Pendidikan Karakter di Sekolah Revitalis

Syamsul Kurniawan

PENDIDIKAN KARAKTER
DI SEKOLAH
Revitalisasi Peran Sekolah dalam Menyiapkan
Generasi Bangsa Berkarakter

i

Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta
1. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara
otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan
diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Pasal
1 ayat [1]).
2. Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan: a. Penerbitan
ciptaan; b. Penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya; c.
Penerjemahan ciptaan; d. Pengadaptasian, pengaransemenan,
atau pentransformasian ciptaan; e. pendistribusian ciptaan atau

salinannya; f. Pertunjukan Ciptaan; g. Pengumuman ciptaan; h.
Komunikasi ciptaan; dan i. Penyewaan ciptaan. (Pasal 9 ayat
[1]).
3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin
Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran
hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk
Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (Pasal 113 ayat
[3]).
4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar
rupiah). (Pasal 113 ayat [4]).

ii

Syamsul Kurniawan


PENDIDIKAN KARAKTER
DI SEKOLAH
Revitalisasi Peran Sekolah dalam Menyiapkan
Generasi Bangsa Berkarakter

iii

Perpustakaan Nasional RI, Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Syamsul Kurniawan
Syamsul Kurniawan, Pendidikan Karakter di Sekolah: Revitalisasi Peran
Sekolah dalam Menyiapkan Generasi Bangsa Berkarakter/Editor: Masmuri/
Yogyakarta: Samudra Biru, 2017
x + 138 hlm.; 14 x 20 cm
ISBN: 978-602-9295-24-8
I. Pendidikan

II. Judul

Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang mengutip atau

memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun,
juga tanpa izin tertulis dari penerbit
Penulis
Editor
Lay Out
Design Cover

: Syamsul Kurniawan
: Masmuri
: maryoahmada@gmail.com
: Roslani Husein

Cetakan Pertama, Februari 2017
Diterbitkan oleh:
Penerbit Samudra Biru (Anggota IKAPI)
Jln. Jomblangan Gg. Ontoseno Blok B No 15
RT 12 RW 30 Banguntapan Bantul
DI Yogyakarta 55198
e-mail/fb: psambiru@gmail.com
(0274) 9494-558/0813-2752-4748

Isi di luar tanggung jawab percetakan

iv

PENGANTAR PENULIS

K

ARAKTER merupakan hal yang sangat penting
dan mendasar. Karakter adalah mustika hidup yang
membedakan manusia dengan binatang. Manusia tanpa
karakter adalah manusia yang sudah “membinatang”. Karena
itu penguatan pendidikan karakter dalam konteks sekarang
menjadi sangat relevan untuk mengatasi krisis moral yang
sedang terjadi di Negara kita.
Seperti kita ketahui, bangsa kita belakangan ini
menunjukkan gejala kemerosotan moral yang amat parah,
mulai dari kasus narkoba, kasus korupsi, ketidak adilan
hukum, pergaulan bebas di kalangan remaja, pelajar, bahkan
mahasiswa, maraknya kekerasan, kerusuhan, tindakan

anarkhis, dan sebagainya, mengindikasikan adanya pergeseran
ke arah ketidakpastian jati diri dan karakter bangsa. Masalah
inilah yang melatarbelakangi ditulisnya buku ini.
Buku ini berjudul Pendidikan Karakter di Sekolah:
Revitalisasi Peran Sekolah dalam Menyiapkan Generasi
Bangsa yang Berkarakter. Buku ini menaruh kepercayaan
bahwa keberhasilan pendidikan karakter di sekolah dapat
meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan
v

di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan
karakter dan akhlak mulia siswa secara utuh, terpadu dan
seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui
pendidikan karakter diharapkan siswa mampu secara
mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya,
mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi
nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehinga terwujud dalam
keseharian.
Buku ini mungkin tidak selesai tanpa bantuan berbagai
pihak. Karena itu penulis merasa wajib untuk berterima kasih

kepada semua pihak yang membantu baik secara langsung
ataupun tidak sehingga buku ini dapat terbit.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyajian
buku ini masih banyak kekurangan dan kelemahan, baik
dari segi penyajian, metodologi, maupun kandungannya.
Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran
pembaca yang konstruktif sehingga dapat menyempurnakan
isi buku ini untuk masa mendatang. Mudah-mudahan karya
sederhana ini ada manfaatnya yang bisa dipetik bagi banyak
orang.***

Pontianak, 1 Februari 2017
Syamsul Kurniawan

vi

DAFTAR ISI

Pengantar Penulis ....................................................... v
Daftar Isi .................................................................... vii

Daftar Tabel dan Daftar Bagan .................................. ix
Bab I Pendahuluan ..................................................... 1
Bab II Rancang Bangun Pendidikan Karakter ......... 13
Mendeinisikan Pendidikan Karakter ................... 13
Urgensi Pendidikan Karakter ............................... 17
Nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan Karakter .... 26
Komponen Pendidikan Karakter .......................... 31
Bab III Pendidikan Karakter di Sekolah .................. 45
Urgensi Pendidikan Karakter di Sekolah .............. 45
Aspek Penting dalam Pendidikan Karakter di Sekolah ... 49
Pengintegrasian dalam Budaya Sekolah ................ 73
Penanaman Nilai-Nilai Karakter di Sekolah ......... 78
Bab IV Penutup ........................................................ 125
Daftar Pustaka .......................................................... 127
Proil Penulis ............................................................. 133
Indeks ........................................................................ 135

vii

viii


DAFTAR TABEL DAN DAFTAR BAGAN

Tabel 2.1 Nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan Karakter . 28
Tabel 3.1 Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah . 50
Bagan 2.1 Tahapan Pendidikan Karakter ........................... 16
Bagan 2.2 Nilai-nilai Karakter Berdasarkan Ruang
Lingkup Pendidikan Karakter ........................... 31
Bagan 3.1 Kompetensi Guru ............................................. 62

ix

x

BAB I
PENDAHULUAN

S

AAT ini kita tengah berada di pusaran hegemoni media,

revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), yang
tidak hanya mampu menghadirkan sejumlah kemudahan
dan kenyamanan hidup bagi manusia modern, melainkan
juga mengundang serentetan persoalan dan kekhawatiran.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat mengurangi
atau bahkan menihilkan nilai kemanusiaan atau yang disebut
dehumanisasi.
Ibarat cerita Raja Midas yang menginginkan
setiap yang disentuhnya menjadi emas, ternyata ketika
keinginannya dikabulkan dia tidak semakin senang, tetapi
semakin resah bahkan gila. Sebab, tidak saja rumah dan
seisi rumah yan menjadi emas, tetapi istri dan anak yang
disentuh pun menjadi emas sehingga sang raja pun akhirnya
meratapi nasib yang kesepian tanpa ada makhluk hidup yang
mendampinginya (Bakhtiar, 2010: 23).
Kemajuan zaman yang terjadi saat ini, yang semula
dipandang akan memudahkan pekerjaan manusia,
kenyataannya juga menimbulkan keresahan dan ketakutan
baru bagi manusia, yaitu kesepian dan keterasingan baru,
Bab I Pendahuluan


1

yang ditandai dengan lunturnya rasa solidaritas, kebersamaan,
dan silaturrahim.
Contohnya, penemuan televisi, komputer, dan
handphone telah mengakibatkan sebagian masyarakat
terutama remaja dan anak-anak terlena dengan dunia
layar. Layar kemudian menjadi teman setia. Hampir setiap
bangun tidur menekan tombol televisi untuk melihat layar,
mengisi waktu luang dengan menekan tombol handphone
melihat layar untuk bersms ria, main game atau facebookan. Akibatnya, hubungan antar anggota keluarga menjadi
renggang. Ini menunjukkan bahwa teknologi layar mampu
membius sebagian besar remaja dan anak-anak untuk tunduk
pada layar dan mengabaikan yang lain.
Lickona (1994) mengungkapkan sepuluh tanda-tanda
zaman yang harus diwaspadai, karena jika tanda-tanda ini
terdapat dalam suatu bangsa, berarti bangsa tersebut sedang
berada di tebing jurang kehancuran. Tanda-tanda tersebut di
antaranya:

1. Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja.
2. Penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk.
3. Pengaruh peergroup yang kuat dalam tindak kekerasan.
4. Meningkatnya perilaku yang merusak diri, seperti
penggunaan narkoba, alkohol dan perilaku seks bebas.
5. Semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk.
6. Menurunnya etos kerja.
7. Semakin rendahnya rasa hormat pada orangtua dan
guru.
8. Rendahnya rasa tanggungjawab individu dan warga
negara.
9. Membudayanya ketidakjujuran.
10. Adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara
sesama.
2

Pendidikan Karakter di Sekolah

Diakui dan disadari atau tidak, perilaku masyarakat
kita sekarang terutama remaja dan anak-anak menjadi sangat
mengkhawatirkan, karena mengarah kepada apa yang disebut
oleh Lickona di atas. Meningkatnya kasus penggunaan
narkoba, pergaulan/ seks bebas, maraknya angka kekerasan
anak-anak dan remaja, dan lain-lain menjadi masalah sosial
yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas.
Peredaran dan pemakaian narkoba melonjak seiring
penemuan kasus. Fakta peningkatan tersebut dapat dilihat
dari data Badan Narkotika Nasional (BNN) bahwa pemakai
narkoba pada tahun 2008 telah mencapai 3,6 juta jiwa,
meningkat tahun 2011 menjadi 3,8 juta jiwa. Sementara
jumlah kasus narkoba meningkat dari tahun 23.531 kasus
pada tahun 2010 menjadi 26.500 kasus di tahun 2011.
Masih dari data yang sama, peredaran ekstasi dan sabu
juga terus melonjak. Peredaran ekstasi naik 110 persen dari
371.197 tablet pada 2010 menjadi 780.885 tablet pada
2011, sedangkan sabu naik dari 283 kg pada 2010 menjadi
433 pada 2011. Begitu juga dengan data Komisi Nasional
Perlindungan Anak, mencatat pasien ketergantungan
narkoba di rumah sakit spesialis, yang mengalami kenaikan
dari 2.090 jiwa pada 2009 menjadi 8.017 pada 2011.
Angka peningkatan yang fantastis dan menjadi ancaman
bagi keberlangsungan kehidupan anak bangsa. Mengingat
pengguna narkoba sebagian besar adalah anak muda yang
masih berusia produktif (Kompas, 25 Januari 2012).
Pengguna lem di kalangan siswa juga mengkhawatirkan,
seperti trend di Pontiana. Berita tentang ini dilansir Pontianak
Post (16 Pebruari 2012).
Pergaulan bebas di kalangan remaja memang mencapai
titik kekhawatiran yang cukup parah, terutama seks bebas.
Pelakunya bukan hanya kalangan SMA, bahkan sudah
Bab I Pendahuluan

3

merambat di kalangan SMP. Banyak kasus remaja putri yang
hamil di luar nikah sementara mereka tidak mengerti dan
tidak tahu apa resiko yang dihadapinya. Menurut data hasil
survey KPAI, sebanyak 32 persen remaja usia 14-18 tahun di
Jakarta, Surabaya, dan Bandung pernah berhubungan seks.
Salah satu pemicunya, muatan pornograi yang diakses via
internet. Fakta lainnya, sekitar 21,2 persen remaja putri di
Indonesia pernah melakukan aborsi. Selebihnya, separuh
remaja wanita mengaku pernah bercumbu. Survei KPAI
juga menyebutkan, 97 persen perilaku seks remaja diilhami
pornograi di internet. Dunia internet adalah dunia yang
menyebarkan “kebohongan yang positif ”, termasuk soal
seks. Di Jakarta, menurut Riset Strategi Nasional Kesehatan
Remaja yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan dan
Survei yang dilakukan BKKBN menyebutkan 5,3 persen
pelajar SMA di Jakarta pernah berhubungan seks, dan 63
persen remaja di beberapa kota besar di Indonesia telah
melakukan seks pra nikah (Kompas, http://nasional.kompas.
com/read/2010/01/18/16461662/Makin.Banyak.Remaja.
Lakukan.Seks.Pranikah).
Kasus tawuran juga meningkat dari tahun ke tahun.
Contohnya di Jabotabek. Komisi Nasional Perlindungan
Anak (Komnas PA) mencatat hingga 25 Desember 2012
telah terjadi sebanyak 147 kasus tawuran di Jabodetabek
yang menewaskan 82 pelajar. Sekitar 95 persen terjadi di
Jakarta. Angka ini meningkat dibanding tahun 2011 yang
hanya terjadi 128 kasus tawuran yang menewaskan 30
pelajar (Liputan 6, http://news.liputan6.com/read/2396014/
komnas-pa-2015-kekerasan-anak-tertinggi-selama-5-tahunterakhir).
Berbagai kejadian dan fenomena yang terjadi di atas
semakin membuka mata kita bahwasanya diperlukan obat
4

Pendidikan Karakter di Sekolah

yang mujarrab dan ampuh untuk bisa menyelesaikan persoalan
tersebut. Kata kunci dalam memecahkan persoalan tersebut
terletak pada upaya penanaman dan pembinaan kepribadian
dan karakter sejak dini. Alasan-alasan kemerosotan moral,
dekadensi kemanusiaan yang sesungguhnya terjadi tidak
hanya dalam generasi muda, namun telah menjadi ciri khas
abad kita, seharusnya membuat kita perlu mempertimbangkan
kembali bagaimana sekolah mampu menyumbangkan
perannya bagi perbaikan karakter.
Diakui, persoalan karakter atau moral memang tidak
sepenuhnya terabaikan di sekolah. Akan tetapi, dengan
fakta-fakta seputar kemerosotan karakter pada sekitar kita
menunjukkan bahwa ada kegagalan pada pendidikan yang
diterapkan di sekolah, terutama dalam menumbuhkan anakanak dan remaja yang berkarakter dan berakhlak mulia.
Padahal karakter yang positif atau mulia yang dimiliki
anak-anak dan remaja kelak akan mengangkat status
derajatnya. Kemuliaan seseorang terletak pada karakternya.
Karakter begitu penting, karena dengan karakter yang baik
membuat seseorang tahan dan tabah dalam menghadapi
cobaan, dan dapat menjalani hidup dengan sempurna.
Kestabilan hidup seseorang amatlah bergantung pada
karakter. Karakter membuat individu menjadi matang,
bertanggung jawab dan produktif.
Atas kondisi demikian, banyak yang sependapat
mengatasi persoalan kemerosotan dalam dimensi karakter ini.
Para pembuat kebijakan, dokter, pemuka agama, pengusaha,
pendidik, orangtua dan masyarakat umum menyuarakan
kekhawatiran yang sama. Setiap hari berita berisi tragedi yang
mengejutkan dan statistik mengenai remaja dan anak-anak
membuat kita tercengang, khawatir, dan berusaha mencari
jawaban atas persoalan tersebut.
Bab I Pendahuluan

5

Bahkan situasi dan kondisi karakter bangsa yang
sedang memprihatinkan telah mendorong pemerintah untuk
mengambil inisiatif untuk memprioritaskan pembangunan
karakter bangsa. Pembangunan karakter bangsa dijadikan
arus utama pembangunan nasional. Hal ini mengandung
arti bahwa setiap upaya pembangunan harus selalu diarahkan
untuk memberi dampak positif terhadap pembangunan
karakter. Mengenai hal ini secara konstitusional sesungguhnya
sudah tercermin dari misi pembangunan nasional yang
memposisikan pembangunan karakter sebagai misi pertama
dari delapan misi guna mewujudkan visi pembangunan
nasional, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025, “Terwujudnya
masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia, bermoral,
beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah
Pancasila…”.
Pada BAB IV tentang Arah, Tahapan, dan Prioritas
Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005–2025, masih
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17
tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
2005-2025, menguraikan bahwa “Terwujudnya masyarakat
Indonesia yang berakhlak mulia, bermoral, beretika,
berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila…”
tersebut ditandai oleh:
… Terwujudnya karakter bangsa yang tangguh,
kompetitif, berakhlak mulia, dan bermoral berdasarkan
Pancasila, yang dicirikan dengan watak dan perilaku
manusia dan masyarakat Indonesia yang beragam,
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berbudi luhur, bertoleran, bergotong royong, berjiwa
patriotik, berkembang dinamis, dan berorientasi iptek.
6

Pendidikan Karakter di Sekolah

Pendidikan karakter juga menjadi salah satu tujuan
pendidikan nasional. Pasal I Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional tahun 2003 menyebutkan bahwa di
antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan
potensi peserta didik untuk mempunyai kecerdasan,
kepribadian, dan akhlak yang mulia. Amanah UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 ini
bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan
Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau
berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa
yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas
nilai-nilai luhur bangsa serta agama.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika
memberikan kata sambutan pada puncak peringatan Hari
Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2010 di Istana Negara,
Jakarta, Selasa, 11 Mei 2010 yang bertemakan “Pendidikan
Karakter untuk Membangun Peradaban Bangsa”,
mengemukakan ada lima isu penting dalam dunia pendidikan
(http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_
content&task=view&id=4552):
1. Hubungan pendidikan dengan pembentukan watak atau
dikenal dengan character building.
2. Kaitan pendidikan dengan kesiapan dalam menjalani
kehidupan setelah seseorang selesai mengikuti
pendidikan.
3. Kaitan pendidikan dengan lapangan pekerjaan. Ini
juga menjadi prioritas dalam pembangunan lima tahun
mendatang.
4. Bagaimana membangun masyarakat berpengetahuan
atau knowledge society yang dimulai dari meningkatkan
basis pengetahuan masyarakat.
5. Bagaimana membangun budaya inovasi.
Bab I Pendahuluan

7

Menteri Pendidikan Nasional dalam sambutannya pada
peringatan Hari Pendidikan Nasional Tanggal 2 Mei 2010
juga menekankan bahwa pendidikan karakter merupakan
suatu keharusan, karena pendidikan tidak hanya menjadikan
siswa menjadi cerdas tetapi juga mempunyai budi pekerti
dan sopan santun, sehingga keberadaannya sebagai anggota
masyarakat menjadi bermakna baik bagi dirinya maupun
masyarakat pada umumnya. Bangsa yang berkarakter unggul,
di samping tercermin dari moral, etika dan budi pekerti yang
baik, juga ditandai dengan semangat, tekad dan energi yang
kuat, dengan pikiran yang positif dan sikap yang optimis,
serta dengan rasa persaudaraan, persatuan dan kebersamaan
yang tinggi. Totalitas dari karakter bangsa yang kuat dan
unggul, yang pada kelanjutannya bisa meningkatkan
kemandirian dan daya saing bangsa, menuju Indonesia yang
maju, bermartabat dan sejahtera di Abad 21.
Pemerintah saat ini, di bawah kepemimpinan Presiden
Jokowi juga menyuarakan pentingnya character building
atau pendidikan karakter dalam rangka revolusi mental.
Presiden Jokowi mengatakan, “Kita ini kan selalu bicara
mengenai isik dan ekonomi. Padahal, kekurangan besar kita
character building. Oleh sebab itu saya sebut revolusi mental”
(Relawan Nasional Gerakan Revolusi Mental, http://www.
revolusimental.or.id/2015/12/revolusi-mental-tidak-cukupdengan-kata.html).
Pendidikan informal sejatinya memiliki peran dan
kontribusi besar dalam keberhasilan pendidikan karakter
seorang anak. Hanya saja selama ini pendidikan informal
terutama dalam lingkungan keluarga belum efektif; belum
memberikan kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian
kompetensi dan pembentukan karakter anak. Penyebabnya
menurut Zubaedi (2011: 195) kemungkinan lantaran
8

Pendidikan Karakter di Sekolah

kesibukan dan aktivitas kerja orangtua yang relatif tinggi
serta kurangnya pemahaman orangtua dalam mendidik anak
di lingkungan keluarga. Karena itu banyak orangtua yang
menaruh harapan lebih kepada sekolah. Mereka berharap
sekolah dapat menjadi rumah kedua bagi anak-anaknya.
Sekolah merupakan lingkungan pendidikan formal,
yang diharapkan ikut menentukan dalam perkembangan
dan pembinaan karakter siswa. Bahkan sekolah dapat
disebut sebagai lingkungan pendidikan kedua yang penting
setelah keluarga dalam pendidikan karakter. Hal ini cukup
beralasan mengingat posisi sekolah sebagai tempat khusus
dalam menuntut berbagai ilmu pengetahuan.Sebagaimana
kita mengerti, bahwa sekolah bilamana dalam pendidikan
tersebut diadakan di tempat tertentu, teratur dan sistematis,
kontinyu namun dalam kurun waktu tertentu, yang
berlangsung mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan
tinggi berdasarkan aturan resmi yang telah ditetapkan
(Ahmadi dan Ukhbiyati, 1991).
Tujuan pendidikan di sekolah, termasuk membangun
karakter siswa, semestinya dapat dicapai melalui
pengembangan dan implementasi kurikulum tingkat
satuan pendidikan (KTSP) yang mengacu pada standar
nasional pendidikan (SNP). Di dalam SNP telah secara
jelas dijabarkan standar kompetensi lulusan dan materi yang
harus disampaikan kepada siswa. Karakter juga termasuk
dalam materi yang harus dijabarkan kepada siswa.
Demikian pula Kurikulum 2013 yang seyogyanya
juga mengarah pada pendidikan berkarakter. Hal ini sejalan
dengan pendapat Direktur Jenderal Pendidikan Menengah,
Kemdikbud, Hamid Muhammad, saat memberi pembekalan
terhadap pengajar Sekolah Kartika, di Jakarta, Rabu, 20
Maret 2013, “Pengembangan Kurikulum 2013 adalah untuk
Bab I Pendahuluan

9

memperkuat nilai-nilai kebangsaan yang semakin terkikis.”
Disampaikan Hamid Muhammad, ada tiga nilai utama
yang dikembangkan di dalam Kurikulum 2013 (Warta DKI,
http://wartadki.com/news-539-basis-kurikulum-2013adalah-pendidikan-karakter-.html):
1. Menghormati kembali norma-norma budaya bangsa.
2. Menumbuhkan nilai-nilai keilmuan.
3. Menumbuhkan nilai kebangsaan serta cinta tanah air,
termasuk menghargai budaya dan karya bangsa.
Harus diakui bahwa usaha ke arah ini telah dirintis
sejak lama, antara lain melalui integrasi iman dan takwa
(imtak) ke dalam pembelajaran, pendidikan budi pekerti,
Pedoman Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dan
program-program lainnya. Namun demikian pendidikan
karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan
pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum secara optimal
pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam
kehidupan sehari-hari.
Pendidikan karakter di sekolah seharusnya membawa
siswa ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai
secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara
nyata. Karena itu pendidikan karakter yang selama ini ada
di sekolah perlu segera dikaji dan dicari alternatif-alternatif
solusinya, serta perlu dikembangkan secara lebih operasional
sehingga mudah diimplementasikan.
Pendidikan karakter di sekolah dapat diintegrasikan
dalam pembelajaran pada setiap mata pembelajaran.
Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau
nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan,
dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan seharihari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter
tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada
10

Pendidikan Karakter di Sekolah

internalisasi dan pengamalan nyata dalam kehidupan siswa
sehari-hari di masyarakat.
Kegiatan pembinaan kesiswaan yang selama ini
diselenggarakan sekolah merupakan salah satu media yang
potensial untuk pendidikan karakter dan peningkatan mutu
akademik peserta didik. Kegiatan pembinaan kesiswaan
merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran
untuk membantu pengembangan siswa sesuai dengan
kebutuhan, potensi, bakat dan minat mereka melalui
kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh guru yang
berkemampuan dan berkewenangan di sekolah. Melalui
pembinaan kegiatan kesiswaan di lingkungan sekolah
diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan rasa
tanggung jawab sosial, serta potensi dan prestasi siswa.
Pendidikan karakter di sekolah juga sangat terkait
dengan manajemen atau pengelolaan sekolah. Pengelolaan
yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan karakter
direncanakan, dilaksanakan dan dikendalikan dalam
kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah secara memadai.
Pengelolaan tersebut antara lain meliputi:, nilai-nilai yang
perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran,
penilaian, guru, dan sebagainya. Dengan demikian,
manajemen sekolah merupakan salah satu media yang efektif
dalam pendidikan karakter di sekolah.
Tujuan utama penulisan buku ini ialah untuk
memberikan analisis yang mendalam tentang pendidikan
karakter di sekolah. Buku ini ingin menegaskan pentingnya
pendidikan karakter ditanamkan di sekolah melalui
pembelajaran dan penerapan nilai-nilai kebajikan dan
keteladanan. Nilai-nilai kebajikan ini dapat berakar
pada agama, budaya, kewarganegaraan, dan konsensus
umum tentang budi pekerti. Perilaku karakter ini dapat
Bab I Pendahuluan

11

diimplementasikan melalui intervensi dan pembiasaan nilainilai yang selanjutnya dipraktikkan di sekolah.***

12

Pendidikan Karakter di Sekolah

BAB II
RANCANG BANGUN
PENDIDIKAN KARAKTER

Mendeinisikan Pendidikan Karakter
Marimba (1989: 19) merumuskan pendidikan sebagai
bimbingan atau didikan secara sadar oleh pendidik terhadap
perkembangan anak didik, baik jasmani maupun ruhani,
menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Pengertian
ini sangat sederhana meskipun secara substansi telah
mencerminkan pemahaman tentang proses pendidikan.
Menurut pengertian ini, pendidikan hanya terbatas pada
pengembangan pribadi anak didik oleh pendidik.
Pertanyaannya, bagaimana bila bimbingan tersebut oleh
dan untuk dirinya sendiri? Bagaimana pula bila bimbingan
itu dilakukan oleh alam dan lingkungan, apakah tidak
disebut pendidikan? Ahmad Tafsir seperti dikutip Suyudi
(2005: 52) mendeinisikan pendidikan secara luas, yaitu:
“pengembangan pribadi dalam semua aspeknya”, dengan
catatan bahwa yang dimaksud “pengembangan pribadi”
mencakup pendidikan oleh diri sendiri, lingkungan, dan
orang lain. Sedangkan kata “semua aspek” mencakup aspek
Bab II Rancang Bangun Pendidikan Karakter

13

jasmani, akal dan hati. Dengan demikian tugas pendidikan
bukan sekedar meningkatkan kecerdasan intelektual, tetapi
juga mengembangkan aspek kepribadian seseorang.
Pendidikan menurut Kurniawan (2013: 27) adalah
seluruh aktiitas atau upaya secara sadar yang dilakukan oleh
guru kepada siswa terhadap semua aspek perkembangan
kepribadian baik jasmani dan ruhani. Berdasarkan ini,
pendidikan berarti menumbuhkan kepribadian serta
menanamkan rasa tanggung jawab, sehingga pendidikan
terhadap diri manusia adalah laksana makanan yang berfungsi
memberi kekuatan, kesehatan, dan pertumbuhan, untuk
mempersiapkan generasi yang menjalankan kehidupan guna
memenuhi tujuan hidup secara efektif dan eisien.
Sementara itu istilah karakter yang dalam bahasa
Inggris character, berasal dari istilah Yunani charassein yang
berarti membuat tajam atau membuat dalam (Echols dan
Shadily, 2006; Bagus, 2005: 392). Karakter juga dapat berarti
mengukir. Sifat utama ukiran adalah melekat kuat di atas
benda yang diukir. Karena itu karakter identik dengan ciri
khas seseorang. Pembentukan karakter tidak dapat dilepaskan
dari konteks sosial budaya, karena karakter terbentuk dalam
lingkungan sosial budaya tertentu.
Sejalan dengan ini Bagus (2005: 392) mendeinisikan
karakter sebagai nama dari jumlah seluruh ciri pribadi yang
mencakup perilaku, kebiasaan, kesukaan, ketidaksukaan,
kemampuan, kecenderungan, potensi, nilai-nilai, dan polapola pemikiran. Atau, suatu kerangka kepribadian yang
relatif mapan yang memungkinkan ciri-ciri semacam ini
mewujudkan dirinya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, karakter
adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang
membedakan seseorang dari yang lain (Depdiknas, 2011:
14

Pendidikan Karakter di Sekolah

623). Karakter juga dapat dideinisikan sebagai nilai-nilai
yang unik, baik yang terpateri dalam diri dan terejawantahkan
dalam perilaku. Karakter secara koheren memancar dari
hasil pola pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olahraga
seseorang atau sekelompok orang.
Karakter mengacu pada serangkaian sikap (attitudes),
perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan
(skills). Menurut Zubaedi (2011: 10), karakter meliputi
sikap seperti keinginan untuk melakukan hal yang terbaik,
kapasitas intelektual seperti kritis dan alasan moral, perilaku
seperti jujur dan bertanggung jawab, mempertahankan
prinsip-prinsip moral dalam situasi penuh ketidakadilan,
kecakapan interpersonal dan emosional yang memungkinkan
seseorang berinteraksi secara efektif dalam berbagai keadaan,
dan komitmen untuk berkontribusi dengan komunitas dan
masyarakatnya.
Karakter seseorang terbentuk karena kebiasaan
yang dilakukan, sikap yang diambil dalam menanggapi
keadaan, dan kata-kata yang diucapkan kepada orang lain.
Karakter ini pada akhirnya menjadi sesuatu yang menempel
pada seseorang dan sering orang yang bersangkutan tidak
menyadari karakternya. Orang lain biasanya lebih mudah
untuk menilai karakter seseorang.
Hal ini karena kebiasaan seseorang terbentuk dari
tindakan yang dilakukan berlang-ulang setiap hari. Tindakantindakan tersebut pada awalnya disadari atau disengaja, tetapi
karena begitu seringnya tindakan yang sama dilakukan, maka
pada akhirnya sering kali kebiasaan tersebut menjadi releks
yang tidak disadari oleh orang yang bersangkutan. Sebagai
contoh: gaya berjalan, gerakan tubuh pada saat berbicara di
depan umum atau gaya bahasa. Orang melakukan tindakan
karena dia menginginkan untuk melakukan tindakan
Bab II Rancang Bangun Pendidikan Karakter

15

  !  
  
    
      

! 
  
  

   
  *
 
   
  
    '%     !


    ' 
 

 
        )  

 

   
tersebut. Dari keingingan yang terus menerus akhirnya apa






tersebut


 
Timbulnya
0 
 
  

yang diinginkan
dilakukan.
keinginan


    
 



 
   
pada seseorang didorong oleh pemikiran atas sesuatu hal.
   
 
 
 



   
     
Ada banyak
hal yang bisa
memicu
pikiran
yang  

informasinya
dari panca   
inderanya.
karena   !
melihat
 
'
 
 datang
  *   
 Misalnya,
'    
sesuatu,
maka
orang
berpikir,
karena
mendengar
sesuatu
  

!
    
 !
  



 
  
maka
berpikir
dan
seterusnya.

 







#  -,  $

 



Bagan 2.1 Tahapan Pembentukan Karakter

   
 ' 

  


      
 

satu 

cara untuk
karakter 

adalah

    !Salah
 
 

membangun

 !  



melalui pendidikan. Pendidikan yang ada, baik itu pendidikan
di keluarga, masyarakat atau pendidikan formal di sekolah
harus menanamkan nilai nilai untuk pembentukan karakter.
Menurut Rahardjo (Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan,
Volume 16, Nomor 3, 2010), pendidikan karakter adalah
suatu proses pendidikan yang holistik yang menghubungkan
dimensi moral dengan ranah sosial dalam kehidupan siswa
sebagai fondasi bagi terbentuknya generasi yang berkualitas
yang mampu hidup mandiri dan memiliki prinsip suatu
kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut Zubaedi (2011: 25), pendidikan karakter
adalah pendidikan budi pekerti plus, yang intinya merupakan
16

Pendidikan Karakter di Sekolah

program pengajaran yang bertujuan mengembangkan watak
dan tabiat peserta didik dengan cara menghayati nilai-nilai
dan keyakinan masyarakat sebagai kekuatan moral dalam
hidupnya melalui kejujuran, dapat dipercaya, disiplin, dan
kerjasama yang menekankan ranah afektif (perasaan/sikap)
tanpa meninggalkan ranah kognitif (berpikir rasional),
dan ranah skill (keterampilan, terampil mengolah data,
mengemukakan pendapat, dan kerjasama).
Budi pekerti adalah watak atau tabiat khusus seseorang
untuk berbuat sopan dan menghargai pihak lain yang
tercermin dalam perilaku dan kehidupannya. Adapun watak
itu merupakan keseluruhan dorongan, sikap, keputusan,
kebiasaan, dan nilai moral seseorang yang baik. Budi pekerti
juga mengandung watak moral yang baku dan melibatkan
keputusan berdasarkan nilai-nilai hidup. Watak seseorang
dapat dilihat pada perilakunya yang diatur oleh usaha dan
kehendak berdasarkan hati nurani sebagai pengendali bagi
penyesuaian diri dalam hidup bermasyarakat.
Urgensi Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter seharusnya membawa siswa ke
pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara
afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata.
Problematika pendidikan karakter yang selama ini ada di
sekolah perlu segera dikaji kembali dan dicarikan solusinya
serta perlu dikembangkan secara lebih operasional sehingga
mudah diimplementasikan.
Banyak hasil penelitian yang membuktikan bahwa
karakter seseorang dapat mempengaruhi kesuksesan
seseorang. Di antaranya berdasarkan penelitian di Harvard
University, Amerika Serikat, yang ternyata kesuksesan
seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan
Bab II Rancang Bangun Pendidikan Karakter

17

dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh
kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill).
Penelitian ini mengungkapkan bahwa kesuksesan hanya
ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80
persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia
bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan
soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa
mutu pendidikan karakter peserta didik sangat urgen untuk
ditingkatkan (Zubaedi, 2011: 41).
Hasil penelitian Dr. Marvin Berkowitz dari University
of Missouri- St. Louis, menunjukan peningkatan motivasi
siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolahsekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas
yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter
menunjukan penurunan drastis pada perilaku negatif siswa
yang dapat menghambat keberhasilan akademik.
Harapannya dengan pendidikan karakter seorang
siswa menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah
bekal terpenting dalam mempersiapkan siswa menyongsong
masa depan, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil
dalam menghadapi segala macam tantangan termasuk
tantangan untuk berhasil secara akademik.
Sejalan dengan ini, Daniel Goleman yang dikutip
Wibowo (2012: 19-20) menerangkan bahwa keberhasilan
seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh
kecerdasan emosi (EQ) dan hanya 20 persen ditentukan oleh
kecerdasan otak (IQ). Siswa-siswa yang mempunyai masalah
dalam kecerdasan emosinya akan mengalami kesulitan
belajar, bergaul, dan tidak dapat mengontrol emosinya.
Siswa yang bermasalah dalam hal ini jikalau tidak ditangani
baik akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya siswa yang
berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi tinggi akan
18

Pendidikan Karakter di Sekolah

terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh
remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku
seks bebas, dan sebagainya.
Berangkat dari kesadaran akan pentingnya pendidikan
karakter, beberapa negara maju seperti Amerika Serikat,
Jepang, dan Cina sudah menerapkan model pendidikan itu
sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Hasil penelitian
di negara-negara ini menyatakan bahwa implementasi
pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis,
berdampak positif pada pencapaian akademis (Kurniawan,
2013: 34).
Pemerintah Amerika sangat mendukung program
pendidikan karakter yang diterapkan sejak pendidikan
dasar. Hal ini terlihat pada kebijakan pendidikan tiap-tiap
negara bagian yang memberikan porsi cukup besar dalam
perancangan dan pelaksanaan pendidikan karakter. Hal
ini juga bisa terlihat pada banyaknya sumber pendidikan
karakter di Amerika yang bisa diperoleh.
Di Jepang, pembinaan karakter merupakan salah satu
pilar utama pendidikan yang dilakukan sejak dini. Houikuen
atau setingkat penitipan anak merupakan yurisdiksi
Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Jepang, sedangkan
youchien atau TK, diawasi oleh Kementrian Pendidikan
Jepang. Meski dilaksanakan oleh kementerian yang berbeda,
aktivitas di dua jenis sekolah ini sama-sama ditekankan
pada pengembangan kecerdasan sosial dan emosional,
serta keseimbangan tubuh dan daya pikir. Bersama dengan
sekolah, keluarga merupakan faktor utama pengembangan
karakter di Jepang. Kerja sama dan komunikasi antara pihak
keluarga dan sekolah dilakukan sangat intensif melalui buku
sekolah, surat elektronik, atau telepon.
Di TK, anak-anak menghabiskan waktu dengan
beragam permainan yang ditujukan untuk menumbuhkan
Bab II Rancang Bangun Pendidikan Karakter

19

kepekaan sosial serta semangat kebersamaan, karakter yang
kemudian kita lihat melekat pada bangsa Jepang. Guruguru maupun siswa TK sering memperdengarkan yelyel
seperti ‘tomodachi ni naro’ (mari berteman), ‘saigo made
gambaru’ (berusaha sampai selesai), atau ‘kokoro kara otagai
o tasukete mimashou’ (mari saling menolong dengan tulus).
Seluruh aktivitas sekolah selalu dilakukan dengan semangat
kebersamaan (tomodachi, shinsetsu, nakayoku), semangat
kerja keras (gambaru), antusiasme (genki), dan tanggung
jawab (jibun no koto o jibun de suru). Pada akhir pendidikan
TK, ketika anak harus memberikan kesan singkat seusai
menerima diploma, banyak dari mereka, bahkan hampir
semuanya, akan berbicara tentang gambaru, tomodachi, dan
jibun no koto o jibun de suru tersebut. Proses internalisasi
hasil pendidikan karakter terlihat sangat jelas.
Pada tingkat sekolah menengah (chuugakkou) dan
sekolah menengah atas (koukou) pola pendidikan serupa pun
masih diterapkan, namun dengan cara yang berbeda. Pada
siswa diharapkan dapat dengan aktif memberikan pendapat
atau jawaban mengenai suatu masalah umum yang diberikan
oleh gurunya. Bahkan para siswa pun dengan berani
memberitahu yang benar apabila sang guru salah dalam
memberi jawaban. Pada musim panas, sekitar pertengahan
Agustus, setiap tahun juga diadakan Pertandingan baseball
(yakyuu) yang diikuti oleh seluruh sekolah seantero Jepang.
Melalui seleksi yang ketat, setiap prefektur diwakili oleh satu
sekolah.
Pada sekolah yang telah lolos akan diadu kembali dalam
suatu Kejuaraan yang bernama koushien, yang diadakan di
Lapangan Koushien, di Kobe, Prefektur Hyougo. Mereka
bertanding dengan sepenuh tenaga walaupun hari terik
dan hujan turun. Teman-teman dan guru dari siswa yang
20

Pendidikan Karakter di Sekolah

sedang bertanding pun datang dari tempat yang jauh untuk
memberikan dukungan. Setiap akhir pertandingan walaupun
ada tim yang menang atau kalah, walaupun ada yang menangis
ataupun tersenyum gembira, selalu diakhiri oleh pemberian
hormat, dan saling bersalaman (rei). Di sinilah salah satu
bukti nyata pendidikan karakter Jepang. Para siswa diajarkan
untuk berusaha dengan keras dan bekerja sama dalam tim,
tapi walaupun kalah ataupun gagal, mereka diajarkan untuk
menerimanya dengan lapang dada, dan tidak berbuat curang.
Satu hal yang sangat patut dicontoh.
Di Cina juga demikian, program pendidikan karakter
telah menjadi kegiatan yang menonjol yang dijalankan
sejak jenjang pra-sekolah sampai universitas dan mendapat
dukungan kuat dari pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan
pernyataan pemimpin Cina sebagaimana tertuang dalam
buku Education for 1.3 Billion karangan Li Lanqing (mantan
Wakil PM Cina), bahwa Deng Xiaoping pada tahun 1985,
secara eksplisit mengungkapkan pentingnya pendidikan
karakter: “hroughout the reform of the education system, it is
imperative to bear in mind that reform is for the fundamental
purpose of turning every citizen into a man or woman of
character and cultivating more constructive members of society.”
Secara eksplisit pula Presiden Jiang Zemin, memberikan
dukungan melalui pidato-pidatonya: “After many years
of practice, character education has become the consensus of
educators and people from all walks of life across this nation. It
is being advanced in a comprehensive way” (Wibowo, 2012:
21).
Komitmen pemerintah Cina tidak sebatas ungkapan
tetapi ditindaklanjuti dengan implementasi di lapangan,
terbukti dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan di
antaranya: “Regulation of the Work of Moral Education
Bab II Rancang Bangun Pendidikan Karakter

21

in Primary and Secondary Schools”, “Outline for Moral
Education in Primary and Secondary Schools” and the
“Outline for Moral education in High Schools”. Di samping
itu dirumuskan pula oleh pemerintah “Code of Conduct of
Primary School Pupils”, the “Code of Conduct of Secondary
School Students”, the “Norms of Daily Behaviors for primary
School Pupils” yang harus diterapkan di sekolah. Selain itu
didukung pula dengan berbagai pola pembinaan yang secara
tidak langsung mendukung pengembangan karakter warga
Negara.
Pola pembinaan karakter di Cina dikembangkan
melalui beberapa cara sebagai berikut (Kurniawan, 2013:
36-38):
1. Pendidikan moral merupakan mata pelajaran yang
pertama dan utama yang diajarkan pada seluruh jenjang
pendidikan. Pendidikan moral di Cina berisi doktrinasi
ideologi-politik negara yang berpahamkan MarxismeLeninisme, dan moral sosialis berdasarkan ajaran Mao
Zedong, teori Deng Xiaoping, dan Five Loves (love the
motherland, love the people, love labor, love science and
love socialism). Pendidikan moral menekankan pada
kecintaan kepada negara, kesadaran moral sosialis sejati
yang harus menjadi alat untuk mencapai tujuan akhir
ideologi sosialisme, dan praksisnya adalah bagaimana
menyiapkan manusia untuk mempunyai karakter seorang
sosialis sejati (persaudaraan antarmanusia; saling peduli,
dan berkeadilan), kerja keras dan jujur. Untuk tingkat
universitas, muatan materi Pendidikan Kewarganegaraan
di Cina lebih banyak dan dipelajari melalui beberapa mata
kuliah umum yang wajib diikuti mahasiswa yaitu “Basic
Principles of Marxism”, “An Introduction to Mao Zedong
hought, Deng Xiaoping heory and the Signiicant
22

Pendidikan Karakter di Sekolah

hought of hree Representatives”, “outline of Modern
Chines History”, and “Situation and Policy”. Pendidikan
Moral di Cina masih mempertahankan karakternya
sebagai indoktrinasi ideologi politik marxisme bagi
generasi muda dan warga negaranya. Dengan Pendidikan
moral inilah, Cina mampu mempertahankan ideologi
politik marxisme nya melawan liberalisme-kapitalisme
Barat.
2. Pendidikan karakter di Cina tidak hanya dikembangkan
melalui mata pelajaran pendidikan moral dan ideologi
politik, tetapi semua mata pelajaran mengambil bagian
penting dalam pengembangan pendidikan karakter
yang tercantum dalam standar isi kurikulum dan
proses pembelajaran di kelas. Guru mengaitkan materi
pembelajaran dengan nilai-moral-norma dalam kehidupan
sehari-hari misalnya persaudaraan, hormat kepada orang
tua, pemeliharaan lingkungan, kedisiplinan, kejujuran,
evaluasi diri dan penilaian antar teman dalam penegakan
aturan. Dalam setiap kesempatan pembelajaran guru
menanamkan kebanggaan terhadap negara Cina,
dan sejarah kejayaan negara Cina di masa lalu yang
harus dibangkitkan kembali saat ini dan ke depan, Di
tingkat universitas pada umumnya pemaparan materi
perkuliahan diawali dengan latar belakang historis Cina
yang mewarnai perkembangan pemikiran suatu teori.
Di tingkat sekolah pun guru senantiasa menggali karyakarya para pemikir besar Cina di masa lalu dan saat ini.
3. Kegiatan praktikum terintegrasi mulai kelas 3 SD sampai
universitas, Kegiatan praktikum terintegrasi ini meliputi
penelitian (inquiry dan eksperimen), pendidikan teknis
untuk keterampilan kerja, pengabdian kepada masyarakat
(community service), dan praktek kerja lapangan. Sehingga
Bab II Rancang Bangun Pendidikan Karakter

23

tidak heran jika di Cina terlihat beberapa mahasiswa
memberikan pelayanan sosial dan praktik bekerja
menjaga gerbang universitas, menjaga asrama, menjaga
gedung perkuliahan. Di zebra cross terlihat siswa SMA
bertugas menyeberangkan pejalan kaki, di tempat
wisata menjadi pemandu wisata, mendorong kursi roda
penyandang cacat, kepanitiaan dalam kegiatan sosial,
misalnya pengumpulan buku sumbangan, menjaga stand
dalam kegiatan expo, dan lain-lain. Melalui kegiatan
penelitian (inquiry dan eksperimen) siswa dituntut
kreatiitasnya untuk menemukan suatu karya baru.
Tidak heran hal inilah yang membuat warga Cina kreatif
dalam membuat aneka karya dalam home industry yang
laku secara ekonomis di pasaran internasional. Penilaian
terhadap praktikum terintegrasi dilakukan oleh panitia
atau lembaga di mana siswa berpraktik dan seterusnya
dilaporkan kepada guru/ sekolah/ universitas. Kegiatan
praktikum terintegrasi ini merupakan wahana pembinaan
moral siswa/mahasiswa secara praktis.
4. Pemerintah Cina juga menunjukkan komitmen untuk
memajukan pendidikan dengan membangun sekolah
yang berasrama sejak SD sampai Perguruan Tinggi
dengan fasilitas yang sangat memadai. Pada persekolahan
berasrama pembentukan karakter (toleransi, kemandirian,
ketekunan, pencapaian prestasi terbaik) terpola melalui
aktivitas di sekolah dan di asrama.
Di Indonesia pendidikan karakter sebenarnya sudah
lama diimplementasikan dalam pembelajaran di sekolahsekolah, khususnya melalui pendidikan agama, pendidikan
kewarganegaraan dan sebagainya. Namun implementasi
pendidikan karakter itu masih terseok-seok dan belum
optimal. Hal ini karena pendidikan karakter harusnya
24

Pendidikan Karakter di Sekolah

tidak dipahami sebatas proses menghapal materi soal ujian,
dan teknik-teknik menjawabnya. Pendidikan karakter
memerlukan pembiasaan. Pembiasaan untuk berbuat baik,
pembiasaan untuk berlaku jujur, ksatria, malu berbuat curang,
malu bersikap malas, malu membiarkan lingkungannya
kotor. Karakter tidak terbentuk secara instan, tapi harus
dilatih secara serius dan proporsional agar mencapai bentuk
dan kekuatan yang ideal (Wibowo, 2012: 22).
Di sinilah bisa kita pahami, mengapa ada kesenjangan
antara praktik pendidikan dengan karakter siswa. Bisa
dikatakan dunia pendidikan di Indonesia kini sedang
memasuki masa-masa yang pelik. Kucuran anggaran
pendidikan yang sangat besar disertai berbagai program
terobosan sepertinya belum mampu memecahkan persoalan
mendasar dalam dunia pendidikan yaitu tentang bagaimana
mencetak alumni pendidikan yang unggul, yang beriman,
bertakwa, profesional, dan berkarakter, sebagaimana tujuan
pendidikan dalam UU RI Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam Bab II, Dasar, Fungsi dan Tujuan, Pasal 3,
UU RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional:
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.

Bab II Rancang Bangun Pendidikan Karakter

25

Namun, kita tentu tidak boleh berputus asa. Jika
bangsa ini konsisten dan mempunyai tekad yang kuat
untuk “mengarusutamakan” pendidikan karakter, tentu
bisa direalisasikan. Bagi Indonesia sekarang ini, pendidikan
karakter juga berarti melakukan usaha sungguh-sungguh,
sistematik dan berkelanjutan untuk membangkitkan
dan menguatkan kesadaran serta keyakinan semua orang
Indonesia bahwa tidak akan ada masa depan yang lebih
baik tanpa membangun dan menguatkan karakter rakyat
Indonesia.
Hal ini berarti, tidak ada masa depan yang lebih baik
yang bisa diwujudkan tanpa kejujuran, tanpa meningkatkan
disiplin diri, tanpa kegigihan, tanpa semangat belajar yang
tinggi, tanpa mengembangkan rasa tanggung jawab, tanpa
memupuk persatuan di tengah-tengah kebhinekaan, tanpa
semangat berkontribusi bagi kemajuan bersama, serta tanpa
rasa percaya diri dan optimisme.
Nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter dilakukan melalui pendidikan
nilai-nilai atau kebajikan yang menjadi nilai dasar karakter
bangsa. Kebajikan yang menjadi atribut suatu karakter pada
dasarnya adalah nilai. Oleh karena itu, pendidikan karakter
adalah pengembangan nilai-nilai yang berasal dari pandangan
hidup atau ideologi bangsa Indonesia, agama, budaya,
dan nilai-nilai yang terumuskan dalam tujuan pendidikan
nasional (Zubaedi, 2011: 72-73).
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan
karakter di Indonesia diidentiikasi berasal dari empat
sumber:
1. Agama. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat
beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu,
26

Pendidikan Karakter di Sekolah

masyarakat dan bangsa selalu didasari pada ajaran
agama dan kepercayaannya. Secara politis, kehidupan
kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal
dari agama. Karenanya, nilai-nilai pendidikan karakter
harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal
dari agama.
2. Pancasila. Negara Kesatuan Republik Indonesia
ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan
dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila
terdapat pada Pembukaan UUD 1945 yang dijabarkan
lebih lanjut ke dalam pasal-pasal yang terdapat dalam
UUD 1945. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan
politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya dan
seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan
mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang
lebih baik yaitu warga negara yang memiliki kemampuan,
kemauan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam
kehidupannya sebagai warga negara.
3. Budaya. Sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia
yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari nilai-nilai
budaya yang diakui masyarakat tersebut. Nilai budaya
ini dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap
suatu konsep dan arti dalam komunikasi antaranggota
masyarakat tersebut. Posisi budaya yang demikian
penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan
budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya
dan karakter bangsa.
4. Tujuan Pendidikan Nasional. UU RI Nomor 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional merumuskan
fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus
digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan
Bab II Rancang Bangun Pendidikan Karakter

27

di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan,
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, be