1.

Pengertian Waris
Waris adalah setiap yang berhak menerima harta warisan, disebut dengan

istilah Ash-haabul Furudh, atau ‘ashabah.Baik mengambil bagian ataupun tidak tetap
disebut waris

46

.Dalam kaitannya dengan mengundurkan diri dalam warisan,

pemberian harta tersebut dapat berupa uang, rumah dan tanah.Ataupun yang lainnya
yang dianggap bermanfaat oleh orang yang bersangkutan.

Mengenai defenisi waris ini dalam Kompilasi Hukum Islam, juga dijelaskan
bahwa waris adalah ilmu yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (Tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli
waris dan berapa bagiannya masing-masing.
Menurut fiqih waris adalah harta, benda dan hak yang ditinggalkan oleh orang
yang mati untuk dibagikan kepada yang berhak menerimanya.Pembagian itu lazim
disebut faraidh, artinya menurut syara’ ialah pembagian pusaka bagi yang berhak
menerimanya47. Dasar hukum waris adalah surat An-Nisaa’ ayat 11 yakni : “Allah
mensyaratkan bagimu tentang (pembagian pusaka) untuk anak-anakmu, yaitu
bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak

46
47

Abu Umar Basyir, Warisan, (Solo, Rumah Dzikir, 2006)hal 28
Rifa’I, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang : PT. Karya Toha Putra,1978) hal 513

23

24


perempuan”. (S.An-Nisa, ayat 11).Dengan demikian, istilah faraidh, fardu, dan waris
lebih dikenal di masyarakat, terutama diindonesia.
Waris adalah ilmu yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah
meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, dan berlaku sesuai dengan kaedah
hukum Islam misalnya cara pembagiannya48.
Al-mirats, dalam bahasa arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata
waritsa-yaritsu irtsan-miiraatsan. Makanya menurut bahasa adalah “ berpindahnya
sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya kepada hal-hal yang berkaitan
dengan harta, tetapi mencakupi harta benda dan non harta benda. Sedangkan makna
al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah perpindahan hak
kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masuh hidup, baik
yang yang ditinggalkan itu berupa harta (uang) tanah,atau apa saja yang berupa hak
milik legal syar’i49.
Dasar hukum waris Islam diantaranya adalah :
1. Sebahagian besar dari Al-Qur’an.
2. Sebahagian dari As-Sunnah dan putusan-putusan Rasul.
3. Sebahagian kecil dari Ijma’.
4. Beberapa masalah diambil dari Ijtihad sahabat.


48

http://eightiswordpress.com.ilmu –waris-pandangan –tentang-waris.2013, diakses tanggal 7

juni 2014.
49

Ibid

25

Ahli waris merupakan orang-orang yang karena sebab-sebab, keturunan,
perkawinan/perbudakanberhak mendapatkn bagian dari harta pusaka orang yang
meninggal dunia.Dari sisi hubungan kekeluargaan terdapat dua macam perbedaan
status hak waris yaitu50.
a. Ahli waris : keluaraga yang saling mewarisi.
b. Ulul arhaam : mempunyai hubungan keluarga, tapi tidak saling mewarisi
langsung, atau dengan kata lain, dia mewarisi jika tidak ada golongan ahli
waris.

Adapun pengertian waris diantaranya adalah orang yang menerima atau
memiliki hak warisan dari tirkah (harta peninggalan), orang yang meninggal dunia
(pewaris).Untuk berhaknya dia menerima harta warisan itu diisyaratkan dia telah dan
hidup saat terjadinya kematian pewaris. Dalam hal ini termasuk pengertian ahli waris
janin yang telah hidup dalam kandungan. Meskipun kepastian haknya baru ada
setelah ia lahir dalam keadaan hidup. Hal ini juga berlaku terhadap seseorang yang
belum pasti kematiannya. Tidak semua alhi waris mempunyai kedudukan yang sama.
Melainkan mempunyai tingkatan yang berbeda-beda secara tertib sesuai dengan
hubungannya dengan orang yang meninggal dunia51.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa waris merupakan
ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang ketentuan-ketentuan harta pusaka bagi
ahli waris dan mengatur tentang apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan
50

http://ukhwahislah.blogspot.com.kumpulan-makalah-artikel-ah-waris.2013, diakses tanggal
8 juni 2014
51
Ibid

26


seseorang yang meninggal dunia. Demikian pula dalam Al-Qur’an dan Hadits
terdapat ketentuan-ketentuan pembagian warisan secara rinci dan jelas.Apabila ada
perintah dalam Al-Qur’an atau Hadits dengan nas yang sarih, maka hukum
melaksanakannya adalah wajib, selama tidak ada dalil nas yang menunjukkan
ketidakwajibannya sebagaimana qaidah ushul fiqih52.
2.

Syarat-syarat dan Rukun Waris
Menurut istilah didalam Islam syarat-syarat adalah bentuk jamak dari syarth

‘syarat’ diartikan juga sebagai ‘pasukan yang menjaga dengan tanda’ karena mereka
mempunyai tanda yang mereka ketahui. Namun ada beberapa syarat yang dipenuhi
dalam waris islam. Oleh karena itu persoalan waris memerlukan syarat-syarat sebagai
berikut53.
a. Orang yang mewariskan (muwaris) bener telah meninggal dunia dan dapt
dibuktikan secara hukum bahwa ia telah meninggal. Ini berarti bahwa apabila
tidak ada kematian, maka tidak ada pewarisan. Pemberian atau pembagian
harta kepada keluarga pada masa hidupnya, tidak termasuk ke dalam kategori
waris mewarisi, tetapi pemberian atau pembagian ini disebut Hibah.

b. Orang yang mewarisi (ahli waris atau waris) hidup pada saat orang yang
mewariskan meninggal dunia dan bisa dibuktikan secara hukum. Termasuk
dalam pengertian hidup disini adalah anak (embrio) yang hidup dalam
kandungan ibunya pada saat orang yang mewariskan meninggal dunia, dan

52

Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,2012)hal 50

53

bid, hal 71-72

27

orang yang menghilang dan tidak diketahui tentang kematiannya, dalam hal
ini perlu adanya keputusan hakim yang mengatakan bahwa ia masih hidup.
c. Ada hubungan pewarisan antara orang yang mewariskan dengan orang yang
mewarisi, yaitu hubungan nasab (keturunan, kekerabatan)baik pertalian garis
lurus keatas (Ushul al-Mayyit), seperti ayah, kakek dan lainnya atau pertalian

lurus kebawah (furu’al Mayyit) seperti anak, cucu. Hubungan pernikahan
yaitu seseorang dapat mewarisi disebabkan menjadi suami atau istri dari orang
yang mewariskan, hubungan perbudakan (wala), yaitu seseorang berhak
mendapatkan

warisan

dari

bekas

budak

yang

dimerdekakannya

(dibebaskannya), dan terakhir karena hubungan agama Islam, yaitu apabila
seorang meninggal dunia tidak meninggalkan orang yang mewarisi, maka
hartanya akan diserahkan kepada Baitul Mal (perbendarahaan negara Islam)

untuk dimanfaatkan bagi kemaslahatan umat Islam54.
Ada juga pendapat yang mengatakan syarat-syarat waris adalah sebagai
berikut55:
1. Matinya orang yang mewariskan, kematian orang yang mewariskan, menurut
ulama dibedakan menjadi 3 (tiga) bagian: Mati hakiki (sejati), Mati hukmy(
menurut putusan hakim), Mati taqdiry (menurut perkiraan).
2. Ahli waris yang hidup, baik secara hakiki maupun hukmy setelah kematian si
mayit, sekalipun hanya sebentar , memiliki hak atas harta waris.

54
55

Ibid, hal 71-72
Ibid, hal 73-78

28

3. Mengetahui sebab-sebab yang mengikat ahli waris setelah kematian si mayit ,
dilakukan dengan pengujian, pendeteksian dan kesaksian dua orang yang adil.
Rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan bagian harta

waris tidak akan ditemukan bila tidak ada rukun-rukunya, rukun-rukun untuk
mewarisi ada tiga yaitu56:
a. Al-Muwarits, yaitu orang yang meninggal dunia atau mati baik mati hakiki
maupun mati hukmy, suatu kematian yang dinyatakan oleh keputusan hakim
atas dasar beberapa sebab, kendati sebenarnya ia belum mati, yang
meninggalkan harta atau hak.
b. Al-Warits, yaitu orang hidup atau anak dalam kandungan yang mempunyai
hak mewarisi, meskipun dalam kasus tertentu akan terhalang.
c. Al-Mauruts, yaitu harta benda yang menjadi warisan, sebagian ulama faraidh
menyebutnya dengan mirats, Termasuk dalam kategori warisan adalah hartaharta atau hak-hak yang mungkin dapat diwariskan, seperti hak qishash
(perdata), hak menahan barang yang belum dilunasi pembayarannya, dan hak
menahan barang gadaian.
Pendapatlain mengelompokkan rukun waris sebagai berikut57 :
1. Yang mewariskan, yaitu orang yang meninggal dunia atau dianggap telah
meninggal dunia, seperti orang hilang.

56

Addys aldizar, Fathurrahman,Hukum Waris (Jakarta : Cv. Kuwais Media Krasindo,
2001)hal 28-29

57
Ibid, hal 27

29

2. Ahli waris, yakni yang berhak untuk menguasai atau menerima harta
peninggalan yang meninggal dunia dikarekan adanya ikatan kekerabatan
(nasab), ikatan pernikatan, atau yang lainnya. Ahli waris harus masih
hidup atau yang dianggap setara dengan yang hidup, seperti janin dalam
kandungan, mereka berhak terhadap harta warisan, meskipun bisa saja
tidak diperbolehkan mengambilnya, karena adanya penghalang.
3. Harta warisan yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan
yang meninggal dunia, baik berupa uang, tanah dan sebagainya yang
semuanya itu harus terbebas dari milik orang lain.
3.

Prinsip-prinsip dan Asas Waris
Kewarisan menurut hukum Islam ialah proses pemindahan harta peninggalan

seseorang yang telah meninggal, baik yang berupa benda yang wujud maupun yang

berupa hak kebendaan, kepada keluarganya yang dinyatakan berhak menurut hukum
islam. Maka dalam waris Islam ada prinsip yang mengaturnya adapun prinsip tersebut
dapat disimpulkan yaitu:58 :
a. Waris menempuh jalan tengah antara memberi kebebasan kepada seseorang
untuk memindahkan harta peninggalannya dengan jalan wasiat kepada orang
lain

yang

dikehendaki

seperti

yang

berlaku

dalam

masyarakat

individualis/kapitalis, dan melarang sama sekali pembagian harta peninggalan
seperti yang menjadi prinsip komunisme yang tidak mengakui adanya

58

132-134

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta : UUI Pres Yogyakarta, 2001, hal

30

lembaga hak milik perorangan, yang dengan sendirinya tidak mengenal sistem
kewarisan.
b. Waris merupakan ketetapan hukum yang mewariskan tdak dapat menghalangi
ahli waris dari haknya atas harta peninggalan dan ahli waris berhak atas harta
peninggalan tanpa memerlukan pernyataan menerima dengan sukarela atau
atas putusan pengadilan tetapi ahli waris tidak dibebani melunasi hutang
pewaris dari harta pribadinya.
c. Waris terbatas dalam lingkungan keluarga, dengan adanya hubungan
perkawinan atau pertalian darah.keluarga yang lebuh dekat hubungannya
dengan pewaris lebih diutamakan daripada keluaraga yang lebih jauh.
d. Waris Islam lebih condong untuk membagi harta warisan kepada sebanyak
mungkin ahli waris yang sederajat, dengan menentukan bagian tertentu
kepada bebrapa ahli waris, misalnya jika ahli waris terdiri dari ibu, istri,
seorang anak perempuan dan saudara perempuan kandung, semuanya
mendapat bagian.
e. Waris tidak membedakan hak anak atas harta peninggalan, anak yang sulung,
menengah atau bungsu, telah besar atau atau baru saja lahir, telah berkeluarga
atau belum, semua berhak atas harta peninggalan orang tua.
f. Waris Islam membedakan besar kecil bagian tertentu ahli waris diselaraskan
dengan kebutuhannya dalam kehidupan sehari-hari, disamping memandang
jauh dekatnya hubungan kekeluargaan dengan pewaris.

31

Asas berasal dari bahas arab, yang artinya dasar, alas, fundamen, dan yang
dimaksud dengan asas hukum waris adalah suatu kebenaran yang menjadi pokok
dasar atau tumpuan hukum waris Islam. Asas- asas hukum waris Islam ada 5 (lima)
yaitu, asas Ijbari, asas bilateral, asas individual, asas keadilan berimbang semata
akibat kematian59:
1.

Asas Ijbari
Asas ijbari merupakan peralihan harta seseorang yang telah meninggal kepada

yang masih hidup berlaku dengan sendirinya, yang dalam pengertian hukum Islam
berlaku secara ijbari, kata ijbari secara etimologi mengandung arti paksaan
(compulsory), yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri. Adanya asas ijbari
dalam waris Islam dapat dilihat dari beberapa segi yaitu60 :
a. Segi peralihan harta
Contoh : bagi seorang anak laki-laki ataupun perempuan ada nasib = (bagian,
saham atau jatah dalam bentuk sesuatu yang diterima dari pihak lain), dari
harta peninggalan orang tua dan karib kerabat.
b. Segi jumlah harta beralih
Contoh : sudah ditentukan jumlahnya dan harus dilakukan sedemikian rupa
secara mengikat dan memaksa.
c. Segi kepada siapa harta beralih.

59

Pahing Sembiring, Hukum Islam II Bidang Hukum Waris Islam (Faraidh), (Medan, Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, 2002), hal 4-7
60
Ibid, hal. 5

32

Contoh : orang-orang yang berhak atas harta peninggalan itu sudah ditentukan
secara pasti, hingga tidak ada sesuatu kekuasaan manusia dapat mengubahnya.
2.

Asas Bilateral
Asas bilateral dalam waris Islam berarti seseorang menerima hak kewarisan

dari kedua belah pihak garis kerabat yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan
pihak dan pihak kerabat keturunan perempuan 61 .Asas bilateral dalam kewarisan
mengandung arti bahwa harta warisan beralih kepada atau melalui dua arah, hal ini
berarti bahwa setiap orang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis
kerabat, garis keturunan, laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan. Asas
bilateral ini dapat secara nyata dilihat dalam firman Allah dalam surah An-nisa’ (4) :
7,11,12, dan 176. Dalam ayat 7 dijelaskan bahwa seorang laki-laki berhak mendapat
warisan dari pihak ayahnya dan juga dari pihak ibunya.Ayat ini merupakan dasar bagi
kewarisan bilateral itu.Secara terinci asas bilateral itu dapat dipahami dalam ayat-ayat
selanjutnya62.
1. Anak perempuan berhak menerima warisan dari kedua orang tuanya
sebagaimana yang didapat oleh anak laki-laki dengan bandingan seseorang
anak lak-laki menerima sebanyak yang didapat dua orang anak perempuan.
2. Ibu berhak mendapat warisan dari anaknya, baik laki-laki maupun perempuan.
Begitu pula ayah sebagai ahli waris laki-laki berhak menerima warisan dari

61
62

Fatchur Rahman,Ilmu Waris, (Bandung : Sinar Baru, 2006) hal 112
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta : Prenada, 2004) hal, 20

33

anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan sebesar seperenam bagian,
bila pewaris ada meninggalkan anak .
3.

Asas individu
Waris Islam mengajarkan asas kewarisan secara individual, dengan arti bahwa

harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dilikiki secara perorangan, jadi maksud dari
asas individu adalah keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang
mungkin dibagi-bagi, kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris
berhak atas bagian yang didapatnya tanpa terikat kepada ahli waris yang lain. Hal ini
didasaekan kepada ketentuan bahwa setiap insan sebagai pribadi mempunyai
kemampuan untuk menerima hak dan menjalankan kewajibaan (ahliyatu al wujub)63.
4.

Asas Keadilan Berimbang
Dalam Al-qur’an terdapat kata ‘adlu’ dalam hal hubungan waris dapat

diartikan keseimbangan antara hak dan kewajibandan keseimbangan antara yang
diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Ditinjau dari segi jumlah bagian pada
waktu menerima hak, memang terdapat ketidaksamaan, tetapi hal tersebut bukanlah
tidak adil , kkarena keadilan tidak hanya diukur dengan pendapatan waktu menerima
hak tetapi juga dikaitkan dengan kegunaan dan kebutuhan64.
5.

Asas Kewarisan Semata Akibat Kematian
Waris Islam menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain

dengan nama kewarisan berlaku sesudah meninggalnya yang mempunyai harta, asas

63
64

Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta :Sinar Grafika, 2001) hal 76
Ibid, hal 77

34

ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain secara
kewarisan selama yang mempunyai masih hidup65.
4.

Jenis-jenis Ahli Waris
Antara ahli waris yang satu dengan yang lainnya mempunyai perbedaan

tingkat dan urutannya.Artinya, warisan itu diberikan terlebih dahulu kepada tingkat
pertama, dan bila tidak ada, baru kepada yang selanjutnya.Yang termasuk golongan
pertama itu adalah66.
a. Ash-Haabul furuudh.Golongan ini lah yang pertama diberi bagian harta
warisan, mereka adalah orang-orang yang telah ditentukan bagiannya dalam
Al-Qu’an, As-Sunnah, dan Ijma’.
b. Ashabaat

nasabiyah.Setelah

Ash-Haabul

furuudh,

barulah

giliran

Ashabaatnasabiyah menerima bagian.‘Ashabaat nasabiyah yaitu setiap
kerabat (nasab) mayit yang menerima sisa harta warisan yang telah dibagikan,
bahkan, jika tidak ada ahli waris lainnya, ia berhak mengambil seluruh harta
peninggalan.Contohnya anak laki-laki yang meninggal dunia, cucu dari anak
laki-laki, dan saudara kandung.
c. Penambahan Jatah Bagi as-haabull furuudh sesuai bagian (kecuali suami
istri), Apabila harta warisan yang telah dibagikan kepada semua ahli warisnya
masih juga tersisa, hendaknya diberikan kepada ashahabul furuudh, masingmasing sesuai dengan bagian yang telah ditentukan.Adapun suami atau istri

65
66

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta : Prenada, 2004) hal 24
Abu Umar Basyir, Warisan, (Solo, Rumah Dzikir, 2006) hal 40

35

tidak berhak menerima tambahan bagian dari sisa harta yang ada.Sebab hak
waris bagi suami atau istri disebabkan adanya nasab lebih utama mendapatkan
tambahan dibandingkan lainnya67.
d. Uulul arhaam (kerabat),Yang dimaksud dengan kerabat disini adalah kerabat
mayit yang masih memiliki kaitan rahim, tidak termasuk ash-haabul furuudh
juga ashabah.Contohnya paman (saudara ibu), bibi (saudara ibi), bibi (saudara
ayah), cucu laki-laki dari anak perempuan, dan cucu perempuan dari anak
perempuan.Bila yang meninggal tidak mempunyai kerabat sebagai ash-haabul
furuudh maupun ‘ashabah, maka para kerabat yang masih punya ikatan rahim
dengannya berhak mendapatkan warisan68.
e. Tambahan hak waris bagi suami atau istri, bila pewaris tidak mempunyai ahli
waris yang termasuk ash-haabul furuudh, ‘asahabah, maupun kerabat yang
memiliki ikatan rahim,maka harta warisan tersebut seluruhnya menjadi milik
suami atau istri, contohnya seorang suami meninggal tanpa memiliki kerabat
yang berhak untuk mewarisi, maka istri mendapatkan bagian seperempat dari
harta warisan, sedangkan sisanya merupakan tambahan hak warisnya, dengan
demikian istri, dalam kondisi demikian, memiliki sekuruh harta peninggalan
suaminya. Begitu juga sebaliknya suami terhadap harta peninggalan istri yang
meninggal69.

67

Ibid, hal, 41
Ibid, hal 42
69
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, ( Yogyakarta : UII Yogyakarta, 2001) hal 38
68

36

f. ‘Ashabah karena sebab.Ada beberapa bentuk yang disebut dengan ‘ashabah
karena sebab yaitu:
Pertama, orang-orang yang memerdekakan budak (baik budak laki-laki
maupun

budak

perempuan).Contohnya

bekas

budak

meninggal

dan

mempunyai harta warisan, maka orang yang pernah memerdekakannya
termasuk salah satu ahli warisnya, posisinya sebagai ashabah.Tetapi pada
masa kini sudah tidak ada lagi.
Kedua, orang yang diberi wasiat lebih dari sepertiga harta warisan, yang
dimaksud disini adalah orang lain, artinya bukan salah seorang ahli waris,
contohnya, seseorang meninggal maka ia memberiakan hartanya kepada orang
lain yang bukan termasuk ahli warisnya70.
Menurut pendapat Hanafi dan Hambali boleh memberikan seluruh harta
warisan bila memang wasiatnya demikian.Adapun jenis-jenis ahli waris yang
mendapat warisan menurut fikih Islam adalah orang yang mempunyai hubungan
pewarisan dengan orang yang mewariskan yaitu kekerabatan yang didasarkan pada
hubungan nasab/keturunan, perkawinan, perbudakan dan seagama Islam.Secara
umum ahli waris dapat dikelompokkan yaitu ahli waris sababiyah dan ahli waris
nasabiyah71.

70
71

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, ( Yogyakarta : UII Yogyakarta, 2001) hal 38
Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan, (Jakarta, PT.Raja Grafindo,2012) hal 71

37

1. Ahli waris sababiyah adalah orang yang berhak mendapatbagian harta
warisan, karena adanya sebab, yaitu adanya akad perkawinan, sehingga antara
suami dan istri mempunyai hubungan salin mewarisi.
2. Ahli waris nasabiyah ialah orang yang berhak memperoleh harta warisan
karena ada hubungan nasab, (hubungan darah/keturunan). Ahli waris
nasabiyah ini dapat dibedakan tiga jenis, yaitu furu’ al-mayyit, usul al-mayyit
dan al-hawasyi.
a. Furu’ al-mayyit, yaitu hubungan nasab menurut garis lurus keturunan
kebawah, yang termasuk kedalamnya adalah anak laki-laki, anak
perempuan, anak dari laki-laki (cucu laki-laki atau cucu perempuan) dan
seterusnya kebawah keturunan laki-laki.
b. Usul al-mayyit, yaitu ahli waris yang merupakan asal keturunan dari orang
yang mewariskan atau hubungan nasab garis keturunan ke atas. Mereka ini
ialah ayah, ibu, ayah dari ayah atau ibu dari ibu (nenek dari pihak ayah atau
nenek dari pihak ibu).
5.

Kedudukan Waris dalam Fiqih Islam
Masalah harta pusaka sering menjadi sumber

sengketa dalam keluarga,

terutama untuk menentukan siapa-siapa yang berhak dan yang tidak berhak mendapat
warisan yang pada gilirannya bisa menimbulkan keretakan keluarga. Menurut salah

38

satu pihak dianggap sudah adil sedang menurut pihak lain masih menganggap tidak
adil. Keadilan menurut pemikiran manusia sangat subjektif72.
Keadilan syari’at Islam mengangkat kedudukan wanita, baik dalam kehidupan
keluarga maupun di dalam masyarakat, demikian juga anak-anak dan orang tua yang
tidak mampu lagi berperang. Syaria’t Islam memandang bahwa waris Islam adalah
suatu ilmu yang vital, dan hukum yang mempelajarinya adalah fardhu kifayah,
sebagaimana dalam hadits riwayat ibnu Majah : “ pelajarilah ilmu Faraidh dan
ajarkanlaj kepada orang lai, sesungguhnya ilmu ini adalah setengah dari semua
ilmu, dan ilmu inilah yang pertama sekali kelak tercabut dari umatku (tidak
diamalkan lagi).”(HR. Ibnu Majah dan Daru Quthni)73.
Kemajuan

dan

perkembangan

zaman

merupakan

tantangan

dalam

mengamalkan hukum waris Islam. Berbeda dengan tata aturan pembagian harta
pusaka dalam masyarakat arab sebelum Islam, mereka mendasarkan pembagian harta
pusaka dengan pemikiran tradisional yang tidak rasional. Mereka membatasi
penyebab seseorang mendapatkan harta pusaka.
Ketentuan hukum waris tidak dapat dipesahkan dengan hukum perkawinan.
Paling tidak dapat dikemukakan dua alas an yaitu pertama, penentuan ahli waris
dimulai dari adanya perkawinan. Oleh karena itu janda atau duda adalah ahli waris,
demikian juga hasil perkawinan berupa anak keturunan mereka adalah ahli
waris.Kedua, penentuan harta waris didasarkan pada separuh harta berama yang

72
73

Ibid, hal, 52
Ibid,hal, 54

39

diperoleh selama perkawinan, ditambah dengan harta bawaan. Dalam hubungan
dengan hal ini bahwa hukum waris itu merupakan campuran antara bidang yang
dinamakan hukum kekayaan dan hukum kekeluargaan74.
Waris Islam atau dikenal dengan Ilmu Faraid, atau fiqih mawaris merupakan
ilmu yang sangat penting.Oleh karena itu Allah sendiri dan secara langsung mengatur
bagian-bagian faraidh.Hukum waris langsung menyangkut harta benda yang apabila
tidak diberikan ketentuan pasti, amat mudah menimbulkan sengketa diantara ahli
waris.Setiap terjadi peristiwa kematian seseorang segera timbul pertanyaan
bagaimana harta peninggalannya harus diperlukan dan kepada siapa saja harta itu
dipindahkan, serta bagaimana caranya.Inilah yang diatur dalam hukum waris.
Sedemikian pentingnya kedudukan waris dalam hukum Islam sehingga hadits Nabi
riwayat Ahmad bin Hambal memerintahkan :“Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah
kepada orang banyak, pelajari pula faraid dan ajarkanlah kepada orang banyak
karena aku adalahmanusia yang pada suatu ketika mati dan ilmu pun akan hilang :
hamper-hampir dua orang bersengketa dalam faraid dan masalahnya dan mereka
tidak menjumpai orang-orang yang memberi tahu bagaimana penyelesaiannya”.
B. Takharuj dalam Hukum Waris Islam
1. Pengertian Takharuj
Takharuj adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh para ahli waris untuk
mengundurkan (mengeluarkan) salah seorang ahli waris dalam menerima bagian
pusaka dengan memberikan suatu prestasi, baik prestasi tersebut berasal dari harta
74

AhmadAzharBasyir, Op, Cit, hal 3

40

milik orang yang pada mengundurkannya, maupun berasal dari harta peninggalan
yang bakal dibagi-bagikan75.
Kitab Undang-undang Hukum Warisan Mesir membenarkan takharuj, dalam
pasal terakhir, pasal 48, dari Kitab Undang-undang tersebut dijelaskan tentang
defenisi76,takharujyang berbunyi “Takharujialah perdamaian para ahli waris untuk
mengeluarkan sebagian mereka dari mempusakai dengan suatu yang sudah maklum,
apabila salah seorang ahli waris bertakharuj dengan seorang ahli waris yang lain,
maka bagiannya dihaki dan tempatnya dalam mempusakai harta peninggalan. Dan
apabila seorang ahli waris bertakharuj dengan ahli-ahli waris lainnya, jika sesuatu
yang diserahkan itu, diambil dari harta peninggalan, maka bagiannya dibagi antar
mereka menurut perbandingan bagian mereka dalam harta peninggalan.Dan jika
sesuatu yang diserahkan itu diambil dari harta mereka dan di dalam perjanjian
takharuj tidak diterangkancara membagi bagian orang yang keluar maka bagian
tersebut dibagi antar mereka dengan sama rata”.
2. Jenis-jenis Takharuj dan Cara Membagikannya.
Perjanjian takharuj mempunyai tiga jenis atau bentuk yaitu77 :
a. Seorang ahli waris mengundurkan seorang ahli waris yang diambilkan dari
miliknya sendiri. Oleh karena itu ia telah memberikan suatu prestasi kepada
ahli waris yang diundurkan, ia berhak menerima tegenprestasi yang diberikan
oleh orang yang diundurkan, yang berupa bagian dari harta peninggalan yang
75

FatchurRahman, Ilmu Waris, (Bandung, PT. Al-Ma’rif, 1975) hal 468-469.
Ibid
77
Ibid
76

41

semestinya akan diterima. Pihak pertama telah membeli bagian warisan pihak
kedua dengan sejumlah uang yang telah ia serahkan. Disamping mendapat
saham atau bagian yang diterimanya, juga memperoleh bagian orang yang
telah mengundurkan diri.
Ketentuan-ketentuan dalam menyelesaikan pembagian harta peninggalan yang
di dalamnya terdapat perjanjian takharuj jenis I ini ialah :
1. Hendaklah dicari dulu berapa saham atau penerimaan masing-masing ahli
waris, termasuk juga saham pihak yang diundurkannya.
2. Pihak yang diundurkan (mutakharaj), harus dianggap dan diperhitungkan
sebagai ahli waris yang maujud yang harus dicari besar kecilnya saham
yang seharusnya diterima.
3. Kemudian saham pihak yang diundurkan tersebut dikumpulkan
(ditambahkan) kepada saham pihak yang mengundurkannya.
4. Besarnya asal masalah dalam pembagian harta pusaka sebelum terjadinya
takharuj tetap dipakai sebagai asal masalah dalam pembagian harta
pusaka setelah terjadinya perjanjian takharuj.
b. Beberapa orang ahli waris mengundurkan seorang ahli waris dengan
memberikan prestasi yang diambilkan dari harta peninggalan itu sendiri. Jenis
perjanjian takharuj yang II ini merupakan jenis atau bentuk yang sangat
umum dan banyak terjadi dalam pembagian harta pusaka dari pada jenis-jenis
yang lain. Setelah sempurna perjanjian takharuj ini dipenuhi, maka pihak yang
diundurkan segera memiliki prestasi yang diberikan oleh pihak yang

42

mengundurkannya dan mereka menerima seluruh sisa harta peninggalan
setelah diambil jumlah tertentu yang diberikan kepada pihak yang
diundurkannya. Jumlah tersebut mereka bagi bersama sesuai dengan
perbandingan saham mereka masing-masing.
Dalam perjanjian takharuj jenis ke II ini, yakni yang prestasinya diambilkan
dari sebagian harta peninggalan itu sendiri berlaku ketentuan-ketentuan
pembagiannya sebagai berikut 78:
1. Sisa harta peninggalan setelah diambil sebanyak yang dijadikan prstasi
terhadap pihak yang diundurkan, dibagi antar para ahli waris menurut
perbandingan saham mereka masing-masing sebelum terjadi perjanjian
takharuj.Saham-saham mereka kemudian dijumlah untuk dijadikan asal
masalah baru, sebagai pengganti asal masalah yang lama yang harus
ditinggalkan.
2. Pihak yang telah diundurkan , walaupun telah menerima sejumlah prestasi
tertentu, tetap diperhitungkan bagiannya dalam memeperhitungkan bagian
para ahli waris yang mengundurkan, sebab kalau tidak demikian maka
hasil dari penerimaan para ahli waris akan berlainan dan berlawanan
dengan ijma’.
c. Beberapa orang ahli waris mengundurkan seorang ahli waris dengan
memeberikan prestasi yang diambilkan dari harta milik mereka masingmasing secara urunan. Dalam hal ini orang yang mengundurkan diri atau
78

Ibid

43

diundurkan oleh ahli waris seolah-olah telah menjual haknya terhadap harta
peninggalan dengan sejumlah prestasi yang telah diberikan oleh ahli waris
yang pada mengundurkannya, dan akibatnya seluruh harta peninggalan untuk
mereka semuanya.
Besar kecilnya urunan (iuran) yang harus dibayar oleh masing-masing mereka
yang mengundurkan , adalah menurut yang telah mereka kesepakati. Dalam
hal ini mempunyai tiga corak yaitu :
1. Setiap ahli waris yang mengundurkan membayar sejumlah uang menurut
perbandingan saham mereka masing-masing. Misalnya jumlah yang
digunakan untuk bertakharuj Rp. 12.000,-. Mereka yang mengundurkan
terdiri dari anak perempuan, ibu dan ayah, yang fardhnya ialah 1/2, 1/6
dan 1/6+ ‘ushubah. Dengan demikian perbandingan saham mereka
masing-masing sama dengan 1/2 : 1/6 : 1/6 + U = 3 : 1 : (1+1) = 3 : 1 : 2.
Jadi anak perempuan harus membayar 3/6 x Rp. 12.000,- = Rp. 6.000,-.
Ibu harus membayar 1/6 x Rp. 12.000,- = Rp. 2.000,- dan ayah harus
membayar 2/6 x Rp. 12.000,- = Rp. 4.000,-.
2. Setiap ahli waris yang mengundurkan membayar sejumlah uang yang
sama besarnya, tanpa memperhatikan bagia mereka masing-masing.
3. Setiap pihak telah ditentukan minimal dan maksimal yang harus mereka
bayar mengingat saham yang mereka terima.

44

Ketentuan-ketentuan dalam perjanjian dalam jenis ke III ini ialah79 :
a. Takharuj tidak mempengaruhi terhadap besarnya asal masalah semula.
Yakni besarnya asal masalah dalam pembagian harta pusaka sebelum
terjadinya takharuj dapat dijadikan asal masalah dalam pembagian
harta pusaka setelah terjadinya takharuj, karena asal masalahnya tidak
berubah.
b. Ahli waris yang diundurkan, dalam pembagian harta pusaka kepada
ahli waris yang mengundurkan diri, dianggap tidak ada.
c. Dalam membagikan harta pusaka kepada mereka yang mengundurkan
dir, mengingat corak-corak cara pembayarannya ditentukan sebagai
beriku :
1. Dalam pembayaran corak pertama, maka pembagian kepada para
ahli waris yang mengundurkan diri adalah sebagai pembagian
dalam jenis takharuj II yaitu seluruh harta peninggalan dibagi
kepada mereka menurut perbandingan saham mereka masingmasing, kemudian dalam membagikan bagian orang yang
diundurkan-pun demikian hendaknya.
2. Dalam pembayaran corak kedua, maka bagian orang yang
diundurkan dibagi sama rata. Demikian juga jika dalam perjanjian
takharuj tersebut tidak diterangkan cara-cara pembagian bagian
orang yang diundurkan, maka pembagiannya harus disama ratakan.
79

Ibid

45

Sebab ketiadaan diterangkan cara-cara tersebut, menunjukkan atas
kerelaan masing-masing untuk dibagi secara sama-rata. Kalau
tidak demikian tentunya mereka pada membuat ketentuanketentuan baik mengenai jumlah yang harus dibayar, maupun
bagaimana cara pembagiannya.
3. Dalam pembayaran corak ketiga, yaitu yang pembayarannya tidak
menurut perbandingan saham mereka dalam mempusakai atau
tidak sama banyak, maka pembagian bagian orang yang
diundurkan hendaknya menurut perbandingan jumlah besarkecilnya uang yang telah mereka bayarkan demi untuk
melaksanakan keadilan dan menyesuaikan kaidah80.
3.

Tata Cara atau Prosedur Ahli Waris Mengundurkan Diri
Adapun prosedur penerimaan perkara harta warisan, sama dengan perkara

lainnya, seperti perkara perceraian, baik yang diajukan oleh seorang istri maupun
yang diajukan oleh seorang suami dan perkara harta bersama, yaitu81:
a. Para pihak datang ke Pengadilan Agama menyerahkan surat gugatan kepada
petugas meja Surat gugatan yang diserahkan sebanyak jumlah pihak ditambah
tiga rangkap untuk majelis hakim yang ditunjuk menangani perkara yang
bersangkutan.

80

Ibid
http://harijahdamis.blogspot.com/2012/07/al-takharruj-dan-praktik-pembagian.html, diakses
tanggal 5 November 2014.
81

46

b. Petugas meja II melengkapi berkas dan menulis dalam buku register induk
gugatan, lalu menyerahkan kepada ketua Pengadilan Agama untuk ditetapkan
majelis hakim yang menangani perkara tersebut dengan terlebih dahulu
melalui wakil panitera dan panitera.
c. Paling lambat dua hari kerja, ketua Pengadilan Agama menetapkan majelis
hakin yang akan menangani perkara tersebut.
d. Majelis hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang pertama, dengan
memerintahkan jurusita untuk memanggil para pihak berperkara datang
menghadiri sidang pada hari yang telah ditentukan atau pada hari sidang
pertama.
e. Pada hari sidang pertama, majelis hakim mengarahkan kepada para pihak
bersengketa untuk menempuh proses mediasi dan untuk kepentingan itu
majelis hakim menunda sidang. Proses mediasi di Pengadilan Agama
umumnya dipimpin oleh mediator dari kalangan hakimyang dipilih oleh para
pihak yang berperkara/bersengketa karena belum ada pihak

luar yang

memenuhi syarat menjadi mediator Tenggang waktu yang diberikan kepada
mediator untuk melaksanakan proses mediasi adalah selama empat puluh hari,
dan dapat ditambah lima belas hari lagi jika dibutuhkanMediator yang
memimpin upaya perdamaianwajib mendorong para pihak untuk menelusuri
dan menggali kepentingan para pihak dan mencari berbagai pilihan
penyelesaian terbaik bagi para pihak yang bersengketa.

47

Apabila terjadi perdamaian,

mediator merumuskan isi

kesepakatan-

kesepakatan para pihak yang bersengketa dan dibuat akte perdamaian. Setelah akte
perdamaian selesai dan dibacakan kepada para pihak, mediator melaporkan hasil
kesepakatan yang telah dibuat kepada majelis hakiim yang menangani perkara
tersebut.Majelis hakim yang menerima laporan perdamaian dari mediator,
membacakan hasil perdamaian yang telah dilaporkan dan dimasukkan dalam putusan
akhir82.
Adapun wujud pelaksanaan pembagian harta warisan secara damai oleh
majelis hakim yang menangani perkara dimaksud adalah:
a. Setelah majelis hakim menerima laporan dari mediatorbahwa proses mediasi
tidak berhasil mendamaikan para pihak, pada sidang yang telah ditetapkan
majelis hakim berupaya mendamaikan pihak yang berperkara sebelum
memasuki pemeriksaan pokok perkara.
b. Apabila terjadi kesepakatan atau perdamaian oleh majelis hakim, perdamaian
itu dimasukkan dalam putusan akhir majelis hakim tersebut.
c. Amar putusan majelis hakim menghukum para pihak untuk menaati
perdamaian yang telah disepakati.
Untuk wujud pembagian harta warisan di luar sengketa adalah83:
1.

Para ahli waris mendaftarkan permohonan pertolongan pembagian harta
warisan pada petugas yang telah ditunjuk di bagian meja I.

82
83

Ibid
Ibid

48

Pendaftaran permohonan tersebut oleh meja I dicatat dalam buku
pendaftaran secara khusus, yakni buku register Permohonan Pertolongan
Pembagian Harta Peninggalan di luar sengketa (P3HP) yang terpisah
dengan buku register perkara gugatan maupun permohonan secara umum.
2.

Ketua Pengadilan Agama menentukan hari pertemuan para ahli waris
untukupaya pembagian harta warisan berdasarkan hukum kewarisan
Islam.

3.

Setelah terjadi pembagian harta warisan berdasarkan hukum kewarisan
Islam, dibuat akta komparisi (akta keahliwarisan).

4.

Akta komparisi menjadi bukti telah terjadi pembagian harta warisan di
luar sengketa melalui pertolongan ketua Pengadilan Agama.

Secara substansi, pembagian harta warisan dengan metode al-takharuj sama
dengan praktik pembagian harta warisan secara damai di Pengadilan Agama yang
menjadi obyek penelitian penulis. Sisi persamaannya adalah

pembagian harta

warisan secara damai berdasarkan perinsip musyawarah. Para ahli waris
bermusyawarah dan bersepakat tentang bagian masing-masing ahli waris. Pembagian
harta warisan dalam bentuk ini berdasarkan keinginan para ahli waris yang telah
disepakati secara bersama-sama.
Selain itu, tujuan takharuj maupunpembagianharta warisan secara damai di
Pengadilan Agama adalah untuk kemaslahatan para ahli waris.Hal tersebut sejalan
dengan kaidah pikih, Kaidah fikih tersebut menjelaskan bahwa apabila sesuatau
perbuatan hukum menghasilkan kemaslahatan, disanalah hukum Allah.Hakikat

49

maslahat adalah segala sesuatu yang mendatangkan keuntungan dan menjauhkan dari
bencana.Dalam pandangan ahli ushul maslahat adalah memberikan hukum syara’
kepada sesuatu yang tidak terdapat dalam nashdan

ijma’atas dasar memelihara

kemaslahatan.Kemaslahatan yang dihasilkan dari pembagian harta warisan secara
damai adalah84:
1. Persengketaan antara ahli waris bisa berakhir. Berakhirnya persengketaan
ahli waris, berarti merajut dan terjalin hubungan silaturrahim antara ahli
waris.
2. Menghindari konplik keluarga yang berkelanjutan. Apabila sengketa warisan
berlanjut, sepanjang itu pula konplik akan mewarnai kehidupan para ahli
waris yang sedang bersengketa, bahkan konflik keluarga dapat berlanjut
kepada keturunan masing-masing, karena bibit permusuhan akan menurun
kepada keturunan masing-masing.
3. Harta warisan segera terbagi dan dapat dinimakti oleh semua ahli waris
dengan segera, dapat dimanfaatkan untuk kepentingan keluarga dan memberi
kebahagian bagi kehidupan keluarga karena untuk mewujukkan rumah tangga
yang bahagia, salah satu harus ditopang oleh harta yang cara perolehannya
dengan jalan yang halal, dan hal itu pula menjadi tujuan pewaris yang
berjuang dalam kehidupannya memperoleh harta untuk dinikmati anak
keturunannya, bukan untuk dipertentangkan dan melahirkan silang sengketa.

84

juni 2014.

http://eightiswordpress.com.ilmu –waris-pandangan –tentang-waris.2013,diaksestanggal 7

50

Namun demikian, dalam praktik pembagian harta warisan secara damai pada
Pengadilan Agama yang menjadi obyek penelitian penulis ditemukan perbedaanperbedaan dengan teori takharruj, sehingga ada beberapa hal yang perlu disebutkan
pada pasal-pasal perdamaian pembagian harta warisan yang tentunya atas petunjuk
dan arahan mediatar maupun majelis hakim yang menanganai perkara yang
bersangkutan. Hal-hal yang perlu dilengkapi sebagai berikut:
1. Terlebih dahulu terdapat pasal yang menyebut kedudukan dan besar bagian
masing-masing ahli waris berdasarkan hukum kewarisan Islam.
2. Apabila dalam pembagian yang disepakati terdapat ahli waris yang menerima
kurang dari porsi bagiannya, misalnya untuk anak laki-laki dan perempuan
disepakati menerima bagian yang sama besar,

harus ada pernyataan rela

menyerahkan bagiannya kepada ahli waris lain. kerelaan adalah syarat dalam
trasanksi bermuamalah, termasuk muamalah pembagian harta warisan.
Penyebutan kedudukan dan besarnya porsi bagian masing-masing ahli waris
dalam akta perdamaian merupakan

salah satu bentuk sosialisasi tentang hukum

kewarisan Islam, sekaligus realisasi pelaksanaan perintah untuk memepelajari dan
mengajarkan hukum kewarisan Islam. Putusan hakim khususnya perkara warisan
paling tidak dibaca oleh pihak yang bersengketa, sehingga yang membacanya dapat
memahami kedudukan dan bagianya dalam hukum kewarisan Islam.
4. Tata Cara Pelaksanaan Takharuj
Apabila salah seorang ahli waris ada yang menyatakan mengundurkan diri,
atau menyatakan hanya akan mengambil sebagian saja dari hak warisnya, maka ada

51

dua cara yang dapat menjadi pilihannya. Pertama, ia menyatakannya kepada seluruh
ahli waris yang ada, dan cara kedua, ia hanya memberitahukannya kepada salah
seorang dari ahli waris yang ditunjuknya dan bersepakat bersama85
Cara pertama: kenalilah pokok masalahnya, kemudian keluarkanlah bagian
ahli waris yang mengundurkan diri, sehingga seolah-olah ia telah menerima
bagiannya, dan sisanya dibagikan kepada ahli waris yang ada. Maka jumlah sisa
bagian yang ada itulah pokok masalahnya.Sebagai contoh, seseorang wafat dan
meninggalkan ayah, anak perempuan, dan istri. Kemudian sebagai misal, pewaris
meninggalkan sebuah rumah, dan uang sebanyak Rp 42.000.000,-(empat puluh dua
juta rupiah). kemudian istri menyatakan bahwa dirinya hanya akan mengambil
rumah, dan menggugurkan haknya untuk menerima bagian dari harta yang berjumlah
Rp 42.000.000,-(empat puluh dua juta). Dalam keadaan demikian, maka warisan
harta tersebut hanya dibagikan kepada anak perempuan dan ayah.Lalu jumlah bagian
kedua ahli waris itulah yang menjadi pokok masalahnya. Rincian pembagiannya
seperti berikut:Pokok masalahnya dari dua puluh empat (24), kemudian kita
hilangkan (ambil) hak istri, yakni seperdelapan dari dua puluh empat, berarti tiga (3)
saham. Lalu sisanya (yakni 24 - 3 = 21) merupakan pokok masalah bagi hak ayah dan
anak perempuan.Kemudian dari pokok masalah itu dibagikan untuk hak ayah dan
anak perempuan. Maka, hasilnya seperti berikut:
Nilai per bagian adalah 42.000.000: 21 = 2.000.000
Bagian anak perempuan adalah 12 x 2.000.000 = 24.000.000
85

http://media.isnet.org/islam/Waris/Takharuj.html, diakses tanggal 10 Oktober 2014

52

Bagian ayah

9 x 2.000.000 = 18.000.000

Total = 24.000.000 + 18.000.000 = 42.000.000
Cara

kedua:

apabila

salah

seorang

ahli

waris

menyerahkan

atau

menggugurkan hakuya lalu memberikannya kepada salah seorang ahli waris lainnya,
maka pembagiannya hanya dengan cara melimpahkan bagian hak ahli waris yang
mengundurkan diri itu kepada bagian orang yang diberi. Misalnya, seseorang wafat
dan meninggalkan seorang isteri, seorang anak perempuan, dan dua anak lakilaki.Kemudian anak perempuan itu menggugurkan haknya dan memberikannya
kepada salah seorang dari saudara laki-lakinya, dengan imbalan sesuatu yang telah
disepakati oleh keduanya. Dengan demikian, warisan itu hanya dibagikan kepada istri
dan kedua anak laki-laki, sedangkan bagian anak perempuan dilimpahkan kepada
salah seorang saudara laki-laki yang diberinya hak bagian86
Pokok masalah 8
Isteri 1/8

1

Anak laki laki ('ashabah)
Anak laki laki ('ashabah)
Anak perempuan ('ashabah)

7

Tashih 40

40

5

5

14

14

14

14+14

7

-

Maka pokok masalahnya dari delapan, dan setelah di tashih menjadi empat
puluh istri mendapat seperdelapan (1/8) berarti lima (5) bagian, dan bagian setiap
anak laki-laki 14 (empat belas) bagian dan sisanya yaitu 7 (tujuh) bagian adalah

86

Ibid

53

bagian anak perempuan, kemudian hak anak perempuan itu diberikan kepada salah
seorang saudara laki-laki yang telah ditunjuk sebelumnya.
C. Faktor-faktor yang Mendorong Ahli Waris Mengundurkan Diri
1.

Alasan Yuridis
Mengundurkan diri dalam menerima warisan merupakan pernyataan yang

diadakan oleh para ahli waris untuk mengundurkan (mengeluarkan) salah seorang
ahli waris dalam menerima bagian pusaka dengan memberikan suatu prestasi, baik
prestasi tersebut berasal dari harta milik orang yang mengundurkannya, maupun
berasal dari harta peninggalan yang bakal dibagikan
Kewajiban bagi pewaris untuk mewariskan hartanya kepada para ahli waris,
dan ahli waris berkawajiban juga untuk membagi harta peninggalan tersebut kepada
ahli waris yang sudah ditentukan dan apabila ada salah satu ahli waris mundur maka
dilakukan perjanjian damai.
a. Ijtihad
Kata Ijtihad (dalam bahasa Arab) berasal dari kata jahada artinya bersungguhsungguh atau mencurahkan segala daya dalam berusaha.Ijtihad adalah usaha atau
ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan menggunakan segenap kemampuan yang ada
yang dilakukan oleh orang (ahli hukum) yang memenuhi syarat untuk merumuskan
garis hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya didalam Al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah.Orang yang berijtihad disebut mujtahid.Ijtihad merupakan dasar
dan sarana pengembangan hukum Islam.Ijtihad adalah kewajiban umat Islam yang

54

memenuhi syarat (karena pengetahuan dan pengalamannya) untuk menunaikannya
dari masa ke masa.
Karena umat Islam dan umat Islam berkembang pula dari zaman ke zaman
sesuai dengan perkembangan masyarakat.Dalam masyarakat yang berkembang itu
senantiasa muncul masalah-masalah yang perlu dipecahkan dan ditentukan kaidah
hukumnya87.
Dalam masyarakat Indonesia berkembang bermacam ragam aliran yang
berkenan denagn fiqih. Ada beberapa mazhab yang memberi pengaruh besar terhadap
umat Islam, mazhab adalah “ hasil ijtihad seorang imam (mujtahid mutlak
Musqil)tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istimbath88.
Dikalangan umat Islam ada empat mazhab yang paling terkenal yaitu mazhab
Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’I dan mazhab Hambali. Selain empat mazhab
tersebut ada banyak mazhab lain seperti Hasan Basri, Ats-Tsaury,
Daud Azh-Zhahiri, Ibnu Abi Laila, Al-Auza ‘iy, Al-Laitsi, Ibnu Hasm, At- Thabary,
Syi’ah Imamiyah dan Syi’ah Zaidiyah84. Dan dikalangan sahabat Nabi adalah Ali bin
Abi Thalib, Abdulullah Bin Abbas, Zaid Bin Tsabit, dan Abdullah ibnu Mas’ud.
Pada zaman keemasan dinasti Abbasiyah (750 M), hukum waris Islam
berkembang pesat dan mencapai puncaknya, sehingga tersebar ke seluruh dunia Islam
pada waktu itu. Umat Islam yang berpegang kepada ajaran hukum waris Islam
mazhab Safi’i, ada yang berpegang pada mazhab Maliki da nada juga yang menuruti

87
88

Hasbullah Bakry, Pedoman Islam di Indonesia,(Jakarta : UI-Press, 1990), hal 217
Ali Hasan,Perbandingan Mazhab Fiqih,(Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1997),hal 1

55

mazhab Hanafi, mazhab Hanafi pada mulanya sangat berkembang deseluruh dunia
Islam karena pengaruh kekuasaan Imam Abu Hanifah sebagai Hakim Besar di
Bagdad, sehingga para khalifah Abbasiyah mengutamakan mazhab Hanafi dalam
lapangan pengadilan di seluruh kerajaannya. Dan akhirnya ada yang berpegang
kepada mazhab Hambali yang dianut oleh umat Islam di Palestina dan sekarang
diakui secara resmi di kerajaan Saudi Arabia dan termasuk dikalangan umat Islam
diseluruh dunia89.
Keempat mazhab tersebut di atas diakui oleh golongan Ahlusunnah, karena di
dalam mazhab yang empat itu hanya terdapat perbedaan paham masalah furu’ dan
tidak dalam pokok agama90. Pengunduran diri dalam bagian warisan merupakan hasil
Ijtihad (atsar sahabat) atas peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan Khalifah
Usman bin Affan. Atsar tersebut berbunyi : “dari Abi Yusuf dari seseorang yang
menceritakan kepadanya, dari amru bin Dinar dari Ibnu Abbas, dari salah seorang
istri Abdurrahman bin ‘Auf diajak untuk berdamai oleh para ahli waris terhadap harta
sejumlah delapan puluh tiga ribu dengan mengeluarkannya dari pembagian harta
warisan91.
Adapun riwayat dari Abdurrahman bin ‘Auf yang terjadi takharuj ada juga
terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Warisan Mesir yang tercantum di
dialam pasal 48, yang dijelaskan tentang defenisi takharuj dan bentuk-bentuknya
serta cara pembagiannya harta pusaka tersebut.
89

Abdullah Siddik, Hukum Waris Islam, (Bandung: Bina Pustaka, 1984), hal 7
Ibid,
91
http://blogspot.com//al-takharuj-pembagian warisan. Diakses tanggal 4 juni 2014
90

56

Dari atsar sahabat tersebut, dipahami bahwa pembagian harta waris dengan
menggunakan perinsip musyawarah dan damai dilakukan oleh para janda dan anak
Abdurrahman bin ’Auf dengan cara salah seorang jandanya menyatakan keluar dari
haknya untuk menerima harta warisan suaminya, namun dengan imbalan pembayaran
uang sejumlah delapan puluh tiga ribu dinar dan ada yang menyatakan delapan puluh
tiga ribu dirham. Istri (janda) almarhum Abd. Rahman bin ’Auf berjumlah 4 orang,
dan salah seorang di antaranya bernama Thumadhir binti al-Ashbag menyatakan
mengundurkan diri dari bagian yang seharusnyaa diterima dengan imbalan
pembayaran sejumlah uang.

Bagian Thumadhir adalah

1/8 atau 1/32 dari

keseluruhan harta warisan pewaris. Bagian tersebut dinilai dengan uang sejumlah 80
dirham atau ada yang menyatakan 83 dinar92.
Selain atsar sabahat, dasar hukum Al-takharruj adalah analogi terhadap setiap
terjadi muamalah jual beli dan tukar menukar atas dasar kerelaan masing-masing,
sehingga sepanjang terjadi kerelaan dan kesepakatan, perjanjian pembagian harta
warisan dengan metode Takharruj hukumnya boleh.
Jadi, Takharuj adalah pembagian harta warisan secara damai dengan prinsip
musyawarah. Pembagian harta warisan dengan metode tersebut, para ahli warislah
yang berperan dan berpengarauh dalam menentukan, baik cara pembagiannya
maaupun besar bagian para ahli waris.
Pembagian harta warisan dalam bentuk ini dapat saja keluar dari ketentuan
pembagian harta warisan yang telah ditetapkan berdasarkan al-Qur’an dan hadis
92

http;//media.isnet.org-Islam-Waris-Taakharruj-html-2013-11. Diakses tanggal 4 juni 2014

57

Rasulullah saw., namun atas dasar kesepakatan dan kerelaan antara para ahli waris
untuk kemaslahatan para ahli waris.
a.

Kompilasi Hukum Islam
Mengenai waris diatur pula didalam Kompilasi Hukum Islam.Tentang waris

diatur dalam pasal 171 sampai dengan pasal 193.Dalam Kompilasi Hukum Islam
bidang kewarisan juga mengatur tentang kewajiban ahli waris terhadap harta sebelum
dibagikannya harta tersebut kepada ahli waris telah sejalan dengan fiqih
mawaris.Kompilasi Hukum Islam juga menyatakan tentang usaha perdamaian yang
menghasilkan pembagian yang berbeda dari petunjuk namun atas dasar kerelaan
bersama.
Mengundurkan diri dalam menerima bagian warisan dalam Kompilasi Hukum
Islam diatur dalam pasal 183, menyatakan bahwa “Para ahli waris sepakat
melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing
menyadarinya”.tentang usaha perdamaian yang menghasilkan pembagian yang
berbeda dari petunjuk namun atas dasar kerelaan bersama.
Sementara dalam pasal 188 disebutkan bahwa para ahli waris baik secara
bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris
yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada diantara ahli waris
yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan
gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan.
Kompilasai

Hukum

Islam

menjelaskan

bahwa

dengan

perjanjian

dan

perdamaiandilakukan pembagian harta warisan, dengan kesepakatan semua keluarga

58

dan kesepakan para ahli waris yang lain. Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa
kewajiban ahli pewaris adalah:
a. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai
b. Menyelesaikan baik utang-utang berupa pengobatan, perawatan, termasuk
kewajiban pewaris maupun penagih hutang
c. Menyelesaikan wasiat pewaris
d. Membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.
Ahli waris ialah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan
darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak
terhalang karena hukum untuk menjadi a

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Putusan Lembaga Adat Aceh Dalam Penyelesaian Sengketa Pembagian Warisan Di Kota Banda Aceh

6 89 155

Tinjauan Yuridis Atas Tanah Wakaf yang Dikuasai Nadzir (Studi Kasus di Kecamatan Lueng Bata Kota Banda Aceh)”

4 66 139

Kajian Morfologi Pemukiman Tepi Air Studi Kasus: Kelurahan Kuala Silo Bestari dan Kelurahan Sejahtera Kecamatan Tanjungbalai Utara Kota Tanjungbalai

1 80 139

KAJIAN YURIDIS TENTANG PERKAWINAN MUT’AH (KONTRAK) DAN AKIBAT HUKUMNYA MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

0 9 16

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR DAN AKIBAT HUKUMNYA Tinjauan Yuridis Tentang Perkawinan Anak Di Bawah Umur Dan Akibat Hukumnya (Studi Kasus di Pengadilan Agama Sukoharjo).

0 3 14

Analisis Yuridis Tentang Takharuj (Keluar) Dalam Menerima Bagian Warisan Dan Akibat Hukumnya Menurut Fikih Islam (Studi Kasus Di Kecamatan Lamprit Kota Banda Aceh)

1 3 13

Analisis Yuridis Tentang Takharuj (Keluar) Dalam Menerima Bagian Warisan Dan Akibat Hukumnya Menurut Fikih Islam (Studi Kasus Di Kecamatan Lamprit Kota Banda Aceh)

0 0 2

Analisis Yuridis Tentang Takharuj (Keluar) Dalam Menerima Bagian Warisan Dan Akibat Hukumnya Menurut Fikih Islam (Studi Kasus Di Kecamatan Lamprit Kota Banda Aceh)

0 2 22

Analisis Yuridis Tentang Takharuj (Keluar) Dalam Menerima Bagian Warisan Dan Akibat Hukumnya Menurut Fikih Islam (Studi Kasus Di Kecamatan Lamprit Kota Banda Aceh)

0 1 4

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN LEMBAGA ADAT ACEH DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PEMBAGIAN WARISAN DI KOTA BANDA ACEH TESIS

0 0 13