Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pandangan Masyarakat Negeri Rumahtiga Tentang Kebersamaan Dalam Falsafah Sagu Salempeng Patah Dua Pasca Konflik 1999 T2 752013004 BAB II

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Riwayat Hidup Emile Durkheim
Emile Durkheim lahir pada tahun 1858 di Epinal1, suatu perkampungan
kecil orang Yahudi di bagian timur Perancis yang agak terpencil dari masyarakat
luas. Ia adalah keturunan dari suatu garis panjang para rabi dan belajar menjadi
seorang nabi, tetapi pada masa usia remaja, dia menyangkal sebagian besar
warisannya.2 Pada usia 21 tahun Durkheim diterima di Ecole Normale
Superieure. Dua kali sebelumnya ia gagal dalam ujian masuk yang sangat
kompetitif, walaupun sebelumnya ia sangat cemerlang dalam studinya. Ia datang
ke Paris untuk bisa masuk ke sekolah Lycee Louis-le-Grand (satu sekolah tinggi
terkemuka), sesudah memperoleh dukungan yang kuat dan dorongan dari guruguru di Epinal. Sesudah menamatkan pendidikannya, Durkheim mulai mengajar.
Selama lima tahun ia mengajar dalam satu sekolah menengah atas (lycees) di
daerah Paris. Selama satu tahun dalam periode ini ia mendapat cuti untuk belajar
lebih lanjut, yang sebagian besar ia habiskan waktunya itu di Jerman. Sejak awal
karirnya mengajar, Durkheim bertekad untuk menekankan pengajaran praktis
1

Untuk suatu tinjauan singkat mengenai catatan-catatan utama dalam biografi
kehidupan Durkheim, lihat Harry Alpert, Emile Durkheim and His Sociology (New York:

Columbia University Press, 1939), Bagian I “Emile Durkheim: Frenchman, Teacher,
Sosiologist”, 15-78; Henri Peyre, “Durkheim, The Man, His Time, and His Intellectual
Background”, 3-31 dalam Kurt H. Wolff, ed., Emile Durkheim (Columbus: Ohio State
University Press, 1960); dan Robert A. Nisbet, The Sociology of Emile Durkheim (New York:
Oxford University Press, 1974, 3-24.
2
George Ritzer, Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 146).

13

ilmiah serta moral daripada pendekatan filsafat tradisional yang menuntut ia
tidak relevan dengan masalah sosial dan moral yang gawat dan sedang melanda
Republik Ketiga itu.
Pada tahuan 1887, ketika Durkheim berusia 29 tahum, pemberian
kuliahnya dan beberapa artikel yang ditulisnya membuat ia menjadi seorang ahli
ilmu

sosial


muda

yang terpandang.

Untuk

itu

ia

dihargai

dengan

pengangkatannya di fakultas pendidikan dan fakultas ilmu sosial di Universitas
Bordeaux. Kebutuhan untuk mengajar kursus pendidikan, memungkinkan
Durkheim mengembangkan perspektif sosiologinya mengenai kepribadian
manusia yang dibentuk oleh masyarakat melalui wakil-wakilnya dalam sistem
pendidikan. Tahun 1896, Durkheim diangkat menjadi profesor penuh dalam
ilmu sosial. Ia merupakan profesor penuh untuk pertama kalinya dalam ilmu

sosial di Perancis. Dua tahun kemudian, tonggak sejarah yang penting dicapai
ketika Durkheim mendirikan L’Anée Sociologique, jurnal ilmiah pertama untuk
sosiologi.3 Jurnal tersebut sangat berpengaruh sejak awalnya. Jurnal itu
merupakan suatu forum bagi Durkheim untuk beberapa karya tulis perintisnya.
Tahun 1899 Durkheim ditarik ke Sorbonne. Tahun 1906 dia
dipromosikan sebagai profesor penuh dalam ilmu pendidikan. Pada tahun 1913
kedudukan Durkheim diubah ke ilmu pendidikan dan sosiologi.4 Akhirnya
sosiologi secara resmi didirikan dalam lembaga pendidikan yang sangat
terhormat di Perancis. Durkheim terus aktif dalam usaha akademis dan ilmiah,
3

Harry Alpert, Emile Durkheim and His Sociology (New York: Columbia University
Press, 1939), 15-78.
4
Ibid.,61-62.

14

tetapi dengan pecahnya perang, sebagian tenaganya dialihkan ke usaha
menjelaskan tujuan Perancis dalam perang itu. Tahun 1917, pada usia 59 tahun

ia meninggal, sesudah menerima penghormatan dari orang-orang semasanya
untuk karirinya yang produktif dan bermakna, serta setelah dia mendirikan dasar
sosiologi ilmiah.

B. Konsep Tentang Masyarakat
Menurut Durkheim, masyarakat mewujud dalam fakta-fakta sosial yang
melampaui pemahaman intuitif kita dan mesti diteliti melalui observasi dan
pengukuran.5 Baginya, dalam diri manusia terdapat dua hakekat yang sering
disebut dengan homo duplex, yakni: yang pertama didasarkan pada
individualitas tubuh kita yang terisolasi dan kedua adalah hakikat kita sebagai
makhluk sosial. Yang terakhir inilah yang merupakan diri kita yang tertinggi dan
merepresentasikan segala sesuatu yang deminya kita rela mengorbankan diri dan
kepentingan jasmaniah kita sendiri. Hal ini hadir dalam ide tubuh dan pikiran,
sebagaimana yang diungkapkan oleh Durkheim:
“Jadi bukan tanpa alasan kalau manusia merasakan dirinya menjadi
ganda: dia memang ganda. Dalam dirinya ada dua kelas kesadaran
yang berbeda satu sama lain dalam asal dan hakikatnya, dan dalam
hal tujuan akhir yang ingin dicapai keduanya. Kelas pertama selalu
mengekspresikan organisme kita dan objek-objek yang terkait
dengannya. Karena bersifat sangat individual, kesadaran dari kelas

ini hanya menghubungkan kita dengan diri kita sebagaimana halnya
kita sendiri dan kita tidak bisa lepas dari tubuh kita sendiri.
Kesadaran dari kelas kedua, sebaliknya datang kepada kita dan
5

Ibid.,132.

15

menghubungkan diri kita dengan sesuatu yang melebihi kita. Karena
bersifat kolektif, impersonal, kesadaran ini mengarahkan kita kepada
tujuan yang sama-sama ingin kita capai bersama orang lain dan
hanya melalui kesadaran inilah kita dapat dan mungkin
berkomunikasi dengan orang lain. Oleh karena itu, sebenarnya
hakikat kita terbagi jadi dua bagian, dan layaknya dua makhluk
berbeda, yang meskipun terkait erat satu sama lain, namun terdiri
dari unsur yang sangat berbeda dan mengarahkan kita menuju arah
yang berlawanan”.6

Bagi Durkheim, hal-hal yang bersifat sosial hanya bisa teraktualisasi

melalui manusia dan mereka adalah produk aktivitas manusia.7 Dan bahwa
masyarakat bukan hanya semata-mata kumpulan sejumlah individu. Durkheim
berpendapat bahwa sistem yang dibentuk oleh bersatunya mereka itu merupakan
suatu realitas spesifik yang memiliki karakteristik sendiri.8
Sebuah masyarakat bukan hanya sekedar sekelumit pemikiran yang ada
dalam kepala seseorang, tapi merupakan kumpulan sekian banyak fakta, mulai
dari bahasa, hukum, kebiasaan, ide, nilai, tradisi, teknik, sampai kepada aneka
jenis produk yang dihasilkan masyarakat tersebut. Semua itu saling terkait satu
sama lain dan keberadaannya merupakan sesuatu yang bersifat eksternal dari
pikiran manusia. Bagi Durkheim, masyarakat adalah yang utama, dan “karena
masyarakat secara tak terbatas mengungguli individu dalam ruang dan waktu,
maka masyarakat berada pada posisi menentukan cara bertindak dan cara
berpikir terhadapnya”.9

6

Emile Durkheim, The Dualism of Human Nature and Its Social Condition, Dalam R.
Bellah (ed), Emile Durkheim: On Morality and Society, (Chicago: Univesity of Chicago Press),
149-163.
7

Ibid.,83.
8
Emile Durkheim, The Rules of Method,...,103.
9
Ibid., 102.

16

Dalam buku The Division of Labour In Society, Durkheim menyebutkan
bahwa ada dua bentuk masyarakat yaitu. Masyarakat tradisional dan masyarakat
modern. Yang menjadikan keduanya berbeda adalah fungsi dan pembagian
kerja.10 Fungsi pembagian kerja dalam masyarakat tradisional bersifat mekanik
sedangkan fungsi pembagian kerja dalam masyarakat modern bersifat organik.
Fungsi pembagian kerja dalam masyarakat tradisional bersifat mekanik karena
kenyataan yang disebabkan faktor individu yang berhubungan mempunyai
banyak kesamaan diantara sesamanya. Mereka hidup dengan usaha mencakupi
kebutuhan sendiri dan dengan pekerjaan yang sama. Sedangkan pembagian kerja
dalam

masyarakat


modern

bersifat

organik,

di

mana

terjadi

saling

ketergantungan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan karena
adanya spesifikasi pekerjaan antara masing-masing masyarakat. Sedangkan
masyarakat tradisional memiliki kesadaran kolektif yang kuat dan luas dan di
dalam kesadaran tersebut terdapat satu kata sepakat tentang ketentuan yang
benar dan yang salah dalam seluruh aspek kehidupan mereka.


C. Konsep Fakta Sosial
Bagi Durkheim, masyarakat terdiri dari fakta-fakta sosial yang melebihi
pengertian intuitif kita dan harus diselidiki melalui pengamatan-pengamatan dan
pengukuran. Ide-ide tersebut begitu sentral bagi sosiologi sehingga Durkheim
sering dilihat sebagai bapak sosiologi. Salah satu tujuan utama Durkheim adalah
mendirikan sosiologi sebagai suatu disiplin ilmu. Meskipun istilah sosiologi
10

Emile Durkheim, The Division of Labor In Society, Translate by George Simpson
(New York: Free Press, 1964), 49-51.

17

telah diciptakan beberapa tahun sebelumnya oleh Aguste Comte. Ada
perlawanan yang kuat dari disiplin-disiplin yang sudah ada terhadap pendirian
bidang seperti itu. Perlawanan yang paling signifikan datang dari psikologi dan
filsafat, dua bidang yang mengklaim sudah mencakup domain yang diusahakan
oleh sosiologi. Untuk memisahkan sosiologi dari filsafat, Durkheim berargumen
bahwa sosiologi harus diorientasikan kepada riset empiris. Hal tersebut tampak

cukup sederhana, tetapi situasinya diperumit oleh kepercayaan Durkheim bahwa
sosiologi juga diancam oleh suatu aliran filosofis yang ada di dalam sosiologi itu
sendiri. Dalam pandangannya, dua tokoh utama lainnya pada masa itu yang
menganggap diri mereka sebagai sosiolog yaitu Comte dan Herbert Spencer.
Mereka sangat tertarik dengan berfilsafat, berteori abstrak, daripada mempelajari
dunia sosial secara empiris.
Asumsi umum yang paling fundamental yang mendasari pendekatan
Durkheim terhadap sosiologi adalah bahwa gejala sosial itu riil dan
mempengaruhi kesadaran individu serta perilakunya yang berbeda dari
karakteristik psikologis, biologis, atau karakteristik individu lainnya. Gejala
sosial merupakan fakta yang riil, gejala-gejala itu dapat dipelajari dengan
metoda-metoda empirik, yang memungkinkan satu ilmu sejati tentang
masyarakat dapat dikembangkan.11 Tanpa objektif riil sebagai pokok
permasalahannya, suatu ilmu tentang masyarakat tidak mungkin terjadi. Oleh
karena itu, Durkheim berulang kali mengemukakan bahwa gejala sosial itu

11

Talcott Parson, The Structure of Social Action (New York: McGraw-Hill, 1937), 344-


368.

18

adalah benda.12 Artinya gejala sosial adalah riil secara obyektif, dengan satu
eksistensi yang terlepas dari gejala biologis atau psikologis individu. Tekanan
Durkheim pada kenyataan gejala sosial yang obyektif itu bertentangan tidak
hanya dengan individualisme yang berlebih-lebihan tetapi juga dengan para ahli
teori yang pendekatannya terlampau spekulatif dan filosofis.
Bagi Durkheim, fakta sosial tidak dapat direduksikan ke fakta individu,
melainkan memiliki eksistensi yang independen pada tingkat sosial. Durkheim
mengemukakan dengan tegas tiga karakteristik yang berbeda. Pertama, gejala
sosial bersifat eksternal terhadap individu. Gejala sosial atau fakta sosial terdiri
dari struktur sosial, norma budaya, dan nilai yang berada di luar dan memaksa
aktor termasuk didalamnya juga yakni aturan legal beban moral, kesepakatan
sosial, dan bahasa. Meskipun banyak dari fakta sosial ini akhirnya diendapkan
oleh

individu

melalui

proses

sosialisasi,

individu

sejak

awalnya

mengkonfrontasikan fakta sosial itu sebagai satu kenyataan eksternal. Hampir
setiap orang sudah mengalami hidup dalam satu situasi sosial yang baru dari satu
organisasi, dan merasakan dengan jelas bahwa ada kebiasaan-kebiasaan dan
norma-norma yang sedang diamati yang tidak ditangkap atau dimengertinya
secara penuh. Dalam situasi serupa itu, kebiasaan dan norma ini jelas dilihat
sebagai sesuatu eksternal.13
Kedua, bahwa fakta itu memaksa individu. Individu dipaksa, dibimbing,
diyakinkan, didorong, atau dengan cara tertentu dipengaruhi oleh pelbagai tipe
12

Emile Durkheim, The Rules of Sociological Method, translate by Sarah A. Solavay
dan John H. Muller and edited by George E.G. Catlin (New York: Free Press, 1964), 284.
13
Emile Durkheim, The Rules of Sociological Method,..., 81.

19

fakta sosial dalam lingkungan sosialnya. Seperti yang dikatakan Durkheim,
bahwa tipe-tipe perilaku atau berpikir mempunyai kekuatan memaksa yang
karenanya mereka memaksa individu terlepas dari kemauannya sendiri. hal
tersebut tidak berarti bahwa individu harus mengalami paksaan fakta sosial
dengan cara negatif atau membatasi seperti memaksa seseorang untuk
berperilaku yang bertentangan dengan kemauannya. Sesungguhnya kalau proses
sosialisasi itu berhasil, individu sudah mengedepankan fakta sosial yang cocok
sedemikian menyeluruhnya sehingga perintah-perintahnya akan kelihatan
sebagai hal yang biasa, sama sekali tidak bertentangan dengan kemauan
individu. Tentu, sosialisasi jarang sebegitu sempurnanya sehingga tidak ada
ketegangan sama sekali antara fakta sosial yang sesuai harus mengarah ke
pelanggaran yang benar-benar, maka kekuatan fakta sosial yang memaksa ini
akan menjadi jelas, bsik secara informal, misalnya ejekan maupun secara formal,
misalnya pengusiran atau penahanan.14
Ketiga, fakta itu bersifat umum atau tersebar secara meluas dalam satu
masyarakat. Dengan kata lain, fakta sosial itu merupakan milik bersama dan
bukan sifat individu perorangan. Sifat umumnya ini bukan sekedar hasil
penjumlahan beberapa fakta individu. Fakta sosial benar-benar bersifat kolektif
dan pengaruhnya terhadap individu merupakan hasil dari sifat kolektifnya ini.
Durkheim ingin menegakkan pentingnya tingkat sosial daripada menarik
kenyataan sosial dari karakteristik individu.15 Dengan demikian, fakta sosial ada
di luar individu, yaitu di luar individu secara terpisah, karena fakta-fakta itu
14
15

Ibid., 85.
Ibid., 86-87.

20

tidak bisa terlepas dari individu-individu secara bersama-sama. Jadi fakta sosial
tidak terpadu dengan individu-individu, tetapi juga tidak terlepas dari mereka.
Durkheim merumuskan fakta sosial sebagai otonom. Fakta sosial adalah realitas
yang merupakan jenis tersendiri.16

D. Teori Solidaritas Sosial
Dari semua fakta sosial yang ditunjuk dan didiskusikan oleh Durkheim,
tak satu pun yang sedemikian sentralnya seperti konsep solidaritas sosial. Dalam
satu atau lain bentuk, solidaritas sosial membawahi semua karya utamanya.
Durkheim melihat bahwa setiap masyarakat manusia memerlukan solidaritas.
Bagi Durkheim, solidaritas banyak dipengaruhi oleh fakta sosial yang
memperlihatkan adanya berbagai cara dan usaha manusia untuk membangun
suatu komunitas, atau masyarakat. Solidaritas menunjuk pada suatu keadaan
hubungan antara individu dan kelompok yang didasarkan pada perasaan moral
dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh emosional bersama.17
Dalam buku The Division of Labour in Society menjelaskan bahwa ada
dua bentuk solidaritas yaitu secara mekanik dan organik.

Solidaritas sosial

mekanik cenderung menjadi pola hidup masyarakat primitif yang menjunjung
kolektifitas bersama, sedangkan solidaritas sosial organik menjadi pola hidup
masyarakat modern yang lebih melihat kepada pembagian kerja. Perubahan yang
terjadi dari masyarakat mekanik menjadi masyarakat organik inilah yang mau
16
17

Ibid.
Emile Durkheim, The Division of Labor In Society,...,227.

21

dilihat oleh Durkheim. Kedua terminologi tersebut perlu dipahami dalam
kerangka teori-teori Durkheim mengenai masyarakat.

1. Solidaritas Sosial Mekanik
Istilah solidaritas mekanis dipakai oleh Durkheim untuk menganalisa
masyarakat secara keseluruhan. Solidaritas sosial mekanis lebih menekankan
pada sesuatu kesadaran kolektif bersama yang menyandarkan pada totalitas
kepercayaan dan sentimen bersama yang rata-rata ada pada masyarakat.
Solidaritas mekanis merupakan sesuatu yang bergantung pada individu-individu
yang memiliki sifat-sifat yang sama dan menganut kepercayaan dan serta norma
yang sama. Indikator yang sangat jelas untuk solidaritas mekanis adalah ruang
lingkup dan kerasnya nilai-nilai yang bersifat menekan. Nilai-nilai tersebut
menunjuk pada setiap perilaku sebagai sesuatu yang jahat, mengancam atau
melanggar kesadaran kolektif yang kuat.

18

Solidaritas sosial mekanik memiliki

ciri-ciri, sebagai berikut:
1. Pembagian kerja rendah
2. Kesadaran kolektif kuat
3. Hukum represif dominan
4. Individualitas rendah
5. Konsensus terhadap pola-pola normatif itu penting
6. Keterlibatan komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang
18

Ibid.,79.

22

7. Secara relatif saling ketergantungan itu rendah
8. Bersifat primitif atau penegerian.
Dalam masyarakat solidaritas sosial mekanik memiliki pembagian kerja
yang sederhana, mereka memiliki aturan-aturan yang kolektif yang mengatur
bagaimana cara mereka berperilaku dan hukum represif yaitu hukum yang
bersifat menekan. Konsekuensi dari suatu perbuatan atau perilaku yang
menyimpang dari anggota masyarakat akan mendapatkan hukuman. Hukaman
itu untuk mempertahankan keutuhan kolektif atas pengertian atau kata hati
bersama.19
Hukuman tidak harus mencerminkan pertimbangan rasional yang
mendalam mengenai jumlah kerugian secara objektif yang memojokkan
masyarakat itu, juga tidak merupakan pertimbangan yang diberikan untuk
menyesuaikan hukuman itu dengan kejahatannya, sebaliknya ganjaran itu
menggambarkan dan menyatakan kemarahan kolektif yang muncul. Sebenarnya
tidak terlalu banyak sifat orang yang menyimpang atau tindakan kejahatannya
seperti oleh penolakan terhadap kesadaran kolektif yang diperlihatkannya, tetapi
perlu diketahui suatu sifat kejahatan muncul dari umpan balik nilai-nilai
masyarakat.20
Bagi Durkheim faktor utama dari solidaritas sosial mekanis adalah bahwa
solidaritas itu didasarkan pada suatu tingkat homogenitas yang tinggi dalam
kepercayaan dan sentimen. Kesadaran kolektif yang mendasari solidaritas
mekanis paling kuat perkembangannya dalam masyarakat-masyarakat primitif
19
20

George Ritzer, Teori Sosiologi,...,64-65.
Emile Durkheim, The Division of Labor In Society,...,78.

23

yang sederhana. Dalam masyarakat seperti itu semua anggota pada dasarnya
memiliki kepercayaan bersama, pandangan, nilai dan semuanya memiliki gaya
hidup yang kira-kira sama.21
Bagi Durkheim, masyarakat dengan solidaritas mekanik dibentuk oleh
hukum represif (repressive law) yakni hukum-hukum yang bersifat menekan.
Hukum ini mendefinisikan setiap perilaku sebagai sesuatu yang jahat, yang
mengancam atau melanggar kesadaran kolektif yang kuat itu. Hukuman terhadap
penjahat memperlihatkan pelanggaran moral dari kelompok itu melawan
ancaman atau penyimpangan yang demikian itu, karena mereka merasakan dasar
keteraturan sosial.22

2. Solidaritas Sosial Organik
Berlawanan dengan solidaritas sosial mekanis, solidaritas sosial organis
muncul karena pembagian kerja yang bertambah besar. Solidaritas ini
didasarkan

pada

tingkat

saling

ketergantungan

yang

tinggi.

Saling

ketergantungan itu bertambah sebagai hasil dari bertambahnya spesialisasi
dalam pembagian pekerjaan, yang memungkinkan dan juga menggalakkan
bertambahnya perbedaan pada kalangan individu. Munculnya perbedaanperbedaan pada kalangan individu ini merombak kesadaran kolektif itu, yang
pada gilirannya menjadi kurang penting lagi sebagai dasar untuk keteraturan
sosial dibandingkan dengan saling ketergantungan fungsional yang bertambah
antara individu-individu yang memiliki spesialisasi dan secara relatif lebih
21
22

Ibid.
George Ritzer, Teori Sosiologi,...,93.

24

otonom sifatnya. Seperti yang dinyatakan Durkheim bahwa “itulah pembagian
kerja yang terus saja mengambil peran yang tadinya diisi oleh kesadaran
kolektif”.23 Solidaritas sosial Organik memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Pembagian kerja tinggi
2. Kesadaran kolektif lemah
3. Hukum restituitif dominan
4. Individualitas tinggi
5. Konsensus pada nilai-nilai abstrak dan umum itu penting
6. Badan-badan kontrol yang menghukum orang yang menyimpang
7. Saling ketergantungan yang tinggi
8. Bersifat industrial-perkotaan.
Durkheim mempertahankan bahwa kuatnya solidaritas sosial organis itu
ditandai

oleh

pentingnya

undang-undang

yang

bersifat

memperbaiki,

menyehatkan maupun yang bersifat memulihkan (restitutif) daripada yang
bersifat represif. Tujuan dari kedua bentuk undang-undang tersebut sangat
berbeda. Undang-undang represif lebih mengungkapkan kemarahan kolektif
yang

dirasakan

kuat,

sedangkan

undang-undang

restitutif

berfungsi

mempertahankan atau melindungi pola saling ketergantungan yang kompleks
antara berbagai individu yang berspesialisasi atau kelompok-kelompok dalam
masyarakat. Oleh karena itu, sifat ganjaran-ganjaran yang diberikan kepada
seseorang pelaku kejahatan berbeda dalam kedua undang-undang itu. Mengenai
tipe sanksi yang bersifat restitutif Durkheim mengatakan “bukan bersifat balas
23

Ibid., 94-95.

25

dendam, melainkan hanya sekedar menyehatkan keadaan”. Terlaksananya
undang-undang represif sebenarnya bukan memperkuat keadaan karena sudah
adanya investasi nilai tetapi represif sedikit demi sedikit akan menuju kepada
undang-undang restitutif. 24
Dalam sistem organis, kemarahan kolektif yang timbul karena perilaku
menyimpang menjadi kecil kemungkinannya, karena kesadaran kolektif itu tidak
begitu kuat. Sebagai hasilnya, hukuman lebih bersifat rasional, disesuaikan
dengan rusaknya pelanggaran dan bermaksud untuk memulihkan atau
melindungi hak-hak dari pihak yang dirugikan atau menjamin bertahannya
kaedah ketergantungan yang kompleks tersebut dari solidaritas sosial. Pola
restitutif ini jelas terlihat dalam undang-undang kepemilikan, undang-undang
sewa, undang-undang perdagangan, peraturan dan prosedural administrasinya.
Durkheim melanjutkan konsep-konsep yang ada pada The Division of
Labour in Society ke dalam The Rules of Sociological Method.

Tujuan

keseluruhan dari karya klasik ini adalah untuk menganalisa pengaruh (atau
fungsi) kompleksitas dan spesialisasi pembagian kerja dalam struktur sosial dan
perubahan-perubahan

yang diakibatkannya

dalam

bentuk-bentuk

pokok

solidaritas sosial. Dengan demikian, pembagian kerja meningkat dan terjadi
suatu perubahan dalam struktur sosial dari solidaritas mekanik ke solidaritas
organik.

24

Emile Durkheim, The Division of Labor in Society,...,80.

26

E. Konsep Tentang Agama
Emile Durkheim dalam bukunya Elemantary Forms of Religious Life
menjelaskan bahwa sosioligi agamanya megidentifikasi mengenai hakikat agama
dengan menganalisis berbagai bentuk agama primitif. Durkheim menjelaskan
bahwa fenomena religius dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu: kepercayaan
dan ritus. Yang pertama merupakan pendapat-pendapat dan terdiri dari
representasi-representasi; yang kedua adalah bentuk-bentuk tindakan yang
khusus. Di antara dua kategori fenomena ini terdapat jurang yang memisahkan
cara berpikir dari cara berperilaku. Ritus dapat dibedakan dari tindakan-tindakan
moral berdasarkan kekhasan hakikat apa yang menjadi objeknya. Semua
kepercayaan religius yang sederhana maupun yang kompleks, memperlihatkan
satu ciri umum, yaitu mensyaratkan pengklasifikasian segala sesuatu, baik yang
riil atau ideal yang dapat diketahui manusia menjadi dua kelas yaitu sakral dan
profan.25
Kepercayaan

mitos

dan

dogma

merupakan

representasi

yang

mengekspresikan hakikat dari hal-hal yang sakral, kebaikan dan kekuatankekuatan yang dihubungkan padanya, sejarah dan hubungan antara sesama hal
yang sakral sama dengan hubungan dengan hal-hal yang profan.26 Bagi
Dukheim, yang sakral yaitu sesuatu yang terpisah dari peristiwa-peristiwa
sehari-hari, suatu dunia yang suci atau yang keramat yang dipercayai sebagai
terpisah dan seluruhnya berbeda dari yang biasa. Yang sakral juga membentuk
25

Emile Durkheim, The Elemantary Forms of The Religious Life, (New York: Free
Press, 1992), 57-61.
26
Ibid.

27

esensi agama. Sedangkan yang profan yaitu tempat umum, suatu yang biasa
dipakai dalam aspek kehidupan yang duniawi. Dapat dikatakan bahwa yang suci
dan masyarakat yang pada dasarnya dipisahkan, dapat dibedakan tetapi tidak
dipisahkan satu dengan yang lain.
Bagi

Durkheim,

masyarakat

juga

menimbulkan

semacam

rasa

ketergantungan. Jika masyarakat memaksakan konsensi dan pengorbananpengorbanan semacam ini dengan tekanan-tekanan fisikal, maka yang timbul
dalam diri adalah gambaran kekuatan fisik dan tidak ada pilihan lain bagi kita
kecuali menerimanya, bukan kekuasaan moral seperti yang dijalankan agama.
Dengan demikian bagi Durkheim, suatu lingkungan yang sakral adalah
dunia yang terpisah. Lingkungan yang sakral dengan lingkungan yang profan
bukan saja berbeda, tetapi juga tertutup satu dengan yang lain. Ada jurang
pemisah antara keduanya. Di dalam hakikat hal-hal yang sakral itu sendiri,
tentulah ada penyembab khusus yang mewajibkan adanya pengisolasian. Dengan
kontradiksi semacam ini, maka hal-hal yang sakral cenderung melebar ke dunia
profan. Hal ni yang membuat sehingga dunia profan harus terus mengambil
jarak dari yang sakral. Hal ini kemudian memunculkan fungsi larangan yang
membedakan antara sakral dan profan. Salah satu hasil yang lahir dari
kemampuan yang sakral dan profan adalah suatu hal yang profan tidak bisa
tersentuh dari larangan tanpa ada kekuatan religius yang masuk dan mengambil
alih dari seseorang.27

27

Emile Durkheim, The Elemantary Forms of The Religious Life,...,72

28

Dalam buku Elementary Forms of The Religious Life, Durkheim
memperkenalkan sosiologi agamanya terdiri dari usaha mengidentifikasi hakikat
agama dengan menganalisis bentuk-bentuk agama yang paling primitif. Ia
mengutarakan bagaimana agama merupakan suatu hal yang tidak dapat
dielakkan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam analisa Durkheim tentang
hakikat agama, ia membedakan antara dua genus yang berlainan, yakni
profane/profan dan sacred/sakral. Pembagian dunia menjadi dua ranah, yang
satu berisikan segala sesuatu yang sakral dan yang satunya lagi segala yang
profan, pembagian ini menjadi ciri khas pemikiran religius. Kepercayaan, mitos,
dogma dan legenda-legenda merupakan representasi yang mengekspresikan
hakikat hal-hal yang sakral, kebaikan dan kekuatan-kekuatan yang dihubungkan
padanya; sejarah dan hubungan antar sesama hal-hal yang sakral sama dengan
hubungannya dengan hal-hal yang profan.28
Yang Sakral yaitu sesuatu yang terpisah dari peristiwa-peristiwa seharihari, suatu dunia yang suci (sacred realm) atau keramat yang dipercayai sebagai
pemisah semua yang berbeda dari yang biasanya. Yang Sakral inilah yang
membentuk esensi agama. Yang Profan yaitu tempat umum, suatu yang bisa
dipakai, aspek kehidupan duniawi. Di satu pihak, Yang Sakral melahirkan sikap
hormat, kagum dan bertanggung jawab. Di pihak lain, sikap-sikap terhadap
fenomena-fenomena inilah yang membuatnnya dari profan menjadi sakral.
Dapat dikatakan bahwa yang suci dan masyarakat pada dasarnya tidak dapat
dipisahkan; mereka memang dapat dibedakan tetapi tidak dipisahkan satu dari
28

Ibid.

29

yang lain. Manusia ini bersifat sosial maka yang suci itu adalah juga yang
“sosial”. Durkheim mengatakan:
Pembagian dunia menjadi dua ranah, yang satu mengandung segala
sesuatu yang sakral dan yang satunya lagi segala yang profan, ini
merupakan ciri khas pemikiran religius. Kepercayaan mitos, dogma
dan legenda-legenda merupakan representasi atau sistem representasi
yang mengekspresikan hakikat hal-hal yang sakral, kebaikan dan
kekuatan-kekuatan yang dihubungkan padanya; sejarah dan
hubungan antar sesama hal-hal yang sakral sam dengan yang
profan.29

Bagi Durkheim, ide tentang yang suci, haruslah mencerminkan atau
berhubungan dengan sesuatu yang riil. Yaitu muncul dari kehidupan kelompok
dan sebenarnya mewakili kenyataan kelompok itu dalam bentuk simbol.
Durkheim mengemukakan bahwa klan-klan totemik primitif mengidentifikasi
dirinya sendiri dengan nama-nama totemnya khusus. Apapun totemnya itu, nama
totem adalah nama atau lambang klan dan mereka percaya bahwa benda totem
itu mewujudkan prinsip totem itu dalam cara tertentu, mereka juga ukut
memiliki kekuasaan yang suci ini. Jadi, ada hubungan kekerabatan yang dekat
antara klan dan totemnya, dan kekerabatan ini dinyatakan dalam suatu nama
yang sama.30
Durkheim juga menjelaskan bahwa masyarakat adalah sumber agama.
Masyarakatlah (melalui individu) menciptakan agama dengan mengidentifikasi
fenomena tertentu sebagai sesuatu Yang Sakral dan Yang Profan. Oleh karena
itu, asal-usul agama harus kita cari pada diri manusia sendiri. Agama tidak
29
30

Ibid., 66.
Ibid.,155.

30

diturunkan atau diwahyukan, tetapi dilahirkan dari bawah, sebagai the sense of
the sacred (kepekaan bagi hal-hal suci). Durkheim menambahkan bahwa
masyarakat adalah sumber agama. Baginya, masyarakat secara umum pasti
memiliki segala hal yang diperlukan untuk merangsang kepekaan terhadap
divinitas. Bagi anggotanya, masyarakat sama dengan tuhan bagi hambanya.31
Dalam bagian selanjutnya Durkheim mengatakan:
Masyarakat juga menimbulkan semacam rasa ketergantungan padanya di
dalam diri kita. Karena masyarakat memiliki hakikat yang berbeda dari
hakikat kita sebagai individu, maka dia bisa mencapai tujuan ini hanya
melalui diri kita, maka secara kategoris, dia membutuhkan kerja sama
kita sebagai individu. Masyarakat menuntut kita agar menjadi
pelayannya, menyuruh kita melupakan segala kepentingan pribadi. Dia
mengikat kita dengan segala macam bentuk kekangan, privasi dan
pengorbanan yang kalau semua ini tidak ada, maka kehidupan sosial
mustahil ada. Oleh karena itu kita harus mematuhi aturan-aturan tingkah
laku dan pikiran yang sebenarnya tidak kita buat maupun butuhkan dan
kadang-kadang malah bertentangan dengan keinginan atau insting
dasariah kita.32

Bagi Durkheim, bahwa jika masyarakat memaksakan konsensi dan
pengorbanan-pengorbanan semacam ini dengan tekanan-tekanan fisikal, maka
yang timbul dalam diri kita adalah gambaran kekuatan fisik dan tidak ada pilihan
lain bagi kita kecuali menerimanya, bukan kekuasaan moral seperti yang
dijalankan agama. Tapi dalam kenyataannya, kekuasaan yang dimiliki
masyarakat di atas kesadaran tidak terlalu dimanfaatkan superiotas fisikalnya
dibandingkan dengan otoritas moral yang ditekankannya kepada anggotanya.
Kita mematuhi perintah-perintah masyarakat bukan hanya karena dia mampu
31

K. J. Veeger, Realitas Sosial, Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu
Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi (Jakarta: PT Gramedia, 1993), 158-159
32
Ibid.,160.

31

mengatasi perlawanan kita, akan tetapi justru karena masyarakat itu sendiri
menjadi objek rasa hormat dan respek yang paling utama.33

33

Ibid.

32

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Sintuwu Maroso Pasca Konflik di Poso dalam Menciptakan Perdamaian T2 752012005 BAB II

2 40 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membangun Usaha Pasca Konflik T2 092010007 BAB I

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membangun Usaha Pasca Konflik T2 092010007 BAB II

0 0 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membangun Usaha Pasca Konflik T2 092010007 BAB IV

0 0 26

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membangun Usaha Pasca Konflik T2 092010007 BAB V

0 2 57

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membangun Usaha Pasca Konflik T2 092010007 BAB VI

0 1 42

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pandangan Masyarakat Negeri Rumahtiga Tentang Kebersamaan Dalam Falsafah Sagu Salempeng Patah Dua Pasca Konflik 1999 T2 752013004 BAB I

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pandangan Masyarakat Negeri Rumahtiga Tentang Kebersamaan Dalam Falsafah Sagu Salempeng Patah Dua Pasca Konflik 1999 T2 752013004 BAB IV

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pandangan Masyarakat Negeri Rumahtiga Tentang Kebersamaan Dalam Falsafah Sagu Salempeng Patah Dua Pasca Konflik 1999 T2 752013004 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pandangan Masyarakat Negeri Rumahtiga Tentang Kebersamaan Dalam Falsafah Sagu Salempeng Patah Dua Pasca Konflik 1999

0 0 14