Pengaruh Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah Pertumbuhan Belanja Modal dan Pertumbuhan Ekonomi PDRB Terhadap Fiscal Stress Pada Kabupaten Kota di Sumatera Utara Periode 2012-2014
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fiscal Stress
Untuk mendukung tanggung jawab yang dilimpahkan, Pemerintah
Daerah memerlukan sumber fiskal. Mardiasmo (2004:147) menjelaskan
bahwa “Pemerintah Daerah seringkali dihadapkan dengan masalah tingginya
kebutuhan fiskal daerah (fiscal need) sementara kapasitas fiskal daerah tidak
mencukupi. Hal tersebut menyebabkan terjadinya kesenjangan fiskal (fiscal
gap)”. Kuncoro (2004:8) menyatakan bahwa
realitas hubungan fiskal antara pusat-daerah ditandai dengan tingginya
kontrol pusat terhadap proses pembangunan daerah. Ini jelas terlihat
dari rendahnnya proporsi PAD (Pendapatan Asli Daerah) terhadap total
pendapatan daerah dibanding besarnya subsidi ( grants) yang di drop
dari pusat
Hevesi (2006) menyimpulkan bahwa, Fiscal stress is a judgment about
financial condition-it generally means that a community is having a difficult
time financing its operations, and is experiencing growing budgetary
problems. Dimana tekanan fiskal (fiscal stress) menjadi semakin tinggi
dikarenakan adanya tuntutan peningkatan kemandirian yang ditujukan dengan
meningkatnya penerimaan sendiri untuk membiayai berbagai pengeluaran
yang ada. Ketersediaan sumber-sumber daya daerah potensial dan kesiapan
daerah menjadi faktor penting keberhasilan dalam era otonomi.
Menurut Sobel dan Holcombe (dalam Muda, 2012), mengemukakan
bahwa terjadinya krisis keuangan disebabkan tidak cukupnya penerimaan
7
Universitas Sumatera Utara
atau pendapatan dalam memenuhi kebutuhan pengeluaran. Daerah-daerah
yang tidak memiliki kesiapan dalam era otonomi bisa mengalami hal yang
sama, dimana tekanan fiskal (fiscal stress) menjadi semakin tinggi.
Pemberian kewenangan yang semakin besar kepada daerah dalam
penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan kepada masyarakat seharusnya
diikuti dengan pemberian kewenangan yang besar pula dalam perpajakan dan
retribusi daerah. Basis pajak kabupaten/kota yang sangat terbatas dan tidak
adanya kewenangan provinsi dalam penetapan tarif pajak mengakibatkan
daerah
selalu
mengalami
kesulitan
untuk
memenuhi
kebutuhan
pengeluarannya.
Shamsub
dan
Akoto
(dalam Muda, 2012) mengelompokkan
penyebab timbulnya fiscal stress ke dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu:
1. Menekankan bahwa peran siklus ekonomi dapat menyebabkan fiscal
stress. Penyebab
utama
terjadinya
fiscal
stress
adalah
kondisi
ekonomi seperti pertumbuhan yang menurun dan resesi.
2. Menekankan bahwa ketiadaan perangsang bisnis dan kemunduran
industri sebagai penyebab utama timbulnya fiscal stress. Yu dan
Korman ( dalam Shamsub dan Akoto,
kemunduran
2004)
menemukan
bahwa
industri menjadikan berkurangnya hasil pajak, tetapi
pelayanan jasa meningkat, hal ini dapat menyebabkan fiscal stress.
3. Menerangkan fiscal stress sebagai fungsi politik dan faktor-faktor
keuangan yang tidak terkontrol. Ginsberg dalam (Shamsub & Akoto,
2004) menunjukkan bahwa sebagian dari peran ketidakefisienan
8
Universitas Sumatera Utara
birokrasi, korupsi, gaji yang tinggi untuk pegawai, dan tingginya
belanja untuk kesejahteraan sebagai penyebab fiscal stress.
Mahsun (2009:102) menjelaskan bahwa “dengan adanya fiscal stress
dapat menimbulkan kebutuhan terhadap akuntabilitas yang semakin
meningkat pada Pemerintah Daerah”. Ketergantungan daerah yang sangat
besar terhadap dana perimbangan dari pusat dalam banyak hal kurang
mencerminkan akuntabilitas daerah. Pemerintah Daerah tidak terdorong
untuk mengalokasikan anggaran secara efisien dan masyarakat tidak ingin
mengontrol anggaran daerah karena merasa tidak dibebani dengan pajak dan
retribusi. Otonomi
daerah
menuntut
daerah
untuk
meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Seiring
mampu
dengan
melepaskan
peningkatan
atau
kemandirian,
daerah
diharapkan
paling tidak mengurangi ketergantungan
terhadap Pemerintah Pusat. Dalam era ini, PAD idealnya menjadi
komponen utama pembiayaan daerah. Pada saat fiscal strees tinggi,
pemerintah
cenderung
menggali
potensi penerimaan
pajak
untuk
meningkatkan penerimaan daerahnya (Muda, 2012). Oleh karena itu,
tingginya angka upaya pajak dapat diidentikkan dengan kondisi fiscal
stress. Upaya Pajak (tax effort) adalah upaya peningkatan pajak daerah
yang diukur melalui perbandingan antara hasil penerimaan (realisasi)
sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan potensi sumbersumber Pendapatan
pemerintah
Asli
Daerah.
untuk mendapatkan
Tax
effort
pendapatan
bagi
menunjukkan
upaya
daerahnya
dengan
9
Universitas Sumatera Utara
mempertimbangkan potensi yang dimiliki. Potensi dalam pengertian ini
adalah seberapa besar target yang ditetapkan pemerintah daerah dapat
dicapai dalam tahun anggaran daerah tersebut (Muda, 2012).
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa fiscal stress
adalah tekanan anggaran yang terjadi akibat keterbatasan penerimaan daerah
yang dapat memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap penerimaan
daerah, karena dengan tingginya tingkat fiscal stress daerah lebih termotivasi
untuk menggali dan mengoptimalkan pendapatan asli daerahnya guna
mengurangi ketergantungan terhadap pusat. Menurut Sukanto R (dalam
Setyawan dan Adi, 2008), tekanan fiskal (fiscal stress) dapat dirumuskan :
UPPAD = Realisasi PAD/Potensi PAD x 100 %
Keterangan :
UPPAD
= Upaya peningkatan sumber-sumber PAD
Realisasi PAD
= Realisasi penerimaan sumber-sumber PAD
Potensi PAD
= Target penerimaan sumber-sumber PAD
2.2 Pendapatan Asli Daerah
Menurut Halim daan Kusupi (2012:101), “Pendapatan Asli Daerah
(PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber
ekonomi asli daerah”. Nordiawan (2009:181) menjelaskan bahwa,
“pendapatan asli daerah, merupakan pendapatan daerah yang bersumber
dari daerah itu sendiri. Termasuk dalam pendapatan jenis ini adalah pajak
daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah”.
10
Universitas Sumatera Utara
Menurut Mardiasmo (2004:132), “PAD adalah penerimaan daerah
dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah,
hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain
pendapatan asli daerah yang sah”. Pemerintah Daerah cenderung memiliki
ketergantungan yang tinggi terhadap bantuan Pemerintah Pusat dan
menggangarkan peningkatan belanja yang bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan Pemerintah Daerah dalam upaya meningkatkan PAD (Adi dan
Ekaristi, 2009).
Berdasarkan
Permendagri
No.32
Tahun
2008,
dalam
upaya
peningkatan PAD, agar tidak menetapkan kebijakan yang memberatkan
dunia usaha dan masyarakat. Dapat ditempuh melalui penyederhanaan
sistem dan prosedur administrasi pemungutan pajak dan retribusi daerah,
meningkatkan ketaatan wajib pajak dan pembayar retribusi daerah serta
meningkatkan
pengendalian
dan pengawasan atas pemungutan PAD
yang diikuti dengan peningkatan kualitas, kemudahan, ketepatan dan
kecepatan pelayanan.
Dalam struktur APBD baru dengan pendekatan kinerja, jenis
pendapatan yang berasal dari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berdasarkan
UU No. 28 Tahun 2009 tentang perubahan atas UU No. 34 Tahun 2000,
dirinci menjadi :
a.
Pajak provinsi terdiri dari : Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan
di Atas Air, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) dan
Kendaraan di Atas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor,
11
Universitas Sumatera Utara
Pajak Pengembalian dan Pemanfaatan Air bawah Tanah dan Air
permukaan dan Pajak Rokok.
b.
Jenis pajak kabupaten/kota terdiri dari : Pajak Hotel, Pajak Restoran,
Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak
Pengambilan Bahan Galian Golongan C, Pajak Parkir, Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2), Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Pajak Sarang Burung Walet.
c.
Retribusi dirinci menjadi : Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa
Usaha, Retribusi Perijinan Tertentu, Retribusi Pelayanan Tera Ulang,
Retribusi
Pendidikan,
Retribusi
Pengendalian
Menara
Telekomunikasi, dan Retribusi Izin Usaha Perikanan.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa Pendapatan
Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan daerah yang diperoleh dari sumbersumber dalam wilayahnya sendiri dengan peraturan perundang-undangan
yang
berlaku
guna
membiayai
kegiatan-kegiatan
daerah
tersebut.
Pertumbuhan pendapatan asli daerah diukur berdasarkan pendapatan asli
daerah periode APBD dibagi dengan pendapatan asli daerah periode
APBD sebelumnya. Haryadi (dalam Muda, 2012)
PPAD (t) = PADt/PADt-1 x 100 %
Keterangan :
PPAD (t)
= Pertumbuhan Pendapatan Daerah periode t
PAD (t)
= Pendapatan Asli Daerah periode t
PAD (t-1)
= Pendapatan Asli Daerah periode t-1
12
Universitas Sumatera Utara
2.3 Belanja Modal
Menurut PP Nomor 71 Tahun 2010, belanja modal merupakan
pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang
memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal meliputi
belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan dan
aset tak berwujud.
Mardiasmo (2004:187) menjelaskan bahwa, “belanja modal adalah
belanja langsung yang digunakan untuk membiayai kegiatan investasi
(menambah aset)”. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
13 Tahun 2006 Pasal 53 ayat 1 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah juga menjelaskan bahwa belanja modal merupakan pengeluaran
yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atau pembangunan
aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (dua
belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti
dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan,
irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya.
Menurut Halim dan Kusupi (2012:107), “belaja modal merupakan
pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang
memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi”. Darise (2008:46)
menjelaskan bahwa
Belanja modal digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam
rangka pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud
yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk
digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah,
peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan
dan aset tetap lainnya
13
Universitas Sumatera Utara
Belanja
modal
tidak
hanya
ditujukan
untuk
pengembangan
infrastruktur industri, tetapi juga ditujukan untuk berbagai infrastruktur jasa
yang langsung terkait dengan pemberian layanan kepada publik (Nugroho
dan Rohman, 2012). Menurut Syaiful (dalam Muda, 2012), belanja modal
dapat dikategorikan dalam 5 (lima) kategori utama:
1. Belanja Modal Tanah
Belanja
Modal
Tanah
adalah
pengeluaran/biaya
digunakan untuk pengadaan/ pembelian/ pembebasan,
yang
penyelesaian,
balik nama dan sewa tanah, pengosongan, pengurugan, perataan,
pematangan tanah, pembuatan sertifikat dan pengeluaran lainnya
sehubungan dengan perolehan hak atas tanah dimaksud dalam
kondisi siap pakai.
2. Belanja Modal Peralatan dan Mesin
Belanja Modal Peralatan dan Mesin adalah
pengeluaran/
biaya yang digunakan untuk pengadaan/ penambahan/ penggantian
dan peningkatan kapasitas peralatan dan mesin serta inventaris
kantor yang memberikan manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan
dan sampai peralatan dan mesin dimaksud dalam kondisi siap pakai.
3. Belanja Modal Gedung dan Bangunan
Belanja
pengeluaran/biaya
Modal
Gedung
dan
Bangunan
adalah
yang digunakan untuk pengadaan/ penambahan/
penggantian, termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan
dan
pengelolaan
pembangunan
gedung
dan
bangunan
yang
14
Universitas Sumatera Utara
menambah kapasitas sampai gedung dan bangunan dimaksud dalam
kondisi siap pakai.
4. Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan
Belanja
Modal
Jalan,
pengeluaran/ biaya yang digunakan
Irigasi
untuk
dan
Jaringan
adalah
pengadaan/ penambahan/
penggantian/ peningkatan, pembangunan/ pembuatan serta perawatan
dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan,
pengawasan dan
pengelolaan jalan irigasi dan jaringan yang menambah kapasitas
sampai jalan irigasi dan jaringan dimaksud dalam kondisi siap
pakai.
5. Belanja Modal Fisik Lainya
Belanja Modal Fisik Lainnya adalah pengeluaran/biaya yang
digunakan untuk
pegadaan/ penambahan/ penggantian/ peningkatan/
pembangunan/ pembuatan serta perawatan terhadap fisik lainya yang
tidak
dapat dikategorikan dalam kriteria belanja modal tanah,
peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, dan jalan irigasi dan
jaringan termasuk dalam belanja ini adalah belanja kontrak sewa beli,
pembelian barang-barang kesenian, barang purbakala dan barang untuk
museum, hewan ternak dan tanaman, buku-buku dan jurnal ilmiah.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa belanja modal
adalah pengeluaran yang dilakukan untuk memperoleh aset tetap yang
memiliki manfaat ekonomis lebih dari 12 (dua belas) bulan yang digunakan
untuk membangun daerah dan meningkatkan pelayanan publik. Pertumbuhan
15
Universitas Sumatera Utara
belanja modal diukur berdasarkan belanja modal periode APBD dibagi
dengan belanja modal periode APBD sebelumnya. Haryadi (dalam Muda,
2012)
PBM(t) = BMt/BMt-1 x 100 %
Keterangan:
PBM(t)
= Pertumbuhan Belanja Modal periode t
BM(t)
= Belanja Modal periode t
BM(t-1)
= Belanja Modal periode t-1
2 . 4 Pertumbuhan Ekonomi/PDRB
Menurut Boediono (dalam Kuncoro, 2004:129), pertumbuhan
ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang.
Sukirno (dalam Kuncoro, 2004:129) menjelaskan bahwa, pandangan para
ekonom klasik (Adam Smith, David Ricardo, Thomas Robert Malthus, dan
John Stuart Mill), maupun ekonom neoklasik (Robert Solow dan Trevor
Swan), pada dasarnya ada empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi yaitu : (1) jumlah penduduk, (2) jumlah stok barang modal, (3) luas
tanah dan kekayaan alam, dan (4) tingkat teknologi yang digunakan. Kuncoro
(2004:84) menjelaskan bahwa
pertumbuhan ekonomi dapat dihitung dengan menggunakan PDRB
rill (harga konstan) atau nominal (harga berlaku). Tetapi
pertumbuhan ekonomi yang dihitung dengan berdasarkan PDRB riil
akan memberikan gambaran pertumbuhan output secara nyata, karena
PDRB riil tidak memasukkan inflasi
Cara
perhitungan
PDRB
pendekatan yaitu pendekatan
dapat
produksi,
diperoleh
pendekatan
melalui
3
(tiga)
pendapatan dan
16
Universitas Sumatera Utara
pendekatan pengeluaran (Muda, 2012) yang selanjutnya dijelaskan sebagai
berikut :
1. Menurut pendekatan produksi, PDRB adalah jumlah nilai barang
dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di suatu
wilayah dalam jangka
produksi
tersebut
waktu
tertentu
(satu
tahun).
Unit-unit
dalam penyajiannya dikelompokkan menjadi 9
(sembilan) sektor atau lapangan usaha yaitu ; ( 1 ) Pertanian, ( 2 )
Pertambangan dan Penggalian, ( 3 ) Industri Pengolahan, (4) Listrik,
Gas dan Air Bersih, (5) Bangunan, (6) Perdagangan, Hotel dan
Restoran, (7) Pengangkutan dan Komunikasi, (8) Jasa Keuangan,
Persewaan dan Jasa Perusahaan, dan (9) Jasa-Jasa.
2. Menurut
pendekatan
pengeluaran,
PDRB
adalah
penjumlahan
semua komponen permintaan akhir yaitu :
a.
Pengeluaran
konsumsi
rumah
tangga
dan
lembaga
swasta
yang tidak mencari laba
b. Konsumsi pemerintah
c.
Pembentukan modal tetap domestik bruto
d. Perubahan stok
e.
Ekspor
3. Menurut pendekatan pendapatan, PDRB merupakan jumlah balas
jasa yang diterima oleh faktor produksi yang ikut serta dalam proses
produksi dalam suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu (satu
tahun). Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah dan
17
Universitas Sumatera Utara
gaji, sewa rumah, bunga modal dan keuntungan. Semua hitungan
tersebut sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak lainnya.
Sukirno (2010:9) menjelaskan bahwa, “Kebanyakan literatur ekonomi
mengartikan pertumbuhan ekonomi sebagai suatu ukuran kuantitatif yang
menggambarkan perkembangan suatu perekonomian dalam suatu tahun
tertentu apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya”.
Menurut Arsyad (dalam Kuncoro, 2004:129), “Pertumbuhan ekonomi
tidak hanya diukur dengan pertambahan PDB dan PDRB saja, tetapi juga
diberi bobot yang bersifat immaterial seperti kenikmatan, kepuasan, dan
kebahagiaan, dengan rasa aman dan tentram yang dirasakan masyarakat luas”.
Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas adalah pertumbuhan yang
mendukung pencapaian pembangunan manusia. Korelasi positif pertumbuhan
ekonomi dan pembangunan manusia tercermin dalam wujud perbaikan
kualitas kehidupan seluruh masyarakat. Oleh karena itu, pembangunan secara
prinsipil harus berfokus pada seluruh aset bangsa, hasil-hasil pembangunan
harus dapat dinikmati
oleh
masyarakat
secara
lebih merata, dan
pelaksanaanya harus mengedapankan kerangka kerja kelembagaan (Badrudin,
2011).
Berdasarakan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan
ekonomi adalah peningkatan perekonomian suatu daerah yang dapat diukur
dengan peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan
peningkatan pendapatan per kapita yang diharapkan dapat berdampak pada
meningkatnya kesejahteraan masyarakat luas. PDRB diukur berdasarkan
18
Universitas Sumatera Utara
PDRB Harga Konstan. Haryadi (2002) dalam Muda (2012).
PPDRB (t) = PDRBt/PDRBt-1 x 100 %
Keterangan:
PPDRB(t)
= Pertumbuhan Ekonomi periode t
PDRB(t)
= PDRB periode t
PDRB(t-1)
= PDRB periode t-1
2.5 Penelitian Terdahulu
Beberapa
literatur
penelitian
terdahulu
yang
terkait
dengan
penelitian ini antara lain terdapat pada Tabel 2.1 berikut :
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
NO
Nama
Peneliti
1
Haryadi
(2002)
Analisis
Pengaruh
Fiscal
Stress
Terhadap
Kinerja
Keuangan
Pemerintah
Kabupaten/Kota
Dalam Menghadapi
Pelaksanaan
Otonomi Daerah
Fiscal stress
terhadap kinerja
keuangan
pemerintah
Fiscal stress
berpengaruh secara
signifikan terhadap
kinerja keuangan
pemerintah
Kabupaten/Kota di
Jawa Timur sebelum
dan sesudah krisis
2
Na
(2011)
Pengaruh
Desentralisasi Fiskal
dan Fiscal Stress
Terhadap
Pertumbuhan
Ekonomi Melalui
Kinerja Keuangan
Daerah di
Kabupaten/Kota seProvinsi Aceh
Desentralisasi
fiskal dan fiscal
stress terhadap
pertumbuhan
ekonomi
Desentralisasi fiskal
dan fiscal stress
berpengaruh negatif
terhadap
pertumbuhan
ekonomi
Kabupaten/Kota seProvinsi Aceh
Judul Penelitian
Variabel
Penelitian
Hasil Penelitian
19
Universitas Sumatera Utara
NO
3
Nama
Peneliti
Judul Penelitian
Muda (2012) Variabel yang
Mempengaruhi
Fiscal Stress pada
Kabupaten/Kota di
Sumatera Utara
Variabel
Penelitian
Hasil Penelitian
Pertumbuhan
PAD,
pertumbuhan
belanja modal
dan
pertumbuhan
ekonomi
(PDRB)
terhadap Fiscal
Stress
Pertumbuhan PAD,
pertumbuhan belanja
modal dan
pertumbuhan PDRB
secara simultan
berpengaruh
terhadap fiscal
stress, sedangkan
secara parsial hanya
pertumbuhan PAD
yang berpengaruh
signifikan
2.6 Kerangka Konseptual
2.6.1 Pengaruh Pertumbuhan PAD terhadap Fiscal Stress
Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi
fiskal, Pemerintah Daerah diharapkan memiliki kemandirian yang
lebih besar. Akan tetapi, saat ini masih banyak masalah yang dihadapi
Pemerintah Daerah terkait dengan upaya meningkatkan penerimaan
daerah. Pemerintah diharapkan dapat meningkatkan PAD untuk
mengurangi ketergantungan terhadap pembiayaan dari pusat, sehingga
meningkatkan otonomi dan keleluasaan daerah (local dicrection ).
Hasil penelitian Setyawan dan Adi (2008) menunjukkan
adanya pengaruh positif fiscal stress terhadap pertumbuhan PAD.
Hasil penelitian ini memperkuat argumen Purnaninthesa (2006) dalam
kondisi fiscal stress yang kuat, daerah lebih termotivasi untuk
meningkatkan PAD-nya guna mengurangi tingkat ketergantungan
terhadap Pemerintah Pusat. Hal ini memberikan indikasi bahwa dalam
20
Universitas Sumatera Utara
tekanan fiskal yang tinggi, daerah cenderung untuk meningkatkan
penerimaan daerah sebagai sarana pembiayaan daerah. Salah satu
upaya yang dilakukan adalah dengan meningkatkan pendapatannya
sendiri (PAD).
Hasil analisis penelitian Setyawan dan Adi (2008) juga
memberikan fakta empirik bahwa fiscal stress sesudah otonomi daerah
mempunyai pengaruh yang lebih kuat terhadap pertumbuhan daripada
pengaruh fiscal stress sebelum otonomi terhadap petumbuhan PAD.
Peningkatan pertumbuhan PAD yang dipengaruhi oleh fiscal stress
selama otonomi daerah merupakan indikasi dari semakin besarnya
usaha yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota dalam
menggali potensi sumber-sumber PAD-nya. Selama otonomi daerah,
pemerintah akan berupaya memenuhi kebutuhan pembiayaan rutin
dengan PAD-nya. Sehingga dapat mengurangi tingkat ketergantungan
terhadap Pemerintah Pusat. Hasil penelitian ini mendukung temuan
Dongori (2006) yang menunjukkan bahwa fiscal stress mempunyai
pengaruh negatif terhadap tingkat ketergantungan daerah. Berarti
pertumbuhan PAD berpengaruh terhadap fiscal stress.
2.6.2 Pengaruh Pertumbuhan Belanja Modal terhadap Fiscal Stress
Pergeseran komposisi belanja merupakan upaya logis yang
dilakukan Pemerintah Daerah dalam rangka meningkatkan tingkat
kepercayaan publik. Pergesaran ini ditujukan untuk peningkatan
investasi modal dalam bentuk aset tetap, yakni peralatan, bangunan,
21
Universitas Sumatera Utara
infrastruktur, dan harta tetap lainnya. Semakin tinggi tingkat investasi
modal diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik,
karena aset tetap yang dimiliki sebagai akibat adanya belanja modal
merupakan prasyarat utama dalam memberikan pelayanan publik oleh
Pemerintah Daerah.
Setyawan dan Adi (2008) menemukan bahwa fiscal stress
mempunyai pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan PAD dan
fiscal stress mempunyai pengaruh yang positif terhadap tingkat
pertumbuhan belanja modal. Fiscal stress yang tinggi menunjukkan
semakin tingginya upaya daerah untuk meningkatkan PAD-nya.
Sejalan dengan hal itu, harapan untuk terus meningkatkan penerimaan
sendiri ini akan sulit terwujud apabila alokasi belanja untuk modal
tidak ditingkatkan. Hasil penelitian Setyawan dan Adi (2008)
memberikan implikasi diperlukannya suatu upaya yang lebih intensif
melalui penggalian potensi sumber-sumber penerimaan daerah
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah agar mampu meningkatkan
pertumbuhan PAD. Salah satu langkah yang dapat ditempuh adalah
Pemerintah Kabupaten/Kota harus lebih efektif dalam pengalokasian
belanja modal guna memenuhi kepentingan publik, baik yang
mendukung pertumbuhan ekonomi maupun untuk pelayanan publik
secara langsung. Berarti pertumbuhan belanja modal berpengaruh
terhadap fiscal stress.
22
Universitas Sumatera Utara
2.6.3 Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Fiscal Stress
Salah satu fungsi anggaran adalah sebagai kebijakan fiskal.
Anggaran sebagai alat kebijakan fiskal pemerintah digunakan untuk
menstabilkan ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Melalui anggaran publik tersebut dapat diketahui arah kebijakan
fiskal pemerintah, sehingga dapat dilakukan prediksi-prediksi dan
estimasi ekonomi. Anggaran dapat digunakan untuk mendorong,
memfasilitasi, dan mengkoordinasikan kegiatan ekonomi masyarakat
sehingga dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Purnaninthesa (2006) membuktikan bahwa fiscal stress
berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja keuangan pemerintah
kabupaten/kota di Jawa Tengah. Purnaninthesa (2006) menyimpulkan
bahwa fiscal stress pada suatu daerah dapat menyebabkan motivasi
bagi daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerahnya yang
pada akhirnya akan bermuara pada bertumbuhnya perekonomian
suatu daerah. Berarti pertumbuhan ekonomi memberikan pengaruh
terhadap fiscal stress.
Model
yang
dapat
dikembangkan
berdasar
teori
dan
pengembangan hipotesis penelitian adalah sebagai berikut :
23
Universitas Sumatera Utara
Pertumbuhan PAD
(X1)
Pertumbuhan Belanja
Modal (X2)
Fiscal Stress (Y)
Pertumbuhan
Ekonomi/PDRB (X3)
Gambar 2.1
Kerangka Konseptual Penelitian
2.7 Hipotesis
Hipotesis yang digunakaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif secara
parsial terhadap fiscal stress pada kabupaten/kota di Sumatera Utara.
Pertumbuhan Belanja Modal berpengaruh positif secara parsial
terhadap fiscal stress pada kabupaten/kota di Sumatera Utara.
Pertumbuhan Ekonomi/PDRB berpengaruh positif secara parsial
terhadap fiscal stress pada kabupaten/kota di Sumatera Utara
Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah, Pertumbuhan Belanja Modal
dan Pertumbuhan Ekonomi/PDRB berpengaruh positif secara simultan
terhadap fiscal stress pada kabupaten/kota di Sumatera Utara.
24
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fiscal Stress
Untuk mendukung tanggung jawab yang dilimpahkan, Pemerintah
Daerah memerlukan sumber fiskal. Mardiasmo (2004:147) menjelaskan
bahwa “Pemerintah Daerah seringkali dihadapkan dengan masalah tingginya
kebutuhan fiskal daerah (fiscal need) sementara kapasitas fiskal daerah tidak
mencukupi. Hal tersebut menyebabkan terjadinya kesenjangan fiskal (fiscal
gap)”. Kuncoro (2004:8) menyatakan bahwa
realitas hubungan fiskal antara pusat-daerah ditandai dengan tingginya
kontrol pusat terhadap proses pembangunan daerah. Ini jelas terlihat
dari rendahnnya proporsi PAD (Pendapatan Asli Daerah) terhadap total
pendapatan daerah dibanding besarnya subsidi ( grants) yang di drop
dari pusat
Hevesi (2006) menyimpulkan bahwa, Fiscal stress is a judgment about
financial condition-it generally means that a community is having a difficult
time financing its operations, and is experiencing growing budgetary
problems. Dimana tekanan fiskal (fiscal stress) menjadi semakin tinggi
dikarenakan adanya tuntutan peningkatan kemandirian yang ditujukan dengan
meningkatnya penerimaan sendiri untuk membiayai berbagai pengeluaran
yang ada. Ketersediaan sumber-sumber daya daerah potensial dan kesiapan
daerah menjadi faktor penting keberhasilan dalam era otonomi.
Menurut Sobel dan Holcombe (dalam Muda, 2012), mengemukakan
bahwa terjadinya krisis keuangan disebabkan tidak cukupnya penerimaan
7
Universitas Sumatera Utara
atau pendapatan dalam memenuhi kebutuhan pengeluaran. Daerah-daerah
yang tidak memiliki kesiapan dalam era otonomi bisa mengalami hal yang
sama, dimana tekanan fiskal (fiscal stress) menjadi semakin tinggi.
Pemberian kewenangan yang semakin besar kepada daerah dalam
penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan kepada masyarakat seharusnya
diikuti dengan pemberian kewenangan yang besar pula dalam perpajakan dan
retribusi daerah. Basis pajak kabupaten/kota yang sangat terbatas dan tidak
adanya kewenangan provinsi dalam penetapan tarif pajak mengakibatkan
daerah
selalu
mengalami
kesulitan
untuk
memenuhi
kebutuhan
pengeluarannya.
Shamsub
dan
Akoto
(dalam Muda, 2012) mengelompokkan
penyebab timbulnya fiscal stress ke dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu:
1. Menekankan bahwa peran siklus ekonomi dapat menyebabkan fiscal
stress. Penyebab
utama
terjadinya
fiscal
stress
adalah
kondisi
ekonomi seperti pertumbuhan yang menurun dan resesi.
2. Menekankan bahwa ketiadaan perangsang bisnis dan kemunduran
industri sebagai penyebab utama timbulnya fiscal stress. Yu dan
Korman ( dalam Shamsub dan Akoto,
kemunduran
2004)
menemukan
bahwa
industri menjadikan berkurangnya hasil pajak, tetapi
pelayanan jasa meningkat, hal ini dapat menyebabkan fiscal stress.
3. Menerangkan fiscal stress sebagai fungsi politik dan faktor-faktor
keuangan yang tidak terkontrol. Ginsberg dalam (Shamsub & Akoto,
2004) menunjukkan bahwa sebagian dari peran ketidakefisienan
8
Universitas Sumatera Utara
birokrasi, korupsi, gaji yang tinggi untuk pegawai, dan tingginya
belanja untuk kesejahteraan sebagai penyebab fiscal stress.
Mahsun (2009:102) menjelaskan bahwa “dengan adanya fiscal stress
dapat menimbulkan kebutuhan terhadap akuntabilitas yang semakin
meningkat pada Pemerintah Daerah”. Ketergantungan daerah yang sangat
besar terhadap dana perimbangan dari pusat dalam banyak hal kurang
mencerminkan akuntabilitas daerah. Pemerintah Daerah tidak terdorong
untuk mengalokasikan anggaran secara efisien dan masyarakat tidak ingin
mengontrol anggaran daerah karena merasa tidak dibebani dengan pajak dan
retribusi. Otonomi
daerah
menuntut
daerah
untuk
meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Seiring
mampu
dengan
melepaskan
peningkatan
atau
kemandirian,
daerah
diharapkan
paling tidak mengurangi ketergantungan
terhadap Pemerintah Pusat. Dalam era ini, PAD idealnya menjadi
komponen utama pembiayaan daerah. Pada saat fiscal strees tinggi,
pemerintah
cenderung
menggali
potensi penerimaan
pajak
untuk
meningkatkan penerimaan daerahnya (Muda, 2012). Oleh karena itu,
tingginya angka upaya pajak dapat diidentikkan dengan kondisi fiscal
stress. Upaya Pajak (tax effort) adalah upaya peningkatan pajak daerah
yang diukur melalui perbandingan antara hasil penerimaan (realisasi)
sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan potensi sumbersumber Pendapatan
pemerintah
Asli
Daerah.
untuk mendapatkan
Tax
effort
pendapatan
bagi
menunjukkan
upaya
daerahnya
dengan
9
Universitas Sumatera Utara
mempertimbangkan potensi yang dimiliki. Potensi dalam pengertian ini
adalah seberapa besar target yang ditetapkan pemerintah daerah dapat
dicapai dalam tahun anggaran daerah tersebut (Muda, 2012).
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa fiscal stress
adalah tekanan anggaran yang terjadi akibat keterbatasan penerimaan daerah
yang dapat memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap penerimaan
daerah, karena dengan tingginya tingkat fiscal stress daerah lebih termotivasi
untuk menggali dan mengoptimalkan pendapatan asli daerahnya guna
mengurangi ketergantungan terhadap pusat. Menurut Sukanto R (dalam
Setyawan dan Adi, 2008), tekanan fiskal (fiscal stress) dapat dirumuskan :
UPPAD = Realisasi PAD/Potensi PAD x 100 %
Keterangan :
UPPAD
= Upaya peningkatan sumber-sumber PAD
Realisasi PAD
= Realisasi penerimaan sumber-sumber PAD
Potensi PAD
= Target penerimaan sumber-sumber PAD
2.2 Pendapatan Asli Daerah
Menurut Halim daan Kusupi (2012:101), “Pendapatan Asli Daerah
(PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber
ekonomi asli daerah”. Nordiawan (2009:181) menjelaskan bahwa,
“pendapatan asli daerah, merupakan pendapatan daerah yang bersumber
dari daerah itu sendiri. Termasuk dalam pendapatan jenis ini adalah pajak
daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah”.
10
Universitas Sumatera Utara
Menurut Mardiasmo (2004:132), “PAD adalah penerimaan daerah
dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah,
hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain
pendapatan asli daerah yang sah”. Pemerintah Daerah cenderung memiliki
ketergantungan yang tinggi terhadap bantuan Pemerintah Pusat dan
menggangarkan peningkatan belanja yang bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan Pemerintah Daerah dalam upaya meningkatkan PAD (Adi dan
Ekaristi, 2009).
Berdasarkan
Permendagri
No.32
Tahun
2008,
dalam
upaya
peningkatan PAD, agar tidak menetapkan kebijakan yang memberatkan
dunia usaha dan masyarakat. Dapat ditempuh melalui penyederhanaan
sistem dan prosedur administrasi pemungutan pajak dan retribusi daerah,
meningkatkan ketaatan wajib pajak dan pembayar retribusi daerah serta
meningkatkan
pengendalian
dan pengawasan atas pemungutan PAD
yang diikuti dengan peningkatan kualitas, kemudahan, ketepatan dan
kecepatan pelayanan.
Dalam struktur APBD baru dengan pendekatan kinerja, jenis
pendapatan yang berasal dari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berdasarkan
UU No. 28 Tahun 2009 tentang perubahan atas UU No. 34 Tahun 2000,
dirinci menjadi :
a.
Pajak provinsi terdiri dari : Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan
di Atas Air, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) dan
Kendaraan di Atas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor,
11
Universitas Sumatera Utara
Pajak Pengembalian dan Pemanfaatan Air bawah Tanah dan Air
permukaan dan Pajak Rokok.
b.
Jenis pajak kabupaten/kota terdiri dari : Pajak Hotel, Pajak Restoran,
Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak
Pengambilan Bahan Galian Golongan C, Pajak Parkir, Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2), Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Pajak Sarang Burung Walet.
c.
Retribusi dirinci menjadi : Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa
Usaha, Retribusi Perijinan Tertentu, Retribusi Pelayanan Tera Ulang,
Retribusi
Pendidikan,
Retribusi
Pengendalian
Menara
Telekomunikasi, dan Retribusi Izin Usaha Perikanan.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa Pendapatan
Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan daerah yang diperoleh dari sumbersumber dalam wilayahnya sendiri dengan peraturan perundang-undangan
yang
berlaku
guna
membiayai
kegiatan-kegiatan
daerah
tersebut.
Pertumbuhan pendapatan asli daerah diukur berdasarkan pendapatan asli
daerah periode APBD dibagi dengan pendapatan asli daerah periode
APBD sebelumnya. Haryadi (dalam Muda, 2012)
PPAD (t) = PADt/PADt-1 x 100 %
Keterangan :
PPAD (t)
= Pertumbuhan Pendapatan Daerah periode t
PAD (t)
= Pendapatan Asli Daerah periode t
PAD (t-1)
= Pendapatan Asli Daerah periode t-1
12
Universitas Sumatera Utara
2.3 Belanja Modal
Menurut PP Nomor 71 Tahun 2010, belanja modal merupakan
pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang
memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal meliputi
belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan dan
aset tak berwujud.
Mardiasmo (2004:187) menjelaskan bahwa, “belanja modal adalah
belanja langsung yang digunakan untuk membiayai kegiatan investasi
(menambah aset)”. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
13 Tahun 2006 Pasal 53 ayat 1 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah juga menjelaskan bahwa belanja modal merupakan pengeluaran
yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atau pembangunan
aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (dua
belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti
dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan,
irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya.
Menurut Halim dan Kusupi (2012:107), “belaja modal merupakan
pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang
memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi”. Darise (2008:46)
menjelaskan bahwa
Belanja modal digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam
rangka pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud
yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk
digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah,
peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan
dan aset tetap lainnya
13
Universitas Sumatera Utara
Belanja
modal
tidak
hanya
ditujukan
untuk
pengembangan
infrastruktur industri, tetapi juga ditujukan untuk berbagai infrastruktur jasa
yang langsung terkait dengan pemberian layanan kepada publik (Nugroho
dan Rohman, 2012). Menurut Syaiful (dalam Muda, 2012), belanja modal
dapat dikategorikan dalam 5 (lima) kategori utama:
1. Belanja Modal Tanah
Belanja
Modal
Tanah
adalah
pengeluaran/biaya
digunakan untuk pengadaan/ pembelian/ pembebasan,
yang
penyelesaian,
balik nama dan sewa tanah, pengosongan, pengurugan, perataan,
pematangan tanah, pembuatan sertifikat dan pengeluaran lainnya
sehubungan dengan perolehan hak atas tanah dimaksud dalam
kondisi siap pakai.
2. Belanja Modal Peralatan dan Mesin
Belanja Modal Peralatan dan Mesin adalah
pengeluaran/
biaya yang digunakan untuk pengadaan/ penambahan/ penggantian
dan peningkatan kapasitas peralatan dan mesin serta inventaris
kantor yang memberikan manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan
dan sampai peralatan dan mesin dimaksud dalam kondisi siap pakai.
3. Belanja Modal Gedung dan Bangunan
Belanja
pengeluaran/biaya
Modal
Gedung
dan
Bangunan
adalah
yang digunakan untuk pengadaan/ penambahan/
penggantian, termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan
dan
pengelolaan
pembangunan
gedung
dan
bangunan
yang
14
Universitas Sumatera Utara
menambah kapasitas sampai gedung dan bangunan dimaksud dalam
kondisi siap pakai.
4. Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan
Belanja
Modal
Jalan,
pengeluaran/ biaya yang digunakan
Irigasi
untuk
dan
Jaringan
adalah
pengadaan/ penambahan/
penggantian/ peningkatan, pembangunan/ pembuatan serta perawatan
dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan,
pengawasan dan
pengelolaan jalan irigasi dan jaringan yang menambah kapasitas
sampai jalan irigasi dan jaringan dimaksud dalam kondisi siap
pakai.
5. Belanja Modal Fisik Lainya
Belanja Modal Fisik Lainnya adalah pengeluaran/biaya yang
digunakan untuk
pegadaan/ penambahan/ penggantian/ peningkatan/
pembangunan/ pembuatan serta perawatan terhadap fisik lainya yang
tidak
dapat dikategorikan dalam kriteria belanja modal tanah,
peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, dan jalan irigasi dan
jaringan termasuk dalam belanja ini adalah belanja kontrak sewa beli,
pembelian barang-barang kesenian, barang purbakala dan barang untuk
museum, hewan ternak dan tanaman, buku-buku dan jurnal ilmiah.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa belanja modal
adalah pengeluaran yang dilakukan untuk memperoleh aset tetap yang
memiliki manfaat ekonomis lebih dari 12 (dua belas) bulan yang digunakan
untuk membangun daerah dan meningkatkan pelayanan publik. Pertumbuhan
15
Universitas Sumatera Utara
belanja modal diukur berdasarkan belanja modal periode APBD dibagi
dengan belanja modal periode APBD sebelumnya. Haryadi (dalam Muda,
2012)
PBM(t) = BMt/BMt-1 x 100 %
Keterangan:
PBM(t)
= Pertumbuhan Belanja Modal periode t
BM(t)
= Belanja Modal periode t
BM(t-1)
= Belanja Modal periode t-1
2 . 4 Pertumbuhan Ekonomi/PDRB
Menurut Boediono (dalam Kuncoro, 2004:129), pertumbuhan
ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang.
Sukirno (dalam Kuncoro, 2004:129) menjelaskan bahwa, pandangan para
ekonom klasik (Adam Smith, David Ricardo, Thomas Robert Malthus, dan
John Stuart Mill), maupun ekonom neoklasik (Robert Solow dan Trevor
Swan), pada dasarnya ada empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi yaitu : (1) jumlah penduduk, (2) jumlah stok barang modal, (3) luas
tanah dan kekayaan alam, dan (4) tingkat teknologi yang digunakan. Kuncoro
(2004:84) menjelaskan bahwa
pertumbuhan ekonomi dapat dihitung dengan menggunakan PDRB
rill (harga konstan) atau nominal (harga berlaku). Tetapi
pertumbuhan ekonomi yang dihitung dengan berdasarkan PDRB riil
akan memberikan gambaran pertumbuhan output secara nyata, karena
PDRB riil tidak memasukkan inflasi
Cara
perhitungan
PDRB
pendekatan yaitu pendekatan
dapat
produksi,
diperoleh
pendekatan
melalui
3
(tiga)
pendapatan dan
16
Universitas Sumatera Utara
pendekatan pengeluaran (Muda, 2012) yang selanjutnya dijelaskan sebagai
berikut :
1. Menurut pendekatan produksi, PDRB adalah jumlah nilai barang
dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di suatu
wilayah dalam jangka
produksi
tersebut
waktu
tertentu
(satu
tahun).
Unit-unit
dalam penyajiannya dikelompokkan menjadi 9
(sembilan) sektor atau lapangan usaha yaitu ; ( 1 ) Pertanian, ( 2 )
Pertambangan dan Penggalian, ( 3 ) Industri Pengolahan, (4) Listrik,
Gas dan Air Bersih, (5) Bangunan, (6) Perdagangan, Hotel dan
Restoran, (7) Pengangkutan dan Komunikasi, (8) Jasa Keuangan,
Persewaan dan Jasa Perusahaan, dan (9) Jasa-Jasa.
2. Menurut
pendekatan
pengeluaran,
PDRB
adalah
penjumlahan
semua komponen permintaan akhir yaitu :
a.
Pengeluaran
konsumsi
rumah
tangga
dan
lembaga
swasta
yang tidak mencari laba
b. Konsumsi pemerintah
c.
Pembentukan modal tetap domestik bruto
d. Perubahan stok
e.
Ekspor
3. Menurut pendekatan pendapatan, PDRB merupakan jumlah balas
jasa yang diterima oleh faktor produksi yang ikut serta dalam proses
produksi dalam suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu (satu
tahun). Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah dan
17
Universitas Sumatera Utara
gaji, sewa rumah, bunga modal dan keuntungan. Semua hitungan
tersebut sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak lainnya.
Sukirno (2010:9) menjelaskan bahwa, “Kebanyakan literatur ekonomi
mengartikan pertumbuhan ekonomi sebagai suatu ukuran kuantitatif yang
menggambarkan perkembangan suatu perekonomian dalam suatu tahun
tertentu apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya”.
Menurut Arsyad (dalam Kuncoro, 2004:129), “Pertumbuhan ekonomi
tidak hanya diukur dengan pertambahan PDB dan PDRB saja, tetapi juga
diberi bobot yang bersifat immaterial seperti kenikmatan, kepuasan, dan
kebahagiaan, dengan rasa aman dan tentram yang dirasakan masyarakat luas”.
Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas adalah pertumbuhan yang
mendukung pencapaian pembangunan manusia. Korelasi positif pertumbuhan
ekonomi dan pembangunan manusia tercermin dalam wujud perbaikan
kualitas kehidupan seluruh masyarakat. Oleh karena itu, pembangunan secara
prinsipil harus berfokus pada seluruh aset bangsa, hasil-hasil pembangunan
harus dapat dinikmati
oleh
masyarakat
secara
lebih merata, dan
pelaksanaanya harus mengedapankan kerangka kerja kelembagaan (Badrudin,
2011).
Berdasarakan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan
ekonomi adalah peningkatan perekonomian suatu daerah yang dapat diukur
dengan peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan
peningkatan pendapatan per kapita yang diharapkan dapat berdampak pada
meningkatnya kesejahteraan masyarakat luas. PDRB diukur berdasarkan
18
Universitas Sumatera Utara
PDRB Harga Konstan. Haryadi (2002) dalam Muda (2012).
PPDRB (t) = PDRBt/PDRBt-1 x 100 %
Keterangan:
PPDRB(t)
= Pertumbuhan Ekonomi periode t
PDRB(t)
= PDRB periode t
PDRB(t-1)
= PDRB periode t-1
2.5 Penelitian Terdahulu
Beberapa
literatur
penelitian
terdahulu
yang
terkait
dengan
penelitian ini antara lain terdapat pada Tabel 2.1 berikut :
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
NO
Nama
Peneliti
1
Haryadi
(2002)
Analisis
Pengaruh
Fiscal
Stress
Terhadap
Kinerja
Keuangan
Pemerintah
Kabupaten/Kota
Dalam Menghadapi
Pelaksanaan
Otonomi Daerah
Fiscal stress
terhadap kinerja
keuangan
pemerintah
Fiscal stress
berpengaruh secara
signifikan terhadap
kinerja keuangan
pemerintah
Kabupaten/Kota di
Jawa Timur sebelum
dan sesudah krisis
2
Na
(2011)
Pengaruh
Desentralisasi Fiskal
dan Fiscal Stress
Terhadap
Pertumbuhan
Ekonomi Melalui
Kinerja Keuangan
Daerah di
Kabupaten/Kota seProvinsi Aceh
Desentralisasi
fiskal dan fiscal
stress terhadap
pertumbuhan
ekonomi
Desentralisasi fiskal
dan fiscal stress
berpengaruh negatif
terhadap
pertumbuhan
ekonomi
Kabupaten/Kota seProvinsi Aceh
Judul Penelitian
Variabel
Penelitian
Hasil Penelitian
19
Universitas Sumatera Utara
NO
3
Nama
Peneliti
Judul Penelitian
Muda (2012) Variabel yang
Mempengaruhi
Fiscal Stress pada
Kabupaten/Kota di
Sumatera Utara
Variabel
Penelitian
Hasil Penelitian
Pertumbuhan
PAD,
pertumbuhan
belanja modal
dan
pertumbuhan
ekonomi
(PDRB)
terhadap Fiscal
Stress
Pertumbuhan PAD,
pertumbuhan belanja
modal dan
pertumbuhan PDRB
secara simultan
berpengaruh
terhadap fiscal
stress, sedangkan
secara parsial hanya
pertumbuhan PAD
yang berpengaruh
signifikan
2.6 Kerangka Konseptual
2.6.1 Pengaruh Pertumbuhan PAD terhadap Fiscal Stress
Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi
fiskal, Pemerintah Daerah diharapkan memiliki kemandirian yang
lebih besar. Akan tetapi, saat ini masih banyak masalah yang dihadapi
Pemerintah Daerah terkait dengan upaya meningkatkan penerimaan
daerah. Pemerintah diharapkan dapat meningkatkan PAD untuk
mengurangi ketergantungan terhadap pembiayaan dari pusat, sehingga
meningkatkan otonomi dan keleluasaan daerah (local dicrection ).
Hasil penelitian Setyawan dan Adi (2008) menunjukkan
adanya pengaruh positif fiscal stress terhadap pertumbuhan PAD.
Hasil penelitian ini memperkuat argumen Purnaninthesa (2006) dalam
kondisi fiscal stress yang kuat, daerah lebih termotivasi untuk
meningkatkan PAD-nya guna mengurangi tingkat ketergantungan
terhadap Pemerintah Pusat. Hal ini memberikan indikasi bahwa dalam
20
Universitas Sumatera Utara
tekanan fiskal yang tinggi, daerah cenderung untuk meningkatkan
penerimaan daerah sebagai sarana pembiayaan daerah. Salah satu
upaya yang dilakukan adalah dengan meningkatkan pendapatannya
sendiri (PAD).
Hasil analisis penelitian Setyawan dan Adi (2008) juga
memberikan fakta empirik bahwa fiscal stress sesudah otonomi daerah
mempunyai pengaruh yang lebih kuat terhadap pertumbuhan daripada
pengaruh fiscal stress sebelum otonomi terhadap petumbuhan PAD.
Peningkatan pertumbuhan PAD yang dipengaruhi oleh fiscal stress
selama otonomi daerah merupakan indikasi dari semakin besarnya
usaha yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota dalam
menggali potensi sumber-sumber PAD-nya. Selama otonomi daerah,
pemerintah akan berupaya memenuhi kebutuhan pembiayaan rutin
dengan PAD-nya. Sehingga dapat mengurangi tingkat ketergantungan
terhadap Pemerintah Pusat. Hasil penelitian ini mendukung temuan
Dongori (2006) yang menunjukkan bahwa fiscal stress mempunyai
pengaruh negatif terhadap tingkat ketergantungan daerah. Berarti
pertumbuhan PAD berpengaruh terhadap fiscal stress.
2.6.2 Pengaruh Pertumbuhan Belanja Modal terhadap Fiscal Stress
Pergeseran komposisi belanja merupakan upaya logis yang
dilakukan Pemerintah Daerah dalam rangka meningkatkan tingkat
kepercayaan publik. Pergesaran ini ditujukan untuk peningkatan
investasi modal dalam bentuk aset tetap, yakni peralatan, bangunan,
21
Universitas Sumatera Utara
infrastruktur, dan harta tetap lainnya. Semakin tinggi tingkat investasi
modal diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik,
karena aset tetap yang dimiliki sebagai akibat adanya belanja modal
merupakan prasyarat utama dalam memberikan pelayanan publik oleh
Pemerintah Daerah.
Setyawan dan Adi (2008) menemukan bahwa fiscal stress
mempunyai pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan PAD dan
fiscal stress mempunyai pengaruh yang positif terhadap tingkat
pertumbuhan belanja modal. Fiscal stress yang tinggi menunjukkan
semakin tingginya upaya daerah untuk meningkatkan PAD-nya.
Sejalan dengan hal itu, harapan untuk terus meningkatkan penerimaan
sendiri ini akan sulit terwujud apabila alokasi belanja untuk modal
tidak ditingkatkan. Hasil penelitian Setyawan dan Adi (2008)
memberikan implikasi diperlukannya suatu upaya yang lebih intensif
melalui penggalian potensi sumber-sumber penerimaan daerah
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah agar mampu meningkatkan
pertumbuhan PAD. Salah satu langkah yang dapat ditempuh adalah
Pemerintah Kabupaten/Kota harus lebih efektif dalam pengalokasian
belanja modal guna memenuhi kepentingan publik, baik yang
mendukung pertumbuhan ekonomi maupun untuk pelayanan publik
secara langsung. Berarti pertumbuhan belanja modal berpengaruh
terhadap fiscal stress.
22
Universitas Sumatera Utara
2.6.3 Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Fiscal Stress
Salah satu fungsi anggaran adalah sebagai kebijakan fiskal.
Anggaran sebagai alat kebijakan fiskal pemerintah digunakan untuk
menstabilkan ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Melalui anggaran publik tersebut dapat diketahui arah kebijakan
fiskal pemerintah, sehingga dapat dilakukan prediksi-prediksi dan
estimasi ekonomi. Anggaran dapat digunakan untuk mendorong,
memfasilitasi, dan mengkoordinasikan kegiatan ekonomi masyarakat
sehingga dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Purnaninthesa (2006) membuktikan bahwa fiscal stress
berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja keuangan pemerintah
kabupaten/kota di Jawa Tengah. Purnaninthesa (2006) menyimpulkan
bahwa fiscal stress pada suatu daerah dapat menyebabkan motivasi
bagi daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerahnya yang
pada akhirnya akan bermuara pada bertumbuhnya perekonomian
suatu daerah. Berarti pertumbuhan ekonomi memberikan pengaruh
terhadap fiscal stress.
Model
yang
dapat
dikembangkan
berdasar
teori
dan
pengembangan hipotesis penelitian adalah sebagai berikut :
23
Universitas Sumatera Utara
Pertumbuhan PAD
(X1)
Pertumbuhan Belanja
Modal (X2)
Fiscal Stress (Y)
Pertumbuhan
Ekonomi/PDRB (X3)
Gambar 2.1
Kerangka Konseptual Penelitian
2.7 Hipotesis
Hipotesis yang digunakaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif secara
parsial terhadap fiscal stress pada kabupaten/kota di Sumatera Utara.
Pertumbuhan Belanja Modal berpengaruh positif secara parsial
terhadap fiscal stress pada kabupaten/kota di Sumatera Utara.
Pertumbuhan Ekonomi/PDRB berpengaruh positif secara parsial
terhadap fiscal stress pada kabupaten/kota di Sumatera Utara
Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah, Pertumbuhan Belanja Modal
dan Pertumbuhan Ekonomi/PDRB berpengaruh positif secara simultan
terhadap fiscal stress pada kabupaten/kota di Sumatera Utara.
24
Universitas Sumatera Utara