Gambaran Perilaku Keluarga Terhadap Kepatuhan Minum Obat Penderita Tuberkulosis Multi-Drug Resistant (TB MDR) di Puskesmas Helvetia Kota Medan Tahun 2016

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Perilaku
Menurut Skinner (1983), perilaku merupakan respons atau reaksi
seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Dengan demikian, perilaku
manusia terjadi melalui proses mulai dengan stimulus yang diberikan kepada
organisme kemudian organism melakukan respons, sehingga teori Skinner ini
disebut Terori “S-O-R”. Berdasarkan teori “S-O-R” tersebut, maka perilaku
manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni :
a. Perilaku Tertutup (Covert Behaviour)
Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut masih belum
dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respons seorang masih
terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap
terhadap stimulus yang bersangkutan. Bentuk “unobservable behavior” atau
“covert behavior” yang dapat diukur adalah pengetahuan dan sikap.
b. Perilaku terbuka (overt behavior)
Perilaku terbuka ini terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut sudah
berupa tindakan atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau
“observable behavior” (Soekidjo, 2010).
2.1.1


Perilaku Kesehatan
Perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap

stimulasi atau objek yang berkaitan dengan sakit atau penyakit, sistem pelayanan
kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan. Dari batasan ini perilaku
kesehatan dibedakan menjadi 3 yang pertama Perilaku pemeliharaan kesehatan

10
Universitas Sumatera Utara

11

adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga
kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk menyembuhkan bila sakit yang kedua
perilaku pencarian dan penggunaan fasilitas kesehatan perilaku yang menyangkut
upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit atau kecelakaan, dan
yang ketiga perilaku kesehatan lingkungan bagaimana seseorang merespon
lingkungan, baik fisik maupun sosial budaya, sehingga lingkungan tersebut tidak
mempengaruhi kesehatan (Notoatmodjo, 2007).
Menurut teori WHO, faktor-faktor perilaku dapat dibedakan menjadi dua

(Notoatmodjo, 2007) yaitu :
a. Faktor-faktor Internal
Yaitu faktor-faktor yang ada di dalam diri individu itu sendiri, misalnya :
karakteristik (umur, jenis kelamin, pendidikan, sikap, dan sebagainya) yang
dimiliki seseorang. Selain itu juga dapat berupa pengalaman akan keberhasilan
mencapai sesuatu, pengakuan yang diperoleh, rasa tanggung jawab,
pertumbuhan profesional dan intelektual yang dialami seseorang. Sebaliknya,
apabila seseorang merasa tidak puas dengan hasil dari pekerjaan yang telah
dilakukannya, dapat dikaitkan dengan faktor-faktor yang sifatnya dari luar diri
individu.
b. Faktor-faktor Eksternal
Yaitu faktor-faktor yang ada di luar individu yang bersangkutan. Faktor ini
mempengaruhi, sehingga di dalam diri individu timbul unsur-unsur dan
dorongan/motif untuk berbuat sesuatu, misalnya pengalaman, fasilitas, sumber
informasi, penyuluhan dan pembinaan.

Universitas Sumatera Utara

12


Dari uraian di atas dapat dirumuskan bahwa perilaku adalah merupakan
totalitas penghayatan dan aktivitas seseorang, yang merupakan hasil bersama
antara berbagai faktor, baik faktor internal dan eksternal.
2.2. Konsep Kepatuhan
2.2.1 Definisi Kepatuhan
Kepatuhan adalah merupakan suatu perubahan perilaku dari perilaku yang
tidak mentaati peraturan keprilaku yang mentaati peraturan (Notoatmodjo, 2003).
Kepatuhan adalah tingkat seseorang dalam melaksanakan suatu aturan dan
perilaku yang disarankan. kepatuhan ini dibedakan menjadi dua yaitu kepatuhan
penuh (total compliance) dan penderita yang tidak patuh (non compliance).
Kepatuhan menurut Trostle dalam Niven (2002), adalah tingkat perilaku
penderita dalam mengambil suatu tindakan pengobatan, misalnya dalam
menentukan kebiasaan hidup sehat dan ketetapan berobat. Dalam pengobatan,
seseorang dikatakan tidak patuh apabila orang tersebut melalaikan kewajibannya
berobat, sehingga dapat mengakibatkan terhalangnya kesembuhan.
2.2.2 Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan
Menurut Sarafino (Bart, 1994) ketidaktaatan meningkatkan risiko
berkembangnya masalah kesehatan atau memperpanjang, atau memperburuk
kesakitan yang sedang diderita. Perkiraan yang ada menyatakan bahwa 20%
jumlah opname di rumah sakit merupakan akibat dari ketidaktaatan pasien

terhadap aturan pengobatan. Faktor yang memengaruhi kepatuhan seseorang
dalam berobat yaitu faktor petugas, faktor obat, dan faktor penderita. Karakteristik
petugas yang memengaruhi kepatuhan antara lain jenis petugas, tingkat
pengetahuan, lamanya bekerja, frekuensi penyuluhan yang dilakukan. Faktor obat

Universitas Sumatera Utara

13

yang memengaruhi kepatuhan adalah pengobatan yang sulit dilakukan tidak
menunjukkan ke arah penyembuhan, waktu yang lama, adanya efek samping obat.
Faktor penderita yang menyebabkan ketidakpatuhan adalah umur, jenis kelamin,
pekerjaan, anggota keluarga, saudara atau teman khusus.
Dalam hal kepatuhan Carpenito (Niven, 2002) berpendapat bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan adalah segala sesuatu yang dapat
berpengaruh positif sehingga penderita tidak mampu lagi mempertahankan
kepatuhannya, sampai menjadi kurang patuh dan tidak patuh.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan diantaranya:
1. Pemahaman tentang instruksi
Tak seorang pun mematuhi instruksi jika ia salah paham tentang instruksi yang
diberikan padanya. Hal ini disebabkan oleh kegagalan profesional kesalahan

dalam memberikan informasi lengkap, penggunaan istilah-istilah medis dan
memberikan banyak instruksi yang harus di ingat oleh pasien.
2. Faktor umur
Gunarsa (2005) mengemukakan bahwa semakin tua umur seseorang maka
proses perkembangan mentalnya bertambah baik, dengan demikian dapat
disimpulkan faktor umur akan mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang
yang akan mengalami puncaknya pada umur-umur tertentu dan akan menurun
kemampuan penerimaan atau mengingat sesuatu seiring dengan usia semakin
lanjut. Hal ini menunjang dengan adanya tingkat pendidikan yang rendah.
3. Kesakitan dan pengobatan
Perilaku kepatuhan lebih rendah untuk penyakit kronis (karena tidak ada akibat
buruk yang segera dirasakan atau resiko yang jelas), saran mengenai gaya

Universitas Sumatera Utara

14

hidup dan kebiasaan lama, pengobatan yang kompleks, pengobatan dengan
efek samping, perilaku yang tidak pantas.
4. Keyakinan, sikap dan kepribadian

Ahli psikologis telah menyelidiki tentang hubungan antara pengukuranpengukuran kepribadian dan kepatuhan. Orang-orang yang tidak patuh adalah
orang-orang yang lebih mengalami depresi, ansietas, sangat memerhatikan
kesehatannya, memiliki kekuatan ego yang lebih lemah dan yang kehidupan
sosialnya lebih memusatkan perhatian pada dirinya sendiri. Ciri-ciri
kepribadian yang disebutkan di atas itu yang menyebabkan seseorang
cenderung tidak patuh dari program pengobatan.
5. Dukungan Keluarga
Dukungan Keluarga dapat menjadi faktor yang dapat berpengaruh dalam
menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta menentukan program
pengobatan yang akan mereka terima.
6. Tingkat ekonomi
Tingkat ekonomi merupakan kemampuan finansial untuk memenuhi segala
kebutuhan hidup, akan tetapi ada kalanya penderita TB sudah pensiun dan
tidak bekerja namun biasanya ada sumber keuangan lain yang bisa digunakan
untuk membiayai semua program pengobatan dan perawatan sehingga belum
tentu tingkat ekonomi menengah ke bawah akan mengalami ketidakpatuhan
dan sebaliknya tingkat ekonomi baik tidak terjadi ketidakpatuhan.
7. Dukungan sosial
Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga
teman, waktu, dan uang merupakan faktor penting dalam kepatuhan. Keluarga


Universitas Sumatera Utara

15

dan teman dapat membantu mengurangi ansietas yang disebabkan oleh
penyakit tertentu, mereka dapat menghilangkan godaan pada ketidakpatuhan
dan mereka dapat menjadi kelompok pendukung untuk mencapai kepatuhan.
8. Dukungan profesi kesehatan
Dukungan

profesi

kesehatan

merupakan

faktor

penting


yang

dapat

memengaruhi perilaku kepatuhan penderita. Dukungan mereka terutama
berguna pada saat penderita menghadapi kenyataan bahwa perilaku sehat yang
baru itu merupakan hal yang penting.
Sedangkan Menurut teori Feuerstein dalam Niven (2002), ada lima faktor yang
mendukung kepatuhan pasien, dimana jika faktor ini lebih besar daripada
hambatannya maka kepatuhan harus mengikuti. Kelima faktor tersebut adalah:
1. Pendidikan
Pendidikan

pasien

dapat

meningkatkan


kepatuhan,

sepanjang

bahwa

pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif.
2. Akomodasi
Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian pasien yang
dapat mempengaruhi kepatuhan. Sebagai contoh, pasien yang lebih mandiri
harus dapat merasakan bahwa ia dilibatkan secara akut dalam program
pengobatan, sementara pasien yang lebih mengalami ansietas dalam
menghadapi sesuatu, harus diturunkan dulu tingkat ansietasnya dengan cara
menyakinkan dia atau dengan teknik-teknik lain sehingga ia termotivasi untuk
mengikuti anjuran pengobatan.
3. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial

Universitas Sumatera Utara

16


Hal ini berarti membangun dukungan sosial dari keluarga dan teman-teman.
Kelompok-kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu kepatuhan
terhadap program-program pengobatan seperti pengurangan berat badan,
berhenti merokok, dan menurunkan konsumsi alkohol.
4. Perubahan model terapi
Program-program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin, dan pasien
dapat terlibat aktif dalam pembuatan program tersebut. Dengan cara ini
komponen-komponen sederhana dalam program pengobatan dapat diperkuat,
untuk selanjutnya dapat mematuhi komponen-komponen yang lebih kompleks.
5. Interaksi petugas kesehatan dengan pasien
Adalah suatu hal penting untuk memberi umpan balik pada pasien setelah
memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien membutuhkan penjelasan
tentang kondisinya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka
lakukan dengan kondisi seperti itu. Untuk melakukan konsultasi dan
selanjutnya dapat membantu meningkatkan kepatuhan.
Sementara menurut Asti (2006) bahwa banyak faktor berhubungan dengan
kepatuhan terhadap terapi tuberkulosis, antara lain:
1. Faktor struktural dan ekonomi
Tidak adanya dukungan sosial dan kehidupan yang tidak mapan menciptakan

lingkungan yang tidak mendukung program tercapainya kepatuhan pasien.
2. Faktor pasien
Umur, jenis kelamin dan suku/ras berhubungan dengan kepatuhan pasien
dibeberapa tempat. Pengetahuan mengenai penyakit tuberkulosis dan

Universitas Sumatera Utara

17

keyakinan terhadap efikasi obatnya akan mempengaruhi keputusan pasien
untuk menyelesaikan terapinya atau tidak.
3. Kompleksitas regimen
Banyaknya obat yang harus diminum dan toksisitas serta efek samping obat
dapat merupakan faktor penghambat dalam penyelesaian terapi pasien.
4. Dukungan dari petugas pelayanan kesehatan
Empati dari petugas pelayanan kesehatan memberikan kepuasan yang
signifikan pada pasien. Untuk itu, petugas harus memberikan waktu yang
cukup untuk memberikan pelayanan kepada setiap pasien.
5. Cara pemberian pelayanan kesehatan
Sistem yang terpadu dari pelayanan kesehatan harus dapat memberikan sistem
pelayanan yang mendukung kemauan pasien untuk mematuhi terapinya. Dalam
sistem tersebut, harus tersedia petugas kesehatan yang berkompeten melibatkan
berbagai multidisiplin, dengan waktu pelayanan yang fleksibel
Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan menurut Brunner &
Suddarth (2002), adalah :
1. Variabel demografi, seperti usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi dan
pendidikan
2. Variabel penyakit seperti keparahan penyakit dan hilangnya gejala akibat terapi
3. Variabel program teraupetik seperti kompleksitas program dan efek samping
yang tidak menyenangkan
4. Variabel psikososial seperti intelegensia, sikap terhadap tenaga kesehatan,
penerimaan, atau penyangkalan terhadap penyakit, keyakinan agama atau
budaya, dan biaya finansial.

Universitas Sumatera Utara

18

Menurut Smet (1994), faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kepatuhaan
yaitu :
1. Komunikasi
Berbagai aspek komunikasi antara pasien dan dokter memengaruhi tingkat
ketidaktaatan,
ketidakpuasaan

misalnya
terhadap

informasi
aspek

dengan

hubungan

pengawasan
emosional

yang

kurang,

dengan

dokter,

ketidakpuasaan terhadap obat yang diberikan.
2. Pengetahuan
Ketetapan dalam memberikan informasi secara jelas dan eksplisit terutama
sekali penting dalam pemberian antibiotik untuk mencegah timbulnya penyakit
infeksi. Karena sering kali pasien menghentikan obat tersebut setelah gejala
yang dirasakan hilang bukan saat obat itu habis.
3. Fasilitas kesehatan
Fasilitas kesehatan merupakan sarana penting dimana dalam memberikan
penyuluhan terhadap penderita, diharapkan penderita menerima penjelasan dari
tenaga kesehatan yang meliputi jumlah tenaga kesehatan, gedung serbaguna
untuk penyuluhan dan lain-lain.
2.3 Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh kuman mycobacterium tuberkulosis. Sebagian besar kuman
Tuberkulosis menyerang paru tapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya.
(Depkes, 2008)
Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan
terhadap asam pewarnan. Oleh karena itu disebut juga sebagai Basil Tahan Asam

Universitas Sumatera Utara

19

(BTA). Kuman Tuberkulosis cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi
dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam
jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun.
(Depkes, 2008)
2.3.1 Pengertian Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di
jaringan paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut
sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mugkin timbul di bagian mana
saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan
kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal).
Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus
(limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional
dikenal sebagai
kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai
berikut :
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
a. Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya. Salah satu contoh adalah
epituberkulosis, yaitu suatu kejadian dimana terdapat penekanan bronkus,
biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga
menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat
atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang

Universitas Sumatera Utara

20

tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada
lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru
sebelahnya. Penyebaran ini juga terjadi ke dalam usus.
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian penyebaran ini sangat
bersangkutan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi basil. Sarang
yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak
terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan
cukup

gawat

seperti

tuberkulosis

milier,

meningitis

tuberkulosa,

typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan
tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal,
genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir
dengan :
 Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang
pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma) atau
meninggal
 Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer (Pedoman Tata
Laksana Konsesus TB, 2010).
2.4 Definisi Tuberkulosis Multi Drugs Resistence (TB-MDR)
TB dengan resistensi terjadi dimana basil Mycobacterium tuberculosis
resisten terhadap rifampisin dan isoniazid, dengan atau tanpa OAT lainnya.
Resistensi dapat berupa resistensi primer dan resistensi sekunder. Terdapat empat
jenis kategori resisten terhadap OAT, yaitu :
 Mono Resistance : Resisten terhadap salah satu OAT

Universitas Sumatera Utara

21

 Poly Resistance : Resisten terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi
Isoniazid dan Rifampisin
 Multi-drug Resistance (MDR) : Resisten terhadap sekurang-kurangnya
Isoniazid dan Rifampisin
 Extensive Drug Resistance (XDR) : TB MDR ditambah dengan resisten salah
satu obat golongan fluorokuinolon, dan sedikitnya salah satu dari OAT injeksi
lini kedua (kapreomisin, kanamisin, dan amikasin)

Resistensi ganda menunjukkan M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin
dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya. Secara umum resistensi terhadap obat
tuberkulosis dibagi menjadi:
a. Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah

mendapat

pengobatan TB
b. Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasiennya sudah
pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak.
c. Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah punya riwayat pengobatan
sebelumnya.
Laporan pertama tentang reistensi ganda datang dari Amerika Serikat,
khususnya pada pasien TB dan AIDS yang menimbulkan angka kematian 70%–
90% dalam waktu hanya 4 sampai 16 minggu. Ada beberapa penyebab terjadinya
resitensi terhadap obat tuberkulosis, yaitu:
1. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis.
2. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang
atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap obat

Universitas Sumatera Utara

22

yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah
dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut sudah cukup tinggi.
3. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga
minggu lalu stop, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter dan
mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu stop lagi, demikian
seterusnya.
4. Fenomena “addition syndrome” (Crofton, 1987), yaitu suatu obat ditambahkan
dalam suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi
karena kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama, maka
“penambahan” (addition) satu macam obat hanya akan menambah panjang
daftar obat yang resisten.
5. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik,
sehingga mengganggu bioavailabiliti obat.
6.

Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu daerah
kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan

7. Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga menimbulkan
kejemuan.
8. Pengetahuan pasien kurang tentang penyakit TB
9. Kasus MDR-TB rujuk ke dokter spesialis paru. (Pedoman Diagniosis dan
penatalakasanaan di Indonesia, 2006)
2.5 Diagnosis TB MDR
Tuberkulosis paru dengan resistensi dicurigai kuat jika kultur basil tahan
asam (BTA) tetap positif setelah terapi 3 bulan atau kultur kembali positif setelah
terjadi konversi negatif. Beberapa gambaran demografik dan riwayat penyakit

Universitas Sumatera Utara

23

dahulu dapat memberikan kecurigaan TB paru resisten obat, yaitu
a. TB aktif yang sebelumnya mendapat terapi, terutama jika terapi yang diberikan
tidak sesuai standar terapi;
b. Kontak dengan kasus TB resistensi ganda;
c. Gagal terapi atau kambuh;
d. Infeksi Human Immnodeficiency Virus (HIV);
e. Riwayat rawat inap dengan wabah MDR TB
Menurut Soepandi (2010) dalam penelitian Diagnosis dan Penatalaksanaan
TB MDR, suspek pasien TB MDR teerjadi dengan penyebab sebagai berikut :
Suspek TB-MDR (Pasien yang dicurigai TB-MDR) adalah:
1. Kasus TB paru kronik: dibuktikan dengan rekam medis sebelumnya dan
riwayat penyakit dahulu.
2. Pasien TB paru gagal pengobatan kategori dua.
3. Pasien TB yang pernah diobati TB termasuk OAT lini kedua seperti kuinolon
dan kanamisin.
4. Pasien TB paru yang gagal pengobatan kategori satu.
5. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan
dengan kategori satu.
6. TB paru kasus kambuh.
7. Pasien TB yang kembali setelah lalai/pada pengobatan kategori satu dan atau
kategori dua.
8. Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien TB MDR
konfirmasi, termasuk petugas kesehatan yang bertugas di bangsal TB-MDR.
Pasien yang memenuhi kriteria „suspek‟ harus dirujuk ke laboratorium dengan

Universitas Sumatera Utara

24

jaminan mutu eksternal yang ditunjuk untuk pemeriksaan biakan dan uji
kepekaan obat.
Diagnosis TB resistensi tergantung pada pengumpulan dan proses kultur
spesimen yang adekuat dan harus dilakukan sebelum terapi diberikan. Jika pasien
tidak dapat mengeluarkan sputum dilakukan induksi sputum dan jika tetap tidak
bisa, dilakukan bronkoskopi. Tes sensitivitas terhadap obat lini pertama dan kedua
harus dilakukan pada laboratorium rujukan yang memadai.
Beberapa metode telah digunakan untuk deteksi resistensi obat pada TB.
Deteksi resistensi obat di masa lalu yang disebut dengan metode konvensional
berdasarkan deteksi pertumbuhan M.tuberculosis. Akibat sulitnya beberapa
metode ini dan membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya,
maka belakangan ini diusulkanlah teknologi baru. Yang termasuk metode terbaru
ini adalah metode fenotipik dan genotipik.
Pada banyak kasus, metode genotipik khususnya telah mendeteksi
resistensi rifampisin, sejak saat itu metode ini dipertimbangkan sebagai petanda
TB resisten khususnya pada suasana dengan prevalensi TB resisten tinggi.
Sementara metode fenotipik, di lain sisi, merupakan metode yang lebih sederhana
dan lebih mudah diimplementasikan pada laboratorium mikrobakteriologi klinik
secara rutin.
2.6 Mekanisme Resistensi
Ungkapan terhadap “tahap MDR” pada mikrobakteriologi mengarah pada
resisten secara simultan terhadap Rifampisin dan Isoniazide (dengan atau tanpa
resistensi pada obat anti tuberkulosis lainnya). Analisa secara genetik dan
molekuler pada mikobakterium tiberkulosis menjelaskan bahwa mekanisme

Universitas Sumatera Utara

25

resistensi biasanya didapat oleh basil melalui mutasi terhadap target obat (Spratt,
1994) atau oleh titrasi dari obat akibat overproduksi dari target. MDR TB
menghasilkan secara primer akumulasi mutasi gen target obat pada individu.

Tabel

2.1.

Lokus

gen

yang

terlibat

dalam

resistensi

obat

pada

mikobakterium tuberkulosis

2.6.1 Mekanisme Resistensi Terhadap INH (Isoniazide)
Isoniazid merupakan hydrasilasi dari asam isonikotinik, molekul yang
larut air sehingga mudah untuk masuk ke dalam sel. Mekanisme kerja obat ini
dengan menghambat sintesis dinding sel asam mikolik (struktur bahan yang
sangat penting pada dinding sel mykobakterium) melalui jalur yang tergantung
dengan oksigen seperti rekasi katase peroksidase.
Mutasi mikobakterium tuberkulosis yang resisten terhadap isoniazid
terjadi secara spontan dengan kecepatan 1 dalam 105-106 organisme. Mekanisme
resistensi isoniazid diperkirakan oleh adanya asam amino yang mengubah gen
katalase peroksidase (katG) atau promotor pada lokus 2 gen yang dikenal sebagai
inhA. Mutasi missense atau delesi katG berkaitan dengan berkurangnya aktivitas
katalase dan peroksidase.

Universitas Sumatera Utara

26

2.6.2 Mekanisme Resistensi Terhadap Rifampisin
Rifampisin

merupakan

turunan

semisintetik

dari

Streptomyces

mediterranei, yang bekerja sebagai bakterisid intraseluler maupun ekstraseluler.
Obat ini menghambat sintesis RNA dengan mengikat atau menghambat secara
khusus RNA polymerase yang tergantung DNA.
Rifampisin berperan aktif invitro pada kokus gram positif dan gram
negatif, mikobakterium, chlamydia, dan poxvirus. Resistensi mutannya tinggi,
biasanya pada semua populasi mikrobakterium terjadi pada frekuensi 1: 107 atau
lebih 12. Resistensi terhadap rifampisin ini disebabkan oleh adanya permeabilitas
barier, atau adanya mutasi dari RNA polymerase tergantung DNA.
Rifampisin mengahambat RNA polymerase tergantung DNA dari
mikobakterium, dan menghambat sintesis RNA bakteri yaitu pada formasi rantai
(chain formation) tidak pada perpanjangan rantai (chain elongation), tetapi RNA
polymerase manuisia tidak terganggu. Resistensi rifampisin berkembang karena
terjadinya mutasi kromosom dengan frekuensi tinggi dengan kecepatan mutasi
tinggi, yaitu 10-7 sampai 10-3, dengan akibat terjadinya perubahan pada RNA
polymerase. Resistensi terjadi pada gen untuk beta sub unit dari RNA polymerase
dengan akibat terjadinya perubahan pada tempat ikatan obat tersebut.
2.6.3 Mekanisme Resistensi Terhadap Pyrazinamide
Pyrazinamid merupakan turunan asam nikotinik yang berperan penting
sebagai bakterisid jangka pendek terhadap terapi tuberkulosis14. Obat ini bekerja
efektif terhadap bakteri tuberkulosis secara invitro pada pH asam (pH 5,0-5,5).
Pada keadaan pH netral, pyrazinamid tidak berefek atau hanya sedikit ber efek
(Riyanto, et al. 2006). Obat ini merupakan bakterisid yang memetabolisme secara

Universitas Sumatera Utara

27

lambat organisme yang berada dalam suasana asam pada fagosit atau granuloma
kaseosa. Obat tersebut akan diubah oleh basil tuberkel menjadi bentuk yang aktif
asam pyrazinoat.
Mekanisme resistensi pyrazinamid berkaitan dengan hilangnya aktivitas
pyrazinamidase sehingga pyrazinamid tidak banyak yang diubah menjadi asam
pyrazinoat. Kebanyakan kasus resistensi pyrazinamide ini berkaitan dengan
mutasi pada gen pncA, yang menyandikan pyrazinamidase.
2.6.4 Mekanisme Resistensi Terhadap Ethambutol
Ethambutol merupakan turunan ethylenediamine yang larut air dan aktif
hanya pada mycobacteria. Ethambutol ini bekerja sebagai bakteriostatik pada
dosis standar. Mekanisme utamanya dengan menghambat enzim arabinosyl
transferase yang memperantarai polymerisasi arabinose menjadi arabinogalactan
yang berada di dalam dinding sel.
Resistensi ethambutol pada M. Tuberculosis paling sering berkaitan
dengan mutasi missense pada gen emb B yang menjadi sandi untuk
arabinosyltransferase. Mutasi ini telah ditemukan pada 70% strain yang resisten
dan keterlibatan pengganti asam amino pada posisi 306 atau 406 pada sekitar 90%
kasus.
2.6.5 Mekanisme Resistensi Terhadap Streptomysin
Streptomysin merupakan golongan aminoglikosida yang diisolasi dari
Streptomyces griseus. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis protein
dengan menganggu fungsi ribosomal 14. Pada 2/3 strain M. Tuberculosis yang
resisten terhadap streptomysin telah diidentifikasi oleh karena adanya mutasi pada

Universitas Sumatera Utara

28

satu dari dua target yaitu pada gen 16S rRNA (rrs) atau gen yang menyandikan
protein ribosomal S12 (rpsl). Kedua target diyakini terlibat pada ikatan
streptomysin ribosomal 14.
Mutasi yang utama terjadi pada rpsl. Mutasi pada rpsl telah di identifikasi
sebanyak 50% isolat yang resisten terhadap streptomysin dan mutasi pada rrs
sebanyak 20%15. Pada sepertiga yang lainnya tidak ditemukan adanya mutasi.
Frekuensi resistensi mutan terjadi pada 1 dari 105 sampai 107 organisme. Strain
M. Tuberculosis yang resisten terhadap streptomysin tidak mengalami resistensi
silang terhadap capreomysin maupun amikasin.
2.7 Penatalaksanaan TB MDR
Dasar pengobatan terutama untuk keperluan membuat regimen obat-obat
anti TB, WHO guidelines membagi obat TB MDR menjadi 5 grup berdasarkan
potensi dan efikasinya, sebagai berikut (World Health Organization, 2008) :
1. Grup pertama, pirazinamid dan ethambutol, karena paling efektif dan dapat
ditoleransi dengan baik. Obat lini pertama yang terbukti sebaiknya digunakan
dan digunakan dalam dosis maksimal.
2. Grup kedua, obat injeksi bersifat bakterisidal, kanamisin (amikasin), jika alergi
digunakan kapreomisin, viomisin. Semua pasien diberikan injeksi sampai
jumlah kuman dibuktikan rendah melalui hasil kultur negatif.
3. Grup ketiga, fluorokuinolon, obat bekterisidal tinggi, misal levofloksasin.
Semua pasien yang sensitif terhadap grup ini harus mendapat kuinolon dalam
regimennya.

Universitas Sumatera Utara

29

4. Grup empat, obat bakteriostatik lini kedua, PAS (paraaminocallicilic acid),
ethionamid, dan sikloserin. Golongan obat ini mempunyai toleransi tidak
sebaik obat-obat oral lini pertama dan kuinolon.
5. Grup kelima, obat yang belum jelas efikasinya, amoksisilin, asam klavulanat,
dan makrolid baru (klaritromisin). Secara in vitro menunjukkan efikasinya,
akan tetapi data melalui uji klinis pada pasien TB MDR masih minimal. Ada
tiga cara pendekatan pembuatan regimen didasarkan atas riwayat obat TB yang
pernah dikonsumsi penderita, data Drug Resistance Surveilance (DRS) di suatu
area, dan hasil DST (Drug Susceptibility Testing) dari penderita itu sendiri.
Berdasarkan data di atas mana yang dipakai, maka dikenal pengobatan
dengan regimen standar, pengobatan dengan regimen standar yang diikuti dengan
regimen yang sesuai dari hasil DST individu penderita tersebut, dan pengobatan
secara empiris yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST individu
penderita tersebut. Pengobatan dengan regimen standar : pembuatan regimen
didasarkan atas hasil DRS yang bersifat representative pada populasi dimana
regimen tersebut akan diterapkan. Semua pasien TB MDR akan mendapat
regimen sama.
Pengobatan dengan regimen standar yang diikuti dengan regimen yang
sesuai dari hasil DST individu penderita : awalnya semua pasien akan mendapat
regimen yang sama selanjutnya regimen disesuaikan berdasarkan hasil uji
sensitivitas yang telah tersedia dari pasien yang bersangkutan. Pengobatan secara
empirik yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST individu pasien,
tiap regimen bersifat individualis, dibuat berdasarkan riwayat pengobatan TB

Universitas Sumatera Utara

30

sebelumnya, selanjutnya disesuaikan setelah hasil uji sensitivitas obat dari pasien
yang bersangkutan tersedia.
Menurut WHO guidelines, membuat tahapan tersebut sebagai berikut
(World Health Organization, 2008) :
Tahap 1 : gunakan obat dari lini pertama yang manapun yang masih
menunjukkan efikasi
Tahap 2 : tambahan obat di atas dengan salah satu golongan obat injeksi
berdasarkan hasil uji sensitivitas dan riwayat pengobatan
Tahap 3 : tambahan obat-obat di atas dengan salah satu obat golongan
fluorokuinolon
Tahap 4

: tambahkan obat-obat tersebut di atas dengan satu atau lebih dari obat
golongan 4 sampai sekurang-kurangnya sudah tersedia 4 obat yang
mungkin efektif

Tahap 5 : pertimbangkan menambahkan sekurang-kurangnya 2 obat dari
golongan 5 (melalui proses konsultasi dengan pakar TB MDR)
apabila dirasakan belum ada 4 obat yang efektif dari golongan 1
sampai 4.
Selain itu, ada beberapa butir dalam pengobatan MDR TB yang dianjurkan
oleh WHO sebagai prinsip dasar, antara lain :
(1) Regimen harus didasarkan atas riwayat obat yang pernah diminum penderita.
(2) Dalam pemilihan obat pertimbangkan prevalensi resistensi obat lini pertama
dan obat lini kedua yang berada diarea / negara tersebut.
(3) Regimen minimal terdiri 4 obat yang jelas diketahui efektifitasnya.
(4) Dosis obat diberikan berdasarkan berat badan.

Universitas Sumatera Utara

31

(5) Obat diberikan sekurang-kurangnya 6 hari dalam seminggu, apabila mungkin
etambutol, pirazinamid, dan fluoro kuinolon diberikan setiap hari oleh karena
konsentrasi dalam serum yang tinggi memberikan efikasi.
(6) Lama pengobatan minimal 18 bulan setelah terjadi konversi.
(7) Apabila terdapat DST, maka harus digunakan sebagai pedoman terapi. DST
tidak memprediksi efektivitas atau inefektivitas obat secara penuh.
(8) Pirazinamid dapat digunakan dalam keseluruhan pengobatan apabila
dipertimbangkan efektif. Sebagian besar penderita MDR TB memiliki
keradangan kronik di parunya, dimana secara teoritis menghasilkan suasana
asam dan pirazinamid bekerja aktif.
(9) Deteksi awal adalah faktor penting untuk mencapai keberhasilan.
Pengobatan pasien TB MDR terdiri atas dua tahap, tahap awal dan tahap
lanjutan. Pengobatan TB MDR memerlukan waktu lebih lama daripada
pengobatan TB bukan MDR, yaitu sekitar 18-24 bulan. Pada tahap awal pasien
akan mendapat Obat anti tuberkulosis lini. Kedua minimal 4 jenis OAT yang
masih sensitif, dimana salah satunya adalah obat injeksi. Pada tahap lanjutan,
semua OAT lini kedua yang dipakai pada tahap awal.
2.7.1 Fase Intensif pengobatan, Lama Pengobatan, dan Pengobatan
Tambahan
Pemberian obat suntik atau fase intensif yang direkomendasikan adalah
berdasarkan konversi kultur. Obat suntik diteruskan sekurang-kurangnya 6 bulan
dan minimal 4 bulan setelah hasil sputum atau kultur pertama yang menjadi
negatif. Pendekatan individual termasuk hasil kultur, sputum, foto toraks dan

Universitas Sumatera Utara

32

keadaan klinis pasien juga dapat membantu memutuskan penghentian pemakaian
obat suntik.
Lamanya pengobatan berdasarkan konversi kultur. Panduan yang
direkomendasikan adalah meneruskan pengobatan minimal 18 bulan setelah
konversi kultur. Sampai saat ini belum ada data yang mendukung pengurangan
lama pengobatan. Pengobatan lebih dari 24 bulan dapat dilakukan pada kasus
kronik dengan kerusakan paru luas.
Pengobatan tambahan berupa pendukung nutrisi. Pasien TB MDR sering
mengalami malnutrisi, selain itu OAT lini kedua dapat menyebabkan penurunan
nafsu makan. Vitamin B6, vitamin A dan mineral sebaiknya ditambahkan dalam
diet sehari-hari.
2.7.2 Pemantauan selama pengobatan
Pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons terhadap
pengobatan dan mengidentifikasi efek samping pengobatan. Gejala klasik TB –
batuk, berdahak, demam dan BB menurun – umumnya membaik dalam beberapa
bulan pertama pengobatan. Penilaian respons pengobatan adalah konversi dahak
dan biakan. Hasil uji kepekaan MDR TB dapat diperoleh setelah 2 bulan.
Pemeriksaan dahak dan biakan dilakukan setiap bulan pada fase intensif dan
setiap 2 bulan pada fase lanjutan. Evaluasi pada pasien MDR TB adalah;
(1) Penilaian klinis termasuk berat badan,
(2) Penilaian segera bila ada efek samping,
(3) Pemeriksaan dahak setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada
fase lanjutan,
(4) Pemeriksaan biakan setiap bulan pada fase intensif sampai konversi biakan,

Universitas Sumatera Utara

33

(5) Uji kepekaan obat sebelum pengobatan dan pada kasus kecurigaan akan
kegagalan pengobatan,
(6) Periksa kadar kalium dan kreatinin sepanjang pasien mendapat suntikan
(Kanamisin dan Kapreomisin),
(7) Pemeriksaan TSH dilakukan setiap 6 bulan dan jika ada tanda-tanda
hipotiroid.
2.8 Pencegahan terjadinya resistensi obat
WHO merekomendasikan strategi DOTS dalam penatalaksanaan kasus
TB, selain relatif tidak mahal dan mudah, strategi ini dianggap dapat menurunkan
risiko terjadinya kasus resistensi obat terhadap TB. Pencegahanan yang terbaik
adalah dengan standarisasi pemberian regimen yang efektif, penerapan strategi
DOTS dan pemakaian obat adalah yang sangat tepat untuk mencegah terjadinya
resistensi OAT.
Pencegahan terjadinya MDR TB dapat dimulai sejak awal penanganan
kasus baru TB antara lain : pengobatan secara pasti terhadap kasus BTA positif
pada pertama kali, penyembuhan secara komplit kasih kambuh, penyediaan suatu
pedoman terapi terhadap TB, penjaminan ketersediaan OAT adalah hal yang
penting, pengawasan terhadap pengobatan, dan adanya OAT secara gratis. Jangan
pernah memberikan terapi tunggal pada kasus TB. Peranan pemerintah dalam hal
dukungan kelangsungan program dan ketersediaan dana untunk penanggulangan
TB (DOTS). Dasar pengobatan TB oleh klinisi berdasarkan pedoman terapi sesuai
“evidence based” dan tes kepekaan kuman (Alfin, 2012).
2.9 Strategi DOTS Plus
Penerapan strategi DOTS plus mempergunakan kerangka yang sama

Universitas Sumatera Utara

34

dengan strategi DOTS, dimana setiap komponen yang ada lebih ditekankan
kepada penanganan MDR TB.
Strategi DOTS Plus juga sama terdiri dari 5 komponen kunci :
1. Komitmen politis yang berkesinambungan untuk masalah MDR (multi drug
resistance)
2. Strategi penemuan kasus secara rasional yang akurat dan tepat waktu
menggunakan pemeriksaan hapusan dahak secara mikroskopis ,biakan dan uji
kepekaan yang terjamin mutunya.
3. Pengobatan standar dengan menggunakan OAT lini kedua, dengan pengawasan
yang ketat (Direct Observed Treatment/ DOT).
4. Jaminan ketersediaan OAT lini kedua yang bermutu.
5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. Setiap komponen dalam
penanganan TB MDR lebih kompleks dan membutuhkan biaya lebih banyak
dibandingkan dengan pasien TB bukan MDR Pelaksanaan program DOTS plus
akan memperkuat Program Penanggulangan TB Nasional (Alfin, 2012).
2.10 Pengawas Minum Obat (PMO)
Salah satu komponen DOTS (Directly Observed Treatment Short-Course)
dalam stategi penanggulangan tuberkulosis paru adalah pengobatan paduan OAT
jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan
pengobtan diperlukan seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
Strategi DOTS sesuai dengan rekomendasi WHO (1997) adalah :
komitmen politis dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana,
diagnosis tuberkulisis paru dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopik,
pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung

Universitas Sumatera Utara

35

oleh Pengawas Menelan Obat (PMO), kesinambungan persediaan OAT jangka
pendek dengan mutu terjamin, pencatatan dan pelaporan secara baku untuk
memudahkan pemantauan serta evaluasi program penanggulangan tuberkulosis
paru.
1. Pengertian Pengawas Menelan Obat (PMO)
Pengawas Menelan Obat (PMO) adalah orang yang mengawasi secara
langsung terhadap penderita tuberkulosis paru pada saat minum obat setiap
harinya dengan menggunakan panduan obat jangka pendek (Depkes, 2007)
2. Tujuan Penggunaan Pengawas Menelan Obat (PMO)
Menurut Ditjen PPM dan PLP (1997) bahwa tujuan penggunaan Pengawas
Menelan Obat (PMO) pada penderita tuberkulosis paru adalah : 1) untuk
menjamin ketekunan dan keteraturan pengobatan sesuai jadwal yang
ditentukan pada awal pengobatan, 2) untuk menghindari penderita dari putus
berobat sebelum waktunya, dan 3) untuk mengurangi kemungkinan
pengaobatan dan kekebalan terhadap OAT.
Dalam menyukseskan upaya pemberantasan tuberlukosis paru, maka
peran petugas kesehatan dalam surveillance dan pencatatan pelaporan yang
baik merupakan suatu keharusan. Tidak menutup kemungkinan peran kader
serta masyarakat lainnya dapat berperan aktif melalui kunjungan rumah
bersama petugas kesehatan, tokoh masyarakat untuk melakukan pendidikan di
masyarakat melalui penyuluhan, konseling atau pemantauan secara terpadu,
terintegrasi dengan upaya-upaya lain termasuk peningkatan ekonomi keluarga.
Penderita tuberkulosis perlu mendapatkan pengawasan langsung agar
meminum obat secara teratur sampai sembuh.

Universitas Sumatera Utara

36

Orang yang mengawasi penderita tuberkulosis dikenal dengan istilah
pengawas menelan obat (PMO). pengawas menelan obat (PMO) sebaiknya
orang yang disegani dan dekat dengan pasien tuberlukosis paru, misalnya
keluarga, tetangga, atau kader kesehatan. PMO bertanggung jawab untuk
memastikan pasien tuberlukosis paru meminum obat sesuai anjuran petugas
puskesmas atau UPK (Nova dalam Hendrawati, 2008).
Kegagalan pengobatan dan kurang kedisiplinan bagi penderita tuberkulosis
paru sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah peran
pengawas menelan obat (PMO). Pengawas menelan obat (PMO) sangat penting
untuk mendampingi penderita agar dicapai hasil pengobatan yang optimal
(DepKes, 2000). Kolaborasi petugas kesehatan dengan keluarga yang ditunjuk
untuk mendampingi ketika penderita minum obat, juga faktor yang perlu
dievaluasi untuk menentukan tingkat keberhasilannya (Purwanta dalam
Hapsari, 2010).
3. Persyaratan Pengawas Menelan Obat (PMO)
Persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang PMO adalah : 1)
seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan
maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien, 2)
seseorang yang tinggal dekat dengan pasien, 3) Bersedia membantu pasien
dengan sukarela, dan 4) bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan
bersama-sama dengan pasien. Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan,
misalnya bidan desa, perawat, pekarya kesehatan, sanitarian, juru imunisasi,
dan lain-lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO

Universitas Sumatera Utara

37

dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK atau tokoh
masyarakat lainnya atau anggota keluarga.
4. Orang yang bisa menjadi Pengawas Menelan Obat (PMO)
Kegagalan pengobatan dan kurang kedisiplinan bagi penderita
tuberkulosis paru sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya
adalah peran PMO. PMO sangat penting untuk mendampingi penderita agar
dicapai hasil pengobatan yang optimal. Kolaborasi petugas kesehatan dengan
keluarga yang ditunjuk untuk mendampingi ketika penderita minum obat, juga
faktor yang perlu dievaluasi untuk menentukan tingkat keberhasilannya.
Sebaiknya orang yang bisa menjadi Pengawas Menelan Obat (PMO)
adalah petugas kesehatan, misalnya bidan desa, juru imunisasi, dan lain-lain.
Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari
kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK atau tokoh masyarakat lainnya atau
anggota keluarga.
5. Peran Pengawas Menelan Obat (PMO)
Peran seorang PMO adalah mengawasi pasien tuberkulosis agar
menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan, memberi dorongan
kepada pasien agar mau berobat secara teratur, mengingatkan pasien untuk
periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan, dan memberi
penyuluhan pada anggota keluarga pasien tuberkulosis yang mempunyai
gejala-gejala mencurigakan tuberkulosis untuk segera memeriksakan diri ke
rumah sakit atau unit pelayanan kesehatan. Menurut Hapsari (2010) tugas
PMO bagi penderita tuberkulosis paru adalah :
a. Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik.

Universitas Sumatera Utara

38

b. Melakukan pengawasan terhadap pasien dalam hal minum obat.
c. Mengingatkan pasien untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal yang
telah ditentukan.
d. Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara teratur hingga
selesai.
e. Mengenali efek samping ringan obat, dan menasehati pasien agar tetap mau
menelan obat.
f. Merujuk pasien bila efek samping semakin berat.
g. Melakukan kunjungan rumah
h. Memberikan penyuluhan pada anggota keluarga penderita tuberkulosis yang
mempunyai gejala-gejala tersangka tuberkulosis untuk segera memeriksakan
diri kepada petugas kesehatan.
Dalam buku panduan PMO yang diterbitkan oleh Depkes RI (2007), untuk
kesuksesan menjalankan tugasnya PMO perlu memiliki ketentuan sebagai
berikut :
a. Umur
Umur adalah usia yang secara garis besar menjadi indikator dalam
kedewasaan dalam setiap pengambilan keputusan yang mengacu pada setiap
pengalamannya. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan
seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan logis (Notoatmodjo, 2007).
Seperti yang dikatakan Hurlock (1999) bahwa semakin tinggi umur maka
tingkat kematangan dan kekuatan seseorang lebih dipercaya. Semakin tua umur
seseorang, makin konstruktif dalam menganalisis terhadap masalah yang
dihadapi. Pengalaman dan kematangan jiwa seseorang disebabkan semakin

Universitas Sumatera Utara

39

cukupnya umur dan kedewasaan dalam berfikir dan bekerja. Sesuai dengan
pendapat Notoatmodjo (2007) bahwa seseorang yang umurnya lebih tua akan
lebih banyak pengalamannya sehingga mempengaruhi pengetahuan yang
dimiliki, artinya semakin tua umur seseorang maka semakin baik
pengetahuannya. Dalam menjalankan tugasnya seorang PMO diharapkan
memiliki umur yang cukup dewasa sehingga dalam melakukan pendampingan
terhadap penderita tuberkulosis, dapat menganalisis setiap permasalahan yang
timbul dan memberikan solusi secara cepat dan tepat.
b. Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh dalam memberi respon
terhadap sesuatu yang datang dari luar. Orang yang berpendidikan tinggi akan
memberikan respon yang lebih rasional terhadap informasi yang datang dan
akan berpikir sejauh mana keuntungan yang mungkin akan mereka peroleh dari
gagasan tersebut. Pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga
perilaku seseorang akan pola hidup, terutama dalam memotivasi sikap dan
berperan serta dalam perkembangan kesehatan. Semakin tinggi tingkat
kesehatan seseorang, maka akan semakin makin mudah menerima informasi
sehingga makin banyak pola pengetahuan yang dimiliki. pengawas menelan
obat (PMO) yang memiliki tingkat pendidikan yang baik akan lebih mudah
untuk menyerap pengetahuan terutama tentang tugas pokok, fungsi dan
peranya dalam menjalankan tugas sehingga tujuan dari kegiatan mendampingi
penderita tuberkulosis dalam menjalani pengobatan dapat tercapai.
c. Pekerjaan

Universitas Sumatera Utara

40

Pekerjaan adalah segala sesuatu yang dikerjakan oleh manusia dengan
berbagai tujuan. Pekerjaan dilakukan oleh seseorang biasanya untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Orang yang memiliki pekerjaan yang lebih layak guna
pemenuhan semua kebutuhan hidupnya juga memiliki kecenderungan untuk
memiliki tingkat kesehatan dan perilaku kesehatan yang lebih baik dari pada
orang yang memiliki tingkat pekerjaan yang lebih rendah dengan asumsi
memiliki kebutuhan hidup yang sama, oleh sebab itu seseorang yang memiliki
pekerjaan yang layak akan lebih memperhatikan perilaku kesehatan untuk diri
sendiri dan lingkungannya. Pemilihan seorang PMO yang memiliki pekerjaan
yang layak diharapkan lebih memiliki

perhatian yang serius

bagi

perkembangan kesehatan penderita tuberkulosis paru dengan memahami
perannya sebagai pengawas menelan obat (Mochammad, 2011).
2.11 Pengawasan pengobatan secara langsung Pasien TB MDR
Prinsip pemberian pengobatan adalah rawat jalan penuh dengan pasien
datang untuk mengambil dan minum obat di fasilitas layanan kesehatan setiap hari
selama masa pengobatan. Kebijakan Program Nasional mengenai pengawasan
pengobatan adalah melakukan pengawasan penuh selama masa pengobatan TB
MDR.
Tujuan kebijakan adalah untuk memastikan pasien minum semua obat
sesuai dosis yang diberikan, memberikan kesempatan bagi petugas kesehatan
untuk melakukan pemantauan efek samping yang mungkin terjadi dan pemberian
KIE atau konseling jika diperlukan. Secara periodik, Program Nasional
Penanggulangan TB melakukan peninjauan kembali model pengawasan

Universitas Sumatera Utara

41

pengobatan yang diterapkan di Indonesia (Strategi Pengendalian TB Nasional,
2013).
2.12 Definisi Keluarga
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami
istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya.
Pembangunan keluarga adalah upaya mewujudkan keluarga berkualitas yang
hidup dalam lingkungan yang sehat. Keluarga berkualitas adalah keluarga yang
dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah dan bercirikan sejahtera, sehat, maju,
mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan ke depan, bertanggung
jawab, harmonis dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Ketahanan dan kesejahteraan keluarga adalah kondisi keluarga yang
memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik materil
guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup
harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan kebahagiaan lahir dan batin.
Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan terencana di segala bidang
untuk menciptakan perbandingan ideal antara perkembangan kependudukan
dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta memenuhi kebutuhan
generasi sekarang tanpa harus mengurangi kemampuan dan kebutuhan generasi
mendatang, sehingga menunjang kehidupan bangsa (UU No. 52 tahun 2009).

Universitas Sumatera Utara

42

2.13 KERANGKA KONSEP
2.13.1 Teori Lawrence Green
Dari batasan segi biologis, perilaku adalah satu kegiatan seorang makhluk
hidup berperilaku karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing yang bisa
sama atau bisa berbeda satau dengan yang lainnya. Dapat diketahui bahwa
perilaku manusia adalah tindakan atau aktivitas dari manusia yang bersangkutan
dengan bentangan yang luas antara lain: berjalan, belajar, menangis, tertawa, dan
lain-lain. Disimpulkan bahwa perilaku manusia adalah semua kegiatan atau
aktivitas manusia baik yang dapat diamati secara langsung maupun yang tidak
dapat diamati secara tidak langsung oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2007).
Teori yang pernah diujicobakan untuk mengungkap faktor-faktor yang
berhubungan dengan perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan
kesehatan adalah teori Lawrence Green (1980). Green (1980) mengembangkan
suatu model pendekatan yang dapat digunakan untuk membuat perencanaan
kesehatan yang dikenal sebagai PRECEDE. PRECEDE merupakan singkatan dari
Predisposing, Enabling, dan Reinforcing Cause in Educational Diagnosis and
Evaluation merupakan arahan dalam menganalisis dan diagnosis prilaku, evaluasi
prilaku untuk mengintervensi pendidikan (promosi) kesehatan. Sedangkan
PROCEED: Policy, Regulatory, Organizational Construct in Educational and a
Enviromental Development, adalah merupakan arahan dalam perencanaan,
Implementasi, dan evaluasi pendidikan (promosi) kesehatan (Notoatmodjo, 2007).
Green dalam Soekidjo (2007) mencoba menganalisa perilaku manusia dari
tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor
pokok, yakni faktor perilaku (behavioral causes) dan faktor di luar perilaku (non-

Universitas Sumatera Utara

43

behavioral

causes.

Lawrence

Green

menjelaskan

bahwa

perilaku

itu

dilatarbelakangi atau dipengaruhi oleh tiga faktor pokok, yakni
a. faktor predisposi (predisposing factor), Faktor predisposisi dapat mencakup
pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, dan nilai-nilai lainnya yang
dianut oleh seseorang.
b. faktor yang mendukung (enabling factor), faktor pendukung dapat mencakup
lingkungan fisik, sarana, fasilitas, dan akses agar seseorang mau mengubah
perilakunya.
c. faktor yang memperkuat atau mendorong (reinforcing factor), berupa sikap dan
perilaku petugas yang menyebabkan seseorang mengadopsi lebih lama suatu
perilaku.
Perilaku seseorang terhadap suatu respon atau stimulus dipengaruhi oleh 2
faktor yaitu:
1) Faktor internal yang mencakup pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi,
motivasi, dan sebagainya yang berfungsi untuk mengolah rangsangan dari
luar;
2) Faktor eksternal meliputi lingkungan sekitar baik fisik m

Dokumen yang terkait

Analisis Penatalaksanaan Program Penanggulangan Tuberkulosis Multi Drugs Resisten (TB-MDR) di Puskesmas Helvetia Medan Tahun 2015

13 125 111

Prevalensi Risiko Tuberkulosis Multi Drug Resistance (TB-MDR) di Kota Depok tahun 2010 - 2012

2 18 45

Gambaran Perilaku Keluarga Terhadap Kepatuhan Minum Obat Penderita Tuberkulosis Multi-Drug Resistant (TB MDR) di Puskesmas Helvetia Kota Medan Tahun 2016

3 65 142

HUBUNGAN ANTARA KETIDAKPATUHAN MINUM OBAT DENGAN KEJADIAN TUBERCULOSIS PARU MULTI DRUG RESISTANCE (TB MDR) Hubungan Antara Ketidakpatuhan Minum Obat Dengankejadian Tuberculosis Paru Multi Drug Resistance (Tb MDR) Di Puskesmas Nogosari Boyolali.

0 1 16

Gambaran Perilaku Keluarga Terhadap Kepatuhan Minum Obat Penderita Tuberkulosis Multi-Drug Resistant (TB MDR) di Puskesmas Helvetia Kota Medan Tahun 2016

0 0 18

Gambaran Perilaku Keluarga Terhadap Kepatuhan Minum Obat Penderita Tuberkulosis Multi-Drug Resistant (TB MDR) di Puskesmas Helvetia Kota Medan Tahun 2016

0 0 2

Gambaran Perilaku Keluarga Terhadap Kepatuhan Minum Obat Penderita Tuberkulosis Multi-Drug Resistant (TB MDR) di Puskesmas Helvetia Kota Medan Tahun 2016

0 0 9

Gambaran Perilaku Keluarga Terhadap Kepatuhan Minum Obat Penderita Tuberkulosis Multi-Drug Resistant (TB MDR) di Puskesmas Helvetia Kota Medan Tahun 2016

0 3 3

Gambaran Perilaku Keluarga Terhadap Kepatuhan Minum Obat Penderita Tuberkulosis Multi-Drug Resistant (TB MDR) di Puskesmas Helvetia Kota Medan Tahun 2016

0 0 10

MDR TB (Multi Drug Resistant Tuberculosis) Reversi

0 0 7