Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Alienasi Atau Pembebasan?: Studi Mengenai Perspektif GMIT Jemaat Zaitun Tuapukan terhadap Pembangunan Gedung Ibadah T2 752015027 BAB V
BAB V
PENUTUP
I. KESIMPULAN
Pembangunan gedung ibadah merupakan sikap antusias warga gereja yang begitu
fenomenal di kalangan GMIT. Dikatakan fenomenal, karena GMIT pada umumnya
memberikan perhatian khusus dalam hal pembangunan fisik (gedung ibadah) dibandingkan
mengadakan upaya-upaya untuk melakukan pembangunan jemaat atau
mengadakan
pemberdayaan demi memerangi persoalan kemiskinan yang adalah realitas sosial.
Pembangunan gedung ibadah begitu diperhatikan, karena gedung ibadah dimaknai sebagai
rumah Tuhan yang memberikan ruang bagi setiap individual yang datang bersekutu dan
membangun hubungan serta kedekatan antara manusia dengan Tuhan dan manusia dengan
sesamanya.
Selain gedung ibadah dimaknai sebagai rumah Tuhan yang mampu memberikan
ruang persekutuan yang sakral, di dalam gedung ibadah juga dapat membangun iman bagi
setiap anggota gereja. Gedung ibadah tidak saja sebagai ruang persekutuan yang dinilai
sakral, tetapi gedung ibadah juga dipahami sebagai rumah Tuhan yang dapat memberikan
kedamaian dan ketentraman bagi setiap individual yang hadir di dalam. Sikap antusias
membangun gedung ibadah meskipun di tengah persoalan kemiskinan, karena menurut
warga gereja di dalam gedung ibadah dapat memberikan hal-hal yang tidak ditemukan oleh
mereka di luar kehidupan bergereja. Hal tersebut yang terjadi sebagaimana dikatakan
Marx, bahwa agama (dalam hal ini gereja) menjadi opium bagi pemiliknya. Di mana ada
kenyamanan dan mampu meninggalkan kegelisahan duniawi meskipun hal ini hanya
berlangsung sebentar saja.
77
Dengan demikian, hal inilah yang dikatakan rumah Tuhan (gedung ibadah) sebagai
ruang alienasi sosial bagi setiap individu yang berjuang membangun gedung ibadah demi
mendapatkan ketentraman meskipun di tengah realitas sosial. Warga gereja GMIT Jemaat
Zaitun berupaya dan antusias membangun gedung ibadah karena mereka memahami,
bahwa gedung ibadah yang megah dan bagus akan memberikan kedamaian bagi mereka.
Tidak saja kedamaian yang didapatkan, tetapi dengan gedung ibadah yang bagus akan
memotivasi anggota jemaat untuk rajin bergereja, dan dengan begitu pertumbuhan iman
akan semakin berjalan dengan baik.
Di samping menjadikan gedung ibadah sebagai tempat sakral yang meningkatkan
nilai spiritual, gedung ibadah juga dipandang sebagai icon kebanggaan warga gereja dan
juga bagi seluruh masyarakat desa Tuapukan. Kehadiran gedung ibadah yang megah
merupakan kebanggaan dan sebuah prestasi yang mengangkat nama baik desa Tuapukan,
karena kebanggaan ini paling tidak dapat membuat masyarakat desa Tuapukan
“menghilangkan” persoalan kemiskinan yang adalah realitas sosial.
Gedung ibadah dibangun sebagai ruang alienasi sosial bagi warga gereja dalam
upaya mengasingkan diri mereka dari realitas sosial yang sebenarnya adalah bagian dalam
kehidupan mereka. Gedung ibadah sebagai ruang alienasi sosial, karena di dalam gedung
ibadah dapat memberikan kesempatan kepada warga gereja untuk melepaskan segala
pergumulan hidup yang mereka rasakan. Ada kenyamanan yang mereka temukan
meskipun hal ini hanya berlangsung satu sampai dua jam. Dalam hal ini, gereja perlu
kembali melihat visi dan misi kehadirannya di tengah dunia. Gereja perlu melakukan
redefinisi tentang gereja, sehingga dengan mentransformasi pemahaman warga gereja
tentang pemanfaatan gedung ibadah maka hal ini akan berdampak baik pada sikap warga
gereja dalam hidup bergereja.
77
Sebagaimana yang diupayakan Gustavo Gutierrez dalam mewujudkan teologi
pembebasan di tengah realitas sosial di Amerika Latin, maka hal ini juga yang kembali
perlu dilakukan oleh gereja di tengah persoalan sosial seperti kemiskinan. Teologi
pembebasan merupakan suatu lompatan iman ke tempat yang lebih dalam, yakni
bagaimana memaknai sabda Allah dalam konteks kehidupan manusia yang ditandai dengan
kemiskinan dan penderitaan. Dengan kata lain, teologi pembebasan membawa manusia
untuk ada pada suatu praksis (menghidupi realitas yang dialami) dan kemudian mencapai
sebuah refleksi yang mampu memberikan jalan keluar atas apa yang dialami. Melihat
persoalan sosial seperti kemiskinan yang ada di tengah kehidupan masyarakat desa
Tuapukan, maka melalui teologi pembebasan gereja hadir untuk memberikan jalan keluar
yang mampu memerangi kemiskinan. Syalom Allah atau Kerajaan Allah tidak semata
hanya dapat dinyatakan melalui upaya pembangunan gedung ibadah yang megah, tetapi
juga melalui perubahan sosial seperti persoalan kemiskinan di desa Tuapukan.
77
PENUTUP
I. KESIMPULAN
Pembangunan gedung ibadah merupakan sikap antusias warga gereja yang begitu
fenomenal di kalangan GMIT. Dikatakan fenomenal, karena GMIT pada umumnya
memberikan perhatian khusus dalam hal pembangunan fisik (gedung ibadah) dibandingkan
mengadakan upaya-upaya untuk melakukan pembangunan jemaat atau
mengadakan
pemberdayaan demi memerangi persoalan kemiskinan yang adalah realitas sosial.
Pembangunan gedung ibadah begitu diperhatikan, karena gedung ibadah dimaknai sebagai
rumah Tuhan yang memberikan ruang bagi setiap individual yang datang bersekutu dan
membangun hubungan serta kedekatan antara manusia dengan Tuhan dan manusia dengan
sesamanya.
Selain gedung ibadah dimaknai sebagai rumah Tuhan yang mampu memberikan
ruang persekutuan yang sakral, di dalam gedung ibadah juga dapat membangun iman bagi
setiap anggota gereja. Gedung ibadah tidak saja sebagai ruang persekutuan yang dinilai
sakral, tetapi gedung ibadah juga dipahami sebagai rumah Tuhan yang dapat memberikan
kedamaian dan ketentraman bagi setiap individual yang hadir di dalam. Sikap antusias
membangun gedung ibadah meskipun di tengah persoalan kemiskinan, karena menurut
warga gereja di dalam gedung ibadah dapat memberikan hal-hal yang tidak ditemukan oleh
mereka di luar kehidupan bergereja. Hal tersebut yang terjadi sebagaimana dikatakan
Marx, bahwa agama (dalam hal ini gereja) menjadi opium bagi pemiliknya. Di mana ada
kenyamanan dan mampu meninggalkan kegelisahan duniawi meskipun hal ini hanya
berlangsung sebentar saja.
77
Dengan demikian, hal inilah yang dikatakan rumah Tuhan (gedung ibadah) sebagai
ruang alienasi sosial bagi setiap individu yang berjuang membangun gedung ibadah demi
mendapatkan ketentraman meskipun di tengah realitas sosial. Warga gereja GMIT Jemaat
Zaitun berupaya dan antusias membangun gedung ibadah karena mereka memahami,
bahwa gedung ibadah yang megah dan bagus akan memberikan kedamaian bagi mereka.
Tidak saja kedamaian yang didapatkan, tetapi dengan gedung ibadah yang bagus akan
memotivasi anggota jemaat untuk rajin bergereja, dan dengan begitu pertumbuhan iman
akan semakin berjalan dengan baik.
Di samping menjadikan gedung ibadah sebagai tempat sakral yang meningkatkan
nilai spiritual, gedung ibadah juga dipandang sebagai icon kebanggaan warga gereja dan
juga bagi seluruh masyarakat desa Tuapukan. Kehadiran gedung ibadah yang megah
merupakan kebanggaan dan sebuah prestasi yang mengangkat nama baik desa Tuapukan,
karena kebanggaan ini paling tidak dapat membuat masyarakat desa Tuapukan
“menghilangkan” persoalan kemiskinan yang adalah realitas sosial.
Gedung ibadah dibangun sebagai ruang alienasi sosial bagi warga gereja dalam
upaya mengasingkan diri mereka dari realitas sosial yang sebenarnya adalah bagian dalam
kehidupan mereka. Gedung ibadah sebagai ruang alienasi sosial, karena di dalam gedung
ibadah dapat memberikan kesempatan kepada warga gereja untuk melepaskan segala
pergumulan hidup yang mereka rasakan. Ada kenyamanan yang mereka temukan
meskipun hal ini hanya berlangsung satu sampai dua jam. Dalam hal ini, gereja perlu
kembali melihat visi dan misi kehadirannya di tengah dunia. Gereja perlu melakukan
redefinisi tentang gereja, sehingga dengan mentransformasi pemahaman warga gereja
tentang pemanfaatan gedung ibadah maka hal ini akan berdampak baik pada sikap warga
gereja dalam hidup bergereja.
77
Sebagaimana yang diupayakan Gustavo Gutierrez dalam mewujudkan teologi
pembebasan di tengah realitas sosial di Amerika Latin, maka hal ini juga yang kembali
perlu dilakukan oleh gereja di tengah persoalan sosial seperti kemiskinan. Teologi
pembebasan merupakan suatu lompatan iman ke tempat yang lebih dalam, yakni
bagaimana memaknai sabda Allah dalam konteks kehidupan manusia yang ditandai dengan
kemiskinan dan penderitaan. Dengan kata lain, teologi pembebasan membawa manusia
untuk ada pada suatu praksis (menghidupi realitas yang dialami) dan kemudian mencapai
sebuah refleksi yang mampu memberikan jalan keluar atas apa yang dialami. Melihat
persoalan sosial seperti kemiskinan yang ada di tengah kehidupan masyarakat desa
Tuapukan, maka melalui teologi pembebasan gereja hadir untuk memberikan jalan keluar
yang mampu memerangi kemiskinan. Syalom Allah atau Kerajaan Allah tidak semata
hanya dapat dinyatakan melalui upaya pembangunan gedung ibadah yang megah, tetapi
juga melalui perubahan sosial seperti persoalan kemiskinan di desa Tuapukan.
77