Prevalensi Nyeri Kepala Setelah Punksi Dura Pasca Anestesi Spinal Pada Operasi Elektif Di Rsup Haji Adam Malik Medan Tahun 2013

(1)

LAMPIRAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Eric Gradiyanto Ongko

Tempat / Tanggal Lahir : Medan / 28 November 1992

Agama : Budha

Alamat : Jalan Bedagai No. 20 Medan

Riwayat Pendidikan : 1. TK Sutomo 1 Medan 1996 2. SD Sutomo 1 Medan 1998 3. SMP Sutomo 1 Medan 2004 4. SMA Sutomo 1 Medan 2007

Riwayat Pelatihan : 1. Seminar & Workshop Basic Life Support and Traumatology PEMA FK USU 2011

2. Seminar Family Medicine dan Sirkumsisi SCOPH

FK USU 2011


(2)

RINCIAN BIAYA PENELITIAN

No. Biaya Banyak @ Jumlah

1 Print lembar formulir pengambilan data

70 lembar Rp 500,00 Rp 35.000,00 2 Imbalan kepada pasien 70 status Rp 8000,00 Rp 560.000,00

3 Transportasi - - Rp 200.000,00

4 Administrasi - - Rp 100.000,00


(3)

Lampiran 1: Formulir Pengambilan Data

Data Demografis:

Manifestasi Klinis:

KRITERIA DIAGNOSTIK PDPH HARI

I II III IV V

Nyeri kepala yang timbul saat 15 menit duduk atau membaik setelah 15 menit berbaring.

Salah satu dari gejala-gejala seperti kaku kuduk, tinitus, hiperakusia, fotofobia, dan mual-mual.

No Studi:

No Status:

Nama Pasien:

Tanggal Operasi:

Usia (tahun):

Berat Badan (kg):

Pekerjaan:

Alamat:


(4)

Nyeri kepala muncul dalam 5 hari pertama setelah menjalani punksi dura


(5)

DATA INDUK Data Demografis


(6)

No. Usia (tahun) Berat Badan (kg) Pekerjaan Jenis Kelamin

AM01 53 55 IRT Perempuan

AM02 23 55 TA Laki-Laki

AM03 22 50 TA Perempuan

AM04 29 65 TA Laki-Laki

AM05 55 70 Petani Laki-Laki

AM06 60 45 IRT Perempuan

AM07 60 55 IRT Perempuan

AM08 45 60 Petani Laki-Laki

AM09 23 45 Pelajar Laki-Laki

AM10 49 60 Supir Laki-Laki

AM11 30 55 TA Laki-Laki

AM12 53 65 Wiraswasta Perempuan

AM13 18 45 Pelajar Perempuan

AM14 18 51 Pelajar Laki-Laki

AM15 35 60 Supir Laki-Laki

AM16 60 55 Petani Perempuan

AM17 21 62 TA Laki-Laki

AM18 23 46 Pelajar Laki-Laki

AM19 45 70 Wiraswasta Laki-Laki

AM20 51 55 Petani Perempuan

AM21 32 60 Petani Laki-Laki

AM22 45 50 Pegawai Swasta Laki-Laki

AM23 53 70 Petani Laki-Laki

AM24 31 65 Petani Laki-Laki

AM25 47 50 Pegawai Swasta Perempuan

AM26 23 54 TA Laki-Laki

AM27 47 65 IRT Perempuan


(7)

AM29 18 51 Pelajar Laki-Laki

AM30 49 60 Supir Laki-Laki

AM31 53 50 Freelance Laki-Laki

AM32 38 55 Wiraswasta Laki-Laki

AM33 21 49 Wiraswasta Laki-Laki

AM34 47 50 Karyawan Perempuan

AM35 40 55 IRT Perempuan

AM36 25 45 IRT Perempuan

AM37 23 50 Wiraswasta Perempuan

AM38 59 65 Wiraswasta Perempuan

AM39 50 65 PNS Laki-Laki

AM40 18 49 Pelajar Laki-Laki

AM41 40 55 IRT Perempuan

AM42 18 50 Pelajar Perempuan

AM43 59 50 Wiraswasta Perempuan

AM44 56 60 Wiraswasta Laki-Laki

AM45 31 55 Petani Laki-Laki

AM46 21 50 Wiraswasta Laki-Laki

AM47 45 50 Wiraswasta Laki-Laki

AM48 22 65 Pelajar Perempuan

AM49 24 65 Pegawai Swasta Perempuan

AM50 18 50 Pelajar Perempuan

AM51 60 55 Petani Perempuan

AM52 55 55 Petani Laki-Laki

AM53 52 55 Petani Perempuan

AM54 18 50 Pelajar Laki-Laki

AM55 29 50 TA Perempuan

AM56 51 65 Wiraswasta Laki-Laki


(8)

AM58 52 55 Tk Becak Laki-Laki

AM59 21 45 Wiraswasta Laki-Laki

AM60 40 55 IRT Perempuan

AM61 29 55 Petani Perempuan

AM62 43 50 PNS Perempuan

AM63 38 40 Wiraswasta Perempuan


(9)

Data Prevalensi dan Manifestasi Klinis PDPH

No. Onset Variabel 1 (hari ke-) Onset Variabel 2 (hari ke-) Onset Variabel 3 (hari ke-) Durasi Variabel 1 (hari) Durasi Variabel 2 (hari) Durasi Variabel 3 (hari) Onset PDPH (hari ke-) Durasi PDPH (hari) Prevalensi atau Diagnosa PDPH

AM01 2 1 2 3 2 1 2 1 Ada

AM02 2 0 2 1 0 1 0 0 Tidak Ada

AM03 1 1 1 1 1 1 1 1 Ada

AM04 0 0 0 0 0 0 0 0 Tidak Ada

AM05 0 1 0 0 1 0 0 0 Tidak Ada

AM06 0 0 0 0 0 0 0 0 Tidak Ada

AM07 2 1 2 1 2 1 2 1 Ada

AM08 0 0 0 0 0 0 0 0 Tidak Ada

AM09 0 0 0 0 0 0 0 0 Tidak Ada

AM10 1 0 0 1 0 0 0 0 Tidak Ada

AM11 1 1 1 4 4 4 1 4 Ada

AM12 0 0 0 0 0 0 0 0 Tidak Ada

AM13 0 1 0 0 1 0 0 0 Tidak Ada

AM14 0 1 0 0 2 0 0 0 Tidak Ada

AM15 0 0 0 0 0 0 0 0 Tidak Ada


(10)

AM21 0 0 0 0 0 0 0 0 Tidak Ada

AM22 0 0 0 0 0 0 0 0 Tidak Ada

AM23 2 1 2 1 2 1 2 1 Ada

AM24 0 0 0 0 0 0 0 0 Tidak Ada

AM25 0 2 0 0 1 0 0 0 Tidak Ada

AM26 0 0 0 0 0 0 0 0 Tidak Ada

AM27 0 0 0 0 0 0 0 0 Tidak Ada

AM28 1 1 1 3 1 1 1 1 Ada

AM29 0 1 0 0 1 0 0 0 Tidak Ada

AM30 0 0 0 0 0 0 0 0 Tidak Ada

AM31 1 0 1 5 0 5 0 0 Tidak Ada

AM32 1 1 1 1 1 1 1 1 Ada

AM33 1 1 1 1 5 1 1 1 Ada

AM34 0 1 0 0 1 0 0 0 Tidak Ada

AM35 0 0 0 0 0 0 0 0 Tidak Ada

AM36 1 0 0 1 0 0 0 0 Tidak Ada

AM37 0 0 0 0 0 0 0 0 Tidak Ada

AM38 2 0 0 1 0 0 0 0 Tidak Ada

AM39 1 1 1 2 1 1 1 1 Ada

AM40 0 1 0 0 5 0 0 0 Tidak Ada

AM41 1 1 1 1 1 1 1 1 Ada

AM42 1 1 1 1 1 1 1 1 Ada

AM43 1 0 0 2 0 0 0 0 Tidak Ada

AM44 0 0 0 0 0 0 0 0 Tidak Ada

AM45 0 0 0 0 0 0 0 0 Tidak Ada

AM46 0 0 0 0 0 0 0 0 Tidak Ada

AM47 1 1 1 2 1 1 1 1 Ada

AM48 1 1 1 2 2 2 1 2 Ada


(11)

Catatan:

1. Variabel 1 = Nyeri kepala yang timbul saat 15 menit duduk atau membaik setelah 15 menit berbaring. 2. Variabel 2 = Salah satu dari gejala-gejala seperti kaku kuduk, tinitus, hiperakusia, fotofobia, dan mual-mual. 3. Variabel 3 = Nyeri kepala muncul dalam 5 hari pertama setelah menjalani punksi dura.

AM50 5 5 5 1 1 1 5 1 Ada

AM51 0 0 0 0 0 0 0 0 Tidak Ada

AM52 0 0 0 0 0 0 0 0 Tidak Ada

AM53 0 1 0 0 5 0 0 0 Tidak Ada

AM54 1 0 0 2 0 0 0 0 Tidak Ada

AM55 0 0 0 0 0 0 0 0 Tidak Ada

AM56 0 0 0 0 0 0 0 0 Tidak Ada

AM57 0 0 0 0 0 0 0 0 Tidak Ada

AM58 0 0 0 0 0 0 0 0 Tidak Ada

AM59 1 0 0 2 0 0 0 0 Tidak Ada

AM60 0 0 0 0 0 0 0 0 Tidak Ada

AM61 1 1 1 1 2 1 1 1 Ada

AM62 0 1 0 0 1 0 0 0 Tidak Ada

AM63 0 1 0 0 1 0 0 0 Tidak Ada


(12)

Output

diagnosa atau prevalensi PDPH

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

Ada 16 25,0 25,0 25,0

Tidak Ada 48 75,0 75,0 100,0

Total 64 100,0 100,0

Statistics usia

N Valid 64

Missing 0

Mean 37,36

Median 38,00

Std. Deviation 14,439

Range 42

Minimum 18

Maximum 60

jenis kelamin

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

Laki-laki 35 54,7 54,7 54,7

Perempuan 29 45,3 45,3 100,0


(13)

Usia yang Dikelompokkan Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

18-24 20 31,3 31,3 31,3

25-31 8 12,5 12,5 43,8

32-38 5 7,8 7,8 51,6

39-45 8 12,5 12,5 64,1

46-52 10 15,6 15,6 79,7

53-60 13 20,3 20,3 100,0

Total 64 100,0 100,0

pekerjaan

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

Freelance 1 1,6 1,6 1,6

IRT 8 12,5 12,5 14,1

Karyawan 1 1,6 1,6 15,6

Pegawai Swasta 3 4,7 4,7 20,3

Pelajar 10 15,6 15,6 35,9

Petani 13 20,3 20,3 56,3

PNS 2 3,1 3,1 59,4

Supir 3 4,7 4,7 64,1

TA 8 12,5 12,5 76,6

Tk Becak 1 1,6 1,6 78,1

Wiraswasta 14 21,9 21,9 100,0


(14)

Onset nyeri kepala yang timbul saat 15 menit duduk atau membaik setelah 15 menit berbaring

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

0 39 60,9 60,9 60,9

1 18 28,1 28,1 89,1

2 5 7,8 7,8 96,9

4 1 1,6 1,6 98,4

5 1 1,6 1,6 100,0

Total 64 100,0 100,0

Onset salah satu dari gejala-gejala seperti kaku kuduk, tinitus, hiperakusia, fotofobia, dan mual-mual

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

0 35 54,7 54,7 54,7

1 27 42,2 42,2 96,9

2 1 1,6 1,6 98,4

5 1 1,6 1,6 100,0

Total 64 100,0 100,0

Onset nyeri kepala muncul dalam 5 hari pertama setelah menjalani punksi dura Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

0 46 71,9 71,9 71,9

1 13 20,3 20,3 92,2

2 4 6,3 6,3 98,4

5 1 1,6 1,6 100,0


(15)

Durasi nyeri kepala yang timbul saat 15 menit duduk atau membaik setelah 15 menit berbaring

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

0 39 60,9 60,9 60,9

1 14 21,9 21,9 82,8

2 7 10,9 10,9 93,8

3 2 3,1 3,1 96,9

4 1 1,6 1,6 98,4

5 1 1,6 1,6 100,0

Total 64 100,0 100,0

Durasi salah satu dari gejala-gejala seperti kaku kuduk, tinitus, hiperakusia, fotofobia, dan mual-mual

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

0 35 54,7 54,7 54,7

1 18 28,1 28,1 82,8

2 6 9,4 9,4 92,2

4 1 1,6 1,6 93,8

5 4 6,3 6,3 100,0

Total 64 100,0 100,0

Durasi nyeri kepala muncul dalam 5 hari pertama setelah menjalani punksi dura

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

0 46 71,9 71,9 71,9

1 15 23,4 23,4 95,3

2 1 1,6 1,6 96,9

4 1 1,6 1,6 98,4

5 1 1,6 1,6 100,0


(16)

onset terjadinya atau insidensi PDPH

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

0 48 75,0 75,0 75,0

1 12 18,8 18,8 93,8

2 3 4,7 4,7 98,4

5 1 1,6 1,6 100,0

Total 64 100,0 100,0

durasi terjadinya PDPH

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

0 48 75,0 75,0 75,0

1 14 21,9 21,9 96,9

2 1 1,6 1,6 98,4

4 1 1,6 1,6 100,0


(17)

berat badan kelompok Frequency Percent Valid

Percent

Cumulative Percent

Valid

40-45 6 9,4 9,4 9,4

46-51 20 31,3 31,3 40,6

52-57 19 29,7 29,7 70,3

58-63 7 10,9 10,9 81,3

64-70 12 18,8 18,8 100,0

Total 64 100,0 100,0

Usia yang Dikelompokkan * diagnosa atau prevalensi PDPH Crosstabulation diagnosa atau prevalensi PDPH Total

Ada Tidak Ada

Usia yang Dikelompokkan

18-24

Count 7 13 20

% within diagnosa atau prevalensi PDPH

43,8% 27,1% 31,3%

25-31

Count 2 6 8

% within diagnosa atau prevalensi PDPH

12,5% 12,5% 12,5%

32-38

Count 1 4 5

% within diagnosa atau prevalensi PDPH

6,3% 8,3% 7,8%

39-45

Count 2 6 8

% within diagnosa atau prevalensi PDPH

12,5% 12,5% 12,5%

46-52

Count 1 9 10

% within diagnosa atau prevalensi PDPH

6,3% 18,8% 15,6%

53-60

Count 3 10 13

% within diagnosa atau prevalensi PDPH

18,8% 20,8% 20,3%

Total

Count 16 48 64

% within diagnosa atau prevalensi PDPH


(18)

jenis kelamin * diagnosa atau prevalensi PDPH Crosstabulation

diagnosa atau prevalensi PDPH Total Ada Tidak Ada

jenis kelamin 1

Count 8 27 35

% within diagnosa atau prevalensi PDPH

50,0% 56,3% 54,7%

2

Count 8 21 29

% within diagnosa atau prevalensi PDPH

50,0% 43,8% 45,3%

Total

Count 16 48 64

% within diagnosa atau prevalensi PDPH


(19)

onset terjadinya atau insidensi PDPH * diagnosa atau prevalensi PDPH Crosstabulation diagnosa atau prevalensi PDPH Total

Ada Tidak Ada

onset terjadinya atau insidensi PDPH

0

Count 0 48 48

% within diagnosa atau prevalensi PDPH

0,0% 100,0% 75,0%

1

Count 12 0 12

% within diagnosa atau prevalensi PDPH

75,0% 0,0% 18,8%

2

Count 3 0 3

% within diagnosa atau prevalensi PDPH

18,8% 0,0% 4,7%

5

Count 1 0 1

% within diagnosa atau prevalensi PDPH

6,3% 0,0% 1,6%

Total

Count 16 48 64

% within diagnosa atau prevalensi PDPH


(20)

durasi terjadinya PDPH * diagnosa atau prevalensi PDPH Crosstabulation

diagnosa atau prevalensi PDPH Total Ada Tidak Ada

durasi terjadinya PDPH

0

Count 0 48 48

% within diagnosa atau prevalensi PDPH

0,0% 100,0% 75,0%

1

Count 14 0 14

% within diagnosa atau prevalensi PDPH

87,5% 0,0% 21,9%

2

Count 1 0 1

% within diagnosa atau prevalensi PDPH

6,3% 0,0% 1,6%

4

Count 1 0 1

% within diagnosa atau prevalensi PDPH

6,3% 0,0% 1,6%

Total

Count 16 48 64

% within diagnosa atau prevalensi PDPH


(21)

DAFTAR PUSTAKA

Attari, M.A., Mirhosseini, S.A., Honarmand, A., Safavi, R., 2011. Spinal anesthesia versus general anesthesia for elective lumbar spine surgery: a randomized clinical trial. Journal of Research in Medical Science, 16 (4), pp 524-529.

Ballantyne, J.C., 2008. Management of acute postoperative pain. In: Longnecker, D.E., Brown, D.L., Newman, M.F., and Zapol, W.M. Anesthesiology. 1st ed. San Fransisco: McGraw-Hill Medical, pp. 1729.

Burgi, P., 2013. Spinal anesthesic: side effect. Albuquerque Journal, 1.

Campbell, N.J., 2010. Effective management of the post dural puncture headache.

World Federation of Societies of Anaesthesiologist, pp. 1-7.

Chohan, U., Hamdani, G.A., 2003. Post dural puncture headache. Journal of Pakistan

Medical Association, 53, pp. 1-9.

Conroy, P.H., Luyet, C., McCartney, C.J., dan McHardy, P.G., 2013. Real-time ultrasound-guided spinal anaesthesia: a prospective observational study of a new approach. Hindawi Publishing Corporation, pp. 1-7.

Conventry, D.M., 2007. Local anesthesic techniques. In: Aitkenhead, A.R.,Smith, G., and Rowbotham, D.J. Textbook of Anesthesia. 5th ed. Netherlands: Churchill Livingstone Elsevier, pp. 328.

Gaiser, R., 2006. Postdural puncture headache. Current Opinion in Anaesthesiology (19), pp. 249-253.

Ghaleb, A., 2010. Postdural Puncture Headache. Hindawi Publishing Corporation


(22)

Gogarten, W., & Van Aken, H., 2000. A century of regional analgesia in obstetrics.

Anesth Analg(91), 773-775.

Hakim, S.M., 2010. Cosyntropin for prophylaxis against postdural puncture headache after accidental dural puncture. Anesthesiology (113), pp. 413-420.

Hardman, J.G., 2007. Complications during anaesthesia. In: Aitkenhead, A.R.,Smith, G., and Rowbotham, D.J. Textbook of Anesthesia. 5th ed. Netherlands: Churchill Livingstone Elsevier, pp. 367.

International Headache Society, 2004. International classification of headache disorder. In: Cephalgia 2nd ed. Oxford: Blackwell Publishing.

Laverse, E., Cader, S., de Silva, R., Chawda, S., Kapoor, S., dan Thompson, O., 2013. Peripartum isolated cortical vein thrombosis in a mother with postdural puncture headache treated with an epidural blood patch. Hindawi Publishing

Corporation, pp. 1-3.

Lomax, S., dan Qureshi, A., 2008. Unusually early onset of post-dural puncture headache after spinal anaesthesia using 27G whittacre needle. British Journal of Anaesthesia (5), pp. 707-708.

Madiyono, B., Moeslichan, S., Sastroasmoro, S., Budiman, I., dan Purwanto, S.H., 2008. Perkiraan besar sampel. Dalam: Sastroasmoro, S. & Ismael, S. (eds).

Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Edisi III. Jakarta: Sagung Seto,

pp.78-91.

Maltby, J.R., Hutter, C.D.D., dan Clayton, K.C., 2000. History: the woolley and roe case. British journal of anaesthesia (1), pp. 121-126.

Nath, G., & Subrahmanyam, M., 2011. Headache in the parturient: pathophysiology and management of post-dural puncture headache. Journal of Obstetric


(23)

Notoatmodjo, Soekidjo, 2005. Metodologi penelitian kesehatan. Edisi III. Jakarta: Rineka Cipta, pp.79-92.

Porhomayon, J., Zadeii, G., Yarahamadi, A., dan Nader, N.D., 2013. A case of prolonged delayed postdural puncture headache in a patient with multiple sclerosis exacerbated by air travel. Hindawi Publishing Corporation, pp. 1-3.

Safa-Tisseront, V., Thormann, F., Malassine, P., Henry, M., Riou, B., Coriat, P., Seebacher, J., 2001. Effectiveness of epidural blood patch in the management of post dural puncture headache. American Society of Anesthesiologists (95), pp. 334-339.

Shah, A., Bhatia, P.K., Tulsiani, K.L., 2002. Post dural puncture headache in caesarean section – a comparative study using 25 g quincke, 27 g quincke and 27 g whitacre needle. Indian Journal of Anaesthesia (46), 373-377.

Singh, J., Ranjit, S., Shrestha, S., Limbu, T., Marahatta, S.B., 2010. Post dural puncture headache. Journal of Institute of Medicine Nepal (32), pp. 30-32.

Tsen, L.C., 2008. Anesthesia for obstetric care and gynecology surgery. In: Longnecker, D.E., Brown, D.L., Newman, M.F., and Zapol, W.M.

Anesthesiology. 1st ed. San Fransisco: McGraw-Hill Medical, pp. 1480.

Tsui, B.C.H., Finucane, B.T., 2008. Managing adverse outcomes during regional anesthesia. In: Longnecker, D.E., Brown, D.L., Newman, M.F., and Zapol, W.M. Anesthesiology. 1st ed. San Fransisco: McGraw-Hill Medical, pp. 1068.

Turnbull, D. K., & Shepherd, D., 2003. Post-dural puncture headache: pathogenesis, prevention and treatment. British Journal of Anaesthesia(5), 718-729.

Wu, C.L., Rowlingson, A.J., Cohen, S.R., Michaels, R.K., Courpas, G.E., Joe, E.M., Liu, S.S., 2006. Gender and post-dural puncture headache. Anesthesiology (105), pp. 613-618.


(24)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian diatas, maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:

→ yang diteliti

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

FAKTOR RISIKO:

Jenis Kelamin

Umur

Posisi Tubuh

Jenis dan ukuran

jarum

Keahlian dokter

Riwayat sakit

kepala sebelum

anestesi spinal

PDPH

ANESTESI

SPINAL

Prevalensi


(25)

3.2. Definisi Operasional

• Anestesi spinal adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan menginjeksikan jarum dibagian spinal yang bertujuan untuk melumpuhkan atau menghilangkan rasa anggota tubuh bawah untuk sementara. Biasa dilakukan untuk bedah pada anggota tubuh bawah.

Nyeri kepala setelah punksi dura/PDPH (post dural puncture headache) adalah salah satu efek samping dari anestesi spinal. Ada beberapa teori dari PDPH sendiri, salah satunya karena gagalnya penutupan perforasi dari dura dan kebocoran CSF secara terus menerus.

• Jenis kelamin adalah jenis kelamin penderita PDPH pada saat penelitian dilaksanakan. Cara pengukuran adalah dengan cara observasi. Hasil ukurnya adalah:

1. Pria 2. Wanita

Dengan skala: nominal

• Umur adalah umur penderita PDPH saat penelitian dilaksanakan dan dinyatakan dalam tahun. Cara ukur adalah dengan cara observasi. Insidensi PDPH tertinggi berkisar antara umur 18 dan 30 tahun (70%), dan 30% dari grup yang berumur 31-45 tahun. Dan jarang terjadi pada anak dibawah 13tahun serta dewasa diatas 60 tahun.

• Posisi tubuh adalah posisi tubuh penderita PDPH setelah dilaksanakan anestesi spinal.

• Jenis jarum adalah jenis jarum yang dipakai saat anestesi spinal. Jenis jarum ini didapatkan dari hasil wawancara dengan dokter atau suster yang mendampingi pasien saat operasi.

• Keahlian dokter adalah seberapa pengalaman seorang dokter melakukan spinal anestesi.


(26)

• Prevalensi adalah jumlah kasus penderita PDPH pada suatu tempo tertentu dihubungkan dengan populasi (bisa kasus lama ataupun baru).

• Insidensi adalah kapan onset terjadinya PDPH.

• Migren adalah nyeri kepala, tipikal tapi tidak selalu unilateral, disertai muntah dan berbagai gejala konstitusional (kelelahan, kekurangan karbohidrat, diuresis), yang biasanya berlangsung >48jam.


(27)

BAB 4

METODE PENELITIAN 4.1.Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan prospective cohort study yaitu penelitian mendeskripsikan prevalensi nyeri kepala setelah punksi dura /post-dural puncture

headache (PDPH) pasca anestesi spinal pada operasi elektif di RSUP Haji Adam

Malik Medan.

4.2.Waktu dan Tempat Penelitian a.Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan dari bulan Juli 2013 s/d November 2013. b. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di RSUP Haji Adam Malik Medan.

4.3. Populasi dan Sampel a. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah pasienyang menerima anestesi spinal pada operasi elektifdi RSUP Haji Adam Malik Medan dari Juli 2013 s/d November 2013.

b. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah pasien RSUP Haji Adam Malik Medan dari Juli 2013 s/d November 2013 yang mengalami nyeri kepala setelah punksi dura

/post-dural puncture headache (PDPH) pasca anestesi spinal pada operasi elektif

yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.Pengambilan sampel penelitian ini dilakukan dengan teknik non probability sampling (Notoadmodjo, 2010).

Sampel diperoleh dengan metodeconsecutive sampling, yaitu semua subjek yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subjek yang diperlukan terpenuhi (Madiyono et al., 2008).


(28)

Adapun kriteriapemilihan sampel penelitian ini adalah: 1. Kriteria Inklusi

a. Pasien yang menjalani anestesi spinal pada operasi elektif. b. Pasien yang dapat berkomunikasi dengan peneliti.

c. Pasien dengan umur antara 18-60 tahun.

d. Pasien yang memenuhi kriteria ASA I dan ASA II (American Society of

Anaesthesiology Classification).

2. Kriteria Eksklusi

Pasien yang mempunyai penyakit penyerta lain seperti migren, meningitis, pendarahan intrakranial, tumor intrakranial, dan preeklampsia.

Besar sampel penelitian ini ditentukan dengan menggunakan rumus berikut (Madiyono et al. )

Keterangan : zα = deviat baku alfa (ditetapkan peneliti) n = jumlah/besar sampel

P = proporsi penderita PDPH Q = 1-P

d = tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki (ditetapkan peneliti)

Dengan menggunakan rumus di atas, maka besar sampel yang diperlukan adalah:

n = zα2PQ d2

n = 1,962x 0,79 x (1-0,79) = 0,637321= 63,7 ≈ 64 orang 0,12 0,01


(29)

4.4. Teknik Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini merupakan data primer, dimana semua data yang diperlukan diperoleh dari wawancara dengan pasien dan dokter atau pendamping dokter yang mengoperasi. Dan dilakukan follow-up sampai 5 hari setelah anestesi spinal.

4.5. Pengolahan dan Analisa Data

Data yang diperlukan dikumpulkan setelah melakukan wawancara dengan pasien dan dokter atau pendamping dokter yang mengoperasi. Data yang terkumpul kemudian diolah dengan menggunakan program Statistical Product and Service

Solution (SPSS). Dalam penelitian ini, data adalah berbentuk kategorik dan akan

dianalisis dengan cara deskriptif. Kemudian data disajikan dalam bentuk tabel-tabel distribusi frekuensi dan grafik.


(30)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan yang berlokasi di Jalan Bunga Lau No. 17, Kelurahan Kemenangan Tani, Kecamatan Medan Tuntungan. Rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit kelas A sesuai dengan SK Menkes No. 355/Menkes/SK/VII/1990. RSUP Haji Adam Malik Medan juga merupakan rumah sakit rujukan untuk wilayah pembangunan A yang meliputi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat dan Riau sehingga dapat dijumpai pasien dengan latar belakang yang sangat bervariasi. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 502/ Menkes/ IX/ 1991 pada tanggal 6 September 1991, RSUP Haji Adam Malik Medan ditetapkan sebagai rumah sakit pendidikan bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Individu

Pada penelitian ini sampel yang diperoleh mencapai 64 orang, yaitu pasien yang menjalani operasi elektif dengan anestesi spinal. Dari keseluruhan sampel yang diamati, sebaran karakteristik sampel yang diamati meliputi usia, berat badan, jenis kelamin, pekerjaan, onset dan durasi masing-masing kriteria diagnostik PDPH, beserta insidensi dan prevalensi PDPH.


(31)

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Kelompok Umur

Berdasarkan kelompok umur pada tabel 5.1, peserta sampel tertinggi terdapat pada kelompokumur 18-24 tahun yaitu sebesar 31,3%, dan terkecil pada kelompok interval usia 32-38 tahun yaitu sebesar 7,8%. Rata-rata atau mean usia sampel yang diteliti adalah 37,36 tahun dengan standar deviasi 14,439 tahun (37,36±14,439 tahun).

Tabel 5.2Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

No. Jenis Kelamin Jumlah (orang) Persentase (%)

1. Laki-laki 35 54,7

2. Perempuan 29 45,3

Total 64 100,0

Berdasarkan jenis kelamin pada tabel 5.2, sebagian besar sampel adalah laki-laki, yaitu berjumlah 35 (54,7%) orang dan sampel dengan jenis kelamin perempuan berjumlah 29 (45,3%) orang.

No. Usia (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%)

1. 18-24 20 31,3

2. 25-31 8 12,5

3. 32-38 5 7,8

4. 39-45 8 12,5

5. 46-52 10 15,6

6. 53-60 13 20,3


(32)

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Jenis Pekerjaan

No. Jenis Pekerjaan Jumlah (orang) Persentase (%)

1. Freelance 1 1,6

2. Ibu Rumah Tangga 8 12,5

3. Karyawan 1 1,6

4. Pegawai Swasta 3 4,7

5. Pelajar 10 15,6

6. Petani 13 20,3

7. Pegawai Negeri Sipil 2 3,1

8. Supir 3 4,7

9. Tidak Ada 8 12,5

10. Tukang Becak 1 1,6

11. Wiraswasta 14 21,9

Total 64 100,0

Berdasarkan jenis pekerjaan pada tabel 5.3, sebaran terbanyak terdapat pada kelompok wiraswasta yang mencapai 14 (21,9%) orang, diikuti oleh kelompok petani sebanyak 13 (20,3%) orang, dan pelajar sebanyak 10 (15,6%) orang.

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Berat Badan

No. Berat Badan (kg) Jumlah (orang) Persentase (%)

1. 40-45 6 9,4

2. 46-51 20 31,3

3. 52-57 19 29,7

4. 58-63 7 10,9

5. 64-70 12 18,8

6. 40-45 6 9,4


(33)

Ditinjau dari berat badan sampel, diperoleh data seperti yang ditunjukkan pada tabel 5.4, jumlah sampel terbanyak pada kelompok berat badan 46-51 kg (31,3%), diikuti pada kelompok berat badan 52-57 kg (29,7).

5.1.3. Deskripsi PDPH /Nyeri Kepala Pasca Punksi Dura Setelah Anestesi Spinal pada Operasi Elektif

Tabel 5.5. Prevalensi atau Diagnosa PDPH

No. Prevalensi Jumlah (orang) Persentase (%)

1. Ada 16 25,0

2. Tidak Ada 48 75,0

Total 64 100,0

Berdasarkan prevalensi atau diagnosa PDPH seperti pada tabel 5.5, sampel yang menderita PDPH sebanyak 16 orang (25%), sedangkan yang tidak ada gejala PDPH sebanyak 48 orang (75%).

Tabel 5.6. Onset dari Nyeri Kepala yang Timbul saat 15 Menit Duduk atau Membaik Setelah 15 Menit Berbaring

No. Onset Variabel 1

(hari ke-) Jumlah (orang) Persentase (%)

1. 0 39 60,9

2. 1 18 28,1

3. 2 5 7,8

4. 3 0 0,0

5. 4 1 1,6

6. 5 1 1,6


(34)

Ditinjau dari onset dari nyeri kepala yang timbul saat 15 menit duduk atau membaik setelah 15 menit berbaring seperti yang ditunjukkan pada tabel 5.6., sebagian besar sampel sebanyak 39 orang (60,9%) tidak mengeluhkan gejala seperti ini. Dan diikuti 18 orang (28,1%) menunjukkan gejala ini pada hari pertama (24 jam setelah dilakukan anestesi spinal pada operasi elektif).

Tabel 5.7. Onset dari Salah Satu dari Gejala-gejala Seperti Kaku Kuduk, Tinitus, Hiperakusia, Fotofobia, dan Mual-mual

No. Onset Variabel 2

(hari ke-) Jumlah (orang) Persentase (%)

1. 0 35 54,7

2. 1 27 42,2

3. 2 1 1,6

4. 3 0 0,0

5. 4 0 0,0

6. 5 1 1,6

Total 64 100,0

Berdasarkan onset dari salah satu dari gejala-gejala seperti kaku kuduk, tinitus, hiperakusia, fotofobia, dan mual-mual pada tabel 5.7, mayoritas sampel yang sebanyak 35 orang (54,7%) tidak menunjukkan gejala ini, sedangkan 27 orang (42,2%) sampel menunjukkan gejala ini pada 24 jam pertama.


(35)

Tabel 5.8. Onset dari Nyeri Kepala Muncul dalam 5 Hari Pertama Setelah Menjalani Punksi Dura

No. Onset Variabel 3

(hari ke-) Jumlah (orang) Persentase (%)

1. 0 46 71,9

2. 1 13 20,3

3. 2 4 6,3

4. 3 0 0,0

5. 4 0 0,0

6. 5 1 1,6

Total 64 100,0

Berdasarkan onset dari nyeri kepala muncul dalam 5 hari pertama setelah menjalani punksi dura pada tabel 5.8, sebanyak 46 orang (71,9%) sampel tidak ditemui gejala seperti ini, dan diikuti 13 orang (20,3%) sampel yang menderita gejala ini pada hari pertama.

Tabel 5.9. Durasi dari Nyeri Kepala yang Timbul saat 15 Menit Duduk atau Membaik Setelah 15 Menit Berbaring

No. Durasi Variabel 1

(hari) Jumlah (orang) Persentase (%)

1. 0 39 60,9

2. 1 14 21,9

3. 2 7 10,9

4. 3 2 3,1

5. 4 1 1,6

6. 5 1 1,6


(36)

Ditinjau dari durasi dari nyeri kepala yang timbul saat 15 menit duduk atau membaik setelah 15 menit berbaring seperti yang ditunjukkan pada tabel 5.9, sebanyak 39 orang (60,9%) sampel tidak menderita gejala ini sama sekali, dan diikuti oleh 14 orang (21,9%) sampel yang menderita gejala ini kurang dari 24 jam.

Tabel 5.10. Durasi dari Salah Satu dari Gejala-gejala Seperti Kaku Kuduk, Tinitus, Hiperakusia, Fotofobia, dan Mual-mual

No. Durasi Variabel 2

(hari) Jumlah (orang) Persentase (%)

1. 0 35 54,7

2. 1 18 28,1

3. 2 6 9,4

4. 3 0 0,0

5. 4 1 1,6

6. 5 4 6,3

Total 64 100,0

Berdasarkan durasi dari salah satu dari gejala-gejala seperti kaku kuduk, tinitus, hiperakusia, fotofobia, dan mual-mual pada tabel 5.10, sebagian besar sampel sebanyak 35 orang (54,7%) tidak menderita gejala seperti ini sama sekali, dan diikuti sampel yang menderita keluhan ini selama kurang dari 1 hari sebanyak 18 orang (28,1%).


(37)

Tabel 5.11. Durasi dari Nyeri Kepala Muncul dalam 5 Hari Pertama Setelah Menjalani Punksi Dura

No. Durasi Variabel 3

(hari) Jumlah (orang) Persentase (%)

1. 0 46 71,9

2. 1 15 23,4

3. 2 1 1,6

4. 3 0 0,0

5. 4 1 1,6

6. 5 1 1,6

Total 64 100,0

Berdasarkan onset dari nyeri kepala muncul dalam 5 hari pertama setelah menjalani punksi dura pada tabel 5.11, sebanyak 46 orang sampel yang tidak mengeluhkan keluhan ini sama sekali. Dan yang mengeluhkan keluhan ini kurang dari 24 jam sebanyak 15 orang (23,4%).

Tabel 5.12. Onset Terjadinya atau Insidensi PDPH No. Onset atau Insidensi

PDPH (hari ke-) Jumlah (orang) Persentase (%)

1. 0 48 75,0

2. 1 12 18,8

3. 2 3 4,7

4. 3 0 0,0

5. 4 0 0,0

6. 5 1 1,6

Total 64 100,0

Di dalam tabel 5.12, menunjukkan mayoritas sampel sebanyak 48 orang (75%) tidak menunjukkan insidensi PDPH, sedangkan 12 orang (18,8%) sampel mengeluhkan onset atau insidensi PDPH padan hari pertama.


(38)

Tabel 5.13. Durasi Terjadinya PDPH

No. Durasi PDPH (hari) Jumlah (orang) Persentase (%)

1. 0 48 75,0

2. 1 14 21,9

3. 2 1 1,6

4. 3 0 0,0

5. 4 1 1,6

6. 5 0 0,0

Total 64 100,0

Berdasarkan durasi terjadinya PDPH yang seperti yang ditunjukkan tabel 5.13, jumlah sampel terbesar berada pada kelompok tidak mengeluhkan PDPH sama sekali sebanyak 48 orang (75%), dan diikuti sebanyak 14 orang (21,9%) sampel yang menderita PDPH kurang dari 1 hari.


(39)

Tabel 5.14 Distribusi Diagnosa atau Prevalensi PDPH Berdasarkan Usia yang Dikelompokkan

Usia yang Dikelompokkan

Diagnosa atau Prevalensi PDPH Total

Ada Tidak Ada

n % n % n %

18-24 7 43,8 13 27,1 20 31,3

25-31 2 12,5 6 12,5 8 12,5

32-38 1 6,3 4 8,3 5 7,8

39-45 2 12,5 6 12,5 8 12,5

46-52 1 6,3 9 18,8 10 15,6

53-60 3 18,8 10 20,8 13 20,3

Total 16 100,0 48 100,0 64 100,0

Berdasarkan tabel 5.14, diagnosa PDPH pada sampel paling banyak diderita pada kelompok usia 18-24 tahun sebanyak 7 orang (43,8%).


(40)

Tabel 5.15 Distribusi Diagnosa atau Prevalensi PDPH Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin

Diagnosa atau Prevalensi PDPH

Total

Ada Tidak Ada

n % n % n %

Laki-laki 8 50,0 27 56,3 35 54,7

Perempuan 8 50,0 21 43,8% 29 45,3

Total 16 100,0 48 100,0 100,0 100,0

Dalam tabel 5.15 menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai persentase yang sama sebanyak masing-masing 8 orang (50%).

Tabel 5.16 Distribusi Diagnosa atau Prevalensi PDPH Berdasarkan Onset Terjadinya atau Insidensi PDPH

Onset atau Insidensi PDPH

Diagnosa atau Prevalensi PDPH Total

Ada Tidak Ada

n % n % n %

0 0 0,0 48 100,0 48 75,0

1 12 75,0 0 0,0 12 18,8

2 3 18,8 0 0,0 3 4,7

3 0 0,0 0 0,0 0 0,0

4 0 0,0 0 0,0 0 0,0

5 1 6,3 0 0,0 1 1,6


(41)

Dalam tabel 5.16, menunjukkan onset atau insidensi terjadinya PDPH terdapat pada 24 jam pertama sebanyak 12 orang sampel (75%).

Tabel 5.17 Distribusi Diagnosa atau Prevalensi PDPH Berdasarkan Durasi Terjadinya PDPH

Durasi Terjadinya PDPH

Diagnosa atau Prevalensi PDPH Total

Ada Tidak Ada

n % n % n %

0 0 0,0 48 100,0 48 75,0

1 14 87,5 0 0,0 14 21,9

2 1 6,3 0 0,0 1 1,6

3 0 0,0 0 0,0 0 0,0

4 0 0,0 0 0,0 0 0,0

5 1 6,3 0 0,0 1 1,6

Total 16 100,0 48 100,0 64 100,0

Dalam tabel 5.17, pasien yang didiagnosa PDPH sebagian besar menderita PDPH selama kurang dari 24 jam.


(42)

5.2. Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi nyeri kepala setelah punksi dura (PDPH) setelah anestesi spinal pada operasi elektif di RSUP Haji Adam Malik Medan. Sebagai hasilnya, 16 orang (25%) dari semua sampel terdiagnosa menderita PDPH (nyeri kepala setelah punksi dura). Menurut Turnbull dan Shepherd (2003) pada awal tahun 1900-an, 50% pasien yang menjalani anestesi spinal mengeluhkan nyeri kepala. Bahkan penelitian Campbell (2010) bahwa diperkirakan tingkat penderita PDPH sekitar 30-50% setelah anestesi spinal. Tetapi menurut Chohan dan Hamdani (2003), 80% dari pasien obstetrik mengalami PDPH setelah anestesi spinal.

Berdasarkan penelitian ini, kelompok usia yang paling rentan menderita PDPH adalah kelompok usia 18-24 tahun yaitu berjumlah 7 orang (43,8%), diikuti oleh kelompok usia 53-60 tahun yaitu berjumlah 3 orang (18,8%). Menurut Ghaleb (2010), insidensi PDPH tertinggi juga terjadi pada kelompok usia 18-30 tahun. Keadaan ini bisa disebabkan karena pada orang muda mempunyai tingkat elastisitas jaringan dural lebih tinggi dan mempunyai risiko yang lebih besar dari kelompok usia yang lain (Ghaleb, 2010). Hal ini hampir mirip dengan penelitian Chohan dan Hamdani (2003) bahwa kelompok usia 20-40 mempunyai insidensi PDPH tersering.

Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan insidensi PDPH antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan, yaitu masing-masing sebanyak 8 orang (50,0%). Hal ini berbeda dengan penelitian dari Wu et al. (2006), dimana didapati insidensi PDPH lebih tinggi pada perempuan dibandingkan pria, yaitu masing-masing sebanyak 14% dan 7%. Perbedaan ini mungkin dikarenakan insidensi PDPH yang tidak banyak pada penelitian ini. Dalam penelitian Ghaleb (2010), wanita, terutama saat melahirkan, dan memiliki indeks massa tubuh yang lebih kecil memiliki risiko terjadinya PDPH lebih besar dibandingkan laki-laki. Hal ini mirip dengan penelitian Campbell (2010) yang menyatakan bahwa lebih dari 81% wanita hamil yang


(43)

menjalani anestesi spinal mengalami PDPH. Menurut Chohan dan Hamdani (2003), insidensi PDPH pada wanita memang lebih tinggi (12-13.4%) dari pria (5.7-7%).

Onset terjadinya PDPH pada sampel penelitian ini paling banyak terdapat pada 24 jam pertama sebanyak 12 orang (75,0%) dan diikuti 3 orang (18,8%) di hari ke-2. Berdasarkan penelitian Turnbull dan Shepherd (2003), 90% dari penderita PDPH terjadi dalam 3 hari setelah anestesi spinal. Dan 66% dimulai dalam 48 jam pertama. Mirip dengan penelitian Ghaleb (2010), PDPH akan bermanifestasi dalam 48 jam setelah anestesi spinal. Keadaan ini hampir mirip dengan penelitian Campbell (2010) yang juga menyatakan bahwa hampir semua PDPH dialami saat 24-48 jam setelah anestesi spinal dan 90% diantaranya dialami saat 3 hari pertama.

Berdasarkan hasil penelitian ini, durasi PDPH yang diderita pada sampel dialami sebagian besar selama kurang dari 24 jam sebanyak 14 orang (87,5%). Menurut Turnbull dan Shepherd (2003), 29% penderita PDPH akan sembuh antara hari ke 3 sampai 4, diikuti 24% antara hari ke 1 sampai 2, serta 19% antara hari ke 5 sampai 7. Sisanya akan sembuh setelah lebih dari 1 minggu setelah prosedur.

Terdapat beberapa keterbatasan pada penelitian ini. Peneliti tidak meneliti keterkaitan antara IMT (indeks massa tubuh) ideal dengan angka kejadian PDPH dengan mencari kelompok berat badan berapa yang paling berisiko terjadinya PDPH. Peneliti tidak meneliti ukuran jarum suntik yang dipakai dalam anestesi spinal yang paling aman untuk tidak terjadinya PDPH. Peneliti hanya membatasi penelitian ini hanya meneliti sebatas 5 hari pasca anestesi spinal.


(44)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan

1. Berdasarkan hasil penelitian mengenai prevalensi nyeri kepala setelah punksi dura (PDPH) pasca anestesi spinal pada operasi elektif di RSUP H. Adam Malik pada tahun 2013, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat 25% dari pasien yang menjalani anestesi spinal dalam penelitian ini menderita PDPH.

2. Selain itu, kelompok usia yang paling sering menderita PDPH berkisar antara umur 18-24 tahun (43.8%).

3. Tidak terjadi perbedaan kejadian PDPH pada penelitian ini antara laki-laki dan perempuan.

4. Kebanyakan PDPH muncul dalam 24 jam pertama (75%) setelah anestesi spinal. 5. Pada pasien yang menderita PDPH, biasanya mengeluhkan gejala ini tidak lebih

dari 24 jam (87.5%). 6.2. Saran

1. Tenaga medis (dokter anestesi dan perawat) sebaiknya melakukan follow-up pasien minimal dalam 48 jam setelah menjalani anestesi spinal. Karena sebagian besar pasien dalam penelitian ini mengalami PDPH pada hari pertama dan kedua. 2. Untuk pasien yang menjalani anestesi spinal, diusahakan agar dalam 48 jam

pertama setelah prosedur, pasien dalam keadaan istirahat total untuk mengurangi risiko terjadinya PDPH.

3. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menilai keterkaitan antara IMT (indeks massa tubuh) ideal dengan angka kejadian PDPH dengan menilai kelompok berat badan berapa yang paling berisiko mengalami PDPH.

4. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menilai keterkaitan antara jarum suntik dalam anestesi spinal dengan angka kejadian PDPH.


(45)

5. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menilai jarum suntik mana yang paling aman untuk tidak terjadinya PDPH dengan membandingkan setiap jarum yang dipakai untuk anestesi spinal.

6. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat melakukan follow up lebih dari 5 hari pasca anestesi spinal, misalnya 7 hari, 14 hari, dan seterusnya.


(46)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah Anestesi Spinal

Anestesi eter pernah dilakukan di dalam praktek obstetrik pada tahun 1847 dan mempunyai keunggulan pada anestesi regional. Tetapi dokter kandungan di Swiss pada tahun 1901 mempopulerkan pemakaian kokain intratekal untuk mengatasi nyeri pada persalinan. Muntah dan tingginya insidensi nyeri kepala setelah punksi dura /post-dural puncture headache, keduanya mempunyai mortalitas yang tinggi pada persalinan sesar dengan anestesi spinal (Gogarten dan Van Aken, 2000).

Pada Agustus 1898, Karl August Bier, dokter bedah Jerman, menginjeksi 10±15 mg kokain ke dalam rongga subaraknoid pada 7 orang pasien, dirinya sendiri dan asistennya, Hildebrant. Bier, Hildebrandt dan 4 subjek lainnya mengeluhkan adanya nyeri kepala setelah punksi dura /post-dural puncture headache. Bier menduga terjadinya nyeri kepala tersebut dikarenakan kehilangan cairan serebrospinal. Dalam awal tahun 1900an, banyak laporan tentang aplikasi anestesi spinal dengan jarum spinal yang besar di literatur-literatur medis. Sakit kepala menjadi komplikasi pada 50% subjek. Pada saat itu, nyeri kepala disebutkan akan reda setelah 24 jam(Turnbull dan Shepherd, 2003).

2.2.Patofisiologi Post-dural Puncture Headache 2.2.1. Anatomi Spinal Duramater

Spinal duramater adalah sebuah tabung yang membentang dari foramen magnum sampai segmen vertebra kedua sacrum, yang terbentuk dari lapisan-lapisan serat kolagen dan elastik (Nath dan Subrahmanyam, 2011).

Spinal duramater berisi medulla spinalis dan cabang-cabang saraf yang menembus keluar. Dura mater bersifat padat, setiap lapisan tersusun dari serat kolagen(Ghaleb, 2010).


(47)

Serat-serat yang menyusun dura pernah dipercaya terbentuk searah longitudinal.Tetapi pada pembedahan mikroskopik dura mater dari kadaver menunjukkan bahwa serat dural tidak searah longitudinal atau berpola paralel. Dura merupakan suatu struktur berlapis dari lapisan-lapisan yang tersusun secara melingkar sekitar medulla spinalis (Turnbull dan Shepherd, 2003).

2.2.2. Cairan Serebrospinal

Cairan serebrospinal / cerebrospinal fluid (CSF) diproduksi sebagian besar dari pleksus koroid (90%) dan sisanya (10%) dari substansi otak (Turnbull dan Shepherd, 2003). Rata-rata orang dewasa memproduksi CSF sekitar 500mL per hari atau 21mL per jam. Sekitar 150mL dari CSF disirkulasi pada satu periode dan akan diabsorbsi oleh villi araknoid. Penyebab dari tejadinya PDPH sebenarnya masih belum pasti. Penjelasan yang paling diterima adalah rendahnya tekanan pada CSF yang bisa disebabkan oleh kebocoran dari dura dan araknoid; jika kebocoran tersebut melampaui rata-rata produksi dari CSF (Ghaleb, 2010).

Tekanan CSF di daerah lumbar pada posisi horizontal berkisar antara 5 dan 15 cm H2O. Pada posisi erect (berdiri), tekanan akan meningkat menjadi lebih dari 40 cm H2O (Turnbull dan Shepherd, 2003). Kehilangan 10% dari volume CSF dapat menyebabkan orthostatic headache. Ada dua teori mekanisme dasar untuk menjelaskan PDPH. Pertama, reflex vasodilatasi dari pembuluh darah meningeal karena penurunan tekanan CSF. Kedua, traksi pada struktur intrakranial yang sensitif pada nyeri pada posisi tegak. Traksi pada saraf cervikal bagian atas seperti servikal 1, 2, dan 3 bisa menyebabkan nyeri pada leher dan bahu. Traksi pada saraf kranial ke-5 (trigerminal) bisa menyebabkan frontal headache, sedangkan pada saraf kranial ke-9 (glossofaringeal) dan ke-10 (vagus) akan menyebabkan nyeri pada bagian occipital (Ghaleb, 2010). PDPH disebut sakit kepala yang bervolume / bertekanan rendah (Laverse et al., 2013).


(48)

2.2.3. Ukuran Jarum dan Insidensi dari PDPH

Insidensi dari PDPH secara langsung berhubungan dengan diameter dari tusukan ke dura mater. Meskipun semakin kecil diameter jarum yang dipakai untuk blok subaraknoid mengurangi resiko terjadinya PDPH, jarum-jarum tersebut secara teknik susah untuk digunakan dan berhubungan dengan penurunan rata-rata kesuksesan dari anestesi spinal, terutama pada dokter yang kurang berpengalaman. Sebab yang lain termasuk lambatnya aliran dari jarum berdiameter kecil, yang menimbulkan pengulangan tusukan. Insidensi PDPH dengan jarum 25G Whitacre (non-cutting) lebih sedikit dari jarum 27G Quincke (cutting) (Ghaleb, 2010).

Perubahan model jarum dari Quincke (cutting needle) menjadi jarum pencil-point yang bertipe atraumatik seperti jarum Whitacre, Sprotte, dan Atraucan mengurangi insidensi PDPH sampai 0-10% (Nath dan Subrahmanyam, 2011).

Sebuah literatur membandingkan jarum spinal Whitacre dan Quincke ukuran 27G (0,41mm) pada 529 pasien non-obstetrik yang menjalani operasi dan ditemukan insidensi PDPH dari grup Quincke mencapai 2,7%, sedangkan dari grup Whitacre hanya 0,37%. Penggunaan ukuran jarum yang lebih kecil memerlukan teknik penusukan yang lebih tinggi, yang akan mengarah penusukan ulang jika gagal, keadaan ini akan meningkatkan insidensi PDPH (Nath dan Subrahmanyam, 2011).

Nyeri kepala primer seperti migren, tension dan cluster bisa menjadi lebih berat dengan kurangnya istirahat (tidur), perubahan hormonal sewaktu kehamilan ataupun melahirkan, dehidrasi, labilitas emosional dan pola makan yang tidak teratur (Nath dan Subrahmanyam, 2011).

Ketika jarum menusuk ke dalam dura, luas dari luka tersebut tergantung pada jumlah serat elastin yang terpotong. Serat-serat yang terpotong tersebut cenderung mengarah ke arah sebaliknya dan menghasilkan luka yang berbentuk bulan sabit (Tsui dan Finucane, 2008). Tidak hanya bentuk dan jenis jarum yang berperan penting dalam munculnya PDPH, tetapi berpergian melalui jalur udara, berada di dataran tinggi, hipoksia, perubahan pada CSF dan tekanan intrakranial, dan duduk


(49)

dalam jangka waktu yang lama juga bisa berperan dalam tingkat keparahan PDPH (Porhomayon et al., 2013).

Pada mikroskop elektron menunjukkan bahwa jarum pencil-point lebih traumatik pada dura dari jarum cutting-bevel. Diasumsikan bahwa jarum pencil-point menghasilkan luka yang irreguler pada dura, kemudian reaksi inflamasi dan secara efektif terjadi penurunan CSF daripada tusukan berbentuk U dari jarum cutting-bevel, yang dapat mengurangi resiko PDPH (Ghaleb, 2010).

2.2.4. Duramater dan Respon terhadap Trauma

Kegagalan pentupan dari perforasi lapisan dura dapat menimbulkan perlekatan, kebocoran CSF terus menerus, dan meningkatkan resiko infeksi. Pada tahun 1959, bahwa teori proliferasi fibroblastik dipicu oleh ujung luka dari dura telah dibantah. Studi ini berasumsi bahwa proliferasi fibroblastik tersebut difasilitasi oleh jaringan sekitar dan penggumpalan darah. Studi ini juga mengatakan perbaikan dari dura dipicu oleh cedera dari pia-araknoid, jaringan otak, dan adanya penggumpalan darah (Turnbull dan Shepherd, 2003).

Identifikasi keakuratan pada rongga subaraknoid sangat penting dalam tindakan anestesi spinal selanjutnya pada letak jarumnya yang mungkin bisa menyebabkan ketidaknyamanan pasien, meningkatnya insidensi dari hematom spinal, PDPH, dan trauma pada struktur neuron (Conroy et al., 2013).

2.2.5. Gejala

Nyeri kepala dan nyeri punggung merupakan gejala utama dari punksi dura. 90% dari nyeri kepala akan terjadi dalam 3 hari setelah prosedur.Dan 66% dimulai saat 48 jam pertama. Jarang timbul antara hari ke-5 dan 14 setelah prosedur. Nyeri kepala juga bisa terjadi saat setelah dilakukan punksi dura(Turnbull dan Shepherd, 2003).

Nyeri kepala pasca operasi umumnya terjadi pada remaja muda dan biasanya pada pasien obstetrik. Nyeri kepala tersebut akan timbul antara 2-7 hari setelah


(50)

punksi lumbal, dan mungkin bertahan sampai lebih dari 6 minggu (Conventry, 2007). Ada literatur lain yang menyatakan bahwa onset PDPH sekitar 2-72 jam setelah anestesi spinal dan menetap bisa lebih dari 15 hari (Porhomayon et al., 2013).

International Headache Society (IHS) menjelaskan bahwa PDPH merupakan

nyeri kepala bilateral yang muncul dalam 7 hari setelah punksi lumbal dan mereda 14 hari setelah punksi lumbal (Gaiser 2006). IHS juga menyatakan PDPH adalah nyeri kepala yang menjadi parah dalam 15 menit setelah duduk atau berdiri dan membaik dalam 15 menit setelah berbaring, dengan setidaknya satu gejala dari – kaku kuduk, tinitus, hiperakusia, fotofobia ataupun mual. Sebagian besar PDPH muncul saat 48-72 jam setelah melakukan anestesi spinal, tetapi pasien yang cepat pulang dari rumah sakit mungkin mulai mengalaminya saat sudah di rumah. Dalam studi meta-analisis dari Choi menunjukkan onset dari PDPH biasanya 1-7 hari setelah dilakukan punksi (Nath dan Subrahmanyam, 2011).

PDPH merupakan hasil dari sedikit pembocoran dari CSF sekunder pada punksi dura. Secara khas, PDPH mempunyai serangan nyeri kepala yang dimulai dari 24 jam keatas, tetapi komplikasi tersebut cenderung muncul saat hari pertama pasca operasi. Karena PDPH cenderung memburuk saat duduk dan berjalan. Pasien disarankan untuk tidak turun dari tempat tidur sesaat setelah operasi dan hanya berdiri saat mau berkemih (Ballantyne, 2008).

PDPH jelas menunjukkan nyeri kepala bagian frontal, frontotemporal atau

occipital, menggerakkan kepala atau tidak dalam posisi berbaring akan memperparah

keadaan, dan membaik jika berbaring, biasanya terjadi 48 jam setelah punksi dural.Biasanya diikuti dengan mual, muntah dan kaku kuduk (Ghaleb, 2010). Nyeri kepala tersebut bisa parah dan sering dideskripsikan seperti ‘searing and spreading

like hot metal’. Gejala lain seperti vertigo, pusing dan parestesia dari kulit kepala dan

nyeri pada ekstremitas atas dan bawah juga sering berhubungan pada PDPH (Turnbull dan Shepherd, 2003).


(51)

Kriteria-kriteria PDPH merupakan: 1. Terjadi saat mobilisasi.

2. Terjadi pemburukan saat posisi erect (duduk) dan batuk, bersin atau keadaan yg menegang.

3. Membaik saat berbaring.

4. Lokasi nyeri tersebut di occipital, frontal atau merata.

Menurut Crocker 1976, tingkat keparahan nyeri kepala ditetapkan dalam skala 1-4, yaitu:

1. Nyeri kepala ringan mungkin terjadi karena duduk dalam jangka waktu yang lama dan tidak ada gejala yang lain.

2. Nyeri kepala sedang yang membuat pasien tidak mampu berdiri lebih dari setengah jam. Kadang-kadang diiringi dengan mual, muntah, gejala auditori dan okular.

3. Nyeri kepala berat segera setelah turun dari tempat tidur, dikurangi jika berbaring di tempat tidur yang horizontal. Sering diiringi dengan mual, muntah, gejala auditori dan okular.

4. Nyeri kepala yang terjadi walaupun saat berbaring dan sangat diperburuk saat berdiri, makan tidak memungkinkan karena mual dan muntah berulang (Shah, Bhatia, dan Tulsiani, 2002).

Menurut International Headache Society (IHS 7.2.1), kriteria diagnostik PDPH adalah:

1. Nyeri kepala yang timbul saat 15 menit duduk atau berdiri dan membaik 15 menit setelah berbaring, dengan setidaknya diiringi 1 gejala yang berada dibawah ini dan memenuhi kriteria (3) dan (4):

a. Kaku kuduk b. Tinitus c. Hiperakusia d. Fotofobia e. Mual-mual


(52)

2. Setelah menjalani punksi dura

3. Nyeri kepala muncul dalam 5 hari pertama setelah menjalani punksi dura 4. Nyeri kepala teratasi:

a. Secara spontan dalam 1 minggu

b. Dalam 48 jam setelah terapi efektif untuk kebocoran CSF (biasanya

epidural blood patch (EBP)) (IHS, 2004).

Gejala-gejala lainnya bisa pada bagian okular seperti fotofobia dan diplopia atau extraocular muscle paralysis (EOMP) dan keluhan auditori (pendengaran) seperti tinitus dan hiperakusis (Ghaleb, 2010). Adapun sensasi nyeri pada PDPH ini bisa meliputi sensasi tegang, tarikan, dan getaran (Ballantyne, 2008). Semua gejala, kecuali PDPH akan membaik dalam waktu 6 jam (Lomax dan Qureshi, 2008).

Cerebral venous thrombosis (CVT) mempunyai beberapa penyebab pada

pasien-pasien obstetrik dan perlu segera diatasi, ketika sakit kepala atau gejala dan tanda neurologis yang lain (Laverse et al., 2013).

2.2.6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Insidensi

Wanita, khususnya masa kehamilan, terutama setelah melahirkan, dianggap meningkatkan resiko terjadinya PDPH. Insidensi PDPH tertinggi berkisar antara umur 18 dan 30 tahun. Dan jarang terjadi pada anak dibawah 13 tahun serta dewasa diatas 60 tahun. Pasien dengan indeks massa tubuh (IMT) yang rendah akan meningkatkan insidensi terjadinya PDPH (Ghaleb, 2010).

Dari salah satu literatur, insidensi dari PDPH terdapat 70% dari grup yang berumur 18-30 tahun, dan 30% dari grup yang berumur 31-45 tahun. Pada pasien kebidanan dan kandungan, 50% dari jumlah tersebut pernah mengalami PDPH. 80% dari total pasien yang mengalami PDPH timbul dalam 24 jam setelah dilakukan operasi (Singh et al., 2010).

Wanita yang obesitas mempunyai insidensi PDPH yang rendah. Keadaan ini bisa dikarenakan peningkatan pada tekanan intra-abdomen yang berperan menutup perforasi pada dura dan mengurangi kehilangan CSF. Wanita muda cenderung


(53)

mempunyai resiko PDPH yang lebih tinggi sebab mempunyai elastisitas serat dura yang baik dibanding dengan dewasa tua. Pasien dengan sakit kepala sebelum menjalani punksi lumbal dan mempunyai riwayat PDPH juga meningkatkan resiko (Ghaleb, 2010).

Kurangnya tidur atau kerja malam secara kontinu pada para klinisi dapat meningkatkan insidensi dari kecelakaan pada punksi dura, para klinisi perlu istirahat yang cukup ketika hendak melakukan anestesi spinal (Tsui dan Finucane, 2008).

Penyebab komplikasi dari anestesi termasuk dalam human error (kesalahan pada klinisi). Human error sendiri biasanya terjadi karena kurangnya pelatihan / kemampuan , kelelahan, kurangnya pengalaman dan persiapan yang kurang dari pasien, lingkungan dan peralatan. Kurangnya persiapan / kegagalan alat termasuk yang paling signifikan menyebabkan komplikasi, misalnya gagalnya sistem pembantu pernafasan, suplai gas, dan malafungsi pada pompa infus (Hardman, 2007).

Dalam perbandingan anestesi spinal dan umum, anestesi spinal menyebabkan kehilangan darah lebih sedikit dari anestesi umum. Tekanan darah maksimum dan denyut jantung saat operasi lebih rendah dalam anestesi spinal. Dari pengalaman para klinisi, pasien yang menjalani operasi dengan anestesi spinal mempunyai efek samping yang lebih rendah dari anestesi umum (Attari et al., 2011).

2.3. Diagnosa Banding

Diagnosa dari PDPH sering jelas dari riwayat dari punksi dural dan adanya sakit kepala yang berat. Bagaimanapun, perlu dipertimbangkan diagnosa alternatif seperti intrakranial patologis yang serius yang gejalanya dapat mirip dengan PDPH. Contohnya meningitis viral, kemikal, dan bakterial; hemoragik intrakranial;trombosis vena serebral, tumor intrakranial;sakit kepala non-spesifik; apopleksi pituitari; infark serebral, hernia unkal;sakit kepala sinus, migrain; pre-eklampsia, dan obat-obatan (kafein, amfetamin). Para klinisi juga perlu ingat bahwa hipotensi intrakranial bisa berlanjut ke hemoragik intrakranial dari bocornya penghubung vena dural,


(54)

sertaketerlambatan diagnosis dan terapi akan berbahaya (Turnbull dan Shepherd, 2003).

Abses spinal, hematom spinal, lesi massa intrakranial, aneurisma serebral, edema serebral, sindrom miofasial, araknoiditis yang disebabkan oleh steroid intratekal, sindroma neurologik transien, unspecific postdural puncture lumbalgia, toksisitas neural dan sindroma arteri spinal anterior juga bisa dipertimbangkan menjadi diagnosa banding untuk PDPH (Ghaleb, 2010).

2.4. Penatalaksanaan

2.4.1. Terapi Non-farmakologi

Pasien yang mengalami PDPH akan memperlihatkan respon emosional seperti sedih, menangis sampai marah dan panik.Pasien obstetrik yang kurang beruntung akan mengalami komplikasi ini, tetapi mereka akan merasa lebih baik dan senang karena dapat melihat bayi yang baru dilahirkan mereka. Sangatlah penting untuk memberikan penjelasan kepada pasien secara menyeluruh alasan terjadinya nyeri kepala tersebut, kapan serangan tersebut terjadi, dan pilihan terapi yang bisa diberikan. Pemeriksaan ulang secara reguler penting untuk memantau keadaan pasien dan terapi secepatnya (Turnbull dan Shepherd, 2003).

Terapi suportif seperti rehidrasi, asetaminofen (parasetamol), OAINS (obat anti-inflamasi non steroid), opioid dan antiemetik bisa mengurangi gejala, tetapi tidak meredakan sepenuhnya.Pasien harus istirahat dalam posisi yang paling nyaman. Posisi telungkup bisa meningkatkan tekanan intra-abdomen yang ditransmisikan ke rongga epidural dan dapat mengurangi gejala nyeri kepala. Tetapi saat didemonstrasikan oleh para klinisi, posisi ini tidak mengurangi gejala PDPH (Turnbull dan Shepherd, 2003).Dalam studi konservatif, terapi seperti rehidrasi dan istirahat yang cukup mempunyai sejarah yang tidak begitu efektif (Apfel et al., 2010).

Follow-up dan evaluasi secara teliti pada pasien PDPH adalah tindakan yang

penting dari bagian obstetrik dan anestesi. Nyeri kepala persisten, nyeri kepala postural, perubahan sensorium, adanya defisit fokal neurologik dan kejang adalah


(55)

semua gejala yang memerlukan investigasi lebih lanjut seperti neuro-radiological

imaging (Nath dan Subrahmanyam, 2011).

2.4.2.Terapi Farmakologi

Tujuan dari penatalaksanaan PDPH adalah: (i) menggantikan CSF yang hilang; (ii) menutup daerah tusukan; dan (iii) mengatasi vasodilatasi serebral (Turnbull dan Shepherd, 2003).

a. Kafein

Metilxantin dapat menghambat reseptor adenosin di serebral yang membuat vasokonstriksi dari pembuluh darah serebral yang dilatasi (Ghaleb, 2010). IV 0,5 gr kafein direkomendasikan untuk terapi PDPH pada tahun 1944. Dalam bentuk oral dapat diabsorbsi dengan baik dengan efek puncak saat 30 menit. Kafein juga melewati sawar darah otak dan mempunyai waktu paruh yang panjang antara 3-7,5 jam. Kafein termasuk salah satu terapi yang efektif untuk PDPH.Kafein dapat menurunkan perfusi darah di otak (Turnbull dan Shepherd, 2003).

Kafein merupakan stimulan SSP (sistem saraf pusat) yang poten dan perlu dicegah untuk wanita yang mempunyai risiko pregnancy-induced hypertension. Dosis tunggal oral dari kafein termasuk aman, lebih murah dari kafein intravena, dan akan meredakan gejala yang timbul sesaat (Tsui dan Finucane, 2008).

b. ACTH (adenocorticotrophic hormone)

Kosintropin, bentuk sintetik dari hormon adrenokortikotropik,telah digunakan untuk terapi PDPH yang sukar disembuhkan. Hormon adrenokortikotropik dipercaya dapat merangsang kelenjar adrenal untuk meningkatkan produksi CSF

dan pengeluaran β-endorfin (Ghaleb, 2010). Penggunaan kosintropin setelah

terjadinya accidental dural puncture (ADP) menghasilkan penurunan insidensi dari PDPH dan kebutuhan terapi epidural blood patch (EBP). Hormon adrenokortikotropik beserta analognya telah digunakan untuk terapi PDPH, tetapi belum diteliti kegunaannya sebagai profilaksis (Hakim, 2010).


(56)

Peningkatan produksi dari CSF berperan dalam transpor aktif ion sodium

(natrium) atau peningkatan β-endorfin yang dapat mengubah persepsi dari nyeri.

ACTH dan β-endorfin berasal dari prekursor yang sama, proopiomelanocortin,

yang berikatan dengan reseptor opioid dan efeknya mirip dengan morfin (Hakim, 2010).

c. Sumatriptan

Sumatriptan merupakan agonis reseptor 5-HT1D yang meningkatkan vasokonstriksi serebral.Obat ini agak mahal dan mempunyai efek samping nyeri di area injeksi dan sesak dada. Waspada terhadap penggunaan pasien dengan penyakit jantung iskemik.Sumatriptan digunakan untuk mengatasi migren dan PDPH akhir-akhir ini.Akan tetapi, ada literatur menemukan tidak adanya manfaat yang menguntungkan dari Sumatriptan untuk terapi konservatif pada PDPH (Turnbull dan Shepherd, 2003).

d. Epidural Blood Patch(EBP)

EBP adalah pilihan terapi yang efektif untuk PDPH yang berat. Akan tetapi, tingkat keefektifannya akan berkurang jika punksi duramater tersebut dilakukan dengan jarum berukuran besar.(Safa-Tisseront et al., 2001).

Ada dua teori yang bisa menjelaskan tentang efektivitas EBP dalam mengatasi PDPH. Pertama, darah yang telah diinjeksikan membentuk gumpalan yang menempel ke duramater, secara langsung menutup lubang yang terdapat di dura dan mencegah kebocoran CSF. Kedua, volume darah yang telah diinjeksikan di rongga epidural akan meningkatkan tekanan CSF, yang akan meredakan gejala-gejala PDPH (Safa-Tisseront et al., 2001).

Kontraindikasi dari epidural blood patch diantaranya demam, infeksi tulang belakang, koagulopati dan penolakan dari pasien.Pasien dengan posisi lateral, pada rongga epidural telah diinjeksi jarum Tuohy pada area dural puncture sebelumnya atau lebih rendah dari rongga intervertebral. Lebih dari 30 ml darah yang telah diambil dari lengan pasien dan diinjeksikan ke jarum Tuohy tersebut


(57)

secara perlahan. Jika pasien mengeluh nyeri yang berat, prosedur harus dihentikan (Turnbull dan Shepherd, 2003).

Darah yang telah diinjeksikan akan mengalir di sekitar rongga epidural anterior. Rongga tekal akan terkompresi dan diisi dengan darah. Kompresi dari rongga tekal saat tiga jam pertama dan peningkatan tekanan subaraknoid, bisa meredakan sakit kepala tersebut. Untungnya injeksi darah tersebut tidak memicu proses inflamasi dan belum ada bukti dari edema aksonal, nekrosis atau demielinisasi (Turnbull dan Shepherd, 2003).

Beberapa literatur menyarankan untuk memberi profilaksis blood patch kedalam kateter epidural sebelum mencabutnya, bertunjuan untuk menurunkan insidensi PDPH. Akan tetapi, sebuah literatur randomized controlled trial tidak menunjukkan pengurangan dari insidensi PDPH, namun pemberian profilaksis EBP menurunkan durasi dan keparahan dari sakit kepala (Nath dan Subrahmanyam, 2011).

e. Epidural Saline

Secara teori, injeksi epidural saline bisa menghasilkan efek yang sama seperti epidural blood patch, dan mengembalikan dinamik CSF kembali normal. Saline merupakan larutan yang steril dan tidak bereaksi terhadap zat lain, infus atau bolus epidural saline bisa menjadi alternatif (Turnbull dan Shepherd, 2003). f. Epidural Morfin

Manfaat dari epidural morfin pernah diinvestigasi hanya pada

randomized-controlled trial (RCT). Epidural morfin yang diberikan 3 mg setelah anestesi dan

3 mg yang lainnya diberikan sehari setelahnya. Pemberian ini menurunkan insidensi PDPH dari 48% sampai 12%. Dalam pemberian ini tidak ditemukan depresi pernafasan, tetapi muntah-muntah sering terjadi pada terapi ini (Apfel et

al., 2010).

g. Fibrin Glue

Fibrin glue diperkenalkan untuk memperbaiki perforasi spinal dural. Perforasi dural kranial bisa diperbaiki dengan fibrin glue belakangan ini. Fibrin glue bisa


(58)

dilakukan secara perkutan dibantu dengan CT(computed tomography). Meningitis aseptik merupakan resiko dari prosedur tersebut (Turnbull dan Shepherd, 2003).

h. Intratekal Kateter

Setelah terjadi perforasi, masukkan kateter spinal ke dalam perforasi tersebut, akan memancing reaksi inflamasi yang akan menutup lubang tersebut. Tetapi prosedur ini masih diperdebatkan.Akan tetapi, komplikasi neurologi seperti sindroma kauda equina dan infeksi akan terjadi pada prosedur ini (Turnbull dan Shepherd, 2003).

2.4.3. Operasi

Ada beberapa laporan kasus dari kebocoran CSF yang persisten, yang tidak respon terhadap terapi lainnya, perforasi dural akan tertutup dengan sukses pada operasi. Ini jelas merupakan sebagai pilihan terakhir (Turnbull dan Shepherd, 2003).

Ada literatur yang menyatakan bahwa mereka telah berhasil melakukan real-time ultra-sound-guided pada anestesi spinal secara klinis. Teknik ini dapat dilakukan juga pada saat sebelum melakukan anestesi spinal (Conroy et al., 2013).


(59)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

Anestesi spinal berkembang pada akhir 1800an. Pada tahun 1891, Wynter dan Quincke mengaspirasikan cerebrospinal fluid (CSF) dari rongga subaraknoid untuk terapi peningkatan hipertensi intrakranial berhubungan dengan meningitis tuberkulosa. Diameter kateter dan trochar yang dipakai berkisar 1mm dan kemungkinan menyebabkan nyeri kepala setelah punksi dura /post-dural puncture

headache (PDPH). Akan tetapi, semua subjek Quincke dan Wynters meninggal

setelahnya (Turnbull dan Shepherd, 2003).

Tahun 1895, John Corning, neurologis dari New York, mengenalkan anestesi lokal dari medula spinalis dengan kokain yang mempunyai efek terapi. Corning menginjeksi 110mg kokain ke rongga Torakal 11/12 pada seorang pria untuk mengatasi kebiasaan masturbasinya (Turnbull dan Shepherd, 2003).

Operasi anestesi spinal pertama pada manusia dilakukan oleh Bier dari Kiel, Jerman, pada tahun 1898, dengan menggunakan 0.5% kokain. Teknik ini langsung ditinggalkan beberapa saat karena toksisitas dan efek samping yang merugikan dari kokain.Tropakokain kemudian diperkenalkan tahun 1895, dan stovain dan prokain pada tahun 1904.Obat-obat jenis ini mempunyai efek toksik yang lebih sedikit tetapi juga kurang poten dari kokain. Pada tahun 1923, anestesi spinal menjadi kurang diminati karena tercatat memiliki efek samping seperti nyeri kepala, abducens nerve

palsy, retensi urin dan inkontinensia anal, tetapi tidak ditemukan gejala neurologik

yang permanen(Maltby, Hutter dan Clayton, 2000).

Setelah itu anestesi spinal mempunyai hasil rekam medik yang baik. Dan sering digunakan untuk operasi abdomen bagian atas, dan torakoplasti, tiroidektomi dankraniotomi, tanpa akibat yang buruk.Pada tahun 1937, Macdonald Critchley melakukan diskusi tentang post-spinal neurological syndrome meliputi lesi dari


(60)

radikulomielitis dengan flaccid paraplegia atau kelemahan kedua ekstremitas bawah(Maltby, Hutter dan Clayton, 2000).

Anestesi spinal mempunyai efek samping seperti: nyeri kepala, nyeri punggung, dan kerusakan saraf yang bisa menyebabkan nyeri dan malafungsi. Ada juga beberapa efek samping yang masih kontroversial diantaranya sindroma cauda

equina dan iritasi radikular transien atau gejala neurologik transien. Sindroma cauda equina merupakan malafungsi atau kelumpuhan saraf yang permanen yang

disebabkan dari kerusakan saraf-saraf spinal yang berhubungan erat dengan anestesi spinal secara kontinu. Tingginya konsentrasi dari obat anestesi lokal juga bisa menyebabkan toksisitas kimiawi pada saraf. Iritasi radikular transien atau gejala neurologik transien menimbulkan nyeri yang menusuk dan menekan pada kedua kaki mulai dari paha belakang dan bertahan selama 24-48 jam. Keadaan ini bisa dipicu dengan anestesi 5% hiperbarik lidokain (Burgi, 2013).

Komplikasi dari anestesi spinal sendiri adalah hipotensi, di mana dapat menurunkan 20-30% tekanan darah sistolik dari normal. Pada pasien obstetrik, hipotensi bisa menyebabkan penurunan perfusi uteroplasental, hipoksia pada fetus, dan asidosis (Tsen, 2008).

Insidensi dari nyeri kepala setelah punksi dura /post-dural puncture

headacheadalah 66% pada tahun 1898 di Amerika Serikat.Tingginya insidensi ini

dianggap disebabkan oleh penggunaan jarum dengan ukuran yang besar, kemiringan yang sedang, dan cutting spinal needles (jarum 5, 6, dan 7). Pada tahun 1956, diperkenalkan jarum berukuran 22G dan 24G, insidensinya diperkirakan menjadi 11% (Turnbull dan Shepherd, 2003).


(61)

1, 26G Atraucanâ Double Bevel Design; 2, 26G Sprotteâ Style

Pencil Point; 3, 22G Whitacre Style Pencil Point; 4, 16G Tuohy Needle; 5, 17G Barkers Spinal Needle; 6, Large Gauge Spinal Needle; 7, 18G Crawford Needle.

Gambar 1.1. Jenis-jenis Jarum Anestesi Spinal

Sekarang dipakainya fine gauge pencil-point needles seperti Whitacre dan Sprotte yang menghasilkan penurunan yang drastis pada insidensi nyeri kepala setelah punksi dura /post-dural puncture headache(Turnbull dan Shepherd, 2003).

Mengurangi ukuran dari jarum spinal sendiri menghasilkan dampak penurunan pada insidensi PDPH. Insidensinya adalah ~40% dengan jarum 22G; 25% dengan jarum 25G; 2-12% dengan jarum Quincke 26G;dan <2% dengan jarum 29G (Turnbull dan Shepherd, 2003).


(62)

PDPH akan terjadi 16% - 86% pada blok epidural jika menggunakan jarum berukuran besar. Insidesi dari punksi dural berkisar 0,16% - 1,3% jika dilakukan oleh dokter yang berpengalaman(Ghaleb, 2010).

Nyeri kepala setelah punksi dura /post-dural puncture headache (PDPH) adalah komplikasi dari anestesi spinal yang seharusnya tidak boleh dianggap ringan. Ada potensial untuk menjadi morbiditas (kecacatan), bahkan kematian (Turnbull dan Shepherd, 2003)

Jenis kelamin sebagai faktor resiko independen pada nyeri kepala setelah punksi dura. Wanita biasanya mempunyai insidensi dari PDPH lebih tinggi (contohnya rata-rata 7% pada pria dan 14% pada wanita). Ada beberapa sebab kenapa wanita cenderung mempunyai insidensi yang lebih tinggi terjadinya PDPH. Telah diakui bahwa wanita mempunyai insidensi yang tinggi pada tipe sakit kepala tertentu, seperti migren. Sebagai tambahan, adanya perbedaan pada proses informasi

nociceptive seperti wanita lebih sensitif pada percobaan nyeri dan menunjukkan

adanya penambahan nyeri mekanik pada bagian temporal (Wu et al., 2006).

Atas latar belakang ini, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian prevalensi nyeri kepala setelah punksi dura /post-dural puncture headache (PDPH)pasca anestesi spinalpada operasi bedah elektif di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2013.

1.2.Rumusan Masalah

Uraian ringkas dalam latar belakang masalah di atas memberikan dasar bagi peneliti untuk merumuskan pertanyaan penelitian yaitu berapa prevalensi nyeri kepala setelah punksi dura/post-dural puncture headache (PDPH)pasca anestesi spinal pada operasi bedah elektifdi RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2013.


(63)

1.3.Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mencari prevalensi nyeri kepala setelah punksi dura /post-dural

puncture headache (PDPH)pasca anestesi spinal pada operasi bedah elektifdi

RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2013. 1.3.2. Tujuan Khusus

Untuk mengetahui onset terjadinya nyeri kepala setelah punksi dura

/post-dural puncture headache (PDPH)pasca anestesi spinal pada operasi bedah

elektifdi RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2013.

1.4.Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberi manfaat bagi: 1. Subjek Penelitian

Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan tentang kemungkinan terjadinya nyeri kepala setelah punksi dura /post-dural puncture headache (PDPH) pasca anestesi spinal pada operasi bedah elektifsehingga dapat ditangani segera.

2. Masyarakat

Hasil penelitian ini dapat memberi informasi terhadap salah satu efek samping pasca anestesi spinal.

3. Peneliti

Hasil penelitian ini dapat menambah pemahaman peneliti mengenai prevalensi nyeri kepala setelah punksi dura /post-dural puncture headache (PDPH) pasca anestesi spinal pada operasi bedah elektifdi RSUP Haji Adam Malik Medan sebagai penerapan secara langsung teori pembuatan karya tulis ilmiah sesuai teori yang diajarkan sewaktu kuliah serta sebagai syarat untuk mendapat gelar sarjana kedokteran dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.


(64)

4. Institusi Kesehatan

Hasil penelitian ini dapat menambah perhatian terhadap data angka kejadian dan kapan onset terjadinya nyeri kepala setelah punksi dura /post-dural


(65)

iii

ABSTRAK

Nyeri kepala setelah punksi dura / post-dural puncture headache (PDPH) adalah salah satu komplikasi dari anestesi spinal yang paling sering terjadi. PDPH adalah komplikasi dari anestesi spinal yang seharusnya tidak boleh dianggap ringan. Ada potensial untuk menjadi morbiditas (kecacatan).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi nyeri kepala setelah punksi dura

/post-dural puncture headache (PDPH) pasca anestesi spinal pada operasi bedah

elektifdi RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2013. Enam puluh empat sampel diperoleh dengan metode consecutive sampling. Data diperoleh dari wawancara terhadap pasien dan kemudian dianalisis dengan statistik deskriptif.

Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat 25% sampel mengalami PDPH pasca anestesi spinal. Sebagian besar onset PDPH terjadi saat hari pertama pasca anestesi spinal (75%), dan diikuti hari kedua setelah prosedur (18.8%). Durasi PDPH yang dialami penderita dalam penelitian ini sebagian besar tidak lebih dari 24 jam (87.5%).

Tenaga medis (dokter anestesi atau perawat) sebaiknya melakukan follow-up pasien minimal dalam 48 jam setelah menjalani anestesi spinal. Karena sebagian besar pasien dalam penelitian ini mengalami PDPH pada hari pertama dan kedua. Untuk pasien yang menjalani anestesi spinal, diusahakan agar dalam 48 jam pertama setelah prosedur, pasien dalam keadaan istirahat total untuk mengurangi risiko terjadinya PDPH. Penelitian selanjutnya juga diharapkan dapat melakukan follow up lebih dari 5 hari pasca anestesi spinal, misalnya 7 hari, 14 hari, dan seterusnya.


(66)

iv

ABSTRACT

PDPH (post-dural puncture headache) is one of the most common complication from spinal anesthesia. PDPH is a complication that should not be treated lightly. There is the potential for considerable morbidity.

The purpose of this research is to know the prevalence of the post-dural puncture headache after spinal anesthesia on elective surgery at RSUP Haji Adam Malik in Medan 2013. There are sixty-four samples were taken with consecutive sampling as the sampling technique. Data were collected by direct conversation with the samples and analyzed by using descriptive statistic.

As the result, the prevalence of PDPH of samples is about 25%. Majority of patients who had underwent spinal anesthesia suffered from PDPH within 24 hours (75%), and followed by second day after procedure (18.8%). The duration of the PDPH most of them is not more than 24 hours (87.5%).

Physician or nurse should follow-up the patients minimal in 48 hours after spinal anesthesia. Because most of the patients in this researchexperiencingPDPH at the first and the second day. For the patients who receivespinal anesthesia, they are expected to take rest 48 hours after procedure to decrease the risk of PDPH. The further research should do follow-up more than 5 days after spinal anesthesia.


(67)

PREVALENSI NYERI KEPALA SETELAH PUNKSI DURA PASCA ANESTESI SPINAL PADA OPERASI ELEKTIF DI RSUP HAJI ADAM

MALIK MEDAN TAHUN 2013

KARYA TULIS ILMIAH

Oleh :

ERIC GRADIYANTO ONGKO 100 100 048

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(68)

i

LEMBARAN PENGESAHAN

Prevalensi Nyeri Kepala Setelah Punksi Dura Pasca Anestesi Spinal pada Operasi Elektif di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2013

NAMA : ERIC GRADIYANTO ONGKO NIM : 100100048

________________________________________________________________

Medan, Januari 2014 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH) NIP. 19540220 198011 1 001

Dosen Pembimbing

(dr. Andriamuri Primaputra Lubis, Sp.AN, M.Ked(AN))

NIP. 19811107 200801 1 009

Dosen Penguji I

(dr. Ramlan Nasution, Sp.U) NIP. 19741006 200912 1 001

Dosen Penguji II

(dr. Terapul Tarigan, SpA(K)) NIP. 19550825 198312 2 001


(69)

ii

HALAMAN PERSETUJUAN

Hasil Penelitian dengan Judul :

Prevalensi Nyeri Kepala Setelah Punksi Dura Pasca Anestesi Spinal pada Operasi Elektif di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2013

Yang dipersiapkan oleh:

ERIC GRADIYANTO ONGKO 100 100 048

Hasil Penelitian ini telah diperiksa dan disetujui untuk dilanjutkan ke Sidang Penelitian.

Medan, 17 Desember 2013 Disetujui,

Dosen Pembimbing

(dr. Andriamuri Primaputra Lubis, Sp.AN,M.Ked(AN)) NIP: 1981 1107 2008 0110 09


(70)

iii

ABSTRAK

Nyeri kepala setelah punksi dura / post-dural puncture headache (PDPH) adalah salah satu komplikasi dari anestesi spinal yang paling sering terjadi. PDPH adalah komplikasi dari anestesi spinal yang seharusnya tidak boleh dianggap ringan. Ada potensial untuk menjadi morbiditas (kecacatan).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi nyeri kepala setelah punksi dura

/post-dural puncture headache (PDPH) pasca anestesi spinal pada operasi bedah

elektifdi RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2013. Enam puluh empat sampel diperoleh dengan metode consecutive sampling. Data diperoleh dari wawancara terhadap pasien dan kemudian dianalisis dengan statistik deskriptif.

Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat 25% sampel mengalami PDPH pasca anestesi spinal. Sebagian besar onset PDPH terjadi saat hari pertama pasca anestesi spinal (75%), dan diikuti hari kedua setelah prosedur (18.8%). Durasi PDPH yang dialami penderita dalam penelitian ini sebagian besar tidak lebih dari 24 jam (87.5%).

Tenaga medis (dokter anestesi atau perawat) sebaiknya melakukan follow-up pasien minimal dalam 48 jam setelah menjalani anestesi spinal. Karena sebagian besar pasien dalam penelitian ini mengalami PDPH pada hari pertama dan kedua. Untuk pasien yang menjalani anestesi spinal, diusahakan agar dalam 48 jam pertama setelah prosedur, pasien dalam keadaan istirahat total untuk mengurangi risiko terjadinya PDPH. Penelitian selanjutnya juga diharapkan dapat melakukan follow up lebih dari 5 hari pasca anestesi spinal, misalnya 7 hari, 14 hari, dan seterusnya.


(71)

iv

ABSTRACT

PDPH (post-dural puncture headache) is one of the most common complication from spinal anesthesia. PDPH is a complication that should not be treated lightly. There is the potential for considerable morbidity.

The purpose of this research is to know the prevalence of the post-dural puncture headache after spinal anesthesia on elective surgery at RSUP Haji Adam Malik in Medan 2013. There are sixty-four samples were taken with consecutive sampling as the sampling technique. Data were collected by direct conversation with the samples and analyzed by using descriptive statistic.

As the result, the prevalence of PDPH of samples is about 25%. Majority of patients who had underwent spinal anesthesia suffered from PDPH within 24 hours (75%), and followed by second day after procedure (18.8%). The duration of the PDPH most of them is not more than 24 hours (87.5%).

Physician or nurse should follow-up the patients minimal in 48 hours after spinal anesthesia. Because most of the patients in this researchexperiencingPDPH at the first and the second day. For the patients who receivespinal anesthesia, they are expected to take rest 48 hours after procedure to decrease the risk of PDPH. The further research should do follow-up more than 5 days after spinal anesthesia.


(1)

vii

DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Pengesahan ... i

Halaman Persetujuan ... ii

Abstrak ... iii

Abstract ... iv

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi ... vii

Daftar Gambar ... ix

Daftar Tabel ... x

Daftar Lampiran ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 4

1.4. Manfaat Penelitian ... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Sejarah Anestesi Spinal ... 7

2.2. Patofisiologi Post-dural Puncture Headache ... 7

2.2.1. Anatomi Spinal Duramater... 7

2.2.2. Cairan Serebrospinal ... 8

2.2.3. Ukuran Jarum dan Insidensi dari PDPH ... 9

2.2.4. Duramater dan Respon terhadap Trauma ... 10

2.2.5. Gejala ... 10

2.2.6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Insidensi ... 13

2.3. Diagnosa Banding ... 14

2.4. Penatalaksanaan ... 15

2.4.1. Terapi Non-Farmakologi ... 15

2.4.2. Terapi Farmakologi ... 16

2.4.3. Operasi ... 19

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 20

3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 20

3.2. Definisi Operasional Penelitian ... 21

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 23

4.1. Jenis Penelitian ... 23


(2)

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 23

4.4. Teknik Pengumpulan Data ... 25

4.5. Pengolahan dan Analisis Data ... 25

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 26

5.1. Hasil Penelitian ... 26

5.1.1.Deskripsi Lokasi Penelitian ... 26

5.1.2.Deskripsi Karakteristik Individu ... 26

5.1.3.Deskriptif PDPH / Nyeri Kepala Setelah Punksi Dura Setelah Anestesi Spinal pada Operasi Elektif ... 29

5.2. Pembahasan ... 36

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 39

6.1. Kesimpulan ... 39

6.2. Saran ... 39

DAFTAR PUSTAKA ... 41 LAMPIRAN


(3)

ix

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1.1 Jenis-jenis Jarum Anestesi Spinal 3 3.1 Kerangka Konsep Penelitian 18


(4)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

5.1 Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Kelompok Umur ... 27

5.2 Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin ... 27

5.3 Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Jenis Pekerjaan... 28

5.4 Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Berat Badan ... 28

5.5 Prevalensi atau Diagnosa PDPH ... 29

5.6 Onset dari Nyeri Kepala yang Timbul saat 15 Menit Duduk atau Membaik Setelah 15 Menit Berbaring... 29

5.7 Onset dari Salah Satu dari Gejala-gejala Seperti Kaku Kuduk, Tinitus, Hiperakusia, Fotofobia, dan Mual-mual ... 30

5.8 Onset dari Nyeri Kepala Muncul dalam 5 Hari Pertama Setelah Menjalani Punksi Dura ... 30

5.9 Durasi dari Nyeri Kepala yang Timbul saat 15 Menit Duduk atau Membaik Setelah 15 Menit Berbaring... 31

5.10 Durasi dari Salah Satu dari Gejala-gejala Seperti Kaku Kuduk, Tinitus, Hiperakusia, Fotofobia, dan Mual-mual ... 32

5.11 Durasi dari Nyeri Kepala Muncul dalam 5 Hari Pertama Setelah Menjalani Punksi Dura ... 32

5.12 Onset Terjadinya atau Insidensi PDPH ... 33

5.13 Durasi Terjadinya PDPH ... 33

5.14 Distribusi Diagnosa atau Prevalensi PDPH Berdasarkan Usia yang Dikelompokkan ... 34


(5)

xi

5.17 Distribusi Diagnosa atau Prevalensi PDPH Berdasarkan Durasi Terjadinya PDPH ... 36


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Formulir Pengambilan Data