Prevalensi Nyeri Kepala Setelah Punksi Dura Pasca Anestesi Spinal Pada Operasi Elektif Di Rsup Haji Adam Malik Medan Tahun 2013
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sejarah Anestesi Spinal
Anestesi eter pernah dilakukan di dalam praktek obstetrik pada tahun 1847
dan mempunyai keunggulan pada anestesi regional. Tetapi dokter kandungan di
Swiss pada tahun 1901 mempopulerkan pemakaian kokain intratekal untuk mengatasi
nyeri pada persalinan. Muntah dan tingginya insidensi nyeri kepala setelah punksi
dura /post-dural puncture headache, keduanya mempunyai mortalitas yang tinggi
pada persalinan sesar dengan anestesi spinal (Gogarten dan Van Aken, 2000).
Pada Agustus 1898, Karl August Bier, dokter bedah Jerman, menginjeksi
10±15 mg kokain ke dalam rongga subaraknoid pada 7 orang pasien, dirinya sendiri
dan asistennya, Hildebrant. Bier, Hildebrandt dan 4 subjek lainnya mengeluhkan
adanya nyeri kepala setelah punksi dura /post-dural puncture headache. Bier
menduga
terjadinya
nyeri
kepala
tersebut
dikarenakan
kehilangan
cairan
serebrospinal. Dalam awal tahun 1900an, banyak laporan tentang aplikasi anestesi
spinal dengan jarum spinal yang besar di literatur-literatur medis. Sakit kepala
menjadi komplikasi pada 50% subjek. Pada saat itu, nyeri kepala disebutkan akan
reda setelah 24 jam(Turnbull dan Shepherd, 2003).
2.2.Patofisiologi Post-dural Puncture Headache
2.2.1. Anatomi Spinal Duramater
Spinal duramater adalah sebuah tabung yang membentang dari foramen
magnum sampai segmen vertebra kedua sacrum, yang terbentuk dari lapisan-lapisan
serat kolagen dan elastik (Nath dan Subrahmanyam, 2011).
Spinal duramater berisi medulla spinalis dan cabang-cabang saraf yang
menembus keluar. Dura mater bersifat padat, setiap lapisan tersusun dari serat
kolagen(Ghaleb, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Serat-serat yang menyusun dura pernah dipercaya terbentuk searah
longitudinal.Tetapi pada pembedahan mikroskopik dura mater dari kadaver
menunjukkan bahwa serat dural tidak searah longitudinal atau berpola paralel. Dura
merupakan suatu struktur berlapis dari lapisan-lapisan yang tersusun secara melingkar
sekitar medulla spinalis (Turnbull dan Shepherd, 2003).
2.2.2. Cairan Serebrospinal
Cairan serebrospinal / cerebrospinal fluid (CSF) diproduksi sebagian besar
dari pleksus koroid (90%) dan sisanya (10%) dari substansi otak (Turnbull dan
Shepherd, 2003). Rata-rata orang dewasa memproduksi CSF sekitar 500mL per hari
atau 21mL per jam. Sekitar 150mL dari CSF disirkulasi pada satu periode dan akan
diabsorbsi oleh villi araknoid. Penyebab dari tejadinya PDPH sebenarnya masih
belum pasti. Penjelasan yang paling diterima adalah rendahnya tekanan pada CSF
yang bisa disebabkan oleh kebocoran dari dura dan araknoid; jika kebocoran tersebut
melampaui rata-rata produksi dari CSF (Ghaleb, 2010).
Tekanan CSF di daerah lumbar pada posisi horizontal berkisar antara 5 dan 15
cm H2O. Pada posisi erect (berdiri), tekanan akan meningkat menjadi lebih dari 40
cm H2O (Turnbull dan Shepherd, 2003). Kehilangan 10% dari volume CSF dapat
menyebabkan orthostatic headache. Ada dua teori mekanisme dasar untuk
menjelaskan PDPH. Pertama, reflex vasodilatasi dari pembuluh darah meningeal
karena penurunan tekanan CSF. Kedua, traksi pada struktur intrakranial yang sensitif
pada nyeri pada posisi tegak. Traksi pada saraf cervikal bagian atas seperti servikal 1,
2, dan 3 bisa menyebabkan nyeri pada leher dan bahu. Traksi pada saraf kranial ke-5
(trigerminal) bisa menyebabkan frontal headache, sedangkan pada saraf kranial ke-9
(glossofaringeal) dan ke-10 (vagus) akan menyebabkan nyeri pada bagian occipital
(Ghaleb, 2010). PDPH disebut sakit kepala yang bervolume / bertekanan rendah
(Laverse et al., 2013).
Universitas Sumatera Utara
2.2.3. Ukuran Jarum dan Insidensi dari PDPH
Insidensi dari PDPH secara langsung berhubungan dengan diameter dari
tusukan ke dura mater. Meskipun semakin kecil diameter jarum yang dipakai untuk
blok subaraknoid mengurangi resiko terjadinya PDPH, jarum-jarum tersebut secara
teknik susah untuk digunakan dan berhubungan dengan penurunan rata-rata
kesuksesan dari anestesi spinal, terutama pada dokter yang kurang berpengalaman.
Sebab yang lain termasuk lambatnya aliran dari jarum berdiameter kecil, yang
menimbulkan pengulangan tusukan. Insidensi PDPH dengan jarum 25G Whitacre
(non-cutting) lebih sedikit dari jarum 27G Quincke (cutting) (Ghaleb, 2010).
Perubahan model jarum dari Quincke (cutting needle) menjadi jarum pencilpoint yang bertipe atraumatik seperti jarum Whitacre, Sprotte, dan Atraucan
mengurangi insidensi PDPH sampai 0-10% (Nath dan Subrahmanyam, 2011).
Sebuah literatur membandingkan jarum spinal Whitacre dan Quincke ukuran
27G (0,41mm) pada 529 pasien non-obstetrik yang menjalani operasi dan ditemukan
insidensi PDPH dari grup Quincke mencapai 2,7%, sedangkan dari grup Whitacre
hanya 0,37%. Penggunaan ukuran jarum yang lebih kecil memerlukan teknik
penusukan yang lebih tinggi, yang akan mengarah penusukan ulang jika gagal,
keadaan ini akan meningkatkan insidensi PDPH (Nath dan Subrahmanyam, 2011).
Nyeri kepala primer seperti migren, tension dan cluster bisa menjadi lebih
berat dengan kurangnya istirahat (tidur), perubahan hormonal sewaktu kehamilan
ataupun melahirkan, dehidrasi, labilitas emosional dan pola makan yang tidak teratur
(Nath dan Subrahmanyam, 2011).
Ketika jarum menusuk ke dalam dura, luas dari luka tersebut tergantung pada
jumlah serat elastin yang terpotong. Serat-serat yang terpotong tersebut cenderung
mengarah ke arah sebaliknya dan menghasilkan luka yang berbentuk bulan sabit
(Tsui dan Finucane, 2008). Tidak hanya bentuk dan jenis jarum yang berperan
penting dalam munculnya PDPH, tetapi berpergian melalui jalur udara, berada di
dataran tinggi, hipoksia, perubahan pada CSF dan tekanan intrakranial, dan duduk
Universitas Sumatera Utara
dalam jangka waktu yang lama juga bisa berperan dalam tingkat keparahan PDPH
(Porhomayon et al., 2013).
Pada mikroskop elektron menunjukkan bahwa jarum pencil-point lebih
traumatik pada dura dari jarum cutting-bevel. Diasumsikan bahwa jarum pencil-point
menghasilkan luka yang irreguler pada dura, kemudian reaksi inflamasi dan secara
efektif terjadi penurunan CSF daripada tusukan berbentuk U dari jarum cutting-bevel,
yang dapat mengurangi resiko PDPH (Ghaleb, 2010).
2.2.4. Duramater dan Respon terhadap Trauma
Kegagalan pentupan dari perforasi lapisan dura dapat menimbulkan
perlekatan, kebocoran CSF terus menerus, dan meningkatkan resiko infeksi. Pada
tahun 1959, bahwa teori proliferasi fibroblastik dipicu oleh ujung luka dari dura telah
dibantah. Studi ini berasumsi bahwa proliferasi fibroblastik tersebut difasilitasi oleh
jaringan sekitar dan penggumpalan darah. Studi ini juga mengatakan perbaikan dari
dura dipicu oleh cedera dari pia-araknoid, jaringan otak, dan adanya penggumpalan
darah (Turnbull dan Shepherd, 2003).
Identifikasi keakuratan pada rongga subaraknoid sangat penting dalam
tindakan anestesi spinal selanjutnya pada letak jarumnya
yang mungkin bisa
menyebabkan ketidaknyamanan pasien, meningkatnya insidensi dari hematom spinal,
PDPH, dan trauma pada struktur neuron (Conroy et al., 2013).
2.2.5. Gejala
Nyeri kepala dan nyeri punggung merupakan gejala utama dari punksi dura.
90% dari nyeri kepala akan terjadi dalam 3 hari setelah prosedur.Dan 66% dimulai
saat 48 jam pertama. Jarang timbul antara hari ke-5 dan 14 setelah prosedur. Nyeri
kepala juga bisa terjadi saat setelah dilakukan punksi dura(Turnbull dan Shepherd,
2003).
Nyeri kepala pasca operasi umumnya terjadi pada remaja muda dan biasanya
pada pasien obstetrik. Nyeri kepala tersebut akan timbul antara 2-7 hari setelah
Universitas Sumatera Utara
punksi lumbal, dan mungkin bertahan sampai lebih dari 6 minggu (Conventry, 2007).
Ada literatur lain yang menyatakan bahwa onset PDPH sekitar 2-72 jam setelah
anestesi spinal dan menetap bisa lebih dari 15 hari (Porhomayon et al., 2013).
International Headache Society (IHS) menjelaskan bahwa PDPH merupakan
nyeri kepala bilateral yang muncul dalam 7 hari setelah punksi lumbal dan mereda 14
hari setelah punksi lumbal (Gaiser 2006). IHS juga menyatakan PDPH adalah nyeri
kepala yang menjadi parah dalam 15 menit setelah duduk atau berdiri dan membaik
dalam 15 menit setelah berbaring, dengan setidaknya satu gejala dari – kaku kuduk,
tinitus, hiperakusia, fotofobia ataupun mual. Sebagian besar PDPH muncul saat 48-72
jam setelah melakukan anestesi spinal, tetapi pasien yang cepat pulang dari rumah
sakit mungkin mulai mengalaminya saat sudah di rumah. Dalam studi meta-analisis
dari Choi menunjukkan onset dari PDPH biasanya 1-7 hari setelah dilakukan punksi
(Nath dan Subrahmanyam, 2011).
PDPH merupakan hasil dari sedikit pembocoran dari CSF sekunder pada
punksi dura. Secara khas, PDPH mempunyai serangan nyeri kepala yang dimulai dari
24 jam keatas, tetapi komplikasi tersebut cenderung muncul saat hari pertama pasca
operasi. Karena PDPH cenderung memburuk saat duduk dan berjalan. Pasien
disarankan untuk tidak turun dari tempat tidur sesaat setelah operasi dan hanya berdiri
saat mau berkemih (Ballantyne, 2008).
PDPH jelas menunjukkan nyeri kepala bagian frontal, frontotemporal atau
occipital, menggerakkan kepala atau tidak dalam posisi berbaring akan memperparah
keadaan, dan membaik jika berbaring, biasanya terjadi 48 jam setelah punksi
dural.Biasanya diikuti dengan mual, muntah dan kaku kuduk (Ghaleb, 2010). Nyeri
kepala tersebut bisa parah dan sering dideskripsikan seperti ‘searing and spreading
like hot metal’. Gejala lain seperti vertigo, pusing dan parestesia dari kulit kepala dan
nyeri pada ekstremitas atas dan bawah juga sering berhubungan pada PDPH
(Turnbull dan Shepherd, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Kriteria-kriteria PDPH merupakan:
1. Terjadi saat mobilisasi.
2. Terjadi pemburukan saat posisi erect (duduk) dan batuk, bersin atau keadaan
yg menegang.
3. Membaik saat berbaring.
4. Lokasi nyeri tersebut di occipital, frontal atau merata.
Menurut Crocker 1976, tingkat keparahan nyeri kepala ditetapkan dalam skala
1-4, yaitu:
1. Nyeri kepala ringan mungkin terjadi karena duduk dalam jangka waktu yang
lama dan tidak ada gejala yang lain.
2. Nyeri kepala sedang yang membuat pasien tidak mampu berdiri lebih dari
setengah jam. Kadang-kadang diiringi dengan mual, muntah, gejala auditori
dan okular.
3. Nyeri kepala berat segera setelah turun dari tempat tidur, dikurangi jika
berbaring di tempat tidur yang horizontal. Sering diiringi dengan mual,
muntah, gejala auditori dan okular.
4. Nyeri kepala yang terjadi walaupun saat berbaring dan sangat diperburuk saat
berdiri, makan tidak memungkinkan karena mual dan muntah berulang (Shah,
Bhatia, dan Tulsiani, 2002).
Menurut International Headache Society (IHS 7.2.1), kriteria diagnostik
PDPH adalah:
1. Nyeri kepala yang timbul saat 15 menit duduk atau berdiri dan membaik 15
menit setelah berbaring, dengan setidaknya diiringi 1 gejala yang berada
dibawah ini dan memenuhi kriteria (3) dan (4):
a. Kaku kuduk
b. Tinitus
c. Hiperakusia
d. Fotofobia
e. Mual-mual
Universitas Sumatera Utara
2. Setelah menjalani punksi dura
3. Nyeri kepala muncul dalam 5 hari pertama setelah menjalani punksi dura
4. Nyeri kepala teratasi:
a. Secara spontan dalam 1 minggu
b. Dalam 48 jam setelah terapi efektif untuk kebocoran CSF (biasanya
epidural blood patch (EBP)) (IHS, 2004).
Gejala-gejala lainnya bisa pada bagian okular seperti fotofobia dan diplopia
atau extraocular muscle paralysis (EOMP) dan keluhan auditori (pendengaran)
seperti tinitus dan hiperakusis (Ghaleb, 2010). Adapun sensasi nyeri pada PDPH ini
bisa meliputi sensasi tegang, tarikan, dan getaran (Ballantyne, 2008). Semua gejala,
kecuali PDPH akan membaik dalam waktu 6 jam (Lomax dan Qureshi, 2008).
Cerebral venous thrombosis (CVT) mempunyai beberapa penyebab pada
pasien-pasien obstetrik dan perlu segera diatasi, ketika sakit kepala atau gejala dan
tanda neurologis yang lain (Laverse et al., 2013).
2.2.6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Insidensi
Wanita, khususnya masa kehamilan, terutama setelah melahirkan, dianggap
meningkatkan resiko terjadinya PDPH. Insidensi PDPH tertinggi berkisar antara
umur 18 dan 30 tahun. Dan jarang terjadi pada anak dibawah 13 tahun serta dewasa
diatas 60 tahun. Pasien dengan indeks massa tubuh (IMT) yang rendah akan
meningkatkan insidensi terjadinya PDPH (Ghaleb, 2010).
Dari salah satu literatur, insidensi dari PDPH terdapat 70% dari grup yang
berumur 18-30 tahun, dan 30% dari grup yang berumur 31-45 tahun. Pada pasien
kebidanan dan kandungan, 50% dari jumlah tersebut pernah mengalami PDPH. 80%
dari total pasien yang mengalami PDPH timbul dalam 24 jam setelah dilakukan
operasi (Singh et al., 2010).
Wanita yang obesitas mempunyai insidensi PDPH yang rendah. Keadaan ini
bisa dikarenakan peningkatan pada tekanan intra-abdomen yang berperan menutup
perforasi pada dura dan mengurangi kehilangan CSF. Wanita muda cenderung
Universitas Sumatera Utara
mempunyai resiko PDPH yang lebih tinggi sebab mempunyai elastisitas serat dura
yang baik dibanding dengan dewasa tua. Pasien dengan sakit kepala sebelum
menjalani punksi lumbal dan mempunyai riwayat PDPH juga meningkatkan resiko
(Ghaleb, 2010).
Kurangnya tidur atau kerja malam secara kontinu pada para klinisi dapat
meningkatkan insidensi dari kecelakaan pada punksi dura, para klinisi perlu istirahat
yang cukup ketika hendak melakukan anestesi spinal (Tsui dan Finucane, 2008).
Penyebab komplikasi dari anestesi termasuk dalam human error (kesalahan
pada klinisi). Human error sendiri biasanya terjadi karena kurangnya pelatihan /
kemampuan , kelelahan, kurangnya pengalaman dan persiapan yang kurang dari
pasien, lingkungan dan peralatan. Kurangnya persiapan / kegagalan alat termasuk
yang paling signifikan menyebabkan komplikasi, misalnya gagalnya sistem pembantu
pernafasan, suplai gas, dan malafungsi pada pompa infus (Hardman, 2007).
Dalam perbandingan anestesi spinal dan umum, anestesi spinal menyebabkan
kehilangan darah lebih sedikit dari anestesi umum. Tekanan darah maksimum dan
denyut jantung saat operasi lebih rendah dalam anestesi spinal. Dari pengalaman para
klinisi, pasien yang menjalani operasi dengan anestesi spinal mempunyai efek
samping yang lebih rendah dari anestesi umum (Attari et al., 2011).
2.3. Diagnosa Banding
Diagnosa dari PDPH sering jelas dari riwayat dari punksi dural dan adanya
sakit kepala yang berat. Bagaimanapun, perlu dipertimbangkan diagnosa alternatif
seperti intrakranial patologis yang serius yang gejalanya dapat mirip dengan PDPH.
Contohnya meningitis viral, kemikal, dan bakterial; hemoragik intrakranial;trombosis
vena serebral, tumor intrakranial;sakit kepala non-spesifik; apopleksi pituitari; infark
serebral, hernia unkal;sakit kepala sinus, migrain; pre-eklampsia, dan obat-obatan
(kafein, amfetamin). Para klinisi juga perlu ingat bahwa hipotensi intrakranial bisa
berlanjut ke hemoragik intrakranial dari bocornya penghubung vena dural,
Universitas Sumatera Utara
sertaketerlambatan diagnosis dan terapi akan berbahaya (Turnbull dan Shepherd,
2003).
Abses spinal, hematom spinal, lesi massa intrakranial, aneurisma serebral,
edema serebral, sindrom miofasial, araknoiditis yang disebabkan oleh steroid
intratekal, sindroma neurologik transien, unspecific postdural puncture lumbalgia,
toksisitas neural dan sindroma arteri spinal anterior juga bisa dipertimbangkan
menjadi diagnosa banding untuk PDPH (Ghaleb, 2010).
2.4. Penatalaksanaan
2.4.1. Terapi Non-farmakologi
Pasien yang mengalami PDPH akan memperlihatkan respon emosional seperti
sedih, menangis sampai marah dan panik.Pasien obstetrik yang kurang beruntung
akan mengalami komplikasi ini, tetapi mereka akan merasa lebih baik dan senang
karena dapat melihat bayi yang baru dilahirkan mereka. Sangatlah penting untuk
memberikan penjelasan kepada pasien secara menyeluruh alasan terjadinya nyeri
kepala tersebut, kapan serangan tersebut terjadi, dan pilihan terapi yang bisa
diberikan. Pemeriksaan ulang secara reguler penting untuk memantau keadaan pasien
dan terapi secepatnya (Turnbull dan Shepherd, 2003).
Terapi suportif seperti rehidrasi, asetaminofen (parasetamol), OAINS (obat
anti-inflamasi non steroid), opioid dan antiemetik bisa mengurangi gejala, tetapi tidak
meredakan sepenuhnya.Pasien harus istirahat dalam posisi yang paling nyaman.
Posisi telungkup bisa meningkatkan tekanan intra-abdomen yang ditransmisikan ke
rongga epidural dan dapat mengurangi gejala nyeri kepala. Tetapi saat
didemonstrasikan oleh para klinisi, posisi ini tidak mengurangi gejala PDPH
(Turnbull dan Shepherd, 2003).Dalam studi konservatif, terapi seperti rehidrasi dan
istirahat yang cukup mempunyai sejarah yang tidak begitu efektif (Apfel et al., 2010).
Follow-up dan evaluasi secara teliti pada pasien PDPH adalah tindakan yang
penting dari bagian obstetrik dan anestesi. Nyeri kepala persisten, nyeri kepala
postural, perubahan sensorium, adanya defisit fokal neurologik dan kejang adalah
Universitas Sumatera Utara
semua gejala yang memerlukan investigasi lebih lanjut seperti neuro-radiological
imaging (Nath dan Subrahmanyam, 2011).
2.4.2.Terapi Farmakologi
Tujuan dari penatalaksanaan PDPH adalah: (i) menggantikan CSF yang
hilang; (ii) menutup daerah tusukan; dan (iii) mengatasi vasodilatasi serebral
(Turnbull dan Shepherd, 2003).
a. Kafein
Metilxantin dapat menghambat reseptor adenosin di serebral yang membuat
vasokonstriksi dari pembuluh darah serebral yang dilatasi (Ghaleb, 2010). IV 0,5
gr kafein direkomendasikan untuk terapi PDPH pada tahun 1944. Dalam bentuk
oral dapat diabsorbsi dengan baik dengan efek puncak saat 30 menit. Kafein juga
melewati sawar darah otak dan mempunyai waktu paruh yang panjang antara 37,5 jam. Kafein termasuk salah satu terapi yang efektif untuk PDPH.Kafein dapat
menurunkan perfusi darah di otak (Turnbull dan Shepherd, 2003).
Kafein merupakan stimulan SSP (sistem saraf pusat) yang poten dan perlu
dicegah untuk wanita yang mempunyai risiko pregnancy-induced hypertension.
Dosis tunggal oral dari kafein termasuk aman, lebih murah dari kafein intravena,
dan akan meredakan gejala yang timbul sesaat (Tsui dan Finucane, 2008).
b. ACTH (adenocorticotrophic hormone)
Kosintropin, bentuk sintetik dari hormon adrenokortikotropik,telah digunakan
untuk terapi PDPH yang sukar disembuhkan. Hormon adrenokortikotropik
dipercaya dapat merangsang kelenjar adrenal untuk meningkatkan produksi CSF
dan pengeluaran β-endorfin (Ghaleb, 2010). Penggunaan kosintropin setelah
terjadinya accidental dural puncture (ADP) menghasilkan penurunan insidensi
dari PDPH dan kebutuhan terapi epidural blood patch (EBP). Hormon
adrenokortikotropik beserta analognya telah digunakan untuk terapi PDPH, tetapi
belum diteliti kegunaannya sebagai profilaksis (Hakim, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Peningkatan produksi dari CSF berperan dalam transpor aktif ion sodium
(natrium) atau peningkatan β-endorfin yang dapat mengubah persepsi dari nyeri.
ACTH dan β-endorfin berasal dari prekursor yang sama, proopiomelanocortin,
yang berikatan dengan reseptor opioid dan efeknya mirip dengan morfin (Hakim,
2010).
c. Sumatriptan
Sumatriptan
merupakan
agonis
reseptor
5-HT1D
yang
meningkatkan
vasokonstriksi serebral.Obat ini agak mahal dan mempunyai efek samping nyeri
di area injeksi dan sesak dada. Waspada terhadap penggunaan pasien dengan
penyakit jantung iskemik.Sumatriptan digunakan untuk mengatasi migren dan
PDPH akhir-akhir ini.Akan tetapi, ada literatur menemukan tidak adanya manfaat
yang menguntungkan dari Sumatriptan untuk terapi konservatif pada PDPH
(Turnbull dan Shepherd, 2003).
d. Epidural Blood Patch(EBP)
EBP adalah pilihan terapi yang efektif untuk PDPH yang berat. Akan tetapi,
tingkat keefektifannya akan berkurang jika punksi duramater tersebut dilakukan
dengan jarum berukuran besar.(Safa-Tisseront et al., 2001).
Ada dua teori yang bisa menjelaskan tentang efektivitas EBP dalam mengatasi
PDPH. Pertama, darah yang telah diinjeksikan membentuk gumpalan yang
menempel ke duramater, secara langsung menutup lubang yang terdapat di dura
dan mencegah kebocoran CSF. Kedua, volume darah yang telah diinjeksikan di
rongga epidural akan meningkatkan tekanan CSF, yang akan meredakan gejalagejala PDPH (Safa-Tisseront et al., 2001).
Kontraindikasi dari epidural blood patch diantaranya demam, infeksi tulang
belakang, koagulopati dan penolakan dari pasien.Pasien dengan posisi lateral,
pada rongga epidural telah diinjeksi jarum Tuohy pada area dural puncture
sebelumnya atau lebih rendah dari rongga intervertebral. Lebih dari 30 ml darah
yang telah diambil dari lengan pasien dan diinjeksikan ke jarum Tuohy tersebut
Universitas Sumatera Utara
secara perlahan. Jika pasien mengeluh nyeri yang berat, prosedur harus
dihentikan (Turnbull dan Shepherd, 2003).
Darah yang telah diinjeksikan akan mengalir di sekitar rongga epidural anterior.
Rongga tekal akan terkompresi dan diisi dengan darah. Kompresi dari rongga
tekal saat tiga jam pertama dan peningkatan tekanan subaraknoid, bisa
meredakan sakit kepala tersebut. Untungnya injeksi darah tersebut tidak memicu
proses inflamasi dan belum ada bukti dari edema aksonal, nekrosis atau
demielinisasi (Turnbull dan Shepherd, 2003).
Beberapa literatur menyarankan untuk memberi profilaksis blood patch kedalam
kateter epidural sebelum mencabutnya, bertunjuan untuk menurunkan insidensi
PDPH. Akan tetapi, sebuah literatur randomized controlled trial tidak
menunjukkan pengurangan dari insidensi PDPH, namun pemberian profilaksis
EBP menurunkan durasi dan keparahan dari sakit kepala (Nath dan
Subrahmanyam, 2011).
e. Epidural Saline
Secara teori, injeksi epidural saline bisa menghasilkan efek yang sama seperti
epidural blood patch, dan mengembalikan dinamik CSF kembali normal. Saline
merupakan larutan yang steril dan tidak bereaksi terhadap zat lain, infus atau
bolus epidural saline bisa menjadi alternatif (Turnbull dan Shepherd, 2003).
f. Epidural Morfin
Manfaat dari epidural morfin pernah diinvestigasi hanya pada randomizedcontrolled trial (RCT). Epidural morfin yang diberikan 3 mg setelah anestesi dan
3 mg yang lainnya diberikan sehari setelahnya. Pemberian ini menurunkan
insidensi PDPH dari 48% sampai 12%. Dalam pemberian ini tidak ditemukan
depresi pernafasan, tetapi muntah-muntah sering terjadi pada terapi ini (Apfel et
al., 2010).
g. Fibrin Glue
Fibrin glue diperkenalkan untuk memperbaiki perforasi spinal dural. Perforasi
dural kranial bisa diperbaiki dengan fibrin glue belakangan ini. Fibrin glue bisa
Universitas Sumatera Utara
dilakukan secara perkutan dibantu dengan CT(computed tomography).
Meningitis aseptik merupakan resiko dari prosedur tersebut (Turnbull dan
Shepherd, 2003).
h. Intratekal Kateter
Setelah terjadi perforasi, masukkan kateter spinal ke dalam perforasi tersebut,
akan memancing reaksi inflamasi yang akan menutup lubang tersebut. Tetapi
prosedur ini masih diperdebatkan.Akan tetapi, komplikasi neurologi seperti
sindroma kauda equina dan infeksi akan terjadi pada prosedur ini (Turnbull dan
Shepherd, 2003).
2.4.3. Operasi
Ada beberapa laporan kasus dari kebocoran CSF yang persisten, yang tidak
respon terhadap terapi lainnya, perforasi dural akan tertutup dengan sukses pada
operasi. Ini jelas merupakan sebagai pilihan terakhir (Turnbull dan Shepherd, 2003).
Ada literatur yang menyatakan bahwa mereka telah berhasil melakukan realtime ultra-sound-guided pada anestesi spinal secara klinis. Teknik ini dapat dilakukan
juga pada saat sebelum melakukan anestesi spinal (Conroy et al., 2013).
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sejarah Anestesi Spinal
Anestesi eter pernah dilakukan di dalam praktek obstetrik pada tahun 1847
dan mempunyai keunggulan pada anestesi regional. Tetapi dokter kandungan di
Swiss pada tahun 1901 mempopulerkan pemakaian kokain intratekal untuk mengatasi
nyeri pada persalinan. Muntah dan tingginya insidensi nyeri kepala setelah punksi
dura /post-dural puncture headache, keduanya mempunyai mortalitas yang tinggi
pada persalinan sesar dengan anestesi spinal (Gogarten dan Van Aken, 2000).
Pada Agustus 1898, Karl August Bier, dokter bedah Jerman, menginjeksi
10±15 mg kokain ke dalam rongga subaraknoid pada 7 orang pasien, dirinya sendiri
dan asistennya, Hildebrant. Bier, Hildebrandt dan 4 subjek lainnya mengeluhkan
adanya nyeri kepala setelah punksi dura /post-dural puncture headache. Bier
menduga
terjadinya
nyeri
kepala
tersebut
dikarenakan
kehilangan
cairan
serebrospinal. Dalam awal tahun 1900an, banyak laporan tentang aplikasi anestesi
spinal dengan jarum spinal yang besar di literatur-literatur medis. Sakit kepala
menjadi komplikasi pada 50% subjek. Pada saat itu, nyeri kepala disebutkan akan
reda setelah 24 jam(Turnbull dan Shepherd, 2003).
2.2.Patofisiologi Post-dural Puncture Headache
2.2.1. Anatomi Spinal Duramater
Spinal duramater adalah sebuah tabung yang membentang dari foramen
magnum sampai segmen vertebra kedua sacrum, yang terbentuk dari lapisan-lapisan
serat kolagen dan elastik (Nath dan Subrahmanyam, 2011).
Spinal duramater berisi medulla spinalis dan cabang-cabang saraf yang
menembus keluar. Dura mater bersifat padat, setiap lapisan tersusun dari serat
kolagen(Ghaleb, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Serat-serat yang menyusun dura pernah dipercaya terbentuk searah
longitudinal.Tetapi pada pembedahan mikroskopik dura mater dari kadaver
menunjukkan bahwa serat dural tidak searah longitudinal atau berpola paralel. Dura
merupakan suatu struktur berlapis dari lapisan-lapisan yang tersusun secara melingkar
sekitar medulla spinalis (Turnbull dan Shepherd, 2003).
2.2.2. Cairan Serebrospinal
Cairan serebrospinal / cerebrospinal fluid (CSF) diproduksi sebagian besar
dari pleksus koroid (90%) dan sisanya (10%) dari substansi otak (Turnbull dan
Shepherd, 2003). Rata-rata orang dewasa memproduksi CSF sekitar 500mL per hari
atau 21mL per jam. Sekitar 150mL dari CSF disirkulasi pada satu periode dan akan
diabsorbsi oleh villi araknoid. Penyebab dari tejadinya PDPH sebenarnya masih
belum pasti. Penjelasan yang paling diterima adalah rendahnya tekanan pada CSF
yang bisa disebabkan oleh kebocoran dari dura dan araknoid; jika kebocoran tersebut
melampaui rata-rata produksi dari CSF (Ghaleb, 2010).
Tekanan CSF di daerah lumbar pada posisi horizontal berkisar antara 5 dan 15
cm H2O. Pada posisi erect (berdiri), tekanan akan meningkat menjadi lebih dari 40
cm H2O (Turnbull dan Shepherd, 2003). Kehilangan 10% dari volume CSF dapat
menyebabkan orthostatic headache. Ada dua teori mekanisme dasar untuk
menjelaskan PDPH. Pertama, reflex vasodilatasi dari pembuluh darah meningeal
karena penurunan tekanan CSF. Kedua, traksi pada struktur intrakranial yang sensitif
pada nyeri pada posisi tegak. Traksi pada saraf cervikal bagian atas seperti servikal 1,
2, dan 3 bisa menyebabkan nyeri pada leher dan bahu. Traksi pada saraf kranial ke-5
(trigerminal) bisa menyebabkan frontal headache, sedangkan pada saraf kranial ke-9
(glossofaringeal) dan ke-10 (vagus) akan menyebabkan nyeri pada bagian occipital
(Ghaleb, 2010). PDPH disebut sakit kepala yang bervolume / bertekanan rendah
(Laverse et al., 2013).
Universitas Sumatera Utara
2.2.3. Ukuran Jarum dan Insidensi dari PDPH
Insidensi dari PDPH secara langsung berhubungan dengan diameter dari
tusukan ke dura mater. Meskipun semakin kecil diameter jarum yang dipakai untuk
blok subaraknoid mengurangi resiko terjadinya PDPH, jarum-jarum tersebut secara
teknik susah untuk digunakan dan berhubungan dengan penurunan rata-rata
kesuksesan dari anestesi spinal, terutama pada dokter yang kurang berpengalaman.
Sebab yang lain termasuk lambatnya aliran dari jarum berdiameter kecil, yang
menimbulkan pengulangan tusukan. Insidensi PDPH dengan jarum 25G Whitacre
(non-cutting) lebih sedikit dari jarum 27G Quincke (cutting) (Ghaleb, 2010).
Perubahan model jarum dari Quincke (cutting needle) menjadi jarum pencilpoint yang bertipe atraumatik seperti jarum Whitacre, Sprotte, dan Atraucan
mengurangi insidensi PDPH sampai 0-10% (Nath dan Subrahmanyam, 2011).
Sebuah literatur membandingkan jarum spinal Whitacre dan Quincke ukuran
27G (0,41mm) pada 529 pasien non-obstetrik yang menjalani operasi dan ditemukan
insidensi PDPH dari grup Quincke mencapai 2,7%, sedangkan dari grup Whitacre
hanya 0,37%. Penggunaan ukuran jarum yang lebih kecil memerlukan teknik
penusukan yang lebih tinggi, yang akan mengarah penusukan ulang jika gagal,
keadaan ini akan meningkatkan insidensi PDPH (Nath dan Subrahmanyam, 2011).
Nyeri kepala primer seperti migren, tension dan cluster bisa menjadi lebih
berat dengan kurangnya istirahat (tidur), perubahan hormonal sewaktu kehamilan
ataupun melahirkan, dehidrasi, labilitas emosional dan pola makan yang tidak teratur
(Nath dan Subrahmanyam, 2011).
Ketika jarum menusuk ke dalam dura, luas dari luka tersebut tergantung pada
jumlah serat elastin yang terpotong. Serat-serat yang terpotong tersebut cenderung
mengarah ke arah sebaliknya dan menghasilkan luka yang berbentuk bulan sabit
(Tsui dan Finucane, 2008). Tidak hanya bentuk dan jenis jarum yang berperan
penting dalam munculnya PDPH, tetapi berpergian melalui jalur udara, berada di
dataran tinggi, hipoksia, perubahan pada CSF dan tekanan intrakranial, dan duduk
Universitas Sumatera Utara
dalam jangka waktu yang lama juga bisa berperan dalam tingkat keparahan PDPH
(Porhomayon et al., 2013).
Pada mikroskop elektron menunjukkan bahwa jarum pencil-point lebih
traumatik pada dura dari jarum cutting-bevel. Diasumsikan bahwa jarum pencil-point
menghasilkan luka yang irreguler pada dura, kemudian reaksi inflamasi dan secara
efektif terjadi penurunan CSF daripada tusukan berbentuk U dari jarum cutting-bevel,
yang dapat mengurangi resiko PDPH (Ghaleb, 2010).
2.2.4. Duramater dan Respon terhadap Trauma
Kegagalan pentupan dari perforasi lapisan dura dapat menimbulkan
perlekatan, kebocoran CSF terus menerus, dan meningkatkan resiko infeksi. Pada
tahun 1959, bahwa teori proliferasi fibroblastik dipicu oleh ujung luka dari dura telah
dibantah. Studi ini berasumsi bahwa proliferasi fibroblastik tersebut difasilitasi oleh
jaringan sekitar dan penggumpalan darah. Studi ini juga mengatakan perbaikan dari
dura dipicu oleh cedera dari pia-araknoid, jaringan otak, dan adanya penggumpalan
darah (Turnbull dan Shepherd, 2003).
Identifikasi keakuratan pada rongga subaraknoid sangat penting dalam
tindakan anestesi spinal selanjutnya pada letak jarumnya
yang mungkin bisa
menyebabkan ketidaknyamanan pasien, meningkatnya insidensi dari hematom spinal,
PDPH, dan trauma pada struktur neuron (Conroy et al., 2013).
2.2.5. Gejala
Nyeri kepala dan nyeri punggung merupakan gejala utama dari punksi dura.
90% dari nyeri kepala akan terjadi dalam 3 hari setelah prosedur.Dan 66% dimulai
saat 48 jam pertama. Jarang timbul antara hari ke-5 dan 14 setelah prosedur. Nyeri
kepala juga bisa terjadi saat setelah dilakukan punksi dura(Turnbull dan Shepherd,
2003).
Nyeri kepala pasca operasi umumnya terjadi pada remaja muda dan biasanya
pada pasien obstetrik. Nyeri kepala tersebut akan timbul antara 2-7 hari setelah
Universitas Sumatera Utara
punksi lumbal, dan mungkin bertahan sampai lebih dari 6 minggu (Conventry, 2007).
Ada literatur lain yang menyatakan bahwa onset PDPH sekitar 2-72 jam setelah
anestesi spinal dan menetap bisa lebih dari 15 hari (Porhomayon et al., 2013).
International Headache Society (IHS) menjelaskan bahwa PDPH merupakan
nyeri kepala bilateral yang muncul dalam 7 hari setelah punksi lumbal dan mereda 14
hari setelah punksi lumbal (Gaiser 2006). IHS juga menyatakan PDPH adalah nyeri
kepala yang menjadi parah dalam 15 menit setelah duduk atau berdiri dan membaik
dalam 15 menit setelah berbaring, dengan setidaknya satu gejala dari – kaku kuduk,
tinitus, hiperakusia, fotofobia ataupun mual. Sebagian besar PDPH muncul saat 48-72
jam setelah melakukan anestesi spinal, tetapi pasien yang cepat pulang dari rumah
sakit mungkin mulai mengalaminya saat sudah di rumah. Dalam studi meta-analisis
dari Choi menunjukkan onset dari PDPH biasanya 1-7 hari setelah dilakukan punksi
(Nath dan Subrahmanyam, 2011).
PDPH merupakan hasil dari sedikit pembocoran dari CSF sekunder pada
punksi dura. Secara khas, PDPH mempunyai serangan nyeri kepala yang dimulai dari
24 jam keatas, tetapi komplikasi tersebut cenderung muncul saat hari pertama pasca
operasi. Karena PDPH cenderung memburuk saat duduk dan berjalan. Pasien
disarankan untuk tidak turun dari tempat tidur sesaat setelah operasi dan hanya berdiri
saat mau berkemih (Ballantyne, 2008).
PDPH jelas menunjukkan nyeri kepala bagian frontal, frontotemporal atau
occipital, menggerakkan kepala atau tidak dalam posisi berbaring akan memperparah
keadaan, dan membaik jika berbaring, biasanya terjadi 48 jam setelah punksi
dural.Biasanya diikuti dengan mual, muntah dan kaku kuduk (Ghaleb, 2010). Nyeri
kepala tersebut bisa parah dan sering dideskripsikan seperti ‘searing and spreading
like hot metal’. Gejala lain seperti vertigo, pusing dan parestesia dari kulit kepala dan
nyeri pada ekstremitas atas dan bawah juga sering berhubungan pada PDPH
(Turnbull dan Shepherd, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Kriteria-kriteria PDPH merupakan:
1. Terjadi saat mobilisasi.
2. Terjadi pemburukan saat posisi erect (duduk) dan batuk, bersin atau keadaan
yg menegang.
3. Membaik saat berbaring.
4. Lokasi nyeri tersebut di occipital, frontal atau merata.
Menurut Crocker 1976, tingkat keparahan nyeri kepala ditetapkan dalam skala
1-4, yaitu:
1. Nyeri kepala ringan mungkin terjadi karena duduk dalam jangka waktu yang
lama dan tidak ada gejala yang lain.
2. Nyeri kepala sedang yang membuat pasien tidak mampu berdiri lebih dari
setengah jam. Kadang-kadang diiringi dengan mual, muntah, gejala auditori
dan okular.
3. Nyeri kepala berat segera setelah turun dari tempat tidur, dikurangi jika
berbaring di tempat tidur yang horizontal. Sering diiringi dengan mual,
muntah, gejala auditori dan okular.
4. Nyeri kepala yang terjadi walaupun saat berbaring dan sangat diperburuk saat
berdiri, makan tidak memungkinkan karena mual dan muntah berulang (Shah,
Bhatia, dan Tulsiani, 2002).
Menurut International Headache Society (IHS 7.2.1), kriteria diagnostik
PDPH adalah:
1. Nyeri kepala yang timbul saat 15 menit duduk atau berdiri dan membaik 15
menit setelah berbaring, dengan setidaknya diiringi 1 gejala yang berada
dibawah ini dan memenuhi kriteria (3) dan (4):
a. Kaku kuduk
b. Tinitus
c. Hiperakusia
d. Fotofobia
e. Mual-mual
Universitas Sumatera Utara
2. Setelah menjalani punksi dura
3. Nyeri kepala muncul dalam 5 hari pertama setelah menjalani punksi dura
4. Nyeri kepala teratasi:
a. Secara spontan dalam 1 minggu
b. Dalam 48 jam setelah terapi efektif untuk kebocoran CSF (biasanya
epidural blood patch (EBP)) (IHS, 2004).
Gejala-gejala lainnya bisa pada bagian okular seperti fotofobia dan diplopia
atau extraocular muscle paralysis (EOMP) dan keluhan auditori (pendengaran)
seperti tinitus dan hiperakusis (Ghaleb, 2010). Adapun sensasi nyeri pada PDPH ini
bisa meliputi sensasi tegang, tarikan, dan getaran (Ballantyne, 2008). Semua gejala,
kecuali PDPH akan membaik dalam waktu 6 jam (Lomax dan Qureshi, 2008).
Cerebral venous thrombosis (CVT) mempunyai beberapa penyebab pada
pasien-pasien obstetrik dan perlu segera diatasi, ketika sakit kepala atau gejala dan
tanda neurologis yang lain (Laverse et al., 2013).
2.2.6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Insidensi
Wanita, khususnya masa kehamilan, terutama setelah melahirkan, dianggap
meningkatkan resiko terjadinya PDPH. Insidensi PDPH tertinggi berkisar antara
umur 18 dan 30 tahun. Dan jarang terjadi pada anak dibawah 13 tahun serta dewasa
diatas 60 tahun. Pasien dengan indeks massa tubuh (IMT) yang rendah akan
meningkatkan insidensi terjadinya PDPH (Ghaleb, 2010).
Dari salah satu literatur, insidensi dari PDPH terdapat 70% dari grup yang
berumur 18-30 tahun, dan 30% dari grup yang berumur 31-45 tahun. Pada pasien
kebidanan dan kandungan, 50% dari jumlah tersebut pernah mengalami PDPH. 80%
dari total pasien yang mengalami PDPH timbul dalam 24 jam setelah dilakukan
operasi (Singh et al., 2010).
Wanita yang obesitas mempunyai insidensi PDPH yang rendah. Keadaan ini
bisa dikarenakan peningkatan pada tekanan intra-abdomen yang berperan menutup
perforasi pada dura dan mengurangi kehilangan CSF. Wanita muda cenderung
Universitas Sumatera Utara
mempunyai resiko PDPH yang lebih tinggi sebab mempunyai elastisitas serat dura
yang baik dibanding dengan dewasa tua. Pasien dengan sakit kepala sebelum
menjalani punksi lumbal dan mempunyai riwayat PDPH juga meningkatkan resiko
(Ghaleb, 2010).
Kurangnya tidur atau kerja malam secara kontinu pada para klinisi dapat
meningkatkan insidensi dari kecelakaan pada punksi dura, para klinisi perlu istirahat
yang cukup ketika hendak melakukan anestesi spinal (Tsui dan Finucane, 2008).
Penyebab komplikasi dari anestesi termasuk dalam human error (kesalahan
pada klinisi). Human error sendiri biasanya terjadi karena kurangnya pelatihan /
kemampuan , kelelahan, kurangnya pengalaman dan persiapan yang kurang dari
pasien, lingkungan dan peralatan. Kurangnya persiapan / kegagalan alat termasuk
yang paling signifikan menyebabkan komplikasi, misalnya gagalnya sistem pembantu
pernafasan, suplai gas, dan malafungsi pada pompa infus (Hardman, 2007).
Dalam perbandingan anestesi spinal dan umum, anestesi spinal menyebabkan
kehilangan darah lebih sedikit dari anestesi umum. Tekanan darah maksimum dan
denyut jantung saat operasi lebih rendah dalam anestesi spinal. Dari pengalaman para
klinisi, pasien yang menjalani operasi dengan anestesi spinal mempunyai efek
samping yang lebih rendah dari anestesi umum (Attari et al., 2011).
2.3. Diagnosa Banding
Diagnosa dari PDPH sering jelas dari riwayat dari punksi dural dan adanya
sakit kepala yang berat. Bagaimanapun, perlu dipertimbangkan diagnosa alternatif
seperti intrakranial patologis yang serius yang gejalanya dapat mirip dengan PDPH.
Contohnya meningitis viral, kemikal, dan bakterial; hemoragik intrakranial;trombosis
vena serebral, tumor intrakranial;sakit kepala non-spesifik; apopleksi pituitari; infark
serebral, hernia unkal;sakit kepala sinus, migrain; pre-eklampsia, dan obat-obatan
(kafein, amfetamin). Para klinisi juga perlu ingat bahwa hipotensi intrakranial bisa
berlanjut ke hemoragik intrakranial dari bocornya penghubung vena dural,
Universitas Sumatera Utara
sertaketerlambatan diagnosis dan terapi akan berbahaya (Turnbull dan Shepherd,
2003).
Abses spinal, hematom spinal, lesi massa intrakranial, aneurisma serebral,
edema serebral, sindrom miofasial, araknoiditis yang disebabkan oleh steroid
intratekal, sindroma neurologik transien, unspecific postdural puncture lumbalgia,
toksisitas neural dan sindroma arteri spinal anterior juga bisa dipertimbangkan
menjadi diagnosa banding untuk PDPH (Ghaleb, 2010).
2.4. Penatalaksanaan
2.4.1. Terapi Non-farmakologi
Pasien yang mengalami PDPH akan memperlihatkan respon emosional seperti
sedih, menangis sampai marah dan panik.Pasien obstetrik yang kurang beruntung
akan mengalami komplikasi ini, tetapi mereka akan merasa lebih baik dan senang
karena dapat melihat bayi yang baru dilahirkan mereka. Sangatlah penting untuk
memberikan penjelasan kepada pasien secara menyeluruh alasan terjadinya nyeri
kepala tersebut, kapan serangan tersebut terjadi, dan pilihan terapi yang bisa
diberikan. Pemeriksaan ulang secara reguler penting untuk memantau keadaan pasien
dan terapi secepatnya (Turnbull dan Shepherd, 2003).
Terapi suportif seperti rehidrasi, asetaminofen (parasetamol), OAINS (obat
anti-inflamasi non steroid), opioid dan antiemetik bisa mengurangi gejala, tetapi tidak
meredakan sepenuhnya.Pasien harus istirahat dalam posisi yang paling nyaman.
Posisi telungkup bisa meningkatkan tekanan intra-abdomen yang ditransmisikan ke
rongga epidural dan dapat mengurangi gejala nyeri kepala. Tetapi saat
didemonstrasikan oleh para klinisi, posisi ini tidak mengurangi gejala PDPH
(Turnbull dan Shepherd, 2003).Dalam studi konservatif, terapi seperti rehidrasi dan
istirahat yang cukup mempunyai sejarah yang tidak begitu efektif (Apfel et al., 2010).
Follow-up dan evaluasi secara teliti pada pasien PDPH adalah tindakan yang
penting dari bagian obstetrik dan anestesi. Nyeri kepala persisten, nyeri kepala
postural, perubahan sensorium, adanya defisit fokal neurologik dan kejang adalah
Universitas Sumatera Utara
semua gejala yang memerlukan investigasi lebih lanjut seperti neuro-radiological
imaging (Nath dan Subrahmanyam, 2011).
2.4.2.Terapi Farmakologi
Tujuan dari penatalaksanaan PDPH adalah: (i) menggantikan CSF yang
hilang; (ii) menutup daerah tusukan; dan (iii) mengatasi vasodilatasi serebral
(Turnbull dan Shepherd, 2003).
a. Kafein
Metilxantin dapat menghambat reseptor adenosin di serebral yang membuat
vasokonstriksi dari pembuluh darah serebral yang dilatasi (Ghaleb, 2010). IV 0,5
gr kafein direkomendasikan untuk terapi PDPH pada tahun 1944. Dalam bentuk
oral dapat diabsorbsi dengan baik dengan efek puncak saat 30 menit. Kafein juga
melewati sawar darah otak dan mempunyai waktu paruh yang panjang antara 37,5 jam. Kafein termasuk salah satu terapi yang efektif untuk PDPH.Kafein dapat
menurunkan perfusi darah di otak (Turnbull dan Shepherd, 2003).
Kafein merupakan stimulan SSP (sistem saraf pusat) yang poten dan perlu
dicegah untuk wanita yang mempunyai risiko pregnancy-induced hypertension.
Dosis tunggal oral dari kafein termasuk aman, lebih murah dari kafein intravena,
dan akan meredakan gejala yang timbul sesaat (Tsui dan Finucane, 2008).
b. ACTH (adenocorticotrophic hormone)
Kosintropin, bentuk sintetik dari hormon adrenokortikotropik,telah digunakan
untuk terapi PDPH yang sukar disembuhkan. Hormon adrenokortikotropik
dipercaya dapat merangsang kelenjar adrenal untuk meningkatkan produksi CSF
dan pengeluaran β-endorfin (Ghaleb, 2010). Penggunaan kosintropin setelah
terjadinya accidental dural puncture (ADP) menghasilkan penurunan insidensi
dari PDPH dan kebutuhan terapi epidural blood patch (EBP). Hormon
adrenokortikotropik beserta analognya telah digunakan untuk terapi PDPH, tetapi
belum diteliti kegunaannya sebagai profilaksis (Hakim, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Peningkatan produksi dari CSF berperan dalam transpor aktif ion sodium
(natrium) atau peningkatan β-endorfin yang dapat mengubah persepsi dari nyeri.
ACTH dan β-endorfin berasal dari prekursor yang sama, proopiomelanocortin,
yang berikatan dengan reseptor opioid dan efeknya mirip dengan morfin (Hakim,
2010).
c. Sumatriptan
Sumatriptan
merupakan
agonis
reseptor
5-HT1D
yang
meningkatkan
vasokonstriksi serebral.Obat ini agak mahal dan mempunyai efek samping nyeri
di area injeksi dan sesak dada. Waspada terhadap penggunaan pasien dengan
penyakit jantung iskemik.Sumatriptan digunakan untuk mengatasi migren dan
PDPH akhir-akhir ini.Akan tetapi, ada literatur menemukan tidak adanya manfaat
yang menguntungkan dari Sumatriptan untuk terapi konservatif pada PDPH
(Turnbull dan Shepherd, 2003).
d. Epidural Blood Patch(EBP)
EBP adalah pilihan terapi yang efektif untuk PDPH yang berat. Akan tetapi,
tingkat keefektifannya akan berkurang jika punksi duramater tersebut dilakukan
dengan jarum berukuran besar.(Safa-Tisseront et al., 2001).
Ada dua teori yang bisa menjelaskan tentang efektivitas EBP dalam mengatasi
PDPH. Pertama, darah yang telah diinjeksikan membentuk gumpalan yang
menempel ke duramater, secara langsung menutup lubang yang terdapat di dura
dan mencegah kebocoran CSF. Kedua, volume darah yang telah diinjeksikan di
rongga epidural akan meningkatkan tekanan CSF, yang akan meredakan gejalagejala PDPH (Safa-Tisseront et al., 2001).
Kontraindikasi dari epidural blood patch diantaranya demam, infeksi tulang
belakang, koagulopati dan penolakan dari pasien.Pasien dengan posisi lateral,
pada rongga epidural telah diinjeksi jarum Tuohy pada area dural puncture
sebelumnya atau lebih rendah dari rongga intervertebral. Lebih dari 30 ml darah
yang telah diambil dari lengan pasien dan diinjeksikan ke jarum Tuohy tersebut
Universitas Sumatera Utara
secara perlahan. Jika pasien mengeluh nyeri yang berat, prosedur harus
dihentikan (Turnbull dan Shepherd, 2003).
Darah yang telah diinjeksikan akan mengalir di sekitar rongga epidural anterior.
Rongga tekal akan terkompresi dan diisi dengan darah. Kompresi dari rongga
tekal saat tiga jam pertama dan peningkatan tekanan subaraknoid, bisa
meredakan sakit kepala tersebut. Untungnya injeksi darah tersebut tidak memicu
proses inflamasi dan belum ada bukti dari edema aksonal, nekrosis atau
demielinisasi (Turnbull dan Shepherd, 2003).
Beberapa literatur menyarankan untuk memberi profilaksis blood patch kedalam
kateter epidural sebelum mencabutnya, bertunjuan untuk menurunkan insidensi
PDPH. Akan tetapi, sebuah literatur randomized controlled trial tidak
menunjukkan pengurangan dari insidensi PDPH, namun pemberian profilaksis
EBP menurunkan durasi dan keparahan dari sakit kepala (Nath dan
Subrahmanyam, 2011).
e. Epidural Saline
Secara teori, injeksi epidural saline bisa menghasilkan efek yang sama seperti
epidural blood patch, dan mengembalikan dinamik CSF kembali normal. Saline
merupakan larutan yang steril dan tidak bereaksi terhadap zat lain, infus atau
bolus epidural saline bisa menjadi alternatif (Turnbull dan Shepherd, 2003).
f. Epidural Morfin
Manfaat dari epidural morfin pernah diinvestigasi hanya pada randomizedcontrolled trial (RCT). Epidural morfin yang diberikan 3 mg setelah anestesi dan
3 mg yang lainnya diberikan sehari setelahnya. Pemberian ini menurunkan
insidensi PDPH dari 48% sampai 12%. Dalam pemberian ini tidak ditemukan
depresi pernafasan, tetapi muntah-muntah sering terjadi pada terapi ini (Apfel et
al., 2010).
g. Fibrin Glue
Fibrin glue diperkenalkan untuk memperbaiki perforasi spinal dural. Perforasi
dural kranial bisa diperbaiki dengan fibrin glue belakangan ini. Fibrin glue bisa
Universitas Sumatera Utara
dilakukan secara perkutan dibantu dengan CT(computed tomography).
Meningitis aseptik merupakan resiko dari prosedur tersebut (Turnbull dan
Shepherd, 2003).
h. Intratekal Kateter
Setelah terjadi perforasi, masukkan kateter spinal ke dalam perforasi tersebut,
akan memancing reaksi inflamasi yang akan menutup lubang tersebut. Tetapi
prosedur ini masih diperdebatkan.Akan tetapi, komplikasi neurologi seperti
sindroma kauda equina dan infeksi akan terjadi pada prosedur ini (Turnbull dan
Shepherd, 2003).
2.4.3. Operasi
Ada beberapa laporan kasus dari kebocoran CSF yang persisten, yang tidak
respon terhadap terapi lainnya, perforasi dural akan tertutup dengan sukses pada
operasi. Ini jelas merupakan sebagai pilihan terakhir (Turnbull dan Shepherd, 2003).
Ada literatur yang menyatakan bahwa mereka telah berhasil melakukan realtime ultra-sound-guided pada anestesi spinal secara klinis. Teknik ini dapat dilakukan
juga pada saat sebelum melakukan anestesi spinal (Conroy et al., 2013).
Universitas Sumatera Utara