Analisis Ketimpangan Wilayah Di Pesisir Pantai Barat Dan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Setiap Negara mempunyai tujuan dalam pembangunan ekonomi termasuk
Indonesia. Pembangunan di bidang ekonomi ini sangat penting karena dengan
meningkatnya pembangunan di bidang ekonomi maka sektor-sektor yang lain
akan meningkat pula seiring dengan peningkatan pada sektor ekonomi. Dalam
proses pembangunan, pemerintah daerah mempunyai peranan penting karena
pemerintah daerah yang lebih tahu akan potensi dan sumber daya baik manusia
dan alam yang dimiliki oleh daerahnya sendiri. Pembangunan ekonomi
merupakan masalah penting dalam perekonomian suatu Negara.
Sesuai dengan amanat dalam Pembukaan UUD 1945 yang menyebutkan
bahwa tujuan akhir pembangunan ekonomi Indonesia adalah masyarakat adil dan
makmur. Pengertian adil dan makmur sebenarnya relatif, sehingga sukar diberi
batas kuantitatif. Namun demikian jelas bahwa yang dikehendaki masyarakat
Indonesia adalah pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat dan hasil
pertumbuhan dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat dan bukannya hanya
segolongan kecil masyarakat saja.
Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang melibatkan
berbagai perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosial, tingkah laku

sosial, dan institusi sosial, di samping akselerasi pertumbuhan ekonomi,
pemerataan ketimpangan pendapatan, serta pemberantasan kemiskinan. Maka
tujuan dari pembangunan itu sendiri adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

1

2

masyarakat.

Untuk

meningkatkan

kesejahteraan

masyarakat

diperlukan


pertumbuhan ekonomi yang meningkat dan distribusi pendapatan yang merata.
Pertumbuhan ekonomi yang cepat yang tidak diimbangi dengan pemerataan, akan
menimbulkan ketimpangan wilayah.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, proses pembangunan dilaksanakan
secara sentralistis. Pemerintah pusat menempatkan dirinya sebagai penggerak
utama dalam upaya akselerasi pembangunan diseluruh pelosok tanah air. Berbagai
kebijakan pembangunan diputuskan secara terpusat dengan instrumen utamanya
Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita). Sentralisasi berbagai keputusan pada pemerintah pusat semakin
memperbesar inefisiensi, karena banyak proyek-proyek yang dilakukan tidak
sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh daerah.
Proses pembangunan yang sentralistik tersebut membuat ketimpangan
wilayah yang sangat mencolok antara Kawasan Indonesia Barat dengan Kawasan
Indonesia Timur, antara Pulau Jawa dengan Luar Pulau Jawa, bahkan di dalam
Pulau Jawa sendiri ada ketimpangan wilayah antara Kota dengan Kabupaten,
antara Jakarta dengan Luar Jakarta (Sjafrizal, 2008).
Setelah runtuhnya masa Orde Baru, selanjutnya dimulailah masa Otonomi
Daerah dimana proses pembangunan menjadi desentralisasi. Otonomi Daerah
ditandai dengan dikeluarkannya UU. No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah dan
UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah. Pelaksanaan

kedua Undang-undang tersebut secara resmi dimulai pada tanggal 1 Januari 2001.
Kedua undang-undang ini kemudian diamandemen menjadi UU No. 32 dan No.
33 tahun 2004.

3

Desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan
bernegara, khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih
baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih
demokratis. Desentralisasi dapat diwujudkan dengan pelimpahan kewenangan
kepada tingkat pemerintahan di bawahnya untuk melakukan pembelanjaan,
kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya Dewan yang
dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD, dan adanya bantuan
dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat (Sidik, 2002).
Ketimpangan wilayah (regional disparity) tersebut, terlihat dengan adanya
wilayah yang maju dangan wilayah yang terbelakang atau kurang maju. Hal ini
dikarenakan tidak memperhatikan apakah pertumbuhan tersebut lebih besar atau
lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk atau perubahan struktur ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi ini diukur dengan Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) dan laju pertumbuhannya atas dasar harga konstan. Ketimpangan wilayah

(regional disparity) timbul dikarenakan tidak adanya pemerataan dalam
pembangunan ekonomi. Ketidak merataan pembangunan ini disebabkan karena
adanya perbedaan antara wilayah satu dengan lainnya.
Berkembangnya

kabupaten/kota

dan

desentralisasi

diduga

akan

mendorong kesenjangan antar daerah yang lebih lebar. Ketimpangan memiliki
dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif dari adanya ketimpangan
adalah dapat mendorong wilayah lain yang kurang maju untuk dapat bersaing dan
meningkatkan pertumbuhannya guna meningkatkan kesejahteraannya. Sedangkan
dampak negatif dari ketimpangan yang ekstrim antara lain inefisiensi ekonomi,


4

melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas, serta ketimpangan yang tinggi pada
umumnya dipandang tidak adil (Todaro, 1997).
Ketimpangan menyebabkan inefisiensi ekonomi, sebab ketimpangan yang
tinggi, tingkat tabungan secara keseluruhan di dalam perekonomian cenderung
rendah, karena tingkat tabungan yang tinggi biasanya ditemukan pada kelas
menengah. Meskipun orang kaya dapat menabung dalam jumlah yang lebih besar,
mereka biasanya menabung dalam bagian yang lebih kecil dari pendapatan
mereka, dan tentunya menabung dengan bagian yang lebih kecil lagi dari
pendapatan marjinal mereka (Todaro, 1997). Dampak negatif inilah yang
menyebabkan ketimpangan yang tinggi menjadi salah satu masalah dalam
pembangunan dalam menciptakan kesejahteraan di suatu wilayah. Pertumbuhan
ekonomi merupakan salah satu indikator dari kesejahteraan masyarakat. Di mana
ketika suatu wilayah memiliki pertumbuhan yang tinggi maka wilayah tersebut
dapat dikatakan wilayah yang makmur. Simon Kuznets mengemukakan enam
karakter atau ciri proses pertumbuhan ekonomi yang bias ditemui dihampir semua
negara yang sekarang maju sebagai berikut (Todaro, 1997) :
1. Tingkat pertumbuhan output per kapita dan pertumbuhan penduduk yang

tinggi.
2. Tingkat kenaikan produktifitas faktor total yang tinggi.
3. Tingkat transformasi struktural ekonomi yang tinggi.
4. Tingkat transformasi sosial dan ideologi yang tinggi.
5. Adanya kecenderungan negara-negara yang mulai atau yang sudah maju
perekonomiannya untuk berusaha merambah bagian-bagian dunia lainnya
sebagai daerah pemasaran dan sumber bahan baku yang baru.

5

6. Terbatasnya penyebaran pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai
sepertiga bagian penduduk dunia.
Propinsi Sumatera Utara berada dibagian Barat Indonesia yang terletak
pada garis 10-40 LU dan 980-1000 BT. Berdasarkan letak dan kondisi alamnya
Sumatera Utara dibagi atas 3 kelompok wilayah yaitu: Wilayah Pesisir Pantai
Barat, wilayah Pantai Timur dan wilayah pegunungan. Masyarakat pesisir pantai
diSumatera Utara merupakan masyarakat yang jumlahnya tidak sedikit. Jumlah
masyarakat yang mendiami daerah pesisir tersebut yang cukup besar menjadi
suatu masalah karena daerah tersebut menjadi kantung-kantung kemiskinan di
Sumatera Utara. Pesisir timur merupakan wilayah di dalam propinsi yang paling

pesat perkembangannya karena persyaratan infrastruktur yang relatif lebih
lengkap daripada wilayah lainnya. Wilayah pesisir timur juga merupakan wilayah
yang relatif padat konsentrasi penduduknya dibandingkan wilayah lainnya.
Propinsi Sumatera Utara

memiliki latar belakang perbedaan antar

wilayah. Perbedaan ini berupa perbedaan karakteristik alam, sosial, ekonomi, dan
sumber daya alam yang penyebarannya berbeda disetiap propinsi. Perbedaan
tersebut menjadi hambatan dalam pemerataan pembangunan ekonomi dikarenakan
terkonsentrasinya suatu kegiatan perekonomian yang berdampak meningkatnya
pertumbuhan ekonomi dibeberapa propinsi atau wilayah yang memiliki sumber
daya alam yang melimpah. Kekayaan alam yang dimiliki seharusnya dapat
menjadikan nilai tambah dalam meningkatkan pembangunan ekonomi. Kelebihan
yang dimiliki tesebut diharapkan memberikan dampak menyebar (spread effect).
Hanya saja kekayaan alam ini tidak dimiliki oleh seluruh kabupaten/kota secara

6

merata. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab timbulnya ketimpangan atau

kesenjangan antar daerah.
Salah satu indikator untuk menunjukkan tingkat kemakmuran suatu daerah
adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) baik Atas Dasar Harga Berlaku
(ADHB) maupun Atas Dasar Harga Konstan. Propinsi Sumatera Utara merupakan
propinsi yang memiliki PDRB atas harga berlaku terbesar kedua di Pulau
Sumatera setelah Propinsi Riau. PDRB atas harga berlaku Propinsi Sumatera
Utara dari tahun 2009-2013 terus mengalami peningkatan, dimana pada tahun
2009 nilai PDRB mencapai 236.353,62 milyar rupiah dan terus meningkat hingga
tahun 2013 mencapai 403.933,05 milyar rupiah.
Tabel 1.1. PDRB ADHB di Pulau Sumatera 2009-2013 (Milyar rupiah)
Propinsi

2009

2010

2011

2012


2013

71.986,95

79.145,28

87.530,42

95.074,22

103.04,.56

2. Sumatera Utara

236.353,62

275.056,51

314.372,44


351.090,36

403.933,05

3. Sumatera Barat

76.752,94

87.226,62

98.966,99

110.179,65

127.099,95

4. Riau

297.173,03


345.773,81

413.706,12

469.073,02

522.241,43

5. Jambi

44.127,01

53.857,69

63.409,98

72.634,07

85.558,31

137.331,85

157.735,04

182.390,49

206.297,63

231.683,04

7. Bengkulu

16.385,36

18.600,12

21.241,86

24.119,36

27.388,25

8. Lampung

88.934,86

108.404,27

127.908,26

144.639,48

164.393,43

9. Kep. Bangka
Belitung

22.997,90

26.712,97

30.483,95

34.458,59

38.934,84

10. Kepulauan Riau

63.892,94

71.614,51

80.237,79

90.568,21

100.310,42

1. Aceh

6. Sumatera Selatan

Sumatera

1.055.936,45 1.224.126,82 1.420.248,30 1.598.134,61 1.804.588,26

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Utara

Perekonomian Propinsi

Sumatera Utara juga dapat

dilihat

dari

pertumbuhan ekonomi yang merupakan salah satu indikator sangat penting dalam
melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu

7

daerah. Pertumbuhan ekonomi Propinsi Sumatera Utara tahun 2008-2013
mengalami fluktuatif dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 6,11 persen. Selama
periode tersebut, rata-rata angka pertumbuhan ekonomi Propinsi Sumatera Utara
selalu berada di atas angka pertumbuhan ekonomi Nasional, kecuali pada tahun
2012 pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara sebesar 6,22% dibawah perumbuhan
ekonomi Nasional sebesar 6,23% dan turun kembali pada tahun 2013 sebesar
6,01%, akan tetapi masih diatas rata-rata pertumbuhan ekonomi Nasional sebesar
5,78%.

Pertumbuhan Ekonomi %

7,00
6,00
5,00
4,00
3,00
2,00
1,00
0,00

2008

2009

2010

2011

2012

2013

Sumatera Utara

6,39

5,09

6,35

6,63

6,22

6,01

Nasional

6,06

4,63

6,22

6,49

6,23

5,78

Gambar 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Propinsi Sumatera Utara dan Nasional
Tahun 2008-2013
Perkembangan PDRB perkapita diwilayah Pesisir Pantai Barat dan Pesisir
Pantai Timur dapat dilihat pada tabel 1.2. PDRB masing-masing kabupaten/kota
terus mengalami peningkatan dari tahun ketahun. Pada tahun 2013 Kota Medan
memiliki PDRB yang tertinggi sebesar Rp. 21.392.243 dan PDRB terendah berada
diKabupaten Nias Barat sebesar Rp. 3.417.124.

8

Tabel 1.2 Perkembangan PDRB Perkapita Wilayah Pantai Barat Dan Pantai
Timur di Sumatera Utara atas dasar Harga Konstan.
Wilayah

2010

2011

2012

2013

Kab. Nias

3.887.995

4.114.291

4.362.338

4.587.471

Kab. Mandailing Natal

5.017.866

5.289.454

5.598.362

5.806.692

Kab. Tapanuli Selatan

6.761.855

7.054.246

7.372.397

7.743.887

Kab. Tapanuli Tengah

3.850.869

4.054.842

4.247.764

4.312.886

Kab. Nias Utara

3.851.851

4.071.108

4.251.354

4.474.675

Kab. Nias Barat

3.106.083

3.285.312

3.441.874

3.417.124

Kab. Nias Selatan

4.251.105

4.399.593

4.627.730

4.744.116

Kota Sibolga

8.759.806

9.120.584

9.542.938

10.102.079

Kab. Padang Lawas Utara

3.479.380

3.710.435

3.887.968

3.907.699

Kab. Palas

3.356.540

3.510.898

3.665.380

3.665.529

Kota Padang Sidempuan

4.887.204

5.126.794

5.295.987

5.503.751

Kota Gunung Sitoli

6.877.659

7.254.352

7.652.430

7.892.374

Kota Tanjung Balai

9.043.279

9.394.860

9.782.507

9.892.215

Kab. Deli Serdang

8.107.952

8.515.516

8.843.683

9.488.691

Kab. Langkat

7.452.508

7.809.889

8.249.329

8.552.669

Kota Tebing Tinggi

8.024.751

8.481.007

8.981.782

9.299.796

Kota Medan

17.077.622

18.220.195

19.651.288

19.949.516

Kota Binjai

8.209.884

8.644.670

9.127.004

9.402.747

Kota Labuhan Batu

7.857.113

8.229.694

8.616.226

8.722.119

Kab. Labuhan Batu Utara

9.565.185

10.065.377

10.654.210

11.053.379

Kab. Serdang Bedagai

7.663.966

8.039.104

8.463.565

8.970.803

19.672.216

20.485.047

21.288.665

21.392.243

Kab. Asahan
8.065.320
8.420.068
Kab. Labuhan Batu
10.216.170 10.737.944
Selatan
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Utara

8.844.690

9.159.762

11.235.828

11.296.408

Pantai
Barat

Pantai
Timur

Kabupaten/Kota

Kab. Batu Bara

Isu kesenjangan ekonomi antar daerah di Indonesia ini sudah menjadi
kajian menarik karena menyangkut kepentingan Negara dan bangsa, yakni:
stabilitas politik, ekonomi, dan sosial, utamanya keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Saat ini isu tersebut masih relevan karena permasalahan
kesenjangan/ketimpangan ekonomi antar daerah belum terpecahkan secara
memuaskan, disamping berkembangnya dinamika spasial. Pembangunan dalam
lingkup negara secara spasial tidak selalu merata. Perbedaan kemajuan antar

9

daerah yang berlebihan tentu akan meyebabkan pengaruh yang merugikan
(Backwash Effect) mendominasi pengaruh yang menguntungkan (spread effect)
terhadap

pertumbuhan

daerah,

dalam

hal

ini

mengakibatkan

proses

ketidakseimbangan.
Secara alamiah ketimpangan pembangunan antar daerah terjadi sebagai
konsekuensi dari latar belakang perbedaan antar wilayah. Perbedaan itu berupa
perbedaan karakteristik alam, sosial, ekonomi, dan sumber daya alam yang
penyebarannya berbeda di setiap wilayah. Perbedaan tersebut menjadi
penghambat

dalam

pemerataan

pembangunan

ekonomi

dikarenakan

terkonsentrasinya suatu kegiatan perekonomian yang berdampak meningkatnya
pertumbuhan ekonomi di beberapa wilayah/daerah yang memiliki sumber daya
alam yang melimpah.
Kelebihan kekayaan alam yang dimiliki diharapkan memberi dampak
menyebar (spread effect). Hanya saja kekayaan alam ini tidak dimiliki oleh
seluruh wilayah secara merata di Indonesia. Disamping itu juga adanya
ketimpangan redistribusi pembagian pendapatan dari pemerintah pusat atau
propinsi ke daerah (Kuncoro,2004). Hal inilah yang meyebabkan terjadinya
ketimpangan atau kesenjanagan antar daerah. Namun demikian, kondisi tersebut
tidak dapat digunakan sebagai pembenaran untuk membiarkan ketimpangan
ekonomi antar daerah semakin melebar.
Untuk itu perhatian pemerintah harus tertuju pada semua daerah tanpa ada
perlakuan khusus pada daerah tertentu saja. Namun hasil pembangunan terkadang
masih dirasakan belum merata dan masih terdapat kesenjangan antar daerah. Hal
yang terpenting dalam pembangunan daerah adalah bahwa daerah tersebut mampu

10

mengidentifikasi setiap potensi sektor-sektor potensial yang dimilikinya,
kemudian menganalisisnya untuk membuat sektor-sektor tersebut memiliki nilai
tambah

bagi

pembangunan

ekonomi

daerah.

Tujuan

utamanya

adalah

meningkatkan kesejahteraan penduduknya, sehingga salah satu upaya yang
dilakukan

yaitu

melalui

peningkatan

pertumbuhan

ekonomi.

Indikator

keberhasilan pembangunan suatu daerah bisa dilihat laju pertumbuhan
ekonominya. Oleh sebab itu, setiap daerah selalu menetapkan target laju
pertumbuhan yang tinggi didalam perencanaan dan tujuan pembangunan
daerahnya. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan
kondisi utama bagi kelangsungan pembangunan ekonomi.
Pertumbuhan PDB yang cepat tidak secara otomatis meningkatkan taraf
hidup masyarakatnya. Dengan kata lain bahwa apa yang disebut dengan “Trickle
Down Effects” atau efek cucuran kebawah dari manfaat pertumbuhan ekonomi
bagi penduduk miskin tidak terjadi seperti apa yang diharapkan bahkan berjalan
cenderung sangat lambat. Selama proses awal pembangunan terjadi suatu dilema
yaitu antara pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan distribusi pendapatan, ini
menjadi masalah yang telah lama dan harus dihadapi oleh negara-negara miskin
dan berkembang. Trade off atau pertukaran antara pertumbuhan ekonomi dengan
distribusi pendapatan dimasing-masing daerah selalu terjadi. Berdasarkan latar
belakang diatas maka penulis merasa tertarik untuk menganalisis ketimpangan
didaerah Kabupaten/kota di Pesisir Pantai Barat dan Pesisir Pantai Timur
Sumatera Utara dengan judul “Analisis Ketimpangan Wilayah Di
Pantai Barat Dan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara”.

Pesisir

11

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi perumusan
masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah terjadi ketimpangan wilayah antara kabupaten/kota Pesisir Pantai
Barat dan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara?
2. Sektor-sektor ekonomi unggulan (potensi ekonomi) apakah yang dapat
menunjang pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota Pesisir
Pantai Barat dan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara?
3. Bagaimana pengaruh jumlah penduduk terhadap ketimpangan wilayah
diwilayah Pesisir Pantai Barat dan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara?
4. Bagaimana pengaruh PDRB terhadap ketimpangan wilayah diwilayah Pesisir
Pantai Barat dan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara?
5. Bagaimana pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan wilayah
diwilayah Pesisir Pantai Barat dan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara?

6. Bagaimana pengaruh aglomerasi terhadap ketimpangan wilayah diwilayah
Pesisir Pantai Barat dan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara?

1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang dan perumusan masalah diatas maka
tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menganalisis ketimpangan pembangunan yang terjadi antara kabupaten/kota
Pesisir Pantai Barat dan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara.

12

2. Menganalisis dan mengetahui sektor-sektor ekonomi unggulan (potensi
ekonomi) yang ada di kabupaten/kota Pesisir Pantai Barat dan Pesisir Pantai
Timur Sumatera Utara.
3. Untuk mengetahui pengaruh jumlah penduduk terhadap ketimpangan wilayah
diwilayah Pesisir Pantai Barat dan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara?
4. Untuk mengetahui pengaruh PDRB terhadap ketimpangan wilayah diwilayah
Pesisir Pantai Barat dan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara.
5. Untuk mengetahui pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan
wilayah diwilayah Pesisir Pantai Barat dan Pesisir Pantai Timur Sumatera
Utara.
6. Untuk mengetahui pengaruh aglomerasi terhadap ketimpangan wilayah di
wilayah Pesisir Pantai Barat dan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara.

1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Untuk pemerintah
a. Mengevaluasi arah kebijakan ekonomi pemerintah daerah, terutama
dalam rangka perencanaan ekonomi makro regional khususnya
kabupaten/Kota Pesisir Pantai Barat dan Pesisir Pantai Timur.
b. Sebagai bahan informasi dan pertimbangan bagi pemerintah daerah
untuk penetapan kebijakan yang akan datang yang berkaitan dengan
pembangunan regional khususnya Kabupaten/Kota Pesisir Pantai Barat
dan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara.

13

2. Untuk akademisi sebagai bahan penelitian berikutnya yang terkait.
3. Untuk penulis sebagai pengembangan dan pelatihan diri dalam
menerapkan

ilmu

pengetahuan

yang

diperoleh,

sehingga

dari

pengetahuan-pengetahuan yang penulis peroleh dalam penelitian ini
diharapkan dapat diaplikasikan dalam kegiatan penulis selanjutnya..