Policy Paper
Tim Penyusun
Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap – ICCSR
Sektor Limbah
Penasehat
Prof. Armida S. Alisjahbana, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas
Kepala Editor
U. Hayati Triastuti, Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas
Koordinator ICCSR
Edi Effendi Tedjakusuma, Direktur Lingkungan Hidup, Bappenas
Editor
Irving Mintzer, Syamsidar Thamrin, Heiner von Luepke, Dieter Brulez
Laporan Sintesis
Koordinator Penyusun untuk Mitigasi:: Hardiv Haris Situmeang
Laporan Sektor Limbah
Penyusun: Asep Sofyan, Enri Damanhuri, Oman Abdurrahman.
Tim Pendukung Teknis
Chandra Panjiwibowo, Indra Ni Tua, Edi Riawan, Hendra Julianto
Tim Administrasi
Altamy Chrysan Arasty, Risnawati, Rinanda Ratna Putri, Siwi Handinah, Wahyu Hidayat, Eko Supriyatno,
Rama Ruchyama, Arlette Naomi, Maika Nurhayati, Rachman
i
ICCSR - SektoR LImbah
uCAPAn TeRimA KAsiH
Dokumen Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) bertujuan untuk memberikan masukan pada
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2009-2014 berkaitan dengan
perubahan iklim, serta sebagai masukan pada RPJMN berikutnya hingga tahun 2030. Dokumen ini
memberikan arahan detail dalam menghadapi tantangan perubahan iklim di sektor kehutanan, energi,
industri, pertanian, perhubungan, daerah pesisir, sumber daya air, limbah, dan kesehatan. Sudah merupakan
kebijakan dari Bappenas untuk mengakomodasi peluang dan tantangan di sektor-sektor tersebut melalui
perencanaan pembangunan dan koordinasi antara kementerian dan badan terkait secara efektif. Dokumen
ini bersifat dinamis dan akan selalu diperbaharui berdasarkan kebutuhan dan tantangan yang timbul
dalam menghadapi perubahan ikllim di masa mendatang. Perubahan dan penyempurnaan dari dokumen
ini akan dilakukan melalui konsultasi partisipatif antara para pemangku kepentingan.
Penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Ibu Armida S. Alisyahbana selaku Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) atas dukungan
yang diberikan. Juga kepada Bapak Paskah Suzetta selaku mantan Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional/ Kepala Bappeanas yang menginisiasi dan member dukungan dalam pembuatan dokumen
ICCSR, serta kepada Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas, yang
telah menginisiasikan dan mengkoordinasikan pembuatan dokumen ICCSR ini.
Kepada seluruh anggota komite pengarah, kelompok kerja, dan para pemangku kepentingan di bawah
ini, yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat berharga dalam pembuatan dokumen
ICCSR Sektor Limbah, dedikasi serta kontribusinya sangat dihargai dan diucapkan terima kasih setinggitingginya:
Komite Pengarah
Deputi Kerjasama Internasional, Kementerian Koordinasi Perekonomian; Sekretaris Menteri, Kementerian
Koordinasi Kesejahteraan Rakyat; Sekretaris Jenderal, Kementerian Pekerjaan Umum; Deputi Bidang
Ekonomi, Deputi Bidang Sarana dan Prasarana, Deputi Bidang Pendanaan Pembangunan, Deputi Bidang
Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah,
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim.
Kelompok Kerja
Kementerian Negara Lingkungan Hidup
Sulistyowati, Haneda Sri Mulyanto, Dadang Hilman, Upik S. Aslia, Agus Gunawan, Yulia Suryanti
iii
ICCSR - SektoR LImbah
Kementerian Pekerjaan Umum
Djoko Murjanto, Mochammad Amron, Susmono, A. Hasanudin, Djoko Mursito, Handy Legowo, Setya
Budi Algamar, Agus S.K, Adelia Untari.S, Leonardo B, Desitriana, Devina Suzan, Nur. F. K, Agung. T,
Rindy Farrah, Yuke Ratnawulan, Zubaidah. K, Savitri. R
Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas
Sriyanti, Yahya R. Hidayat, Bambang Prihartono, Mesdin Kornelis Simarmata, Arum Atmawikarta,
Montty Girianna, Wahyuningsih Darajati, Basah Hernowo, M. Donny Azdan, Budi Hidayat, Anwar Sunari,
Hanan Nugroho, Jadhie Ardajat, Hadiat, Arif Haryana, Tommy Hermawan, Suwarno, Erik Amundito,
Rizal Primana, Nur H. Rahayu, Pungki Widiaryanto, Maraita, Wijaya Wardhana, Rachmat Mulyanda,
Andiyanto Haryoko, Petrus Sumarsono, Maliki
Universitas dan Profesional
ITB: Saut Lubis, Retno Gumilang; Asia Carbon: Architrandi Priambodo, Susy Simarangkir
Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh staf Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan
Lingkungan Hidup, Bappenas, yang selalu siap membantu dan menfasilitasi baik dalam hal teknis maupun
administrasi dalam proses penyelesaian dokumen ini.
Pembuatan dokumen ICCSR ini didukung oleh Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ)
melalui Study and Expert Fund for Advisory Services in Climate Protection. Atas dukungan tersebut, penghargaan
serta terima kasih yang setinggi-tingginya diberikan.
iv
ICCSR - SektoR LImbah
Kata Pengantar dari menteri Perencanaan
Pembangunan nasional/ Kepala Bappenas
Kita telah melihat bahwa dengan kemampuannya yang dapat
mempengaruhi ekosistem dunia, kehidupan populasi manusia dan
pembangunan, perubahan iklim telah menjadi isu kritis paling utama
yang mendapat perhatian serius dari para pembuat kebijakan di seluruh
dunia. Target utamanya adalah untuk mencegah peningkatan suhu
rata-rata global melebihi 2˚C, atau dengan kata lain menurunkan emisi
tahunan seluruh dunia hingga separuh dari kondisi sekarang pada tahun
2050. Kita percaya bahwa upaya ini tentunya membutuhkan respon
international yang solid – aksi kolektif untuk menghindari konlik
antara inisiatif kebijakan nasional dan internasional. Pada saat ekonomi
dunia sedang dalam tahap pemulihan dan negara-negara berkembang
sedang berupaya keras memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, dampak
perubahan iklim telah ikut serta dalam memperburuk kondisi kehidupan manusia. Untuk itu diperlukan
pengintegrasian perubahan iklim sebagai pilar penting dan fokus utama dalam agenda kebijakan
pembangunan yang berkelanjutan.
Kita menyadari bahwa perubahan iklim telah banyak diteliti dan dibahas di seluruh dunia. Berbagai solusi
telah ditawarkan, program-program telah didanai dan kemitraan telah terjalin. Namun di luar itu semua,
emisi karbon masih terus meningkat baik di negara maju maupun di negara berkembang. Karena lokasi
geograisnya, kerentanan Indonesia terhadap dampak negatif perubahan iklim harus menjadi perhatian
yang serius. Kita akan berhadapan, dan sudah terlihat oleh kita beberapa dampak negatif seperti musim
kemarau yang berkepanjangan, banjir, serta meningkatnya intensitas kejadian cuaca ekstrim. Kekayaan
keanekaragaman hayati kita juga berada dalam resiko.
Beberapa pihak yang memilih untuk bersikap diam dalam perdebatan isu perubahan iklim atau
memperlambat upaya penanggulangannya kini telah termarginalisasi oleh kenyataan saintiik yang tidak
terbantahkan. Puluhan tahun penelitian, analisis dan bukti-bukti nyata yang terjadi telah menunjukkan
pada kita bahwa perubahan iklim bukan hanya menjadi isu lingkungan saja, namun juga isu pembangunan
secara menyeluruh karena dampaknya akan terasa di semua sektor kehidupan manusia baik sebagai bangsa
maupun individu.
Sayangnya, kita tidak dapat mencegah atau menghindar dari beberapa dampak negatif perubahan iklim.
Kita dan khususnya Negara-negara maju telah terlalu lama berkontribusi dalam memanaskan bumi ini.
Kita harus bersiap oleh karena itu, untuk beradaptasi terhadap perubahan yang akan terjadi, dan dengan
v
ICCSR - SektoR LImbah
segenap tenaga berusaha untuk memitigasi agar tidak terjadi perubahan lebih lanjut dari iklim global
bumi. Kita telah meratiikasi Protokol Kyoto di masa awal serta berkontribusi aktif dalam negosiasi
perubahan iklim dunia, dengan menjadi tuan rumah pada pelaksanaan Konvensi Para Pihak ke 13 United
Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yang telah melahirkan Bali Action Plan pada
tahun 2007. Kini, kita mencurahkan perhatian kita pada tantangan untuk mencapai target yang telah
dicanangkan oleh Presiden yaitu penurunan emisi sebesar 26% hingga tahun 2020. Aksi nyata sangat
penting. Namun sebelum melakukan aksi, kita harus siap dengan analisis yang komprehensif, perencanaan
strategis dan penetapan prioritas.
Untuk itu saya mengantarkan dokumen Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap, atau disebut ICCSR,
dengan tujuan agar perubahan iklim dapat diintegrasikan ke dalam sistem perencanaan pembangunan
nasional.
Dokumen ICCSR menampilkan visi strategis pada beberapa sektor utama yang terkait perubahan iklim,,
yaitu sektor kehutanan, energi, industri, perhubungan, pertanian, daerah pesisir, sumber daya air, limbah,
dan kesehatan. Dokumen Roadmap ini telah diformulasikan melalui analisis yang komprehensif. Kita
telah melakukan penaksiran kerentanan secara mendalam, penetapan opsi prioritas termasuk peningkatan
kapasitas dan respon strategis, dilengkapi dengan analisis keuangan dan dirangkum dalam perencanaan
aksi yang didukung oleh kementerian-kementerian terkait, mitra strategis dan para donor.
Saya meluncurkan dokumen ICCSR ini dan mengundang Saudara untuk ikut mendukung komitmen dan
kemitraan, serta bekerjasama dalam merealisasikan prioritas pembangunan berkelanjutan yang ramah
iklim serta melindungi populasi kita dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Prof. Armida S. Alisjahbana
vi
ICCSR - SektoR LImbah
Kata Pengantar dari Deputi menteri Bidang sumber
Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas
Sebagai bagian dari solusi dalam menghadapi perubahan iklim global,
Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi
Gas Rumah Kaca secara nasional hingga 26% dari kondisi dasar dalam
kurun waktu 10 tahun dengan menggunakan sumber pendanaan
dalam negeri, serta penurunan emisi hingga 41% jika ada dukungan
international dalam aksi mitigasi. Dua sektor utama yang berkontribusi
terhadap emisi adalah sektor kehutanan dan energi, terutama dari
kegiatan deforestasi dan pembangkit tenaga listrik, hal ini dikarenakan
oleh sebagian pembangkit yang masih menggunakan bahan bakar tidak
terbarukan seperti minyak bumi dan batubara, yang menjadi bagian dari
intensitas energi kita yang tinggi.
Dengan lokasi geograisnya yang unik, di antara negara-negara di dunia
kita termasuk salah satu negara yang paling rentan terhadap dampak negatif perubahan iklim. Pengukuran
terhadap hal ini diperlukan untuk melindungi masyarakat dari potensi bahaya yang ditimbulkan oleh naiknya
permukaan air laut, banjir, perubahan curah hujan, dan dampak negatif lainnya. Jika upaya adaptasi tidak
segera dilakukan, maka berdasarkan prediksi analisis, Indonesia dapat mengalami kekurangan sumber
air, penurunan hasil pertanian, serta hilangnya atau rusaknya habitat di berbagai ekosistem termasuk di
daerah pesisir pantai.
Aksi nasional dibutuhkan baik untuk memitigasi perubahan iklim global maupun untuk mengidentiikasi
upaya-upaya adaptasi yang diperlukan. Hal ini menjadi tujuan utama dari dokumen Indonesia Climate Change
Sectoral Roadmap, ICCSR. Prioritas tertinggi dari aksi-aksi tersebut akan diintegrasikan ke dalam sistem
perencanaan pembangunan nasional. Untuk itu kita telah berupaya membangun konsensus nasional
dan pemahaman mengenai opsi-opsi dalam merespon perubahan iklim. Indonesia Climate Change Sectoral
Roadmap (ICCSR) merepresentasikan komitmen jangka panjang untuk menurunkan emisi dan melakukan
upaya adaptasi serta menunjukkan kesiapan perencanaan program-program yang inovatif dalam upaya
mitigasi dan adaptasi hingga puluhan tahun mendatang.
Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
U. Hayati Triastuti
vii
ICCSR - SektoR LImbah
DAFTAR isi
Tim Penyusun
i
Ucapan Terima Kasih
iii
Kata Pengantar dari Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas
iv
Kata Pengantar dari Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas vi
Daftar Isi
vii
Daftar Tabel
ix
Daftar Gambar
xi
Daftar Istilah, Singkatan dan Satuan
xii
1
2
3
PENDAHULUAN
1
1.1
Latar Belakang dan Tujuan
1
1.2
Metodologi Penulisan Laporan
2
1.2.1
Analisis
2
1.2.2
Proses Partisipasi Pemangku Kepentingan
2
1.2.3
Sistematika Penulisan Laporan
3
KONDISI SAAT INI DAN TANTANGAN MASA DEPAN
4
2.1
Kondisi Sumber Sampah
4
2.2
Kondisi Pengangkutan
7
2.3
Kondisi Pemrosesan Sampah
9
2.4
Kondisi Reduksi, Daur Ulang, dan Daur Pakai (3R)
12
2.5
Kebijakan dan Peraturan Perundangan
13
2.6
Tantangan Pengelolaan Sampah ke Depan
14
POTENSI MITIGASI DI SEKTOR SAMPAH
17
3.1
Metode Perhitungan
17
3.2
Pemanfaatan CH4 dari Landill menjadi Energi Listrik
20
viii
ICCSR - SektoR LImbah
4
SKENARIO POTENSI MITIGASI DAN ISU-ISU STRATEGIS
DARI PERUBAHAN IKLIM PADA SEKTOR LIMBAH
5
22
4.1
Skenario Mitigasi Gas Rumah Kaca dari Sektor Sampah
22
4.2
Skenario Mitigasi Gas Rumah Kaca di Perkotaan
23
4.3
Skenario Mitigasi Gas Rumah Kaca di Pedesaan
30
4.4
Hasil Perhitungan Mitigasi Gas Rumah Kaca dari Sektor Sampah
33
4.5
Perhitungan Abatement Cost
41
KEBIJAKAN PENANGANAN SAMPAH DAN PENGINTEGRASIAN
MITIGASI PERUBAHAN IKLIM KE DALAM PERENCANAAN SEKTOR LIMBAH
45
5.1
Penyusunan Alternatif Kebijakan Mitigasi berdasarkan Perbedaan Jumlah Pembiayaan 45
5.2
Isu-isu Strategis Perubahan Iklim Pada Sektor Limbah
53
5.2.1
Kelompok Program Inventarisasi Data dan Perencanaan
54
5.2.2
Kelompok Program Regulasi dan Kebijakan
54
5.2.3
Kelompok Program Implementasi
55
5.2.4
Kelompok Program Capacity Program
56
DAFTAR PUSTAKA
57
LAMPIRAN A
59
ix
ICCSR - SektoR LImbah
DAFTAR TABeL
Tabel 2.1
Kondisi pengelolaan persampahan di Indonesia tahun 2005
9
Tabel 3.1
Faktor Emisi untuk Setiap Kegiatan Pengolahan Sampah
18
Tabel 3.2
Biaya untuk setiap Kegiatan Pengolahan Sampah
19
Tabel 3.3
Asumsi perencanaan landill, instalasi laring dan pembangkit listrik
21
Table 4.1
Matriks Perbandingan Skenario Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca
Sektor Sampah di Indonesia untuk wilayah Perkotaan
Tabel 4.2
39
Matriks Perbandingan Skenario Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca
Sektor Sampah di Indonesia untuk wilayah Pedesaan
41
Tabel 5.1
Asumsi yang digunakan dalam Alternatif 1 (BAU)
47
Tabel 5.2
Rekapitulasi asumsi dalam Alternatif 1 (BAU)
48
Tabel 5.3
Asumsi yang digunakan dalam alternatif 2 (Law-Based, Pembiayaan Maksimal)
49
Tabel 5.4
Rekapitulasi Asumsi dalam Alternatif 2 (Law-Based, Pembiayaan Maksimal)
50
Tabel 5.5
Asumsi yang digunakan dalam Alternatif 3 (Pembiayaan Optimis)
51
Tabel 5.6
Rekapitulasi Asumsi dalam Alternatif 3 (Pembiayaan Optimis)
52
Tabel 5.7
Asumsi yang digunakan dalam Alternatif 4 (Pembiayaan Moderat)
53
Tabel 5.8
Rekapitulasi Asumsi dalam Alternatif 4 (Pembiayaan Moderat)
54
Tabel 5.9
Asumsi yang digunakan dalam Alternatif 5 (Pembiayaan Pesimis)
55
Tabel 5.10
Rekapitulasi Asumsi dalam Alternatif 5 (Pembiayaan Pesimis)
56
Table 5.11
Matriks Aksi Mitigasi Alternatif Kebijakan
(berdasarkan Perbedaan Jumlah Pembiayaan)
50
x
ICCSR - SektoR LImbah
DAFTAR GAmBAR
Gambar 2.1
Proyeksi Jumlah Penduduk Perkotaan dan Pedesaan di Indonesia (2005-2030)
4
Gambar 2.2
Proyeksi Timbulan Sampah Perkapita (2005-2030)
5
Gambar 2.3
Proyeksi Timbulan Sampah di Indonesia (2005-2030)
6
Gambar 2.4
Peta Sebaran Proyeksi Timbulan Sampah Domestik Tahun 2010
6
Gambar 2.5
Peta Sebaran Proyeksi Timbulan Sampah Domestik Tahun 2030
7
Gambar 2.6
Kondisi Pengangkutan Sampah di Indonesia tahun 2005
7
Gambar 2.7
Proyeksi Prosentase Pengangkutan Sampah oleh Pemerintah Daerah
8
Gambar 2.8
Prosentase Kegiatan Pemrosesan Sampah di TPS dan TPA di Indonesia tahun 2005 10
Gambar 2.9
Kegiatan Pengelolaan Sampah yang Tidak Terangkut (Dikelola Sendiri) tahun 2005
Gambar 4.1
Timbulan Sampah di Perkapita di Perkotaan untuk Skenario
11
Reduksi Sampah di Sumber
24
Gambar 4.2
Timbulan Sampah di Perkotaan untuk Skenario Reduksi Sampah di Sumber
25
Gambar 4.3
Proyeksi Prosentase Pemrosesan Sampah oleh Pemerintah di Perkotaan
Skenario 3R dan Pengomposan
Gambar 4.4
26
Proyeksi Prosentase Pemrosesan Sampah oleh Masyarakat di Perkotaan
Skenario 3R dan Pengomposan
26
Gambar 4.5
Proyeksi Pemrosesan Sampah oleh Pemerintah di Perkotaan Skenario SL + CL
27
Gambar 4.6
Proyeksi Pemrosesan Sampah oleh Masyarakat di Perkotaan Skenario SL+CL
28
Gambar 4.7
Proyeksi Pemrosesan Sampah oleh Pemerintah di Perkotaan Skenario SL+LFG
29
Gambar 4.8
Proyeksi Pemrosesan Sampah oleh Masyarakat di Perkotaan Skenario SL+LFG
29
Gambar 4.9
Proyeksi Pemrosesan Sampah oleh Pemerintah di Pedesaan
Skenario dibakar/ditimbun dimana saja
Gambar 4.10
30
Proyeksi Pemrosesan Sampah oleh Masyarakat di Pedesaan
Skenario dibakar/ditimbun dimana saja
31
xi
ICCSR - SektoR LImbah
Gambar 4.11
Timbulan Sampah Perkapita di Pedesaan untuk Skenario Reduksi Sampah di Sumber 32
Gambar 4.12
Timbulan Sampah di Pedesaan untuk Skenario Reduksi Sampah di Sumber
32
Gambar 4.13
Emisi GRK (dalam Gg CO2 eq) di perkotaan untuk setiap skenario
34
Gambar 4.14
Emisi GRK (dalam Gg CO2 eq) di pedesaan untuk setiap skenario
35
Gambar 4.15
Reduksi emisi GRK (dalam Gg CO2 eq) di perkotaan untuk setiap skenario
36
Gambar 4.16
Reduksi emisi GRK (dalam Gg CO2 eq) di pedesaan untuk setiap skenario
36
Gambar 4.17
Biaya Pengelolaan Sampah di perkotaan untuk setiap skenario
37
Gambar 4.18
Biaya Mitigasi (Biaya Skenario – Biaya BAU) di perkotaan
37
Gambar 4.19
Biaya Pengelolaan Sampah di pedesaan untuk setiap skenario
38
Gambar 4.20
Biaya Mitigasi (Biaya Skenario – Biaya BAU) di pedesaan
38
Gambar 4.21
Perhitungan NPV Reduksi Emisi (ton CO2 eq) Setiap Skenario Perkotaan
41
Gambar 4.22 Perhitungan NPV Reduksi Emisi (ton CO2 eq) Setiap Skenario Pedesaan
42
Gambar 4.23
Perhitungan NPV Biaya Mitigasi (USD) Setiap Skenario Perkotaan
42
Gambar 4.24
Perhitungan NPV Biaya Mitigasi (USD) Setiap Skenario Pedesaan
43
Gambar 4.25
Perhitungan Abatement Cost (USD/ton) Setiap Skenario Perkotaan
43
Gambar 4.26
Perhitungan Abatement Cost (USD/ton) Setiap Skenario Pedesaan
44
Gambar 5.1
Emisi GRK (dalam Gg CO2 eq) tiap Alternatif terhadap Alternatif 1 (BAU)
57
Gambar 5.2
Reduksi Emisi GRK (dalam Gg CO2 eq) dibandingkan terhadap Alternatif 1 (BAU) 57
Gambar 5.3
Biaya Mitigasi Tiap Skenario dibandingkan alternatif 1 (BAU)
58
xii
ICCSR - SektoR LImbah
DAFTAR isTiLAH, sinGKATAn DAn sATuAn
BL
Baseline scenario
cap
capita
CDM
clean development mechanism
CER
certiied emission reduction
CH4
methane
CL
controlled landill
CO
carbon monoxide
CO2
carbon dioxide
CO2 eq
carbon dioxide equivalent
DOC
degradable organic carbon
DOCF
degradable organic carbon dissimilated
EF
emission factor
eq
equivalent
g
gram
Gg
gigagram
GHG
greenhouse gas
Gt
gigatonne
H2
hydrogen
H2O
water
ha
hectare
IPCC
Intergovernmental Panel on Climate Change
k
methane generation rate constant
kg
kilogram
kt
kilotonne
xiii
ICCSR - SektoR LImbah
kWh
kilowatt-hour
L
litre
L0
methane generation potential
LFG
landill gas
m
metre
m3
cubic metre
MCF
methane conversion factor
Mt
megatonnes
MSW
municipal solid waste
Mt
megatonne
mV
millivolt
MW
megawatt
N
nitrogen
N2
nitrogen gas
NA
not applicable
N/A
not available
N2O
nitrous oxide
O2
oxygen
OD
open dumping
OECD
Organisation for Economic Co-operation and Development
ppb
part per billion
ppbv
part per billion by volume
ppm
part per million
SL
sanitary landill
SO2
sulphur dioxide
SOx
sulphur oxides
xiv
ICCSR - SektoR LImbah
t
tonne
t-km
tonne-kilometre
TWh
terrawatt-hour
UNFCCC
United Nations Framework Convention on Climate Change
xv
ICCSR - SektoR LImbah
xvi
ICCSR - SektoR LImbah
1
PenDAHuLuAn
1
ICCSR - SektoR LImbah
1.1
Latar Belakang dan Tujuan
Sebagai usaha dalam mitigasi perubahan iklim, di tingkat nasional Indonesia telah melakukan langkahlangkah, diantaranya:
• Pemerintah Indonesia telah meratiikasi United Nations Framework of Climate Change Convention
(UNFCCC) melalui Undang-Undang No 6 Tahun 1994
• Pemerintah Indonesia telah meratiikasi Protokol Kyoto melalui Undang-Undang No 17 tahun
2004.
• Pada 26 November 2007, Kementerian Lingkungan Hidup menyusun Rencana Aksi Nasional
Perubahan Iklim (RAN-PI) sebagai komitmen dalam mitigasi gas rumah kaca dan perubahan
iklim.
• Sebagai tuan rumah dalam UN Conference of Parties (COP) in Global Warming ke 13 di Bali yang
diselenggarakan pada tanggal 3-14 Desember 2007.
• Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkomitmen untuk melakukan pengurangan gas rumah
kaca dengan target jangka menengah 26% di tahun 2020 (termasuk penggunaan lahan, perubahan
pemanfaatan lahan dan kehutanan) dan jika digabung dengan dukungan internasional, pemerintah
Indonesia yakin bahwa emisi gas rumah kaca dapat dikurangi sebanyak 41% [SBY, 2009]. Pemerintah
telah menyiapkan keputusan presiden untuk mendukung komitmen ini yang disiapkan pada Januari
2010.
• Pada September 2009, Badan Pengembangan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah meluncurkan
Indonesia’s Climate Change Trust Fund [ICCTF, 2009]. Ini merupakan mekanisme pendanaan untuk
menjembatani mekanisme internasional untuk perubahan iklim dengan tingkat nasional yang
eisien, transparan dan bertanggung-jawab.
Sektor limbah merupakan salah satu sumber emisi gas rumah kaca yang penting. Limbah padat dan cair
merupakan sumber signiikan CH4 yang penambahannya di atmosfer berkontribusi terhadap perubahan
iklim. Sehingga aksi nasional dalam mitigasi perubahan iklim di sektor limbah sangat penting. Di Indonesia,
sampah dapat dianalisis di lebih dari 400 Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Penanganan sampah di
tingkat pusat merupakan kewenangan dan tanggung jawab Departemen Pekerjaan Umum yaitu dalam
bidang teknis, dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup yaitu dalam aspek lingkungan hidup.
Dengan mempertimbangkan latar belakang tersebut, penyusunan Roadmap Perubahan Iklim Sektor
Limbah ditujukan untuk memberikan arahan penanganan mitigasi perubahan iklim di sektor limbah
padat/sampah, integrasinya ke dalam kebijakan dan program-program pembangunan sektor limbah
sehingga mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan. Selain itu, roadmap perubahan iklim
sektor limbah ini bertujuan juga untuk memberikan kontribusi terhadap upaya global dalam pengurangan
dampak negatif perubahan iklim. Penyusunan roadmap ini menekankan pada program-program yang
2
ICCSR - SektoR LImbah
mungkin dilakukan baik dalam jangka pendek maupun panjang. Pada saat ini sektor yang siap untuk
melakukan reduksi CH4 dari sektor limbah adalah dari sektor persampahan sehingga penanganan mitigasi
di sektor limbah roadmap ini dibatasi hanya untuk sektor persampahan. Saat ini sektor sampah sebagian
besar dikelola oleh Pemerintah Kota/Kabupaten, khususnya untuk lingkungan perkotaan.
1.2
1.2.1
Metodologi Penulisan Laporan
Analisis
Analisis dalam penyusunan roadmap perubahan iklim sektor sampah dilakukan dengan cara-cara sebagai
berikut:
a) Pengumpulan dan kajian dokumen-dokumen terkait sektor sampah dari Departemen Pekerjaan
Umum dan juga dari Bappenas seperti Synthesis Report for Indonesia’s Technology Needs Assessment on
Climate Change Mitigation, Bappenas-GTZ, Maret 2009.
b) Melakukan kajian literatur dan kajian dasar ilmiah mengenai dampak perubahan iklim terhadap
sektor sampah, salah satunya dilakukan dengan mengkaji dokumen-dokumen Guideline IPCC
2006.
c) Melakukan perhitungan timbulan sampah dan emisi GRK untuk sektor sampah.
d) Menyusun skenario emisi GRK sebagai dasar penyusunan program-program mitigasi sampah.
e) Menyusun program-program mitigasi sektor sampah.
1.2.2
Proses Partisipasi Pemangku Kepentingan
Partisipasi pemangku kepentingan diikutsertakan dalam proses penyusunan Roadmap ini melalui beberapa
cara di antaranya:
• Konsultasi dan diskusi yang dilakukan dengan pejabat, peneliti dan pakar di instansi terkait khususnya
Bappenas, Departemen Pekerjaan Umum, dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
• Penyelenggaraan Forum Group Discussion (FGD), Pra-FGD serta rapat-rapat koordinasi di lingkungan
Departemen Pekerjaan Umum dan instansi terkait yang telah dilaksanakan baik di Bappenas maupun
di Departemen Pekerjaan Umum. Dalam FGD ini juga dibahas mengenai isu lintas sektoral.
3
ICCSR - SektoR LImbah
1.2.3
Sistematika Penulisan Laporan
Laporan ini terbagi menjadi 5 bab dengan sistematika sebagai berikut:
• Bab 1 menjelaskan latar belakang dan tujuan penulisan laporan
• Bab 2 menjelaskan kondisi pengelolaan sampah di Indonesia
• Bab 3 menjelaskan metode perhitungan gas rumah kaca dari landill dan potensinya di Indonesia.
Bab ini juga menjelaskan berbagai asumsi yang dipakai dalam perhitungan.
• Bab 4 menjelaskan berbagai skenario mitigasi gas rumah kaca dari landill. Tujuan yang ingin dicapai
adalah untuk membandingkan jenis skenario yang paling efektif dan eisien dalam mitigasi gas
rumah kaca, yaitu dengan membandingkan abatement costnya.
• Bab 5 menjelaskan berbagai alternatif kebijakan berdasarkan asumsi pembiayaan. Alternatif di Bab
5 merupakan gabungan dari berbagai skenario di Bab 4 yang dirangkai secara terpadu dan bertahap.
Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk membandingkan berbagai alternatif pengelolaan sampah
yang dibagi berdasarkan jumlah pembiayaannya. Untuk mengetahui alternatif kebijakan yang paling
efektif dan eisien ditinjau dari pengurangan gas rumah kaca dibandingkan abatement costnya. Bab
5 juga menjelaskan program jangka menengah dan panjang yang merupakan hasil FGD dengan
sektor terkait khususnya Departemen Pekerjaan Umum terkait pengurangan gas rumah kaca.
4
ICCSR - SektoR LImbah
2
KOnDisi sAAT ini DAn
TAnTAnGAn mAsA
DePAn
5
ICCSR - SektoR LImbah
Untuk merencanakan kegiatan mitigasi gas rumah kaca dari sektor sampah perlu ditentukan kondisi
baseline sebagai basis perhitungan. Kondisi baseline untuk perhitungan sektor sampah adalah tahun 2005,
yaitu periode sebelum diterapkannya UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Selain itu,
tahun 2005 dipilih karena data-data penelitian pada tahun 2005 relatif lebih lengkap dibandingkan dengan
tahun yang lain. Untuk perhitungan sampah domestik jumlah penduduk diproyeksikan sebagaimana
terlihat pada Gambar 2.1.
Kondisi baseline pengelolaan sampah di Indonesia tahun 2005 dapat dibedakan menjadi (1) kondisi
sumber sampah, (2) kondisi pengangkutan sampah, (3) kondisi pemrosesan sampah, (4) kondisi reduksi,
daur ulang dan daur pakai (3R), dan (5) kebijakan dan peraturan perundangan.
Gambar 2.1 Proyeksi Jumlah Penduduk Perkotaan dan Pedesaan di Indonesia (2005-2030)
2.1
Kondisi Sumber Sampah
Indonesia pada tahun 2005 memiliki tingkat produksi sampah perkapita 0,6 kg/orang/hari untuk wilayah
perkotaan dan 0,3 kg/orang/hari untuk wilayah pedesaan. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi,
produksi sampah perkapita akan terus naik sehingga di tahun 2030 mencapai 1,2 kg/kapita/hari untuk
perkotaan dan 0,55 kg/orang/hari untuk pedesaan sebagaimana dijelaskan dalam Gambar 2.2. Dengan
jumlah penduduk sebagaimana dijelaskan dalam Gambar 2.1, dihasilkan proyeksi timbulan sampah
(lihat Gambar 2.3). Sebagai contoh, pada tahun 2005 dengan jumlah penduduk 218,8 juta (BPS, 2006)
menghasilkan sampah domestik sekitar 33,5 Megaton.
6
ICCSR - SektoR LImbah
Gambar 2.2 Proyeksi Timbulan Sampah Perkapita (2005-2030)
Di negara-negara Asia, data komposisi sampah tidak mudah didapatkan pada skala nasional. Sampah
organik merupakan komponen utama dalam persampahan. Proporsi sampah organik adalah antara 3470%, lebih tinggi 20-30% dari kebanyakan negara di Eropa. Saat ini, semakin banyak sampah plastik
dan kertas yang dihasilkan di setiap negara di Asia, yang menunjukkan perubahan gaya hidup. Seiring
peningkatan transisi ekonomi, komposisi sampah di Indonesia semakin mendekati negara-negara industri,
yaitu dengan peningkatan prosentase kertas dan plastik dan penurunan komponen sampah organik.
Gambar 2.3 Proyeksi Timbulan Sampah di Indonesia (2005-2030)
7
ICCSR - SektoR LImbah
Sebaran sampah hasil proyeksi disampaikan dalam Gambar 2.4 dan Gambar 2.5. Gambar 2.4 menunjukkan
sebaran timbulan sampah di Indonesia pada tahun 2010. Sedangkan Gambar 2.5 menunjukkan sebaran
timbulan sampah di Indonesia pada tahun 2030.
Gambar 2.4 Peta Sebaran Proyeksi Timbulan Sampah Domestik Tahun 2010
Pada tahun 2030, sebagaimana terlihat pada Gambar 2.5, volume sampah domestik yang tinggi bukan
hanya terjadi di Pulau Jawa tetapi juga di Pulau Sumatera.
Gambar 2.5 Peta Sebaran Proyeksi Timbulan Sampah Domestik Tahun 2030
8
ICCSR - SektoR LImbah
2.2
Kondisi Pengangkutan
Di Indonesia sekitar 50% sampah di perkotaan dan 20% sampah di pedesaan diangkut secara kolektif
oleh dinas kebersihan, atau lembaga lain yang ditunjuk pemerintah kota/kabupaten (lihat Gambar 2.6).
Sampah yang tidak terangkut oleh pemerintah dikelola sendiri oleh masyarakat secara swadaya.
Gambar 2.6 Kondisi Pengangkutan Sampah di Indonesia tahun 2005
Sesuai dengan rencana kerja pemerintah, pengangkutan sampah diproyeksikan akan terus meningkat
dari tahun ke tahun (lihat Gambar 2.7). Secara umum, pekerjaan Dinas Kebersihan adalah mengangkut
sampah dari TPS menuju TPA, sementara komunitas perkotaan mengatur pengumpulan sampah dari
rumah-rumah ke TPS secara mandiri. Sistem pengumpulan sampah seperti ini masih banyak kelemahan
yaitu banyak sampah yang tidak dikumpulkan tetapi dibuang begitu saja di saluran drainase ataupun
sungai.
Selain itu, masih ada masalah teknis yang terkait dengan peralatan dan perlengkapan dalam pengelolaan
sampah. Secara umum kota/kabupaten di Indonesia mengalami kekurangan kendaraan untuk keperluan
pengumpulan dan pengangkutan sampah. Kendaraan yang usianya sudah tua juga memperlambat
transportasi sampah, sehingga tidak semua sampah dapat diangkut.
Aspek lain yang tak kalah penting adalah mengenai sumber pembiayaan penanganan limbah padat domestik.
Sebagian besar kota di Indonesia menggunakan sumber pembiayaan dari anggaran pembangunan
pemerintah dan dalam beberapa kasus adalah berasal dari pinjaman luar negeri. Sumber keuangan lainnya
berasal dari retribusi sampah yang dibebankan pada penghasil sampah. Namun sejak krisis ekonomi,
pendapatan melalui retribusi menurun seiring dengan berkurangnya kemampuan ekonomi masyarakat.
Saat ini masih ditemui kendala untuk menaikkan retribusi, karena masih terbatasnya kemampuan ekonomi
masyarakat.
9
ICCSR - SektoR LImbah
Gambar 2.7 Proyeksi Prosentase Pengangkutan Sampah oleh Pemerintah Daerah
2.3
Kondisi Pemrosesan Sampah
Sampah yang diangkut secara kolektif oleh pemerintah daerah tidak seluruhnya diproses di TPA (Tempat
Pemrosesan Akhir) namun mengalami berbagai proses lain sebagaimana dijelaskan dalam Gambar 2.8.
Secara lengkap kondisi pengelolaan persampahan di Indonesia ditunjukkan melalui Tabel 2.1. Berdasarkan
data penelitian di Bandung Raya dan informasi sekunder lainnya dari beberapa tempat di Indonesia, di
tahun 2005 (lihat Tabel 2.1), diperoleh data bahwa1 (a) sampah anorganik yang di-recovery sebanyak 3%, (b)
sampah organik dikompos sebanyak 1%, (c) sampah dibakar di TPS dan TPA 0,5%; diurug dengan open
dumping 45%; dan diurug dengan sanitary landill yang dilengkapi penangkap biogas 0,5%.
Sementara sebagian lagi sampah dikelola oleh masyarakat sendiri dengan komposisi sampah anorganik
yang di-recovery sebesar 3%, sampah organik yang dikompos sebanyak 1%, sampah dibakar sebanyak 5%,
dibuang ke saluran sungai 1% serta ditimbun dimana saja 40%. Sampah di pedesaan hanya sekitar 20%
yang diangkut oleh petugas swadaya masyarakat secara kolektif dan 80% sisanya dikelola sendiri oleh
masyarakat. Untuk sampah di pedesaan yang dikelola masyarakat sendiri tersebut, 40% dikelola dengan
cara pengomposan sampah organik.
1
Satuan % yang digunakan dalam naskah ini adalah terhadap berat basah sampah. Biasanya data yang disajikan oleh pengelola sampah di
Indonesia adalah berdasarkan % terhadap volume basah yang akan mempunyai densitas berbeda.
10
ICCSR - SektoR LImbah
Tabel 2.1 Kondisi pengelolaan persampahan di Indonesia tahun 2005
Tahun 2005
Satuan
Perkotaan
Pedesaan
kg/orang/hari
0,6
0,3
Kenaikan timbulan sampah per tahun
%
2,5
1
Sampah diangkut secara kolektif (Dinas)
%
50
20
Kenaikan sampah diangkut kolektif per-tahun
%
2 - 2,5
1
Timbulan sampah perkapita
Sampah dikelola kolektif 2005:
•
Anorganik direcovery
%
3
0,5
•
Organik dikomposkan
%
1
5,5
•
Dibakar di TPS dan TPA
%
0,5
10
•
Diurug di open dumping
%
45
4
•
Diurug dengan sanitary landill + penangkap biogas
%
0,5
0
%
50
20
Anorganik direcovery
%
3
5
•
Organik dikomposkan
%
1
40
•
Dibakar
%
5
20
•
Dibuang ke saluran sungai
%
1
5
•
Timbun dimana saja
%
40
10
%
50
80
Total
Sampah dikelola sendiri 2005:
•
Total
Sumber: Damanhuri, 2008
Gambar 2.8 menunjukkan bahwa dari 50% sampah yang diangkut di perkotaan, 45% diproses di landill
open dumping, dan sisanya direcovery, dikomposkan, dibakar, dan diproses di sanitary landill. Selain itu, dari
20% sampah yang diangkut di pedesaan sebagian diurug di open dumping, dikomposkan, dan sebagainya
(lihat Gambar 2.8).
11
ICCSR - SektoR LImbah
Gambar 2.8 Prosentase Kegiatan Pemrosesan Sampah di TPS dan TPA di Indonesia tahun 2005
Sampah yang tidak terangkut akan dikelola secara swadaya oleh masyarakat. Gambar 2.9 menunjukkan
kegiatan pengelolaan sampah yang dilakukan sendiri oleh masyarakat baik di perkotaan maupun di
pedesaan.
Gambar 2.9 Kegiatan Pengelolaan Sampah yang Tidak Terangkut (Dikelola Sendiri) tahun 2005
Sistem manajemen persampahan di Indonesia sebagian besar bergantung pada keberadaan landill karena
pemrosesan sampah akhir di Indonesia terbanyak menggunakan penimbunan/landill. TPA (Tempat
Pemrosesan Akhir) dengan sistem landill menjadi salah satu isu yang sangat penting dalam pengelolaan
limbah padat karena pada saat ini baru sebagian kecil landill di Indonesia yang dikelola dengan baik.
12
ICCSR - SektoR LImbah
Sebagian besar sampah ditransportasikan ke TPA yang diolah melalui open dumping, dan diestimasikan
bahwa hanya 10% yang diolah melalui sistem yang lebih baik seperti controlled landill. Hanya terdapat
sedikit perlindungan ataupun pengawasan terhadap air tanah sehingga lindi (leachate) dari sampah dapat
mencemari air tanah atau sungai. Selain itu, pondasi TPA biasanya berbatu, berkerikil ataupun area rawa
yang sangat sensitif terhadap polusi air (Damanhuri, 2008). Masalah lainnya adalah masyarakat banyak
menolak jika lahan atau lingkungannya dipilih untuk dijadikan TPA.
Alasan utama penggunaan open dumping terus diberlakukan di Indonesia adalah karena terbatasnya anggaran
operasional. Dengan anggaran operasional yang terbatas, sangat sulit untuk menutup area dengan lapisan
tanah dan mengkompaksi sampah lapisan demi lapisan. Pengoperasian open dumping menimbulkan banyak
masalah seperti terbentuknya asap, bau dan munculnya lalat. Di banyak kasus, ditemukan sampah yang
berasal dari industri dan sampah patogen dari rumah sakit di TPA yang sama, walaupun sejak 1995
pemerintah Indonesia telah mengatur kriteria landill untuk sampah B3. Karena adanya pencampuran
sampah dari berbagai kriteria sampah yang berbeda, maka bahaya yang ditimbulkan oleh landill menjadi
semakin besar.
Selain itu, masalah utama dalam pengelolaan sampah menggunakan landill adalah ketika landill telah
penuh. Secara pengelolaan juga banyak kelemahan, seperti perhatian hanya diberikan ketika TPA mulai
penuh atau terdapat gangguan pada operasional. Selain itu, pengelolaan masih belum dilakukan secara
terintegrasi.
2.4
Kondisi Reduksi, Daur Ulang, dan Daur Pakai (3R)
Pada umumnya Solid Waste Management (SWM) di Indonesia sangat bergantung pada keberadaan Tempat
Pemrosesan Akhir (TPA). Pengolahan level menengah sudah dibangun sebagai bentuk usaha untuk
mengurangi jumlah sampah yang dibuang ke TPA. Sampai saat ini, sangat sedikit tempat pemrosesan level
menengah yang dikelola secara profesional di Indonesia. Pusat pengolahan komunitas (3R) juga dibentuk
sebagai solusi untuk mengurangi jumlah sampah. Kondisi reduksi, daur ulang dan daur pakai pada tahun
2005 dapat dilihat pada Tabel 2.1, Gambar 2.8 dan Gambar 2.9.
Melalui metode 3R (reduce, reuse, dan recycle) beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan,
Semarang dan Yogyakarta mulai mengembangkan pengolahan level menengah dengan mengompos dan
mendaur ulang sampah anorganik untuk mengurangi jumlah sampah yang dibuang ke TPA. Masalah
yang dihadapi adalah mahalnya harga pupuk kompos yang dihasilkan yaitu sekitar Rp 300 – Rp. 400/kg,
dibandingkan dengan pupuk anorganik yang lebih murah. Sampah anorganik di Indonesia juga didaur
ulang dan dilakukan oleh pemulung. Dari segi ekonomi sektor ini memberikan keuntungan ekonomi yang
signiikan.
Komposisi sampah merupakan faktor yang sangat menentukan dalam pengomposan dan daur ulang.
Terdapat dua komposisi utama sampah, yaitu sampah basah atau sampah organik (sampah makanan,
13
ICCSR - SektoR LImbah
dsb.) yang dapat dilakukan pengomposan, dan sampah kering atau sampah anorganik (plastik, kertas,
gelas, dsb.) yang dapat di daur ulang. Perlu diperhatikan bahwa beberapa komponen dari barang bekas
di Indonesia, seperti koran, buku bekas, majalah, baju bekas, komponen elektronik bekas, biasanya tidak
dianggap sampah yang harus dibuang ke tempat sampah; dan biasanya dikumpulkan oleh sektor informal
seperti tukang loak dan pemulung dijual ke penampungan barang bekas.
Aspek penting lainnya dalam pengelolaan sampah yaitu daur ulang dan peranan sektor informal. Di
Indonesia, terdapat dua aliran daur ulang. Aliran pertama, kolektor sebagai sektor informal mengumpulkan
bahan-bahan yang dapat didaur ulang di sumber. Aliran kedua, material ini dipisahkan dan didaur ulang
oleh kota/kabupaten setelah pengumpulan sampah. Kegiatan daur ulang ini melibatkan ibu rumah tangga,
dinas kebersihan, dan pemulung.
Di negara berkembang tingkat daur ulang komponen sampah anorganik adalah cukup tinggi sehingga
menimbulkan dampak positif berupa manfaat ekonomi pada masyarakat. Meskipun metode yang
digunakan untuk pemilahan/sortasi dan pemisahan sampah di negara-negara berkembang ini dianggap
tidak sesuai untuk sistem manajemen sampah seperti yang dideinisikan oleh negara-negara maju, metode
yang ada tersebut tidak hanya memberikan arus pendapatan ekonomi kepada ratusan ribu orang yang
terlibat dalam sektor informal ini, tetapi juga memberikan kontribusi positif berupa lebih banyaknya
sampah yang dapat didaur ulang.
2.5
Kebijakan dan Peraturan Perundangan
Pengelolaan sampah dilakukan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, mencegah polusi lingkungan
dan melindungi sumber daya air bersih sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Pengelolaan
Lingkungan Hidup Nomor 32/2009. Pengelolaan sampah diatur secara khusus dalam Undang-Undang
No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah. Sebelum UU No.18/2008 dikeluarkan, PP No.16/2005 telah
menempatkan masalah perlindungan sumber air akibat pencemaran dari TPA sebagai salah satu fokus
yang diatur. PP 16/2005 ini merupakan peraturan di bawah Undang-Undang Sumber Daya Air (UU
No.7/2004).
UU No.18/2008 tentang Pengelolaan Sampah menggariskan bahwa pengelolaan sampah hendaknya
berlandaskan hierarki pendekatan (a) pengurangan dan (b) penanganan sampah. Pengurangan (minimasi)
sampah dilandaskan atas prinsip (a) pembatasan (reduce), guna-ulang (reuse) dan daur-ulang (recycle) sebagai
prioritas pengelolaan sampah, yang dikenal sebagai pendekatan 3R. Makna dari pendekatan ini adalah
mengedepankan pengelolaan sampah di hulu yang dimulai dari upaya bagaimana agar sampah sesedikit
mungkin dihasilkan (reduce) dari kegiatan sehari-hari, seperti perubahan pola kerja lingkungan industri
penghasil dan pengguna pengemas untuk hasil produksinya, agar menghasilkan dan menggunakan
pengemas yang ramah lingkungan dengan volume sesedikit mungkin dan kelak setelah tidak digunakan,
sampahnya akan mudah didaur-ulang dan ditangani lebih lanjut. Mereka juga digariskan agar tetap
14
ICCSR - SektoR LImbah
tidak lepas tangan terhadap pengemas tersebut, yaitu dalam bentuk extended producers responsibility (EPR).
Sampah yang dihasilkan kemudian lebih diarahkan agar dikelola di sumber, melibatkan seluruh pemangku
kepentingan (stakeholders), melalui upaya guna-ulang dan daur-ulang. Sampah atau residu yang masih
tersisa selanjutnya ditangani secara baik dan profesional melalui pewadahan, pengumpulan, pemindahan,
pengangkutan dan pengolahan. Residu dari kegiatan ini kemudian wajib disingkirkan ke lingkungan secara
aman, agar tidak mengganggu kesehatan dan lingkungan. Oleh karenanya, UU-18/2008 menggariskan
bahwa dalam 5 tahun sejak UU tersebut dikeluarkan, open dumping yang selama ini merupakan cara yang
paling banyak dijumpai di Indonesia untuk menyingkirkan sampah, harus sudah digantikan dengan cara
landill yang lebih baik, seperti controlled dan sanitary landill. Selanjutnya UU tersebut menggariskan tentang
penguatan kapabilitas institusi, perbaikan hubungan antar stakeholder sebagai rekan dalam pengelolaan dan
peningkatan sumber investasi.
Keinginan pemerintah untuk mengedepankan pendekatan 3R telah secara nyata dikemukakan dalam
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum 21/PRT/M/2006 yang memfokuskan upaya 3R sebagai strategi
nasional yang menggariskan bahwa sampai tahun 2014 pengurangan sampah hendaknya mencapai 20%2.
Target strategi nasional pada sektor pengelolaan sampah adalah sebagai berikut:
1. Mendukung pencapaian tingkat pelayanan pengolahan sampah 60% pada tahun 2010.
2. Mendukung pengurangan jumlah sampah melalui 3R sampai 20% pada tahun 2014.
3. Meningkatkan kualitas landill:
-
Controlled Landill (CLF) untuk kota kecil dan menengah.
-
Sanitary Landill (SLF) untuk kota besar dan kota metropolitan.
-
Penghentian Open Dumping.
4. Mendukung pelaksanaan di tingkat institusi dan kerjasama regional.
Saat ini, implementasi pengelolaan persampahan di tingkat daerah dilaksanakan berdasarkan peraturan
pemerintah daerah, berkaitan dengan organisasi pengelola sampah, biaya retribusi dan pengangkutan
sampah dari sumber menuju TPA. Kendala terbesar terletak pada kurangnya kekuatan hukum yang
menyebabkan lemahnya implementasi peraturan tersebut.
2
Walau tidak tercantum, satuan yang digunakan dapat dipastikan adalah % volume basah. Penggunaan satuan ini, membutuhkan kehatihatian interpretasi, misalnya dalam klaim keberhasilan upaya daur ulang. Contoh: 1 truk botol plastik kosong mempunyai volume yang
sama dengan 1 truk sampah basah, namun mempunyai berat yang berbeda.
15
ICCSR - SektoR LImbah
2.6
Tantangan Pengelolaan Sampah ke Depan
Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan jumlah volume sampah.
Gambar 2.1 menunjukkan hasil perhitungan timbulan sampah perkotaan dan pedesaan di Indonesia yang
merupakan hasil proyeksi dari tahun 2005 hingga 2030. Jumlah volume sampah yang terus meningkat
ini akan menjadi masalah lingkungan yang serius jika tidak ditangani dengan baik. Sehingga pengelolaan
sampah perkotaan yang baik merupakan keharusan.
Pengelolaan Persampahan Domestik (Municipal Solid Waste/MSW) di Indonesia masih menghadapi banyak
masalah seperti:
•
Mayoritas kota tidak memiliki perencanaan (master plan) yang konsisten dalam penanganan sampah
karena Pengelolaan Persampahan masih belum diformalkan;
•
Pengelolaan Persampahan belum diberikan prioritas yang cukup dalam peraturan pemerintah
daerah sehingga menjadikan anggaran dana untuk pengelolaan sampah sangat terbatas;
•
Fasilitas untuk pengumpulan, transportasi, dan penyimpanan sampah juga terbatas;
•
Sebagian besar Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) merupakan open dumping yang menyebabkan
polusi air, udara, dan bau tidak sedap.
Untuk menyelesaikan masalah diatas pemerintah kota/kabupaten sebagai penyelenggara pengelolaan
sampah di level kota/kabupaten perlu meningkatkan program revitalisasi pengelolaan sampah yang
meliputi penyempurnaan institusi pengelola sampah, peraturan perundangan yang terkait, isu-isu teknis
pengelolaan sampah, infrastruktur pendukung, alternatif pembiayaan dan investasi, serta peningkatan
kesadaran, budaya, dan pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan sampah yang baik.
Selain itu, pengelolaan sampah ke depan sekurangnya harus menerapkan dua kebijakan utama. Kebijakan
pertama adalah pengurangan (reduce) sampah di sumber sebanyak mungkin, digunakan kembali (reuse)
dan didaur ulang (recycle) (3R) sebelum diangkut ke TPA. Kebijakan kedua yaitu pengelolaan sampah
harus dilakukan dengan mengintegrasikan partisipasi masyarakat. Dua kebijakan ini digunakan sebagai
prinsip dasar pengelolaan sampah sebagaimana yang dideskripsikan di dalam undang-undang pengelolaan
sampah. Sementara itu, partisipasi aktif masyarakat dalam program 3R sampah padat dimulai dari tingkat
perumahan dengan mengubah kebiasaan masyarakat menjadi lebih bersih dan sehat. Partisipasi industri
juga akan dilakukan dengan melaksanakan EPR (Extended Producer Responsibility) yaitu prinsip untuk
produsen dan importir sampah B3.
Pengelolaan sampah ke depan harus mulai memperhitungkan konversi sampah menjadi sumber energi.
Selain itu, pengelolaan sampah harus terintegrasi dengan kegiatan mitigasi perubahan iklim sehingga
terjadi co-beneit yang menguntungkan. Perhatian yang lebih besar baik dari sisi program maupun
anggaran merupakan tantangan bagi setiap kota/kabupaten dalam rangka menciptakan pembangunan
daerah yang lebih berwawasan lingkungan.
16
ICCSR - SektoR LImbah
3
POTensi miTiGAsi Di
seKTOR sAmPAH
17
ICCSR - SektoR LImbah
3.1
Metode Perhitungan
Emisi gas rumah kaca dari sektor persampahan pada umumnya berupa metana (CH4) yang dihasilkan dari
TPA dan CO2 yang dihasilkan dari kegiatan pembakaran terbuka. Emisi dari pembakaran terbuka lebih
sulit untuk dikontrol dibandingkan emisi dari TPA. Selain itu, pembakaran dan daur ulang kertas dan
plastik menghasilkan gas N2O yang jika dikonversikan menjadi CO2 ekuivalen (Eq.) adalah 310 kalinya.
Berdasarkan uraian di Bab 2 bahwa di Indonesia sampah dikelola dengan dikompos, dibakar, dibuang
ke sungai, diurug, dibuang ke landill, dan sebagainya. Potensi gas rumah kaca yang dihasilkan berbeda
tergantung dari proses yang terjadi tersebut. Untuk pembakaran terbuka dan dekomposisi natural, proporsi
sampah yang dapat terurai secara biologi di Indonesia adalah lebih tinggi. Dalam proses pembakaran terjadi
reaksi aerob yang menghasilkan CO2, namun tidak ada gas rumah kaca yang dilepaskan ke udara. Emisi
CH4 dari landill merupakan hasil dekomposisi anaerobik dari materi organik dalam sampah. Sampah
dalam landill terdekomposisi perlahan, dan waktu dekomposisi dapat berlangsung dalam beberapa
dekade. Pada dasarnya gas yang terbentuk terdiri atas gas metana dan gas karbondioksida.
Sebelum melakukan mitigasi dari sektor sampah, perlu dilakukan perhitungan emisi CH4 yang dihasilkan
dari sampah tersebut. Pada dasarnya perhitungan emisi dari landill menggunakan IPCC First Order
Decay (FOD) model (IPCC, 2006) dengan persamaan dasar untuk mengestimasi emisi CH4 adalah sebagai
berikut:
CH4 tahun ke-t (Gg/thn) = ∑x [A ● k ● MSW(t) (x) ● MSW(F) (x) ● Lo (x)) ●e-k(t-x)]
Dimana
CH4
t
x
A
MSWT(x)
MSWF(x)
Lo(x)
= CH4 yang dihasilkan dalam tahun ke-t, Gg/tahun
= tahun perhitungan inventory
= tahun ketika data dimasukkan
= (1-e-k)/k ; faktor normalisasi untuk mengoreksi hasil perhitungan
= jumlah total sampah yang dihasilkan dalam tahun x (Gg/tahun)
= fraksi jumlah sampah yang diproses di landill dalam tahun x
= potensi CH4 yang dihasilkan (Gg CH4/Gg sampah)
Laju pembentukan CH4 dari landill sangat spesiik untuk kawasan tertentu karena pembentukannya
tergantung kepada jenis sampah yang dibuang, elemen kelembaban, umur sampah dan kondisi iklim lokal.
Sehingga untuk laporan ini digunakan data-data penelitian lokal sebagaimana terdapat pada Tabel 3.1.
18
ICCSR - SektoR LImbah
Tabel 3.1 Faktor Emisi untuk Setiap Kegiatan Pengolahan Sampah
Kegiatan
1.
2.
Transportasi Sampah
(Sumber: Alisan Smith et al, 2001:
Waste management options and
climate change, AEA TechnoEnvironment)
Degradasi Sampah di Landill.
Dihitung berdasarkan kondisi sampah
di Indonesia: kadar air, kadar karbonorganik, dsb.
Faktor Emisi
75 kg CH4/ton sampah
dan
0,05 kg N2O/ ton
sampah
2.237 kg CO2/
ton sampah
Plastik
N2O = 310 CO2 dan CH4 = 23 CO2,
nantinya disebut sebagai CO2 eq.
0,05 kg N2O/ ton
sampah
210 kg CO2/ton sampah
Kertas
organik
5.
Pada Sanitary Landill yang baik,
maksimum 90% emisi dapat
tertangkap.
105 kg CO2/ton sampah
Pembakaran Sampah
4. Pengomposan
Rata-rata perjalanan ke TPA = 50 km
per 2,5 ton sampah
0,71 kg CO2/km
Kertas
organik
3.
Keterangan
dan
Daur Ulang
Plastik
0,05 kg N2O/ ton
sampah
2.237 kg CO2/
ton sampah
N2O = 310 CO2 dan CH4 = 23 CO2,
nantinya disebut sebagai CO2 eq.
0,05
N2O/ton
sampah
6.
Pengelolaan Sampah lainnya
S a m p a h
ditimbun dimana
saja dan dibuang
langsung
ke
sungai
750 kg CO2/ ton
sampah
Sumber: Damanhuri, 2008
Untuk menghitung biaya mitigasi dibuat satuan harga pengoperasian dan pemeliharaan unit pengelolaan
sampah seperti ditunjukkan pada Tabel 3.2. Reduksi emisi adalah selisih antara emisi GRK yang dihasilkan
BAU (Business as usual) dengan emisi GRK skenario tertentu. Emisi GRK dibuat dalam satuan CO2
equivalen (CO2 eq). Rumus perhitungan untuk mendapatkan reduksi emisi dalam CO2 eq adalah sebagai
berikut:
Rumus Perhitungan Reduksi Emisi GRK (dalam CO2 eq):
Reduksi Emisi GRK (dalam CO2 eq) = Emisi GRK BAU –
Emisi GRK Skenario
19
ICCSR - SektoR LImbah
Tabel 3.2 Biaya untuk setiap Kegiatan Pengolahan Sampah
Kegiatan
Biaya Operasi dan Pemeliharaan
per Ton Sampah
(Rp)
1.
2.
3.
4.
5.
Pengangkutan
Sanitary Landill
Open Dumping
Controlled Landill
Pengomposan
50.000 – 60.000
60.000 – 100.000
10.000 – 20.000
30.000 – 50.000
15.000 – 20.000
(perkiraan dalam
USD Dollar)
5–6
6 – 10
1–2
3–5
1,5 – 2
Sumber: Damanhuri, 2008
Mitigasi emisi gas rumah kaca dapat dilakukan setelah proses identiikasi potensi emi
Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap – ICCSR
Sektor Limbah
Penasehat
Prof. Armida S. Alisjahbana, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas
Kepala Editor
U. Hayati Triastuti, Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas
Koordinator ICCSR
Edi Effendi Tedjakusuma, Direktur Lingkungan Hidup, Bappenas
Editor
Irving Mintzer, Syamsidar Thamrin, Heiner von Luepke, Dieter Brulez
Laporan Sintesis
Koordinator Penyusun untuk Mitigasi:: Hardiv Haris Situmeang
Laporan Sektor Limbah
Penyusun: Asep Sofyan, Enri Damanhuri, Oman Abdurrahman.
Tim Pendukung Teknis
Chandra Panjiwibowo, Indra Ni Tua, Edi Riawan, Hendra Julianto
Tim Administrasi
Altamy Chrysan Arasty, Risnawati, Rinanda Ratna Putri, Siwi Handinah, Wahyu Hidayat, Eko Supriyatno,
Rama Ruchyama, Arlette Naomi, Maika Nurhayati, Rachman
i
ICCSR - SektoR LImbah
uCAPAn TeRimA KAsiH
Dokumen Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) bertujuan untuk memberikan masukan pada
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2009-2014 berkaitan dengan
perubahan iklim, serta sebagai masukan pada RPJMN berikutnya hingga tahun 2030. Dokumen ini
memberikan arahan detail dalam menghadapi tantangan perubahan iklim di sektor kehutanan, energi,
industri, pertanian, perhubungan, daerah pesisir, sumber daya air, limbah, dan kesehatan. Sudah merupakan
kebijakan dari Bappenas untuk mengakomodasi peluang dan tantangan di sektor-sektor tersebut melalui
perencanaan pembangunan dan koordinasi antara kementerian dan badan terkait secara efektif. Dokumen
ini bersifat dinamis dan akan selalu diperbaharui berdasarkan kebutuhan dan tantangan yang timbul
dalam menghadapi perubahan ikllim di masa mendatang. Perubahan dan penyempurnaan dari dokumen
ini akan dilakukan melalui konsultasi partisipatif antara para pemangku kepentingan.
Penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Ibu Armida S. Alisyahbana selaku Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) atas dukungan
yang diberikan. Juga kepada Bapak Paskah Suzetta selaku mantan Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional/ Kepala Bappeanas yang menginisiasi dan member dukungan dalam pembuatan dokumen
ICCSR, serta kepada Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas, yang
telah menginisiasikan dan mengkoordinasikan pembuatan dokumen ICCSR ini.
Kepada seluruh anggota komite pengarah, kelompok kerja, dan para pemangku kepentingan di bawah
ini, yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat berharga dalam pembuatan dokumen
ICCSR Sektor Limbah, dedikasi serta kontribusinya sangat dihargai dan diucapkan terima kasih setinggitingginya:
Komite Pengarah
Deputi Kerjasama Internasional, Kementerian Koordinasi Perekonomian; Sekretaris Menteri, Kementerian
Koordinasi Kesejahteraan Rakyat; Sekretaris Jenderal, Kementerian Pekerjaan Umum; Deputi Bidang
Ekonomi, Deputi Bidang Sarana dan Prasarana, Deputi Bidang Pendanaan Pembangunan, Deputi Bidang
Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah,
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim.
Kelompok Kerja
Kementerian Negara Lingkungan Hidup
Sulistyowati, Haneda Sri Mulyanto, Dadang Hilman, Upik S. Aslia, Agus Gunawan, Yulia Suryanti
iii
ICCSR - SektoR LImbah
Kementerian Pekerjaan Umum
Djoko Murjanto, Mochammad Amron, Susmono, A. Hasanudin, Djoko Mursito, Handy Legowo, Setya
Budi Algamar, Agus S.K, Adelia Untari.S, Leonardo B, Desitriana, Devina Suzan, Nur. F. K, Agung. T,
Rindy Farrah, Yuke Ratnawulan, Zubaidah. K, Savitri. R
Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas
Sriyanti, Yahya R. Hidayat, Bambang Prihartono, Mesdin Kornelis Simarmata, Arum Atmawikarta,
Montty Girianna, Wahyuningsih Darajati, Basah Hernowo, M. Donny Azdan, Budi Hidayat, Anwar Sunari,
Hanan Nugroho, Jadhie Ardajat, Hadiat, Arif Haryana, Tommy Hermawan, Suwarno, Erik Amundito,
Rizal Primana, Nur H. Rahayu, Pungki Widiaryanto, Maraita, Wijaya Wardhana, Rachmat Mulyanda,
Andiyanto Haryoko, Petrus Sumarsono, Maliki
Universitas dan Profesional
ITB: Saut Lubis, Retno Gumilang; Asia Carbon: Architrandi Priambodo, Susy Simarangkir
Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh staf Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan
Lingkungan Hidup, Bappenas, yang selalu siap membantu dan menfasilitasi baik dalam hal teknis maupun
administrasi dalam proses penyelesaian dokumen ini.
Pembuatan dokumen ICCSR ini didukung oleh Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ)
melalui Study and Expert Fund for Advisory Services in Climate Protection. Atas dukungan tersebut, penghargaan
serta terima kasih yang setinggi-tingginya diberikan.
iv
ICCSR - SektoR LImbah
Kata Pengantar dari menteri Perencanaan
Pembangunan nasional/ Kepala Bappenas
Kita telah melihat bahwa dengan kemampuannya yang dapat
mempengaruhi ekosistem dunia, kehidupan populasi manusia dan
pembangunan, perubahan iklim telah menjadi isu kritis paling utama
yang mendapat perhatian serius dari para pembuat kebijakan di seluruh
dunia. Target utamanya adalah untuk mencegah peningkatan suhu
rata-rata global melebihi 2˚C, atau dengan kata lain menurunkan emisi
tahunan seluruh dunia hingga separuh dari kondisi sekarang pada tahun
2050. Kita percaya bahwa upaya ini tentunya membutuhkan respon
international yang solid – aksi kolektif untuk menghindari konlik
antara inisiatif kebijakan nasional dan internasional. Pada saat ekonomi
dunia sedang dalam tahap pemulihan dan negara-negara berkembang
sedang berupaya keras memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, dampak
perubahan iklim telah ikut serta dalam memperburuk kondisi kehidupan manusia. Untuk itu diperlukan
pengintegrasian perubahan iklim sebagai pilar penting dan fokus utama dalam agenda kebijakan
pembangunan yang berkelanjutan.
Kita menyadari bahwa perubahan iklim telah banyak diteliti dan dibahas di seluruh dunia. Berbagai solusi
telah ditawarkan, program-program telah didanai dan kemitraan telah terjalin. Namun di luar itu semua,
emisi karbon masih terus meningkat baik di negara maju maupun di negara berkembang. Karena lokasi
geograisnya, kerentanan Indonesia terhadap dampak negatif perubahan iklim harus menjadi perhatian
yang serius. Kita akan berhadapan, dan sudah terlihat oleh kita beberapa dampak negatif seperti musim
kemarau yang berkepanjangan, banjir, serta meningkatnya intensitas kejadian cuaca ekstrim. Kekayaan
keanekaragaman hayati kita juga berada dalam resiko.
Beberapa pihak yang memilih untuk bersikap diam dalam perdebatan isu perubahan iklim atau
memperlambat upaya penanggulangannya kini telah termarginalisasi oleh kenyataan saintiik yang tidak
terbantahkan. Puluhan tahun penelitian, analisis dan bukti-bukti nyata yang terjadi telah menunjukkan
pada kita bahwa perubahan iklim bukan hanya menjadi isu lingkungan saja, namun juga isu pembangunan
secara menyeluruh karena dampaknya akan terasa di semua sektor kehidupan manusia baik sebagai bangsa
maupun individu.
Sayangnya, kita tidak dapat mencegah atau menghindar dari beberapa dampak negatif perubahan iklim.
Kita dan khususnya Negara-negara maju telah terlalu lama berkontribusi dalam memanaskan bumi ini.
Kita harus bersiap oleh karena itu, untuk beradaptasi terhadap perubahan yang akan terjadi, dan dengan
v
ICCSR - SektoR LImbah
segenap tenaga berusaha untuk memitigasi agar tidak terjadi perubahan lebih lanjut dari iklim global
bumi. Kita telah meratiikasi Protokol Kyoto di masa awal serta berkontribusi aktif dalam negosiasi
perubahan iklim dunia, dengan menjadi tuan rumah pada pelaksanaan Konvensi Para Pihak ke 13 United
Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yang telah melahirkan Bali Action Plan pada
tahun 2007. Kini, kita mencurahkan perhatian kita pada tantangan untuk mencapai target yang telah
dicanangkan oleh Presiden yaitu penurunan emisi sebesar 26% hingga tahun 2020. Aksi nyata sangat
penting. Namun sebelum melakukan aksi, kita harus siap dengan analisis yang komprehensif, perencanaan
strategis dan penetapan prioritas.
Untuk itu saya mengantarkan dokumen Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap, atau disebut ICCSR,
dengan tujuan agar perubahan iklim dapat diintegrasikan ke dalam sistem perencanaan pembangunan
nasional.
Dokumen ICCSR menampilkan visi strategis pada beberapa sektor utama yang terkait perubahan iklim,,
yaitu sektor kehutanan, energi, industri, perhubungan, pertanian, daerah pesisir, sumber daya air, limbah,
dan kesehatan. Dokumen Roadmap ini telah diformulasikan melalui analisis yang komprehensif. Kita
telah melakukan penaksiran kerentanan secara mendalam, penetapan opsi prioritas termasuk peningkatan
kapasitas dan respon strategis, dilengkapi dengan analisis keuangan dan dirangkum dalam perencanaan
aksi yang didukung oleh kementerian-kementerian terkait, mitra strategis dan para donor.
Saya meluncurkan dokumen ICCSR ini dan mengundang Saudara untuk ikut mendukung komitmen dan
kemitraan, serta bekerjasama dalam merealisasikan prioritas pembangunan berkelanjutan yang ramah
iklim serta melindungi populasi kita dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Prof. Armida S. Alisjahbana
vi
ICCSR - SektoR LImbah
Kata Pengantar dari Deputi menteri Bidang sumber
Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas
Sebagai bagian dari solusi dalam menghadapi perubahan iklim global,
Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi
Gas Rumah Kaca secara nasional hingga 26% dari kondisi dasar dalam
kurun waktu 10 tahun dengan menggunakan sumber pendanaan
dalam negeri, serta penurunan emisi hingga 41% jika ada dukungan
international dalam aksi mitigasi. Dua sektor utama yang berkontribusi
terhadap emisi adalah sektor kehutanan dan energi, terutama dari
kegiatan deforestasi dan pembangkit tenaga listrik, hal ini dikarenakan
oleh sebagian pembangkit yang masih menggunakan bahan bakar tidak
terbarukan seperti minyak bumi dan batubara, yang menjadi bagian dari
intensitas energi kita yang tinggi.
Dengan lokasi geograisnya yang unik, di antara negara-negara di dunia
kita termasuk salah satu negara yang paling rentan terhadap dampak negatif perubahan iklim. Pengukuran
terhadap hal ini diperlukan untuk melindungi masyarakat dari potensi bahaya yang ditimbulkan oleh naiknya
permukaan air laut, banjir, perubahan curah hujan, dan dampak negatif lainnya. Jika upaya adaptasi tidak
segera dilakukan, maka berdasarkan prediksi analisis, Indonesia dapat mengalami kekurangan sumber
air, penurunan hasil pertanian, serta hilangnya atau rusaknya habitat di berbagai ekosistem termasuk di
daerah pesisir pantai.
Aksi nasional dibutuhkan baik untuk memitigasi perubahan iklim global maupun untuk mengidentiikasi
upaya-upaya adaptasi yang diperlukan. Hal ini menjadi tujuan utama dari dokumen Indonesia Climate Change
Sectoral Roadmap, ICCSR. Prioritas tertinggi dari aksi-aksi tersebut akan diintegrasikan ke dalam sistem
perencanaan pembangunan nasional. Untuk itu kita telah berupaya membangun konsensus nasional
dan pemahaman mengenai opsi-opsi dalam merespon perubahan iklim. Indonesia Climate Change Sectoral
Roadmap (ICCSR) merepresentasikan komitmen jangka panjang untuk menurunkan emisi dan melakukan
upaya adaptasi serta menunjukkan kesiapan perencanaan program-program yang inovatif dalam upaya
mitigasi dan adaptasi hingga puluhan tahun mendatang.
Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
U. Hayati Triastuti
vii
ICCSR - SektoR LImbah
DAFTAR isi
Tim Penyusun
i
Ucapan Terima Kasih
iii
Kata Pengantar dari Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas
iv
Kata Pengantar dari Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas vi
Daftar Isi
vii
Daftar Tabel
ix
Daftar Gambar
xi
Daftar Istilah, Singkatan dan Satuan
xii
1
2
3
PENDAHULUAN
1
1.1
Latar Belakang dan Tujuan
1
1.2
Metodologi Penulisan Laporan
2
1.2.1
Analisis
2
1.2.2
Proses Partisipasi Pemangku Kepentingan
2
1.2.3
Sistematika Penulisan Laporan
3
KONDISI SAAT INI DAN TANTANGAN MASA DEPAN
4
2.1
Kondisi Sumber Sampah
4
2.2
Kondisi Pengangkutan
7
2.3
Kondisi Pemrosesan Sampah
9
2.4
Kondisi Reduksi, Daur Ulang, dan Daur Pakai (3R)
12
2.5
Kebijakan dan Peraturan Perundangan
13
2.6
Tantangan Pengelolaan Sampah ke Depan
14
POTENSI MITIGASI DI SEKTOR SAMPAH
17
3.1
Metode Perhitungan
17
3.2
Pemanfaatan CH4 dari Landill menjadi Energi Listrik
20
viii
ICCSR - SektoR LImbah
4
SKENARIO POTENSI MITIGASI DAN ISU-ISU STRATEGIS
DARI PERUBAHAN IKLIM PADA SEKTOR LIMBAH
5
22
4.1
Skenario Mitigasi Gas Rumah Kaca dari Sektor Sampah
22
4.2
Skenario Mitigasi Gas Rumah Kaca di Perkotaan
23
4.3
Skenario Mitigasi Gas Rumah Kaca di Pedesaan
30
4.4
Hasil Perhitungan Mitigasi Gas Rumah Kaca dari Sektor Sampah
33
4.5
Perhitungan Abatement Cost
41
KEBIJAKAN PENANGANAN SAMPAH DAN PENGINTEGRASIAN
MITIGASI PERUBAHAN IKLIM KE DALAM PERENCANAAN SEKTOR LIMBAH
45
5.1
Penyusunan Alternatif Kebijakan Mitigasi berdasarkan Perbedaan Jumlah Pembiayaan 45
5.2
Isu-isu Strategis Perubahan Iklim Pada Sektor Limbah
53
5.2.1
Kelompok Program Inventarisasi Data dan Perencanaan
54
5.2.2
Kelompok Program Regulasi dan Kebijakan
54
5.2.3
Kelompok Program Implementasi
55
5.2.4
Kelompok Program Capacity Program
56
DAFTAR PUSTAKA
57
LAMPIRAN A
59
ix
ICCSR - SektoR LImbah
DAFTAR TABeL
Tabel 2.1
Kondisi pengelolaan persampahan di Indonesia tahun 2005
9
Tabel 3.1
Faktor Emisi untuk Setiap Kegiatan Pengolahan Sampah
18
Tabel 3.2
Biaya untuk setiap Kegiatan Pengolahan Sampah
19
Tabel 3.3
Asumsi perencanaan landill, instalasi laring dan pembangkit listrik
21
Table 4.1
Matriks Perbandingan Skenario Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca
Sektor Sampah di Indonesia untuk wilayah Perkotaan
Tabel 4.2
39
Matriks Perbandingan Skenario Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca
Sektor Sampah di Indonesia untuk wilayah Pedesaan
41
Tabel 5.1
Asumsi yang digunakan dalam Alternatif 1 (BAU)
47
Tabel 5.2
Rekapitulasi asumsi dalam Alternatif 1 (BAU)
48
Tabel 5.3
Asumsi yang digunakan dalam alternatif 2 (Law-Based, Pembiayaan Maksimal)
49
Tabel 5.4
Rekapitulasi Asumsi dalam Alternatif 2 (Law-Based, Pembiayaan Maksimal)
50
Tabel 5.5
Asumsi yang digunakan dalam Alternatif 3 (Pembiayaan Optimis)
51
Tabel 5.6
Rekapitulasi Asumsi dalam Alternatif 3 (Pembiayaan Optimis)
52
Tabel 5.7
Asumsi yang digunakan dalam Alternatif 4 (Pembiayaan Moderat)
53
Tabel 5.8
Rekapitulasi Asumsi dalam Alternatif 4 (Pembiayaan Moderat)
54
Tabel 5.9
Asumsi yang digunakan dalam Alternatif 5 (Pembiayaan Pesimis)
55
Tabel 5.10
Rekapitulasi Asumsi dalam Alternatif 5 (Pembiayaan Pesimis)
56
Table 5.11
Matriks Aksi Mitigasi Alternatif Kebijakan
(berdasarkan Perbedaan Jumlah Pembiayaan)
50
x
ICCSR - SektoR LImbah
DAFTAR GAmBAR
Gambar 2.1
Proyeksi Jumlah Penduduk Perkotaan dan Pedesaan di Indonesia (2005-2030)
4
Gambar 2.2
Proyeksi Timbulan Sampah Perkapita (2005-2030)
5
Gambar 2.3
Proyeksi Timbulan Sampah di Indonesia (2005-2030)
6
Gambar 2.4
Peta Sebaran Proyeksi Timbulan Sampah Domestik Tahun 2010
6
Gambar 2.5
Peta Sebaran Proyeksi Timbulan Sampah Domestik Tahun 2030
7
Gambar 2.6
Kondisi Pengangkutan Sampah di Indonesia tahun 2005
7
Gambar 2.7
Proyeksi Prosentase Pengangkutan Sampah oleh Pemerintah Daerah
8
Gambar 2.8
Prosentase Kegiatan Pemrosesan Sampah di TPS dan TPA di Indonesia tahun 2005 10
Gambar 2.9
Kegiatan Pengelolaan Sampah yang Tidak Terangkut (Dikelola Sendiri) tahun 2005
Gambar 4.1
Timbulan Sampah di Perkapita di Perkotaan untuk Skenario
11
Reduksi Sampah di Sumber
24
Gambar 4.2
Timbulan Sampah di Perkotaan untuk Skenario Reduksi Sampah di Sumber
25
Gambar 4.3
Proyeksi Prosentase Pemrosesan Sampah oleh Pemerintah di Perkotaan
Skenario 3R dan Pengomposan
Gambar 4.4
26
Proyeksi Prosentase Pemrosesan Sampah oleh Masyarakat di Perkotaan
Skenario 3R dan Pengomposan
26
Gambar 4.5
Proyeksi Pemrosesan Sampah oleh Pemerintah di Perkotaan Skenario SL + CL
27
Gambar 4.6
Proyeksi Pemrosesan Sampah oleh Masyarakat di Perkotaan Skenario SL+CL
28
Gambar 4.7
Proyeksi Pemrosesan Sampah oleh Pemerintah di Perkotaan Skenario SL+LFG
29
Gambar 4.8
Proyeksi Pemrosesan Sampah oleh Masyarakat di Perkotaan Skenario SL+LFG
29
Gambar 4.9
Proyeksi Pemrosesan Sampah oleh Pemerintah di Pedesaan
Skenario dibakar/ditimbun dimana saja
Gambar 4.10
30
Proyeksi Pemrosesan Sampah oleh Masyarakat di Pedesaan
Skenario dibakar/ditimbun dimana saja
31
xi
ICCSR - SektoR LImbah
Gambar 4.11
Timbulan Sampah Perkapita di Pedesaan untuk Skenario Reduksi Sampah di Sumber 32
Gambar 4.12
Timbulan Sampah di Pedesaan untuk Skenario Reduksi Sampah di Sumber
32
Gambar 4.13
Emisi GRK (dalam Gg CO2 eq) di perkotaan untuk setiap skenario
34
Gambar 4.14
Emisi GRK (dalam Gg CO2 eq) di pedesaan untuk setiap skenario
35
Gambar 4.15
Reduksi emisi GRK (dalam Gg CO2 eq) di perkotaan untuk setiap skenario
36
Gambar 4.16
Reduksi emisi GRK (dalam Gg CO2 eq) di pedesaan untuk setiap skenario
36
Gambar 4.17
Biaya Pengelolaan Sampah di perkotaan untuk setiap skenario
37
Gambar 4.18
Biaya Mitigasi (Biaya Skenario – Biaya BAU) di perkotaan
37
Gambar 4.19
Biaya Pengelolaan Sampah di pedesaan untuk setiap skenario
38
Gambar 4.20
Biaya Mitigasi (Biaya Skenario – Biaya BAU) di pedesaan
38
Gambar 4.21
Perhitungan NPV Reduksi Emisi (ton CO2 eq) Setiap Skenario Perkotaan
41
Gambar 4.22 Perhitungan NPV Reduksi Emisi (ton CO2 eq) Setiap Skenario Pedesaan
42
Gambar 4.23
Perhitungan NPV Biaya Mitigasi (USD) Setiap Skenario Perkotaan
42
Gambar 4.24
Perhitungan NPV Biaya Mitigasi (USD) Setiap Skenario Pedesaan
43
Gambar 4.25
Perhitungan Abatement Cost (USD/ton) Setiap Skenario Perkotaan
43
Gambar 4.26
Perhitungan Abatement Cost (USD/ton) Setiap Skenario Pedesaan
44
Gambar 5.1
Emisi GRK (dalam Gg CO2 eq) tiap Alternatif terhadap Alternatif 1 (BAU)
57
Gambar 5.2
Reduksi Emisi GRK (dalam Gg CO2 eq) dibandingkan terhadap Alternatif 1 (BAU) 57
Gambar 5.3
Biaya Mitigasi Tiap Skenario dibandingkan alternatif 1 (BAU)
58
xii
ICCSR - SektoR LImbah
DAFTAR isTiLAH, sinGKATAn DAn sATuAn
BL
Baseline scenario
cap
capita
CDM
clean development mechanism
CER
certiied emission reduction
CH4
methane
CL
controlled landill
CO
carbon monoxide
CO2
carbon dioxide
CO2 eq
carbon dioxide equivalent
DOC
degradable organic carbon
DOCF
degradable organic carbon dissimilated
EF
emission factor
eq
equivalent
g
gram
Gg
gigagram
GHG
greenhouse gas
Gt
gigatonne
H2
hydrogen
H2O
water
ha
hectare
IPCC
Intergovernmental Panel on Climate Change
k
methane generation rate constant
kg
kilogram
kt
kilotonne
xiii
ICCSR - SektoR LImbah
kWh
kilowatt-hour
L
litre
L0
methane generation potential
LFG
landill gas
m
metre
m3
cubic metre
MCF
methane conversion factor
Mt
megatonnes
MSW
municipal solid waste
Mt
megatonne
mV
millivolt
MW
megawatt
N
nitrogen
N2
nitrogen gas
NA
not applicable
N/A
not available
N2O
nitrous oxide
O2
oxygen
OD
open dumping
OECD
Organisation for Economic Co-operation and Development
ppb
part per billion
ppbv
part per billion by volume
ppm
part per million
SL
sanitary landill
SO2
sulphur dioxide
SOx
sulphur oxides
xiv
ICCSR - SektoR LImbah
t
tonne
t-km
tonne-kilometre
TWh
terrawatt-hour
UNFCCC
United Nations Framework Convention on Climate Change
xv
ICCSR - SektoR LImbah
xvi
ICCSR - SektoR LImbah
1
PenDAHuLuAn
1
ICCSR - SektoR LImbah
1.1
Latar Belakang dan Tujuan
Sebagai usaha dalam mitigasi perubahan iklim, di tingkat nasional Indonesia telah melakukan langkahlangkah, diantaranya:
• Pemerintah Indonesia telah meratiikasi United Nations Framework of Climate Change Convention
(UNFCCC) melalui Undang-Undang No 6 Tahun 1994
• Pemerintah Indonesia telah meratiikasi Protokol Kyoto melalui Undang-Undang No 17 tahun
2004.
• Pada 26 November 2007, Kementerian Lingkungan Hidup menyusun Rencana Aksi Nasional
Perubahan Iklim (RAN-PI) sebagai komitmen dalam mitigasi gas rumah kaca dan perubahan
iklim.
• Sebagai tuan rumah dalam UN Conference of Parties (COP) in Global Warming ke 13 di Bali yang
diselenggarakan pada tanggal 3-14 Desember 2007.
• Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkomitmen untuk melakukan pengurangan gas rumah
kaca dengan target jangka menengah 26% di tahun 2020 (termasuk penggunaan lahan, perubahan
pemanfaatan lahan dan kehutanan) dan jika digabung dengan dukungan internasional, pemerintah
Indonesia yakin bahwa emisi gas rumah kaca dapat dikurangi sebanyak 41% [SBY, 2009]. Pemerintah
telah menyiapkan keputusan presiden untuk mendukung komitmen ini yang disiapkan pada Januari
2010.
• Pada September 2009, Badan Pengembangan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah meluncurkan
Indonesia’s Climate Change Trust Fund [ICCTF, 2009]. Ini merupakan mekanisme pendanaan untuk
menjembatani mekanisme internasional untuk perubahan iklim dengan tingkat nasional yang
eisien, transparan dan bertanggung-jawab.
Sektor limbah merupakan salah satu sumber emisi gas rumah kaca yang penting. Limbah padat dan cair
merupakan sumber signiikan CH4 yang penambahannya di atmosfer berkontribusi terhadap perubahan
iklim. Sehingga aksi nasional dalam mitigasi perubahan iklim di sektor limbah sangat penting. Di Indonesia,
sampah dapat dianalisis di lebih dari 400 Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Penanganan sampah di
tingkat pusat merupakan kewenangan dan tanggung jawab Departemen Pekerjaan Umum yaitu dalam
bidang teknis, dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup yaitu dalam aspek lingkungan hidup.
Dengan mempertimbangkan latar belakang tersebut, penyusunan Roadmap Perubahan Iklim Sektor
Limbah ditujukan untuk memberikan arahan penanganan mitigasi perubahan iklim di sektor limbah
padat/sampah, integrasinya ke dalam kebijakan dan program-program pembangunan sektor limbah
sehingga mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan. Selain itu, roadmap perubahan iklim
sektor limbah ini bertujuan juga untuk memberikan kontribusi terhadap upaya global dalam pengurangan
dampak negatif perubahan iklim. Penyusunan roadmap ini menekankan pada program-program yang
2
ICCSR - SektoR LImbah
mungkin dilakukan baik dalam jangka pendek maupun panjang. Pada saat ini sektor yang siap untuk
melakukan reduksi CH4 dari sektor limbah adalah dari sektor persampahan sehingga penanganan mitigasi
di sektor limbah roadmap ini dibatasi hanya untuk sektor persampahan. Saat ini sektor sampah sebagian
besar dikelola oleh Pemerintah Kota/Kabupaten, khususnya untuk lingkungan perkotaan.
1.2
1.2.1
Metodologi Penulisan Laporan
Analisis
Analisis dalam penyusunan roadmap perubahan iklim sektor sampah dilakukan dengan cara-cara sebagai
berikut:
a) Pengumpulan dan kajian dokumen-dokumen terkait sektor sampah dari Departemen Pekerjaan
Umum dan juga dari Bappenas seperti Synthesis Report for Indonesia’s Technology Needs Assessment on
Climate Change Mitigation, Bappenas-GTZ, Maret 2009.
b) Melakukan kajian literatur dan kajian dasar ilmiah mengenai dampak perubahan iklim terhadap
sektor sampah, salah satunya dilakukan dengan mengkaji dokumen-dokumen Guideline IPCC
2006.
c) Melakukan perhitungan timbulan sampah dan emisi GRK untuk sektor sampah.
d) Menyusun skenario emisi GRK sebagai dasar penyusunan program-program mitigasi sampah.
e) Menyusun program-program mitigasi sektor sampah.
1.2.2
Proses Partisipasi Pemangku Kepentingan
Partisipasi pemangku kepentingan diikutsertakan dalam proses penyusunan Roadmap ini melalui beberapa
cara di antaranya:
• Konsultasi dan diskusi yang dilakukan dengan pejabat, peneliti dan pakar di instansi terkait khususnya
Bappenas, Departemen Pekerjaan Umum, dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
• Penyelenggaraan Forum Group Discussion (FGD), Pra-FGD serta rapat-rapat koordinasi di lingkungan
Departemen Pekerjaan Umum dan instansi terkait yang telah dilaksanakan baik di Bappenas maupun
di Departemen Pekerjaan Umum. Dalam FGD ini juga dibahas mengenai isu lintas sektoral.
3
ICCSR - SektoR LImbah
1.2.3
Sistematika Penulisan Laporan
Laporan ini terbagi menjadi 5 bab dengan sistematika sebagai berikut:
• Bab 1 menjelaskan latar belakang dan tujuan penulisan laporan
• Bab 2 menjelaskan kondisi pengelolaan sampah di Indonesia
• Bab 3 menjelaskan metode perhitungan gas rumah kaca dari landill dan potensinya di Indonesia.
Bab ini juga menjelaskan berbagai asumsi yang dipakai dalam perhitungan.
• Bab 4 menjelaskan berbagai skenario mitigasi gas rumah kaca dari landill. Tujuan yang ingin dicapai
adalah untuk membandingkan jenis skenario yang paling efektif dan eisien dalam mitigasi gas
rumah kaca, yaitu dengan membandingkan abatement costnya.
• Bab 5 menjelaskan berbagai alternatif kebijakan berdasarkan asumsi pembiayaan. Alternatif di Bab
5 merupakan gabungan dari berbagai skenario di Bab 4 yang dirangkai secara terpadu dan bertahap.
Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk membandingkan berbagai alternatif pengelolaan sampah
yang dibagi berdasarkan jumlah pembiayaannya. Untuk mengetahui alternatif kebijakan yang paling
efektif dan eisien ditinjau dari pengurangan gas rumah kaca dibandingkan abatement costnya. Bab
5 juga menjelaskan program jangka menengah dan panjang yang merupakan hasil FGD dengan
sektor terkait khususnya Departemen Pekerjaan Umum terkait pengurangan gas rumah kaca.
4
ICCSR - SektoR LImbah
2
KOnDisi sAAT ini DAn
TAnTAnGAn mAsA
DePAn
5
ICCSR - SektoR LImbah
Untuk merencanakan kegiatan mitigasi gas rumah kaca dari sektor sampah perlu ditentukan kondisi
baseline sebagai basis perhitungan. Kondisi baseline untuk perhitungan sektor sampah adalah tahun 2005,
yaitu periode sebelum diterapkannya UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Selain itu,
tahun 2005 dipilih karena data-data penelitian pada tahun 2005 relatif lebih lengkap dibandingkan dengan
tahun yang lain. Untuk perhitungan sampah domestik jumlah penduduk diproyeksikan sebagaimana
terlihat pada Gambar 2.1.
Kondisi baseline pengelolaan sampah di Indonesia tahun 2005 dapat dibedakan menjadi (1) kondisi
sumber sampah, (2) kondisi pengangkutan sampah, (3) kondisi pemrosesan sampah, (4) kondisi reduksi,
daur ulang dan daur pakai (3R), dan (5) kebijakan dan peraturan perundangan.
Gambar 2.1 Proyeksi Jumlah Penduduk Perkotaan dan Pedesaan di Indonesia (2005-2030)
2.1
Kondisi Sumber Sampah
Indonesia pada tahun 2005 memiliki tingkat produksi sampah perkapita 0,6 kg/orang/hari untuk wilayah
perkotaan dan 0,3 kg/orang/hari untuk wilayah pedesaan. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi,
produksi sampah perkapita akan terus naik sehingga di tahun 2030 mencapai 1,2 kg/kapita/hari untuk
perkotaan dan 0,55 kg/orang/hari untuk pedesaan sebagaimana dijelaskan dalam Gambar 2.2. Dengan
jumlah penduduk sebagaimana dijelaskan dalam Gambar 2.1, dihasilkan proyeksi timbulan sampah
(lihat Gambar 2.3). Sebagai contoh, pada tahun 2005 dengan jumlah penduduk 218,8 juta (BPS, 2006)
menghasilkan sampah domestik sekitar 33,5 Megaton.
6
ICCSR - SektoR LImbah
Gambar 2.2 Proyeksi Timbulan Sampah Perkapita (2005-2030)
Di negara-negara Asia, data komposisi sampah tidak mudah didapatkan pada skala nasional. Sampah
organik merupakan komponen utama dalam persampahan. Proporsi sampah organik adalah antara 3470%, lebih tinggi 20-30% dari kebanyakan negara di Eropa. Saat ini, semakin banyak sampah plastik
dan kertas yang dihasilkan di setiap negara di Asia, yang menunjukkan perubahan gaya hidup. Seiring
peningkatan transisi ekonomi, komposisi sampah di Indonesia semakin mendekati negara-negara industri,
yaitu dengan peningkatan prosentase kertas dan plastik dan penurunan komponen sampah organik.
Gambar 2.3 Proyeksi Timbulan Sampah di Indonesia (2005-2030)
7
ICCSR - SektoR LImbah
Sebaran sampah hasil proyeksi disampaikan dalam Gambar 2.4 dan Gambar 2.5. Gambar 2.4 menunjukkan
sebaran timbulan sampah di Indonesia pada tahun 2010. Sedangkan Gambar 2.5 menunjukkan sebaran
timbulan sampah di Indonesia pada tahun 2030.
Gambar 2.4 Peta Sebaran Proyeksi Timbulan Sampah Domestik Tahun 2010
Pada tahun 2030, sebagaimana terlihat pada Gambar 2.5, volume sampah domestik yang tinggi bukan
hanya terjadi di Pulau Jawa tetapi juga di Pulau Sumatera.
Gambar 2.5 Peta Sebaran Proyeksi Timbulan Sampah Domestik Tahun 2030
8
ICCSR - SektoR LImbah
2.2
Kondisi Pengangkutan
Di Indonesia sekitar 50% sampah di perkotaan dan 20% sampah di pedesaan diangkut secara kolektif
oleh dinas kebersihan, atau lembaga lain yang ditunjuk pemerintah kota/kabupaten (lihat Gambar 2.6).
Sampah yang tidak terangkut oleh pemerintah dikelola sendiri oleh masyarakat secara swadaya.
Gambar 2.6 Kondisi Pengangkutan Sampah di Indonesia tahun 2005
Sesuai dengan rencana kerja pemerintah, pengangkutan sampah diproyeksikan akan terus meningkat
dari tahun ke tahun (lihat Gambar 2.7). Secara umum, pekerjaan Dinas Kebersihan adalah mengangkut
sampah dari TPS menuju TPA, sementara komunitas perkotaan mengatur pengumpulan sampah dari
rumah-rumah ke TPS secara mandiri. Sistem pengumpulan sampah seperti ini masih banyak kelemahan
yaitu banyak sampah yang tidak dikumpulkan tetapi dibuang begitu saja di saluran drainase ataupun
sungai.
Selain itu, masih ada masalah teknis yang terkait dengan peralatan dan perlengkapan dalam pengelolaan
sampah. Secara umum kota/kabupaten di Indonesia mengalami kekurangan kendaraan untuk keperluan
pengumpulan dan pengangkutan sampah. Kendaraan yang usianya sudah tua juga memperlambat
transportasi sampah, sehingga tidak semua sampah dapat diangkut.
Aspek lain yang tak kalah penting adalah mengenai sumber pembiayaan penanganan limbah padat domestik.
Sebagian besar kota di Indonesia menggunakan sumber pembiayaan dari anggaran pembangunan
pemerintah dan dalam beberapa kasus adalah berasal dari pinjaman luar negeri. Sumber keuangan lainnya
berasal dari retribusi sampah yang dibebankan pada penghasil sampah. Namun sejak krisis ekonomi,
pendapatan melalui retribusi menurun seiring dengan berkurangnya kemampuan ekonomi masyarakat.
Saat ini masih ditemui kendala untuk menaikkan retribusi, karena masih terbatasnya kemampuan ekonomi
masyarakat.
9
ICCSR - SektoR LImbah
Gambar 2.7 Proyeksi Prosentase Pengangkutan Sampah oleh Pemerintah Daerah
2.3
Kondisi Pemrosesan Sampah
Sampah yang diangkut secara kolektif oleh pemerintah daerah tidak seluruhnya diproses di TPA (Tempat
Pemrosesan Akhir) namun mengalami berbagai proses lain sebagaimana dijelaskan dalam Gambar 2.8.
Secara lengkap kondisi pengelolaan persampahan di Indonesia ditunjukkan melalui Tabel 2.1. Berdasarkan
data penelitian di Bandung Raya dan informasi sekunder lainnya dari beberapa tempat di Indonesia, di
tahun 2005 (lihat Tabel 2.1), diperoleh data bahwa1 (a) sampah anorganik yang di-recovery sebanyak 3%, (b)
sampah organik dikompos sebanyak 1%, (c) sampah dibakar di TPS dan TPA 0,5%; diurug dengan open
dumping 45%; dan diurug dengan sanitary landill yang dilengkapi penangkap biogas 0,5%.
Sementara sebagian lagi sampah dikelola oleh masyarakat sendiri dengan komposisi sampah anorganik
yang di-recovery sebesar 3%, sampah organik yang dikompos sebanyak 1%, sampah dibakar sebanyak 5%,
dibuang ke saluran sungai 1% serta ditimbun dimana saja 40%. Sampah di pedesaan hanya sekitar 20%
yang diangkut oleh petugas swadaya masyarakat secara kolektif dan 80% sisanya dikelola sendiri oleh
masyarakat. Untuk sampah di pedesaan yang dikelola masyarakat sendiri tersebut, 40% dikelola dengan
cara pengomposan sampah organik.
1
Satuan % yang digunakan dalam naskah ini adalah terhadap berat basah sampah. Biasanya data yang disajikan oleh pengelola sampah di
Indonesia adalah berdasarkan % terhadap volume basah yang akan mempunyai densitas berbeda.
10
ICCSR - SektoR LImbah
Tabel 2.1 Kondisi pengelolaan persampahan di Indonesia tahun 2005
Tahun 2005
Satuan
Perkotaan
Pedesaan
kg/orang/hari
0,6
0,3
Kenaikan timbulan sampah per tahun
%
2,5
1
Sampah diangkut secara kolektif (Dinas)
%
50
20
Kenaikan sampah diangkut kolektif per-tahun
%
2 - 2,5
1
Timbulan sampah perkapita
Sampah dikelola kolektif 2005:
•
Anorganik direcovery
%
3
0,5
•
Organik dikomposkan
%
1
5,5
•
Dibakar di TPS dan TPA
%
0,5
10
•
Diurug di open dumping
%
45
4
•
Diurug dengan sanitary landill + penangkap biogas
%
0,5
0
%
50
20
Anorganik direcovery
%
3
5
•
Organik dikomposkan
%
1
40
•
Dibakar
%
5
20
•
Dibuang ke saluran sungai
%
1
5
•
Timbun dimana saja
%
40
10
%
50
80
Total
Sampah dikelola sendiri 2005:
•
Total
Sumber: Damanhuri, 2008
Gambar 2.8 menunjukkan bahwa dari 50% sampah yang diangkut di perkotaan, 45% diproses di landill
open dumping, dan sisanya direcovery, dikomposkan, dibakar, dan diproses di sanitary landill. Selain itu, dari
20% sampah yang diangkut di pedesaan sebagian diurug di open dumping, dikomposkan, dan sebagainya
(lihat Gambar 2.8).
11
ICCSR - SektoR LImbah
Gambar 2.8 Prosentase Kegiatan Pemrosesan Sampah di TPS dan TPA di Indonesia tahun 2005
Sampah yang tidak terangkut akan dikelola secara swadaya oleh masyarakat. Gambar 2.9 menunjukkan
kegiatan pengelolaan sampah yang dilakukan sendiri oleh masyarakat baik di perkotaan maupun di
pedesaan.
Gambar 2.9 Kegiatan Pengelolaan Sampah yang Tidak Terangkut (Dikelola Sendiri) tahun 2005
Sistem manajemen persampahan di Indonesia sebagian besar bergantung pada keberadaan landill karena
pemrosesan sampah akhir di Indonesia terbanyak menggunakan penimbunan/landill. TPA (Tempat
Pemrosesan Akhir) dengan sistem landill menjadi salah satu isu yang sangat penting dalam pengelolaan
limbah padat karena pada saat ini baru sebagian kecil landill di Indonesia yang dikelola dengan baik.
12
ICCSR - SektoR LImbah
Sebagian besar sampah ditransportasikan ke TPA yang diolah melalui open dumping, dan diestimasikan
bahwa hanya 10% yang diolah melalui sistem yang lebih baik seperti controlled landill. Hanya terdapat
sedikit perlindungan ataupun pengawasan terhadap air tanah sehingga lindi (leachate) dari sampah dapat
mencemari air tanah atau sungai. Selain itu, pondasi TPA biasanya berbatu, berkerikil ataupun area rawa
yang sangat sensitif terhadap polusi air (Damanhuri, 2008). Masalah lainnya adalah masyarakat banyak
menolak jika lahan atau lingkungannya dipilih untuk dijadikan TPA.
Alasan utama penggunaan open dumping terus diberlakukan di Indonesia adalah karena terbatasnya anggaran
operasional. Dengan anggaran operasional yang terbatas, sangat sulit untuk menutup area dengan lapisan
tanah dan mengkompaksi sampah lapisan demi lapisan. Pengoperasian open dumping menimbulkan banyak
masalah seperti terbentuknya asap, bau dan munculnya lalat. Di banyak kasus, ditemukan sampah yang
berasal dari industri dan sampah patogen dari rumah sakit di TPA yang sama, walaupun sejak 1995
pemerintah Indonesia telah mengatur kriteria landill untuk sampah B3. Karena adanya pencampuran
sampah dari berbagai kriteria sampah yang berbeda, maka bahaya yang ditimbulkan oleh landill menjadi
semakin besar.
Selain itu, masalah utama dalam pengelolaan sampah menggunakan landill adalah ketika landill telah
penuh. Secara pengelolaan juga banyak kelemahan, seperti perhatian hanya diberikan ketika TPA mulai
penuh atau terdapat gangguan pada operasional. Selain itu, pengelolaan masih belum dilakukan secara
terintegrasi.
2.4
Kondisi Reduksi, Daur Ulang, dan Daur Pakai (3R)
Pada umumnya Solid Waste Management (SWM) di Indonesia sangat bergantung pada keberadaan Tempat
Pemrosesan Akhir (TPA). Pengolahan level menengah sudah dibangun sebagai bentuk usaha untuk
mengurangi jumlah sampah yang dibuang ke TPA. Sampai saat ini, sangat sedikit tempat pemrosesan level
menengah yang dikelola secara profesional di Indonesia. Pusat pengolahan komunitas (3R) juga dibentuk
sebagai solusi untuk mengurangi jumlah sampah. Kondisi reduksi, daur ulang dan daur pakai pada tahun
2005 dapat dilihat pada Tabel 2.1, Gambar 2.8 dan Gambar 2.9.
Melalui metode 3R (reduce, reuse, dan recycle) beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan,
Semarang dan Yogyakarta mulai mengembangkan pengolahan level menengah dengan mengompos dan
mendaur ulang sampah anorganik untuk mengurangi jumlah sampah yang dibuang ke TPA. Masalah
yang dihadapi adalah mahalnya harga pupuk kompos yang dihasilkan yaitu sekitar Rp 300 – Rp. 400/kg,
dibandingkan dengan pupuk anorganik yang lebih murah. Sampah anorganik di Indonesia juga didaur
ulang dan dilakukan oleh pemulung. Dari segi ekonomi sektor ini memberikan keuntungan ekonomi yang
signiikan.
Komposisi sampah merupakan faktor yang sangat menentukan dalam pengomposan dan daur ulang.
Terdapat dua komposisi utama sampah, yaitu sampah basah atau sampah organik (sampah makanan,
13
ICCSR - SektoR LImbah
dsb.) yang dapat dilakukan pengomposan, dan sampah kering atau sampah anorganik (plastik, kertas,
gelas, dsb.) yang dapat di daur ulang. Perlu diperhatikan bahwa beberapa komponen dari barang bekas
di Indonesia, seperti koran, buku bekas, majalah, baju bekas, komponen elektronik bekas, biasanya tidak
dianggap sampah yang harus dibuang ke tempat sampah; dan biasanya dikumpulkan oleh sektor informal
seperti tukang loak dan pemulung dijual ke penampungan barang bekas.
Aspek penting lainnya dalam pengelolaan sampah yaitu daur ulang dan peranan sektor informal. Di
Indonesia, terdapat dua aliran daur ulang. Aliran pertama, kolektor sebagai sektor informal mengumpulkan
bahan-bahan yang dapat didaur ulang di sumber. Aliran kedua, material ini dipisahkan dan didaur ulang
oleh kota/kabupaten setelah pengumpulan sampah. Kegiatan daur ulang ini melibatkan ibu rumah tangga,
dinas kebersihan, dan pemulung.
Di negara berkembang tingkat daur ulang komponen sampah anorganik adalah cukup tinggi sehingga
menimbulkan dampak positif berupa manfaat ekonomi pada masyarakat. Meskipun metode yang
digunakan untuk pemilahan/sortasi dan pemisahan sampah di negara-negara berkembang ini dianggap
tidak sesuai untuk sistem manajemen sampah seperti yang dideinisikan oleh negara-negara maju, metode
yang ada tersebut tidak hanya memberikan arus pendapatan ekonomi kepada ratusan ribu orang yang
terlibat dalam sektor informal ini, tetapi juga memberikan kontribusi positif berupa lebih banyaknya
sampah yang dapat didaur ulang.
2.5
Kebijakan dan Peraturan Perundangan
Pengelolaan sampah dilakukan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, mencegah polusi lingkungan
dan melindungi sumber daya air bersih sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Pengelolaan
Lingkungan Hidup Nomor 32/2009. Pengelolaan sampah diatur secara khusus dalam Undang-Undang
No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah. Sebelum UU No.18/2008 dikeluarkan, PP No.16/2005 telah
menempatkan masalah perlindungan sumber air akibat pencemaran dari TPA sebagai salah satu fokus
yang diatur. PP 16/2005 ini merupakan peraturan di bawah Undang-Undang Sumber Daya Air (UU
No.7/2004).
UU No.18/2008 tentang Pengelolaan Sampah menggariskan bahwa pengelolaan sampah hendaknya
berlandaskan hierarki pendekatan (a) pengurangan dan (b) penanganan sampah. Pengurangan (minimasi)
sampah dilandaskan atas prinsip (a) pembatasan (reduce), guna-ulang (reuse) dan daur-ulang (recycle) sebagai
prioritas pengelolaan sampah, yang dikenal sebagai pendekatan 3R. Makna dari pendekatan ini adalah
mengedepankan pengelolaan sampah di hulu yang dimulai dari upaya bagaimana agar sampah sesedikit
mungkin dihasilkan (reduce) dari kegiatan sehari-hari, seperti perubahan pola kerja lingkungan industri
penghasil dan pengguna pengemas untuk hasil produksinya, agar menghasilkan dan menggunakan
pengemas yang ramah lingkungan dengan volume sesedikit mungkin dan kelak setelah tidak digunakan,
sampahnya akan mudah didaur-ulang dan ditangani lebih lanjut. Mereka juga digariskan agar tetap
14
ICCSR - SektoR LImbah
tidak lepas tangan terhadap pengemas tersebut, yaitu dalam bentuk extended producers responsibility (EPR).
Sampah yang dihasilkan kemudian lebih diarahkan agar dikelola di sumber, melibatkan seluruh pemangku
kepentingan (stakeholders), melalui upaya guna-ulang dan daur-ulang. Sampah atau residu yang masih
tersisa selanjutnya ditangani secara baik dan profesional melalui pewadahan, pengumpulan, pemindahan,
pengangkutan dan pengolahan. Residu dari kegiatan ini kemudian wajib disingkirkan ke lingkungan secara
aman, agar tidak mengganggu kesehatan dan lingkungan. Oleh karenanya, UU-18/2008 menggariskan
bahwa dalam 5 tahun sejak UU tersebut dikeluarkan, open dumping yang selama ini merupakan cara yang
paling banyak dijumpai di Indonesia untuk menyingkirkan sampah, harus sudah digantikan dengan cara
landill yang lebih baik, seperti controlled dan sanitary landill. Selanjutnya UU tersebut menggariskan tentang
penguatan kapabilitas institusi, perbaikan hubungan antar stakeholder sebagai rekan dalam pengelolaan dan
peningkatan sumber investasi.
Keinginan pemerintah untuk mengedepankan pendekatan 3R telah secara nyata dikemukakan dalam
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum 21/PRT/M/2006 yang memfokuskan upaya 3R sebagai strategi
nasional yang menggariskan bahwa sampai tahun 2014 pengurangan sampah hendaknya mencapai 20%2.
Target strategi nasional pada sektor pengelolaan sampah adalah sebagai berikut:
1. Mendukung pencapaian tingkat pelayanan pengolahan sampah 60% pada tahun 2010.
2. Mendukung pengurangan jumlah sampah melalui 3R sampai 20% pada tahun 2014.
3. Meningkatkan kualitas landill:
-
Controlled Landill (CLF) untuk kota kecil dan menengah.
-
Sanitary Landill (SLF) untuk kota besar dan kota metropolitan.
-
Penghentian Open Dumping.
4. Mendukung pelaksanaan di tingkat institusi dan kerjasama regional.
Saat ini, implementasi pengelolaan persampahan di tingkat daerah dilaksanakan berdasarkan peraturan
pemerintah daerah, berkaitan dengan organisasi pengelola sampah, biaya retribusi dan pengangkutan
sampah dari sumber menuju TPA. Kendala terbesar terletak pada kurangnya kekuatan hukum yang
menyebabkan lemahnya implementasi peraturan tersebut.
2
Walau tidak tercantum, satuan yang digunakan dapat dipastikan adalah % volume basah. Penggunaan satuan ini, membutuhkan kehatihatian interpretasi, misalnya dalam klaim keberhasilan upaya daur ulang. Contoh: 1 truk botol plastik kosong mempunyai volume yang
sama dengan 1 truk sampah basah, namun mempunyai berat yang berbeda.
15
ICCSR - SektoR LImbah
2.6
Tantangan Pengelolaan Sampah ke Depan
Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan jumlah volume sampah.
Gambar 2.1 menunjukkan hasil perhitungan timbulan sampah perkotaan dan pedesaan di Indonesia yang
merupakan hasil proyeksi dari tahun 2005 hingga 2030. Jumlah volume sampah yang terus meningkat
ini akan menjadi masalah lingkungan yang serius jika tidak ditangani dengan baik. Sehingga pengelolaan
sampah perkotaan yang baik merupakan keharusan.
Pengelolaan Persampahan Domestik (Municipal Solid Waste/MSW) di Indonesia masih menghadapi banyak
masalah seperti:
•
Mayoritas kota tidak memiliki perencanaan (master plan) yang konsisten dalam penanganan sampah
karena Pengelolaan Persampahan masih belum diformalkan;
•
Pengelolaan Persampahan belum diberikan prioritas yang cukup dalam peraturan pemerintah
daerah sehingga menjadikan anggaran dana untuk pengelolaan sampah sangat terbatas;
•
Fasilitas untuk pengumpulan, transportasi, dan penyimpanan sampah juga terbatas;
•
Sebagian besar Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) merupakan open dumping yang menyebabkan
polusi air, udara, dan bau tidak sedap.
Untuk menyelesaikan masalah diatas pemerintah kota/kabupaten sebagai penyelenggara pengelolaan
sampah di level kota/kabupaten perlu meningkatkan program revitalisasi pengelolaan sampah yang
meliputi penyempurnaan institusi pengelola sampah, peraturan perundangan yang terkait, isu-isu teknis
pengelolaan sampah, infrastruktur pendukung, alternatif pembiayaan dan investasi, serta peningkatan
kesadaran, budaya, dan pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan sampah yang baik.
Selain itu, pengelolaan sampah ke depan sekurangnya harus menerapkan dua kebijakan utama. Kebijakan
pertama adalah pengurangan (reduce) sampah di sumber sebanyak mungkin, digunakan kembali (reuse)
dan didaur ulang (recycle) (3R) sebelum diangkut ke TPA. Kebijakan kedua yaitu pengelolaan sampah
harus dilakukan dengan mengintegrasikan partisipasi masyarakat. Dua kebijakan ini digunakan sebagai
prinsip dasar pengelolaan sampah sebagaimana yang dideskripsikan di dalam undang-undang pengelolaan
sampah. Sementara itu, partisipasi aktif masyarakat dalam program 3R sampah padat dimulai dari tingkat
perumahan dengan mengubah kebiasaan masyarakat menjadi lebih bersih dan sehat. Partisipasi industri
juga akan dilakukan dengan melaksanakan EPR (Extended Producer Responsibility) yaitu prinsip untuk
produsen dan importir sampah B3.
Pengelolaan sampah ke depan harus mulai memperhitungkan konversi sampah menjadi sumber energi.
Selain itu, pengelolaan sampah harus terintegrasi dengan kegiatan mitigasi perubahan iklim sehingga
terjadi co-beneit yang menguntungkan. Perhatian yang lebih besar baik dari sisi program maupun
anggaran merupakan tantangan bagi setiap kota/kabupaten dalam rangka menciptakan pembangunan
daerah yang lebih berwawasan lingkungan.
16
ICCSR - SektoR LImbah
3
POTensi miTiGAsi Di
seKTOR sAmPAH
17
ICCSR - SektoR LImbah
3.1
Metode Perhitungan
Emisi gas rumah kaca dari sektor persampahan pada umumnya berupa metana (CH4) yang dihasilkan dari
TPA dan CO2 yang dihasilkan dari kegiatan pembakaran terbuka. Emisi dari pembakaran terbuka lebih
sulit untuk dikontrol dibandingkan emisi dari TPA. Selain itu, pembakaran dan daur ulang kertas dan
plastik menghasilkan gas N2O yang jika dikonversikan menjadi CO2 ekuivalen (Eq.) adalah 310 kalinya.
Berdasarkan uraian di Bab 2 bahwa di Indonesia sampah dikelola dengan dikompos, dibakar, dibuang
ke sungai, diurug, dibuang ke landill, dan sebagainya. Potensi gas rumah kaca yang dihasilkan berbeda
tergantung dari proses yang terjadi tersebut. Untuk pembakaran terbuka dan dekomposisi natural, proporsi
sampah yang dapat terurai secara biologi di Indonesia adalah lebih tinggi. Dalam proses pembakaran terjadi
reaksi aerob yang menghasilkan CO2, namun tidak ada gas rumah kaca yang dilepaskan ke udara. Emisi
CH4 dari landill merupakan hasil dekomposisi anaerobik dari materi organik dalam sampah. Sampah
dalam landill terdekomposisi perlahan, dan waktu dekomposisi dapat berlangsung dalam beberapa
dekade. Pada dasarnya gas yang terbentuk terdiri atas gas metana dan gas karbondioksida.
Sebelum melakukan mitigasi dari sektor sampah, perlu dilakukan perhitungan emisi CH4 yang dihasilkan
dari sampah tersebut. Pada dasarnya perhitungan emisi dari landill menggunakan IPCC First Order
Decay (FOD) model (IPCC, 2006) dengan persamaan dasar untuk mengestimasi emisi CH4 adalah sebagai
berikut:
CH4 tahun ke-t (Gg/thn) = ∑x [A ● k ● MSW(t) (x) ● MSW(F) (x) ● Lo (x)) ●e-k(t-x)]
Dimana
CH4
t
x
A
MSWT(x)
MSWF(x)
Lo(x)
= CH4 yang dihasilkan dalam tahun ke-t, Gg/tahun
= tahun perhitungan inventory
= tahun ketika data dimasukkan
= (1-e-k)/k ; faktor normalisasi untuk mengoreksi hasil perhitungan
= jumlah total sampah yang dihasilkan dalam tahun x (Gg/tahun)
= fraksi jumlah sampah yang diproses di landill dalam tahun x
= potensi CH4 yang dihasilkan (Gg CH4/Gg sampah)
Laju pembentukan CH4 dari landill sangat spesiik untuk kawasan tertentu karena pembentukannya
tergantung kepada jenis sampah yang dibuang, elemen kelembaban, umur sampah dan kondisi iklim lokal.
Sehingga untuk laporan ini digunakan data-data penelitian lokal sebagaimana terdapat pada Tabel 3.1.
18
ICCSR - SektoR LImbah
Tabel 3.1 Faktor Emisi untuk Setiap Kegiatan Pengolahan Sampah
Kegiatan
1.
2.
Transportasi Sampah
(Sumber: Alisan Smith et al, 2001:
Waste management options and
climate change, AEA TechnoEnvironment)
Degradasi Sampah di Landill.
Dihitung berdasarkan kondisi sampah
di Indonesia: kadar air, kadar karbonorganik, dsb.
Faktor Emisi
75 kg CH4/ton sampah
dan
0,05 kg N2O/ ton
sampah
2.237 kg CO2/
ton sampah
Plastik
N2O = 310 CO2 dan CH4 = 23 CO2,
nantinya disebut sebagai CO2 eq.
0,05 kg N2O/ ton
sampah
210 kg CO2/ton sampah
Kertas
organik
5.
Pada Sanitary Landill yang baik,
maksimum 90% emisi dapat
tertangkap.
105 kg CO2/ton sampah
Pembakaran Sampah
4. Pengomposan
Rata-rata perjalanan ke TPA = 50 km
per 2,5 ton sampah
0,71 kg CO2/km
Kertas
organik
3.
Keterangan
dan
Daur Ulang
Plastik
0,05 kg N2O/ ton
sampah
2.237 kg CO2/
ton sampah
N2O = 310 CO2 dan CH4 = 23 CO2,
nantinya disebut sebagai CO2 eq.
0,05
N2O/ton
sampah
6.
Pengelolaan Sampah lainnya
S a m p a h
ditimbun dimana
saja dan dibuang
langsung
ke
sungai
750 kg CO2/ ton
sampah
Sumber: Damanhuri, 2008
Untuk menghitung biaya mitigasi dibuat satuan harga pengoperasian dan pemeliharaan unit pengelolaan
sampah seperti ditunjukkan pada Tabel 3.2. Reduksi emisi adalah selisih antara emisi GRK yang dihasilkan
BAU (Business as usual) dengan emisi GRK skenario tertentu. Emisi GRK dibuat dalam satuan CO2
equivalen (CO2 eq). Rumus perhitungan untuk mendapatkan reduksi emisi dalam CO2 eq adalah sebagai
berikut:
Rumus Perhitungan Reduksi Emisi GRK (dalam CO2 eq):
Reduksi Emisi GRK (dalam CO2 eq) = Emisi GRK BAU –
Emisi GRK Skenario
19
ICCSR - SektoR LImbah
Tabel 3.2 Biaya untuk setiap Kegiatan Pengolahan Sampah
Kegiatan
Biaya Operasi dan Pemeliharaan
per Ton Sampah
(Rp)
1.
2.
3.
4.
5.
Pengangkutan
Sanitary Landill
Open Dumping
Controlled Landill
Pengomposan
50.000 – 60.000
60.000 – 100.000
10.000 – 20.000
30.000 – 50.000
15.000 – 20.000
(perkiraan dalam
USD Dollar)
5–6
6 – 10
1–2
3–5
1,5 – 2
Sumber: Damanhuri, 2008
Mitigasi emisi gas rumah kaca dapat dilakukan setelah proses identiikasi potensi emi