Penjernihan Masalah Jenis Peraturan Peru

Tugas Mata Kuliah Ilmu Perundang-undangan
Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Penjernihan Masalah Jenis Peraturan Perundangundangan di Indonesia:
Tinjauan terhadap Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
oleh Santi Nastiti
NPM 0906490411

Walaupun proses pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada level Panitia Khusus berlangsung alot1,
pada akhirnya tanggal 12 Agustus 2011 telah lahir undang-undang tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
Akan tetapi, akademisi hukum beranggapan bahwa undang-undang baru ini tidak lebih baik
dari undang-undang terdahulu. Akademisi hukum beranggapan bahwa banyak kelemahankelemahan dalam undang-undang ini, salah satunya mengenai pasal 8 ayat (1). Persoalan yang
dikemukakan oleh para akademisi hukum terkait dengan pasal 8 ayat (1) tersebut antara lain
adalah apakah semua lembaga negara dan pejabat yang disebut dalam pasal 8 ayat (1) itu
mempunyai kewenangan untuk membentuk peraturan yang bersifat umum, dan berlaku ke
luar sebagai Peraturan Perundang-undangan?
Perlu kiranya pertama-tama dibahas die Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormen
yang dicetuskan oleh Hans Nawiasky. Hans Nawiasky dalam bukunya yang berjudul

Allgemeine Rechtslehre mengemukakan bahwa sesuai dengan teori Hans Kelsen, maka suatu
norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang. Norma yang
di bawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih
Ali Salmande dan Kartini Laras M., Tarik Menarik dalam Menyusun Hierarki Perundang-Undangan,
Hukumonline, diakses dari http://hukumonline.com/berita/baca/lt4d8871cabb735/tarik-menarik-dalammenyusun-hierarki-perundangundangan, pada tanggal 18 November 2011 pukul 17.12 WIB.
1

1

tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada suatu
norma yang tertinggi yang disebut Norma Dasar.2
Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjangjenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok, dan
pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok besar,
yaitu sebagai berikut.3
Kelompok I :
Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara)
Kelompok II :
Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara)
Kelompok III :
Formell Gesetz (Undang-Undang)

Kelompok IV :
Verordnung & Autonome Satzung (Peraturan Pelaksanaan dan
Peraturan Otonom)
Kelompok I : Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara)
Norma Fundamental Negara bersifat pre-supposed atau ditetapkan terlebih dahulu
oleh masyarakat suatu negara. Norma ini menjadi tempat bergantung norma-norma
hukum yang di bawahnya. Norma yang tertinggi ini tidak dibentuk oleh norma yang lebih
tinggi lagi, oleh karena jika norma yang tertinggi itu dibentuk oleh norma yang lebih tinggi
lagi maka ia bukan norma yang tertinggi. Sehingga masyarakat perlu menerimanya sebagai
suatu yang tidak dapat diperdebatkan lagi, sebagai suatu hipotesa, sesuatu yang fiktif, suatu
aksioma.
Menurut Hans Nawiasky, hakikat hukum suatu Staatsfundamentalnorm ialah syarat
bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Ia ada terlebih dahulu
sebelum adanya konstistusi atau undang-undang dasar. Dengan kata lain, ia merupakan
landasan filosofis yang mengandung kaidah-kaidah dasar bagi pengaturan negara lebih
lanjut.
Dalam sistem norma hukum Indonesia, yang merupakan Staatsfundamentalnorm
adalah Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Kelompok II : Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara)


Staatsgrundgesetz sebagai sumber dan dasar bagi pembentukan Formell Gesetz,

merupakan kelompok norma hukum di bawah Norma Hukum Fundamental Negara.
Norma-norma dari Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara ini merupakan aturanaturan yang masih bersifat pokok dan merupakan aturan-aturan umum yang masih bersifat
garis besar, sehingga masih merupakan norma hukum tunggal.
Di dalam setiap Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara biasanya diatur hal-hal
mengenai pembagian kekuasaan negara di puncak pemerintahan, selain itu mengatur juga
Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, cet. 6,
(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2011), hal. 44.
2

3

Ibid., hal. 44-56.

2

hubungan antar lembaga-lembaga negara, serta mengatur hubungan antara negara dengan
warganegaranya.

Dalam sistem norma hukum Indonesia, yang merupakan Staatsgrundgesetz adalah
Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945, TAP MPR4, serta Konvensi Ketatanegaraan.
Kelompok III : Formell Gesetz (Undang-Undang)
Ciri dari Formell Gesetz (Undang-Undang) yaitu ia merupakan norma hukum yang
lebih konkret dan terinci, serta sudah dapat berlaku di masyarakat. Norma-norma hukum
dalam Undang-Undang ini tidak saja norma hukum yang bersifat tunggal, tetapi juga dapat
merupakan norma hukum yang berpasangan. Sehingga dalam suatu Undang-undang sudah
dapat dicantumkan norma-norma yang bersifat sanksi, baik itu sanksi pidana maupun
sanksi pemaksa. Selain itu, berbeda dengan peraturan lainnya, Undang-undang merupakan
norma hukum yang selalu dibentuk oleh suatu lembaga legislatif.
Dalam sistem norma hukum Indonesia, yang merupakan Formell Gesetz adalah
Undang-undang.
Kelompok IV : Verordnung & Autonome Satzung
Peraturan Pelaksanaan dan Peraturan Otonom ini merupakan peraturan-peraturan
yang terletak di bawah undang-undang yang berfungsi menyelenggarakan ketentuanketentuan dalam undang-undang. Peraturan Pelaksanaan bersumber dari kewenangan
delegasi sedangkan Peraturan Otonom bersumber dari kewenangan atribusi.
Atribusi

kewenangan


adalah

pembentukan

Peraturan

Perundang-undangan

(attributie van wetgevingsbevoegdheid) ialah pemberian kewenangan membentuk

peraturan perundang-undangan yang diberikan oleh Undang-undang kepada suatu
lembaga negara atau pemerintahan. Kewenangan tersebut melekat terus-menerus dan
dapat dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan, sesuai dengan batas-batas
yang diberikan.

Delegasi Kewenangan dalam pembentukan Peraturan Perundangan-undangan
(delegatie van wetgevingsbevoegdheid) ialah pelimpahan kewenangan membentuk
peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.
Jadi dapat disimpulkan bahwa setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945,

Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sebagai norma hukum yang tertinggi menjadi sumber bagi pembentukan
Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Ketatanegaraan. Batang Tubuh
Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Ketatanegaraan yang masih bersifat pokok dan

merupakan aturan-aturan umum yang masih bersifat garis besar, sehingga masih merupakan
norma hukum tunggal menjadi sumber Undang-undang. Batang Tubuh Undang-Undang
TAP MPR sebagai Staatsgrundgesetz hanya sebelum Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen,
setelah Undang-Undang dasar diamandemen hal ini menjadi tidak berlaku lagi. Ibid., hal. 50.
4

3

Dasar 1945 dan Konvensi Ketatanegaraan mengatur mengenai pembagian kekuasaan negara

di puncak pemerintahan, selain itu mengatur juga hubungan antar lembaga-lembaga negara,
serta mengatur hubungan antara negara dengan warganegaranya. Undang-Undang yang
merupakan norma hukum yang lebih konkret dan terinci; serta sudah dapat berlaku di
masyarakat; ada yang bersifat tunggal tetapi juga dapat merupakan norma hukum yang
berpasangan; serta merupakan norma hukum yang selalu dibentuk oleh suatu lembaga

legislatif diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pelaksanaan yang bersumber dari kewenangan

delegasi dan Peraturan Otonom yang bersumber dari kewenangan atribusi.

Berangkat dari simpulan singkat di atas, tinjauan terhadap Pasal 8 ayat (1) UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 ini dimulai. Pasal 8 ayat (1) menyebutkan bahwa jenis
peraturan perundang-undangan selain yang disebutkan dalam pasal 7 ayat (1) UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 mencakup pula peraturan yang ditetapkan oleh:5
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.

15.

Majelis Permusyawaratan Rakyat
Dewan Perwakilan Rakyat
Dewan Perwakilan Daerah
Mahkamah Agung
Mahkamah Konstitusi
Badan Pemeriksa Keuangan
Komisi Yudisial
Bank Indonesia
Menteri
Badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-undang
atau Pemerintah atas perintah Undang-undang
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi
Gubernur
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota
Bupati/Walikota
Kepala Desa atau yang setingkat

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan, khususnya Pasal 3 dan Pasal 8,
dirumuskan bahwa fungsi dan wewenang dari Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah6:
a.
b.
c.
d.
e.

mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden;
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden;
memilih Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan;
memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan jabatan.

Lihat, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
5

6


Lihat, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

4

Seperti yang telah dijelaskan di muka, sesuai dengan teori Hans Nawiasky, UndangUndang Dasar bukan merupakan peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya,
berdasarkan fungsi dan wewenang tersebut, dapat disimpulkan bahwa Majelis
Permusyawaratan Rakyat tidak mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan
peraturan perundang-undangan.
Memang, sebelum diadakan amandemen MPR berwenang untuk membuat Garis-garis
Besar Haluan Negara (GBHN). Namun Ketetapan MPR yang ini pun juga bukan
merupakan peraturan perundang-undangan, melainkan ia merupakan Staatsgrundgesetz
(Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara). Hal ini karena ia merupakan aturan-aturan
yang bersifat pokok dan merupakan aturan-aturan umum yang bersifat garis besar,
sehingga masih merupakan norma tunggal. Dengan berlakunya Perubahan UndangUndang Dasar 1945, di kemudian hari tidak akan ada lagi Ketetapan MPR yang bersifat
peraturan, oleh karena kewenangan menetapkan GBHN tidak menjadi wewenang MPR
lagi.7
2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Mengenai wewenang DPR, Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan
merumuskan antara lain sebagai berikut.
Dewan Perwakilan Rakyat membentuk undang-undang dengan Persetujuan Presiden

(Pasal 20).
Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi
pengawasan, hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat (Pasal 21).

a.
b.

Berdasarkan fungsi dan wewenang tersebut, dapat disimpulkan bahwa Dewan
Perwakilan Rakyat tidak mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan
perundang-undangan. Dewan Perwakilan Rakyat hanya dapat membentuk Undangundang dengan persetujuan Presiden, yang merupakan peraturan perundang-undangan
yang tertinggi. Artinya, fungsi legislasi (pengaturan) DPR hanya dapat dilakukan dengan
persetujuan bersama eksekutif, mengingat Negara Indonesia menganut pembagian
kekuasaan bukan pemisahan kekuasaan. Peraturan yang dikeluarkan oleh DPR tanpa
persetujuan eksekutif bukanlah peraturan perundang-undangan
3. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Sesuai dengan ketentuan Pasal 22D Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan, Dewan
Perwakilan Daerah dapat:
a. mengajukan rancangan undang-undang ke Dewan Perwakilan Rakyat yang
berkaitan dengan otonomi daerah;
b. ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah;
dan
c. melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu.
Berdasarkan fungsi dan wewenang tersebut, dapat disimpulkan bahwa UndangUndang Dasar 1945 tidak menyerahkan kewenangan legislasi kepada Dewan Perwakilan
7

Maria Farida Indrati S., op.cit., hal. 50.

5

Daerah. Jadi DPD tidak mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan
perundang-undangan.
4.

Mahkamah Agung
Dalam Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan dirumuskan bahwa,

Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai
mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Berdasarkan fungsi dan wewenang itu, maka keputusan yang dibentuk oleh
Mahkamah Agung adalah keputusan di bidang peradilan, sehingga keputusan tersebut
bersifat suatu penetapan yang individual, konkret, dan sekali-selesai (final). Dengan
demikian Mahkamah Agung tidak diserahi kewenangan oleh Undang-Undang Dasar 1945
untuk membentuk peraturan perundang-undangan, atau peraturan yang mengikat umum;
namun demikian Mahkamah Agung tetap berwenang membentuk peraturan yang
mengikat ke dalam (interne regeling).
5.

Mahkamah Konstitusi
Dalam Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan dirumuskan bahwa:
a. Mahkamah Kontitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang

putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan hasil pemilihan umum.
b. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar.

Berdasarkan fungsi dan wewenang tersebut, maka keputusan yang dibentuk oleh
Mahkamah Konstitusi adalah keputusan di bidang peradilan, sehingga keputusan tersebut
bersifat suatu penetapan yang individual, konkret dan sekali selesai (final). Oleh karena itu,
Mahkamah Konstitusi juga tidak diserahi kewenangan dalam bidang pembentukan
peraturan perundang-undangan, atau peraturan yang mengikat umum oleh UndangUndang Dasar 1945; namun demikian Mahkamah Konstitusi tetap berwenang membentuk
peraturan yang mengikat ke dalam (interne regeling).
6.

Badan Pemeriksa Keuangan
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 23E Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan,
maka Badan Pemeriksa Keuangan berwenang untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung
jawab tentang keuangan negara, dan menyerahkan hasil pemeriksaan keuangan negara
tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
Berdasarkan fungsi dan wewenang tersebut dapat disimpulkan bahwa Badan
Pemeriksa Keuangan, tidak diserahi kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan
6

perundang-undangan, atau peraturan yang mengikat umum oleh Undang-Undang Dasar
1945, namun demikian Badan Pemeriksa Keuangan tetap berwenang membentuk
peraturan yang mengikat ke dalam (interne regeling).
7.

Komisi Yudisial
Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan menyebutkan bahwa
Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim.
Berdasarkan fungsi dan wewenang tersebut dapat disimpulkan bahwa Komisi Yudisial
tidak mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan perundangundangan.

8.

Bank Indonesia
Dalam Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan ditetapkan bahwa, Negara

memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan
indepedensinya diatur dengan undang-undang . Kemudian dalam Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2004 dirumuskan dalam Pasal 1 angka 8 bahwa, Peraturan Bank
Indonesia adalah ketentuan hukum yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan mengikat
setiap orang atau badan dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Berdasarkan rumusan pasal 1 angka 8 tersebut, dapat disimpulkan bahwa Bank
Indonesia mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan perundangundangan berdasarkan wewenang atribusi, karena Bank Indonesia sebagai lembaga negara
diberi kewenangan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan yaitu Peraturan
Bank Indonesia oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.
9.

Menteri
Tidak semua Menteri mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan
perundang-undangan, oleh karena Menteri Koordinator, dan Menteri Negara tidak
merupakan lembaga-lembaga pemerintah dalam perundang-undangan, Menteri yang
dapat membentuk peraturan yang mengikat umum adalah hanya Menteri Departemen,
sedangkan Menteri Koordinator hanya dapat membuat peraturan yang bersifat intern,
dalam lingkungannya sendiri, jadi tidak berwenang membentuk peraturan yang mengikat
umum.

10. Badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-undang atau
Pemerintah atas perintah Undang-undang
Pada dasarnya tidak semua badan, lembaga, atau komisi tersebut mempunyai
kewenangan membentuk peraturan yang mengikat umum. Badan, lembaga, atau komisi
yang dapat membentuk peraturan yang mengikat umum hanyalah yang merupakan
Lembaga Pemerintah Non Departemen, misalnya, Badan Pusat Statistik, Lembaga
Administrasi Negara.
7

11. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi
Dalam Pasal 42 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
dirumuskan bahwa, salah satu tugas dan wewenang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi adalah membentuk Peraturan Daerah yang dibahas dengan Kepala Daerah untuk
mendapat persetujuan bersama selain itu tidak ada wewenang lain dalam fungsi
pengaturan yang mengikat umum. Oleh karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi tidak mempunyai kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang
mengatur rakyat.
12. Gubernur
Sesuai dengan ketentuan Pasal 146 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah, maka Gubernur sebagai Kepala Daerah Provinsi dapat menetapkan
peraturan kepala daerah atau keputusan kepala daerah, untuk melaksanakan Peraturan
Daerah Provinsi, atau atas kuasa peraturan perundang-perundangan yang lebih tinggi.
Dengan demikian Gubernur dapat membentuk peraturan perundang-undangan
berdasarkan delegasi dari Peraturan Daerah Provinsi atau peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
13. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota
Dalam Pasal 42 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
dirumuskan bahwa, salah satu tugas dan wewenang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota adalah membentuk Peraturan Daerah yang dibahas dengan Kepala
Daerah untuk mendapat persetujuan bersama selain itu tidak ada wewenang lain dalam
fungsi pengaturan yang mengikat umum. Sehingga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota tidak mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan
perundang-undangan.
14. Bupati/Walikota
Sesuai dengan ketentuan Pasal 146 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, Bupati/Walikota sebagai Kepala Daerah Kabupaten/Kota dapat
menetapkan peraturan kepala daerah atau keputusan kepala daerah, untuk melaksanakan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota atau atas peraturan perundang-undangan. Dengan
demikian Bupati/Walikota dapat membentuk peraturan perundang-undangan berdasarkan
delegasi dari Peraturan Daerah Kabupaten/Kota atau peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.
15. Kepala Desa atau yang setingkat
Pasal 206 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
menentukan bahwa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup:

a. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa;
b. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan
pengaturannya kepada desa;
8

c. tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah
kabupaten/kota;
d. urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan diserahkan
kepada desa.
Melihat lebih lanjut Pasal 14 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005
tentang Desa, ditentukan wewenang Kepala Desa yaitu sebagai berikut:

a. memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang
ditetapkan bersama BPD (Badan Permusyawaratan Desa);
b. mengajukan rancangan peraturan desa;
c. menetapkan peraturan desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD;
d. menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa mengenai Anggaran Pendapatan
dan Belanja Desa (APB Desa) untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD
e. membina kehidupan masyarakat desa;
f. membina perekonomian desa;
g. mengkoordinasikan pembangunan desa secara partisipatif;
h. mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum
untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
i. melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dari pasal-pasal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa kepala desa atau yang
setingkat tidak mempunyai kewenangan untuk membentuk suatu peraturan perundangundangan. Jika kemudian dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 peraturan kepala
desa atau yang setingkat ditetapkan sebagai undang-undang, tentu ini merupakan bukti
inkonsistensi pembuat undang-undang itu.
Selain itu, apabila merujuk pada pasal 8 ayat (2) jo. Pasal 7 ayat (1) undang-undang
ini terlepas dari permasalahan dari bunyi pasal 8 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1) itu 8 pasal 8
ayat (1) ini juga bertentangan dengan bunyi pasal 8 ayat (2) yang menyebutkan: Peraturan

Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan . Sedangkan MPR,

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, serta Kepala Desa atau yang

Pasal 7 ayat (1) juga banyak dikritisi oleh akademisi hukum, salah satunya karena memasukkan
Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai peraturan perundangundangan. Padahal jika teguh dan disiplin menerapkan teori Hans Nawiasky, maka tidak lah tepat UndangUndang Dasar 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditempatkan sebagai peraturan
perundang-undangan. Undang-Undang Dasar 1945 terdiri atas dua bagian, yaitu Pembukaan dan Batang
Tubuh. Bagian Pembukaan merupakan Staatsfundamentalnorm, yaitu norma hukum tertinggi yang bersifat
pre-supposed dan merupakan landasan dasar filosofis yang mengandung kaidah-kaidah dasar bagi pengaturan
negara itu lebih lanjut. Sifat dan norma hukumnya masih secara garis besar dan merupakan norma hukum
tunggal. Sedangkan Batang Tubuh UUD 1945 merupakan Staatgrundgesetz, yaitu merupakan garis besar
pokok-pokok kebijaksanaan negara untuk menggariskan tata cara membentuk Peraturan Perundang-undangan
yang mengikat umum. Norma hukumnya masih bersifat garis besar dan pokok serta merupakan norma hukum
tunggal. Sama hal dengan Batang Tubuh UUD 1945, maka Ketetapan MPR juga merupakan Staatsgrundgesetz.
Ibid., hal. 99-100.
8

9

setingkat seperti yang telah diulas di atas tidak diberi wewenang membentuk peraturan
perundang-undangan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi yang diatur
dalam Pasal 7 ayat (1). Begitu pula Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi yang
diatur dalam Pasal 7 ayat (1) itu juga tidak memberi wewenang membentuk peraturan
perundang-undangan kepada semua Menteri serta Badan, lembaga atau komisi yang setingkat
yang dibentuk dengan Undang-undang atau Pemerintah; hanya Menteri serta Badan, lembaga
atau komisi yang setingkat tertentu saja yang diberi wewenang.
Oleh karena MPR, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah
Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, serta
Kepala Desa atau yang setingkat, tidak berwenang untuk membentuk peraturan perundangundangan maka tidaklah tepat disebut dalam pasal 8 ayat (1) bahwa peraturan yang
ditetapkan lembaga-lembaga dan pejabat tersebut termasuk jenis peraturan perundangundangan. Begitu pula tidak lah tepat menyebut Menteri serta Badan, lembaga atau komisi
yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-undang atau Pemerintah atas perintah Undangundang berwenang untuk membentuk peraturan perundang-undangan karena tidak semua
Menteri serta Badan, lembaga atau komisi tersebut mempunyai kewenangan membentuk
peraturan perundang-undangan yang mengatur rakyat. Dari ulasan di atas terlihat, benar
adanya pendapat Prof. Maria Farida Indrati S., Guru Besar Fakultas Hukum Universitas
Indonesia dan juga Hakim Mahkamah Konstitusi Periode 2008-2013, bahwa tidak semua
lembaga negara dan pejabat mempunyai kewenangan untuk membentuk peraturan yang
bersifat umum, dan berlaku ke luar sebagai Peraturan Perundang-undangan.

10

Dokumen yang terkait

Analisis Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Berdasarkan Taksonomi SOLO pada Sub Pokok Bahasan Balok Siswa Kelas VIII H SMP Negeri 7 Jember;

31 207 241

Kajian Karakteristik Fisik, Kimia dan Mikrobiologis Edible Film dari Tiga Jenis Pati (Kimpul, Ubi Jalar Putih dan Singkong) dengan Penambahan Filtrat Kunyit (Curcuma longa Linn.) Sebagai Penghambat Bakteri Salmonella.

16 119 21

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KAWASAN TANPA ROKOK (Studi tentang Implementasi Peraturan Desa Nomor 01 tahun 2009 tentang Kawasan Bebas Asap Rokok di Desa Bone-bone, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan

5 137 39

Evaluasi Kebijakan Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Jember Nomor 6 Tahun 2008 Bab IV Dan Bab VI (Studi Kasus PKL Jl. Untung Suropati)

0 50 15

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121

Syarat Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa Dalam Pembuatan Peraturan Pemerintahan Pengganti Undang-Undang (Studi Analisis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota)

2 57 90

Keanekaragaman Jenis Dan Distribusi Family Tridacnidae (Kerang Kima) Di Perairan Pulau Karang Congkak, Kepulauan Seribu

6 86 69

Kerjasama Kemanan Antara Autralia - Indonesia Dalam Mengataasi Masalah Terorisme Melalui Jakarta Centre For Law Enforcement Cooperation (JCLEC)

1 25 5

Perancangan Tipografi Adaptasi Dari Seni Kaligrafi Islam Jenis Khat Kufi

2 61 73

Peran Migrant Care Dalam Mengatasi Masalah Perdagangan Manusia yang Terjadi Terhadap Pekerja Migran Indonesia di Malaysia 2011-2015

4 35 74