Hak hadhanah terhadap Ibu wanita karir: analisis putusan perkara nomor:458/pdt.g/2006/Pengadilan Agama Depok

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

MOCHAMMAD ANSORY NIM : 105044201459

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(ANALISIS PUTUSAN NOMOR : 485/Pdt.G/2006/

PENGADILAN AGAMA DEPOK)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

MOCHAMMAD ANSORY NIM : 105044201459

Dibawah Bimbingan Pembimbing :

Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi NIP : 194008051962021001

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL SYAHSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah

satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karena ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 01 Juni 2010


(4)

(5)

Putusan Perkara Nomor : 458/Pdt.G/2006/Pengadilan Agama Depok) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 15 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy) pada Program Studi Ahwal Syakhshiyyah.

Jakarta, 15 Juni 2010 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum

Prof. DR. H.M. Amin Suma, SH, MA, MM NIP 195505051982031012

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Drs. H.A. Basiq Djalil, SH, MA. (...)

NIP. 195003061976031001

2. Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH. (...)

NIP. 197202241998031003

3. Pembimbing : Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi (...)

NIP. 194008051962021001

4. Penguji I : Prof. DR. H.M. Amin Suma, SH, MA, MM. (...) NIP 195505051982031012

5. Penguji II : Drs. H.A. Basiq Djalil, SH, MA. (...)


(6)

i

ﻢﻴﺤﺮﻟاﻦﻤﺤﺮﻟاﷲاﻢﺴﺒ

Alhamdulillah, dengan penuh rasa syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah berhasil memerankan fungsi-fungsi kekhalifahan dengan baik dipentas peradaban dunia sehingga beliau dipilih oleh Allah SWT sebagai uswatun hasanah bagi seluruh manusia. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi persyaratan akademis dalam menyelesaikan pendidikan Program Strata 1 pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan dorongan baik berupa moril, materil, pemikiran serta tenaga dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis ingin menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. KH. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya.

2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, MA., Ketua Program Studi Ahwal Syakhshiyyah

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

ii Jakarta.

4. Bapak Prof. Dr. H. A. Sutarmadi, dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan

waktu dan pikirannya untuk menuntun penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Pimpinan beserta Staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Perpustakaan

Utama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan juga Perpustakaan Umum yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan.

6. Ibu Dra. Maskufa, M.Ag, dosen Penasehat Akademik.

7. Ketua Pengadilan Agama Depok beserta staff yang telah menyediakan data, waktu,

dan kesempatan untuk melakukan penelitian.

8. Ayahanda Wirta Hasan dan Ibunda Nani Rochani yang selalu memberikan

dukungan baik secara moril dan materil serta do’a bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan proses belajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

9. Paman Agus Salam dan Bibi Siti Nurjanah di Cinangka yang telah membantu

menyelesaikan penulisan skripsi ini.

10.Paman Thabrani dan Bibi Maryana di Lampung yang telah memberikan dukungan

dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

11.Kakanda Anita Suryani dan Adinda Fauzie serta Abang Dirgantara di Lampung

yang telah membantu Penulis dan selalu memberikan dukungan moril demi terselesaikannya penulisan skripsi ini.


(8)

iii Penulis.

13.Rekan-rekan seperkuliahan Jurusan AKI angkatan 2005 yang banyak memberikan

sumbang saran, semangat, dan gairah dalam menyelesaikan skripsi ini.

14.Kepada semua pihak, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah

turut andil dalam memberikan bantuan dalam penyusunan skripsi ini.

Semoga amal baik dari semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT.

Penulis menyadari dengan sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam penulisan skripsi ini. Untuk itu penulis akan sangat berterima kasih atas segala kritik maupun saran dari pembaca sekalian.

Akhirnya penulis berharap mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan dan dapat menambah ilmu pengetahuan, khususnya bagi penulis maupun pembaca sekalian.

Depok, 01 Juni 2010


(9)

iv

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……… 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Metode Penelitian ... 7

E. Tehnik Pengumpulan Data ... 8

F. Analisa Data ... 9

G. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II : HADHANAH MENURUT HUKUM ISLAM ... 11

A. Pengertian Hadhanah ... 11

B. Dasar Hukum Hadhanah ... 13

C. Syarat-syarat Sebagai Pemegang Hak Hadhanah ... 14

D. Upah Hadhanah ... 15

E. Yang Berhak Mengasuh Anak ... 18

BAB III : DESKRIPSI UMUM PENGADILAN AGAMA DEPOK.. 22

A. Sekilas Kota Depok ... 22


(10)

v

BAB IV : PERTIMBANGAN HUKUM MAJELIS HAKIM

TERHADAP HAK HADHANAH PADA IBU WANITA

KARIR ... 41

A. Perkara Nomor : 458/Pdt.G/2006/Pengadilan Agama Depok ... 41

B. Pertimbangan Hukum ... 50

C. Putusan Pengadilan ... 52

D. Analisa Penulis ... 53

BAB V : PENUTUP ... 58

A. Kesimpulan ... 58

B. Saran-Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 61 LAMPIRAN :

A. Putusan Nomor : 458/Pdt.G/2006/Pengadilan Agama Depok,

tanggal 15 November 2006, antara Ir. Rini Prima Utari (Penggugat) melawan Ir. Luthfy Bulaga Hutagalung (Tergugat).

B. Permohonan data / wawancara dari Pimpinan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kepada Ketua Pengadilan Agama Depok.

C. Permohonan kesediaan menjadi pembimbing skripsi dari Pimpinan


(11)

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita dalam suatu rumah tangga berdasarkan kepada tuntunan agama.1

Perkawinan mempunyai hubungan erat dengan anak yang dilahirkan. Oleh sebab itu, orang tua mempunyai kewajiban mengurusi anak-anak yang dilahirkan dari hasil sebuah perkawinan.

Dalam kenyataan hidup membuktikan bahwa memelihara kehidupan berumah tangga bukanlah perkara yang mudah dilaksanakan, karena didalam kehidupan rumah tangga tidak lepas dari gejolak-gejolak yang ada. Apabila suami istri tidak dapat melewati gejolak-gejolak tersebut, maka tidak bisa dihindarkan lagi akan terjadi sebuah pemutusan tali pernikahan atau biasa disebut dengan perceraian.

Perceraian adalah pemutusan tali pernikahan yang sah.2 Jika perceraian itu terjadi, maka dapat menimbulkan sisi yang tidak baik untuk perkembangan anak. Oleh sebab itu, sebuah perceraian tidak dianjurkan oleh Islam, karena Islam sangat berkeinginan agar kehidupan rumah tangga tenteram dan terhindar dari sebuah keretakan yakni perpisahan.

1

Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, cet.II, (Jakarta: Elsas, 2008), h.3

2

Kamal bin As Sayyid Salim, Fiqih Sunnah Wqasaanita (Jakarta: Tiga Pilar, 2007), h.627


(13)

Apabila suami istri berpisah atau bercerai maka tidak bisa dihindarkan lagi akan terjadi perebutan hak asuh anak, yang dalam istilah ilmu fiqih disebut hadhanah. Dalam pada itu Pengadilan Agama mempunyai kewenangan untuk memberikan putusan mengenai hak asuh anak yakni hadhanah bagi anak yang masih belum mumayyiz atau belum dewasa kepada orang yang dapat membimbing dan mendidik anak tersebut yang masih memerlukan perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tuanya.

Menurut para fuqaha, Hadhanah adalah hak untuk memelihara anak kecil, baik laki-laki maupun perempuan atau yang kurang sehat akalnya; jadi tidak termasuk disini pemeliharaan terhadap anak yang telah dewasa yang sehat akalnya.3

Adapun yang terakhir ini dikala orang tua mereka bercerai maka dipersilahkan memilih mana yang lebih dia sukai, tinggal bersama ayahnya atau ibunya. Atau kalau dia laki-laki sudah tidak memerlukan lagi perawatan orang tuanya. 4

Namun demikian, syari’at tetap menyuruh anak-anak dari keluarga yang bercerai untuk berbakti kepada kedua orang tua dan memperlakukan mereka dengan baik. Adapun bagi anak perempuan, sekalipun telah dewasa, ia tetap tidak diperkenankan tinggal sendirian. Sehingga karena kelemahan dan tabiatnya ia

3

Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqhul Mar’ah al-Muslimah. Penerjemah Anshori Umar Sitanggal, dkk (Semarang: Asy Syifa’, 1981), h. 450

4


(14)

takkan diperkosa orang untuk melakukan hal yang memalukan keluarganya. 5

Para ulama berpendapat tentang berakhirnya masa pengasuhan dan konsekuensinya apabila kedua orang tuanya bercerai, ada beberapa pendapat : 1. Anak yang diasuh adalah laki-laki. Terkait dengan anak laki-laki yang telah

selesai masa pengasuhannya. Untuk hal ini ada beberapa pendapat:

a. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa ayah lebih berhak mengasuh anak.

Dengan alasan bahwa jika seorang anak laki-laki sudah bisa memenuhi kebutuhan dasarnya, maka yang ia butuhkan adalah pendidikan dan perilaku seorang laki-laki. Dalam hal ini si ayah lebih mampu dan tepat.

b. Madzhab Maliki berpendapat bahwa ibulah yang lebih berhak selama si

anak belum baligh.

c. Madzhab Asy Syafi’i dan Ahmad, anak diberi kesempatan untuk

memilih salah satu diantara keduanya.6

2. Anak yang diasuh adalah perempuan.

a. Madzhab Maliki berpendapat bahwa anak tetap tinggal bersama ibunya

hingga anak perempuan tersebut menikah dan telah berhubungan intim dengan suaminya.

b. Dengan mengacu pada pendapat Imam Ahmad, kalangan Madzhab

5

Ibid, h. 450

6

Abiyazid, ” Syarat Mendapatkan Hak Asuh Anak (Hadhanah)”, artikel diakses pada 29 Desember 2009 dari http://abiyazid. Wordpress.com/2008/03/12/syarat-mendapatkan-hak-asuh-anak-hadhanah/.


(15)

Hanafi berpendapat bahwa manakala telah mengalami menstruasi anak perempuan diserahkan kepada ayahnya.

c. Kalangan Madzhab Hanbali berpendapat bahwa anak diserahkan kepada

ayahnya apabila telah mencapai usia 7 tahun.7

Menurut hukum Islam syarat-syarat mengasuh anak yaitu :

1. Islam

2. Berakal

3. Baligh

4. Pandai mendidik dan sanggup memberikan pendidikan

5. Dipercaya dan berakhlak baik

6. Tidak menikah

7. Merdeka (bukan budak)8

Menurut pendapat Ulama Madzhab Syafi'i meletakkan antara syarat utama hak penjagaan anak ialah penjaga itu mestilah agama Islam, orang kafir tidak boleh diberi amanah untuk menjaga anak muslim karena orang kafir tidak ada kuasa perwalian ke atas orang muslim. Dalillnya ialah Firman Allah SWT (Q.S. An-Nisa: 141). Bahkan kemungkinan penjagaan anak-anak muslim oleh orang kafir akan membawa fitnah terhadap aqidah anak. Berkenaan pandangan ini juga dipersetujui oleh Madzhab Hanbali.

7 Ibid

8

Puspita Giana, ” Proses Hadhanah Dan Adopsi”, artikel diakses pada 13 Januari 2010 dari http://puspitagiana.blogspot.com/2009/06/proses-hadhanah-dan-adopsi.html


(16)

Sedangkan Ulama Hanafi dan Maliki tidak mensyaratkan penjaganya mesti muslim, tetapi mereka bersepakat bahwa jika aqidah dan amalan agama anak-anak muslim itu terancam sekiranya dijaga yang bukan muslim seperti membawa anak itu ke rumah ibadat bukan Islam, membiasakan anak itu meminum arak dan memakan daging babi, maka hak penjagaan itu mestilah diserahkan kepada penjaganya yang beragama Islam.9

Penelitian ini akan membahas tentang putusan Pengadilan Agama Depok Nomor : 458/Pdt.G/2006/Pengadilan Agama Depok, yang memutuskan hak asuh anak diberikan kepada ibu, bukan kepada bapaknya dikarenakan anak masih berumur dibawah 12 tahun atau belum mumayyiz. Namun dalam kenyataan sang ibu melepas tanggung jawab yang telah diberikan kepadanya, karena sebagai wanita karir sibuk bekerja dari pagi hingga larut malam, sehingga pengasuhan sang anak diserahkan kepada neneknya atau orang tua perempuan dari ibu, yang beragama Protestan. Apabila pengasuhan anak ini diberikan kepada neneknya tersebut, maka secara tidak langsung sang nenek bisa mempengaruhi sang anak atau cucunya tersebut untuk berpindah agama. Dari permasalahan inilah penulis melakukan penelitian tentang :

“HAK HADHANAH TERHADAP IBU WANITA KARIR (Analisa Putusan Perkara Nomor : 458/Pdt.G/2006/

Pengadilan Agama Depok)”

9

Majelis Ulama Isma, ”Hak Penjagaan anak: Hukum Syari’ah Dan Undang-Undang Negara”, artikel diakses pada 19 Desember 2009 dari http://www.ismaweb.net/v2/Article1002.html.


(17)

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah

Dalam hal ini penulis mencoba untuk membahas analisis putusan

Pengadilan Agama Depok Perkara Nomor : 458/Pdt.G/2006/Pengadilan Agama

Depok, yang difokuskan pada putusan hakim menyerahkan hak asuh anak kepada ibu bukan kepada bapak si anak.

1. Pembatasan Masalah

Dalam KHI pasal 105 dinyatakan bahwa dalam hal terjadinya perceraian, maka :

a) Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun

adalah hak ibunya;

b) Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk

memilih diantara ayah atau ibunya sebagai hak pemeliharaannya;

c) Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Majelis Hakim Pengadilan Agama Depok dalam keputusannya menyerahkan hak asuh anak kepada Ir. Rini Prima Utari Samil (ibu), yang beragama Islam, namun pada kenyataannya Ir. Rini Prima Utari Samil menyerahkan pengasuhan kedua anaknya kepada ibunya (orang tua perempuan Ir. Rini Prima Utari Samil) yang beragama Protestan dikarenakan yang bersangkutan adalah wanita karir.

Dengan demikian selanjutnya penulis hanya akan menganalisa putusan hakim atas perkara tersebut yakni ”Hak Hadhanah Terhadap Ibu Wanita Karir” dengan perumusan masalah yang dapat dibuat pertanyaan sebagai berikut :


(18)

2. Perumusan Masalah

1. Apakah yang menjadi pertimbangan hukum majelis hakim Pengadilan

Agama Depok dalam memutuskan perkara nomor: 458/Pdt.G/2006/Pengadilan Agama Depok ?

2. Apakah hakim memperhatikan masalah anak disaat membuat pertimbangan

dalam memutuskan perkara ?

3. Apakah yang menyebabkan si ibu menyerahkan hak pemeliharaan atau hak

asuh anak kepada neneknya atau orang tua perempuan dari ibu, yang beragama Protestan ?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Dengan merujuk pada pembahasan diatas maka penelitian bertujuan :

1. Mengetahui pertimbangan hukum majelis hakim Pengadilan Agama Depok

dalam memutuskan perkara nomor: 458/Pdt.G/2006/Pengadilan Agama Depok.

2. Mengetahui hakim memperhatikan masalah anak disaat membuat

pertimbangan dalam memutuskan perkara. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Bagi penulis, menambah wawasan tentang hadhanah atau hak asuh anak.

2. Bagi fakultas, memberikan sumbangan kepustakaan dalam rangka

pengembangan akademis.

3. Bagi pekerja sosial, memberikan sumbangan pikiran dalam rangka


(19)

D. Metode Penelitian

Dalam menyusun penelitian ini, penulis menggunakan metode :

1. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yaitu dengan melakukan analisa isi, menganalisa dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan isi dari putusan yang penulis dapatkan, kemudian menghubungkannya dengan masalah yang diajukan sehingga ditemukan kesimpulan yang objektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dikehendaki penulis dalam penulisan skripsi ini.

2. Sumber Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder yaitu:

1. Data Primer.

1.1. Didapatkan dari Pengadilan Agama Depok yaitu berupa lembaran putusan.

1.2. Wawancara atau interview yaitu suatu cara pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya. 2. Data Sekunder.

Adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan studi kepustakaan yang berhubungan dengan masalah yang diajukan. Dokumen yang dimaksud adalah buku-buku fiqih, maupun dari internet.

E. Tehnik Pengumpulan Data


(20)

Tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1.1. Berupa putusan Pengadilan Agama Depok

1.2. Dengan mencari informasi langsung dari sumber yang berkaitan dengan masalah yang mau diteliti oleh penulis yaitu mewawancara langsung hakim Pengadilan Agama Depok.

F. Analisa Data

Analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisa kualitatif, yaitu menganalisis dengan cara menguraikan dan mendiskripsikan putusan tentang hak hadhanah terhadap ibu yang merupakan seorang wanita karir sesuai putusan Nomor : 458/Pdt.G/2006/Pengadilan Agama Depok, dan menghubungkannya dengan hasil wawancara yang didapatkan dari hakim yang menangani perkara tersebut, sehingga didapatkan kesimpulan yang objektif, logis, konsisten, dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dilakukan penulis dalam penulisan skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Agar mendapatkan gambaran isi daripada skripsi ini maka perlu disusun sistematika penulisan, sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan.

Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, tehnik pengumpulan data, dan analisa data.


(21)

Dalam bab ini dibahas tentang pengertian, hukum, syarat-syarat, upah, yang berhak mengasuh anak.

BAB III : Deskripsi Umum Pengadilan Agama Depok.

Dalam bab ini dibahas tentang sekilas kota Depok, Pengadilan Agama Depok, hubungan kerja dengan instansi terkait.

BAB IV :Pertimbangan Hukum Majelis Hakim.

Dalam bab ini dibahas tentang dasar isi pertimbangan hukum majelis hakim, pandangan ulama fiqih, analisa penulis.

BAB V :Penutup.

Dalam bab ini penulis memberikan Kesimpulan atas hasil pembahasan yang dilakukan, dan mengemukakan Saran-saran yang dapat dijadikan sebagai bahan masukan kepada semua pihak yang terkait pada permasalahan ini.


(22)

BAB II

HADHANAH MENURUT HUKUM ISLAM

A. Pengertian Hadhanah

Dalam Islam pemeliharaan anak disebut dengan hadhanah. Secara etimologis, hadhanah ini berarti “di samping” atau berada “di bawah ketiak”.10

Sedangkan secara terminologis, hadhanah adalah menjaga anak yang belum bisa mengatur dan merawat dirinya sendiri, serta belum mampu menjaga dirinya dari hal-hal yang dapat membahayakan dirinya.11

Para ulama fiqh mendefinisikan Hadhanah yaitu melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.12

Menurut Zainudin Ali, hadhanah yaitu pemenuhan berbagai aspek kebutuhan primer dan sekunder anak. Pemeliharaan meliputi berbagai aspek, yaitu

10Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia: Studi Kritis

Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI, cet. III, (Jakarta: kencana, 2004), h.292.

11 Abi Yazid, ” Hadhanah (Hak Asuh Anak)”, artikel diakses pada 29 Desember 2009 dari http://abiyazid.Wordpress.com/hadhanah.

12Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: kencana, 2003), h.175-176


(23)

pendidikan, biaya hidup, kesehatan, ketenteraman, dan segala aspek yang berkaitan dengan kebutuhannya.

Dalam ajaran Islam diungkapkan bahwa tanggung jawab ekonomi keluarga berada di pundak suami sebagai kepala rumah tangga, dan tidak tertutup kemungkinan tanggung jawab itu beralih kepada istri untuk membantu suaminya bila suaminya tidak mampu melaksanakan kewajibannya. Oleh karena itu, amat penting mewujudkan kerja sama dan saling membantu antara suami istri dalam memelihara anak sampai ia dewasa. Hal dimaksud pada prinsipnya adalah tanggung jawab suami istri kepada anak-anaknya.13

Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 98 menjelaskan sebagai berikut :

(2) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun,

sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

(3) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum

didalam dan diluar Pengadilan.

(4) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang

mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya meninggal.

(5) Sedangkan dalam perspektif Imam al-San’ani menyatakan hadhanah adalah

memelihara seorang (anak) yang belum atau tidak bisa mandiri, mendidik,


(24)

dan memeliharanya untuk menghindarkan diri dari segala sesuatu yang dapat merusak dan mendatangkan madlarat atau kesengsaraan bagi anak. 14

Dalam KHI pasal 105 dinyatakan bahwa dalam hal terjadinya perceraian, maka :

a) Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun

adalah hak ibunya;

b) Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk

memilih diantara ayah atau ibunya sebagai hak pemeliharaannya;

c) Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

B. Dasar Hukum Hadhanah

Dasar hukum hadhanah atau pemeliharaan anak adalah firman Allah SWT:

0

Artinya:

”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu (QS. At-Tahrim: 6)

Pada ayat ini orang tua diperintahkan Allah SWT untuk memelihara keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya


(25)

itu melaksanakan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah, termasuk anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak.15

Sedangkan menurut para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya adalah wajib, sebagaimana wajib memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan. Adapun dasar hukumnya mengikuti umum perintah Allah untuk membiayai anak dan istri 16 dalam firman Allah:

...

Artinya:

”Adalah kewajiban ayah untuk memberi nafkah dan pakaian untuk anak dan isterinya. (QS. al-Baqarah (2) ayat 233)

Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan ibunya masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah terjadinya perceraian.17

C. Syarat-Syarat Sebagai Pemegang Hak Hadhanah

1. Berakal sehat, karena orang gila tidak boleh menangani dan

menyelenggarakan hadhanah.

2. Merdeka, sebab seorang budak kekuasaannya kurang lebih terhadap anak

dan kepentingan terhadap anak lebih tercurahkan kepada tuannya 18

15 Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 177

16 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia:Antara Fiqih Munakahat Dan

Undang-Undang Perkawinan, cet. II, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 328

17 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia:Antara Fiqih Munakahat Dan


(26)

3. Amanah dalam agama, sehingga wanita atau laki-laki yang fasiq tidak dibenarkan untuk mendapatkan hak pengasuhan.

4. Lingkungan yang baik. Harus memiliki lingkungan tempat tinggal yang baik

dan aman serta tidak ada pengaruh pergaulan yang negatif, seperti maraknya kemaksiatan dan kefasikan. Hal ini perlu agar seorang anak dapat tumbuh dengan sehat, beriman dan shaleh.19

5. Islam. Orang kafir sama sekali tidak layak menjadi hadinah karena dikhuatiri akan merusakkan aqidah anak tersebut.

6. Baik akhlaknya. Orang yang buruk dan rusak akhlaknya tidak layak menjadi

hadhinah.

7. Hadhinah perlu tinggal di tempat dimana kanak-kanak itu dipelihara. Oleh

sebab itu, ia akan memudahkan mereka menjalankan urusan penjagaan. 20

8. Keadaan perempuan tidak bersuami.

9. Dapat menjaga kehormatan dirinya. 21

D. Upah Hadhanah

Apabila suami isteri masih terikat dengan tali perkawinan mereka, atau dalam menjalani masa iddah karena ditalak oleh bapak si anak, maka isterinya

18Ali Abdulloh,”Hadhanah”, artikel diakses pada 6 januari 2010 dari http://ali abdulloh.blogspot.com/2010/01/hadhanah/html.

19 Pangerans, ”Pengasuhan Anak Setelah Cerai”, artikel diakses pada 16 januari 2010 dari http://pangerans.multiply.com/journal/item/193/Pengasuhan-Anak-Setelah-Cerai.

20 Mahir Al-Hujjah, ” Hadhanah: Suatu Pengenalan”, artikel diakses pada 3 Januari 2010 dari http://mahir-al-hujjah.blogspot.com/2008/10/hadhanah-suatu-pengenalan.html.

21 Sulaiman Rasjid, Penyunting Li Sufyana, M. Bakri dan Farika, Fiqih Islam, cet. XXVII (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), h. 428


(27)

hanya mendapat nafkahnya sebagai seorang isteri atau nafkah karena menjalani masa ’iddah.22

Firman Allah SWT:

... Artinya:

”Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberikan makanan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik….” (QS. Al-Baqarah: 233)

Apabila ibu telah selesai menjalankan masa ’iddah, ia tidak berhak lagi menerima nafkah dari bekas suaminya, karena itu ia mendapat ongkos susuan dari ayah anaknya.23

Firman Allah SWT:

………

...

Artinya:

”… Kemudian jika mereka menyusukan anak-anakmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya….. (QS. At-Thalaq:6)

22Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 145


(28)

Demikian pula apabila yang melaksanakan pengasuhan itu selain daripada ibu, ia berhak mendapat ongkos hidup anak, karena ia terikat dengan tugas melaksanakan pengasuhan itu. 24

Sedangkan menurut Huzaemah Tahido Yanggo, mengenai upah hadhanah :

a. Hak ibu untuk mendapatkan upah hadhanah.

Jika pengasuh anak itu adalah ibunya anak yang diasuh (ibu kandung) baik dalam konteks hubungan suami istri atau tidak, maka :

1. Jika ia adalah istri bagi ayah anak yang diasuh, maka ia tidak berhak mendapatkan upah. Hal ini sesuai dengan pendapat madzhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i. Alasannya, bahwa istri itu ibu bagi anak yang mesti diasuhnya; ia berkewajiban secara agama atau sebagai konsekuensinya sebagai muslimah untuk melakukan kewajibannya terhadap anak dengan menyusui, dan mengasuh, serta mendidiknya. Dengan syarat, hubungan suami-istri masih berjalan secara baik dan harmonis. Sebab, nafkah untuk dirinya pun menjadi kewajiban suaminya. Baik ia mempunyai anak darinya, atau tidak mempunyai anak.25

2. Dalam keadaan ibu telah ditalak, baik ia masih dalam masa ’iddah dari talak raj’iy (dapat kembali) atau masa ’iddah karena talak ba’in, atau

24Ibid, h. 145

25

Huzaemah Tahido Yanggo, editor Ahmad Zubaidi dan Syaiful Hadi, Fiqih Anak Metode Islam Dalam Mengasuh Dan Mendidik Anak Serta Hukum-Hukum Yang Berkaitan Dengan Aktivitas Anak


(29)

mungkin masa ’iddahnya telah habis. Untuk kasus yang disebut terakhir, maka ketentuannya sebagai berikut :

a) Adapun istri yang sedang mengalami masa ’iddah dari talak raj’iy,

madzhab Hanafi menyamakan antara wanita tersebut dengan wanita yang masih berada dalam naungan hubungan suami-istri. Karena ia wajib mendapatkan nafkah atas suaminya selama masih dalam masa ’iddahnya. Sehingga tidak mungkin ayah dibebani kewajiban memberikan dua macam nafkah. Apalagi jika ternyata ia masih dalam masa ’iddah raj’iy, maka ia masih dalam masa persiapan untuk kembali lagi ke suami, jika suaminya merujuknya tanpa akad baru atau tanpa mahar yang baru.

b) Adapun istri yang sedang melalui masa ’iddah dari talak ba'in,

mereka tidak menetapkan adanya upah hidhanah baginya selama masa ’iddahnya itu. Sebagaimana mereka pun tidak menetapkan upah hidhanah tersebut bagi istri yang sedang melewati masa ’iddah dari talak raj’iy. Sebab mereka mewajibkan atas suami untuk memberinya nafkah dan menyediakan tempat tinggal bagi istri yang sedang ditalak seperti itu. 26

b. Upah pemeliharaan anak oleh selain ibunya.

Pengasuh (hadhinah) itu berhak mendapatkan upah. Hal ini sebagaimana dalam madzhab Maliki dalam sebagian keadaan/konteks

26Ibid, h. 137


(30)

tertentu. Juga itulah pendapat madzhab Syafi’i dan Ibadhiah. Alasannya, bahwa ia berhak mendapatkan balasan atas usahanya untuk berbagai kemaslahatan anak, dan imbalan atas kesungguhannya dalam mengurus segala kebutuhannya, serta ganjaran atas perhatiannya terhadap perikehidupan anak tersebut. 27

E. Yang Berhak Mengasuh Anak

1. Ibu anak tersebut.

2. Nenek dari pihak ibu dan seterusnya ke atas.

3. Nenek dari pihak ayah.

4. Saudara kandung perempuan anak tersebut.

5. Saudara perempuan seibu.

6. Saudara perempuan seayah.

7. Anak perempuan dari saudara perempuan sekandung.

8. Anak perempuan dari saudara perempuan seayah. 28

9. Saudara perempuan ibu yang sekandung dengannya.

10. Saudara perempuan ibu yang seibu dengannya (bibi).

11. Saudara perempuan ibu yang seayah dengannya (bibi).

12. Anak perempuan dari saudara perempuan seayah.

13. Anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung.

14. Anak perempuan dari saudara laki-laki seibu. 29

27Ibid, h. 137

28Muhammad Uwaidah dan Syaikh Kamil Muhammad, Fiqih Wanita. Penerjemah M. Abdul Ghofar, dkk, cet. XIV, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004), h. 456


(31)

15. Anak perempuan dari saudara laki-laki seayah.

16. Saudara perempuan ayah yang sekandung dengannya.

17. Saudara perempuan ayah yang seibu.

18. Saudara perempuan ayah yang seayah.

19. Bibinya ibu dari pihak ibunya. 20. Bibinya ayah dari pihak ibunya. 21. Bibinya ibu dari pihak ayahnya. 22. Bibinya ayah dari pihak ayahnya. 30

No. 19-22 dengan mengutamakan yang sekandung pada masing-masingnya. Jika anak tersebut tidak mempunyai kerabat perempuan dari kalangan mahram diatas, atau ada tapi tidak dapat mengasuhnya, maka pengasuhan anak itu beralih kepada kerabat laki-laki yang masih mahramnya atau memiliki hubungan darah (nasab) dengannya sesuai dengan urutan masing-masing dalam persoalan waris. Dan pengasuhan anak itu beralih kepada :

23. Ayah kandung anak itu.

24. Kakek dari pihak ayah dan terus ke atas. 25. Saudara laki-laki sekandung. 31

26. Saudara laki-laki seayah.

27. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung.

29Ibid, h. 456

30Ibid ,h. 456

31Syaikh Hasan Ayyub, Fiqhul Asrotul Muslimah. Penerjemah M. Abdul Ghofar, dkk, cet. V, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), h. 395


(32)

28. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah.

29. Paman yang sekandung dengan ayah.

30. Paman yang seayah dengan ayah.

31. Pamannya ayah yang sekandung.

32. Pamannya ayah yang seayah dengan ayah. 32

Jika tidak ada seorang pun kerabat dari mahram laki-laki tersebut, atau ada tetapi tidak bisa mengasuh anak, maka hak pengasuhan anak itu beralih kepada mahram-mahramnya yang laki-laki selain kerabat dekat, yaitu :

33. Ayah ibu (kakek).

34. Saudara laki-laki seibu.

35. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu.

36. Paman yang seibu dengan ayah.

37. Paman yang sekandung dengan ibu.

38. Paman yang seayah dengan ibu. 33

32Ibid, h. 395


(33)

BAB III

DESKRIPSI UMUM PENGADILAN AGAMA DEPOK

A. Sekilas Kota Depok

a. Dasar Pembentukan dan Perkembangan Kota Depok

Berdasarkan kajian sejarah, Pemerintahan Kota Depok dikenal dengan sebutan ”Depok” adalah sebagai sebutan terhadap sebuah dusun terpencil yang terletak di tengah hutan belantara. Dalam perkembangan kultur masyarakat tatar sunda sering juga dipergunakan kata ”Padepokan” sebuah tempat terpencil yang dipergunakan untuk melakukan aktivitas/kegiatan yang sifatnya pendalam sebuah ilmu.34

Dalam perkembangannya, pada tanggal 18 mei 1696 seorang Pejabat Tinggi VOC Cornelis Chastelin membeli tanah yang meliputi daerah Depok dan sebagian kecil wilayah Jakarta Selatan serta Ratujaya, Bojong Gede adalah perpaduan kultur sunda dan betawi, yang selanjutnya Tahun 1871 Pemerintahan Belanda mengizinkan daerah Depok membentuk pemerintahan dan presiden sendiri.35

Keputusan tersebut berlaku sampai tahun 1942 dikenal dengan sebutan ”Gomeente Depok” diperintah oleh seorang presiden sebagai Badan Pemerintah Tertinggi di bawah kekuasaannya terdapat kecamatan-kecamatan yang membawahi Mandat (sembilan mandor) dan dibantu oleh para

34

Dokumen Pengadilan AgamaDepok, Selayang Pandang (Depok:Pengadilan Agama,2005), h. 3

35

Ibid, h. 3


(34)

pencalang Polisi Desa serta pemikir atau Menteri Lumbung.36

Daerah teritorial Gemeente Depok meliputi 1.244 Ha., namun pada tahun 1952 dihapus setelah terjadi perjanjian pelepasan hak antara pemerintah RI dan pimpinan Gomeente Depok, tapi tidak termasuk tanah-tanah eigendom dan beberapa hak lainnya.37

Bermula dari sebuah kecamatan yang berada dalam lingkungan Kewedanaan (pembantu bupati) wilayah Parung yang meliputi 21 Desa, dan dalam perkembangan berikutnya pada tahun 1976 perumahan-perumahan mulai dibangun dan berkembang terus yang akhirnya pada tahun 1981 pemerintah membentuk pemerintah Administratif Depok. Peresmian kota Administratif Depok dilaksanakan pada tanggal 18 Maret 1982 oleh Menteri Dalam Negeri dimana saat itu di jabat oleh H. Amir Machmud.38

Selama kurun waktu 17 tahun Kota Administratif Depok mengalami pergantian kepemimpinan dari mulai : wali kota pertama Drs. Moch. Rukasah Suradimadja (alm.) (tahun 1982- 1984), wali kota kedua Drs. H.M.I. Tamji (tahun 1984-1988), wali kota ketiga Drs. H. Abdul Wahyan (tahun 1988-1991), wali kota keempat Drs. H. Moch. Masduki (tahun 1991-1992), wali kota kelima Drs. H. Sofyan Safari Hamim (tahun 1992-1996) dan terakhir dijabat oleh Drs. H. Badrul Kamal (1997-1999) yang pada tanggal 27 April 1999 dilantik menjadi Pejabat Walikotamadya/Kepala

36

Ibid, h. 3

37

Ibid, h. 3

38


(35)

Daerah Tingkat II Depok sekaligus peresmian Kota Depok dan berakhir pada tanggal 15 Maret 2005. Kemudian seiring terjadinya perubahan sistem pemerintahan sentralisasi kepada desentralisasi yang melahirkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dengan perubahan oleh UU No. 32 tahun 2004, maka Kotamadya/Daerah Tingkat II Depok berubah menjadi Kota Depok.39

b. Letak dan Luas Wilayah Pemerintahan Kota Depok serta Kondisi

Demografis.

1. Kondisi Geografis

Secara geografis Kota Depok terletak pada kordinat 6° 19’ 00” - 6° 28’ 00” Lintang Selatan (LS) dan 106° 43’ 00”- 106° 55’ 30” Bujur Timur (BT). Bentang alam Depok dari Selatan ke Utara merupakan daerah dataran rendah perbukitan bergelombang lemah dengan elevasi di atas permukaan laut dan kemiringan lerengnya kurang dari 15 persen.40

Kota Depok sebagai salah satu wilayah termuda di provinsi Jawa Barat, memiliki luas wilayah sekitar 200,29 Km2 dengan mewilayahi 6 kota kecamatan, 63 Kelurahan, 776 Rukun Warga dan 3. 914 Rukun Tetangga. Hampir sebagian besar kelurahan di Kota Depok sudah terklasifikasi, yakni : sebanyak 50 kelurahan berstatus swasembada dan

39

Ibid, h. 4

40


(36)

13 kelurahan lainnya masuk dalam klasifikasi Swakarya.41

Wilayah Kota Depok berbatasan dengan tiga kabupaten dan satu provinsi, yaitu:

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Ciputat Kabupaten

Tanggerang;

- Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pondok Gede, Kota

Bekasi dan Kecamatan Gunung Putri;

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cibinong dan

Kecacamatan Bojong Gede; dan,

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Parung dan

Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor.

Karena sangat rapat dan berbatasan dengan Jakarta sebagai Ibu Kota Negara, maka kemudian Depok mendapat julukan sebagai ”Kota Penyangga dan Pemukiman”. Karena kebanyakan penduduk Kota Depok adalah mereka para pekerja dari Pusat ibu Kota Jakarta.42

2. Kondisi Demografis

Menurut hasil penghitungan proyeksi kependudukan tahun 2001, jumlah penduduk Kota Depok berjumlah 1.204.687 jiwa, dengan perbandingan jenis kelamin yaitu: 609.225 jiwa laki-laki dan 595.462

41

Ibid, h. 5

42


(37)

jiwa perempuan, dengan rasio jenis kelamin 102.43

Dari segi politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan, wilayah ini berbatasan dengan daerah khusus ibu kota Jakarta yang nota bene merupakan pusat kekuasaan, dan pusat perdagangan, di samping merupakan wilayah penyangga perkembangan demografis DKI Jakarta.44

3. Kondisi Sosial Ekonomi

Secara ekonomis Kota Depok memiliki Pendapatan Asli Daerah yang tidak jelek. Penerimaan melalui sektor pajak daerah, Retribusi daerah, Pos bagian BUMD (PDAM), bagi hasil pajak, bagian sumbangan/subsidi, bagian bantuan pembangunan dan pos-pos penerimaan lainnya yang mencapai Rp 33.462.077.000.00 menjadikan Kota Depok diperhitungkan para investor.45

Sebagian besar mata pencaharian penduduk berada pada sektor perdagangan dan jasa, yaitu 126.616 orang (35,42%), sektor pemerintahan/Pegawai Negeri (Sipil/ABRI) yaitu 82.237 orang (23,02%), sektor pertanian 24.468 orang (6,85%), sektor pengrajin 2.267 orang (0,63%), pengusaha 657 orang (0,18%) dan lain-lain 121.207

43

Ibid, h. 6

44

Ibid, h. 6

45


(38)

orang (33,9%)..46

4. Kondisi sosial Budaya/Pendidikan

Sebagai kota penyangga yang prospektif Depok telah menyiapkan lembaga-lembaga yang menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang baik untuk menghadapi persaingan global yang semakin lama semakin menuntut perbaikan di masa mendatang. Fasilitas pendidikan yang dimiliki Kota Depok adalah sebagai berikut :

Fasilitas Sekolah/Pendidikan

No. Jenis Sekolah/Pendidikan Jumlah

1 Taman Kanak-kanak/RA 17 buah

2 SD/Madrasah Ibtidaiyyah 442 buah

3 SMP/MTSN 194 buah

4 SMU/MA 91 buah

5 Perguruan Tinggi 9 buah

6 SLB 4 buah

Sumber Data : BPS Kota Depok Tahun 2001 Fasilitas Kesehatan

No Fasilitas Kesehatan Jumlah

1 Rumah Sakit Umum 4 buah

2 Puskesmas 24 buah

3 Pos Yandu 637 buah

4 Klinik KB 176 buah

5 Apotik 77 buah

Sumber Data : BPS Kota Depok Tahun 200147

46


(39)

5. Kondisi Sosial Keagamaan.

Depok yang memiliki akar sejarah panjang dalam hal pembinaan keagamaan, pada perencanaan pembangunan Depok Modern telah memposisikan tempat-tempat ibadah sebagai salah satu media meningkatkan derajat keimanan dan ketakwaan masyarakat di Kota Depok.48

Kondisi seperti ini telah menempatkan Kota Depok sebagai kota religius yang memegang teguh asas saling menghormati antar umat beragama dan menjunjung tinggi perbedaan dan toleransi.49

Secara spesifik, bagi umat Islam dari 6 kecamatan yang ada telah memiliki TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) sebanyak 582 buah dengan jumlah murid 23.284 orang serta 1.023 guru/pengajar.50

B. Pengadilan Agama Depok

a. Dasar Pembentukan dan Yuridiksi.

1. Dasar Pembentukan

Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan Kota Depok yang berawal dari suatu wilayah Kecamatan Depok berkembang menjadi sebuah Kota Administratif sebagai bagian dari kabupaten Bogor kemudian menjadi Kota Madya, yang pada saat ini menjadi sebuah

47

Ibid, h. 8

48

Ibid, h. 9

49

Ibid, h. 9

50


(40)

pemerintahan Kota Depok dibentuk pula Pengadilan Agama (PA) Depok berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2002 tanggal 28 Agustus 2002. Pembentukan PA Depok ini bersamaan dengan dibentuknya 11 PA lainnya sesuai KEPRES dimaksud yaitu PA Muara Tebo, PA Sengeti, PA Gunung Sugih, PA Blambangan Umpa, PA Cilegon, PA Bontang, PA Sangatta, PA Buol, PA Bungku, PA Banggai, dan PA Tilamuta. PA Depok yang peresmian operasional oleh Walikota Depok dilaksanakan pada tanggal 25 Juni 2003 di Balai Kota Depok mulai menjalankan fungsi peradilan sejak 1 Juli 2003, Di samping dasar pembentukan dan dasar operasional sebagaimana tersebut di atas, yang menjadi dasar pertimbangan perlunya dibentuk PA Depok adalah antara lain :51

a. Depok telah menjadi sebuah pemerintahan kota, yang berdiri

sendiri lepas dari Pemerintah kabupaten Bogor yang perlu dibentuk sebuah Pengadilan Agama sesuai pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989.

b. Perkara-perkara yang harus diselesaikan oleh PA Cibinong, 55%

berasal dari penduduk yang berdomisili di Depok, sesuai hasil studi kelayakan.

c. Untuk melaksanakan asas cepat dalam penyelesaian perkara,

51


(41)

karena pemerintah kota Depok harus menuju ke PA Cibinong.52 2. Yuridiksi

Daerah hukum PA Depok adalah meliputi wilayah Pemerintahan Kota Depok, sesuai dengan pasal 4 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 yang dalam Keputusan Presiden RI Nomor 62 tahun 2002 pasal 2 ayat (5) disebutkan bahwa ”Daerah hukum Pengadilan Agama Depok meliputi wilayah pemerintahan Kota Depok Propinsi Jawa Barat”. Yang pada saat ini wilayah yuridiksinya sebagaimana yang telah disebutkan di atas.53

b. Struktur Organisasi dan Uraian Tugas

Pengadilan Agama Depok merupakan PA kelas II, karena ia baru dibentuk, yang saat ini dipimpin oleh seorang Ketua (Drs. Kurtubi Kosim, SH, M. Hum) dan seorang wakil Ketua (H. Asril Nasional, SH, M. Hum).

Adapun struktur organisasi PA Depok, sebagai berikut:

1. Pimpinan : Ketua dan Wakil Ketua

2. Tenaga fungsional : Para Hakim 3. Kepaniteraan/Keseketariatan :

a. Panitera Sekretaris dibantu oleh : Wakil Panitera, Panitera Muda Permohonan, Panitera Gugatan, dan Panitera Hukum serta beberapa orang Panitera Pengganti dan Jurusita Pengganti.54

b. Sekretaris dibantu oleh : Wakil Sekretaris yang dilengkapi dengan :

52

Ibid, h. 11

53

Ibid, h. 11

54


(42)

Kepala Urusan Kepegawaian, Kepala Urusan Keuangan, dan Kepala

Urusan Umum.55

c. Gedung/Kantor dan Perlengkapannya.

1. Tanah dan Gedung.

Pengadilan Agama Depok yang baru dibentuk pada tahun 2002 dan diresmikan operasionalnya pada bulan Juni 2003, saat ini belum memiliki gedung sendiri, untuk sementara kegiatan dan pelaksanaan tugas dan fungsinya menempati sebuah bangunan dengan status mengontrak, terletak di Jalan Bahagia Raya Nomor 11 Rt 04/08 Kelurahan Abadijaya, Kecamatan Sukmajaya, Depok Timur, Kota Depok. Namun demikian, untuk selanjutnya, PA Depok akan menempati sebuah bangunan gedung yang didirikan di atas sebidang

tanah hasil pemberian dari Pemerintah Kota Depok seluas 636 M2.

Kantor yang sedang dibangun ini terletak di pusat perkantoran Kota Depok berdekatan dengan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Depok. Pemberian tanah dari Pemerintah Kota Depok tersebut, dikarenakan Pemerintah Kota sangat meyambut baik kehadiran lembaga penegakan hukum di kotanya, hal ini juga terlihat bagaimana ketika Pemerintah Kota Depok menerima kehadiran Tim study kelayakan untuk pendirian PA Depok.56

55

Ibid, h. 12

56


(43)

Pada tahun 2000 Pemerintah Kota menjanjikan pemberian sebidang tanah dan menunjukkan lokasi yang akan ditempatkan kantor/gedung PA Depok (langsung di lapangan). Tanah yang ada saat ini, untuk ukuran PA kelas II luasnya belum sesuai dengan standar tanah

yang ditetapkan yaitu 1600 M2. Sedangkan pembangunan gedungnya

masih dalam proses, karena baru diselesaikan tahap I berupa Fondasi dan tiang pancang. Luas bangunan gedung tersebut, adalah 213 M2. dengan bertolak dari standarisasi, maka luas bangunan tersebut juga belum memenuhi standar untuk PA kelas II.

Pada tahun 2005 pembangunan dimaksud dilanjutkan pada tahap II dengan dana yang sudah dialokasikan sebesar Rp. 325.000.000,-57

2. Perlengkapan Lainnya

Di samping tanah dan gedung, PA Depok juga dilengkapi dengan sarana lainnya berupa alat transportasi, informasi komunikasi, alat tulis kantor, meubelair, dan brankas serta perlengkapan lainnya, antara lain berupa:

- Kendaraan roda 4 sebanyak 2 (dua) buah, berasal dari swadaya 1

(satu) buah dan hibah/pemberian dari Wali Kota Depok 1 (satu) buah.

- Kendaraan roda 2 sebanyak 1 (satu) buah berasal dari Depag Pusat. - Komputer 6 unit dan printer 3 unit.

57


(44)

- Pesawat Telepon/Faksimili 1 unit berikut sambungan/ lainnya. - Pesawat Televisi 1 buah.58

d. Keuangan

Tahun anggaran 2004 dan 2005 PA Depok mendapatkan dana dari Daftar Isian Kegiatan (DIK) dan Daftar Isian Proyek (DIP), sebagai berikut : Tahun 2004 : DIK sebesar : Rp 306.645.000,00

DIP sebesar : Rp 298.200.000,00 Tahun 2005 : DIK sebesar Rp 352.000.000,00

DIP sebesar Rp 332.961.000,00

Adapun sumber dana untuk tahun anggaran 2005 tersebut di atas, saat ini sebenarnya tidak dikenal lagi pembedaan antara DIK dan DIP, namun penyajiannya sedemikian rupa untuk memudahkan perbandingan besaran anggaran semata. Jika diperhatikan angka besaran dana secara keseluruhan antara tahun 2004 dengan 2005, maka dapat dilihat bahwa PA Depok mendapat kenaikan/tambahan anggaran/dana sebesar Rp. 80.116.000 atau sebesar 13,24% adapun kenaikan dana yang bersumber dari DIK sebesar Rp. 45.355.000 (14,79) sedangkan yang dari DIP sebesar Rp. 34.761.000 (11,65%).59

e. Ketenagaan

58

Ibid, h. 13

59


(45)

Tenaga pelaksana sebagai roda penggerak organisasi PA Depok yang pada tahun 2005 berjumlah 34 orang terdiri atas 3 status kepegawaian, yaitu pejabat fungsional, pejabat struktural dan karyawan non jabatan. Sedangkan pada tahun 2003 berjumlah 20 orang. Pada tahun 2004 PA Depok mendapat tambahan 13 orang pegawai yang terdiri 1 orang laki dan 12 orang Calon Pegawai Negeri Sipil. Untuk tahun 2005 mendapat tambahan 1 (satu) orang panitera pengganti yang didapat dari PA Jakarta timur. Rincian pegawai jika digolongkan menurut jabatan, jenis kelamin, pangkat/golongan, pendidikan akhir dan usia akhir tergambar sebagai berikut:

1. Jabatan

- Hakim berjumlah 9 (sembilan) orang yang terdiri dari 7 (tujuh) orang laki dan 2 (dua) orang perempuan.

- Panitera berjumlah 1 (satu) orang dan Panitera Pengganti berjumlah 6 (enam) orang. Panitera pengganti yang tidak merangkap sebagai pejabat struktural hanya 2 (dua) orang, sedangkan 4 (empat) orang lainnya merangkap sebagai pejabat struktural kepaniteraan.

- Juru sita pengganti berjumlah 6 (enam) orang. Juru sita tersebut

merangkap jabatan kesekretariatan 4 (empat) orang, dan hanya 2 (dua) orang yang tidak merangkap, ini pun baru diangkat pada tahun 2004.

- Panitera pengganti dan juru sita pengganti masing-masing dijabat oleh 1 (satu) orang wanita. Jika pada jabatan fungsional baik panitera pengganti maupun juru sita pengganti yang kini merangkap jabatan


(46)

struktural berarti PA Depok masih kurang tenaga pejabat fungsionalnya. Untuk itu perlu mendapat tambahan pegawai baru. - Pejabat struktural. Seluruh jabatan struktural pada tahun 2005 baik

kepaniteraan maupun kesekretariatan seluruhnya telah terisi sejak tahun 2003, kecuali Kepala Urusan Umum yang diisi/dilantik dalam jabatan pada tahun 2004. Seluruh jabatan struktural PA Depok dijabat (secara kebetulan) oleh mereka yang berjenis kelamin laki-laki.

- Karyawan lainnya. Karyawan PA Depok yang non jabatan/staf

berjumlah 14 (empat belas) orang dengan rincian 11 (sebelas) orang bertugas di PA Depok (riil) sedangkan 3 (tiga) orang lainnya dititipkan pada PA Bogor dan PA Cibinong oleh Pengadilan Tinggi Agama Bandung. Karena volume dan frekwensi pekerjaan pada PA Depok cukup tinggi yang menerima perkara mencapai 926 pada tahun 2003 dan 885 pada tahun 2004 maka sudah seharusnya 3 orang pegawai yang dititipkan tersebut, ditugaskan langsung pada PA Depok sebelum ada penambahan pegawai yang masih sangat dibutuhkan.60

2. Jenis Kelamin

Dari 34 (tiga puluh empat) orang pegawai PA Depok, 26 (dua puluh enam) orang atau 76,47% berjenis kelamin laki-laki dan 8 (delapan) orang atau 23,53% dari jabatan baik struktural maupun

60


(47)

fungsional di PA Depok yang ada kebanyakan dijabat oleh karyawan laki-laki, bahkan seluruh jabatan struktural pejabatnya adalah laki-laki semua, kecuali hanya ada 2 (dua) orang kelamin wanita, 1 (satu) orang juru sita pengganti.61

3. Golongan

Tenaga pada PA Depok kesemuanya tidak ada yang mempunyai golongan 1, mereka berpangkat/golongan II, III dan bahkan 4 orang bergolongan IV dengan rincian sebagai berikut:

Pegawai golongan II/a sebanyak 6 orang, Pegawai golongan II/d sebanyak 1 orang, Pegawai golongan III/a sebanyak 9 orang, Pegawai golongan III/b sebanyak 6 orang,

Pegawai golongan III/e dan III/d masing-masing sebanyak 4 orang, Pegawai golongan IV/a sebanyak 3 orang,

Pegawai golongan IV/b sebanyak 1 orang.

Dari 9 (sembilan) orang hakim yang ada kesemuanya berpangkat/golongan Hakim Pratama Madya/piñata (III/c) ke atas dengan rincian:

Hakim Pratama Madya (III/c) 2 orang, Hakim Pratama Utama (III/d) 3 orang, Hakim Madya Pratama (IV/a) 3 orang,

61


(48)

Hakim Madya Muda (IV/b) 1 orang.

Hal ini berarti 45% dari jumlah 9 orang hakim di PA Depok berada pada ruang lingkup golongan IV.62

4. Pendidikan Akhir

Semua karyawan PA Depok berada pada tahap atas, hal ini dikarenakan 20 orang karyawan berpendidikan S1 bahkan 6 orang karyawan sudah menyandang gelar Master (S2). Dengan kata lain 76,47% berpendidikan tinggi, dan selebihnya hanya 8 (delapan) orang yang berijazah SLTA atau hanya 23,53% saja yang belum sarjana. Dari 26 orang karyawan yang berpendidikan Strata-1 (S1) 17 orang berasal dari Fakultas Syari’ah, sedangkan 9 (sembilan) orang lainnya berasal dari Fakultas Hukum. Di samping itu ada juga 3 orang yang mempunyai gelar dari Fakultas Syari’ah dan Fakultas Hukum. Bahkan 2 (dua) orang hakimnya sedang menempuh pendidikan S3 pada UIN Syahid Jakarta dan IAIN Bandung.63

5. Perkara

PA Depok yang dibentuk sejak tanggal 28 Agustus 2002 berdasarkan Kepres No. 62 Tahun 2002 dan beroperasi sejak tanggal 1 Juli 2003 termasuk PA kelas II yang tinggi jumlah perkaranya. Hal ini terlihat bahwa untuk 6 (enam) bulan pertama saja yaitu bulan Juli s/d

62

Ibid, h. 16

63


(49)

Desember 2003 menerima sejumlah 410 perkara, dan tahun 2004 sejumlah 926 perkara. Sedangkan untuk tahun 2005 yaitu bulan Januari dan Februari atau selama 2 (dua) bulan berjumlah 176 perkara. Jika kurun waktu 20 bulan berjumlah 1.512 perkara. Bila diambil angka rata-rata, maka PA Depok menerima 75 buah perkara lebih tiap bulannya. Dari jumlah perkara sebanyak 1.512 itu yang diterima hanya 2 (dua) perkara saja yang merupakan perkara waris, sedangkan yang 1.510 perkara (99,86%) adalah perkara perkawinan dengan rincian jenisnya adalah:64

No Tahun Jenis Cerai

Gugat

Jenis Cerai Talak

Ket

1 2003 254 143 6 bulan

2 2004 594 301 1 tahun

3 2005 59 27 2 bulan

Jumlah 907 471 20 bulan

6. Tata Persuratan

Disamping data perkara baik yang diterima, diputus atau perkara yang dilakukan/mendapat upaya hukum sebagai salah satu indikator sinergi Pengadilan Agama Depok, data aktifitas persuratan juga merupakan hal yang dapat menunjukkan sinergi yang dimaksud. Hanya saja, pemaparan pengelolaan tata persuratan yang kami sajikan dibatasi

64


(50)

untuk masa yang berjalan penuh 1 (satu) tahun, yaitu tahun anggaran 2004, mulai bulan Januari sampai dengan bulan Desember. Jumlah surat yang diterbitkan PA Depok sebanyak 821 buah dengan 14 tujuan instansi berbeda, sedangkan jumlah surat yang masuk/diterima oleh PA Depok sebanyak 1.135 buah surat dari 13 jenis instansi yang mengirim. Baik surat yang keluar atau pun yang masuk yang terbanyak adalah yang ditujukan atau yang diterima dari instansi lingkungan peradilan agama.

Dari gambaran pengelolaan data persuratan tersebut diatas terlihat bahwa PA Depok termasuk PA kelas II yang aktifitas administrasinya cukup tinggi.65

C. Hubungan Kerja dengan Intansi Terkait

a. Pemerintah Kota Depok

Keberadaan pengadilan agama mempunyai peranan yang cukup strategis dalam pelayanan bidang hukum khususnya bagi umat Islam masyarakat Kota Depok, yang sebelumnya masyarakat menyelesaikan perkara di Pengadilan Agama Cibinong Kabupaten Bogor.66

Pemerintah Kota Depok sebagai penyelenggara pemerintahan umum dan pelaksana pembangunan, dengan fungsi sebagai administrator pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan, terutama dalam bidang pelayanan umum. Keberadaan Pengadilan Agama Depok sebagai pelaksana

65

Ibid, h. 21

66


(51)

kekuasaan kehakiman bagi masyarakat pencari keadilan yang beragama Islam memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya meningkatkan mutu dan produktifitas pelaksanaan tugas dan fungsi instansi sebagai pelayanan bidang hukum bagi masyarakat.67

Perhatian Pemerintah Kota Depok terhadap tugas dan fungsi Pengadilan Agama Depok sangat besar sekali, hal ini dibuktikan dengan bantuan kendaraan operasional roda empat, sarana, dan prasarana, serta pembangunan gedung kantor Pengadilan Agama.68

b. Departemen agama

Keberadaan Departemen Agama Kota Depok bagi Pengadilan Agama Depok tetap memiliki peranan yang sangat penting. Departemen Agama salah satu pelaksana tugas pemerintah bidang keagamaan khususnya bidang perkawinan, perwakafan, dan sebagainya.

Pengadilan Agama Depok sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi masyarakat pencari keadilan dalam bidang sengketa perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, serta wakaf, dan shadaqah. Dengan demikian hubungan kordinasi dengan kedua instansi tersebut tetap berjalan dengan baik.69

67

Ibid, h. 22

68

Ibid, h. 22

69


(52)

BAB IV

PERTIMBANGAN HUKUM MAJELIS HAKIM

TERHADAP HAK HADHANAH PADA IBU WANITA KARIR

A. Perkara

N

omor : 458/Pdt.G/2006/Pengadilan Agama Depok.

Pokok persoalan yang terjadi dapat diuraikan sebagai berikut :

Ir. Rini Prima Utari Samil Binti Gusti Samil, umur 34 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah Tangga, bertempat tinggal di Jalan Karya Bakti Nomor 31 Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Beji Kota Depok; dalam hal ini berdasarkan kekuatan surat kuasa khusus tertanggal 06 Juni 2006 diwakili oleh kuasanya A Putra Mijaya, SH, LL.M, Tabrani Abby, SH, M. Hum, Syarifuddin Yusuf, SH, Robi A. Marpaung, SH, Yasmin Purba, SH, Jaime Angelique, SH, Romi Leo Rinaldo, SH, semua Advokat dan Penasihat Hukum ”Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Indonesia Legal Aid Foundation yang beralamat di jalan Diponegoro Jakarta Pusat, yang bersangkutan adalah sebagai Penggugat.

Sedangkan Ir. Luthfy Bulaga Hutagalung Bin Drs. H. Yusuf Hutagalung, umur 39 tahun, agama Islam, pekerjaan wiraswasta, bertempat tinggal di jalan Sungai Pawan nomor 4 Rt.05/07 Kramat Pela Kb. Baru Jakarta Selatan, yang bersangkutan adalah sebagai Tergugat.

Tentang duduk perkaranya dapat diajukan sebagai berikut:

1. Bahwa Penggugat dan Tergugat yang melangsungkan pernikahan pada

tanggal 5 Oktober 1996 bertepatan pada tanggal 29 Jumadil Awal 1417, yang dicatatkan pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Beji Kota Depok,


(53)

sesuai dengan kutipan akta nikah nomor 358/23/1996 tanggal 5 Oktober 1996.

2. Bahwa Penggugat dan Tergugat sebagai suami isteri telah memilih tempat

kediaman bersama yang terakhir di Jalan Taruna Jaya No. 31 Rt.04 Rw.13 Kelurahan Cibubur Kecamatan Ciracas Jakarta.

3. Bahwa Penggugat dan Tergugat telah dikaruniai 2 (dua) orang anak yang

bernama :

Anggraita Maurizqa, umur 9 tahun Ahmad Thoriq Arif, umur 3 tahun

4. Bahwa sampai saat ini umur perkawinan Penggugat dan Tergugat sudah

berumur 9 (sembilan) tahun 8 (delapan) bulan.

5. Bahwa pada awal pernikahan, Penggugat dan Tergugat tinggal bergantian,

2 (dua) minggu di Kebayoran (tempat mertua Penggugat) dan 2 (dua) minggu berikutnya di Depok. Kemudian Penggugat dan Tergugat pindah ke daerah Pasar Minggu (Rawa Bambu, seberang Poltangan) ketika Penggugat sedang hamil anak yang pertama.

6. Bahwa rumah tersebut adalah milik mertua Penggugat yang sengaja

dibangun untuk diberikan kepada ipar-ipar perempuan Penggugat. Ketika itu sebidang tanah dibangun menjadi 3 (tiga) kavling. Sehingga Penggugat dan Tergugat tinggal di rumah adik Tergugat.

7. Bahwa ketika anak Penggugat dan Tergugat berumur sekitar 3 (tiga) atau 4

(empat) tahun, mertua Penggugat menawarkan rumah untuk Penggugat dan Tergugat yang baru saja habis masa kontraknya, di daerah Cibubur.


(54)

8. Bahwa pada awal-awal pernikahan Penggugat dan Tergugat, ketika tinggal di Pasar Minggu, Tergugat beserta teman-temannya bekerja di perusahaan kontraktor, namun Tergugat tidak ikut menanam modal disana. Lalu kemudian Tergugat keluar.

9. Bahwa ketika tinggal di Cibubur Tergugat membuka usaha sendiri yaitu jual

beli mobil bekas yang modalnya didapat dari Mertua Penggugat. Karena kurang berhasil, maka kemudian Tergugat mengganti usahanya berupa membuat arang batok untuk dipasarkan ke restoran-restoran sekitar Cibubur dan usaha ini juga tidak berhasil.

10. Bahwa selanjutnya Tergugat membuka usaha Susu KPBS. Untuk itu pada

awalnya lumayan maju. Dengan memiliki 6 (enam) sampai 7 (tujuh) orang pegawai yang tinggal di paviliun rumah. Namun lama-kelamaan usaha ini pun menurun ditambah dengan adanya hutang kepada pihak distributor. Sampai akhirnya pegawai Tergugat tinggal 1 (satu) orang saja. Itupun setelah tutup Tergugat masih memiliki hutang yang dicicil ke pihak distributor.

11. Bahwa Tergugat tidak pernah membuat lamaran kerja ke perusahaan

manapun karena Tergugat berprinsip tidak mau bekerja dibawah orang lain. Namun pernah sekali Penggugat membuat lamaran kerja dan Penggugat serahkan kepada teman Penggugat yang bekerja di Sinar Mas BII (valas) sewaktu Tergugat tidak ada pekerjaan. Dan Tergugat hanya bertahan 3 (tiga) hari saja dengan alasan Tergugat tidak bisa bekerja dibelakang meja apalagi ruangan ber AC.


(55)

12. Bahwa sementara Penggugat bekerja di Yayasan Sosial yang bergerak di bidang pemberian beasiswa bagi anak-anak tidak mampu sejak tahun 1998.

13. Bahwa sewaktu Penggugat mengandung anak kedua (memasuki bulan ke-2

usia kandungan), Tergugat mengalami serangan jantung di rumah. Ketika itu Penggugat sedang bekerja dan Tergugat di rumah bersama anak Penggugat dan Tergugat yang besar. Ketika itu Tergugat sedang tidak bekerja.

14. Bahwa akibat serangan jantung tersebut Tergugat dirawat di Rumah Sakit

Fatmawati selama sekitar 5 hari di ruang ICU dan sekitar 5 hari di kamar RS. Ternyata menurut analisa dokter penyakit jantung koroner tersebut adalah penyakit turunan dari ayah Tergugat yang juga berpenyakit yang sama.

15. Bahwa sekitar 5 bulan berikutnya ia terkena lagi penyakit batu di ginjal.

16. Bahwa Tergugat adalah orang yang kaku dan sangat tidak romantis. Selama

perkawinan Tergugat tidak pernah mengajak Tergugat nonton berdua di bioskop, walaupun Penggugat yang membayar.

17. Bahwa ketika anak kedua Tergugat dan Penggugat lahir, Tergugat tidak

mendampingi Penggugat dengan alasan bahwa sudah ada orang tua Penggugat yang menemani

18. Bahwa lambat laun kehidupan rumah tangga Penggugat sering diwarnai

ketegangan karena ternyata semakin lama Penggugat dan Tergugat menemukan banyak perbedaan prinsip dan cara pandangan kedepan mengenai hidup berumah tangga.


(56)

bukanlah isteri yang baik bagi Tergugat. Sampai-sampai orang tua Penggugat selalu turun tangan untuk mendamaikan.

20. Bahwa perlu diketahui sampai saat ini Penggugat masih dibantu orang tua

dalam mencukupi rumah tangga. Misalnya televisi adalah kepunyaan Penggugat semasa gadis, begitu juga dengan tape, radio hingga lemari pakaian. Begitu pula dengan barang-barang lainnya adalah merupakan pemberian orang tua Penggugat, seperti Kulkas, Mesin Cuci, Kompor Gas, VCD, DVD, Oven, Microwave, AC sampai jemuran pakaian dan singkatnya hampir seluruh isi rumah tersebut orang tua Penggugat yang melengkapinya.

21. Bahwa sebenarnya hubungan antara orang tua Penggugat dengan Tergugat

kurang harmonis. Hal ini dikarenakan Tergugat dan keluarganya kurang senang dengan adanya perbedaan agama didalam keluarga Penggugat.

22. Bahwa orang tua perempuan Penggugat beragama Protestan dan ayah

Penggugat beragama Islam.

23. Bahwa Tergugat tidak pernah mau untuk bersilahturahmi kepada keluarga

besar Penggugat dengan alasan takut terpengaruh dan akan berdampak negatif pada anak-anak. Namun dilain pihak, Penggugat harus mau menjalin hubungan kepada keluarga besar Tergugat.

24. Bahwa sejak berumah tangga, baru setahun belakangan ini Penggugat

dibolehkan bertemu dengan sepupu, sanak saudara Penggugat. Setelah apa yang menjadi alasan Tergugat ternyata tidak benar.

25. Bahwa hubungan Penggugat dengan kedua mertua pun sebenarnya tidak


(57)

bermantukan Penggugat. Penggugat memanggil mereka ’namboru’ untuk mertua perempuan, dan ’amangboru’ untuk mertua lelaki. Yang dapat diartikan ’ibu mertua/tante’ dan ‘bapak mertua/oma’. Tidak seperti Tergugat memanggil mereka dengan sebutan; mama dan papa. Padahal kepada orang tua Penggugat, Tergugat memanggil mami dan papi seperti layaknya Penggugat. Saat mengetahui bahwa anak pertama adalah perempuan, mertua Penggugat kurang suka. Terbukti, pada saat itu mereka tidak mau menggendong anak tersebut. Baru lama-kelamaan mereka mulai bisa menerimanya.

26. Bahwa ketidak harmonisan rumah tangga Penggugat di mulai sejak Tergugat

dalam tiga bulan terakhir, Mulai Februari, Maret, April 2006, tidak menerima gaji tepat pada waktunya dari perusahaan pabrik steel-hardchrom, tempat Tergugat bekerja selama hampir 2 (dua) tahun. Dikarenakan pabrik tersebut sudah kesulitan membayar upah pegawai, yang mengakibatkan Tergugat baru menerima gaji pada minggu kedua bahkan pernah pula pada minggu ketiga, itupun cash bon terlebih dahulu sebesar sepertiga bagian dari upahnya perbulan. Walaupun pada akhir bulan atau pernah juga di bulan berikutnya akhirnya dilunasi.

27. Bahwa di bulan Februari 2006 Penggugat mendapat tawaran pekerjaan

tambahan sebagai event organizer untuk mengkoordinir artis yang menghibur di Hotel Anggrek di daerah Slipi Tomang.

28. Bahwa pekerjaan Penggugat sebagai koordinator artis adalah menyusun


(58)

memberikan honor untuk artis pengisi suara perharinya, mengatur fasilitas serta konsumsi artis pengisi acara, mengatur keuangan dan laporan, mengatur kegiatan rapat dengan pejabat hotel, sampai mengurus transportasi bagi pegawai manajemen.

29. Bahwa pada awalnya Tergugat mendukung pekerjaan sampingan Penggugat

tersebut. Malah Tergugat mengajarkan Penggugat bagaimana cara memimpin dan duduk di dalam suatu keorganisasian.

30. Bahwa sejak tanggal 01 Mei 2006, ternyata Tergugat baru tahu bahwa

pekerjaan di bidang hiburan musik baru dimulai pada pukul 20.00 WIB, sehingga Tergugat keberatan atas pekerjaan Penggugat.

31. Bahwa Penggugat baru berangkat bekerja sekitar pukul 15.00 Wib setelah

menyelesaikan segala pekerjaan rumah sebagai layaknya ibu rumah tangga.

32. Bahwa pekerjaan Penggugat selesai pukul 21.00 WIB, namun apabila ada

pekerjaan mendadak seperti dengan pihak manajemen Hotel, Penggugat baru dapat pulang diatas pukul 22.00 WIB, dikarenakan jarak tempat kerja dengan rumah Penggugat cukup jauh. Dan ketika pulang Penggugat tetap mengerjakan rumah seperti mencuci piring kotor dan berbenah.

33. Bahwa pada hari Rabu tanggal 03 Mei 2006 ketika Penggugat pulang

bekerja, yang saat itu pukul 01.00 dini hari, Penggugat diantar oleh manager dan isterinya. Ketika isteri manager hendak berpamitan dan menjelaskan mengenai keterlambatan kepulangan Penggugat, Tergugat tidak berkenan menemui manager dan isterinya bahkan pintu kamar dikunci dari dalam sehingga Penggugat tidak bisa masuk. Padahal biasanya Tergugat paling


(59)

marah apabila kamar dikunci sebelum semua masuk kamar (Penggugat tidur beramai-ramai dengan Tergugat dan anak-anak).

34. Bahwa pada Jum’at tanggal 05 Mei 2006, ketika Penggugat sampai di rumah

sekitar pukul 22.15 WIB, pagar rumah sudah digembok, pintu rumah dikunci dan digerendel dari dalam sehingga walaupun Penggugat memiliki kunci rumah, Penggugat tetap tidak bisa masuk. Dan ketika itu Penggugat pulang bersama dengan sepupu perempuan Tergugat yang tinggal bersebelahan dengan rumah Penggugat. Sepupu Tergugat juga bekerja di tempat Penggugat bekerja.

35. Bahwa ketika Penggugat membunyikan bel ternyata kabel bel rumah

dicabut, begitu juga kabel rumah. Dan ketika Penggugat berusaha menghubungi lewat ponsel Tergugat ternyata tidak diaktifkan. Akhirnya setelah mengetuk pintu rumah selama hampir setengah jam dan tidak dibuka juga, maka Penggugat bersama sepupu Tergugat berinisiatif untuk jalan kebelakang rumah dan mencoba membangunkan Tergugat dari belakang rumah, barulah Tergugat membuka pintu rumah.

36. Bahwa puncaknya adalah pada hari selasa, 09 Mei 2006, seperti biasa setiap hari Selasa dan Kamis Penggugat bekerja di Yayasan beasiswa di Jalan Tanjung. Dan setiap hari Selasa orang tua Penggugat menemani anak-anak Penggugat di rumah di Cibubur sampai Penggugat dan Tergugat pulang.

37. Bahwa biasanya Tergugat sudah sampai di rumah sekitar pukul 18.00 dan

seperti biasa setelah ada yang ganti menjaga anak-anak, orang tua Penggugat pulang ke rumahnya di Depok.


(60)

38. Bahwa Penggugat pulang kerja, sekitar pukul 19.00 WIB. Penggugat bilang ke orang tua Penggugat bahwa Penggugat akan mampir dulu ke hotel untuk memberikan pembayaran kepada personil band yang hari itu mengisi acara. Dan Penggugat tidak mengatakan kepada orang tua Penggugat bahwa Penggugat pulang sekitar pukul 21.00 WIB, orang tua Penggugat langsung menyetujui. Namun sekitar pukul 20.30 WIB orang tua Penggugat kembali menelepon Penggugat sambil marah-marah bahwa beliau tidak bisa pulang karena Penggugat dan Tergugat belum ada yang sampai rumah. Penggugat kaget, karena biasanya pukul 18.00 WIB Tergugat sudah sampai rumah. Akhirnya Penggugat buru-buru pulang.

39. Bahwa Penggugat sampai di rumah sekitar pukul 21.20 WIB. Penggugat

melihat Tergugat juga baru pulang. Penggugat kemudian duduk. Namun ternyata Tergugat bersama orang tua Penggugat memarahi dan sambil memukuli Penggugat.

40. Bahwa Penggugat bertanya-tanya kenapa Penggugat dipukul, karena

sebelumnya pada pukul 19.00 WIB Penggugat sudah memberitahukan lewat ponsel kepada orang tua Penggugat bahwa akan pulang pukul 21.00 WIB. Orang tua Penggugat terus marah-marah sambil kemudian menampar kedua pipi Penggugat dan kedua tangannya.

41. Bahwa ketika itu Tergugat memandangi Penggugat yang sedang dipukuli

oleh orang tua Penggugat dengan tersenyum. Bahkan Tergugat melarang Penggugat untuk bicara guna menjelaskan permasalahan yang sebenarnya mengapa Penggugat terlambat pulang. Bahkan Tergugat ikut memukuli


(61)

muka Penggugat secara terus menerus. Karena tidak diberi kesempatan untuk membela diri, akhirnya Penggugat berteriak sejadi-jadinya. Pemukulan itu berhenti saat telepon rumah berbunyi. Kesempatan ini dipergunakan oleh Penggugat untuk menghindar. Namun Penggugat dikejar dan kembali dipojokkan untuk duduk di kursi dekat telepon sambil tangan serta kaki Tergugat menahan dada Penggugat sehingga Penggugat tidak bisa bergerak. Dan kemudian Penggugat kembali dipukul secara bertubi-tubi oleh orang tua Penggugat dan Tergugat.

B. Pertimbangan Hukum

Pertimbangan yang dijadikan dasar hukum terhadap Perkara

N

omor :

458/Pdt.G/2006/Pengadilan Agama Depok adalah sebagai berikut :

1. Berdasarkan pengakuan Tergugat dan dari Kutipan Akta Nikah No.

358/23/1996, tanggal 5 Oktober 1996 dinyatakan terbukti bahwa Penggugat dan Tergugat telah terikat dalam suatu ikatan perkawinan yang sah.

2. Dari jawaban dan duplik Tergugat dalam hubungannya dengan dalil-dalil

gugatan dan replik Penggugat ternyata tidak saling dibantah oleh kedua belah pihak, dinyatakan terbukti dalam berumah tangga antara Penggugat dan Tergugat telah terjadi perselisihan dan pertengkaran.

3. Berdasarkan keterangan saksi-saksi Irwan dan Maryam dibawah sumpah

masing-masing, ternyata pihak keluarga telah berusaha mendamaikan Penggugat dan Tergugat agar rukun kembali dalam berumah tangga, tetapi tidak berhasil.


(62)

4. Pendapat Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang yang dimaksud dalam Pasal 19 huruf (f) dari Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 yang menyatakan : “Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengakaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”

5. Bahwa sekalipun baik dalam sikap maupun ucapannya di muka

persidangan, Tergugat telah menunjukkan betapa ia menolak untuk bercerai dengan Penggugat, namun Penggugat nampaknya sama sekali tidak terpengaruh dan masih tetap tegar dalam pendiriannya untuk bercerai dengan Tergugat.

6. Menurut Pasal 1 Undang-undang No 1 Tahun 1974 “Perkawinan ialah

ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian dapat diketahui bahwa salah satu unsur ikatan perkawinan adalah unsur ikatan bathin, apabila unsur ini tidak ada lagi maka berarti perkawinan itu pecah.

7. Pengadilan berpendapat bahwa perselisihan dan pertengkaran antara

Penggugat dengan Tergugat tidak saja sudah berlangsung secara terus menerus, tetapi juga sudah tidak ada harapan akan rukun lagi dalam berumah tangga.

8. Menurut Pasal 2 Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 menyatakan


(63)

sangat kuat atau miistaaqan ghaliizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

9. Demi menghindarkan Penggugat dan Tergugat berlarut-larut dalam kemelut

rumah tangga dan dosa yang berkepanjangan maka gugatan Penggugat harus dikabulkan berdasarkan Pasal 19 huruf (f) dari Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975.

10. Berdasarkan pengakuan Penggugat dan Tergugat bahwa dari perkawinan

Penggugat dan Tergugat telah dilahirkan 2 (dua) orang anak yang bernama

Anggraita Maurizqa, umur 9 tahun dan Ahmad Thoriq Arif, umur 3 tahun.

11. Bahwa kedua anak tersebut masih berumur dibawah 12 tahun atau belum

mumayyiz, maka tuntutan Penggugat agar kedua anak tersebut berada dibawah asuhan dan pemeliharaannya dapat dikabulkan berdasarkan Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam.

C. Putusan Pengadilan

Dalam perkara ini setelah melihat fakta-fakta yang ada dan berdasarkan pertimbangan hukum yang diambil, maka Pengadilan telah mengadili dan mengabulkan gugatan Penggugat dan menjatuhkan talak satu ba’in sughro Tergugat Ir. Luthfy Bulaga Hutagalung Bin Drs. H. Yusuf Hutagalung, terhadap Penggugat Ir. Rini Prima Utari Samil Binti Gusti Samil, serta menetapkan anak hasil pernikahan Penggugat dan Tergugat, yang masing-masing bernama Anggraita Maurizqa, perempuan, lahir di Jakarta tanggal 16 September 1997 dan Ahmad Thoriq Arif, laki-laki, lahir di Jakarta tanggal 15 Desember 2003 berada


(64)

dibawah asuhan dan pemeliharaan Penggugat, serta membebankan kepada Penggugat untuk membayar semua biaya perkara.

D. Analisis Penulis

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa Perkara Nomor : 458/Pdt.G/2006/Pengadilan Agama Depok, telah diputus bercerai antara Ir. Luthfy Bulaga Hutagalung Bin Drs. H. Yusuf Hutagalung, sebagai Tergugat, dengan Ir. Rini Prima Utari Samil Binti Gusti Samil, sebagai Penggugat, oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Depok yang dikarenakan dalam berumah tangga mereka sering terjadinya perselisihan dan pertengkaran akibat dari perbedaan prinsip dan cara pandangan kedepan mengenai hidup berumah tangga, yang pada puncaknya terjadi kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT yang dilakukan oleh Tergugat.terhadap Penggugat selama masih dalam ikatan tali pernikahan.

Dalam perkara tersebut juga diputuskan hak asuh anak (hadhanah) jatuh kepada Penggugat yang dikarenakan kedua anak Penggugat dan Tergugat masih berada dibawah umur 12 tahun berarti belum mumayyiz.70

Keputusan Majelis Hakim mengenai hak hadhanah jatuh kepada Penggugat dengan dasar mempertimbangkan Kompilasi Hukum Islam yang terdapat dalam pasal 105, sebagai berikut:

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun

adalah hak ibunya;

70 Wawancara Pribadi dengan Hakim Anggota Pengadilan Agama Depok yakni Agus Yunih dan Sulkha Harwiyanti pada tanggal 23 April 2010.


(65)

b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah dan ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;

c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Seharusnya pendidikan terbaik bagi seorang anak adalah apabila ia berada di bawah asuhan kedua orangtuanya yakni ayah dan ibunya, yang membesarkannya dengan penuh cinta dan kasih sayang dan memberinya pendidikan yang baik, sehingga anak akan tumbuh sehat jasmani dan rohaninya. Tetapi seandainya kedua orang tua terpaksa bercerai, maka pemeliharaan anak yang belum mumayyiz yakni belum dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk menjadi hak asuh ibunya. Apabila si anak sudah dianggap mumayyiz, ia dipersilahkan memilih antara ikut dengan ibu ataupun ayahnya.

Pertimbangan lain diberikannya hak asuh anak yang belum mumayyiz kepada ibunya karena seorang ibu dianggap lebih mampu mendidik dan memperhatikan keperluan anak dalam usianya yang masih amat muda juga lebih sabar dan teliti daripada si ayah. Selain itu, pada umumnya seorang ibu mempunyai waktu lebih banyak untuk melaksanakan tugasnya itu daripada seorang ayah yang biasanya sangat disibukkan dengan pekerjaannya

Nabi Muhammad SAW. pernah memutuskan wanita yang baru saja diceraikan suaminya, bahwa dialah yang lebih berhak memelihara anaknya selagi belum kawin lagi dengan orang lain :

Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim telah meriwayatkan dari Abdullah bin’Amr;


(66)

ًةاﺮ ا

نا

:

ًءﺎ ﺳ

ﺪﺛ

و

ًءﺎﻋو

ﻰ ﺑ

نﺎآ

اﺬه

ﻰ ﺑا

نا

،ﷲا

ﻮﺳ

ر

و

،ًءاﻮ

ىﺮﺠ و

ﷲا

لﻮﺳر

ﺎﻬﻟ

لﺎ ﻓ

،ﻰ

ناداراو

ﺎﺑا

نا

ﻰﺤﻜ

ﻢﻟﺎ

ا

ا

ﻢ ﺳو

ﻴ ﻋ

ﷲا

Artinya:

”Bahwa seorang wanita berkata, ”Ya Rasul Allah, sesungguhnya anak saya ini, perut sayalah yang telah mengandungnya, dan tetek sayalah yang telah menjadi minumannya dan haribankulah yang melindunginya. Tapi bapaknya telah menceraikan daku dan hendak menceraikan dia pula dari sisiku.”

Maka bersabdalah Rasulullah SAW.: ”Engkaulah yang lebih berhak akan anak itu, selagi belum kawin (dengan orang lain).”71

Ulama fiqih berbeda pendapat dalam menentukan siapa yang memiliki hak hadhanah, apakah hak hadhanah ini milik wanita (ibu atau yang mewakilinya) atau hak anak yang diasuh tersebut. Ulama Mazhab Hanafi dan Maliki mengatakan bahwa mengasuh, merawat, dan mendidik anak merupakan hak pengasuh (ibu atau yang mewakilinya). Dengan alasan bahwa apabila pengasuh ini menggugurkan haknya, sekalipun tanpa imbalan, boleh ia lakukan dan hak itu gugur. Jika hadhanah ini hak anak, maka menurut mereka, hak itu tidak dapat ia gugurkan. sedangkan jumhur ulama berpendirian bahwa hadhanah itu menjadi hak bersama, antara kedua orang tua dan anak. Menurut Wahbah az-Zuhaili (guru besar fikih Islam di Universitas Damascus, Suriah) hak hadhanah itu hak

71 Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqhul Mar’ah al-Muslimah. Penerjemah Anshori Umar Sitanggal,dkk, h. 450.


(1)

berserikat antara ibu, ayah, dan anak. Apabila terjadi pertentangan antara ketiga orang ini, maka yang diprioritaskan adalah hak anak yang diasuh.

Pada kasus ini, ibu dari si anak yakni Ir. Rini Prima Utari Samil Binti Gusti Samil adalah seorang wanita karir, yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Yang bersangkutan bekerja di 2 (dua) tempat yaitu: yayasan sosial yang bergerak di bidang pemberian beasiswa bagi anak-anak tidak mampu dan di Hotel Anggrek di daerah Slipi Tomang sebagai koordinator artis, sehingga dari pagi sampai malam berada di luar rumah.

Selama yang bersangkutan bekerja kedua anaknya berada dibawah asuhan neneknya yakni orang tua perempuan dari Ir. Rini Prima Utari Samil Binti Gusti Samil, yang beragama Protestan.

Agama Islam telah menentukan syarat-syarat bagi orang yang akan menjaga anak yang dipelihara dan diasuh itu, yaitu:

1. Berakal 2. Merdeka 3. Islam 4. Tidak fasik 5. Amanah

6. Mempunyai tempat tinggal

Berdasarkan pada point 3 diatas, sudah jelas bahwa hak asuh kedua anak dari Ir. Rini Prima Utari Samil Binti Gusti Samil kepada ibunya yang beragama Protestan tidak memenuhi syarat ketentuan pemeliharaan anak dalam pandangan Agama Islam, hal ini diperkuat oleh pendapat ulama fiqih madzhab Imamiyah dan


(2)

Syafi’i yaitu seorang kafir tidak boleh mengasuh anak yang beragama Islam. Adapun kekhawatiran pengasuhan anak pada orang yang bukan beragama Islam, sebagai berikut :

1. Akan merubah aqidah anak.

2. Perilaku dan kebiasaan hidup, orang kafir, yang tidak sesuai dengan syariat Islam akan berpengaruh terhadap anak, seperti :

a. Pergi ke tempat ibadah selain Masjid.

b. Makan dan minum yang diharamkan, contohnya: makan babi dan minum arak.

c. Kemaksiatan, seperti : Berjudi dan Pergaulan bebas d. Berpakaian yang tidak menutup aurat.

Dari kasus ini, agar tidak terjadi kekhawatiran tersebut, hak pengasuhan anak sebaiknya diserahkan kepada orang yang memenuhi syarat-syarat pengasuhan anak yang sesuai dengan syariat Islam.


(3)

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

1. Majelis Hakim Pengadilan Agama Depok telah mengadili dan mengabulkan gugatan Penggugat dan menjatuhkan talak satu ba’in sughro Tergugat Ir. Luthfy Bulaga Hutagalung Bin Drs. H. Yusuf Hutagalung, terhadap Penggugat Ir. Rini Prima Utari Samil Binti Gusti Samil, dikarenakan dalam berumah tangga sering terjadi perselisihan dan pertengkaran akibat dari perbedaan prinsip dan cara pandangan kedepan mengenai hidup berumah tangga, yang pada puncaknya terjadi kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT yang dilakukan oleh Tergugat.terhadap Penggugat selama masih dalam ikatan tali pernikahan.

2. Majelis Hakim Pengadilan Agama Depok juga menetapkan kedua anak hasil pernikahan Penggugat dan Tergugat, yang masing-masing bernama Anggraita Maurizqa, perempuan, lahir di Jakarta tanggal 16 September 1997 dan Ahmad Thoriq Arif, laki-laki, lahir di Jakarta tanggal 15 Desember 2003 berada dibawah asuhan dan pemeliharaan Penggugat, dikarenakan kedua anak tersebut masih berada dibawah umur 12 tahun berarti belum dewasa atau belum mumayyiz, sesuai Kompilasi Hukum Islam pasal 105.

3. Dalam kenyataannya, ibu kedua anak yang telah diberikan kuasa hak asuh anak oleh Majelis Hakim, menyerahkan pengasuhan kedua anak tersebut kepada neneknya atau orang tua perempuan dari ibu, yang beragama Protestan. Hal ini dikarenakan ibu dari kedua anak tersebut merupakan


(4)

seorang wanita karir yang bekerja pada 2 (dua) tempat yakni Yayasan Sosial dan Hotel Anggrek di daerah Slipi Tomang, sehingga dari pagi hingga malam yang bersangkutan berada di luar rumah.

B. Saran-Saran

Setelah hasil analisis yang dilakukan terhadap kasus di atas, maka dapat dikemukakan beberapa saran-saran yang dapat dijadikan sebagai bahan masukan kepada semua pihak terkait pada permasalahan ini, sebagai berikut :

1. Mencari solusi yang terbaik dalam setiap permasalahan yang terjadi dalam rumah tangga.

2. Menghindari Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT yang dapat menimbulkan trauma berkepanjangan, merupakan salah satu pemicu keretakan dalam rumah tangga.

3. Menghindari Perceraian.

Perceraian tidak dianjurkan oleh Islam, karena Islam sangat berkeinginan agar kehidupan rumah tangga tenteram dan terhindar dari sebuah keretakan yakni perpisahan. Akibat dari perceraian dapat menimbulkan sisi yang tidak baik untuk perkembangan anak.

4. Apabila perceraian tidak dapat terhindari, maka orang yang diberi kuasa hak asuh anak, menjalankan kewajiban sesuai amanah yang diberikan kepadanya. 5. Dalam hal orang yang diberi kuasa hak asuh anak harus bekerja untuk

memenuhi ekonomi keluarga sehingga tidak dapat menjalankan kewajibannya, maka pengasuhan terhadap anak tidak diberikan kepada orang yang tidak memenuhi syarat yang ditentukan dalam Islam.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Buku Kuliah

Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, cet.II, Jakarta : Elsas, 2008.

Kamal bin As Sayyid Salim, Fiqih Sunnah Wanita Jakarta: Tiga Pilar, 2007.

Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqhul Mar’ah al-Muslimah. Penerjemah Anshori Umar Sitanggal, dkk. Semarang : Asy Syifa’, 1981.

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia : Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI, cet. III, Jakarta : Kencana, 2004.

Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat Jakarta : Kencana, 2003.

Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia Jakarta : Sinar Grafika, 2006. Zaitunah Subhan, Fiqh Pemberdayaan Perempuan Jakarta : El-Kahfi, 2008.

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia : Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, cet. II, Jakarta : Kencana, 2007.

Sulaiman Rasjid, Penyunting Li Sufyana, M. Bakri dan Farika, Fiqih Islam, cet. XXVII Bandung : Sinar Baru Algensindo, 1994.

Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang perkawinan Jakarta : Bulan Bintang, 1974.

Huzaemah Tahido Yanggo, editor Ahmad Zubaidi dan Syaiful Hadi, Fiqih Anak Metode Islam Dalam Mengasuh Dan Mendidik Anak Serta Hukum-Hukum Yang Berkaitan Dengan Aktivitas Anak Jakarta : P.T. Al-Mawardi Prima, 2004.

Muhammad Uwaidah dan Syaikh Kamil Muhammad, Fiqih Wanita. Penerjemah M. Abdul Ghofar, dkk, cet. XIV, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004.

Syaikh Hasan Ayyub, Fiqhul Asrotul Muslimah. Penerjemah M. Abdul Ghofar, dkk. cet. V, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2006.

Muhammad Bagir, Fiqih Praktis II: Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat Para Ulama, Bandung: Karisma, 2008.


(6)

Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve, 1996. Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga (Panduan Perkawinan),

Jakarta : Kalam Mulia, 1998. Internet

Abiyazid, ” Syarat Mendapatkan Hak Asuh Anak (Hadhanah)”, artikel diakses pada 29 Desember 2009 dari http://abiyazid. Wordpress.com/2008/03/12/syarat-mendapatkan-hak-asuh-anak-hadhanah/.

Puspita Giana, ” Proses Hadhanah Dan Adopsi”, artikel diakses pada 13 Januari 2010 dari http://puspitagiana.blogspot.com/2009/06/proses-hadhanah-dan-adopsi.html.

Majelis Ulama Isma, ”Hak Penjagaan anak: Hukum Syari’ah Dan Undang-Undang Negara”, artikel diakses pada 19 Desember 2009 dari http://www.ismaweb.net. Ali Abdulloh,”Hadhanah”, artikel diakses pada 6 januari 2010 dari

http://aliabdulloh.blogspot.com/2010/01/hadhanah/html.

Pangerans, ”Pengasuhan Anak Setelah Cerai”, artikel diakses pada 16 januari 2010 dari http://pangerans.multiply.com/journal/item/193/Pengasuhan-Anak-Setelah-Cerai.

Mahir Al-Hujjah, ”Hadhanah: Suatu Pengenalan”, artikel diakses pada 3 Januari 2010 http://mahir-al-hujjah.blogspot.com/2008/10/hadhanah-suatu-pengenalan.html.