Hubungan Antara Kesukuan dengan Kemenangan Caleg di Kabupaten Langkat pada Pemilu Legislatif 2014

BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang
Setiap pemilihan apapun yang akan berlangsung, selalu ada cara menilai
sang petarung yang siap naik panggung. Salah satu isu yang sering menjadi hangat
adalah isu kesukuan. Dalam setiap pemilihan, isu kesukuan tersebut tiba-tiba
menguat dan sangat kental dalam diri sebagian calon pemilih (voters). Rasa yang
muncul dari pandangan pertama atau dari kesamaan tempat asal dan dimana
dibesarkan. Baik disadari penuh atau hanya setengah-setengah. Kesukuan adalah
salah satu bagian kecil dari primordialisme disamping isu kepercayaan, adat
istiadat, tradisi dan sebagainya.
Kaitannya dengan pemilihan, sudut pandang kesukuan lebih ditentukan
seberapa besar intensitas kebersamaan di antara mereka atau dikaitkan dengan
jarak yang lebih dekat. Apabila sejumlah calon yang akan bertarung, terdapat
beberapa orang yang memiliki suku yang sama. otomatis pemilih yang berlatar
berlakang suku yang sama akan mencari sesuatu atau kesamaan yang lebih dekat
lagi. Siapa sosok calon yang benar-benar terasa dekat, baik hubungan darahnya,
tempat tinggalnya, dan sebagainya. Mencocokkan diri dari hal general kepada hal
yang lebih spesifik, dan minus dalam mencocokkan dalam hal kompetensi,
kapabilitas serta integritas.


1

Universitas Sumatera Utara

Istilah etnik atau yang diterjemahkan ke dalam istilah suku-bangsa, berasal
dari perkataan Yunani Eovikos yang ertinya heathen, yaitu penyembah berhala
atau sebutan bagi orang yang tidak ber-Tuhan. Sementara itu, istilah itu sendiri
dalam bahasa Yunani berasal dari akar kata eOvos (’ethnos’) yang diterjemahkan
sebagai nation atau bangsa, yaitu suatu istilah yang lazim dipakai untuk menunjuk
pada bangsa-bangsa yang bukan Israel. Dengan kata lain, menurut the Shorter
Oxford English Dictionary on Historical Principles, ada dua pengertian yang
terkandung dalam istilah ethnic, (a) menunjuk kepada bangsa-bangsa yang non
Kristian atau non Yahudi dan (b) menunjuk kepada bangsa yang masih
menyembah berhala. Dalam pengertian berkiutnya, istilah ethnic dikenal luas
setelah dipakai secara resmi oleh suatu Ethnological Society, yaitu suatu lembaga
yang didirikan di Landon pada 1843, Seterusnya tahun 1848 di Paris ditubuhkan
pula institusi serupa yaitu Societe Ethnologique de Paris. Di New York institusi
serupa juga sudah ada sejak 1842 yang dipanggil American Ethnological Society. 1
Pada awalnya istilah etnik hanya digunakan untuk suku-suku tertentu yang

dianggap bukan asli Indonesia, namun telah lama bermukim dan berbaur dalam
masyarakat, serta tetap mempertahankan identitas mereka melalui cara-cara khas
mereka yang dikerjakan, dan atau karena secara fisik mereka benar-benar khas.
Misalnya etnik Cina, etnik Arab, dan etnik Tamil-India. Perkembangan
belakangan, istilah etnik juga dipakai sebagai sinonim dari kata suku pada sukusuku yang dianggap asli Indonesia. Misalnya etnik Bugis, etnik Minang, etnik
1

http://sosbud.kompasiana.com/2014/02/03/kecenderungan-isu-kesukuan-primordialisme-dalampemilu-629112.html.diakses19/7/2014

2

Universitas Sumatera Utara

Dairi-Pakpak, etnik Dani, etnik Sasak, dan ratusan etnik lainnya. Akhir-akhir ini
istilah suku mulai ditinggalkan karena berasosiasi dengan keprimitifan (suku
dalam bahasa inggris diterjemahkan sebagai ‘tribe’), sedangkan istilah etnik dirasa
lebih netral. Istilah etnik sendiri merujuk pada pengertian kelompok orang-orang,
sementara etnis merujuk pada orang-orang dalam kelompok. Dalam hal ini
keduanya akan digunakan secara bergantian tergantung konteksnya. Dalam
Ensiklopedi Indonesia disebutkan istilah etnik berarti kelompok sosial dalam

sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu
karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Anggota-anggota suatu
kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik
yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, serta adat-istiadat dan tradisi.
Sebuah kelompok etnik pertama kali diidentifikasi melalui hubungan
darah. Apakah seseorang tergabung dalam suatu kelompok etnik tertentu ataukah
tidak tergantung apakah orang itu memiliki hubungan darah dengan kelompok
etnik itu atau tidak. Meskipun seseorang mengadopsi semua nilai-nilai dan tradisi
suatu etnik tertentu tetapi jika ia tidak memiliki hubungan darah dengan anggota
kelompok etnik itu, maka ia tidak bisa digolongkan anggota kelompok etnik
tersebut. Pada saat anggota kelompok etnik melakukan migrasi, sering terjadi
keadaan dimana mereka tercerabut dari akar budaya etniknya karena mengadopsi
nilai-nilai baru. Demikian juga dengan bahasa, banyak anak-anak dari anggota
kelompok etnik tertentu yang merantau tidak bisa lagi berbahasa etniknya. Akan
tetapi mereka tetap menganggap diri sebagai anggota etnik yang sama dengan

3

Universitas Sumatera Utara


orangtuanya dan juga tetap diakui oleh kelompok etnikya. Jadi, keanggotaan
seseorang pada suatu etnik terjadi begitu saja apa adanya, dan tidak bisa dirubah.
Tidak bisa seorang etnis Sunda meminta dirubah menjadi etnis Bugis, atau
sebaliknya. Meskipun orang bisa saja memilih untuk mengadopsi nilai-nilai, entah
dari etniknya sendiri, dari etnik lain, ataupun dari gabungan keduanya.
Merujuk kepada Barker bahawa etnisitas, ras dan kebangsaan merupakan
“titik simpul” identitas yang paling menetap dimasyarakat barat moden.
Seterusnya bahwa Etnisitas merupakan suatu konsep budaya yang berintikan
penganutan norma, nilai, keyakinan, symbol, dan praktik budaya bersama.
Etnisitas merupakan suatu konsep relasional yang terkait dengan kategori-kategori
identifikasi diri dan askripsi social. Apa yang kita pikir sebagai identitas kita
tergantung pada apa yang kita pikir bukan identitas kita. Etnisitas lebih tepat
dipahami sebagai proses penciptaan batas-batas yang disusun dan dipertahankan
dalam kondisi-kondisi sosiohistoris tertentu. 2
Semenjak era reformasi, demokrasi yang diusung mengarah pada
demokrasi partisipatif atau langsung, salah satunya karena banyak pejabat politik
yang tidak melakukan tanggung jawabnya dengan baik, sehingga legitimasi
mereka lemah. Di sisi lain memunculkan ketidakpercayaan rakyat pada penguasa
mendorong rekrutmen pejabat politik ke arah demokrasi langsung. Sehingga tidak
mengherankan bila rekrutmen hampir semua jabatan politik dilaksanakan dalam

format demokrasi yang bergerak pada hubungan negara dan warga negara secara

2

http;//teorietnisitas.barker.diakses19/7/2014

4

Universitas Sumatera Utara

langsung. Fase demokrasi langsung ini merupakan era baru reformasi politik di
Indonesia yang pertama kali digelar sejak kemerdekaan Indonesia.
Pemilihan umum ialah salah satu syarat dalam era demokrasi, dimana
pemilihan umum merupakan ajang partai politik bertarung serta memberi
kesempatan atau peluang untuk menduduki Eksekutif dan Legislatif. Bagi suatu
negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi maupun yang membangun
proses demokrasi, partai politik menjadi sarana demokrasi yang bisa berperan
sebagai penghubung antara rakyat dan pemerintah. Pembentukan partai politik
berdasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi, yakni pemerintahan yang dipimpin
oleh mayoritas melalui pemilihan umum. Untuk menciptakan pemerintahan yang

mayoritas, diperlukan partai-partai yang dapat digunakan sebagai kendaraan
politik untuk ikut dalam pemilihan umum. Bagi J Kristiadi, pemilu demokratis
adalah perebutan kekuasaan yang dilakukan dengan regulasi, norma, dan etika
sehingga sirkulasi elit atau pergantian kekuasaan dapat dilakukan secara damai
dan beradab.
Pemilihan umum untuk memilih calon anggota legislatif di Kab. Langkat
yang dilaksanakan pada tanggal 9 April 2014 dapat dikatakan berjalan tanpa
mengalami hambatan yang terlalu berarti. Semua proses dari awal dibukanya tiap
Tempat Pemungutan Suara (TPS) dari lima dapil yang ada hingga pencatatan hasil
akhir pilihan masyarakat terhadap calon anggota legislatif tidak didapati
penyelewangan seperti yang terjadi di beberapa daerah lain. Adapun yang tidak
luput dari perhatian adalah yang menjadi pemenang adalah caleg Golkar yang

5

Universitas Sumatera Utara

mempunyai latar belakang suku yang berbeda dengan suku asli yang ada di daerah
tersebut.
Dari data di atas dapat kita lihat bahwa yang lebih banyak memenangkan

perebutan kursi legislative di Kab. Langkat ialah caleg yang bersuku batak karo,
kemudian menyusul suku jawa, suku batak mandailing, dan terakhir suku melayu
yang notabene adalah penduduk asli di Kab. Langkat. Seharusnya yang terjadi
adalah suku melayu yang merupakan penduduk asli di daerah tersebut menang
dikarenakan daerah tersebut merupakan daerah yang sudah mereka tinggali lama
dan daerah tersebut juga merupakan daerah asli mereka. Namun yang terjadi
adalah yang sebaliknya, dimana suku asli ternyata tidak mampu bersaing dengan
suku-suku pendatang lain yang menempatkan calegnya di ajang pemilihan umum
untuk memilih calon anggota legislative di Kab. Langkat.
Berdasarkan hasil SP2000 penduduk Kab. Langkat mayoritas bersuku
bangsa jawa (56,87 %), diikuti dengan suku melayu (14,93%), Karo (10,22%),
Tapanuli atau Toba (4,5%), Madina (2,54%), dan lainnya (10,94%). 3 Dengan
besarnya jumlah penduduk pendatang dengan latarbelakang kesukuan yang ada di
Kab. Langkat, maka rasa saling memiliki dan kesamaan yang terdapat di dalam
daerah tersebut pun semakin terasa. Oleh karena itu apakah indikasi kesamaan
suku yang melekat di dalam diri caleg dengan suku yang melekat di dalam
masyarakat pendatang yang akhirnya membuat caleg tersebut dapat menang di
Kab. Langkat ataukah masyarakat asli yang bersukukan melayu, yang memang

3


BPS Kab. Langkat, 2010

6

Universitas Sumatera Utara

jumlahnya semakin sedikit yang menyebabkan caleg yang datang dari penduduk
asli menjadi kalah dalam perebutan kursi kekuasaan yang ada di daerah tersebut.
Hubungan antara kesukuan dengan kemenangan suatu caleg di suatu
daerah membuat ketertarikan bagi penulis untuk meneliti lebih lanjut bagaimana
hubungan antara dua variable ini sehingga seorang caleg yang mempunyai
kesamaan suku dengan pemilihnya dapat memang di dalam pemilihan umum
untuk memilih anggota legislative di suatu daerah.
I.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, rumusan masalah yang
diajukan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana

hubungan antara kesukuan


dengan kemenangan caleg di kabupaten Langkat di Pemilu 2014 ?”
I.3. Tujuan Penelitian.
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui bagaimana hubungan antara kesukuan dengan kemenangan
calon legislatid di kabupaten Langkat di pemilu 2014.
2. Menelaah prekspektif analisis yang mendasari seseorang atau kelompok
memilih calon berdasarkan kesukuannya.

7

Universitas Sumatera Utara

1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang bermanfaat
yang secara garis besar, yakni :
1. Secara teoritis maupun metodologis studi ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan terhadap perkembangan dan pendalama studi hubungan antara
kesukuan dengan kemenangan caleg, khususnya di Indonesia.
2. Secara pribadi penelitian mampu mengasah kemampuan peneliti dalam
melakukan sebuah proses penelitian yang bersifat ilmiah dan memberikan

pengetahuan yang baru bagi peneliti sendiri.
3. Secara akademis penelitian dapat menjadi bahan acuan ataupun referensi
dalam konteks ilmu politik
4. Menambah pengetahuan bagi masyarakat, yang dalam hal ini lebih
diprioritaskan kepada perilaku politik masyarakat secara umum
I.5. Kerangka Teori
I.5.I Teori Etnisitas
I.5.1.1. Emile Durkheim
Bagi Durkheim, teori mengenai etnisitas dapat dilihat sebagai sebuah teori
yang secara

eksplisit dapat dinyatakan dan dianalisis, tetapi disisi lain bagi

sebagian besar teori Durkheim tersebut lebih memfokuskan pada pembahasannya
mengenai masyarakat 4. Durkheim menjelaskan teori etnik bukan sebagai sebuah

4

Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana didalamnya
terdapat bagian -bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi

masing -masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi

8

Universitas Sumatera Utara

konflik sosial akibat kesenjangan kelas, melainkan sebagai sebuah pola integrasi
sosial di dalam proses pengembangan masyarakatnya.
Dalam pembahasannya mengenai etnik, terlihat sangat jelas ketika
Durkheim membahas sifat solidaritas kelompok dalam dua jenis tatanan sosial,
dimana ia memandang masyarakat sebagai sebuah komponen yang berbeda yang
mempunyai hubungan satu sama lain. Menurut Durkheim, masyarakat tradisional
dan modern tidak memiliki suatu perbedaan dalam hal struktur internal dan fungsi
eksternal, tetapi mereka dicirikan oleh berbagai jenis solidaritas kelompok, baik
itu solidaritas mekanik 5 dan solidaritas organik. 6 Dalam solidaritas mekanik,
didasarkan

pada

suatu

consciousness/conscience)

kesadaran
yang

menunjuk

kolektif
pada

bersama
totalitas

(collective
kepercayaan,

kebudayaan, dan sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat
yang sama tersebut. Misalnya dalam masyarakat jamaah keagamaan. Ada suatu
indikator yang saling berkaitan di dalam ruang lingkup dan kerasnya hukumhukum yang bersifat menekan, yang didasarkan pada suatu tingkat homogenitas
yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen tersebut. Sehingga homogenitas tersebut
hanya berkembang bila tingkat pembagian kerja rendah.

satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak
keseimbangan sistem. diakses dari /pola-hidup-stratifikasi/
5
Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas mekanik menjadi satu dan padu, karena seluruh orang
adalah generalis. Ikatan dalam masyarakat seperti tersebut terjadi karena mereka terlihat dalam
aktivitas yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama. George Ritzer dan Douglas J.
Goodman, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori
Sosial Postmodern (Yogyakarta: Kreasi Kencana, 2008), hal. 90-91.
6
Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas organic bertahan bersama dan justru dengan perbedaan
yang berada didalamnya, dengan fakta bahwa semua orang memiliki pekerjaan dan tanggung
jawab yang berbeda-beda.

9

Universitas Sumatera Utara

Karena itu individualitas (masyarakat tradisional) tidak berkembang,
individualitas itu terus-menerus dilumpuhkan oleh tekanan yang besar untuk
tercapainya konformitas. Sedangkan dalam solidaritas organik dibangun dari
adanya spesialisasi dalam pembagian kerja yang saling berhubungan dan saling
tergantung sedemikian rupa sehingga sistem tersebut membentuk solidaritas
menyeluruh yang fungsionalitas. Tingkat differensiasi dan spesialisasi yang
menimbulkan saling ketergantungan secara relatif dari pada nilai dan norma yang
berlaku. 7 Tingkat individu pun relatif tinggi. Apa yang dianggap baik oleh salah
satu orang, belum tentu menjadi baik pula oleh yang lain. Misalnya dalam suatu
perusahaan dagang. Dimana di dalamnya anggota termotivasi oleh faktor imbalan
ekonomi, ada ketergantungan antara orang yang bekerja di mesin, mengawasi
mesin, memperbaiki mesin, mandor, dsb. Sehingga dalam pandangan Durkheim,
masyarakat modern dipertahankan bersama oleh spesialisasi orang maupun
kebutuhan mereka akan jasa. Spesialisasi tersebut tidak hanya terjadi pada tingkat
individu saja tetapi juga kelompok, struktur, dan institusi. Yang pada akhirnya
dengan semakin banyaknya profesi yang terjadi di dalm masyarakat,
menyebabkan etnisitas di dalam masyarakat berangsur-angsur menghilang
(melebur). 8
Dalam pembahasan mengenai 2 jenis tatanan solidaritas, terutama dalam
pembahasan mengenai solidaritas organik disini Durkheim mencoba untuk
7
8

Diakses dari http://www.scribd.com/doc/36889160/Emile-Durkheim,
Diakses dari http://www.infodiknas.com/memahami-keteraturan-sosial-melalui-pembelajaran-

sosiologi/,

10

Universitas Sumatera Utara

memandang sebuah etnik, sebagai sesuatu yang berkaitan erat dengan munculnya
modernisasi obligasi komunitas etnis secara bertahap menurun dan mereka
berkembang menjadi masyarakat yang kompleks dan mempunyai budaya yang
heterogen. 9 Hal tersebut dimaksudkan bahwa keragaman budaya dibangun diatas
tujuan umum dan nilai-nilai universal masyarakat secara keseluruhan (ada suatu
kesadaran kolektif) yang berarti bahwa loyalitas etnis yang pertama berubah
menjadi pengabdian kepada bangsa (patriotisme) dan kemudian mengarah kepada
pengabdian

yang

sepenuhnya

ditujukan

kepada

sesuatu

yang

sifatnya

kemanusiaan (patriotisme dunia). 10
I.5.1.2 Georg Simmel
Simmel merupakan salah satu pemikir sosiologi yang menyumbangkan
gagasannya mengenai etnisitas. Tidak seperti dua Tokoh lainnya, yaitu Marx dan
Durkheim yang membahas sosiologi secara makro, Simmel membahas etnisitas
dengan tingkatan yang lebih mikro, di mana Simmel mencoba menjelaskan
etnisitas dan hubungan kelompok etnik secara lebih eksplisit mencoba “The Web
of Group Affiliations” dan “On Social Differentiation” yang membahas mengenai
sifat dasar manusia dan perbedaan kelompok budaya. Teori Simmel mengenai
hubungan antar etnik lebih fokus pada tiga bahasan, yaitu: 11
-

Etnisitas sebagai sebuah bentuk “sociation”, (proses sosial)

9

Dalam masyarakat yang heterogen menjadi corak masyarakat setempat, misalnya Indonesia, yang
memiliki hubungan yang cenderung mantap karena telah berlangsung selama beberapa generasi
sehingga mereka telah saling mengenal secara mendalam. Parsudi Suparlan, Suku Bangsa dan
Hubungan antar Suku Bangsa (Jakarta: YPKIK, 2005), hal. 5.

10

Maurice Duverger, Sosiologi Politik. 1985 Jakarta: CV. Rajawali hal.45.
Sinisa Malesevic. 2004. The Sociology of Ethnicity. London: Sage Publications. Hlm. 21

11

11

Universitas Sumatera Utara

-

Sifat dasar dari interaksi sosial (etnik), (tipe sosial)

-

Menurunnya etnisitas karena perbedaan sosial, (pengembangan pola)
Simmel menjelaskan bahwa sociation merupakan suatu bentuk di mana

individu tumbuh bersama hingga membentuk kesatuan dan kepentingan individuindividu di dalamnya dapat terealisasi. Atau dalam bahasa yang lebih sederhana
sosiasi merupakan proses di mana suatu masyarakat atau kelompok etnis terjadi,
yang meliputi interaksi timbal balik. 12 Dan yang menjadi cirri khas dari Simmel
adalah menganalisis interaksi dengan melihat bentuk dan isi dari suatu interaksi.
Di mana isi diartikan sebagai sesuatu yang konkret dari kualitas individu baik
secara psikologis maupun biologis yang memicu terjadinya tindakan sosial. 13
Sedangkan bentuk adalah pola umum dari suatu interaksi yang terjadi dalam
masyarakat atau kelompok etnik. 14 Simmel sendiri tidak menjelaskan isi interaksi
secara jelas karena menurutnya akan sulit untuk melihat isi dari interaksi. Bentuk
dari interaksilah yang dapat dilihat dalam suatu masyarakat.
Kemudian mengenai sifat dasar dari interaksi sosial, pada bahasan ini
Simmel lebih menjelaskan pada peran dari tiap-tiap individu yang melakukan
interaksi dalam suatu kelompok atau kelompok dengan kelompok lainnya.
Mungkin dalam bahasan ini Simmel sedikit lebih melihat isi interaksi yang
tercipta dari peranan tersebut.

12

Achmad Habib. 2004. Konflik Antar Etnik di Pedesaan. Yogjakarta: LKIS Yogyakarta. Hlm 27

13

ibid
ibid

14

12

Universitas Sumatera Utara

Bahasan mengenai menurunnya etnisitas karena perbedaan sosial dapat
dikatakan sebagai pengembangan pola. Artinya ada perubahan pola interaksi
seiring dengan perkembangan zaman. Jika pada zaman primitive, kelompokkelompok yang terbentuk memiliki solidaritas mekanik. Di mana biasanya mereka
memiliki ikatan atau kohesivitas yang lebih kuat dari kelompok organic. Terutama
bagi kelompok etnis, mereka memiliki kesadaran terhadap pemahaman simbolsimbol yang sama sehingga ikatan mereka semakin kuat. Namun seiring
perkembangan zaman yang pada akhirnya akan menimbulkan banyaknya interaksi
antar individu dan antar kelompok, pola interaksi mulai berubah dan berkembang
menjadi lebih universal atau modern. Kelompok-kelompok terbentuk berdasarkan
ikatan organik yang menekankan pada saling ketergantungan antar individu
karena adanya pembagian keahlian atau spesialisasi. Sehingga pada akhirnya,
Simmel melihat bahwa pada masyarakat modern telah terjadi perubahan pola
interaksi disertai menurunnya aroma etnisitas

karena masyarakat lebih

menanamkan nilai universal agar bisa berkembang dan bertahan hidup pada
zaman modern.
Simmel juga membahas mengenai orang asing atau “stranger” yang
dijelaskan sebagai individu atau kelompok individu yang berada di sekitar
kelompok dan berinteraksi dengan kelompok tersebut. Namun mereka tidak
diidentifikasi sebagai bagian dari kelompok, batasan yang membedakan mereka
bukan anggota kelompok adalah perbedaan nilai dan norma yang mereka anut. Di
mana orang asing tersebut tidak menanamkan nilai atau norma yang ada pada

13

Universitas Sumatera Utara

kelompok etnis yang menguasai wilayah tersebut, sehingga dapat dengan mudah
orang asing ini teridentifikasi bahwa ia bukan anggota kelompok etnis. Simmel
juga menjelaskan bahwa suatu kelompok etnis biasanya memiliki daerah
kekuasaan atau wilayah di mana nilai dan norma mereka berlaku, Simmel
menyebutnya dengan “spatial boundaries”. 15 Wilayah tersebut bukan sesuatu
batasan yang formal, namun kekuatan nilai dan norma yang ada dapat dengan kuat
memaksa atau mempengaruhi individu yang ada di dalamnya dalam melakukan
tindakan sosial.
Kemudian Simmel juga membahas mengenai konflik. Berbeda dengan
pandangan para pemikir lainnya yang melihat konflik sebagai suatu ancaman yang
dapat merusak kelompok, Simmel cenderung melihat konflik sebagai suatu media
untuk

membangun

atau

mempertahankan

interaksi

(kelompok).

Dalam

penjelasannya secara umum mengenai fungsi konflik dalam sistem sosial, Simmel
menjabarkan: 16
-

Semakin rendah derajat kekerasan suatu konflik, maka semakin besar
kemungkinan konflik tersebut mengarahkan pada integrasi sistem sosial.

-

Semakin besar derajat kekerasan suatu konflik dan lama konflik tersebut,
maka semakin mungkin terjadi koalisi antara kelompok yang belum
pernah terkait pada sistem sosial sebelumnya.

-

Semakin lama terjadinya konflik, maka semakin lama juga koalisi yang
terjadi antar kelompok yang terkait.

15
16

Ibid hal 23
Op.Cit. Hlm .30

14

Universitas Sumatera Utara

Motif partisipasi politik elit politik masyarakat dalam pemilu legislatif
adalah motif rasional bernilai dan keikutsertaan mereka dengan berpartisipasi
politik atas dasar pertimbangan rasional. Sebagian elit politik perempuan telah
menilai secara objektif pilihannya dan sebagian lainnya mengandung motif yang
afektual emosional yaitu akibat penilaian terhadap agama serta partai politik yang
dipilih merupakan suatu bentuk kristalisasi nilai yang didapatkan dalam
lingkungan politiknya.
I.5.1.3. Max Webber
Secara eksplisit, Weber terlibat dengan hubungan etnis. Kita dapat
melihatnya dari teori-teorinya yang masih mengingat kerangka kerja ekpslanatori
dalam berurusan dengan sosiologi hubungan antar etnis. Weber menyediakan
beberapa model yang terintegrasi dan koheren untuk penjelasan hubungan antar
etnik. Satu diantaranya mengidentifikasi empat prinsip utama:
1.

Etnisitas

mendefinisikan

sebagai

kelompok

etnis

bentuk
sebagai

dari

status

kelompok

kelompok.
yang

Weber

menyuguhkan

kepercayaan subyektif di dalam keturunan mereka karena adanya tipe fisik yang
mirip. Hal yang krusial dari prinsip ini adalah etnisitas ada hanya ada di dasar dari
kepercayaan kelompok tertentu. Lalu etnisitas berakar di dalam satu kepercayaan
yang mahakuasa. Selain itu, etnisitas ternyata diperkuat dan ditegaskan di ranah
kultural atau kesamaan fisik atau pada dasar dari pembagian ingatan bersama.
2.

Etnisitas sebagai mekanisme dari terpaan monopolistik sosial.

Status kelompok sering berjalan pada basis terpaan sosial dimana posisi

15

Universitas Sumatera Utara

monopolostik mereka secara teratur dipakai untuk mencegah orang-orang yang
bukan anggota kelompok dari memperoleh keuntungan simbolik atau material dari
kelompok merekas.
3.

Keragaman bentuk etnik dari organisasi sosial. Meskipun sebagian

besar mereka beroperasi sebagai status kelompok, kelompok etnis dapat
menggunakan bentuk kelas, kasta dan tanah. Weber sangat tertarik dengan adanya
fenomena kasta etnis, dimana status kelompok Nampak bertransformasi menjadi
sistem kasta. Tidak seperti status kelompok, perbedaan kasta jauh lebih kaku dan
mendekati kelompok sosial.
4.

Etnisitas dan mobilisasi politik. Weber mendefinisikan etnisitas

dalam istilah dinamika aktivitas politik. Menurutnya, eksistensi dari komunitas
politik merupakan prasyarat bagi perilaku kelompok etnis. Kesadaran kelompok
terutama dibentuk oleh pengalaman politik secara umum, bukan dengan common
descent.
Kesimpulannya Baik Emile Durkheim, Max Weber dan Simmel
berpandangan tentang teori etnisitas dimana ketiga teori tersebut menekankan
kepada keteraturan bahwa masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri
atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu
dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada suatu bagian akan membawa
perubahan pula terhadap bagian yang lain, dengan kata lain masyarakat senantiasa
berada dalam keadaan berubah secara berangsur-angsur dengan tetap memelihara
keseimbangan. Setiap peristiwa dan setiap struktur yang ada, fungsional bagi

16

Universitas Sumatera Utara

sistem sosial itu. Demikian pula semua institusi yang ada diperlukan oleh sistem
sosial itu, bahkan kemiskinan serta kepincangan sosial sekalipun. Masyarakat
dilihat dari kondisi dinamika dalam keseimbangan.
Kemudian akan merepresentasi secara kolektif simbol agama, mitos, dan
legenda populer. Semuanya mempresentasikan kepercayaan, norma, dan nilai
kolektif, dan mendorong kita untuk menyesuaikan diri dengan klaim kolektif.
Kehidupan masyarakat yang didefinisikan sebagai sejumlah individu yang
dihubungkan dengan interaksi. Interaksi ini dapat menjadi mengkristal sebagai
bidang permanen. Hubungan ini berbentuk sosial dimana ini sangat penting
karena mereka menunjukkan bahwa masyarakat bukan merupakan substansi,
Etnistitas dalam kaitannya dengan kemenangan calon legislatif di pemilu
2014 yang lalu dimana jenis etnisistas dalam kehidupan tradisional sebagai
wewenang yang keabsahannya berdasar atas tradisi yang dianggap suci. Jenis
wewenang ini dapat dibagi dalam dua tipe, yakni

patriarkhalisme dan

patrimonialisme. Patriarkhalisme adalah suatu jenis wewenang di mana kekuasaan
didasarkan atas senioritas. Mereka yang lebih tua atau senior dianggap secara
tradisional

memiliki

kedudukan

yang

lebih

tinggi.

Berbeda

dengan

patriarkhalisme, patrimonialisme adalah jenis wewenang yang mengharuskan
seorang pemimpin bekerjasama dengan kerabat-kerabatnya atau dengan orangorang terdekat yang mempunyai loyalitas pribadi terhadapnya. Dalam
patriarkhalisme dan patrimonialisme ini, ikatan-ikatan tradisional memegang
peranan utama. Pemegang kekuasaan adalah mereka yang dianggap mengetahui

17

Universitas Sumatera Utara

tradisi yang disucikan. Penunjukkan wewenang lebih didasarkan pada hubunganhubungan yang bersifat personal/pribadi serta pada kesetiaan pribadi seseorang
kepada sang pemimpin yang terdahulu. Ciri khas dari kedua jenis wewenang ini
adalah adanya sistem norma yang diangap keramat yang tidak dapat diganggu
gugat. Pelanggaran terhadapnya akan menyebabkan bencana baik yang bersifat
gaib maupun religious.
Teori etnisitas menurut kajian Baik Emile Durkheim, Max Weber dan
Simmel ini kemudian akan menjadi salah satu dasar analisis dalam mengkaji
bagaimana etnisitas itu sangat berperan dalam pemenangan calon legislatif
dilangkat dalam pemilu legislatif tahun 2014.

I.5.2. Perilaku Pemilih
Perilaku pemilih masyarakat adalah aspek yang sangat penting yang
menunjang keberhasilan suatu pelaksanaan pemilihan umum. Perilaku pemilih
dapat didefinisikan sebagai salah satu studi yang memusatkan diri pada bidang
yang menggeluti kebiasaan atau kecenderungan pilihan rakyat dalam pemilihan
umum, serta latar belakang mengapa mereka melakukan pemilihan itu. 17
Perilaku pemilih merupakan tingkah laku seseorang dalam menentukan
pilihannya yang dirasa paling disukai atau paling cocok. Secara umum teori
tentang perilaku memilih dikategorikan kedalam dua kubu yaitu ; Mazhab

17

Jack C. Plano, Robert E. Rangga dan Helena S. Robin, Op. Cit

18

Universitas Sumatera Utara

Colombia dan Mazhab Michigan. 18 Mazhab Colombia menekankan pada faktor
sosiologis dalam membentuk perilaku masyarakat dalam menentukan pilihan di
pemilu.Model ini melihat masyarakat sebagai satu kesatuan kelompok yang
bersifat vertikal dari tingkat yang terbawah hingga yang teratas.
Penganut pendekatan ini percaya bahwa masyarakat terstruktur oleh
norma-norma dasar sosial yang berdasarkan atas pengelompokan sosiologis
seperti agama, kelas (status sosial), pekerjaan, umur, jenis kelamin dianggap
mempunyai peranan yang cukup menentukan dalam membentuk perilaku
memilih. Oleh karena itu preferensi pilihan terhadap suatu partai politik
merupakan suatu produk dari karakteristik sosial individu yang bersangkutan. 19
Pengaruh

isu

yang

ditawarkan

bersifat

situasional

(tidak

permanent/berubah-ubah) terkait erat dengan peristiwa-peristiwa sosial, ekonomi,
politik, hukum, dan keamanan khususnya yang kontekstual dan dramatis.
Sementara itu dalam menilai seorang kandidat menurut Him Melweit, terdapat
dua variabel yang harus dimiliki oleh seorang kandidat. Variabel pertama adalah
kualitas instrumental yaitu tindakan yang diyakini pemilih akan direalisasikan
oleh kandidat apabila ia kelak menang dalan pemilu. Variabel kedua adalah
kualitas simbolis yaitu kualitas keperbadian kandidat yang berkaitan dengan
integrasi diri, ketegasan, kejujuran, kewibawaan, kepedulian, ketaatan pada norma
dan aturan dan sebagainya.

18

http://www./2home.sol.no/-hmelberg/papers/950520. 29 /05/2014
http://www./2home, Ibid

19

19

Universitas Sumatera Utara

Terdapat beberapa daerah/wilayah yang merupakan kumpulan komunitas
masyarakat yang terbentuk atas dasar sistim kekerabatan dan paguyuban
berdasarkan keturunan (gemeinschaft by blood), dan yang menjadi pemuka
masyarakat tersebut berasal dari keluarga / kerabat asli keturunan dari orang yang
dipandang terkemuka dari segi sosial ekonomi atau terkemuka karena
ketokohannya, sehingga warga masyarakat seringkali menyandarkan diri dan
sikapnya terhadap pemuka/tokoh masyarakat tersebut. Sikap ini mencerminkan
adanya dominasi ketokohan yang berperan untuk menentukan sikap dan perilaku
serta orientasi warga bergantung pada pemuka masyarakat tersebut. Paternalisme
sikap dan perilaku warga masyarakat secara turun temurun dari generasi ke
generasi berikutnya tidak pernah berubah, meskipun terdapat berbagai perubahan
dalam kondisi sosial ekonomi, namun hal tersebut tidak menjadi faktor yang
mempengaruhi

adanya

perubahan

sosial

budaya

masyarakat

setempat.

Kecenderungan untuk melakukan perubahan sikap dan perilaku masyarakat dalam
berbagai kehidupan sosial ekonomi, sosial politik maupun sosial budaya, terbatas
pada adanya sistem ide atau gagasan dari pemuka masyarakat untuk memodifikasi
sistem sosial dan sistem budaya yang sudah mapan dalam kehidupan masyarakat
disesuaikan dengan kondisi dan dinamika masyarakat. Faktor ini menjadi kendala
bagi kandidat atau calon legislatif untuk menerobos masuk ke dalam komunitas
masyarakat tersebut dalam rangka sosialisasi atau sekedar silaturahmi. Jika calon
legislatif berhasil masuk ke dalam komunitas masyarakat tersebut, hanya sebatas
etika pergaulan masyarakat yaitu menerima setiap tamu yang bersilaturahmi,

20

Universitas Sumatera Utara

tetapi tidak akan mengikuti apa yang diinginkan oleh kandidat/calon legislatif
yang bersangkutan.
Komunitas masyarakat yang heterogen cenderung lebih bersifat rasional,
pragmatis, tidak mudah untuk dipengaruhi, terkadang memiliki sikap ambivalen,
berorientasi ke materi. Sikap dan pandangan untuk memilih atau tidak memilih
dalam proses politik lebih besar, sehingga tingkat kesadaran dan partisipasi
politiknya ditentukan oleh sikap dan pandangan individu yang bersangkutan, tidak
mudah untuk dipengaruhi oleh tokoh atau ikatan primordialisme tertentu. Kondisi
sosial masyarakat pada strata demikian diperlukan adanya kandidat / calon yang
memiliki kapabilitas yang tinggi baik dari aspek sosiologis ( memiliki
kemampuan untuk mudah beradaptasi dengan kelompok masyarakat dan mampu
mempengaruhi sikap dan orientasi komunitas masyarakat tersebut),

atau

popularitas dan reputasi tinggi pada kelompok masyarakat tersebut. Jika hal
tersebut mampu dilakukan oleh seorang kandidat, maka sangat terbuka perolehan
suara pemilih didapat dari komunitas masyarakat tersebut.
Keterpilihan seorang kandidat idealnya harus memenuhi standar yang
diinginkan pemilih, artinya pemilih akan menentukan pilihannya didasarkan atas
seberapa besar kontribusi dan partisipasi kandidat terhadap pemilih atau kelompok
pemilih. Seberapa besar syarat-syarat kandidat terpenuhi secara umum seperti ;
kapabilitas intelektual, kapabilitas kepemimpinan, kapabilitas etika dan moral.
Kejelasan tentang visi dan misi serta program yang disampaikan kandidat, apakah
pemilih memahami akan visi dan misi dan program yang disampaikan/ dilakukan

21

Universitas Sumatera Utara

seorang kandidat sesuai dengan aspirasi, kebutuhan dan kepentingan masyarakat
banyak atau tidak. Jika hal tersebut di atas tidak dipenuhi oleh seorang kandidat,
maka pemilih pada suatu saat akan beralih sikap dan orientasinya ke kandidat lain.
Isu strategis adalah pokok permasalahan yang harus diperhatikan dan
dijawab oleh seorang kandidat. Dinamika masyarakat dewasa ini cenderung lebih
rasional dalam menyikapi dan menentukan pilihan, meskipun tidak dipungkiri
masih terdapat pemilih yang emosional dan tradisional. Figuritas dan popularitas
kandidat di tengah masyarakat menjadi moment penting untuk dijadikan modal
dalam mensosialisasikan diri.
Banyak hal yang dapat mempengaruhi pemilih dalam General election,
diantaranya Keadaan politik, sosial, ekonomi dan pendidikan, hal ini

sangat

menentukan prilaku pemilih dalam memberikan suara mereka dalam pemilihan
umum. Untuk itulah ada beberapa identifikasi model prilaku pemilih (Voting
Behaviour) dalam menentukan pilihaan dalam pemilihan umum yang sering
dipakai oleh para sarjana dalam analisanya, seperti yang diungkapakan Achmad
Azis dalam kuliah Hukum Tata Negara, yaitu 20
1.

Sosiologycal Model

2.

Psicologycal model

3.

Ideologycal model

4.

Rasional choice

20

Achmad Azis. disampaikan dalam kuliah Hukum Tata Negara pada Mei 2009. Fakultas
hukum.Universitas Trunojoyo

22

Universitas Sumatera Utara

Pertama, Pendekatan Sosiologis menekankan pentingnya beberapa hal
yang berkaitan dengan instrument kemasyarakatan seseorang seperti, (i) status
sosioekonomi (seperti pendidikan, jenis pekerjaan, pendapatan, dan kelas), (ii)
etnik, bahkan (iii) wilayah tempat tinggal (misalnya kota, desa, pesisir, ataupun
pedalaman).
Beberapa hal ini menurut sarjana yang mengusungnya, Lipset (1960),
Lazarsfeld (1968) hanya untuk menyebut beberapa nama, mempunyai kaitan kuat
dengan perilaku pemilih. Penelitian mengenai perilaku ini dicetuskan oleh
sarjana-sarjana ilmu politik dari University of Columbia (Columbia’s School)
yang mengkaji perilaku pemilih pada waktu pemilihan Presiden Amerika Serikat
(AS) tahun 1940. Mereka mendapati pola yang mempunyai kaitan erat dengan
aspek-aspek tadi.
Pendekatan Kedua disebut dengan pendekatan psikologis, identifikasi
kepartaian (party identification) adalah wujud dari sosialisasi politik tersebut,
yang bisa dibina orang tua, organisasi sosial kemasyarakatan, dan lainnya.
Sosialisasi ini berkenaan dengan nilai dan norma yang diturunkan orang tua,
organisasi sosial kemasyarakatan, dan lainnya sebagai bentuk penurunan dan
penanaman kepada generasi baru. Oleh karena itu, pilihan seorang anak atau
pemilih pemula yang telah melalui tahap sosialisasi politik ini tidak jarang
memilih partai yang sama dengan pilihan orang tuanya. Bahkan, kecenderungan
menguatnya keyakinan terhadap suatu partai akibat sosialisasi ini merupakan
impak daripadanya. Untuk kasus terhadap anak-anak, menurut Jaros dan Grant,

23

Universitas Sumatera Utara

identifikasi kepartaian lebih banyak disebabkan pengimitasian sikap dan perilaku
anak ke atas sikap dan perilaku orang tuanya.
Ketiga, model prilaku pemilih berdasarkan kecenderungan ideology,
model prilaku pemilih yang dipengaruhi oleh latar belakang ideology yang sama
biasanya memepertimbangkan pilihannya pada wakil rakyat atau partai politik
karena adanya keyakinan dan atau agama yang sama. Banyak partai politik yang
mengusung latar belakang ideology, seperti Partai Kebangkitan Bangsa yang lahir
setelah masa reformasi. Di Amerika serikat misalnya, penganut agama Kristen
Protestan di AS cenderung memilih Partai Republik dibandingkan dengan mereka
yang memeluk agama Katolik.
Keempat, pendekatan pilihan rasional yang dipopulerkan oleh Downs
(1957) yang mengasumsikan bahwa pemilih pada dasarnya bertindak secara
rasional ketika membuat pilihan dalam tempat pemungutan suara (TPS), tanpa
mengira agama, jenis kelamin, kelas, latar belakang orang tua, dan lain
sebagainya.
Dalam penelitian ini akan di fokuskan menggunakn pendekatan perlaku
masyarakat sosiologi, dimana erat hubungannya dalam sebuah kerangka etnisitas
yang melekat dalam masyarakat yang mempunyai kesamaan dengan etnisitas yang
melekat pada diri caleg yang bertarung untuk memperubutkan kursi sebagai
anggota legislative di kabupaten langkat Langkat. Teori perilaku pemilih
berdasarkan pendekatan sosiologis sangat berkaitan dengan judul penelitian ini

24

Universitas Sumatera Utara

tentang analisis hubungan etnisitas dengan kemenangan calon legislatif di pemilu
legislatif 2014.
I.6. Metodologi Penelitian
I.6.1. Jenis Penelitian
Berangkat dari uraian serta penjelasan tujuan penelitian maupun kerangka
dasar di atas, penelitian ini bertumpu pada penelitian kualitatif. Aplikasi penelitian
kualitatif ini adalah konsekuensi metologis dari penggunaan metode deskriptif.
Penelitian dekriptif adalah suatu cara yang digunakan untuk memecahkan masalah
yang ada pada masa sekarang berdasarkan fakta dan data-data yang ada.
Penelitian ini untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu
gejala atau fenomena. 21 Bogdan dan Taylor mengungkapkan bahwa “metode
kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deslriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. 22
Penelitian kualitatif dapat

diartikan sebagai rangkaian kegiatan atau proses

penjaringan informasi, dari kondisi sewajarnya dalam kehidupan suatu objek,
dihubungkan dengan pemecahan masalah, baik dari sudut pandang teoritis
maupun praktis.
Secara khusus penelitian deskriptif yang penulis gunakan dapat diartikan
sebagai prosedur pemecahan masalah dengan menggambarkan keadaan objek
penelitian berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Fakta

21

Bambang Prasteyo dkk, Metode Penelitian Kuantitatif : Teori dan Aplikasi, Jakarta, Raja
Grafindo Persada, 2005, hal. 42
22
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1994,
hal. 3

25

Universitas Sumatera Utara

atau data yang ada dikumpulkan, diklarifikasi dan kemudian akan dianalisa. Pada
penelitian deskriptif, penulis memusatkan perhatian pada penemuan fakta-fakta
sebagaimana keadaan yang sebenarnya ditemukan. Karena itu dalam penelitian
ini, penulis mengembangkan konsep dan menghimpun berbagai fakta, tetapi tidak
melakukan pengujian hipotesa. 23
Dalam melakukan penelitian nantinya penulis akan menggunakan tehnik
wawancara kepada beberapa tokoh masyarakat yang dianggap mampu
mengartikulasikan berbagi kepentingan dalam penulisan penelitian ini. Adapun
yang akan diwawancarai ialah para tokoh masyarakat yang mempunyai pengaruh
didalam kesukuan disetiap daerah di Kab. Langkat, sehingga penulis dapat
melihat bagaimana terjadinya proses kemenangan suatu caleg di Kab. Langkat
yang berhubungan dengan kesukuan yang melekat pada caleg tersebut dan
masyarakatnya, dimana seperti yang sudah dijelaskan diawal bahwa daerah
tersebut merupakan daerah dari penduduk asli yang identitas kesukuannya ialah
melayu, namun yang memperoleh suara terbanyak bukan merupakan dari
kesukuan penduduk yang ada di aerah tersebut.
Penelitian ini juga akan menambah beberapa artikel yang berasal dari
keputakaan untuk menambah pengetahuan yang berkaitan dengan daerah dan
karakteristik masyarakat di Kab. Langkat. Kemudian menambahkan denagn
berbagi teori yang telah diperoleh, sehingga tercipta suatu hasil yang dapat
menunjukkan hubungan antara kesukuan dengan kemenangan yang diperoleh

23

Sanafiah Faisal,Ibid, hal. 6

26

Universitas Sumatera Utara

caleh di Kab. Langkat pada pemilu legislative yang dilaksanakan pada tanggal 9
April 2014 yang lalu.
I.6.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi penelitian pada Kab. Langkat. Adapun
alasan peneliti mengapa mengambil lokasi penelitian di daerah ini adalah
disebabkan relasi antara kemenangan calon di pemilihan legislatif Kabupaten
Langkat sangat kuat. Kemudian kabupaten Langkat juga merupakan salah satu
kabupaten yang secara etnisitas merupakan Kabupaten yang plural.
I.6.3 Teknik Pengumpulan Data
Dalam melakukan sebuah penelitian, ada beberapa metode yang biasa
digunakan untuk mengumpulkan data antara lain wawancara (interview),
observasi (observation), dan dokumentasi (documentation). Untuk memperoleh
data atau informasi, keterangan-keterangan atau fakta-fakta yang diperlukan,
maka penulis dalam penelitian ni menggunakan teknik pengumpulan data sebagai
berikut :
1. Data Primer, yaitu penelitian lapangan (field research), dimana
pengumpulan data dengan terjun langsung ke lokasi penelitian.
Penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara. Adapun teknik
sampling yang dilakukan penulis ialah purposive sampling yakni
pengambilan sampel berdasarkan “penilaian” (judgment) mengenai
siapa-siapa saja yang pantas (memenuhi persyaratan) untuk dijadikan
sampel. Oleh karenanya agar tidak sangat subjektif, peneliti harus

27

Universitas Sumatera Utara

punya latar belakang pengetahuan tertentu mengenai sampel dimaksud
(tentu juga populasinya) agar benar-benar bisa mendapatkan sampel
yang sesuai dengan persyaratan atau tujuan penelitian, seperti ;
a. Bapak Surialam anggota DPRD terpilih Kabupaten Langkat yang
beretnis Jawa juga merupakan Ketua Pujakesuma Kabupaten
Langkat.
b. Bapak Ir. Munhasyar. Spd Anggota DPRD terpilih Kabupaten
Langkat yang beretnis melayu.
c. Bapak Surya Darma Ginting Anggota DPRD terpilih Kabupaten
Langkat yang beretnis Karo.
d. Bapak Joni Sitepu Anggota DPRD terpilih dari Kabupaten Langkat
bereetnis Karo.
e. Bapak Amir Husni Anggota DPRD terpilih Kabupaten Langkat
beretnis Melayu
f. BapakRiska Purnawan Anggota DPRD terpilih Kabupaten Langkat
beretnis Jawa.
g. Bapak Sujono (Jawa) masyarakat langkat bersuku jawa (konstituen
Agus Salim) di Kecamatan Batang Serangan, Kabupaten Langkat.
h. Bapak Terkelin Ginting (Karo) masyarakat Langkat bersuku jawa
(konstituen Romelta Ginting) di Kecamatan Batang Serangan,
Kabupaten Langkat .

28

Universitas Sumatera Utara

2. Data Sekunder, yaitu penelitian kepustakaaan (library research), dimana
dengan mempelajari buku-buku, jurnal, peraturan-peraturan, laporanlaporan serta dokumen dari Badan Pusat Statistik (BPS).
I.6.4 Teknik Analisa Data
Adapun teknik analisa data yang digunaka dalam penelitian ini adalah
menggunakan jenis data kualitatif. Dalam analisis data kualitatif datanya tidak
dapat dihitung dan berwujud kasus-kasus sehingga tidak dapat disusun dalam
bentuk angka-angka. 24 Disamping itu, penelitian ini bersifat deskripsi yang
bertujuan memberikan gambaran mengenai situasi atau kejadian yang terjadi.
Data-data yang terkumpul melalui wawancara dan dokumentasi kemudian
disusun, dianalisa dan disajikan untuk memperoleh gambaran sistematis tentang
kondisi dan situasi yang ada. Data-data tersebut diolah dan dieksplorasi secara
mendalam yang selanjutnya akan menghasilkan kesimpulan yang menjelaskan
masalah yang akan diteliti dengan berlandaskan teori dan argumentasi yang kuat.
I.7. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang terperinci, maka penulis membagi
sistematika penulisan ke dalam 4 bab yaitu :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini berisi tentang latar belakang masalah, pokok permasalahan
yang dibahas, pembatasan masalah yang akan diteliti, tujuan mengapa diadakan

24

Sanafiah Faisal,Ibid, hal. 108

29

Universitas Sumatera Utara

penelitian, manfaat penelitian dan metode penelitian serta kerangka teori yang
menjadi landasan pembahasan masalah.

BAB II : DESKRIPSI MENGENAI LOKASI PENELITIAN DAN
KARAKTERISTIK MASYARAKAT DI KAB. LANGKAT
Pada bab ini akan diuraikan tentang gambaran umum tentang deskripsi
lokasi dan karakteristik masyarakat yang ada di Kab. Langkat
BAB III : HUBUNGAN ANTARA KESUKUAN DENGAN KEMENANGAN
CALEG DI KAB. LANGKAT
Bab ini nantinya akan berisikan tentang penyajian data dan fakta yang
dianalisis secara sistematis berdasarkan penelitian yang dilakukan.

BAB IV : PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, yang berisi
tentang kesimpulan yang diperoleh dari hasil-hasil penelitian yang telah
dilakukan. Pada bab ini juga akan terjawab pertanyaan tentang apa yang dilihat
dalam penelitian yang dilakukan, serta berisi saran-saran, baik yang bermanfaat
bagi penulis secara pribadi maupun lembaga-lembaga yang terkait secara umum.

30

Universitas Sumatera Utara