cerpen pengawal pelajaran bahasa indones

K.
PENGAWAL Oleh
Usman

Jumat, 31 Juli 2009 10:11

"Demi keselamatanmu, sebaiknya jangan datang lagi ke kota Prabumulih. Seseorang
menunggumu di sana selama bertahun-tahun, ingin membunuhmu. Jika terpaksa kau datang
ke kota itu, bawalah pengawal!"
Itu pesan Kiagus Haji Abdul Malik, sahabatku sejak masa kecil, pensiunan polisi. Ini yang
harus kupertimbangkan semasak-masaknya. Pesan sahabat akrabku tentu bukan mengadaada. Dia adalah seorang yang selalu serius. Dia tidak tergolong orang yang senang pada
humor. Apa mungkin karena itu dia tampak lebih tua dibanding umurnya yang sebenarnya?
Entahlah. Rasanya sunyi sekali ruang keluarga, tempatku merenung di ambang malam
Minggu bergerimis. Kudengar tetes-tetes gerimis menimpa dedaunan di halaman, bagai
bisikan lembut. Dari kaca jendela kulihat kabut hitam di angkasa kota Jakarta. Kabut hitam
itu sejak senja menggantung, mengisyaratkan hujan deras segera jatuh. Hawa dingin mulai
menusuk-nusuk kulit.
"Jadi, kita naik travel sampai di stasiun Tanjung Karang, lalu naik kereta api lintas malam
ekspres jurusan Palembang, hem?" Mimin tiba-tiba telah berdiri di sisi kiriku, membawa
nampan berisi semangkuk teh manis dan kue pisang nagasari kesukaanku. Wangi tubuhnya
segera pula tercium, semerbak parfum aroma bunga melati, kesukaan kami berdua sejak

muda.
Mimin duduk di sisi kiriku setelah meletakkan bawaannya. Matanya yang seakan selalu
penuh tanda tanya itu tertancap tajam ke anak mataku. Dia tersenyum. Lalu, menunjuk
kehidangan meja yang baru saja ditaruhnya, seperti hendak mengatakan, minumlah, nanti
teh dan kue pisang nagasari tidak hangat lagi.
"Mikirin apa, sih?" lanjutnya. Aku tahu, dia sedang meraba-raba dengan perasaan halusnya
mengenai yang sedang kupikirkan. Sejak berkenalan dengannya di rumah Ida Godi 40 tahun
silam, kuketahui, Mimin memiliki kepekaan yang luar biasa. Itulah salah satu pertanda,
jiwanya bersih dan tulus.
Tidak akan pernah kukatakan padanya pesan Kiagus Haji Abdul Malik. Sejak menikah
dengannya puluhan tahun yang lalu, aku berjanji tidak akan menyusahkannya, lahir dan
batin.
"Atau kita naik pesawat langsung ke Palembang, lalu naik taksi balik ke Prabumulih?"
Mimin menyusulkan pertanyaan.
"Oh, enggak Min!. Kau, kan, tahu aku paling trauma naik pesawat terbang. Kita naik travel
sampai stasiun kereta api Tanjung Karang. Selanjutnya, kita nyambung dengan kereta api
kesenanganmu itu. Akur?"
Mimin mengacungkan jari jempol tangan kanannya tinggi-tinggi. "Mudah-mudahan saja
kereta berangkat on time, tiba di Prabumulih pun tepat waktu agar penjemput tidak terlalu
lama menunggu di stasiun, ya?"

Tiba-tiba, aku membayangkan moncong senapan terarah ke jantungku dari suatu titik di
tempat gelap. Pembunuh itu tentu sejak dini hari menunggu kedatanganku. Siapa tahu, dia
bersama penembak-penembak jitu yang lain, agar tidak gagal membunuhku. Dengan
perangkat komunikasi yang canggih, seperti telepon genggam, mereka sudah tentu pula
merancang program secermat mungkin untuk melenyapkan jiwaku.
***
Sore hari Sabtu, adikku yang menjadi guru menelepon lagi untuk ketiga kalinya,
mengabarkan, Bunda sakit di kota Prabumulih. Sakit Bunda adalah pada ginjal dan keropos
tulang belakang. Bunda tidak dapat lagi menelentang bila tidur. Jika Bunda ingin duduk,
harus dibantu dengan tarikan perlahan. "Bunda sekarang telah payah nian," kata Dik
Khosiahwati lewat telepon.

"Kita harus menengok Bunda ke Prabumulih," kata Mimin setelah mendengar ceritaku, usai
menerima telepon Dik Khosiahwati.
"Tapi, tidak ada pesan Bunda agar kita pulang ke Prabumulih," tukasku.
"Arif sajalah," celetuk Mimin.
Setelah itu, aku dan Mimin sepakat, naik travel sampai stasiun Tanjung Karang. Seterusnya
naik kereta api lintas malam ekspres yang sejuk berpendingin di kelas executive.
Kini, yang membuatku bimbang adalah pesan sahabat akrabku Kiagus Haji Abdul Malik.
"Seseorang menunggumu di sana selama bertahun-tahun, ingin membunuhmu. Jika terpaksa

kau datang juga ke kota itu, bawalah pengawal!"
Pensiunan polisi itu adalah temanku waktu di kepolisian. Nasibnya baik, sampai pensiun,
suatu penghargaan negara baginya. Nasibku buruk. Aku diberhentikan dengan tidak hormat.
Dalam suatu penggerebekan di rumah judi liar, aku menembak seorang gembong penjudi
yang telah mengangkat tanda menyerah. Gembong penjudi yang terkenal licin itu tewas
diterjang timah panas yang kubidikkan padanya. Seluruh penjudi, yang menyerah dan
tertangkap, sebagai saksi di pengadilan memberatkan aku. Aku dipecat dengan tidak hormat
dari kepolisian, dan dihukum kurungan.
Selesai menjalankan hukuman kurungan beberapa tahun, aku kabur ke Jakarta. Kupilih
profesi yang lama menjadi cita-citaku sejak muda, yakni jadi wartawan, juga meneruskan
bakatku, anugerah-Nya, mengarang. Setelah memiliki rumah cicilan sederhana dan sedikit
tabungan, kunikahi Mimin yang pandai memasak dan mahir menjahit. Lahirlah anak
tunggal kami, Utopia. Gadis kami itu memilih pekerjaan sebagai penegak hukum, sekaligus
pelindung masyarakat, yakni polisi. Kini, pangkatnya sudah perwira muda. Dia bertugas di
jalur reserse, persis seperti ayahnya dulu.
Aku jadi polisi dulu karena mengabulkan cita-cita Ayah dan Bunda. Sebagai anak sulung
lelaki, aku patuh-patuh saja. Padahal, cita-citaku sejak kecil, ingin menjadi wartawan dan
pengarang. Akan tetapi, paling tidak, aku telah mematuhi kedua orang tuaku. Setelah bebas
dari hukuman, di Jakarta aku belajar jadi wartawan sambil mengembangkan bakat sebagai
pengarang.

***
Malam minggu itu, Mimin tidur lebih cepat karena lelah mengurus rumah tangga, tanpa
pernah memiliki pembantu. Aku menunggu Utopia pulang dari tugas sampai menjelang
dinihari. Ketika Utopia selesai mandi air hangat yang dimasaknya sendiri dan berpakaian
rapi, kuajak dia bicara soal ancaman terhadap diriku.
"Hal ini tidak boleh diketahui Ibu," bisikku. "Ibumu gampang sekali panik. Lagi pula, kita
harus memelihara jantungnya yang lemah itu, Pia," lanjutku.
"Pia sudah lama dapat kabar dari Mang Haji Abdul Malik ikhwal ancaman itu," tenang
suara Utopia. "Tentang kepulangan ke Prabumulih karena Nenek sakit pun sudah Pia
ketahui dari Bibi Khosiahwati beberapa hari lalu. Dari kantor, Pia menelepon ke rumah Bibi
Khos. Itulah sebabnya, mulai besok Pia mengambil cuti tahunan. Pia ingin mengawal
Ayah." Tetap tenang suara anak tunggalku itu.
"Tidak Ayah sangka," kataku terkejut bercampur senang.
"Insya Allah kita aman, Ayah," Pia tersenyum. "Tentu saja soal ini tidak akan Pia ceritakan
pada Ibu," lanjut Pia sebelum pamitan untuk tidur.
***
Ketika tinggal sendirian di ruang tengah yang lengang, aku teringat penjelasan Kiagus
Abdul Malik mengenai ancaman Rundung, anak tunggal Ligum itu. "Hingga menjelang
umur empat puluh tahun, Rundung masih membujang," cerita Abdul Malik dulu. "Tidak ada
gadis yang menikah dengan preman, putra penjudi itu. Seorang anggotaku melapor bahwa

Rundung akan membalaskan dendam ayahnya yang kau tembak. Sebelum membunuhmu,
dia tidak akan pernah merasa puas. Katanya, nyawa yang hilang harus dibalas dengan
menghilangkan nyawa si pembunuh. Hati-hatilah!"

Aku selalu gelisah bila teringat berita buruk dari Kiagus Abdul Malik, sahabatku itu.
Dadaku menjadi sesak. Segera terbayang dalam benakku, moncong senjata rakitan terarah
ke dadaku. Lalu, dor, bedil itu menyalak. Dadaku ditembus timah panas.
Setelah aku mati ditembak Rundung, putra Ligum, giliran Utopia membalas dendam.
Lantas, kapan dendam akan redam, ya Tuhan? Begitu banyak dendam mengeram di dada
anak-anak, di hati janda-janda, dan keluarga orang-orang yang terbunuh di berbagai tempat.
Mengapa api dendam itu tidak kunjung padam? Mengapa dendam sudah menjadi semaian
yang dikembangbiakkan?
***
Kereta api lintas malam ekspres berhenti di stasiun Prabumulih pukul 04.00. Dadaku makin
kencang berdebar. Detak jantungku sangat kencang. Dari jendela berkaca tebal, kulihat
beberapa penjemput memandang ke arah kereta api. Di beberapa sudut stasiun tampak
tumpukan nenas. Awak stasiun hilir mudik. Utopia sejak satu jam yang lalu mengontak
teman-temannya, anggota polisi di Prabumulih. Sejak mendapat berita buruk dari Kiagus
Haji Abdul Malik, aku tidak pernah mudik ke Prabumulih, tempatku menghabiskan masa
remaja sebelum melanjutkan sekolah ke Lampung. Mimin dan Utopia yang mudik bila ada

urusan keluarga yang penting-penting.
Sebelum meninggalkan gerbong executive yang sejuk dan nyaman, Utopia berbisik di
telinga kananku. Saat itu pula, aku membayangkan Rundung dan beberapa preman, anak
buahnya yang sudah mengintai di tempat-tempat gelap yang strategis. Moncong senapan
siap meluncurkan timah panas ke arah sasaran: diriku! Aku sama sekali tidak mengenal
Rundung dan gangnya. Ada kabar dari Kiagus Abdul Malik bahwa para preman itu
beroperasi antara stasiun kereta api Kertopati di Palembang dan stasiun Prabumulih.
Mereka sudah lama meresahkan masyarakat.
Aku turun paling belakangan dan kulihat Burhan, adikku, melambai-lambaikan tangan. Dia
memang kuminta menjemput. Saat itu pula terdengar dor! Aku merasa benda keras
mengenai dadaku. Kudengar pekik Utopia agar tiarap. Di depanku, Mimin tiarap. Para
penjemput pun tiarap diikuti awak stasiun. Semua orang panik.
"Dor! Dor! Dor!" Pistol di tangan Utopia memuntahkan tiga butir peluru ke arah si
penembak. Lalu, kudengar tubuh roboh di tempat gelap dalam naungan pohon beringin
rindang itu.
Tembakan berikutnya dari arah selatan, tiga kali. Utopia merangkak ke arah drum, tempat
sampah. Dari sana, dia menembak diikuti dua tembakan beruntun dari anggota polisi kereta
api. Kudengar tubuh-tubuh roboh di sasaran kedua itu.
Setelah itu keadaan sunyi. Ada teriakan, "Menyerahlah! Kalian sudah terkepung!" Teriakan
itu dari mulut polisi kereta api. Kemudian hening. Embun masih turun. Dingin udara subuh

menusuk-nusuk. Petugas stasiun menyenter ke arah tubuh-tubuh yang roboh. Terdengar
orang mengerang, mengaduh, merintih.
Ketika suasana tenang dan cuaca berangsur terang, kulihat sahabatku, pensiunan polisi
Kiagus Haji Abdul Malik. Dia muncul bersama dua anggota polisi berpakaian sipil. Tak
lama kemudian, peluit dibunyikan kepala stasiun Prabumulih. Kereta api mendengusdengus dan perlahan berjalan.
Burhan, adikku, dan Kiagus Haji Abdul Malik memelukku. Mereka bertanya macammacam. Utopia pun menanyaiku.
"Ayah kena?"
"Ya, di dada kiri," jawabku sambil memperlihatkan jaket kulit yang ditembus peluru. Akan
tetapi, peluru itu tidak sampai menusuk dada dan jantungku karena aku mengenakan rompi
anti peluru sebelum meninggalkan Jakarta.
"Rundung bin Ligum tewas. Tiga butir peluru menembus jantungnya," kudengar suara
seorang anggota polisi. "Tiga preman anak buah Rundung luka parah. Mereka dikawal dua
anggota polisi menuju rumah sakit," lanjutnya.

"Syukurlah Ayah selamat," kata Mimin sambil memelukku erat-erat.
"Alhamdulillah," kataku sambil membalas rangkulan Mimin.