Analisis Yuridis Putusan Lembaga Adat Aceh Dalam Penyelesaian Sengketa Pembagian Warisan Di Kota Banda Aceh

(1)

TESIS

Oleh

RIFQAH SESARINA

117011010/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

RIFQAH SESARINA

117011010/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Nomor Pokok : 117011010

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD)(Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, MHum

Anggota : 1. Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD 2. Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum 3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 4. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum


(5)

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : RIFQAH SESARINA

Nim : 117011010

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS PUTUSAN LEMBAGA ADAT

ACEH DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PEMBAGIAN WARISAN DI KOTA BANDA ACEH Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :RIFQAH SESARINA Nim :117011010


(6)

Pemerintahan Aceh, disebutkan bahwa penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui lembaga adat termasuk dalam hal ini penyelesaian sengketa pembagian warisan yang dapat melibatkan lembaga adat Aceh di tingkat gampong. Penelitian menggunakan penelitian deskriptif analitis, yang menguraikan atau memaparkan sekaligus menganalisis tentang Putusan Lembaga Adat Aceh Dalam Penyelesaian Sengketa Pembagian Warisan di Kota Banda Aceh.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa alasan masyarakat Kota Banda Aceh memilih lembaga adat Aceh sebagai tempat menyelesaikan sengketa pembagian warisan adalah karena penyelesaian melalui musyawarah di tingkatgampongbersifat sukarela dalam prosesnya, prosedur yang tepat sasaran, keputusan bukan layaknya putusan lembaga peradilan (menang atau kalah) karena keputusan yang diambil merupakan kesepakatan bersama dan saling menguntungkan, prosedur rahasia (confidentiality), fleksibilitas dalam merancang syarat-syarat penyelesaian masalah, hemat waktu, hemat biaya, pemeliharaan hubungan, tinggi kemungkinan untuk melaksanakan kesepakatan, kontrol dan lebih mudah memperkirakan hasil dan keputusan bertahan sepanjang waktu. Mekanisme penyelesaian sengketa pembagian warisan oleh lembaga adat Aceh di Kota Banda Aceh dilakukan melalui suatu proses yang melibatkan lembaga adat Gampong dalam hal ini keuchik dan aparatur gampong lainnya guna memutuskan dengan adil perselisihan dan mengakhiri sengketa dengan suatu kesepakatan damai. Pelaksanaan putusan lembaga adat Aceh dalam penyelesaian sengketa pembagian warisan di Kota Banda Aceh dalam praktik pelaksanaannya dalam masyarakat diakui sebagaimana layaknya sebuah putusan hakim sehingga berlaku serta mengikat para pihak yang bersengketa dalam hal ini para ahli waris yang semula bersengketa. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat adat mengakui eksistensi putusan suatu lembaga adat walaupun terkadang kesepakatan yang dibuat tersebut tidak dalam bentuk tertulis dan hanya berupa pernyataan sikap atau ijab kabul antara para pihak yang bersengketa.

Disarankan kepada masyarakat Kota Banda Aceh agar tetap mempertahankan menyelesaikan perselisihan pembagian warisan secara damai melalui lembaga adat karena sesuai dengan mekanisme yang dianjurkan dalam syara Islam. Kepada lembaga adat yang terlibat dalam penyelesaian perselisihan pembagian warisan, diharapkan untuk dapat membuka pola pikir para pihak mengenai upaya damai dan berbagai aspek hukumnya serta ruang lingkupnya khususnya dalam penyelesaian perselisihan dan sengketa di tingkat gampong, sehingga apabila timbul sengketa dapat memberikan sumbang pikiran dan mencari jalan terbaik dalam hal penyelesaiannya. Disarankan kepada keuchik agar terhadap penyelesaian yang melibatkannya juga diupayakan memberikan pengertian kepada masyarakat agar juga membuatkan dalam bentuk tertulis sehingga dapat menjadi alat bukti di kemudian hari di samping juga mengupayakan pencatatan sampai ke tingkat kecamatan mengenai penyelesaian sengketa yang dilakukan.


(7)

adat body. In this case, the resolution of the dispute in the distribution of inheritance can involve Aceh Adat Body in the level of gampong (village).

The research used descriptive analytic approach which explains or describes, as well as analyzes the Ruling of Aceh Adat Body in the Resolution of the Dispute in the Distribution of Inheritance in Banda Aceh.The result of the research showed that the reason of the Aceh community in Bandah to have Aceh Adat Body as the place where they can settle the dispute in the distribution of inheritance because the resolution through negotiation in the level of gampong voluntarily in its process, on target procedure, the decision is not like the ruling of the Court (win or lose) because it is made by mutual agreement and in win-win solution, confidentiality, flexibility in designing the requirements for the resolution, time saving, cost saving, relationship keeping, high possibility for implementing the agreement, control and easier to predict the outcome, and the decision lasts forever. The mechanism of the resolution of the dispute in the distribution of inheritance by Adat Body in Banda Aceh is done through a process which involves the Gampong Adat Body such as keucik and other Gampong apparatus in order to settle the dispute fairly and stop the dispute in a peaceful agreement. In practice, the implementation of the decision of Aceh Adat Body in settling the dispute in distributing inheritance in Banda Aceh is regarded as a judge’s verdict which is prevailing and binding the parties or the heirs who are in dispute. This indicates that the adat community recognizes the existence of the ruling which made orally and is only the statement of point of view or agreement between both parties.

It is recommended that the people in Banda Aceh should maintain the resolution of the dispute in the distribution of inheritance peacefully through adat body since it is in line with the mechanism suggested by the Islamic law. The adat body should which is involved in settling the dispute should open the thinking pattern the parties concerned about peaceful effort, various legal aspects, and its scope, particularly in settling the dispute in the level of gampong so that when the dispute occurs, they can give ideas and find the best solution. It is also recommended that keucik should give information to the community in the written form so that it can be written evidence in the future and the recording about the resolution of the dispute up to the level of sub-district.


(8)

Puji dan Syukur Alhamdulillah kehadirat ALLAH SWT karena hanya dengan berkat dan karunia-Nya penulisan tesis ini dengan judul “ANALISIS YURIDIS

PUTUSAN LEMBAGA ADAT ACEH DALAM PENYELESAIAN

SENGKETA PEMBAGIAN WARISAN DI KOTA BANDA ACEH”. Penulisan

tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., Bapak Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, Ph.D. dan Ibu Dr. Idha Aprilyana Sembiring, S.H., M.Hum. selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Kemudian juga, semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak kolokium, seminar hasil sampai ujian tertutup sehingga penulisan menjadi lebih sempurna dan terarah.

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara


(9)

Penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan tesis ini. 5. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang

telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat bermanfaat selama Penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di bangku kuliah. 6. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada Penulis selama menjalani pendidikan.

7. Ketua Majelis Adat Aceh dan Kota Banda Aceh beserta staf dan seluruh responden dan informan yang telah banyak membantu dalam hal pengambilan data dan informasi-informasi penting lainnya yang berkenaan dengan penulisan tesis ini.


(10)

banyak memberikan motivasi kepada Penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Teristimewa penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada motivator terbesar dalam hidup Penulis yang selalu memberikan cinta, kasih sayang, dukungan dan doa yang tak putus-putusnya Ayahanda dan Ibunda serta Saudara-saudariku yang telah memberikan semangat dan doa kepada Penulis disamping telah menjadi inspirasi dan memberikan semangat sehingga menjadi motivasi warna tersendiri dalam kehidupan dan juga dalam penyelesaian tesis pada di Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari sepenuhnya tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun besar harapan penulis kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama para pemerhati hukum perdata pada umumnya dan ilmu kenotariaan pada khususnya. Demikian pula atas bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.Amien Ya Rabbal ‘Alamin

Medan, Agustus 2013 Penulis,


(11)

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama : Rifqah Sesarina

Tempat/Tgl. Lahir : Banda Aceh/4 September 1989

Status : Belum Menikah

Agama : Islam

Alamat : Komp. Pola Permai No. 85 Lamhasan Aceh

Besar

II. KELUARGA

Ayah : Makmur, SH., M.Hum

Ibu : Raudhah, S.Pd

Adik : Reza Juanda

Riva Desriana

III. PENDIDIKAN

SDN 1 Banda Aceh : 1995-2001

SMPN 1 Banda Aceh : 2001-2004

SMAN 4 Banda Aceh : 2004-2007

S-1 Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh : 2007-2011 S-2 Program Studi Magister Kenotariatan FH USU : 2011-2013


(12)

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Keaslian Penelitian ... 12

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 13

G. Metode Penelitian ... 28

BAB II LEMBAGA ADAT ACEH SEBAGAI TEMPAT MENYELESAIKAN SENGKETA PEMBAGIAN WARISAN ... 34

A. Pengertian Adat dan Masyarakat Adat ... 34

B. Warisan dan Pembagian Warisan Menurut Hukum Adat ... 43

C. Sengketa Warisan dalam Masyarakat Hukum Adat... 58

D. Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Sengketa dalam Masyarakat Adat Aceh ... 67

E. Alasan Masyarakat Adat Aceh Memilih Lembaga Adat Aceh Sebagai Tempat Penyelesaian Sengketa Warisan ... 73

BAB III PENYELESAIAN SENGKETA PEMBAGIAN WARISAN OLEH LEMBAGA ADAT ACEH DI KOTA BANDA ACEH . 83 A. Sengketa dan Penyelesaian Sengketa Warisan ... 83 B. Fungsi Lembaga Adat dalam Penyelesaian Sengketa Warisan 92


(13)

DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PEMBAGIAN

WARISAN DI KOTA BANDA ACEH ... 107

A. Pengertian Putusan dan Putusan Lembaga Adat ... 107

B. Pengambilan Putusan oleh Lembaga Adat Dalam Penyelesaian Sengketa Warisan ... 114

C. Analisis Terhadap Pelaksanaan Putusan Lembaga Adat Aceh Dalam Penyelesaian Sengketa Pembagian Warisan Di Kota Banda Aceh ... 124

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 132

A. Kesimpulan ... 132

B. Saran ... 133

DAFTAR PUSTAKA... 135 LAMPIRAN


(14)

adat body. In this case, the resolution of the dispute in the distribution of inheritance can involve Aceh Adat Body in the level of gampong (village).

The research used descriptive analytic approach which explains or describes, as well as analyzes the Ruling of Aceh Adat Body in the Resolution of the Dispute in the Distribution of Inheritance in Banda Aceh.The result of the research showed that the reason of the Aceh community in Bandah to have Aceh Adat Body as the place where they can settle the dispute in the distribution of inheritance because the resolution through negotiation in the level of gampong voluntarily in its process, on target procedure, the decision is not like the ruling of the Court (win or lose) because it is made by mutual agreement and in win-win solution, confidentiality, flexibility in designing the requirements for the resolution, time saving, cost saving, relationship keeping, high possibility for implementing the agreement, control and easier to predict the outcome, and the decision lasts forever. The mechanism of the resolution of the dispute in the distribution of inheritance by Adat Body in Banda Aceh is done through a process which involves the Gampong Adat Body such as keucik and other Gampong apparatus in order to settle the dispute fairly and stop the dispute in a peaceful agreement. In practice, the implementation of the decision of Aceh Adat Body in settling the dispute in distributing inheritance in Banda Aceh is regarded as a judge’s verdict which is prevailing and binding the parties or the heirs who are in dispute. This indicates that the adat community recognizes the existence of the ruling which made orally and is only the statement of point of view or agreement between both parties.

It is recommended that the people in Banda Aceh should maintain the resolution of the dispute in the distribution of inheritance peacefully through adat body since it is in line with the mechanism suggested by the Islamic law. The adat body should which is involved in settling the dispute should open the thinking pattern the parties concerned about peaceful effort, various legal aspects, and its scope, particularly in settling the dispute in the level of gampong so that when the dispute occurs, they can give ideas and find the best solution. It is also recommended that keucik should give information to the community in the written form so that it can be written evidence in the future and the recording about the resolution of the dispute up to the level of sub-district.


(15)

Puji dan Syukur Alhamdulillah kehadirat ALLAH SWT karena hanya dengan berkat dan karunia-Nya penulisan tesis ini dengan judul “ANALISIS YURIDIS

PUTUSAN LEMBAGA ADAT ACEH DALAM PENYELESAIAN

SENGKETA PEMBAGIAN WARISAN DI KOTA BANDA ACEH”. Penulisan

tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., Bapak Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, Ph.D. dan Ibu Dr. Idha Aprilyana Sembiring, S.H., M.Hum. selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Kemudian juga, semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak kolokium, seminar hasil sampai ujian tertutup sehingga penulisan menjadi lebih sempurna dan terarah.

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara


(16)

A. Latar Belakang

Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum yang timbul dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang menjadi ahli waris.

Hukum waris menduduki tempat amat penting dalam Hukum Islam. Ayat--ayat Al Qur’an mengatur hukum waris dengan jelas dan terperinci : hal ini dapat dimengerti sebab masalah warisan pasti dialami oleh setiap orang. Sedemikian pentingnya kedudukan hukum waris Islam dalam hukum Islam dapat disimpulkan dari hadits Nabi riwayat Ibnu Majah dan Darru Quthni sebagaimana dikutip Mukhlis Lubis yang menyatakan bahwa ”Pelajarilah faraidh (hukum waris) dan ajarkanlah kepada manusia (orang banyak), karena dia (faraidh) adalah setengah ilmu dan dia (faraidh) mudah dilupakan serta merupakan ilmu yang pertama kali hilang dari umatku”.1

Hukum waris menurut Pasal 171 (a) Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah


(17)

“hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing”.2 Tata cara pembagian harta warisan dalam Islam telah diatur dengan sebaik-baiknya. Al Qur’an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Pembagian masing-masing ahli waris baik itu laki-laki maupun perempuan telah ada ketentuannya dalam Al Qur’an.

Setelah pewaris meninggal dunia, sebagaimana diatur dalam KHI membebankan beberapa kewajiban dan tanggung jawab kepada ahli waris. Adapun kewajiban dan tanggung jawab tersebut diatur dalam Pasal 175 KHI, yang menentukan bahwa :

(1)Kewajiban sesama ahli waris terhadap ahli waris lainnya adalah : a. Mengurus dan menyelesaikan dampai pemakaman jenazah

b. Menyelesaikan hutang piutang baik pengobatan, perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun menagih hutang

c. Menyelesaikan wasiat pewaris

d. Membagi harta warisan diantara ahli waris yang berhak

(2)Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalan.3

Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa selain menyelesaikan ketiga hal pokok yang berkaitan dengan pewaris, yaitu penyelenggaraan jenazah, hutang piutang dan wasiat pewaris, pada ayat (1) sub d dinyatakan bahwa ahli waris juga harus melaksanakan pembagian warisan yang ditinggalkan pewaris kepada para

2Pasal 171 (a) Instruksi Presiden R.I. Nomor 1 Tahun 1991 tentangKompilasi Hukum Islam. 3Pasal 175 Instruksi Presiden R.I. Nomor 1 Tahun 1991 tentangKompilasi Hukum Islam.


(18)

ahli waris lainnya. Pembagian warisan ini dilakukan kepada seluruh ahli waris yang berhak dengan mendahulukan kewajiban lain terhadap pewaris. Selanjutnya mengenai kewajiban pembagian warisan ini Pasal 188 KHI juga menentukan bahwa : Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada diantara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian warisan.

Kewajiban pembagian warisan yang diatur dalam Pasal 188 KHI ini dilakukan apabila harta warisan pewaris berada dalam kekuasaan salah satu ahli waris. Dalam Hukum Islam pembagian harta warisan ini dilakukan dengan didasarkan ketentuan Al Qur’an dan Sunnah Rasul (Hadits). M. Hasballah Thaib memberikan definisi Hukum Kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan kewajiban atas harta, kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Hukum kewarisan ini juga disebut hukum faraidh yang sumbernya Al Qur’an, Sunnah dan Ijtihad.4

Al Qur’an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Pembagian masing-masing ahli waris baik itu laki-laki maupun perempuan telah ada ketentuannya dalam Al Qur’an. Firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa, bahwa ”Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan


(19)

kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. (An-Nisa: 7).

Dalam syariat Islam telah ditetapkan bahwa bagian ahli waris laki-laki lebih banyak dari pada bagian perempuan, yakni ahli waris laki-laki dua kali bagian ahli waris perempuan. Hal ini sebagaimana Firman Allah SWT, yang artinya “Allah mensyari’atkan bagi mu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bahagian seorang anak lelaki sama dengan dua orang anak perempuan…(An- Nisa: 11) Allah SWT menjanjikan surga bagi orang-orang yang beriman yang mentaati ketentuan-Nya dalam pembagian harta warisan dan ancaman siksa bagi mereka yang mengingkari-Nya.

Ketentuan pembagian warisan tersebut bertujuan positif untuk menyelamatkan ummat dari perbuatan tercela, yakni mengambil dan memakai harta benda milik orang lain secara tidak sah atau tidak sesuai dengan ketentuan. Padahal hukum Islam menghendaki pembagian harta warisan kepada ahli waris sesuai dengan porsi masing-masing.

Penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggalnya seseorang, diatur oleh hukum waris. Istilah hukum “waris” sampai saat ini baik para ahli hukum Indonesia maupun di dalam kepustakaan ilmu hukum Indonesia, belum terdapat keseragaman pengertian, ada yang menggunakan istilah hukum warisan, hukum kewarisan dan hukum waris. Dengan kata lain dalam hal pembagian warisan ini dapat pula dilakukan sesuai kebiasaan dan adat istiadat setempat.


(20)

Adat yang dimaksud disini diartikan sebagai kebiasaan yang menurut asumsi masyarakat telah terbentuk baik sebelum maupun sesudah adanya masyarakat.5 Istilah hukum adat di kalangan masyarakat umum (awam) sangat jarang dijumpai. Masyarakat cenderung mempergunakan istilah “adat” saja. Penyebutan ini mengarah kepada suatu kebiasaan yaitu serangkaian perbuatan yang pada umumnya harus berlaku pada struktur masyarakat bersangkutan dan merupakan pencerminan dari kepribadian suatu bangsa.6

Kondisi ini juga terjadi pada masyarakat adat Aceh di Provinsi Aceh, dimana banyak ditemukan berbagai permasalahan dalam masyarakat diselesaikan melalui lembaga adat setempat, baik berupa persoalan kecil seperti perkelahian anak, perselisihan dalam perjanjian termasuk pula perselisihan dalam pembagian warisan. Dalam hal pembagian warisan ini di Provinsi Aceh salah satu kebiasaan dalam kehidupan bermasyarakat di Aceh adalah selalu menyelesaikan berbagai persoalan dan sengketa melalui musyawarah yang melibatkan lembaga-lembaga adat, di mana pembagian warisan melalui lembaga adat yang bersendikan syariat Islam.

Hal ini terjadi karena masyarakat Aceh yang umumnya menganut agama Islam memegang teguh prinsip syariah. Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW merupakan sebuah aturan yang lengkap dan sempurna, yang mengatur segala aspek kehidupan untuk keselamatan dunia dan akhirat. Salah satu syariat yang diatur dalam ajaran Islam adalah tentang hukum waris, yakni

5I Gede A.B.Wiranata,Hukum Adat Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 3. 6Ibid


(21)

pemindahan harta warisan kepada ahli waris yang berhak menerimanya. Harta waris yaitu segala jenis harta benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah dan sebagainya.

Pada masyarakat adat Aceh di Provinsi Aceh yang menganut syariat Islam persoalan pembagian warisan sering dilakukan dengan melibatkan lembaga adat. Hal ini dilakukan karena kehidupan masyarakat tidak terlepas dari kehidupan adat. Adat merupakan sumber hukum yang terlebih dahulu diterapkan di Aceh. Meskipun jarang terdapat hasil peraturan yang tertulis, pelaksanaan adat di Aceh selalu beriringan dengan prinsip syariat Islam. Dalam masyarakat Aceh berkembang istilah adat bersendisyara’,syara’bersendi kitabullah. Hal ini menurut Zainuddin diartikan bahwa :

Pengertiannya yaitu bahwa agama bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits serta adat dirumuskan melalui undang-undang dan reusam negeri yang disusun oleh Sultan dengan bermusyawarah bersama orang-orang besarnya. Apabila agamanya kuat,maka kuat pula adatnya. Begitu juga sebaliknya, apabila adatnya kuat maka kuat pula agamanya.7

Kemudian kesuksesan Sultan Iskandar Muda dalam penerapan sistem politik pemerintahan, kemasyarakatan, ekonomi, maupun sosial budaya yang kuat, tangguh serta perannya dalam segala hal termasuk dunia internasional, telah menjadi acuan sebagai standar rujukan. Ketangguhan pemerintahan Sultan Iskandar Muda saat itu, karena dilatarbelakangi kemampuannya membangun suatu kultur dan struktur tatanan masyarakat Aceh menjadi salah satu segmen peradaban manusia yang terkumpul dalam nilai-nilai filosofi “adat ngon hukom lagei zat ngon

7


(22)

sifeut”(adat dan hukum seperti zat dengan sifatnya) yang struktur implementasinya disimpulkan dalam “Adat bak Po Teumeuruhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Laksamana”.8 Kalimat tersebut dapat diartikan bahwa dalam masyarakat Aceh, adat berasal dari kebiasaan nenek moyang (orang tua-tua terdahulu), hukum berasal dari syiah kuala/cendekiawan/para ahli hukum, peraturan bersumber dari penguasa dan perintah bersumber dari para pemimpin/panglima perang.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa di Provinsi Aceh hukum agama dan hukum adat memegang peranan penting dalam masyarakat, walaupun pernah mengalami kevakuman di Aceh pada masa orde baru, maka masyarakat Aceh menuntut pemerintah agar memberlakukan kembali syari’at Islam di Aceh. Tuntutan ini disikapi oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan mencetuskan Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

Pasal 6 UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh menentukan bahwa “Daerah dapat menetapkan berbagai kebijakan dalam upaya pemberdayaan, pelestarian, dan pengembangan adat serta lembaga adat di wilayahnya yang dijiwai dan sesuai dengan syariat Islam. Kemudian dalam Pasal 7 UU No. 44 Tahun 1999 juga diatur bahwa “Daerah dapat membentuk lembaga adat dan mengakui lembaga adat yang sudah ada sesuai dengan 8Badrulzaman, dalam T. Mukhlis, Lembaga Adat Gampong Sebagai Pengendalian

Sosialmasyarakat Terhadap Pelaksanaansyari’at Islam Di Aceh, http://id.scribd.com/doc/ Diakses Desember 2012


(23)

kedudukannya masing-masing di Propinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Pemukiman, dan Kelurahan/Desa atauGampong.9

Salah satu inti dari undang-undang tersebut adalah penyelenggaraan kehidupan beragama yang diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat. Kemudian dipertegas pula dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, harapan untuk terlaksananya syari’at Islam lebih besar karena memungkinkan pembentukan Peradilan Syari’at Islam di Aceh.10

Kemudian dalam Pasal 98 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh ditentukan bahwa :

1) Lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota dibidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat.

2) Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui lembaga adat.

Perkembangan pemerintahan Aceh dewasa ini dengan dikeluarkan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat, maka telah ditetapkan sepuluh lembaga adat, yaitu Imeum Mukim (kepala/pemimpin pemerintahan mukim), Geuchik (kepala/pemimpin pemerintahan Gampong), Tuha Peuet (empat orang tetua

9Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh

10Muchlis, Membangun Peradilan Syari’ah di Nanggroe Aceh Darussalam, www.komisihukum.go.id/, Diakses pada tanggal 10 Juni 2007.


(24)

Gampong), Tuha Lapan (delapan orang perwakilan gampong), Imeum Meunasah (Imam Mesjid/Meunasah), Keujruen Blang (pemimpin atau yang dituakan di kalangan petani), Panglima Laot (pemimpin atau yang dituakan di kalangan nelayan), Peutua Seneubok (pemimpin atau yang dituakan di kalangan petani ladang), Haria Peukan (pemimpin atau yang dituakan pedagang pasar, dan Syahbanda(pemimpin atau yang dituakan di pelabuhan/Bandar).

Kemudian dalam Pasal 98 ayat (3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh terdapat satu lembaga adat lagi yaitu Majelis Adat Aceh (MAA). Di antara lembaga-lembaga adat yang disebutkan di atas, geuchik atau keuchik yang setingkat dengan lurah berperan besar sebagai pengendali sosial masyarakat dalam mengatur setiap kebijakan yang berada dalam wilayah hukumnya, termasuk di dalamnya kebijakan-kebijakan tentang hukum syari’at Islam.Geuchik/keuchikdalam menjalankan tugas dan fungsinya dibantu oleh lembaga-lembaga adat lain yang berkompeten dengan cara musyawarah termasuk dalam hal ini dalam menyelesaikan sengketa pembagian warisan.

Hasil pengamatan sementara diketahui bahwa pada tingkat gampong (desa), pelaksanaan penyelesaian sengketa pembagian warisan secara adat biasanya merupakan tanggung jawabkeuchik(kepalagampong),imuem meunasah(pemimpin keagamaan di gampong), ulama lokal dan tuha peut (tetua gampong). Kalau terjadi suatu sengketa, para pemimpin gampong tersebut akan berusaha untuk menyelesaikan persoalan itu melalui musyawarah atau konsultasi. Dalam proses tersebut, seorang pemimpin gampong (desa) akan membantu para pihak untuk


(25)

mencapai kesepakatan bersama, dimana kedua belah pihak akan mencari jalan keluar yang dihasilkan lewat perdamaian (mediasi).

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut tertarik untuk menelaah lebih lanjut mengenai peran dan fungsi lembaga adat dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa pembagian warisan di Kota Banda Aceh. Penelaahan ini nantinya akan dilakukan melalui suatu penelitian dengan judul “ANALISIS YURIDIS

PUTUSAN LEMBAGA ADAT ACEH DALAM PENYELESAIAN

SENGKETA PEMBAGIAN WARISAN DI KOTA BANDA ACEH. B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dikemukakan beberapa permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut antara lain sebagai berikut:

1. Mengapa masyarakat Aceh di Kota Banda Aceh memilih lembaga adat Aceh sebagai tempat menyelesaikan sengketa pembagian warisan ?

2. Bagaimanakah mekanisme penyelesaian sengketa pembagian warisan oleh lembaga adat Aceh di Kota Banda Aceh ?

3. Bagaimanakah pelaksanaan putusan lembaga adat Aceh dalam penyelesaian sengketa pembagian warisan di Kota Banda Aceh ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah :


(26)

1. Untuk mengetahui alasan masyarakat Kota Banda Aceh memilih lembaga adat Aceh sebagai tempat menyelesaikan sengketa pembagian warisan. 2. Untuk mengetahui mekanisme penyelesaian sengketa pembagian warisan

oleh lembaga adat Aceh di Kota Banda Aceh.

3. Untuk mengetahui pelaksanaan putusan lembaga adat Aceh dalam penyelesaian sengketa pembagian warisan di Kota Banda Aceh.

D. Manfaat Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, seperti yang dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, serta perkembangan hukum di bidang kewarisan dalam hal ini hukum waris adat, yang berhubungan dengan masalah penyelesaian sengketa dalam pembagian warisan melalui lembaga adat Aceh.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat, khususnya kepada masyarakat adat Aceh di Kota Banda Aceh yang mengalami sengketa pembagian warisan agar dapat lebih mengetahui tentang mekanisme penyelesaian sengketa pembagian warisan melalui lembaga adat Aceh.


(27)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah penulis lakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, ditemukan beberapa beberapa penelitian yang menyangkut lembaga adat dan penyelesaian sengketa waris diantaranya :

1. Penelitian dengan judul “Efektifitas Putusan Lembaga Adat Aceh dalam Penyelesaian Sengketa (Studi di LAA tingkat Gampong di Kabupaten Aceh Besar) oleh Gelora Dee Sarah Nim. 087011047. Penelitian ini walaupun objek nya juga menyangkut Lembaga Adat Aceh tetapi tidak ditujukan terhadap penyelesaian sengketa pembangian warisan tetapi hanya penyelesaian sengketa secara umum.

2. Penelitian dengan judul Pelaksanaan Pembagian Warisan Pada Masyarakat Adat Minangkabau (Studi Kasus di Kabupaten Agam) oleh Cahaya Masita Nasution, Nim 047011077. Pada penelitian ini walaupun mengacu pada pelaksanaan pembagian warisan tetapi objeknya bukan pada Masyarakat Adat Aceh tetapi ditujukan Pada Masyarakat Adat Minangkabau.

Kedua penelitian sebelumnya tersebut tidak membahas objek yang sama dengan penelitian ini. Oleh karena itu, penelitian ini yang berjudul

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN LEMBAGA ADAT ACEH DALAM

PENYELESAIAN SENGKETA PEMBAGIAN WARISAN DI KOTA BANDA ACEH” adalah asli adanya. Artinya secara akademik penelitian ini dapat


(28)

dipertanggung jawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Dalam sebuah penulisan ilmiah termasuk dalam penulisan karya tulis di bidang hukum tentunya tidak terlepas dari adanya teori yang dijadi kerangka pikir di dalam penulisan. Teori yang dimaksud adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,11 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.12 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.13

Apabila dikaitkan dengan penelitian ini, maka kerangka teori yang digunakan juga yang berkaitkan dengan masalah hukum waris juga telah ada aturan yang dapat dipedomani oleh masyarakat sebagai hukum positif, baik menurut hukum perdata, hukum adat maupun hukum Islam. Salah satunya adalah teori aliran hukum positif dari Jhon Austin yang mengartikan:

Hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap

11M. Hisyam,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, FE UI, Jakarta, 1996, hlm. 203. 12Ibid.,hlm. 203


(29)

sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilaian baik-buruk.14

Selain menggunakan teori positivisme hukum dari Jhon Austin, juga digunakan teori sistem dari Mariam Darus Badrulzaman yang mengemukakan bahwa:

Sistem adalah kumpulan asas-asas hukum yang terpadu, yang merupakan landasan di atas mana dibangun tertib hukum.15 Hal yang sama juga dikatakan oleh Sunaryati Hartono bahwa sistem adalah sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang selalu pengaruh mempengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas.16

Jadi dalam sistem hukum terdapat sejumlah asas-asas hukum yang menjadi dasar dalam pembentukan norma hukum dalam suatu perundang-undangan. Pembentukan hukum dalam bentuk hukum positif harus berorientasi pada asas-asas hukum sebagai jantung peraturan hukum tersebut.17

Mengenai kewarisan hukum Islam telah menetapkan peraturan-peraturan mawaris di atas sebaik-baik aturan, terjelas dan paling adil sebab Islam mengakui pemilikan seseorang atas harta, baik ia laki-laki atau perempuan melalui jalan yang dibenarkan syari’at, sebagaimana Islam mengakui berpindahnya sesuatu yang

14Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filasafat Hukum, Mandar Maju, Bandung 2002, hlm 55.

15Mariam Darus Badrulzaman,Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung, 1983, hlm 15.

16C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, 1991, Bandung, hlm. 56.

17Lihat, Satjipto Raharjo,Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hlm 15, menyatakan bahwa disebut demikian karena dua hal, yakni pertama, asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum, artinya peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Kedua, sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum atau merupakanratio legisdari peraturan hukum.


(30)

dimiliki oleh seseorang ketika hidupnya kepada ahli warisnya sesudah matinya, baik ahli waris itu laki-laki atau perempuan, tanpa membedakan antara anak kecil atau dewasa. Dimana hal ini sama sekali berbeda dengan hukum kewarisan sebelum Islam yang sangat dipengaruhi oleh sistem sosial yang dianut oleh masyarakat yang ada.18

Hukum kewarisan dalam Islam mendapat perhatian yang besar karena pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan bagi keluarga yang ditinggal mati. Warisan adalah soal apa dan bagaimana berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meniggal akan beralih kepada keluarga yang masih hidup.19 Harta benda yang diberikan oleh Allah kepada umat manusia, di samping berfungsi untuk memenuhi kebutuhan pemiliknya dalam upaya mengabdi kepada yang maha pemberi, juga antara lain untuk mempererat hubungan persaudaraan. Namun kematian seseorang sering berakibat timbulnya silang sengketa dikalangan ahli waris mengenai harta peninggalannya. Hal seperi ini sangat mungkin terjadi, bilamana pihak-pihak terkait tidak konsisten dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan.

Pembagian harta warisan menurut hukum Islam sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan hadis, bertujuan positif dan konstruktif untuk menyelamatkan umat Islam dari perbuatan tercela. Jadi sistem kewarisan menurut hukum Islam secara jelas dan rinci telah diatur baik mengenai tata cara pembagian dan peralihan harta si pewaris kepada para ahli waris, harta waris, serta hal-hal yang menghalangi ahli waris untuk

18Muhammad Ali Aş-Şabǔnī, Hukum Waris Islam, Al-Ikhlas, Surabaya, 1998, hlm. 47. 19A. Rofiq,Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2003. hlm 356.


(31)

mendapatkan harta warisan dari si pewaris. Tata cara pembagian dan peralihan harta waris dari si pewaris kepada ahli waris antara lain dengan cara menyerahkan harta waris tersebut pada ahli waris yang berhak dan ada kalanya dengan jalan wasiat. Apabila dikaitkan dengan proses pewarisan dapat pula dijelaskan bahwa para ahli waris yang mempunyai hak waris dari seseorang yang meninggal dunia, baik yang ditimbulkan melalui hubungan turunan (zunnasbi), hubungan periparan (asshar), maupun hubungan perwalian (mawali). Hal ini dapat dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu:

1. Golongan yang hak warisnya mengandung kepastian, berdasarkan ittifaq oleh para ulama dan sarjana hukum Islam.

2. Golongan yang hak warisnya masih diperselisihkan (ikhtilaf) oleh para sarjana hukum Islam.20

Berdasarkan dua golongan tersebut diatas, maka golongan ahli waris yang telah disepakati hak warisnya terdiri atas 15 orang laki-laki dan 10 orang perempuan. Kelompok Ahli Waris laki-laki adalah sebagai berikut :

1. Anak laki-laki

2. Cucu laki-laki pancar laki-laki dan seterusnya ke bawah 3. Bapak

4. Kakek shaih dan seterusnya keatas 5. Saudara laki-laki sekandung 6. Saudara laki-laki sebapak 7. Saudara laki-laki seibu

8. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung 9. Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak. 10. Paman sekandung.

20Suparman Usman, Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1997, hlm. 63


(32)

11. Paman sebapak

12. Anak laki-laki paman sekandung 13. Anak laki-laki paman sebapak 14. Suami

15. Orang laki-laki yang memerdekakan budak

Kelompok Ahli waris Perempuan adalah sebagai berikut : 1. Anak perempuan

2. Cucu perempuan pancar laki-laki 3. Ibu

4. Nenek dari pihak bapak dan seterusnya keatas 5. Nenek dari pihak ibu dan seterusnya keatas 6. Saudara perempuan sekandung

7. Saudara perempuan sebapak 8. Saudara perempuan seibu 9. Isteri

10. Orang perempuan yang memerdekakan budak.

Kedua puluh lima ahli waris tersebut sebagian mempunyai bagian (fardh) tertentu, yakni bagian yang sudah ditentukan kadarnya, mereka disebut ahli waris ashhabul furudh; sebagian lainnya tidak mempunyai bagian tertentu, tetapi mereka menerima sisa pembagian setelah diambil oleh ahli waris ashhabul furudh, mereka disebut ahli warisashabah.

Golongan ahli waris yang masih diperselisihkan hak warisnya adalah keluarga terdekat sebelah ibu (dzul arham), yang tidak disebutkan dalam Kitab Allah (Al-Quran) tentang bagiannya (fardh), ataupun tentang ‘ushbat. Mereka dikenal dengan sebutan ahli warisdzawil al-arham.

Anak laki-laki berhak menerima warisan dari orang tuanya sebagaimana anak perempuan juga berhak menerimanya. Misalnya, kandungan Pasal 174 ayat (1) KHI dinyatakan bahwa ayah, anak laki-laki paman dan kakek (golongan laki-laki), juga


(33)

ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek (golongan perempuan) adalah kelompok ahli waris karena hubungan darah yang sama-sama mewarisi. Dengan demikian, tidak ada diskriminasi jenis kelamin dalam hukum kewarisan Islam yang ada dalam KHI. Hal tersebut disebabkan asas-asas yang terkandung dalam Hukum Kewarisan Islam dalam KHI.21

Ahli waris yang telah disepakati hak warisnya, dapat memperoleh warisan jika memenuhi syarat warisan, sebagai berikut :

a. Pewaris benar-benar telah meninggal, atau dengan keputusan hakim dinyatakan telah meninggal; misalnya, orang yang tertawan dalam peperangan dan orang hilang yang telah lama meninggalkan tempat tanpa diketahui hal ihwalnya.

b. Ahli Waris benar-benar masih hidup ketika pewaris meninggal, atau dengan keputusan hakim dinyatakan masih hidup pada saa pewaris meninggal.

c. Benar-benar dapat diketahui adanya sebab warisan pada ahli waris, atau dengan kata lain, benar-benar dapat diketahui bahwa ahli waris bersangkutan berhak waris.

d. Tidak terdapat penghalang warisan. Penghalang warisan yang dimaksud adalah berbeda agama, membunuh, serta menjadi budak orang lain.22

Lajnah ulama Mesir mengemukakan, seperti halnya waladin dan aqrabin yang kafir, atau mereka mukmin tetapi terhijab untuk mendapatkan warisan, misalnyaibnu akhi(anak laki-laki dari saudara laki-laki) karena ada akhun(saudara laki-laki), atau kalau mereka termasukdzawil arham. Menurut Al-Qurthubi, artinya : ………… ayat tersebut adalah mahkamah, lahir ayat adalah umum, dan artinya khusus bagi waladain dan aqrabain yang tidak menerima warisan, seperti keduanya kafir atau hamba sahaya, dan bagi kerabat yang tidak mendapatkan warisan.23

21M. Hasballah Thaib,Op.Cit., hlm 14 22Ibid.


(34)

Pada uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa selain pembagian dengan cara menyerahkan harta waris tersebut pada ahli waris yang berhak pewarisan dapat juga dilakukan dengan cara perdamaian antara para ahli waris. Hal ini dilakukan guna menghindari terjadinya sengketa dalam pembagian warisan sebagaimana dalam masyarakat adat Aceh penyelesaian sengketa dalam pembagian warisan dilakukan dengan melibatkan lembaga adat Aceh. Kondisi inilah yang menunjukkan keunggulan hidup masyarakat di gampong (kampung) adalah kebersamaan menyelesaikan masalah secara musyawarah.

Musyawarah dan mufakat itu sendiri merupakan bagian dari budaya manusia, sementara kesepakatan yang dilakukan antara anggota masyarakat mengandung komponen budaya yang disebut budaya hukum. Nilai-nilai budaya mempunyai kaitan erat dengan hukum karena hukum yang baik adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.24Nilai tidak bersifat kongkrit melainkan sangat abstrak dan dalam prakteknya bersifat subjektif, agar dapat berguna maka nilai abstrak dan subjektif itu harus lebih dikongkritkan. Wujud kongkrit dari nilai adalah dalam bentuk norma. Norma hukum bersifat umum yaitu berlaku bagi siapa saja.25

Nilai dan norma berkaitan dengan moral dan etika, moral akan tercermin dari sikap dan tingkah laku seseorang. Pada situasi seperti ini maka sudah memasuki

24Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi,Op.Cit., hlm 80.

25R. Rosjidi Rangga Widjaja,Ilmu Perundang-undangan IndonesiaMandar Maju, Bandung, 1998, hlm. 24.


(35)

wilayah norma sebagai penuntun sikap dan tingkah laku manusia.26 Sikap masyarakat yang patuh dan taat pada hukum akan memperlancar penegakan hukum (law enforcement).27Sikap moral masyarakat yang ada akan melembaga dalam suatu budaya hukum (legal culture). Sikap kepatuhan terhadap nilai-nilai hukum sangat mempengaruhi bagi berhasil atau tidaknya penegakan hukum itu sendiri dalam kehidupan masyarakat.

Lawrence M. Friedmen menyatakan bahwa yang dimaksud dengan budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, nilai, pemikiran, serta harapannya. Pemikiran dan pendapat ini sedikit banyak menjadi penentu jalannya proses hukum.28 Beliau juga menyatakan bahwa budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Tanpa budaya hukum, sistem hukum tidak akan berdaya29jika diterapkan dalam kehidupan masyarakat.

Selain itu, menurut Soerjono Soekanto bahwa faktor sarana atau fasilitas merupakan faktor yang cukup penting dalam upaya penegakan hukum. Tanpa adanya sarana dan prasarana yang mendukung, maka tidak mungkin penegakan hukum dapat berjalan lancar. Hal ini meliputi sumber daya

26Darji Darmodiharjo dan Sidharta,Pokok-Pokok Filsafat Hukum,Cetakan kedua, Gramedia Pustaka, Jakarta, 1996, hlm. 250.

27Law Enforcementadalah pelaksanaan hukum atau penegakan hukum. Lihat John M. Echols & Hassan Shadily,Kamus Inggris – Indonesia,Gramedia, Jakarta 1989, hlm. 140.

28Lawrence M. Friedman, American Law an Introduction (Hukum Amerika Sebuah

Pengantar), Penerjemah Wishnu Basuki,Second Edition, PT. Tatanusa, Jakarta, 2001, hlm. 8. 29Ibid.


(36)

manusia yang terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai serta keuangan yang cukup.30

Penyelesaian sengketa di Indonesia biasanya memiliki pola tersendiri, Ade Maman Suherman mengutip pendapat Daniel S.Lev. mengatakan bahwa budaya hukum di Indonesia dalam penyelesaian sengketa mempunyai karakteristik tersendiri yang disebabkan oleh nilai-nilai tertentu.31 Istilah budaya hukum digunakan untuk menunjukkan tradisi hukum dalam mengatur kehidupan suatu masyarakat.32 Faktor penting dalam menyelesaikan sengketa yaitu konsensus antara para pihak yang bersengketa. Kenyataannya bahwa setiap masyarakat mengenal pembagian kewenangan atau otoritas (authority)33secara tidak merata.

Pemikiran di atas dibedakan dengan apa yang dikenal dengan sosiologi hukum yang tumbuh dan berkembang di Eropa Kontinental dan hukum sebagai gejala sosial. Perbedaan antara sosiologi hukum dan hukum sebagai gejala sosial di antara keduanya ialah bahwa kalau “sosiological jurisprudence itu merupakan suatu mazhab dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat dan sebaliknya”.34

30Soerjono Soekanto,Op.Cit., hlm. 27

31Ade Maman Suherman,Perbandingan Sistem HukumRajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 16

32Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra,Op.Cit., hlm. 108.

33Authority menurut Mark Weber yang ia bedakan dari pengertian Power, ia mengartikan

authoritysebagai kemungkinan perintah-perintah seseorang di dalam posisi ataukedudukan tertentu diikuti oleh sekelompok orang tertentu. Power bersumber dari dalam kepribadian seseorang, maka

authority bersumber atau melekat di dalam kedudukan orang yang memilikinya. Lihat Ralph Dahrendorf,Case and Class Conflict in Industrial Society,Stanford University Press, Jakarta, 1959, hlm. 162.


(37)

Sedangkan sosiologi hukum adalah cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan sejauhmana gejala dalam masyarakat itu dapat mempengaruhi hukum tersebut di samping juga diselidiki, sebaliknya pengaruh hukum terhadap masyarakat. Dengan demikian, yang terpenting adalah bahwa “sociological jurisprudence” merupakan cara pendekatan yang bermula dari hukum ke masyarakat, sedangkan sosiologi hukum sebaliknya dari masyarakat ke hukum”.35

Mashabsociological jurisprudenceini mengetengahkan tentang:

Pentinganya living law atau hukum yang hidup dalam masyarakat, dimana kelahirannya menurut beberapa anggapan merupakan suatu sinthese dari thesenya, yaitu positivisme hukum dan antithesenya mashab sejarah. Dengan demikian, “sociological `jurisprudenceberpegang pada pendapat pentingnya baik akal maupun pengelaman dimanna pandangan ini berasal dari Rescoe Pound yang inti sarinya adalah konsepsi masing-masing aliran yaitu positivisme hukum dan mashab sejarah.36

Berdasarkan uraian di atas, kemudian lahir konsep law as a tool of social engineering yang berati bahwa hukum sebagai alat untuk mengubah secara sadar masyarakat atau hukum sebagai alat rekayasa sosial. Oleh karena itu, dalam upaya menggunakan hukum sebagai alat rekayasa sosial diupayakan pengoptimalan efektifitas hukum pun menjadi salah satu topik bahasan sosiologi hukum.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, pengembangan Ilmu Hukum yang bercirikan Indonesia tidak saja dilakukan dengan mengoper bagitu saja Ilmu-ilmu

35Soerjono Soekanto,Pokok-pokok Sosiologi, LP3S, Jakarta, 1986, hlm 1-25.

36Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Hukum


(38)

Hukum yang bersal dari luar dan yang dianggap modern, tetapi juga tidak secara membabi buta mempertahankan yang asli. Keduanya harus berjalan secara selaras.37

Salah satu tuntutan aspirasi yang berkembang dalam era reformasi sekarang ini adalah reformasi di bidang hukum menuju terwujudnya supremasi sistem hukum di Indonesia. Sistem hukum yang hendak diwujudkan sistem konstitusi yang berfungsi sebagai acuan dasar yang efektif dalam proses penyelenggaraan kehidupan nasional. Jimly Assiddqqie mengatakan bahwa :

Dalam upaya mewujudkan sistem hukum yang efektif itu, penataan kembali kelembagaan hukum, didukung oleh kualitas sumber daya manusia, kultur dan kesadaran hukum masyarakat yang terus meningkat, seiring dengan pembaruan materi hukum yang terstruktur secara harmonis, dan terus menerus diperbarui sesuai dengan tuntutan perkembangan kebutuhan.38 Peran hukum dalam masyarakat memang sering menimbulkan banyak persoalan, hukum bahkan dianggap sebagai instrumen pengatur yang sah dalam negara hukum. Dengan kedudukan yang demikian, hukum mempunyai kekuatan untuk memaksa. Berkaitan dengan keberadaan hukum itu sendiri di tengah masyarakat, Mochtar Kusumaatmadja, menyatakan bahwa tujuan utama adanya hukum adalah jaminan ketertiban, keadilan, dan kepastian.39

Dengan demikian, hukum adalah sebuah sistem yang mempunyai ciri dan karakteristik yang menjadi penggerak dan pengatur kehidupan masyarakat. Terkait dengan ciri dan karakteristik hukum dan masyarakat tersebut, Roscoe Pound,

37Ibid.

38Jimly Asshiddiqie, Tata Urut Peraturan Perundang-undangan dan Problematika

Peraturan Daerah, makalah, 2005.

39Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Pembangunan Hukum dalam Pembangunan, Alumni-Bandung, 2002, hlm. 5-6.


(39)

mengenalkan lebih lanjut apa yang disebut sebagai law as a tool of social engineering.40Selanjutnya dengan mengilhami dari teorilaw as a tool of engineering dari ajaran Roscoe Pound yang beraliran sociological yurisprudence Mochtar Kususmaatmadja menghasilkan teori hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Beberapa karakteristik dari teori beliau yang membedakan dengan teori dari Roscoe Pound adalah:

a. Lebih menekankan peranan peraturan perundang-undangan dalam proses pembaharuan di Indonesia, sedangkan teori dari Roscoe Pound terutama ditujukan pada peranan pembaharuan terhadap putusan pengadilan, khususnya putusanSupreme Courtsebagai mahkamah tertinggi;

b. Sikap yang menunjukkan kepekaan terhadap kenyataan masyarakat yang menolak penerapan mekanistis dari konsepsi law as a tool of social engineering. Penerapan secara mekanistis demikian, yang digambarkan dengan kata tool akan mengakibatkan hasil yang tidak banyak berbeda dengan penerapan legisme yang dalam sejarah hukum di Indonesia telah dikritik banyak pihak.

c. Apabila ada pengertian hukum termasuk pula hukum internasional, maka Indonesia sebenarnya sudah menjalankan asas hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat jauh sebelum konsepsi ini dirumuskan secara resmi sebagai landasan kebijaksanaan luhur.41

Jadi fungsi hukum itu pasif, yaitu mempertahankan status quo sebagaia tool of social control, sebaliknya hukum pun dapat berfungsi aktif sebagaia tool of social engineering. Oleh karena itu, penggunaan hukum sebagai alat rekayasa sosial didominasi oleh kekuasaan negara. Dengan demikian, sesuai dengan pendapat Satjipto Raharjo bahwa Hukum tidak dapat dilepaskan dari perubahan sosial.42

40Ibid. 41Ibid.


(40)

Lebih lanjut mengenai metode penelitian hukum Satjipto Raharjo mengatakan bahwa Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang tertinggi.43 Teori hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita merekonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.44

Berdasarkan hal tersebut, maka kerangka teori dapat diartikan sebagai kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis ini mengenai sesuatu kasus ataupun permasalahan (problem), yang menjadi bahan perbandingan, pegangan yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan eksternal dalam penelitian ini.45

2. Konsepsi

Konsepsi merupakan definisi operasional dari intisari objek penelitian yang akan dilaksanakan. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian dan penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka konspsi atau definisi operasional sebagai berikut :

1. Lembaga adat adalah gabungan dari kata “lembaga” dan “adat”, di mana lembaga diartikan sebagai pola perilaku manusia yang mapan yang terdiri 43Ibid.

44Ibid.


(41)

dari interaksi sosial yang memiliki struktur dalam suatu kerangka nilai dan relevan sehingga lembaga adat diartikan sebagai pola perilaku masyarakat adat yang mapan yang terdiri dari interaksi sosial yang memiliki struktur dalam suatu kerangka nilai dan relevan.

2. Lembaga adat Aceh adalah suatu organisasi kemasyarakatan adat yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu, mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat Aceh.46

3. Masyarakat Adat adalah masyarakat kelompok manusia yang mendiami wilayah tertentu, mempunyai pemimpin, dan mempunyai norma-norma hukum sendiri yang mereka taati bersama atau kesatuan-kesatuan masyarakat yang mempunyai kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya.47

4. Putusan lembaga Adat adalah putusan yang diambil oleh lembaga adat guna penyelesaian suatu permasalahan dalam masyarakat adat termasuk dalam hal ini putusan terhadap penyelesaian sengketa dalam pembagian warisan.

46Pasal 1 ayat (5) Perda No. 7 tahun 2000 tentangPenyelenggaraan Kehidupan Adat

47Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia,, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 93.


(42)

5. Warisan adalah harta peninggalan yang ditinggalkan pewaris kepada ahli waris termasuk dalam hal ini pusaka dan surat wasiat. Pewaris, adalah orang yang memberi pusaka, yakni orang yang meninggal dunia dan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, pusaka, maupun surat wasiat. Ahli waris, yaitu sekalian orang yang menjadi waris, berarti orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan pewaris.Mewarisi, yaitu mendapat harta pusaka, biasanya segenap ahli waris adalah mewarisi harta peninggalan pewarisnya. Proses pewarisan merupakan Istilah proses pewarisan mempunyai dua pengertian atau dua makna, yaitu (1) berarti penerusan atau penunjukan para waris ketika pewaris masih hidup; dan berarti pembagian harta warisan setelah pewaris meninggal.48

6. Pembagian Warisan adalah upaya yang dilakukan untuk melaksanakan pembagian harta warisan peninggalan dari pewaris kepada ahli waris yang berhak.

7. Sengketa waris adalah sengketa atau perselisihan yang timbul dalam pembagian warisan.

8. Banda Aceh adalah salah satu kota di Provinsi Aceh yang juga merupakan ibukota Provinsi Aceh dan wilayahnya juga terdiri dari kecamatan dan gampong(desa) yang dipimpin olehkeuchik.

48Eman Suparman,Hukum Waris Indonesia (Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW), Rafika Aditama, Bandung, 2005, hlm 4 – 5.


(43)

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, karena menggambarkan gejala-gejala, fakta, aspek-aspek serta upaya hukum yang berkaitan dengan mekanisme penyelesaian sengketa pembagian warisan melalui Lembaga Adat Aceh. Penelitian ini menggunakan pendekatan pembentukan hukum untuk dalam menyelesaikan permasalahan pembagian warisan dalam masyarakat adat Aceh.

Metode Pendekatan penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris untuk mengkaji mekanisme penyelesaian sengketa pembagian warisan melalui Lembaga Adat Aceh. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan meng inventarisasi hukum positif yang mengatur dan berkaitan dengan efektifitas putusan Lembaga Adat Aceh dalam penyelesaian sengketa pembagian warisan. Sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan melalui penelitian lapangan yang diharapkan akan diperoleh gambaran yang menyeluruh dan sistematis mengenai mekanisme penyelesaian sengketa pembagian warisan melalui Lembaga Adat Aceh. Dengan demikian, walaupun penelitian ini merupakan penelitian normatif namun juga tidak terlepas dari pendekatan yuridis empiris dengan mengambil objek penelitian di salah satu wilayah masyarakat adat Aceh yaitu di Kota Banda Aceh. Untuk memperoleh data yang diharapkan dalam penelitian maka penelitian ini juga akan mengikuti pendekatan-pendekatan yang berlaku di dalam penelitian ilmu hukum khususnya yang terkait dengan penelitian hukum normatif.


(44)

2. Sumber Data

Sumber data utama dari penelitian ini adalah sumber data sekunder yang terdiri dari bahan hukum sekunder, bahan hukum primer dan bahan hukum tersier. Data-data hukum sekunder tersebut meliputi berbagai macam sumber baik sumber data tertulis seperti Peraturan Perundang-Undangan, buku-buku ilmiah, dan berbagai macam dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam hal seorang peneliti diharapkan dapat mengumpulkan sebanyak mungkin bahan pustaka yang terkait dengan objek penelitiannya sehingga dapat menambah khasanah dalam menganalisis data dan menyajikan hasil penelitian.

a. Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mempelajari literatur yang berkaitan dengan objek yang diteliti dan berbagai macam peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya mekanisme penyelesaian sengketa pembagian warisan melalui Lembaga Adat Aceh. Data sekunder tersebut meliputi beberapa hal yaitu:

1) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan salah satu sumber hukum yang penting bagi sebuah penelitian ilmiah hukum yang bersifat yuridis normatif. Bahan hukum primer meliputi bahan-bahan hukum yang isinya mengikat secara hukum karena dikeluarkan oleh instansi yang sah. Bahan hukum primer dapat ditemukan melalui studi kepustakaan (library research) baik di perpustakaan fakultas, universitas maupun perpustakaan umum lainnya.


(45)

Bahan hukum primer yang dijadikan pedoman bagi penelitian terkait hukum waris, penyelesaian sengketa waris maupun hukum adat

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang isinya memperkuat atau menjelaskan bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder biasanya berupa bahan-bahan hukum seperti bacaan hukum, jurnal-jurnal yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer, berupa buku teks, konsideran, artikel dan jurnal, sumber data elektronik berupa internet, majalah dan surat kabar serta berbagai kajian yang menyangkut hukum waris dan mekanisme penyelesaian sengketa pembagian warisan melalui Lembaga Adat Aceh.

3) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang dijadikan pegangan atau acuan bagi kelancaran proses penelitian. Bahan hukum tersier biasanya memberikan informasi, petunjuk dan keterangan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Di perpustakaan biasanya bahan hukum tersier berada pada ruangan khusus dan dalam penelitian ini bahan hukum tersier yang digunakan hanyalah kamus.

Penelitian mengenai mekanisme penyelesaian sengketa pembagian warisan melalui Lembaga Adat Aceh berusaha untuk menemukan jawaban yang konkrit, jelas dan pasti terkait dengan objek masalah yang diteliti. Sehingga peran data pendukung seperti kamus sangat dibutuhkan untuk


(46)

mencari kebenaran sejati dari istilah-istilah hukum yang asing. Bahan hukum primer ini bukan hanya sekedar sebagai pelengkap informasi saja melainkan juga dapat memberikan petunjuk awal terkait dengan masalah yang sedang diteliti.

Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kamus hukum yang memuat informasi tentang arti beberapa istilah hukum yang bersifat khusus.

b. Data Primer

Data primer digunakan untuk melakukan konfrontirterhadap berbagai macam data sekunder yang telah diperoleh dalam rangka melakukan penegasan. Data-data primer dalam bentuk data lapangan yang diperoleh melalui wawancara dikhususkan untuk pemecahan masalah yang masih memerlukan informasi lebih lanjut dalam memastikan validitas data-data sekunder yang telah diperoleh.

3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini baik data sekunder maupun data primer diperoleh dengan melakukan penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data yang dilakukan dengan mempelajari dokumen-dokumen, buku-buku teks, teori-teori, peraturan perundang-undangan, artikel, tulisan ilmiah yang ada hubungannya dengan mekanisme penyelesaian sengketa pembagian warisan melalui Lembaga Adat Aceh. Selain itu, guna mendukung data primer yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut dilakukan pula penelitian lapangan (field research) melalui wawancara dengan beberapa responden dan informan sebagai narasumber yang dalam hal ini adalah :


(47)

Responden :

1. Ketua Majelis Adat Kota Banda Aceh

2. Keuchik di wilayah Kota Banda Aceh 2 orang

3. Sekretaris Gampong di wilayah Kota Banda Aceh 2 orang Informan :

1. Warga Masyarakat di Kota Banda Aceh

2. Tokoh Masyarakat di Kota Banda Aceh 3 orang 1 oang 3. Notaris di Banda Aceh 1 orang

4. Hakim dan Panitera Mahkamah Syariyah Banda Aceh 2 orang

Berdasarkan metode pendekatan penelitian ini, maka alat pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut :

a. Studi Dokumen, yaitu dengan meneliti dokumen-dokumen yaitu tentang mekanisme penyelesaian sengketa pembagian warisan melalui Lembaga Adat Aceh. Dokumen ini merupakan sumber informasi yang penting yang merupakan dasar dilakukannya penelitian baik dari ketentuan norma dan perundang-undangan yang berlaku.

b. Wawancara43dengan menggunakan pedoman wawancara (interview quide).44 Wawancara dilakukan terhadap narasumber dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya baik secara terarah maupun wawancara bebas dan mendalam (depth interview).

43Herman Warsito, Pengantar Metodologi Penelitian, Buku Panduan Mahasiswa, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hlm. 71, yang menyatakan wawancara merupakan alat pengumpul data untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi arus informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara (interviewer), responden (interview) informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara (interviewer), responden (interview) pedoman wawancara, dan situasi wawancara.

44Ibid, hlm. 73. Menyatakan pedoman wawancara yang digunakan pewawancara, menguraikan masalah penelitian yang biasanya dituangkan dalam bentuk daftar pertanyaan. Isi pertanyaan yang peka dan tidak menghambat jalannya wawancara.


(48)

4. Analisis Data

Metode analisis data digunakan untuk menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul digunakan metode normatif kualitatif. Normatif, karena penelitian ini bertolak dari peraturan yang ada sebagai normatif hukum positif sedangkan kualitatif, dimaksudkan analisis data yang bertitik tolak pada usaha penemuan asas-asas dan informasi-informasi.

Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal yang berisi kaedah-kaedah hukum maupun berbagai ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan yang mengatur masalah mekanisme penyelesaian sengketa pembagian warisan melalui Lembaga Adat Aceh kemudian disistematisasikan sehingga menghasilkan suatu klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan dijawab.49

Walaupun dalam penelitian ini nantinya akan bersinggungan dengan perspektif disiplin ilmu lainnya, namun penelitian ini tetap merupakan penelitian hukum, karena perspektif disiplin lain hanya sekedar alat bantu.50Dengan demikian, jelaslah bahwa data yang telah terkumpul akan dianalisis secara kualitatif yaitu menafsirkan mekanisme penyelesaian sengketa pembagian warisan melalui Lembaga Adat Aceh. Penarikan kesimpulan dilakukan melalui induktif.

49 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2002. hlm. 24.

50Alvi Syahrin,Pengantar Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman


(49)

BAB II

LEMBAGA ADAT ACEH SEBAGAI TEMPAT MENYELESAIKAN SENGKETA PEMBAGIAN WARISAN

A. Pengertian Adat dan Masyarakat Adat

Adat atau yang sering juga kenal dengan “custom” yang dengan sendirinya juga terkait dengan berbicara tentang wujud gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai, norma-norma, aturan-aturan serta hukum yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem yaitu sistem budaya. Ada dua pendapat mengenai asal kata adat ini, di satu pihak ada yang menyatakan bahwa adat diambil dari bahasa Arab“uruf”yang berartikebiasaan. Kata ini menurut Zamakhsyari diambil dari akar kata yang sama dengan makruf lawan mungkar, karena itu “uruf” berarti berarti sesuatu yang baik.51

Apabila ditelaah dari asal katanya “adat” berasal dari dua kata, “a” dan “dato”, “a” berarti tidak dan “dato” berarti sesuatu yang bersifat kebendaan.52 Sementara adat-istiadat (customs) merupakan kompleks konsep serta aturan yang mantap dan terintegrasi kuat dalam sistem budaya dari suatu kebudayaan yang menata tindakan manusia dalam kehidupan sosial kebudayaan itu.

Adat juga berasal dari bahasa arab sebagaimana dikemukakan oleh Otje Salman Soemadiningrat, adat merupakan perbuatan yang berulang-ulang atau

51Zamarkhrsyari, Teori-teori Hukum Islam dalam Fiqih dan Ushul Fiqh, Cipta Pustaka Media Perintis, Bandung, 2013, hlm 117.

52Wikipedia,Hukum Adat, http://id.wikipedia.org/wiki/, Diakses, 17 Maret 2013 Pukul 20.30 Wib


(50)

kebiasaan yang berlaku bagi sebuah masyarakat.53 Pengertian adat pada lazimnya diartikan dengan kebiasaan, sehingga hukum adat banyak yang mengartikan dengan hukum kebiasaan.

Adat menurut Syahrizal merupakan aturan baik berupa perbuatan ataupun ucapan yang lazim diturut dan dilakukan sejak dahulu kala.54Dengan kata lain adat merupakan suatu hukum yang tidak tertulis dan merupakan hukum Indonesia asli dalam bentuk laporan perundang-undangan republik Indonesia yang terkandung di dalamnya unsur-unsur keagamaan yang berkembang di dalam masyarakat secara turun-temurun melalui keyakinan yang tertentu.55

Sementara itu, dalam masyarakat Aceh adat istiadat merupakan seperangkat nilai-nilai dan keyakinan sosial yang tumbuh dan berakar dalam kehidupan masyarakat Aceh.56Muhammad Hakim Nyak Pha yang dikutip Mohd Zaim Irsyad, menuliskan bahwa adat istiadat adalah tata kelakuan atau tata tindakan atau tata perbuatan yang selanjutnya merupakan kaedah-kaedah yang bukan saja dikenal, diakui dan dihargai, akan tetapi juga ditaati oleh sebahagian besar warga masyarakat yang bersangkutan.57

Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan 53Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptuaisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni, Bandung, hlm 14.

54Syahrizal,Hukum Adat dan hukum Islam di Indonesia,Nadiya Foundation Nanggroe Aceh, Banda Ace, 2004, hal 63.

55Ibid., hlm 65

56Mohd. Zaim Irsyad, Struktur Dan Lembaga Adat Di Aceh, http://misteraim.blogspot. com/html, Diakses 17 April 2013


(51)

Tiongkok. Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia.58 Sumbernya adalah peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Oleh karena peraturan tersebut tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Selain itu, dikenal pula masyarakat hukum adat yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.

Otje Salman Soemadiningrat mengatakan bahwa :

Hukum (law) adalah sistem pengendalian kehidupan masyarakat yang terdiri atas aturan adat, undang-undang, peraturan-peraturan, dan lain-lain norma tingkahlaku yang dibuat, disahkan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang berwenang dalam masyarakat yang bersangkutan. Pengaturan tata tertib masyarakat oleh hukum adat ini mengindikasikan, hukum adat mengandungi sanksi yang dikenakan jika aturan-aturan tersebut dilanggar.59

Supomo yang dikutip oleh Suroyo Wingjodipuro menjelaskan :

Hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan-peraturan legislatif, meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib, tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.60

Kemudian Soekanto yang juga dikutip Suroyo Wingjodipuro menjelaskan bahwa "Hukum adat sebagai komplek adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan,

58

Syahrizal,Op.Cit., hlm 63.

59Otje Salman Soemadiningrat,Op.Cit., hlm 14.

60Suroyo Wingjodipuro, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, Alumni Bandung, 1989, hlm. 2.


(52)

tidak dikodifisir, bersifat paksaan, mempunyai sanksi dan mempunyai akibat hukum.61 Suryo Wingjodipuro menjelaskan "Hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu".62

Menurut Van Vollenhoven yang dikutip Imam Sudiyat Hukum Adat yaitu: “Hukum asli yang tidak tertulis yang memberikan pedoman kepada sebagian besar orang Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, dalam hubungan antara satu dengan yang lainnya baik di desa maupun di kota”.63 Dengan kata lain hukum adat adalah sistem aturan berlaku dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang berasal adat kebiasaan, yang secara turun temurun dihormati daan ditaati oleh masyarakat sebagai tradisi bangsa Indonesia.

Dalam hal ini menurut Van Vollenhoven terdapat tujuh tiang utama hukum adat, yaitu :

1) Adanya persekutuan hukum, 2) Hak ulayat,

3) Adanya daerah hukum adat,

4) Perjanjian dalam perbuatan kongkrit,

5) Hukum adat tidak mengenal konstruksi yudiris yang abstrak,

6) Hukum adat menjadikan tangkapan dengan pancaindra sebagai dasar bagi menentukan kategori hukum dan sebagai ukuran untuk membeda-bedakan, dan

7) Sifat Susunan kekeluargaan.64

61Ibid. 62Ibid.hlm. 3.

63Iman Sudiyat,Asas-asas Hukum Adat, liberty, Yogyakarta, 2000, hlm. 20.

64Chandra Wesley S.,Tiang-tiang Hukum Adat, http://candrawesly.blogspot.com/ html Diakses, 5 Juni 2013


(53)

Jadi hukum adat merupakan aturan yang tidak tertulis yang berpangkal dari dalam kehidupan sehari-hari, yang terus dipertahankan dalam masyarakat serta dapat memberikan sanksi bagi siapa saja anggota masyarakat yang melanggarnya.

F.D. Holleman yang dikutip Imam Sudiyat menyimpulkan adanya 4 sifat Hukum Adat Indonesia, yang hendaknya dipandang juga sebagai suatu kesatuan:

1. Sifat Religio-Magis (Magisch-Religieus)

Merupakan pembulatan atau perpaduan kata yang mengandung unsur beberapa sifat atau cara berpikir seperti prelogika, animisme, pantangan, ilmu gaib, dan lain-lainnya.

2. Komunal (Commun)

Merupakan sifat yang mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan diri sendiri.

3. Tunai (Contant)

Biasanya dalam masyarakat Indonesia transaksi itu bersifat contant (tunai), yaitu: prestasi dan contra prestasi dilakukan sekaligus bersama-sama pada waktu itu juga.

4. Kongkrit (visual)

Pada umumnya dalam masyarakat Indonesia kalau melakukan (mengadakan) perbuatan hukum itu selalu konkrit (nyata); misalnya dalam perjanjian jual-beli, si pembeli menyerahkan uang/uang panjer.65

Berdasarkan pengertian tersebut hukum Adat (adat recht) ialah hukum yang mengatur tingkah-laku manusia Indonesia dalam hubungannya satu sama lain yang mengandung unsur magis religius dan berasal dari asli kebudayaan leluhur, baik berupa kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup di masyarakat. Hal ini dianut dan dipertahankan oleh anggota masyarakat. Hukum Adat merupakan


(54)

peraturan yang mengenal sanksi atau pelanggaran serta ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat (mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa memberi keputusan dalam masyarakat adat tersebut). Dengan kata lain, hukum adat (customary law) merupakan bagian dari hukum, ialah hukum tidak tertulis dalam suatu masyarakat yang biasanya bermata pencaharian tertentu di daerah tertentu pula. Hukum adat tersebut terjadi dari adanya suatu keputusan-keputusan orang-orang berkuasa dalam pengadilan.

Selanjutnya masyarakat hukum menurut Ter Haar sebagaimana dikutip Hilman Hadikusuma ”Kelompok-kelompok masyarakat yang tetap dan teratur dengan mempunyai kekuasaan sendiri dan kekayaan sendiri, baik yang berwujud maupun tidak berwujud”.66 Sedangkan masyarakat hukum adat menurut A. Malik Musa adalah :

Masyarakat hukum atau persekutuan hukum adalah kesatuan manusia yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai penguasa-penguasa dan mempunyai harta kekayaan sendiri baik yang berwujud dan tidak berwujud, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tak seorangpun di antara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membiarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya, dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selamanya.67

Soerjono Seokanto juga mengatakan bahwa :

Dalam masyarakat Indonesia terdapat persekutuan-persekutuan (gamenschappen), ada persekutuan-persekutuan (dahulu) dimana warganya mempunyai hubungan kekerabatan yang erat dan berdasarkan keturanan satu

66Hilman Hadikusuma,Hukum Perjanjian Adat.Alumni Bandung, 1999. hlm. 105

67A. Malik Musa,Perjanjian Gala Dalam Masyarakat Hukum Adat Aceh, Thesis.FH USU, hlm. 24.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Teks

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2000.

Abdurahman, H., Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, 1992.

---, Pembahasan Waris dan Wasiat Menurut Hukum Islam Sumbangsih, Yogyakarta, 1996.

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, Bagian Penerbitan Fakutas Ekonomi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1990.

Ali Aş-Şabǔnī, Muhammad, Hukum Waris Islam, Al-Ikhlas, Surabaya, 1998.

Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam di Peradilan Agama, Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Fiqih Mawaris, Pustaka Rizki Putra, 2001.

Asshiddiqie., Jimly, Tata Urut Peraturan Perundang-undangan dan Problematika Peraturan Daerah, makalah, 2005.

Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqhul Islam wa Adilatuh, Darul Fikri, Damaskus Badrulzaman, Mariam Darus, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni,

Bandung, 1983.

Badruzzaman Ismail,Pedoman Peradilan Adat Di Aceh Untuk Peradilan Adat yang Adil dan Akuntabel, MAA Provinsi Aceh, Banda Aceh, 2008,

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2002.

Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Waris Islam, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Yogyakarta, 1984.

Bushar Muhammad,Pokok-pokok Hukum Adat,Pradnya Paramita, Jakarta, 1995. Chatib Rasyid,Azas-Azas Hukum Waris dalam Islam, P.A.Yogyakarta, 2006


(2)

Dahrendorf, Ralph, Case and Class Conflict in Industrial Society, Stanford University Press, Jakarta, 1959.

Darmodiharjo, Darji dan Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Cetakan kedua, Gramedia Pustaka, Jakarta, 1996.

Eman Suparman,Hukum Waris Indonesia (Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW), Rafika Aditama, Bandung, 2005

Factur Rahman, Ilmu Mawaris¸ Alma’arif, Bandung, 1991

Friedman, Lawrence M., American Law an Introduction (Hukum Amerika Sebuah Pengantar), Penerjemah Wishnu Basuki, Second Edition, PT. Tatanusa, Jakarta, 2001.

Hadikusuma, Hilman,Hukum Perjanjian Adat.Alumni Bandung, 1999.

Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat Dalam Yuridisprudensi, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung,1993.

Hartono, C.F.G. Sunaryati, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991.

Hazairin,Hukum Kekeluargaan Islam, Tintamas, Jakarta, 1968, Hazairin,Hukum Kewarisan Bilateral,Tinta Emas, Jakarta, 1974. hlm 9.

Herman Warsito,Pengantar Metodologi Penelitian, Buku Panduan Mahasiswa, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997.

Hisyam, M.,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, FE UI, Jakarta, 1996.

John M. Echols & Hassan Shadily, Kamus Inggris – Indonesia, Gramedia, Jakarta 1989.

Kusumaatmadja, Mochtar, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1986.

---, Mochtar, Konsep-Konsep Pembangunan Hukum dalam Pembangunan, Alumni-Bandung, 2002.

Lubis, M. Solly,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994.

Lubis, Suhrawardi K., dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2007.


(3)

Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006.

---,Aspek-Aspek Pengubah Hukum,Kencana, Jakarta, 2006.

---, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006.

Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 1996.

Musa, A. Malik,Perjanjian Gala Dalam Masyarakat Hukum Adat Aceh, Thesis.FH USU, 2008.

Projodikoro, Wirjono,Hukum Warisan di Indonesia,Sumur, Bandung, 1991. Rahardjo, Satjipto,Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1984. ---,Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986.

Rahmatsyah Purba, Penyelesaian Sengketa pada Perbankan Syariah Pasca Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, Thesis, MKN, USU, Medan,

Ramulyo, M. Idris, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Hukum Perdata Sinar Grafika, Jakarta, 2003.

Rasjidi, Lili dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filasafat Hukum, Mandar Maju, Bandung 2002.

Rofiq, Ahmad,Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2003. Roihan A. Rasyid, ”Pengganti Ahli Waris dan Wasiat Wajibah” dalam Cik Hasan

Bisri et.al (eds.), Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1999.

---, Hukum Acara Pengadilan Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.

Rosyadi, A. Rahmad dan M. Rais Ahma, Formalasi Syari’at Islam dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, 2006 Sabiq, Sayyid,Fiqih Sunnah,Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2008.

Sajuti Thalib,Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2004. Soekanto, Soerjono,Pokok-pokok Sosiologi, LP3S, Jakarta, 1986.


(4)

---, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat,Rajawali Press, Jakarta, 1986.

---,Hukum Adat Indonesia,, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005. Sayuti Thalib, Receptie a Contrario, Hubungan Hukum Adat dengan Hukum

Islam, Bina Aksara, Jakarta, 1980.

Soekanto, Soerjono, Kedudukan Janda Menurut Hukum Waris Adat, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1966.

Soemadiningrat, Otje Salman,Rekonseptuaisasi Hukum Adat Kontemporer,Alumni, Bandung. 1998.

Soerjono Soekanto dan Soeleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, CV. Rajawali, Jakarta, 1991.

Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 1993. Sudiyat. Iman,Asas-asas Hukum Adat, liberty, Yogyakarta, 2000.

Sugiri, Permana, Pergeseran Hukum Waris di Indonesia, Makalah, Program S3 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009

Suherman, Ade Maman, Perbandingan Sistem Hukum RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004.

Suparman, Eman,Hukum Waris Indonesia (Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW), Rafika Aditama, Bandung, 2005.

Supomo,Bab-bab Tentang Hukum Adat,PrdanyaPramitha, Jakarta, 1989. Sutantio, Ny. Retnowulan, Wanita dan Hukum. Alumni, Bandung, 1999. Syahrin, Alvi, Pengantar Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan

Pemukiman Berkelanjutan.Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003.

Syahrizal,Hukum Adat dan hukum Islam di Indonesia,Nadiya Foundation Nanggroe Aceh, Banda Aceh, 2004.

Thaib, M. Hasballah, Ilmu Hukum Waris Islam,MKn USU, Medan, 2009.

Usman, Suparman, Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1997.

Widjaja, R. Rosjidi Rangga, Ilmu Perundang-undangan Indonesia Mandar Maju, Bandung, 1998.


(5)

Wingjodipuro, Suroyo, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, Alumni Bandung, 1989.

Wiranata, I Gede A.B.,Hukum Adat Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. Zainuddin, H.M. Tarich Atjeh dan Nusantara, Djilid I, Pustaka Iskandar Muda,

Medan, 1961.

Zamakhsyari Hasballah, Tafsir Tematik Al Qur’an V, Pustaka Bangsa, Medan, 2008.

---, Teori-teori Hukum Islam dalam Fiqih dan Ushul Fiqh, Cipta Pustaka Media Perintis, Bandung, 2013.

Zein, Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer: Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah,Kencana, Jakarta, 2004.

B. Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentangPemerintahan Aceh

Instruksi Presiden R.I. Nomor 1 Tahun 1991 tentangKompilasi Hukum Islam. Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2000 tentangPenyelenggaraan Kehidupan Adat Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2003 tentangGampong

C. Kamus

Depdiknas,Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, 2005. Prajogo, Soesilo,Kamus Hukum, Internasional dan Nasional, Wacana Intelektual,

Jakarta, 2007. D. Artikel dan Internet

Ismail, H. Badruzzaman, Pengaruh Faktor Budaya Aceh Dalam Menjaga Perdamaian dan Rekonstruksi, diambil dari www.acehinstitute.org pada tanggal 10 Agustus 2010

Irsyad, Mohd. Zaim,Struktur Dan Lembaga Adat Di Aceh,http://misteraim.blogspot. com/html, Diakses 17 April 2013


(6)

Mukhlis, T., Lembaga Adat Gampong Sebagai Pengendalian Sosial masyarakat Terhadap Pelaksanaansyari’at Islam Di Aceh, http://id.scribd.com/doc/ Diakses Desember 2012

---, Membangun Peradilan Syari’ah di Nanggroe Aceh Darussalam, www.komisihukum.go.id/, Diakses pada tanggal 10 Juni 2007

Ramulyo, M. Idris, “Suatu Perbandingan antara Ajaran Sjafi’i dan Wasiat Wajib di Mesir tentang Pembagian Harta Warisan untuk Cucu menurut Islam”. Majalah Hukum dan Pembangunan No. 2 Thn. XII Maret 1982, Jakarta, FHUI, 1982, hlm 155.

Servista Bukit, Keputusan, http://servista-bukit.blogspot.com/html, Diakses April 2013.

Wikipedia,Hukum Adat, http://id.wikipedia.org/wiki/, Diakses, 17 Maret 2013 Pukul 20.30 Wib