Analisis Zat Warna Kuning Metanil Dalam Minuman Di Kawasan Kota Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pangan
Pangan adalah bahan (biasanya berasal dari hewan dan tumbuhan) yang
dimakan/diminum oleh makhluk hidup untuk memberikan tenaga dan nutrisi.
Pangan yang dibutuhkan manusia biasanya diperoleh melalui bertani atau berkebun
yang meliputi sumber hewan dan tumbuhan. Pada umumnya bahan pangan
mengandung air, karbohidrat, protein, lemak, vitamin, enzim, pigmen dan lain-lain.
Pangan dari sumber tumbuhan yang sering dikonsumsi manusia yaitu buah,
sayuran, biji-bijian, kacang-kacangan dan bumbu, sedangkan pangan dari sumber
hewan yaitu daging, produk telur dan susu (Anonimc, 2014).

2.2 Bahan Tambahan Pangan (BTP)
Pengertian bahan tambahan pangan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI
No. 772/Menkes/Per/IX/88 dan No. 1168/Menkes/PER/X/1999 secara umum
adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan bukan
merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi,
yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi pada
pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan dan
penyimpanan. Tujuan penambahan bahan tambahan pangan adalah dapat

meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan, membuat
bahan pangan lebih mudah dihidangkan, serta mempermudah preparasi bahan
pangan (Cahyadi, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Menurut Cahyadi (2009), pada umumnya bahan tambahan terbagi menjadi
dua golongan besar, yaitu sebagai berikut:
1. Bahan tambahan pangan yang ditambahkan secara sengaja ke dalam
makanan, dengan mengetahui komposisi bahan tersebut dan maksud
penambahan itu dapat mempertahankan kesegaran, cita rasa, dan
membantu pengolahan, sebagai contoh pengawet, pewarna dan
pengeras.
2. Bahan tambahan pangan yang tidak sengaja ditambahkan, yaitu bahan
yang tidak mempunyai fungsi dalam makanan tersebut, terdapat secara
tidak sengaja, baik dalam jumlah sedikit atau cukup banyak akibat
perlakuan selama proses produksi, pengolahan dan pengemasan. Bahan
ini dapat pula merupakan residu/kontaminan dari bahan yang sengaja
ditambahkan untuk tujuan produksi bahan mentah atau penanganannya
yang masih terus terbawa ke dalam makanan yang akan dikonsumsi.

Contoh bahan tambahan pangan dalam golongan ini adalah residu
pestisida (termasuk insektisida, herbisida, fungisida dan rodentisida) dan
antibiotik.
Penggunaan bahan tambahan pangan sebaiknya dengan dosis di bawah
ambang batas yang telah ditentukan. Jenis bahan tambahan ada 2, yaitu GRAS
(GenerallyRecognized as Safe), zat ini aman dan tidak berefek toksik misalnya gula
(glukosa), sedangkan jenis lainnya, yaitu ADI (Acceptable Daily Intake), jenis ini
selalu

ditetapkan

batas

penggunaan

hariannya

(daily

intake)


demi

menjaga/melindungi kesehatan konsumen (Cahyadi, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Di Indonesia telah disusun peraturan tentang Bahan Tambahan Pangan yang
diizinkan ditambahkan dan yang dilarang (disebut Bahan Tambahan Kimia) oleh
Departemen Kesehatan diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/IX/88, terdiri dari golongan BTP yang diizinkan
di antaranya sebagai berikut:
1. Antioksidan (antioxidant)
2. Antikempal (anticaking agent)
3. Pengatur keasaman (acidity regulator)
4. Pemanis buatan (artificial sweeterner)
5. Pemutih dan pematang telur (flour treatment agent)
6. Pengemulsi, pemantap dan pengental (emulsifier, stabilizer, thickener)
7. Pengawet (preservative)
8. Pengeras (firming agent)

9. Pewarna (colour)
10. Penyedap rasa dan aroma, penguat rasa (flavour, flavour enhancer)
11. Sekuestran (sequestrant)
Selain bahan tambahan pangan yang tercantum dalam peraturan tersebut masih ada
beberapa bahan tambahan pangan yang biasa digunakan dalam pangan, misalnya
enzim, penambah gizi dan humektan. Beberapa bahan tambahan yang dilarang
digunakan dalam makanan menurut Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 yaitu
Natrium tetraborat (boraks), Formalin (formaldehyde), P-Phenetilkarbamida
(dulcin) dan Asam salisilat, sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI
No. 1168/Menkes/Per/X/1999, selain bahan tambahan di atas masih ada tambahan
bahan kimia yang dilarang, seperti Rhodamin B (pewarna merah), Kuning Metanil

Universitas Sumatera Utara

(pewarna kuning), Dulsin (pemanis sintetis) dan Kalium bromat (pengeras)
(Cahyadi, 2009).
Sejak pertengahan abad ke-20 ini, peranan bahan tambahan pangan menjadi
semakin penting sejalan dengan kemajuan teknologi produksi bahan tambahan
pangan sintetis. Banyaknya bahan tambahan pangan dalam bentuk murni dan
tersedia secara komersil dengan harga yang relatif murah akan mendorong

meningkatnya konsumsi bahan tersebut bagi setiap individu. Penggunaan bahan
tambahan pangan (BTP) dalam proses produksi pangan perlu diwaspadai bersama,
baik oleh produsen maupun oleh konsumen. Dampak penggunaannya dapat
berakibat positif maupun negatif bagi masyarakat. Penyimpangan dalam
penggunaannya akan membahayakan kita, khususnya generasi muda. Di bidang
pangan kita memerlukan sesuatu yang lebih baik untuk masa yang akan datang,
yaitu pangan yang aman dikonsumsi, lebih bermutu, bergizi dan lebih mampu
bersaing dalam pasar global (Cahyadi, 2009).
Zat aditif pangan juga dapat menyebabkan penyakit jika tidak digunakan
sesuai dosis, terutama zat aditif pangan sintetis. Penyakit yang biasa timbul dalam
jangka waktu lama setelah pengunaan zat aditif pangan adalah kanker dan
kerusakan ginjal (Anonima, 2014).

2.3 Pewarna Bahan Pangan
Penentuan mutu bahan pangan pada umumnya sangat tergantung pada
beberapa faktor, seperti cita rasa, tekstur, dan nilai gizinya, juga sifat mikrobiologis
tetapi sebelum faktor-faktor lain dipertimbangkan, secara visual faktor warna
tampil lebih dahulu dan kadang-kadang sangat menentukan. Selain sebagai faktor

Universitas Sumatera Utara


yang menentukan mutu, warna juga dapat digunakan sebagai indikator kesegaran.
Baik tidaknya cara pencampuran atau cara pengolahan dapat ditandai dengan
adanya warna yang homogen dan merata (Cahyadi, 2009).
Pewarna telah digunakan sejak zaman purbakala. Pewarna biasa diperoleh
dari hewan, tumbuhan atau mineral tanpa harus diproses. Umumnya, sumber utama
pewarna didapat dari tumbuhan, yaitu dari akar, buah, daun, dan kayu tetapi hanya
sedikit yang diperdagangkan. Beberapa pewarna dapat mengendap jika direaksikan
dengan garam inert. Secara umum, pewarna terbagi menjadi pewarna alami dan
pewarna buatan (sintetis) (Anonimb, 2014).
2.3.1 Pewarna alami
Banyak warna cemerlang yang dijumpai pada hewan dan tumbuhan dapat
digunakan sebagai pewarna untuk pangan. Beberapa pewarna alami memberikan
nutrisi (karotenoid, riboflavin dan kobalamin), merupakan bumbu (kunir dan
paprika) atau pemberi rasa (karamel) ke bahan olahan. Konsumen dewasa ini
banyak menginginkan bahan alami dalam diet mereka. Banyak pewarna olahan
yang awalnya menggunakan pewarna sintetis berpindah ke pewarna alami.
Contohnya penggunaan serbuk beet menggantikan pewarna merah sintetis FD & C
No. 2. Beberapa pewarna alami yang berasal dari tumbuhan dan hewan diantaranya
klorofil, mioglobin dan hemoglobin, antosianin, flavonoid, tanin, betalain, quinon

dan xanthon, serta karotenoid (Cahyadi, 2009).
2.3.2 Pewarna buatan (sintetis)
Di negara maju, suatu zat pewarna buatan harus melalui berbagai prosedur
pengujian sebelum dapat digunakan sebagai pewarna pangan. Zat pewarna yang
diizinkan penggunaannya dalam pangan disebut permitted color atau certified

Universitas Sumatera Utara

color. Zat warna yang akan digunakan harus menjalani pengujian dan prosedur
penggunaannya, yang disebut proses sertifikasi. Proses sertifikasi ini meliputi
pengujian kimia, biokimia dan toksikologi terhadap zat tersebut (Yuliarti, 2007).
Di Indonesia, peraturan mengenai penggunaan zat pewarna yang diizinkan
dan dilarang untuk pangan diatur melalui SK Menteri Kesehatan RI Nomor
722/Menkes/Per/IX/88 mengenai bahan tambahan pangan. Beberapa contoh zat
pewarna yang diizinkan yaitu Biru berlian, Eritosin, Hijau FCF, Indigotin dan
Tartrazine. Sedangkan contoh pewarna yang dilarang yaitu Rhodamin B, Kuning
metanil dan Amaran. Akan tetapi, seringkali terjadi penyalahgunaan pemakaian zat
pewarna untuk pangan, misalnya zat pewarna untuk tekstil dan kulit dipakai untuk
mewarnai bahan pangan. Hal ini jelas berbahaya bagi kesehatan karena adanya
residu logam berat pada zat pewarna tersebut. Timbulnya penyalahgunaan tersebut

antara lain disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat mengenai zat pewarna untuk
pangan, dan di samping itu harga zat pewarna untuk industri jauh lebih murah
dibandingkan dengan harga zat pewarna untuk pangan juga warna dari zat pewarna
tekstil lebih menarik (Cahyadi, 2009).

2.4 Kuning Metanil (Methanyl Yellow)
Kuning metanil adalah zat warna sintetis berbentuk serbuk berwarna kuning
kecoklatan (tawny), larut dalam air, agak larut dalam benzen, eter dan sedikit larut
dalam aseton. Umumnya digunakan sebagai pewarna tekstil dan cat. Zat tersebut
merupakan senyawa kimia azo amin aromatik yang dapat menimbulkan tumor di
berbagai jaringan hati, kandung kemih, saluran pencernaan atau jaringan kulit
(Yuliarti, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Demi perlindungan terhadap kesehatan dan keselamatan konsumen, Balai
POM meminta produsen pangan tidak menggunakan bahan kimia yang dilarang
untuk pangan. Demikian juga, Balai POM meminta toko pengencer bahan kimia
untuk tidak menjual bahan kimia yang dilarang kepada konsumen. Menurut Yuliarti
(2007), monografi dari kuning metanil adalah sebagai berikut:


Kuning Metanil (Methanyl Yellow)
Gambar 2.1 Rumus bangun kuning metanil
Nama Kimia : 3-(4-Anilinophenylazo)benzenesulfonic acid sodium salt
Nama Lazim : Methanyl Yellow; Acid Yellow 36; C.I. 13065
Rumus Kimia : C18H14N3NaO3S
BM

: 375,38

Pemerian

: Serbuk kuning kecoklatan

Kelarutan

: Larut dalam air, agak larut dalam benzen, eter dan sedikit larut
dalam aseton .

Penggunaan


: Sebagai pewarna tekstil dan cat.

2.5 Spektrofotometri
Spektrofotometri adalah pengukuran absorbsi energi cahaya oleh suatu
sistem kimia pada suatu panjang gelombang tertentu. Sinar ultraviolet mempunyai
panjang gelombang antara 200-400 nm, sementara sinar tampak mempunyai

Universitas Sumatera Utara

panjang gelombang 400-750 nm. Menurut Gandjar dan Rohman (2007), hukum
Lambert-Beer menyatakan bahwa intensitas yang diteruskan oleh larutan zat
penyerap berbanding lurus dengan tebal dan konsentrasi larutan dan berbanding
terbalik dengan transmitan. Hukum tersebut dituliskan dengan : A = abc = log 1/T
Keterangan : A = absorbans a = koefisien ekstingsi b = tebal sel (cm) c =
konsentrasi analit.
Penyerapan radiasi sinar ultraviolet dan sinar tampak oleh spesies atom atau
molekul (M) dapat dipertimbangkan sebagai proses 2 langkah; yang pertama adalah
melibatkan eksitasi sebagaimana ditunjukkan oleh persamaan berikut:
M + hv


M*

Hasil reaksi antara M dengan foton (hv) merupakan partikel yang tereksitasi secara
elektronik yang disimbolkan dengan M*. Waktu hidup M* sangat pendek (10-8 –
10-9 detik), dan keberadaannya dapat diakhiri dengan berbagai macam proses
relaksasi. Kebanyakan tipe relaksasi melibatkan konversi energi eksitasi menjadi
panas, sesuai dengan persamaan berikut:
M*

M + panas

Relaksasi juga dapat terjadi dengan terdekomposisinya M* membentuk spesies
baru, sebagaimana suatu proses yang disebut dengan reaksi fotokimia.
Alternatifnya, relaksasi juga melibatkan emisi radiasi kembali yang dikenal dengan
fluorosensi dan fosforesensi (Gandjar dan Rohman, 2007).
Penyerapan (absorpsi) sinar ultraviolet dan sinar tampak pada umumnya
dihasilkan oleh eksitasi elektron-elektron ikatan, akibatnya panjang gelombang pita
yang mengabsorpsi dapat dihubungkan dengan ikatan yang mungkin ada dalam
suatu molekul. Terdapat tiga macam proses penyerapan energi ultraviolet dan sinar

Universitas Sumatera Utara

tampak yaitu penyerapan oleh transisi elektron ikatan dan elektron anti ikatan,
penyerapan oleh transisi elektron d dan f dari molekul kompleks serta penyerapan
oleh perpindahan muatan (Gandjar dan Rohman, 2007).
Menurut Gandjar dan Rohman (2007), terdapat beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam analisis dengan spektrofotometri ultraviolet dan cahaya tampak
terutama untuk senyawa yang tidak berwarna yang akan dianalisis yaitu:
1. Pembentukan molekul yang dapat menyerap sinar UV-Vis
Cara yang digunakan adalah dengan merubahnya menjadi senyawa lain atau
direaksikan dengan pereaksi tertentu sehingga dapat menyerap sinar UV-Vis
2. Waktu kerja (operating time)
Tujuannya ialah untuk mengetahui waktu pengukuran yang stabil. Waktu kerja
ditentukan dengan mengukur hubungan antara waktu pengukuran dengan
absorbansi larutan.
3. Pemilihan panjang gelombang
Panjang gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif adalah panjang
gelombang yang mempunyai absorbansi maksimal.
4. Pembuatan kurva baku
Dilakukan dengan membuat seri larutan baku dalam berbagai konsentrasi
kemudian absorbansi tiap konsentrasi diukur lalu dibuat kurva yang merupakan
hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi.
5. Pembacaan absorbansi sampel
Absorbansi yang terbaca pada spektrofotometer hendaknya terletak antara 0,2
sampai 0,6.

Universitas Sumatera Utara

Instrumentasi untuk Spektrofotometri

Gambar 2.2 Diagram skematis spektrofotometer UV-Vis
(Sumber : Gandjar dan Rohman, 2007)
Menurut Gandjar dan Rohman

(2007), komponen

spektrofotometer

ultraviolet/sinar tampak terdiri dari:
a. Sumber Cahaya
Sumber energi radiasi yang biasa untuk daerah ultraviolet dan daerah cahaya
tampak adalah sebuah lampu wolfram ataupun lampu tabung discas hidrogen
(atau deutrium).
b. Monokromator
Monokromator berfungsi mengubah cahaya polikromatis menjadi cahaya yang
monokromatis. Alatnya dapat berupa berupa prisma atau kisi difraksi.
c. Sel
Sel yang digunakan untuk daerah tampak terbuat dari kaca sedang untuk daerah
ultraviolet digunakan sel kuarsa atau kaca silika. Sel tampak dan ultraviolet yang
khas mempunyai panjang lintasan 1 cm, namun tersedia juga sel dengan
ketebalan kurang dari 1 milimeter, sampai 10 cm bahkan lebih.

Universitas Sumatera Utara

d. Detektor
Peranan detektor adalah memberikan respon terhadap cahaya pada berbagai
panjang gelombang. Detektor yang paling sederhana dipakai ialah tabung foto.
e. Recorder
Recorder digunakan sebagai perekam absorbansi yang dihasilkan dari
pengukuran.

2.6 Validasi
Validasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter
tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa
parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya (Harmita, 2004).
2.6.1 Perolehan kembali
Uji perolehan kembali dilakukan dengan metode penambahan larutan baku
(standard addition method). Dalam metode ini, kadar kuning metanil dalam sampel
ditentukan terlebih dahulu, selanjutnya dilakukan penentuan kadar kuning metanil
dalam sampel setelah penambahan larutan standar dengan konsentrasi tertentu.
Menurut Harmita (2004), persen perolehan kembali dapat dihitung dengan rumus di
bawah ini:
% Perolehan Kembali =

Keterangan:

CF - CA
×100%
� ∗A

CF = Kadar sampel setelah penambahan larutan baku (mcg/g)
CA = Kadar sampel sebelum penambahan larutan baku (mcg/g)
C* A = Kadar larutan baku yang ditambahkan (mcg/g)

Universitas Sumatera Utara

2.6.2 Uji ketelitian
Keseksamaan atau presisi diukur sebagai simpangan baku relatif atau
koefisien variasi. Keseksamaan atau presisi merupakan ukuran yang menunjukkan
derajat kesesuaian antara hasil uji individual ketika suatu metode dilakukan secara
berulang untuk sampel yang homogen. Nilai simpangan baku relatif yang
memenuhi persyaratan menunjukkan adanya keseksamaan metode yang dilakukan.
Menurut Harmita (2004), simpangan baku relatif dapat dihitung dengan rumus di
bawah ini:
RSD =


Keterangan :

X
SD
RSD

SD
X

× 100%

= Kadar rata-rata sampel (mcg/g)
= Standar Deviasi (mcg/g)
= Relative Standard Deviation (%)

2.6.3 Penentuan batas deteksi (limit of detection) dan batas kuantitasi (limit of
quantitation)
Batas deteksi merupakan jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat
dideteksi yang masih memberikan respon signifikan sedangkan batas kuantitasi
merupakan kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi
kriteria cermat dan seksama. Menurut Harmita (2004), batas deteksi dan batas
kuantitasi ini dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Simpangan Baku ( SY

X

)=

∑ (Y − Yi)
n−2

2

3 x SY

X
slope
10 x SY
X
Batas kuantitasi (LOQ) =
slope

Batas deteksi (LOD)

=

Universitas Sumatera Utara