Prevalensi Mual dan Muntah Pasca Anestesi Umum pada Bedah Elektif di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2013
REVALENSI MUAL DAN MUNTAH PASCA ANESTESI UMUM PADA BEDAH ELEKTIF DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2013
Oleh: AL FIRMAN
100100324
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2013
(2)
PREVALENSI MUAL DAN MUNTAH PASCA ANESTESI UMUM PADA BEDAH ELEKTIF DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2013
“Proposal penelitian ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran”
Oleh : AL FIRMAN
100100239
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2013
(3)
LEMBAR PENGESAHAN Judul : Prevalensi Mual dan Muntah Pasca Anestesi Umum pada
Bedah Elektif di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2013 Nama : Al Firman
NIM : 100100324
Pembimbing Penguji I
(dr. Andriamuri Primaputra Lubis, (dr. Ramlan Nasution, Sp.U) Sp.AN, M.Ked (AN)) (NIP : 197410062009121001)
(NIP :198111072008011009)
Penguji II
(dr. Terapul Tarigan, Sp.A(K)) (NIP : 195508251983122001)
Medan, Januari 2014 Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
( Prof. dr. Gontar A. Siregar, Sp. PD-KGEH ) (NIP : 195402201980111001)
(4)
ABSTRAK
Anestesi umum adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel. Salah satu efek sampingnya mual dan muntah pasca anestesi umum pada bedah elektif masih merupakan “The Big Little Problem” dalam dunia anestesi. Disebut “big” karena mual muntah dapat menyebabkan perpanjangan waktu pemulihan, peningkatan biaya perawatan, perpanjangan masa pengawasan di Post Anesthesia Care Unit (PACU), dan meningkatnya morbiditas. Kemudian disebut “little”, karena sebenarnya mual dan muntah adalah masalah yang cukup ringan dibanding komplikasi anestesi lainnya. Tujuan umum penelitian untuk mencari prevalensi mual muntah pasca anastesi umum pada bedah elektif di RSUP H. Adam Malik, Medan pada tahun 2013. Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional yang bersifat deskriptif dan menggunakan desain cross sectional. Sampel dalam penelitian ini dengan jumlah sampel sebanyak 49 sampel. Alat ukur yang digunakan adalah pedoman observasi dan wawancara.
Sampel yang paling banyak berusia 25-31 tahun yaitu 7 orang (29,2%). Sampel jenis kelamin laki-laki 14 orang (58,3%). Durasi operasi yang paling banyak 4 jam sebanyak 14 orang (58,3%). Riwayat merokok adalah tidak merokok 14 orang (58,3%). Prevalensi Mual dan Muntah pasca anestesi umu pada bedah elektif di RSUP H. Adamalik medan tahun 2013 (48,8%).
(5)
ABSTRACT
General Anaethesia is lossing the pain in the Central Nervous System by followed by lose of consinousness that reversible. One of side effect is nausea and vormiting after general anestesia of elective surgery is still “The Big Little Problem” in Anaesthesia community. Said “big” because the nausea can cause delaying of the recovery time, increase of cost, longer of following tinme in Pos Anesthesia Care Unit (PACU), and rise of morbility. Then said “little”, because in reality the nausea and vormitng is a low problem if compared by the other anaesthesia complication. The objectie of this research is searching the prevalence of nausea and vormiting after a general anaesthesia on the elective surgery in the RSUP H. Adam Malik in 2013.
This research tipe is observational that in descriptive and use cross sectional study design. Sample that taken in this research are 49 samples. The tools that use in observation is interview.
The most sample is in 25-31 years age group, that is 7 people (29,2%). The most gender is male, 14 people (58,3%). The most duration is 4 hour, that is 14 people (58,3%). The most smoking history is not smoking by 14 person (58,3%). prevalence nausea and vomiting post post general anesthesia on surgical elective in RSUP. H. Adamalik north year 2013
By this research, revealed that the advanced explanation to the patient about the complication that will happened after the anaesthesia for the elective surgery. Keywords: General Anaesthesia, Elective Surgery, Nausea, and Vormiting
(6)
Kata Pengantar
Assalamu’alaikum Wr.Wb.,
Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan karya tulis ilmiah ini dengan judul “Prevalensi Mual Muntah Pasca Anestesi Umum pada Bedah Elektif di RSUP H.Adam Malik Medan pada Tahun 2013”. Penulis menyadari bahwa penyusunan karya tulis ilmiah ini dapat terselesaikan berkat dorongan, bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. dr. Andriamuri Primaputra Lubis, Sp.AN, M.Ked (AN) selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan petunjuk dan bimbingan dalam penyusunan karya tulis ilmiah.
3. dr. Ramlan Nasution, Sp.U dan dr. Terapul Tarigan, Sp.A (K) selaku Dosen Penguji I dan Dosen Penguji II yang telah memberikan petunjuk-petunjuk serta nasihat-nasihat dalam penyempurnaan penulisan karya tulis ilmiah ini
4. Ayahanda Ridho dan Ibunda Fujiwati tercinta yang telah memberi semangat, dorongan, bantuan moral, spiritual yang tak pernah putus dan cinta kasih. 5. Adik, Eka, Bahendra, Suci, dan Ria Hanum, atas semangat, dorongan, dan cinta
kasih.
6. Sahabat yang telah membantu Monika Ayuningrum, Rahmat Kurniawan A.P dan teman kelompok bimbingan Eric Gradiyanto Ongko atas ide, kritik, dan saran dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna sehingga saran dan kritik yang bersifat membangun
(7)
sangat diperlukan untuk penulis. Harapan penulis semoga karya tulis ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Amin Ya Robbal Alamin.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Medan, Desember 2013
(8)
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
ABSTRAK ... iii
ABSTRACT ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR... ... viii
DAFTAR LAMPIRAN... iv
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 3
1.3. Tujuan Penelitian ... 4
1.4. Manfaat Penelitian ... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 6
2.1. Anestesi ... 6
2.1.1. Definsi ... 6
2.1.2. Tahap-Tahap Anestesi ... 7
2.1.3. Sifat-Sifat Anestesi Umum yang Ideal ... 8
2.1.4. Anestesi Cair yang Menguap ... 9
2.1.4.1. Halotan... 9
2.1.4.2. Enfluran... 10
2.1.4.3. Isofluran... 11
2.1.4.4. Sevofluran... 12
(9)
2.1.6. Anestesi Gas... 13
2.1.7. Penggolongan Muscle Relaxant... 14
2.1.7.1 Muscle Relaxant Golongan Depolarizing... 14
2.1.7.2. Muscle Relaxant Golongan Non Depolarizing... 15
2.1.8. Penawar Pelumpuh Otot... 18
2.1.9. Obat Analgesik... 19
2.2. Post Operative Nausea and Vomitus (PONV) ... 22
2.2.1. Definisi... 22
2.2.2. Patofisiologi... 22
2.2.3. Faktor Risiko... 26
2.2.4. Penatalaksanaan... 29
2.2.5. Jenis Operasi yang Menyebabakan PONV... 30
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 32
3.1. Kerangka Konsep ... 32
3.2. Definisi Operasional ... 32
3.2.1. Bedah Elektif ... 32
3.2.2. Mual ... 33
3.2.3. Muntah ... 33
3.2.4. Pasca Anestesi... 34
3.2.5. Post Operative... 34
BAB 4 METODE PENELITIAN ... 35
4.1. Jenis Penelitian ... 35
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 35
4.3. Populasi dan Sampel ... 35
4.3.1. Populasi ... 35
4.3.2. Sampel ... 35
4.4. Metode Pengumpulan Data ... 37
(10)
BAB 5 HASIL PENELITIAN ... 38
5.1.Deskripsi Tempat ... 38
5.2. Karakteristik Sampel ... 38
5.2.1. Distribusi Frekuensi Usia ... 39
5.2.2. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin ... 39
5.2.3. Distribusi Frekuensi Lama Operasi ... 40
5.2.4. Distribusi Frekuensi Riwayat Merokok ... 40
5.2.5 prevalensi atau diagnosa PONV... 41
5.2.6. Distribusi Frekuensi Mual Muntah Hari Pertama ... 41
5.2.7 Distribusi Frekuensi Mual Muntah Hari Kedua ... 42
5.2.8 Distribusi diangnosa PONV berdasarkan usia... 42
5.2.9 Distribusi diangnosa PONV berdasarkan jenis kelamin... 43
5.2.10 Distribusi diangnosa PONV berdasarkan kebiasaan merokok 43 5.2.11 Distribusi diangnosa PONV berdasarkan lama operasi... 44
5.3. Pembahasan ... 44
5.3.1. Usia ... 44
5.3.2. Jenis Kelamin ... 45
5.3.3. Lama Operasi ... 45
5.3.4. Riwayat Merokok ... 45
5.3.5. Mual Muntah ... 46
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 47
6.1. Kesimpulan ... 47
6.2. Saran ... 47
DAFTAR PUSTAKA ... 48 LAMPIRAN
(11)
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
2.1. Tahap Anestesi 8
2.2. Obat Sevofluran 12 2.3. Anestesi Intravena 13
2.4. Anestesi Gas 13
2.5. Obat Pelumpuh Otot 17
5.1. Distribusi Frekuensi Usia 39
5.2. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin 39
5.3. Distribusi Frekuensi Lama Operasi 40
5.4. Distribusi Frekuensi Riwayat Merokok 40
5.5. Distribusi Frekuensi Mual Muntah Hari Pertama 40
(12)
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman Gambar 2.1. Skema patofisiologi mual dan muntah 24 Gambar 2.2. Patofisiologi mual dan muntah 25 Gambar 2.3. Fisiologi Post Operative Nausea and vomiting 26
(13)
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 Daftar Riwayat Hidup LAMPIRAN 2 Ethical Clearance LAMPIRAN 3 Surat Izin Penelitian LAMPIRAN 4 Lembar Penjelasan
LAMPIRAN 5 Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent) LAMPIRAN 6 Kuesioner Penelitian
LAMPIRAN 7 Data Induk
(14)
ABSTRAK
Anestesi umum adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel. Salah satu efek sampingnya mual dan muntah pasca anestesi umum pada bedah elektif masih merupakan “The Big Little Problem” dalam dunia anestesi. Disebut “big” karena mual muntah dapat menyebabkan perpanjangan waktu pemulihan, peningkatan biaya perawatan, perpanjangan masa pengawasan di Post Anesthesia Care Unit (PACU), dan meningkatnya morbiditas. Kemudian disebut “little”, karena sebenarnya mual dan muntah adalah masalah yang cukup ringan dibanding komplikasi anestesi lainnya. Tujuan umum penelitian untuk mencari prevalensi mual muntah pasca anastesi umum pada bedah elektif di RSUP H. Adam Malik, Medan pada tahun 2013. Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional yang bersifat deskriptif dan menggunakan desain cross sectional. Sampel dalam penelitian ini dengan jumlah sampel sebanyak 49 sampel. Alat ukur yang digunakan adalah pedoman observasi dan wawancara.
Sampel yang paling banyak berusia 25-31 tahun yaitu 7 orang (29,2%). Sampel jenis kelamin laki-laki 14 orang (58,3%). Durasi operasi yang paling banyak 4 jam sebanyak 14 orang (58,3%). Riwayat merokok adalah tidak merokok 14 orang (58,3%). Prevalensi Mual dan Muntah pasca anestesi umu pada bedah elektif di RSUP H. Adamalik medan tahun 2013 (48,8%).
(15)
ABSTRACT
General Anaethesia is lossing the pain in the Central Nervous System by followed by lose of consinousness that reversible. One of side effect is nausea and vormiting after general anestesia of elective surgery is still “The Big Little Problem” in Anaesthesia community. Said “big” because the nausea can cause delaying of the recovery time, increase of cost, longer of following tinme in Pos Anesthesia Care Unit (PACU), and rise of morbility. Then said “little”, because in reality the nausea and vormitng is a low problem if compared by the other anaesthesia complication. The objectie of this research is searching the prevalence of nausea and vormiting after a general anaesthesia on the elective surgery in the RSUP H. Adam Malik in 2013.
This research tipe is observational that in descriptive and use cross sectional study design. Sample that taken in this research are 49 samples. The tools that use in observation is interview.
The most sample is in 25-31 years age group, that is 7 people (29,2%). The most gender is male, 14 people (58,3%). The most duration is 4 hour, that is 14 people (58,3%). The most smoking history is not smoking by 14 person (58,3%). prevalence nausea and vomiting post post general anesthesia on surgical elective in RSUP. H. Adamalik north year 2013
By this research, revealed that the advanced explanation to the patient about the complication that will happened after the anaesthesia for the elective surgery. Keywords: General Anaesthesia, Elective Surgery, Nausea, and Vormiting
(16)
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Kata anestesia diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes (1809-1894), yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan. Anestesiologi ialah ilmu kedokteran yang pada awalnya berprofesi menghilangkan rasa nyeri dan rumatan pasien sebelum, selama, dan sesudah pembedahan (Latief dkk, 2001).
Nainggolan (2011) dalam tesisnya mengatakan bahwa Davy (1800), seorang ahli kimia yang sangat terkenal telah mempublikasikan bahwa zat kimia tertentu seperti oksida nitrogen dapat mempunyai efek bius. Walaupun dokter yang pertama kali menggunakan anestesi dalam praktiknya adalah Crawford Long, di Amerika Serikat, karena ia tidak pernah mempublikasikan, maka dalam sejarah Amerika menyebutkan bahwa penemu anestesi atau bius adalah William Morton karena Morton secara demonstratif telah menunjukkan cabut gigi tanpa rasa sakit di depan umum pada tahun 1846.
Pada tahun 1848, di Inggris tercatat J.Y. Simpson dan John Snow yang banyak mengembangkan anestesi (Campbell, 1995). Eter waktu itu banyak digunakan untuk membantu persalinan di Inggris. Sambil berpraktik sebagai dokter, Simpson dan asistennya banyak bereksperimen dengan bahan–bahan kimia untuk mencari anestesi yang efektif. Kadang mereka bereksperimen dengan diri mereka sendiri.
Anestesi umum (general anestesi) atau bius total disebut juga dengan nama narkose umum (NU). Anestesi umum adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel (Munaf, 2008). Anestesi umum biasanya dimanfaatkan untuk tindakan operasi besar yang memerlukan ketenangan pasien dan waktu pengerjaan lebih panjang, misalnya pada kasus bedah jantung, pengangkatan batu empedu, bedah rekonstruksi tulang, dan lain-lain. Cara kerja anestesi umum selain menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan kesadaran,
(17)
dan membuat amnesia, juga merelaksasi seluruh otot. Maka, selama penggunaan anestesi juga diperlukan alat bantu nafas, selain deteksi jantung untuk meminimalisasi kegagalan organ vital melakukan fungsinya selama operasi dilakukan (Nainggolan, 2011).
Secara garis besar ada empat hal yang harus diperhatikan pada pasien pasca anestesi, yaitu: masalah pernapasan, kardiovaskular, keseimbangan cairan, sistem persarafan, perkemihan, dan gastrointestinal (Munaf, 2008). Harus diperhatikan bahwa komplikasi anestesi yang tidak segera ditangani akan berdampak kematian bagi pasien. Beberapa komplikasi lain yang mungkin terjadi antara lain: pernapasan tidak adekuat, pneumotorakis, atelektasis, hipotensi, gagal jantung, embolisme pulmonal, pemanjangan efek sedatif premedikasi, trombosis jantung, cedera kepala, sianosis, konfulsi, mual muntah, embolisme lemak, dan keracunan barbiturat (Campbell, 1995).
Laporan umum mencatat kejadian kematian pada waktu atau segera setelah operasi di beberapa rumah sakit di Amerika rata-rata 0,2% - 0,6% dari operasi dan kematian yang disebabkan oleh anestesi 0,03% - 0,1% dari seluruh anestesi yang diberikan (Nainggolan, 2011). Campbell (1995), menambahkan bahwa kematian yang terjadi pada waktu operasi atau segera setelah operasi dari laporan kejadian karena anestesi sangat bervariasi dari 5% sampai 50%. Pasien yang baru saja menjalani tindakan operasi harus dirawat sementara di PACU (Post Anesthesia Care Unit) atau ruang pemulihan (recovery room) untuk perawatan post anestesi sampai kondisi pasien stabil. Kegiatan pemantauan anestesi antara lain untuk mendapatkan informasi supaya anestesi dapat bekerja dengan aman dan jika ada penyimpangan dapat segera dikembalikan ke keadaan yang normal (Latief dkk, 2001). Penatalaksanaan pasien pascaanestesi yaitu memperhatikan hal-hal yang terkait dengan keadaan pasien pasca dilakukannya anestesi. Pemantauan yang optimal dan penanganan pasien pasca anestesi yang dilakukan dengan baik dapat mencegah terjadinya komplikasi pasca anestesi pada pasien. Sehingga peran pemantauan dan penatalaksanaan pasien tersebut sangat penting dilakukan dengan baik oleh perawat (Nainggolan, 2011).
(18)
Mual dan muntah pasca anestesi umum pada bedah elektif masih merupakan “The Big Little Problem” dalam dunia anestesi. Disebut “big” karena mual muntah dapat menyebabkan perpanjangan waktu pemulihan, peningkatan biaya perawatan, perpanjangan masa pengawasan di Post Anesthesia Care Unit (PACU), dan meningkatnya morbiditas. Morbiditas yang berhubungan dengan kejadian nausea vomitus meliputi perdarahan, dehidrasi, gangguan elektrolit (hipokalemi dan hiponatremi), malnutrisi, karies gigi, inflamasi mukosa mulut, rupture esophagus, dan aspirasi pneumonitis (Silbernagl, 2006; Sunatrio et al., 2004), dan disebut “little”, karena sebenarnya mual dan muntah adalah masalah yang cukup ringan dibanding komplikasi anestesi lainnya. Insiden PONV terjadi pada 75-80% anestesi dengan eter, 25-30% pasien pasca bedah dengan anestesi umum (Kovac, 2003) dan dapat mencapai 70% pada pasien high risk (Mohamed, 2004).
Chandra dari FK USU (2012), telah menyatakan dalam tesis nya, mual muntah pasca operasi atau post operative nausea and vomiting (PONV) adalah efek samping yang sering terjadi setelah tindakan anestesi, angka kejadiannya lebih kurang 1/3 dari seluruh pasien yang menjalani operasi atau terjadi pada 30% pasien rawat inap dan sampai 70% pada pasien rawat inap yang timbul dalam 24 jam pertama. Cut meliza dari FK USU (2011), telah meneliti bahwa insiden PONV di RSUP H. Adam Malik Medan 40%.
Mengingat bahwa anestesi umum pada bedah elektif sangat penting, maka perlu dikaji seberapa besar pengaruhnya terhadap mual dan muntah pasca operasi. Berdasarkan dari kondisi permasalahan tersebut, peneliti tertarik mengkajinya melalui penelitian tentang prevalensi mual muntah pasca anastesi umum pada bedah elektif di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2013.
1.2 Perumusan Masalah
Uraian ringkas dalam latar belakang masalah di atas memberikan dasar bagi peneliti untuk merumuskan pertanyaan penelitian yaitu berapakah prevalensi mual muntah pasca anastesi umum pada bedah elektif di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2013?
(19)
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mencari prevalensi mual muntah pasca anastesi umum pada bedah elektif di RSUP H. Adam Malik, Medan pada tahun 2013.
1.3.2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui distribusi frekuensi mual muntah pasca anastesi umum pada bedah elektif di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2013.
1.4 Manfaat Penelitian
Secara umum hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam upaya penanganan mual dan muntah pasca anestesi umum pada bedah elektif. Adapun secara khusus penelitian ini diharapkan mendatangkan manfaat sebagai berikut:
1.4.1. Bagi ilmu pengetahuan, yaitu dapat menambah keragaman ilmu pengetahuan dan penelitian bagi dunia kedokteran umumnya, khususnya adalah ilmu kedokteran anestesi.
1.4.2. Bagi pihak RSUP H. Adam Malik yaitu memberikan masukan dalam rangka pemberian informasi yang berkaitan dengan mual dan muntah pasca anestesi umum pada bedah elektif.
1.4.3. Bagi peneliti selanjutnya yaitu dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian yang berkaitan tentang mual dan muntah pasca anestesi umum pada bedah elektif.
(20)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anestesi 2.1.1. Definisi
Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi umum ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain hilangnya rasa nyeri, kesadaran juga hilang. Obat anestesi umum terdiri atas golongan senyawa kimia yang heterogen, yang mendepresi SSP secara reversibel dengan spektrum yang hampir sama dan dapat dikontrol. Obat anastesi umum dapat diberikan secara inhalasi dan secara intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi (gas dan cairan yang mudah menguap) yang terpenting di antaranya adalah N2O, halotan, enfluran, metoksifluran, dan isofluran. Obat anastesi umum yang digunakan secara intravena, yaitu tiobarbiturat, narkotik-analgesik, senyawa alkaloid lain dan molekul sejenis, dan beberapa obat khusus seperti ketamin. (Munaf, 2008).
Dalam tesis Nainggolan (2011), untuk menentukan prognosis ASA (American Society of Anesthesiologists) membuat klasifikasi berdasarkan status fisik pasien pra anestesi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai berikut: ASA 1, yaitu pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan operasi. ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contohnya pasien batu ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis akut dengan lekositosis dan febris. ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diaktibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya pasien apendisitis perforasi dengan septi semia, atau pasien ileus obstruksi dengan iskemia miokardium. ASA 4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam kehiduannya. ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau tidak. Contohnya pasien tua dengan perdarahan basis krani dan syok hemoragik karena ruptura hepatik. Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan
(21)
darurat dengan mencantumkan tanda darurat (E = emergency), misalnya ASA 1 E atau III E.
Menurut Kee et al (1996), Anastesi seimbang, suatu kombinasi obat-obatan, sering dipakai dalam anastesi umum. Anestesi seimbang terdiri dari:
1. Hipnotik diberikan semalam sebelumnya
2. Premedikasi, seperti analgesik narkotik atau benzodiazepin (misalnya, midazolam dan antikolinergik (contoh, atropin) untuk mengurangi sekresi diberikan kira-kira 1 jam sebelum pembedahan
3. Barbiturat dengan masa kerja singkat, seperti natrium tiopental (Pentothal) 4. Gas inhalan, seperti nitrous oksida dan oksigen
5. Pelemas otot jika diperlukan
2.1.2 Tahap-tahap Anestesi
Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu; Stadium I (stadium induksi atau eksitasi volunter), dimulai dari pemberian agen anestesi sampai menimbulkan hilangnya kesadaran. Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi pupil, dapat terjadi urinasi dan defekasi. Stadium II (stadium eksitasi involunter), dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan stadium pembedahan. Pada stadium II terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, pernafasan tidak teratur, inkontinensia urin, muntah, midriasis, hipertensi, dan takikardia. Stadium III (pembedahan/operasi), terbagi dalam 3 bagian yaitu; Plane I yang ditandai dengan pernafasan yang teratur dan terhentinya anggota gerak. Tipe pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedal masih ada, bola mata bergerak-gerak, palpebra, konjuctiva dan kornea terdepresi. Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan bola mata ventro medial semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut. Plane III, ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola mata kembali ke tengah dan otot perut relaksasi. Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau overdosis),ditandai dengan paralisis otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi. Bola mata menunjukkan gambaran seperti mata ikan karena terhentinya sekresi lakrimal (Munaf, 2008).
(22)
Tahap Nama Keterangan
1 Analgesia Dimulai dengan keadaan sadar dan diakhiri dengan hilangnya kesadaran. Sulit untuk bicara; indra penciuman dan rasa nyeri hilang. Mimpi serta halusinasi pendengaran dan penglihatan mungkin terjadi. Tahap ini dikenal juga sebagai tahap induksi
2 Eksitasi atau delirium Terjadi kehilangan kesadaran akibat penekananan korteks serebri. Kekacauan mental, eksitasi, atau delirium dapat terjadi. Waktu induksi singkat.
3 Surgical Prosedur pembedahan biasanya
dilakukan pada tahap ini
4 Paralisis medular Tahap toksik dari anestesi. Pernapasan hilang dan terjadi kolaps sirkular. Perlu diberikan bantuan ventilasi.
Sumber: E, B, C, et al., 2008. Anestesiologi. Edisi 10. Jakarta: EGC.
2.1.3. Sifat-Sifat Anestesi Umum yang Ideal
Sifat anestesi umum yang ideal adalah: (1) bekerja cepat, induksi dan pemilihan baik, (2) cepat mencapai anestesi yang dalam, (3) batas keamanan lebar; (4) tidak bersifat toksis. Untuk anestesi yang dalam diperlukan obat yang secara langsung mencapai kadar yang tinggi di SSP (obat intravena) atau tekanan parsial yang tinggi di SSP (obat ihalasi). Kecepatan induksi dan pemulihan bergantung pada kadar dan cepatnya perubahan kadar obat anastesi dalam SSP (Munaf, 2008). 2.1.4. Anestesi Cair yang Menguap
(23)
Efek terhadap Sistem dalam Tubuh a. Kardiovaskular
Depresi miokard bergantung pada dosis, penurunan otomatisitas sistem konduksi, penurunan aliran darah ginjal dan splanknikus dari curah jantung yang berkurang, serta pengurangan sensitivitas miokard terhadap aritmia yang diinduksi katekolamin yang menyebabkan terjadinya hipotensi untuk menghindari efek hipotensi yang berat selama anestesi, yang dalam hal ini perlu diberikan vasokonstriktor langsung, seperti fenileprin (Munaf, 2008). b. Pernapasan
Depresi respirasi terkait dengan dosis yang dapat menyebabkan menurunnya volume tidal dan sensitivitas terhadap pengaturan respirasi yang dipacu oleh CO2. Pemberian bronkodilator poten sangat baik untuk mengurangi spasme bronkus (Munaf, 2008).
c. Susunan Saraf Pusat
Hilangnya autoregulasi aliran darah serebral yang menyebabkan tekanan intrakranial menurun (Munaf, 2008).
d. Ginjal
Menurunnya GFR, dan berkurangnya aliran darah ke ginjal disebabkan oleh curah jantung yang menurun (Munaf, 2008).
e. Hati
Aliran darah ke hati menurun (Munaf, 2008). f. Uterus
Menyebabkan relaksasi otot polos uterus; berguna dalam manipulasi kasus obstetrik (misalnya penarikan plasenta) (Munaf, 2008).
Metabolisme
Sebanyak 80% hilang melalui gas yang dihembuskan, 20% melalui metabolisme di hati. Metabolit berupa bromida dan asam trifluoroasetat (Munaf, 2008).
Keuntungan dan Kerugian
potensi anestesi umum kuat, induksi dan penyembuhan baik, iritasi jalan napas tidak ada, serta bronkodilator yang sangat baik. Sedangkan
(24)
kerugiannya adalah depresi miokard dan pernapasan, sensitisasi miokard terhadap aritmia yang diinduksi oleh katekolamin, serta aliran darah serebral menurun yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (Munaf, 2008).
Indikasi Klinik
Halotan digunakan secara ekstensif dalam anestesia anak karena ketidakmampuannya menginduksi inhalasi secara cepat dan status asmatikus yang refraktur. Obat ini dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit intrakranial (Munaf, 2008).
Efek samping/Toksisitas
a. Hepatitis halotan: kejadian 1/30.000 dari pemberian; pasien yang mempunyai resiko adalah yang mengalami obesitas, wanita usia muda lebih banyak terjadi dengan periode waktu yang singkat; ditandai dengan nekrosis sentrilobuler; uji fungsi hati abnormal dan eosinofilia. Sindrom ini dapat juga terjadi dengan isofluran dan etran (Munaf, 2008).
b. Hipertermi maligna: suatu sindrom yang ditandai dengan peningkatan suhu tubuh secara belebihan, rigiditas otot rangka, serta dijumpai asidosis metabolik. Secara umum, hal ini berakibat fatal kecuali jika diobati dengan dantrolen yang merupakan pelemas otot yang mencegah Ca dari retikulum sarkoplasmik (Munaf, 2008).
Enfluran
Efek terhadap Sistem dalam Tubuh a. Kardiovaskular
Depresi miokard bergantung pada dosis, vasodilator arterial, dan sensitisasi ringan miokard terhadap katekolamin (Munaf, 2008).
b. Respirasi
Depresi pernapasan bergantung pada dosis; hipoksia ablasia yang disebabkan oleh bronkodilator (Munaf, 2008).
(25)
Dapat menimbulkan kejang pada kadar enfluran tinggi dengan tekanan parsial CO2 (PCO2) menurun (hipokarbia); vasodilatasi serebral dengan meningkatnya tekanan intrakranial (Munaf, 2008).
d. Ginjal
Aliran darah ginjal dan GFR menurun (Munaf, 2008). Metabolisne
Sebanyak 2% enfluran dimetabolisme di hati, metabolit utama, yaitu fluorida mempunyai potensi untuk menimbulkan nefrotoksis (sangat jarang digunakan secara klinis) (Munaf, 2008).
Keuntungan dan kerugian
Secara klinis, enfluran merupakan bronkodilator yang baik, respons kardiovaskular stabil, kecenderungan aritmia jantung minimal, dan tidak mengiritasi saluran napas. Sedangkan kerugiannya adalah Enfluran mempunyai potensi aktivitas kejang. Kontraindikasi pada pasien dengan tekanan intrakranial yang meningkat disertai dengan gangguan patologik intrakranial (Munaf, 2008).
Isofluran
Efek terhadap Sistem dalam Tubuh a. Kardiovaskular
Terjadi depresi miokard yang ringan dan bergantung pada dosis, sedangkan curah jantung biasanya normal disebabkan sifat vasodilatasinya, sensitisasi miokard minimal terhadap katekolamin, dapat menyebabkan coronary steal oleh vasodilatasi normal pada stenosis dengan aliran yang berlebihan (Munaf, 2008).
b. Respirasi
Depresi respons terhadap CO2 bergantung pada dosis, hipoksia ventilasi, bronkodilator, iritasi sedang pada jalan napas (Munaf, 2008).
c. Ginjal
Glomerular Filtration Rate (GFR) dan aliran darah ginjal rendah disebabkan tekanan arterial menengah yang menurun (Munaf, 2008). d. Susunan Saraf Pusat
(26)
Efek minimal pada otoregulasi serebral, konsumsi oksigen metabolik serebral menurun, dan merupakan obat pilihan untuk bedah saraf (Munaf, 2008).
Metabolisme
Hanya 0,2% yang dimetabolisme di hati, selebihnya diekskresikan pada waktu ekspirasi dalam bentuk gas (Munaf, 2008).
Keuntungan dan Kerugian
Keadaan kardeiovaskular stabil, tidak bersifat aritmogenik, tekanan ntrakranial tidak meningkat, bronkodilator. Sedangkan kerugiannya adalah Iritasi jalan napas sedang (Munaf, 2008).
Sevofluran
Sevofluran merupakan fluorokarbon dengan bau yang tidak begitu menyengat, dan tidak begitu mengiritasi saluran napas, serta absorpsinya cepat. Indikasi klinik: sebagai anestesi umum untuk melewati stadium 2 dan untuk pemeliharaan umum (Munaf, 2008).
Tabel 2.2. Obat Sevofluran
Obat Aritmia Sensitivitas terhadap katekolamin Curah jantung Tekanan Darah Refleks Respirasi Toksisitas pada Hepar
Halotan ↑ ↑ ↓ ↓ ↓ +++
Enflura n
↑ ↑ ↓ ↓ ↓ +
Isoflura n
-- -- ↓ ↓ ↑(stimulasi
awal) -- Sevoflur an -- -- -- -- -- -- Nitrogen oksida -- -- -- -- -- --
Sumber: Omoigui, S., 2009. Buku Saku Obat-Obatan. Edisi 11. Jakarta: EGC.
(27)
Pada suatu operasi biasanya digunakan anestesi intravena untuk induksi cepat melewati stadium II, dilanjutkan stadium III, dan dipertahankan dengan suatu anestesi umum per inhalasi. Karena anestesi IV ini cepat menginduksi stadium anestesi, penyuntikan harus dilakukan secara perlahan-lahan (Kee, et al (1996)).
Tabel 2.3. Anestesi Intravena
Obat Waktu induksi Pertimbangan Pemakaian Natrium
tiopental
Cepat Masa kerja singkat. Dipakai untuk induksi cepat pada anestesi umum. Membuat pasien tetap hangat, karena dapat terjadi tremor. Dapat menekan pusat pernapasan dan mungkin diperlukan bantuan ventilasi
Natrium Tiamilal
Cepat Dipakai untuk induksi anestesi dan anestesi untuk terapi elektrosyok Droperidol Sedang sampai cepat Sering digunakan bersama anaestesi
umum. Dapat juga dipaki sebagai obat preanestetik
Ketamin Hidroklorida
Cepat Dipakai untuk pembedahan jangka singkat atau untuk induksi pembedahan. Obat ini meningkatkan salivasi, tekanan darah, dan denyut jantung
Sumber: Omoigui, S., 2009. Buku Saku Obat-Obatan. Edisi 11. Jakarta: EGC. 2.1.6. Anestesi Gas
Tabel 2.4. Anestesi Gas
Obat Waktu Induksi Pertimbangan pemakaian Nitrous
oksida
Sangat cepat Pemulihan cepat. Mempunyai efek yang minimal pada kardiovaskular. Harus diberikan bersama-sama oksigen. Potensi rendah
Siklopropan Sangat cepat Sangat mudah terbakar dan meledak. Jarang digunakan
Sumber: Omoigui, S., 2009. Buku Saku Obat-Obatan. Edisi 11. Jakarta: EGC. 2.1.7. Penggolongan Muscle Relaxant
(28)
Analgesia adalah hilangnya sensasi nyeri. Relaksan otot adalah obat yang mengurangi ketegangan otot dengan bekerja pada saraf yang menuju otot (misalnya kurare, suksinilkolin) (Grace, 2006). Berdasarkan perbedaan mekanisme kerja dan durasi kerjanya' obat-obat pelumpuh otot dapat dibagi menjadi obat pelumpuh otot
depolarisasi (meniru aksi asetilkolin) dan obat pelumpuh otot nondepolarisasi (mengganggu kerja asetilkolin). Obat pelumpuh otot nondepolarisasi dibagi menjadi 3 grup lagi yaitu obat kerja lama' sedang' dan singkat. Obat-obat pelumpuh
otot dapat berupa senyawa benzilisokuinolin atau aminosteroid. Obat- obat pelumpuh otot membentuk blokade saraf-otot fase I depolarisasi' blokade saraf-otot
fase II depolarisasi atau nondepolarisasi (Rachmat, et al., 2004). 2.1.7.1 Muscle Relaxant Golongan Depolarizing
Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah sinaps tidak dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan cukup lama menyebabkan terjadinya depolarisasi yang ditandai dengan fasikulasi yang diikuti relaksasi otot lurik. Termasuk golongan ini adalah suksinilkolin (diasetil-kolin) dan dekametonium. Didalam vena, suksinil kolin dimetabolisme oleh kolinesterase plasma,pseudokolinesterase menjadi suksinil-monokolin. Obat anti kolinesterase (prostigmin) dikontraindikasikan karena menghambat kerja pseudokolinesterase (Mangku, 2010).
A. Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium)
Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang bergabung. obat ini memiliki onset yang cepat (30-60 detik) dan duration of action yang pendek (kurang dari 10 menit). Ketika suksinilkolin memasuki sirkulasi, sebagian besar dimetabolisme oleh pseudokolinesterase menjadi suksinilmonokolin. Proses ini sangat efisien, sehingga hanya fraksi kecil dari dosis yang dinjeksikan yang mencapaineuromuscular junction. Duration of action akan memanjang pada dosis besar atau dengan metabolisme abnormal, seperti hipotermia atau rendanya level pseudokolinesterase. Rendahnya level pseudokolinesterase ini ditemukan pada kehamilan, penyakit hati, gagal ginjal dan beberapa terapi obat. Pada beberapa
(29)
orang juga ditemukan gen pseudokolinesterase abnormal yang menyebabkan blokade yang memanjang (Mangku, 2010).
B.Ciri Kelumpuhan a. Ada fasikulasi otot.
b. Berpotensiasi dengan antikolinesterase.
c. Kelumpuhan berkurang dengan pemberian obat pelumpuh otot non depolarisasi dan asidosis.
d. Tidak menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan tunggal maupun tetanik.
e. Belum diatasi dengan obat spesifik
2.1.7.2. Muscle Relaxant Golongan Non Depolarizing.
Bekerja berikatan dengan reseptor kolinergik nikotinik tanpa menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja (Latief, dkk, 2007).
Farmakokinetik obat pelumpuh otot nondepolarisasi dihitung setelah pemberian cepat intravena. Rerata obat pelumpuh otot yang hilang dari plasma dicirikan dengan penurunan inisial cepat (distribusi ke jaringan) diikuti penurunan yang lebih lambat (klirens). Meskipun terdapat perubahan distribusi dalam aliran darah' anestesi inhalasi memiliki sedikit efek atau tidak sama sekali pada
farmakokinetik obat pelumpuh otot. Peningkatan blok saraf-otot oleh anestesi volatil mencerminkan aksi farmakodinamik' seperti dimanifestasikan oleh
penurunan konsentrasi plasma obat pelumpuh otot yang dibutuhkan untuk menghasilkan tingkat blokade saraf tertentu dengan adanya anestesi volatile. Bila volume distribusi menurun akibat peningkatan ikatan protein' dehidrasi' atau
perdarahan akut' dosis obat yang sama menghasilkan konsentrasi plasma yang
lebih tinggi dan potensi nyata akumulasi obat. Waktu paruh eliminasi obat pelumpuh otot tidak dapat dihubungkan dengan durasi kerja obat-obat ini saat
(30)
diberikan sebagai injeksi cepat intravena (Lunn, 2004).
Berdasarkan susunan molekul, maka pelumpuh otot non depolarisasi digolongkan menjadi:
1. Bensiliso-kuinolinum : d-tubokurarin, metokurium, atrakurium, doksakurium, mivakurium.
2. Steroid: pankuronium, vekuronium, pipekuronium, ropakuronium, rokuronium.
3. Eter-fenolik : gallamin. 4. Nortoksiferin : alkuronium.
Tabel 2.5. Obat Pelumpuh Otot
Berdasarkan maka pelumpuh otot non depolarisasi dibagi menjadi kerja panjang, sedang, dan pendek:lama kerja,
Dosis Awal (mg/kg) Dosis Rumatan (mg/kg) Durasi (menit) Efek Samping
Non Depol Long Acting 1. D-tubokurarin 2. Pankuronium 3. Metakurin 4. Pipekuronium 5. Doksakurium 6. Alkurium
0.40 – 0.60 0.08 – 0.12 0.20 - 0.40 0.05 – 0.12 0.02 – 0.08 0.15 – 0.30 0.10 0.15 – 0.20 0.05 0.01 – 0.015 0.005 – 0.010 0.05 30 – 60 30 – 60 40 – 60 40 – 60 45 – 60 40 – 60 Hipotensi Vagolitik,takikardi Hipotensi Kardiovaskuler stabil Kardiovaskuler stabil Vagolitik, takikardi
(31)
Non depol Intermediate 1. Gallamin
2. Atrakurium 3. Vekuronium 4. Rokuronium 5. Cistacuronium
4 – 6 0.5 – 0.6 0.1 – 0.2 0.6 – 0.1 0.15 – 0.20 0.5 0.1 0.015 – 0.02 0.10 – 0.15 0.02 30 – 60 20 – 45 25 – 45 30 – 60 30 – 45 Hipotensi
Aman untuk hepar
Berdasarkan lama kerja, maka pelumpuh otot non depolarisasi dibagi menjadi kerja panjang, sedang, dan pendek:
Dosis Awal (mg/kg) Dosis Rumatan (mg/kg) Durasi (menit) Efek Samping
Non Depol Short Acting 1. Mivakurium 2. Ropacuronium
0.20 – 0.25 1.5 – 2.0
0.05 0.3 – 0.5
10 – 15 15 –
30 Depol Short Acting
1. Suksinilkolin 1 3 – 10
Sumber: Mangku, dr, Sp. An. KIC & Senapathi, dr, Sp. An., 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi. Jakarta: PT. Indeks.
Ciri Kelumpuhan Otot Non Depolarisasi
(32)
a. Tidak ada fasikulasi otot.
b. Berpotensiasi dengan hipokalemia, hipotermia, obat anestetik inhalasi (eter, halotan, enfluran, isofluran)
c. Menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan tunggal atau tetanik.
d. Dapat diantagonis oleh antikolinesterase.
2.1.8. Penawar Pelumpuh Otot
Antikolinesterase bekerja dengan menghambat kolinesterase sehingga asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterase yang paling sering digunakan adalah neostigmin (dosis 0,04-0,08 mg/kg), piridostigmin (dosis 0,1-0,4 mg/kg) dan edrophonium (dosis 0,5-1,0 mg/kg), dan fisostigmin yang hanya untuk penggunaan oral (dosis 0,01-0,03 mg/kg). Penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik sehingga menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardi, kejang bronkus, hipermotilitas usus dan pandangan kabur sehingga pemberiannya harus disertai vagolitik seperti atropine (dosis 0,01-0,02mg/kg) atau glikopirolat (dosis 0,005-0,01 mg/kg sampai 0,2-0,3 mg pada dewasa) (Mangku, 2010).
2.1.9. Analgesik
Menurut kamus perobatan Oxford (2011), obat anti nyeri bermaksud suatu obat yang meredakan rasa nyeri. Obat anti nyeri ringan (aspirin dan parasetamol) digunakan untuk meredakan nyeri kepala, nyeri gigi dan nyeri reumatik ringan manakala obat anti nyeri yang lebih poten (narkotika atau opioid) seperti morfin dan petidin hanya digunakan untuk meredakan nyeri berat memandangkan ia bisa menimbulkan gejala dependensi dan toleransi. Sesetengah analgesik termasuk aspirin, indometasin dan fenilbutazon bisa juga meredakan demam dan inflamasi serta digunakan dalam kondisi rematik.
a. Jenis-Jenis Analgesik
Berdasarkan sifat farmakologisnya, obat anti nyeri (analgesika) dibagi kepada dua kelompok yaitu analgesika perifer dan analgesika narkotika. Analgesika perifer (non-narkotika) terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak
(33)
bekerja sentral manakala analgesika narkotika digunakan untuk meredakan rasa nyeri hebat misalnya pada pesakit kanker (Suleman, 2006).
b. Mekanisme Kerja Obat
1. Obat Anti Inflamasi Nonsteroid (OAINS)
Hampir semua obat AINS mempunyai tiga jenis efek yang penting yaitu : a. Efek anti-inflamatori : memodifikasi reaksi inflamasi
b. Efek analgesik : meredakan suatu rasa nyeri
c. Efek antipiretik : menurunkan suhu badan yang meningkat.
Secara umumnya, semua efek-efek ini berhubungan dengan tindakan awal obat-obat tersebut yaitu penghambatan arakidonat siklooksigenase sekaligus menghambat sintesa prostaglandin dan tromboksan (Rang et al., 2007). Terdapat dua tipe enzim siklooksigenase yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1 merupakan enzim konstitutif yang dihasilkan oleh kebanyakan jaringan termasuklah platlet darah (Rang et al., 2007). Enzim ini memainkan peranan penting dalam menjaga homeostasis jaringan tubuh khususnya ginjal, saluran cerna dan trombosit. Di mukosa lambung, aktivasi COX-1 menghasilkan prostasiklin yang bersifat sitoprotektif. COX-2 pula diinduksi dalam sel-sel inflamatori diaktivasi. Dalam hal ini, stimulus inflamatoar seperti sitokin inflamatori primer yaitu interleukin-1 (IL-1) dan tumour necrosis factor-α (TNF- α), endotoksin dan faktor pertumbuhan (growth factors) yang dilepaskan menjadi sangat penting dalam aktivasi enzim tersebut.Ternyata sekarang COX-2 juga mempunyai fungsi fisiologis yaitu di ginjal, jaringan vaskular dan pada proses pembaikan jaringan. Tromboksan A2, yang disentesis trombosit oleh COX-1, menyebabkan agregasi trombosit, vasokonstriksi dan proliferasi otot polos. Sebaliknya prostasiklin yang disintesis oleh COX-2 di endotel makrovaskular melawan efek tersebut dan menyebabkan penghambatan agregasi trombosit, vasodilatasi dan efek anti-proliferatif (Fendrick et al., 2008).
(34)
Morgan Jr GE, Michail MS, Murray MJ (2006), Menjelaskan bahwa opioid didefinisikan sebagai senyawa dengan efek yang diantagonis oleh nalokson. a. Analgesik Opioid Kuat
Analgesik ini khususnya digunakan pada terapi nyeri tumpul yang tidak terlokalisasi dengan baik (viseral). Nyeri somatik dapat ditentukan dengan jelas dan bisa diredakan dengan analgesik opioid lemah. Morfin parenteral banyak digunakan untuk mengobati nyeri hebat dan morfin oral merupakan obat terpilih pada perawatan terminal.
Morfin dan analgesik opioid lainnya menghasilkan suatu kisaran efek sentral yang meliputi analgesia, euforia, sedasi, depresi napas, depresi pusat vasomotor (menyebabkan hipotensi postural), miosis akibat stimulasi nukleus saraf III (kecuali petidin yang mempunyai aktifitas menyerupai atropin yang lemah), mual, serta muntah yang disebabkan oleh stimulasi chemoreceptor trigger zone. Obat tersebut juga menyebabkan penekanan batuk, tetapin hal ini tidak berkaitan dengan aktivitas opioidnya. Efek perifer seperti konstipasi, spasme bilier, dan konstriksi sfingter Oddi bisa terjadi. Morfin bisa menyebabkan pelepasan histamin dengan vasodilatasi dan rasa gatal. Morfin mengalami metabolisme dalam hati dengan berkonjugasi dengan asam glukoronat untuk membentu morfin-3-glukoronid yang inaktif, dan morfin-6-glukuronid, yaitu analgesik yang lebih poten daripada morfin itu sendiri, terutama bila diberi intratekal.
Diamorfin (heroin, diasetilmorfin) lebih larut dalam lemak daripada morfin sehingga mempunyai awitan kerja lebih cepat bila diberikan secara suntikan. Kadar puncak yang lebih tinggi menimbulkan sedasi yang lebih kuat daripada morfin. Dosis kecil diamorfin epidural semakin banyak digunakan untuk mengendalikan nyeri hebat.
Dekstromoramid mempunyai durasi kerja singkat (2-4 jam) dan dapat diberikan secara oral maupun sublingual sesaat sebelum tindakan yang menyakitkan.
(35)
Metadon mempunyai durasi kerja panjang dan kurang sedatif dibandingkan morfin. Metadon digunakan secara oral untuk terapi rumatan pecandu heroin atau morfin. Pada pecandu, metadon mencegah penggunaan obat intravena.
b. Analgesik Opioid Lemah
Analgesik opioid lemah digunakan pada nyeri ringan sampai sedang. Analgesik ini bisa menyebabkan ketrgantungan dan cenderung disalahgunakan. Akan tetapi, ibuprofen kurang menarik untuk pencandu karena tidak memberikan efek yang hebat.
Kodein (metilmorfin) diabsorpsi baik secara oral, tetapi mempunyai afinitas sangat rendah terhadap reseptor opioid. Sekitar 10% obat mengalami demetilasi dalam hati menjadi morfin, yang bertanggung jawab atas efek analgesik kodein. Efek samping (kostipasi, mudah, sedasi) membatasi dosis ke kadar yang menghasilkan analgesia yang jauh lebih ringan daripada morfin. Kodein juga digunakan sebagai obat antitusif dan antidiare.
2.2. Post Operative Nausea and Vomitus (PONV) 2.2.1. Definisi
Mual muntah pasca operasi atau Post Operative Nausea and Vomiting (PONV) tidak mengenakkan bagi pasien dan potensial mengganggu penyembuhan paska operatif. Kapur mendeskripsikan PONV sebagai ‘the big little problem’ pada pembedahan ambulatori (Maddali MM, Mathew J, 2003).
Mual adalah suatu sensasi tidak enak yang bersifat subjektif yang berhubungan dengan keinginan untuk muntah. Muntah adalah ekspulsi dengan tenaga penuh dari isi gaster. Stimulus yang bisa mecetuskan mual dan muntah berasal dari olfaktori, visual, vestibular dan psikogenik. Kemoreseptor pada CTZ memonitor level substansi di darah dan cairan serebrospial dan dan faktor – faktor lainnya juga bisa mencetuskan terjadinya PONV. Muntah diawali dengan bernafas yang dalam, penutupan glotis dan naiknya langit – langit lunak. Diafrahma lalu berkontraksi dengan kuat dan otot – otot abdominal berkontraksi untuk
(36)
meningkatkan tekanan intra-gastrik. Hal ini menyebabkan isi lambung keluar dengan penuh tenaga ke esofagus dan keluar dari mulut (Honkavaara, P, 1995).
2.2.2. Patofisiologi
Pusat muntah, disisi lateral dari retikular di medula oblongata, memperantarai refleks muntah. Bagian ini sangat dekat dengan nukleus tractus solitarius dan area postrema. Chemoreseptor Trigger Zone (CTZ) berlokasi di area postrema. Rangsangan perifer dan sentral dapat merangsang kedua pusat muntah dan CTZ. Afferent dari faring, GI tract, mediastinum,ginjal, peritoneum dan genital dapat merangsang pusat muntah. Sentral dirangsang dari korteks serebral, cortical atas dan pusat batang otak, nucleus tractus solitarius, CTZ, dan sistem vestibular di telinga dan pusat penglihatan dapat juga merangsang pusat muntah. Karena area postrema tidak efektif terhadap sawar darah otak, obat atau zat-zat kimia di darah atau di cairan otak dapat langsung merangsang CTZ (Ho KY, Chiu JW, 2005).
Kortikal atas dan sistem limbik dapat menimbulkan mual muntah yang berhubungan dengan rasa, penglihatan, aroma, memori dan perasaaan takut yang tidak nyaman (Zainumi C M). Nukleus traktus solitaries dapat juga menimbulkan mual muntah dengan perangsangan simpatis dan parasimpatis melalui perangsangan jantung, saluran billiaris, saluran cerna dan saluran kemih (Morgan Jr GE, Mikhail MS, Murray Mj, 2006). Sistem vestibular dapat dirangsang melalui pergerakan tiba-tiba yang menyebabkan gangguan pada vestibular telinga tengah (Rahman MH, Beattie J, 2004).
Reseptor sepeti 5-HT3, dopamin tipe 2 (D2), opioid dan neurokinin-1 (NK-1) dapat dijumpai di CTZ. Nukleus tractus solitarius mempunyai konsentrasi yang tinggi pada enkepalin, histaminergik, dan reseptor muskarinik kolinergik. Reseptor-reseptor ini mengirim pesan ke pusat muntah ketika di rangsang. Sebenarnya reseptor NK-1 juga dapat ditemukan di pusat muntah. Pusat muntah mengkoordinasi impuls ke vagus, frenik, dan saraf spinal, pernafasan dan otot- otot perut untuk melakukan refleks muntah (Ho KY, Chiu JW, 2005)
(37)
Gambar 2.1. Skema patofisiologi mual dan muntah
Sumber: Rahman MH, Beattie J., 2004. Post Operative Nausea and Vomiting. The Pharmaceutical Journal, Vol. 273
(38)
Gambar 2.2. Patofisiologi mual dan muntah
Sumber: Siregar, D., 2011. Perbandingan Kombinasi Ondansetron 2mg IV Dengan Deksametason 4mg IV Dan Ondansetron 4 mg IV Dengan Deksametason 4mg IV Sebagai Profilaksis Pada Pasien Resiko Tinggi Mual Muntah Setelah Operasi Yang Menjalani Tindakan Operasi Dengan Anestesi Umum Intubasi. Tesis akhir penelitian. Medan.
(39)
Gambar 2.3. Fisiologi Post Operative Nausea and vomiting
Sumber: Siregar, D., 2011. Perbandingan Kombinasi Ondansetron 2mg IV Dengan Deksametason 4mg IV Dan Ondansetron 4 mg IV Dengan Deksametason 4mg IV Sebagai Profilaksis Pada Pasien Resiko Tinggi Mual Muntah Setelah Operasi Yang Menjalani Tindakan Operasi Dengan Anestesi Umum Intubasi. Tesis akhir penelitian. Medan.
2.2.3. Faktor Risiko 1. Faktor – faktor pasien
a. Umur : insidensi PONV 5% pada bayi, 25% pada usia dibawah 5 tahun, 42 – 51% pada umur 6 – 16 tahun dan 14 – 40% pada dewasa.
b. Gender : wanita dewasa akan mengalami PONV 2 – 4 kali lebih mungkin dibandingkan laki – laki, kemungkinan karena hormon perempuan.
c. Obesitas : dilaporkan bahwa pada pasien tersebut lebih mudah terjadi PONV baik karena adipos yang berlebihan sehingga penyimpanan obat
(40)
– obat anestesi atau produksi estrogen yang berlebihan oleh jaringan adipos.
d. Motion sickness : pasien yang mengalami motion sickness lebih mungkin terkena PONV
e. Perpanjangan waktu pengosongan lambung : pasien dengan kondisi ini akan menambah resiko terjadinya PONV
f. Perokok : bukan perokok akan lebih cenderung mengalami PONV 2. Faktor – faktor preoperatif
a. Makanan : waktu puasa yang panjang atau baru saja makan akan meningkatkan insiden PONV
b. Ansietas : stess dan ansietas bisa menyebabkan muntah
c. Penyebab operasi : operasi dengan peningkatan tekanan intra kranial,obstruksi saluran pencernaan, kehamilan, aborsi atau pasien dengan kemoterapi.
d. Premedikasi : atropine memperpanjang pengosongan lambung dan mengurangi tonus esofageal, opioid meningkatkan sekresi gaster, dan menurunkan motilitas pencernaan. Hal ini menstimulasi CTZ dan menambah keluarnya 5-HT dari sel – sel chromaffin dan terlepasnya ADH.
3. Faktor – faktor intraoperatif a. Faktor anestesi
Intubasi : stimulasi mekanoreseptor faringeal bisa menyebabkan muntah
Anestetik : kedalaman anestesi atau inflasi gaster pada saat ventilasi dengan masker bisa menyebabkan muntah
Anestesia : perubahan posisi kepala setelah bangun akan merangsang vestibular
Obat – obat anestesi : opioid adalah opat penting yang berhubungan dengan PONV. Etomidate dan methohexital juga berhubungan dengan kejadian PONV yang tinggi.
(41)
Agen anstesi inhalasi : eter dan cyclopropane menyebabkan insiden PONV yang tinggi karena katekolamin. Pada sevoflurane, enflurane, desflurane dan halothane dijumpai angka kejadian PONV yang lebih rendah. N2O mempunyai peranan yang dalam terjadinya PONV. Mekanisme terjadinya muntah karena N2O karena kerjanya pada reseptor opioid pusat, perubahan pada tekanan telinga tengah, stimulasi saraf simpatis dan distensi gaster. b. Teknik anestesi
Insiden PONV diprediksi lebih rendah dengan spinal anestesi bila dibandingkan dengan general anestesi. Pada regional anestesi dijumpai insiden yang lebih rendah pada emesis intra dan postoperatif.
c. Faktor pembedahan :
Kejadian PONV juga berhubungan dengan tingginya insiden dan keparahan PONV. Seperti pada laparaskopi, bedah payudara, laparatomi, bedah plastik, bedah optalmik (stabismus), bedah THT, bedah ginekologi (Gan TJ, 2003).
Durasi operasi (setiap 30 menit penambahan waktu resiko PONV meningkat sampai 60%).
4. Faktor – faktor paska operatif
Nyeri, pusing, ambulasi, makan yang terlalu cepat (Saeeda I, Jain P, 2004) Terjadinya PONV sangat kompleks tapi faktor – faktor tertentu diketahui meningkatkan insiden. Faktor – faktor preoperatif yang berhubungan dengan pasien seperti umur, gender, keseimbangan hormonal, berat badan, isi lambung, riwayat sebelumnnya, kecemasan dan riwayat mual muntah. Faktor – faktor post operatif adalah tekhnik atau obat yang berhubungan dengan hipotensi, nyeri, analgesia opioid, intake oral yang cepat dan pergerakan. Thomson juga menegaskan bahwa penggunaan opioid menstimulasi pusat muntah melalui CTZ tanpa pengaruh dari jalur maupun waktu pemberiannya. (Saeeda I, Jain P, 2004)
Walaupun begitu, intervensi untuk mencegah PONV tidaklah perlu untuk semua populasi pasien, bahkan tanpa profilaksis pasien belum tentu mengalami simptom tersebut. Terlebih lagi intervensi yang dilakukan kurang efikasinya,
(42)
terutama yang monoterapi. Oleh karena itu, penting untuk memberikan intervensi pada pasien yang mungkin mengalami PONV. Bagaimanapun, pengertian mengenai faktor resiko PONV belumlah lengkap, untuk mengerti tentang patofisiologi dan faktor resiko PONV dipersulit oleh banyaknya faktor karena banyaknya reseptor dan stimulus. Setidaknya ada 7 neurotransmiter yang diketahui, serotonin, dopamine, muscarine, acetylcholine, neurokinin – 1, histamine dan opioid (Gan TJ, 2006).
2.2.4 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan farmakologikal PONV menurut Morgan Jr GE, 2006) dan Wallenborn J, Gelbrich G, Bulst D, 2006 :
a. Antagonist reseptor Serotonin: bahwa tidak ada perbedaan efek dan keamanannya diantara golongan –golongan Antagonist reseptor Serotonin tersebut, seperti Ondansetron , Dolasetron, Granisetron, dan Tropisetron untuk profilaksis PONV. Obat ini efektif bila diberikan pada saat akhir pembedahan. Banyak penelitian dari golongan obat ini seperti Ondansetron dimana mempunyai efek anti muntah yang lebih besar dari pada anti mual. b. Antagonist dopamin: reseptor dopamin ini mempunyai reseptor di CTZ, bila reseptor ini dirangsang akan terjadi muntah, antagonist Dopamin tersebut seperti:Benzamida (Metoklopramide dan Domperidon),Phenotiazine (Clorpromazine dan Proclorpromazine), dan Butirophenon (Haloperidol dan Droperidol).
c. Antihistamin: Obat ini ( Prometazine dan Siklizine ) memblok H1 dan Reseptor muskarinik di pusat muntah. Obat ini mempunyai efek dalam penatalaksanaan PONV yang berhubungan dengan aktivasi sistem vestibular tetapi mempunyai efek yang kecil untuk muntah yang dirangsang langsung di CTZ .Obat Antikholinergik: Obat ini ( Hyoscine hydrobromide atau Scopolamin) mencegah rangsangan di pusat muntah dengan memblok kerja dari acetylcolin di pada reseptor muskarinik di sistem vestibular. d. Steroid : Dalam hal ini obat yang sering digunakan adalah deksametason.
(43)
pelepasan prostaglandin. Efek samping pemakaian berulang deksametason adalah peningkatan infeksi, supressi adrenal, tetapi tidak pernah dilaporkan efek samping timbul pada pemakaian dosis tunggal. Obat ini juga menurunkan motilitas lambung dan rangsangan aferen di pusat muntah, efek samping yang sering terjadi pada obat ini adalah pandangan kabur, retensi urine, mulut kering, drowsiness.
2.2.5. Jenis Operasi yang Menyebabakan PONV
Sistem vestibular bisa menstimulasi PONV sebagai akibat dari operasi yang berhubungan dengan telinga tengah, atau gerakan post operatif. Gerakan tiba – tiba dari kepala pasien setelah bangun menyebabkan gangguan vestibular telinga tengah, dan menambah insiden PONV. Acetilkoline dan histamin berhubungan dengan transmisi sinyal dari sistem vestibular ke pusat muntah. Pusat kortikal yang lebih tinggi (cth sistem limbik) juga berhubungan, terutama jika adanya riwayat PONV. Hal ini mencetuskan mual dan muntah yang berhubungan dengan rasa, penglihatan, bau, memori yang tidak enak dan rasa takut. Pusat muntah adalah medulla oblongata yang letaknya sangat dekat dengan pusat viseral lainnya seperti pusat pernafasan dan vasomotor (Chandra, 2012).
Mual dan muntah sering juga ditemukan pascabedah dan bisa sekunder terhadap ileus paralitikus, obstruksi usus halus mekanik, abses dan peradangan intraabdomen (terutama jika dalam epigastrium) serta pemebrian berbagai obat yang lazim diberikan pada pasien bedah. Anestesi umum dan analgesik opiat tersering dilibatkan dalam hal ini. Mual dan muntah yang disebabkan oleh ileus paralitikus dan obstruksi usus memerlukan pendekatan terapi yang lebih agresif. Disamping debilitasi psikolog yang menyertai masa muntah yang lama, juga timbul akibat fisiologi yang telah dikenal. Hipovolemia, hipokalemia dan alkalosis merupakan penyimpangan metabolik dini yang dominan, yang akhirnya bisa memerlukan koreksi jika muntah tetap (Sabiston, 2005).
(44)
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka konsep
Variabel Independen Variabel Dependen
Keterangan:
: Data yang diteliti 3.2. Definisi Operasional
3.2.1. Bedah elektif a. Definisi
Bedah elektif adalah pembedahan yang direncanakan sebelum tindakan operasi dengan memenuhi kriteria persyaratan yaitu telah dilakukan puasa selama minimal 6 jam sebelum dilakukan pembedahan.
b. Cara Ukur
Cara pengukurannya dengan melakukan pengamatan dan wawancara secara langsung.
c. Alat ukur
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa wawancara. e. Skala ukur
Skala ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala nominal. Pasca Anestesi Umum pada
Bedah Elektif
(45)
3.2.2. Mual a. Definisi
Mual adalah suatu sensasi tidak enak yang bersifat subjektif yang berhubungan dengan keinginan untuk muntah.
b. Cara Ukur
Cara pengukurannya dengan melakukan wawancara secara langsung setelah pasien sadar penuh. PONV dinilai dalam 24 jam dimulai dari 2 jam pasca operasi. Pasien diklasifikasikan PONV jika ada mual, retching, ataupun muntah dalam 24 jam. c. Alat Ukur
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa wawancara dan pengamatan secara langsung.
d. Skala Ukur
Skala ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah nominal. 3.2.3. Muntah
a. Definisi
Muntah adalah ekspulsi dengan tenaga penuh dari isi gaster. b. Cara Ukur
Cara pengukurannya dengan melakukan wawancara secara langsung setelah pasien sadar penuh. PONV dinilai dalam 24 jam dimulai dari 2 jam pasca operasi. Pasien diklasifikasikan PONV jika ada mual, retching, ataupun muntah dalam 24 jam. c. Alat Ukur
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa wawancara d. Skala Ukur
(46)
Skala ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah nominal. 3.3.4. Pasca Anestesi
a. Definisi
Pasca anestesi adalah kondisi sesudah dilakukan anestesi. b. Cara Ukur
Cara pengukurannya dengan wawancara secara langsung. c. Alat Ukur
Alat pengukurannya berupa wawancara. d. Skala Ukur
Skala ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah nominal. 3.3.5. Pasca operative
a. Definisi
Pasca operative adalah kondisi setelah dilakukan operasi. b. Cara Ukur
Cara pengukurannya dengan wawancara secara langsung. c. Alat Ukur
Alat pengukurannya berupa wawancara secara langsung. d. Skala Ukur
(47)
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional yang bersifat deskriptif dan menggunakan desain cross sectional untuk mengetahui adanya prevalensi mual muntah pasca anastesi umum pada bedah elektif di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2013.
4.2. Waktu dan Tempat 4.2.1. Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilakukan pada bulan Juli sampai September tahun 2013.
4.2.2. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik. Adapun pertimbangan memilih lokasi tersebut adalah karena merupakan salah satu rumah sakit rujukan yang ada di kota Medan sehingga distribusinya bervariasi dan cocok untuk penelitian serta lokasi terjangkau oleh peneliti.
4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi
Populasi adalah sejumlah besar subjek yang mempunyai karakteristik tertentu (Notoatmodjo, 2010). Pada penelitian ini, populasinya adalah keseluruhan pasien yang direncanakan menjalani bedah elektif dengan anestesi unum di RSUP H. Adam Malik Juli sampai September 2013.
4.3.2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah subjek dalam populasi penelitian yang termasuk dalam kriteria inklusi dan kriteria eksklusi (Arief, 2003), sebagai berikut:
(48)
1. Usia 16-50
2. Pasien ASA I dan ASA II
ASA I : Pasien normal dan sehat, resiko kecil.
ASA II : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang, aktivitas normal.
3. Operasi Elektif, lama operasi kurang dari 5 jam.
4. Bersedia menjadi sampel penelitian melalui proses informed consent. 5. Operasi THT, mata, obstetri, dan Gastrointestinal (ileus paralitikus) Kriteria Eksklusi:
1. Obesitas BMI > 30. 2. Riwayat gastritis
3. Pasien dengan gangguan vestibular cochlear 4. Pasien kemoterapi
5. Penggunaaan opioid sebelumnya
Sampel penelitian ini adalah seluruh populasi pasien mual dan muntah pasca bedah elestik anestesi umum yang dirawat inap di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2013 dari bulan Juli hingga September 2013 dengan demikian metode pengambilan sampel dihitung dengan rumus :
n PQ Keterangan :
Zα² = Tingkat kemaknaan 0,05 1,96 P = Proporsi 0,85
Q = 1 – P 0,15
D = Tingkat ketetapan absolut yang dikehendaki 0,1 N = Besar sampel minimal49 orang
(49)
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara oleh peneliti untuk mengidentifikasi karakter masing-masing responden. Prosedur pengumpulan data yang dilakukan adalah mengajukan surat permohonan izin penelitian ke pihak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dan mengajukan surat permohonan izin melaksanakan penelitian di RSUP H. Adam Malik. Setelah mendapat izin, peneliti melaksanakan pengumpulan data pasien yang menjalankan bedah elastik anestesi umum di RSUP. H. Adam Malik. Selanjutnya, peneliti menjelaskan kepada calon responden tentang tujuan dan manfaat penelitian. Setelah itu, peneliti meminta persetujuan dari calon responden untuk menjadi responden dengan menandatangani lembar persetujuan. Setelah itu peneliti memberikan pertanyaan sekaligus mengobservasi dan mewawancara responden. Pengambilan data dilakukan sebanyak dua kali.
4.5. Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data dilakukan dengan metode statistik secara komputerisasi. Data yang dikumpulkan ditabulasi dalam bentuk distribusi frekuensi. Pengolahan data adalah suatu proses dalam memperoleh data ringkasan atau angka ringkasan dengan menggunakan cara-cara tertentu (Wahyuni, 2008) yaitu :
1. Editing
Editing dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan data. 2. Coding
Data yang telah dikumpul dan dikoreksi ketepatan dan kelengkapannya kemudian diberi kode secara manual sebelum diolah dengan komputer. 3. Entry
Data dibersihkan kemudian dimasukkan ke program komputer. menggunakan program statistik.
4. Cleaning data
Pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan ke dalam program komputer guna menghindari terjadinya kesalahan dalam pemasukan data. 5. Saving
(50)
BAB 5 Hasil Penelitian
5.1. Deskripsi Tempat
Penelitian ini dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan yang berlokasi di Jalan Bunga Lau no. 17, Kelurahan Kemenangan Tani, Kecamatan Medan Tuntungan. Rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit kelas A sesuai dengan SK Menkes No. 355/ Menkes/ SK/ VII/ 1990. RSUP Haji Adam Malik Medan telah memiliki fasilitas kesehatan yang memenuhi standar dan tenaga kesehatan yang kompeten. Selain itu, RSUP Haji Adam Malik Medan juga merupakan rumah sakit rujukan untuk wilayah pembangunan A yang meliputi Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat dan Riau sehingga dapat dijumpai pasien dengan latar belakang yang sangat bervariasi. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 502/ Menkes/ IX/ 1991 tanggal 6 September 1991, RSUP Haji Adam Malik Medan ditetapkan sebagai rumah sakit pendidikan bagi mahasiswa.
5.2. Karakteristik Sampel
Dalam penelitian ini peneliti akan memaparkan beberapa karakteristik dari sampel penelitian yang berhasil peneliti kumpulkan. Hal tersebut meliputi usia, jenis kelamin, lama operasi, merokok atau tidak, mual dan muntah setelah pasca anestesi umum. Berikut pemaparan dari peneliti:
Tabel 5.2.1. Distribusi Frekuensi dari Usia
Usia Frekuensi Persentase
18-24 5 10,2
25-31 11 22,4
32-38 9 18,4
39-45 9 18,4
(51)
53-60 3 6,1
Total 49 100,0
Dari tabel 5.2.1 diatas dapat dilihat bahwa operasi paling banyak terjadi pada usia 43-49 tahun dengan jumlah 12 orang (24,55) dan paling sedikit pada usia sesudahnya yaitu 50-54 tahun dengan jumlah 3 orang (6,1%).
Tabel 5.2.2. Distribusi Frekuensi dari Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Frekuensi Persen
Laki-laki 30 61,2
Perempuan 19 38,8
Total 49 100,0
Dari tabel 5.2.2 diatas terlihat bahwa jenis kelamin paling banyak yang dioperasi adalah laki-laki dengan jumlah 30 orang (61,2%).
Tabel 5.2.3. Distribusi Frekuensi dari Lama Operasi
Lama Operasi Frekuensi Persen
1 1 2,0
2 1 2,0 3 13 26,5 4 17 34,7 5 9 18,4 6 7 14,3
10 1 2,0
Total 49 100,0
Berdasarkan tabel 5.2.3 di atas dapat dilihat bahwa operasi yang paling banyak di lakukan adalah dengan durasi 4 jam (17 orang, 34,7 %) dan paling sedikit dengan durasi 1, 2 dan 10 jam dengan masing-masing 1 orang (2%).
(52)
Tabel 5.2.4. Distribusi Frekuensi dari Kebiasaan Merokok
Kebiasaan Merokok Frekuensi Persen
Merokok 24 49,0
Tidak Merokok 25 51,0
Total 49 100,0
Berdasarkan tabel 5.2.4 diatas kebanyakan dari pasien tidak merokok dengan jumlah 25 orang (51,0%).
5.1.3. Deskripsi PONV/Mual dan Muntah Pasca Anestesi Umum Pada Bedah Elektif
Tabel 5.2.5. Prevalensi atau Diagnosa PONV
No. Prevalensi Jumlah (orang) Persentase (%)
1. Ada 24 48.8%
2. Tidak Ada 25 51.2%
Total 49 100,0
Berdasarkan prevalensi atau diagnosa PONV seperti pada tabel 5.2.5, sampel yang menderita PONV sebanyak 24 orang (48.8%), sedangkan yang tidak ada gejala PONV sebanyak 25 orang (51.2%).
Tabel 5.2.6. Distribusi Frekuensi dari Mual dan Muntah pada Anastesi Hari Pertama
Mual dan Muntah pada Anastesi Hari Pertama Frekuensi Persen
Tidak ada 28 57,1
Mual Saja 14 28,6
Muntah saja 5 10,2
Mual > 30 Menit atau Muntah > 2 Kali
(53)
Total 49 100,0
Berdasarkan tabel 5.2.6diatas terlihat hal yang paling banyak terjadi pada pasien pada hari pertama adalah mual saja dengan jumlah 14 orang (28,6%) dan yang paling sedikit adalah mual>30 menit dan muntah > 2 kali adalah 2 orang (4,1%). Sehingga prevalensi PONV pada hari pertama adalah 42,8%.
Tabel 5.2.7. Distribusi Frekuensi dari Mual dan Muntah pada Anastesi Hari Kedua
Mual dan Muntah pada Anastesi Hari Kedua Frekuensi Persen
Tidak Ada 36 73,5
Mual Saja 10 20,4
Muntah Saja 2 4,1
Mual > 30 Menit atau Muntah > 2 Kali
1 2,0
Total 49 100,0
Berdasarkan tabel 5.2.7 diatas terlihat hal yang paling banyak terjadi pada pasien hari kedua adalah tidak ada mual dan muntah dengan jumlah 36 orang (73,5%) dan yang paling sedikit adalah mual>30 menit dan muntah > 1 kali adalah 1 orang (2,0%). Sehingga prevalensi PONV pada hari kedua adalah 26,5%.
Tabel 5.2.8 Distribusi Diagnosa atau Prevalensi PONV Berdasarkan Usia Usia yang
Dikelompokkan
Diagnosa atau Prevalensi PONV Total
Ada Tidak Ada
N % n % N %
(54)
25-31 7 29.2 4 16 11 22,4
32-38 5 20.8 4 16 9 18,4
39-45 4 16.7 5 20 9 18,4
46-52 3 12.5 9 36 12 24,5
53-60 0 0 3 12 3 6,1
Total 24 100,0 25 100,0 49 100,0
Dari tabel 5.2.8 diatas dapat dilihat bahwa operasi paling banyak menyebabkan PONV terjadi pada usia 25-31 yaitu 7 orang (29.2%), yang paling sedikit pada usia 53-60 yaitu 0 orang.
Tabel 5.2.9 Distribusi Diagnosa atau Prevalensi PONV Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin
Diagnosa atau Prevalensi PONV
Total Ada Tidak Ada
n % n % N %
Laki-laki 14 58,3 16 64 30 61,2
Perempuan 10 41,6 9 36 19 38,8
Total 24 100,0 25 100,0 49 100,0
Dari tabel 5.2.9 didapatkan bahwa laki-laki yan mendeita PONV yaitu sebanyak 14 orang (58,3%) sedangkan perempuan 10 orang (41,6%).
Tabel 5.2.10 Distribusi Diagnosa atau Prevalensi PONV Berdasarkan Kebiasaan Merokok
(55)
Kebiasaan Merokok
Diagnosa atau Prevalensi PONV
Total Ada Tidak Ada
n % n % N %
Merokok 10 41,7 14 56 24 48,7
Tidak Merokok 14 58,3 11 44 25 51,3
Total 24 100,0 25 100,0 49 100,0
Dari tabel 5.2.10 didapatkan bahwa dari total 24 orang yang merokok didapati 10 orang (41,7%) yang menderita PONV, dan dari 25 orang yang tidak merokok didapati 14 orang (58,3%) yang menderita PONV.
Tabel 5.2.11 Distribusi Diagnosa atau Prevalensi PONV Berdasarkan Lama Operasi
Lama Operasi yang Dikelompokkan
Diagnosa atau Prevalensi PONV Total
Ada Tidak Ada
n % n % N %
1 0 0 1 4 1 2,0
2 0 0 1 4 1 2,0
3 4 16.7 9 36 13 26,5
4 14 58.3 3 12 17 34,7
5 4 16.7 5 20 9 18,4
6 10 2 0 8.3 0 5 1 20 4 7 1 14,3 2.0
(56)
Dari tabel 5.2.11 di atas operasi yang banyak menyebabkan PONV selama 4 jam yaitu 14 orang (58.3%).
5.3. Pembahasan 5.3.1. Usia
Dari 49 sampel mayoritas usia paling banyak yaitu usia 43-49 tahun dengan jumlah 12 orang (24,55%), dan usia yang banyak menderita PONV 25-31 yaitu 7 orang (29.2%). Usia mempengaruhi terjadinya mual muntah pasca operasi. Hal ini sesuai dengan teori bahwa usia insidensi PONV 5% pada bayi, 25% pada usia dibawah 5 tahun, 42 – 51% pada umur 6 – 16 tahun dan 14 – 40% pada dewasa (Saeeda I, Jain PN, 2004).
5.3.2. Jenis Kelamin
Pada penelitian ini jenis kelamin paling banyak yang dioperasi adalah laki-laki dengan jumlah 30 orang (61,2%), dan jenis kelamin yang banyak menderita PONV adalah laki-laki sebanyak 14 orang (58.3%). Hal ini kurang sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa faktor risiko pada PONV adalah wanita dewasa akan mengalami PONV 2 – 4 kali lebih mungkin dibandingkan laki – laki, kemungkinan karena hormon perempuan (Saeeda I, Jain PN, 2004). Faktor yang menyebabkan kurang sesuai dengan teori ini karna etiologi PONV bersifat multifaktorial antaralain yaitu faktor pasien, faktor pembedahan, teknik anestesi serta post operasi.
5.3.3. Lama Operasi
Lama operasi yang paling banyak didapati pada penelitian ini adalah operasi dengan durasi 4 jam 14 orang (58,3 %). Pembedahan lebih dari 1 jam akan meningkatkan resiko terjadinya PONV. Hal ini diduga disebabkan karena masa obat dari anestesi yang mempunyai efek menekan mual muntah sudah hampir habis, semakin banyak komplikasi. Durasi operasi (setiap 30 menit penambahan waktu resiko PONV meningkat sampai 60%) (Saeeda I, Jain PN, 2004).
(57)
5.3.4. Riwayat Merokok
Dari hasil penelitian, kebanyakan dari pasien tidak merokok menderita PONV dengan jumlah 14 orang (58,3%). Dalam penenlitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Kenya Nisita, smoker dan non smoker memiliki daya tahan yang berbeda untuk menekan terjadinya mual muntah. Rokok mengandung zat psikoaktif berupa nikotin yang mempengaruhi sistem saraf dan otak. Pengaruhnya mirip asetilkolin, yang bekerja khusus pada otot, kelenjar, dan sistem saraf. Smoker akan mengalami tolerans, yaitu penyesuaian badan terhadap kesan seperti mual muntah atau rasa pusing. Keadaan tolerans ini yang mendorong kesan ketagihan atau ketergantungan pada nikotin. Mungkin juga disebabkan pada smoker tidak mudah merasa lapar. Oleh karena itu smoker lebih tahan terhadap mual muntah (Nisita, 2010). Hal ini juga disebutkan dalam faktor resiko terjadinya PONV yaitu bukan perokok akan lebih cenderung mengalami PONV (Saeeda I, Jain PN, 2004).
5.3.5. Mual dan Muntah
Mual dan muntah pasca bedah atau PONV merupakan hal yang tidak menyenangkan dan dapat menimbulkan komplikasi pasca bedah sehingga perawatan paska bedah menjadi lebih lama. Dari penelitian ini prevalensi PONV sebesar 48,8%. PONV yang terjadi pada hari pertama adalah 42,8%. Dan didapati prevalensi PONV pada hari kedua adalah 26,5%. Dari pemaparan hasil sebelumnya peneliti menemukan bahwa seluruh gangguan mual muntah, akan hilang atau berkurang setelah hari kedua. Dimana hari pertama sangat banyak yang merasakan mual kemudian menurun jumlahnya, sama seperti muntah saja ataupun mual dan muntah yang berkelanjutan.
Hal ini sesuai dengan penelitian terdahulu dimana ada 40 persen yang mengalami gangguan tersebut (Meliza, 2011). Sesuai dengan apa yang di temukan pada penelitian ini prevalensi PONV 48.8%.
(58)
BAB 6
Kesimpulan dan Saran 6.1.Kesimpulan
1. Mayoritas sampel yang mengalami mual muntah pasca anestesi umum pada bedah elektif berusia 25-31 tahun dengan jumlah 7 orang (29,2%).
2. Dari 49 sampel, bahwa sampel jenis kelamin laki-laki yang mengalami mual muntah pasca anestesi umum pada bedah elektif sebesar 14 orang (58,3%). 3. Durasi operasi yang mengalami mual muntah pasca anestesi umum pada bedah elektif yang paling banyak yaitu 4 jam sebanyak 14 orang (58,3%). 4. Riwayat merokok yang mengalami mual muntah pasca anestesi umum pada
bedah elektif pada sampel yang paling banyak adalah yang tidak merokok 14 orang (58,8%).
5. Riwayat mual dan muntah pada hari pertama yaitu 42,8% Sedangkan dilihat riwayat mual dan muntah pada hari kedua yaitu 26,5%.
6. Terjadi penurunan dari jumlah penderita gejala-gejala tersebut dari hari pertama ke hari ke dua.
6.2.Saran
1. Bagi para perserta didik, dalam hal ini mahasiswa pre-klinik, mahasiswa klinik dan residensi ataupun felowship. Informasi bahwa gejala-gejala dari efek samping dapat muncul pada hari pertama dapat juga tidak. Jika muncul dapat menghilang atau berkurang pada hari berikutnya. Sehingga jika ini tidak terjadi mungkin ada hal lain yang sedang terjadi pada pasien tersebut. 2. Bagi pihak universitas, semoga ini dapat menjadi karya tulis yang dapat di
(59)
DAFTAR PUSTAKA
Calvey TN, Williams NE., 1982. Principles and practice of pharmacology for anaesthetists. London; Blackwell Scientific Publications; 159-84.
Campbell., 1995. Anesthesia. Blackwell scientific publication.
Chandra, F.A., 2012. Perbandingan Efek Akupunktur pada Titik Pericardium 6 (PC6) dengan Ondansetron 4mg Intravena untuk Mencegah Mual Muntah Paska Operasi Pada Pasien yang Dilakukan Anestesi Umum Intubasi dengan Skor APFEL 3-4. Tesis akhir penelitian Medan.
E.B.C, et al., 2008. Anestesiologi. Edisi 10. Jakarta: EGC.
Fendrick, A.M., Pan, D.E., and Johnson, G.E., 2008. OTC Analgesics and Drug Interactions: Clinical Implications. Osteopathic Medicine and Primary Care 2 (2).
Gan TJ., 2006. Risk Factors for Postoperative Nausea and Vomiting. Anesth Analg; 102:1884 – 98. Grace, P. A., Borley, N. R., 2006. At a glance: ilmu bedah. Ed. 3. Gan TJ., 2003. Evidence-based management of postoperative nausea and vomiting.
Can J Anesth; 50:6.
Honkavaara, P., 1995. Effect of ondansetron on nausea and vomiting after middle ear surgery during general anaesthesia. British Journal 76: 316-8.
Ho, K.Y., Chiu, J.W., 2005. Mutltimodal antiemeyic therapy and emetic risk profiling. Ann Acad Med Singapore 34: 196 – 205. J, N, M., 2006. Medical Pharmacology at a Glance. 5th edition. Erlangga Medical Series.
Kee, J.L., Hayes, E.R., 1996. Pendekatan Proses Keperawatan. EGC. Kovac, A. L. 2003. Prevention and Treatment of Postoperative Nausea. MedicineAbstrack, pp : 1-2.
(60)
Anestesiologi. Edisi 2. Jakarta; Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 3: 66-70.
Lunn JN., 2004. Farmakologi Terapan Anestesi Umum. Catatan Kuliah Anestesi. Edisi 4. Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC; 4: 86-93.
Latief, S,A, Surjadi K, Dachlan R., 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Pertama. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. h 41 – 9. Maddali MM, Mathew J, Fahr J, Zarroug AW., 2003. Postoperative nausea and
vomiting in diagnostic gynaecological laparoscopic procedures: Comparison of the efficacy of the combination of dexamethasone and metoclopramide with that of dexamethasone and ondansetron. J Postgrad Med 49:302–6.
Mangku, dr, Sp. An. KIC & Senapathi, dr, Sp. An., 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi. Jakarta: PT. Indeks.
Munaf, S., 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Palembang: EGC.
Morgan Jr GE, Mikhail MS, Murray Mj., 2006. Clinical Anesthesiology. 4th ed. New York: Mcgraw-Hill Companies.
Mohamed H. Rahman, Jane Beattie., 2004. Post Operative Nausea and Vomiting. The Pharmaceutical Journal. 273 : 786-8.
Nainggolan, I.B., 2011. Peran Perawat dalam Upaya Pencegahan Komplikasi Anestesi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Tesis Akhir Penelitian. Medan.
Nisita, K., 2010. Perbandingan Efektifitas Ondansetron dan Metoklopramid dalam Menekan Mual dan Muntah Paska Laparatomi. Skripsi. Surakarta
Notoatmodjo, S., 2010. Metodelogi Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Omoigui, S., 2009. Buku Saku Obat-Obatan. Edisi 11. Jakarta: EGC.
Oxford University Press, 2011., Concise Medical Dictionary. 9th ed. UK: Market House Books Ltd.
Rang, H.P., Dale, M.M., Ritter, J.M., and Moore, P.K., 2007. Pharmacology. 5th ed. UK: Churchill Livingstone.
(61)
Rachmat, L., Sunatrio S., 2004. Obat pelumpuh otot. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta; 15: 81-86.
Sabiston, D.C., 2005. Buku Ajar Bedah. Jakarta: EGC.
Saeeda I, Jain PN., 2004. Post operative nausea and vomiting (PONV) : a review article. Indian J Anaesth;48(4):253–8.
Siregar, D., 2011. Perbandingan Kombinasi Ondansetron 2mg IV Dengan Deksametason 4mg IV Dan Ondansetron 4 mg IV Dengan Deksametason 4mg IV Sebagai Profilaksis Pada Pasien Resiko Tinggi Mual Muntah Setelah Operasi Yang Menjalani Tindakan Operasi Dengan Anestesi Umum Intubasi. Tesis akhir penelitian. Medan.
Suleman, A., 2006. Tinjauan Farmakologis Obat-Obat Analgesik Untuk Rasa Nyeri. Dalam: Hasan, W., (eds). 2006. Info Kesehatan Masyarakat. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Medan: 90-97.
Staff pengajar departemen farmakologi FK UNSRI., 2008. Kumpulan kuliah farmakologi. Edisi 2. Palembang: EGC
Soenarjo., 2004. Peranan Anestesi dan Pengelolaan Raluat lntensif dalam Hubungan dengan Kualitas Hidup. Semarang. Available from:
http://eprints.undip.ac.id/298/1/Soenarjo.pdf [Accesed: 21 April 2013].
Wallenborn J, Gelbrich G, Bulst D., 2006. Prevention of postoperative nausea and vomiting by metoclopramide combined with dexamethasone: randomized double blind multicenter trial. BMJ.;1 – 6.
Wahyuni, A., 2008. Statistika Kedokteran. Jakarta Timur: Bamboedoea Communication.
Zainumi C.M., 2009. Perbandingan antara skor APFEL dengan skor Koivuranta terhadap prediksi terjadinya post operative nausea and vomiting pada anestesi umum. Tesis akhir penelitian Medan.
(62)
Riwayat Hidup Peneliti
Nama : AL FIRMAN
Tempat/Tgl Lahir : Rimba Melintang/21 Februari 1991 Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Jl. Slamet Riyadi No. 16 Medan Orangtua : Ridho (ayah)
Fuji Wati (ibu) Status : Belum menikah
Riwayat Pendidikan
1999 – 2004 : Madrasah Ibtidakiyah Rimba Melintang 2004 – 2007 : SMP Negeri 2 Rimba Melintang
2007 – 2010 : SMA Negeri 1 Rimba Melintang
(63)
Riwayat Pelatihan Upgrading dan Konterpen Pengurus PEMA FK USU 2013
Riwayat Organisasi Anggota Minat Bakat PEMA FK USU 2012-2013
(64)
(65)
(66)
PERNYATAAN KESEDIAAN MENJADI RESPONDEN PREVALENSI MUAL MUNTAH PASCA ANASTESI UMUM PADA BEDAH ELEKTIF DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN PADA TAHUN
2013
Setelah memperoleh informasi baik secara lisan dan tulisan mengenai penelitian yang dilakukan oleh ALFIRMAN dari Program Studi kedokteran Umum Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan informasi tersebut telah saya pahami dengan baik mengenai manfaat tindakan yang akan dilakukan keuntungan dan kemungkinan ketidaknyamanan yang mungkin akan dijumpai. Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama :
Alamat :
Nomor Telepon:
Dengan ini saya menyatakan tidak berkeberatan dan bersedia menjadi responden untuk diwawancara dan pengamatan pada saya.
Medan, 2013
Peneliti Responden
(ALFIRMAN) ( )
(67)
Lampiran 1: Formulir Pengambilan Data
Data Demografis:
Manifestasi Klinis :
Adapted: from Apfel 2002 No. Studi:
No. Status: Nama Pasien: Tanggal Operasi:
Usia (tahun):
Jenis Kelamin : Laki-laki/Perempuan Berat Badan (kg):
Pekerjaan: Alamat:
Jenis Operasi: Lama operasi: jam Pemakaian Obat Anestesi: Merokok: Ya/Tidak
Mual dan Muntah Hari Pertama: tidak ada/ mual saja/ muntah saja/ mual > 30 menit atau muntah > 2 kali.
Mual dan Muntah Hari Kedua: tidak ada/ mual saja/ muntah saja/ mual > 30 menit atau muntah > 2 kali.
(1)
(2)
PERNYATAAN KESEDIAAN MENJADI RESPONDEN PREVALENSI MUAL MUNTAH PASCA ANASTESI UMUM PADA BEDAH ELEKTIF DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN PADA TAHUN
2013
Setelah memperoleh informasi baik secara lisan dan tulisan mengenai penelitian yang dilakukan oleh ALFIRMAN dari Program Studi kedokteran Umum Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan informasi tersebut telah saya pahami dengan baik mengenai manfaat tindakan yang akan dilakukan keuntungan dan kemungkinan ketidaknyamanan yang mungkin akan dijumpai. Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama :
Alamat :
Nomor Telepon:
Dengan ini saya menyatakan tidak berkeberatan dan bersedia menjadi responden untuk diwawancara dan pengamatan pada saya.
Medan, 2013
Peneliti Responden
(ALFIRMAN) ( )
(3)
Lampiran 1: Formulir Pengambilan Data
Data Demografis:
Manifestasi Klinis :
Adapted: from Apfel 2002 No. Studi:
No. Status: Nama Pasien:
Tanggal Operasi:
Usia (tahun):
Jenis Kelamin : Laki-laki/Perempuan
Berat Badan (kg): Pekerjaan:
Alamat:
Jenis Operasi:
Lama operasi: jam Pemakaian Obat Anestesi:
Merokok: Ya/Tidak
Mual dan Muntah Hari Pertama: tidak ada/ mual saja/ muntah saja/ mual > 30 menit atau muntah > 2 kali.
Mual dan Muntah Hari Kedua: tidak ada/ mual saja/ muntah saja/ mual > 30 menit atau muntah > 2 kali.
(4)
Lampiran 1: Formulir Pengambilan Data
Data Demografis:
Manifestasi Klinis :
Adapted: from Apfel 2002 No. Studi:
No. Status: Nama Pasien:
Tanggal Operasi:
Usia (tahun):
Jenis Kelamin : Laki-laki/Perempuan
Berat Badan (kg): Pekerjaan:
Alamat:
Jenis Operasi:
Lama operasi: jam Pemakaian Obat Anestesi:
Merokok: Ya/Tidak
Mual dan Muntah Hari Pertama: tidak ada/ mual saja/ muntah saja/ mual > 30 menit atau muntah > 2 kali.
Mual dan Muntah Hari Kedua: tidak ada/ mual saja/ muntah saja/ mual > 30 menit atau muntah > 2 kali.
(5)
NO NAMA UMUR JK LAMA OP MEROKOK MUALMUNTAH1 MUALMUNTAH2
1 MDN01 24 1 3 1 1 0
2 MDN02 40 1 5 1 0 0
3 MDN03 27 2 4 2 0 0
4 MDN04 50 1 6 1 0 0
5 MDN05 27 2 3 1 1 1
6 MDN06 18 1 4 2 1 0
7 MDN07 54 1 6 1 0 0
8 MDN08 30 1 5 2 1 0
9 MDN09 38 1 3 1 1 0
10 MDN10 48 2 4 2 2 0
11 MDN11 20 1 4 2 3 1
12 MDN12 45 2 6 1 3 0
13 MDN13 31 1 5 2 0 0
14 MDN14 42 1 10 1 0 0
15 MDN15 41 1 00‐Jan 1 0 0
16 MDN16 18 1 6 1 0 0
17 MDN17 18 1 6 1 0 0
18 MDN18 49 1 6 1 0 0
19 MDN19 23 1 4 1 0 0
20 MDN20 49 1 2 2 0 0
21 MDN21 43 1 6 1 2 1
22 MDN22 26 1 4 2 1 0
23 MDN23 37 2 3 2 1 0
24 MDN24 39 1 4 1 1 0
25 MDN25 23 1 4 2 1 0
26 MDN26 33 2 3 2 0 0
27 MDN27 44 1 4 1 1 1
28 MDN28 37 2 3 2 1 1
29 MDN29 45 1 5 1 0 0
30 MDN30 19 2 4 2 2 0
31 MDN31 27 1 3 1 0 0
32 MDN32 33 2 3 2 0 0
33 MDN33 48 1 5 1 2 2
34 MDN34 29 2 3 2 0 2
35 MDN35 49 2 4 2 1 0
36 MDN36 24 1 5 1 0 0
(6)
42 MDN42 45 1 3 2 0 0
43 MDN43 31 2 4 2 0 0
44 MDN44 28 2 5 2 1 1
45 MDN45 47 2 3 2 0 0
46 MDN46 24 1 4 1 0 0
47 MDN47 50 2 3 2 0 0
48 MDN48 34 1 3 1 0 0
49 MDN49 48 2 5 2 0 0
18
54
6,577647
5,571429 15 21
22 28
29 35
36 42
43 49