Pengaruh Modifikasi Pola Hidup Medis Dengan Atau Tanpa Metformin Terhadap Kadar Asymmetrical Dimethyl Arginine (ADMA) Pada Penderita Obesitas

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ADMA

ADMA merupakan sebuah asam amino alami yang berasal dari intraseluler dan bersirkulasi dalam plasma, diekskresikan dalam urin, dan ditemukan pada jaringan dan sel. Asam amino ini menarik perhatian karena dapat menghambat NOS dan dengan demikian memiliki potensi untuk menghasilkan efek-efek biologis yang signifikan, khususnya dalam sistem kardiovaskular.

ADMA disintesis ketika residu-residu arginin dalam protein dimetilasi (ditambahkan gugus metil) oleh protein arginin metiltransferase (PRMT). Metilasi arginin protein merupakan sebuah modifikasi pasca-translasi yang menambahkan 1 atau 2 gugus metil ke nitrogen guanidin dari arginin yang direkrut ke dalam protein. Ada 2 tipe umum dari PRMT: tipe 1 mengkatalisis pembentukan ADMA, sedangkan tipe 2 menyumbangkan gugus metil (metilasi) ke nitrogen guanidino sehingga menghasilkan pembentukan symmetrical dimethyl

arginine (SDMA). Kedua tipe PRMT ini, yang memiliki beberapa isoform, juga

bisa menyumbangkan hanya satu gugus metil yang menghasilkan pembentukan

L-NG-monometil-arginin (L-NMMA). Apabila protein telah dihidrolisis, methyl arginine (MA) bebas muncul dalam sitosol. Arginin dengan gugus metil asimetris

(ADMA dan L-NMMA) merupakan inhibitor NOS, sedangkan SDMA tidak. 20,22

Arginine akan mengalami metilasi jika bergabung membentuk peptida dan berikatan menjadi protein, dan MA ini akan mengalami demethylated setelah dilepaskan saat proses katabolisme protein berlangsung. Protein yang mengandung MA saat ini diketahui memegang beberapa peran penting terutama dalam hal regulasi antara lain proses selular yang fundamental seperti prosesing

Ribo Nucleic Acid (RNA), regulasi transkripsi, transduksi sinyal dan perbaikan Deoxyribo Nucleic Acid (DNA). Salah satu efek yang banyak dipelajari mengenai free MA yang dilepaskan akibat proses proteolisis adalah efeknya terhadap NO.

22


(2)

Gambar 2.1 Metabolisme ADMA dan mekanisme penghambatan degradasi ADMA oleh berbagai faktor risiko penyakit kardiovaskular13

NO disintesa dari asam amino L-Arginine oleh bantuan enzym NOS pada sel endotel vaskular. NO memiliki efek vasodilator kuat dan berperan penting dalam menurunkan kekakuan arteri.23 Selain perannya dalam meregulasi tonus vaskular, NO juga berperan dalam menghambat agregasi trombosit menghambat adhesi monosit dan leukosit ke endotelium, menghambat proliferasi sel otot polos, menghambat oksidasi LDL, berperan dalam neurotransmisi dan imunitas.24 NO yang berasal dari endotelium juga menghambat inflamasi vaskular dengan menekan ekspresi dan aktivitas molekul adhesi dan chemokin. Beragam fungsinya tersebut menjadikan NO sebagai molekul anti atherosklerotik endogen yang signifikan. Dan reduksi NO dapat mengakibatkan disfungsi endotel dan peningkatan resiko untuk terjadinya penyakit kardiovaskular.

Peran ADMA yang dapat menghambat NOS akan menghasilkan efek-efek peningkatan tekanan darah, menyebabkan vasokonstriksi, mengganggu relaksasi tergantung kalsium, dan meningkatkan perlekatan sel endotelium. Ekstrapolasi


(3)

dari inhibitor NOS lain menunjukkan bahwa keterpaparan jangka panjang terhadap ADMA diduga meningkatkan aterogenesis dan menghasilkan kerusakan hipertensif berlanjut pada organ-organ akhir.Sebuah studi multisenter CARDIAC yang bertujuan untuk mengevaluasi hubungan antara level ADMA plasma dan resiko penyakit jantung koroner mendapatkan manifestasi penyakit kardiovaskular jika dihubungkan dengan faktor resiko lain seperti hipertensi, hiperkolesterolemia, diabetes mellitus dan merokok ternyata seiring dengan konsentrasi ADMA plasma yang tinggi. Konsentrasi ADMA lebih dari 1.75 micromoles/liter secara signifikan meningkatkan resiko, dan mendukung hipotesa bahwa ADMA dapat digunakan sebagai pertanda penyakit kardiovaskular yang baru. Namun keseluruhan studi tersebut harus dievaluasi dengan seksama, karena dilaksanakan pada kelompok pasien yang spesifik.

ADMA secara konstan diproduksi sebagai bagian dari turnover protein normal. Kondisi metabolisme normal membentuk ADMA sekitar 300 µmol/hari (sekitar 60 mg), dari jumlah ini sekitar 50 µmol/hari diekskresikan melalui urine, sehingga akan terjadi penumpukan ADMA pada penderita dengan gagal ginjal. Produksi ADMA diseimbangkan oleh degradasinya dengan bantuan DDAH membentuk citruline dan dimetilamine. Hambatan pada aktivitas DDAH menyebabkan akumulasi ADMA, menggangu sintesa NO dan menginduksi vasokonstriksi. Gangguan pada aktivitas DDAH adalah mekanisme utama dimana faktor resiko kardiovaskular merusak jalur NOS. Aktivitas DDAH ini diganggu oleh stress oksidatif, mengakibatkan akumulasi ADMA. Stimulus patologis menginduksi stres oksidatif endotel seperti cholesterol LDL teroksidasi, cytokine inflammatory, hiperhomosisteinemia, hiperglikemi, dan infeksi. Masing-masing stimulus tersebut melemahkan aktivitas DDAH in vitro dan in vivo. Lemahnya DDAH memungkinkan ADMA untuk terakumulasi dan memblok sintesa NO.

20

Diagram yang menggambarkan hubungan berbagai faktor-faktor resiko penyakit kardiovaskular termasuk obesitas terhadap kadar ADMA sehubungan dengan jalur NOS/DDAH dalam patofisiologi penyakit kardiovaskular dapat dilihat pada gambar 2.3.

25


(4)

Gambar 2.2 Peran ADMA27

Beberapa penelitian menyatakan kadar ADMA pada penderita obesitas lebih tinggi dibandingkan kadar nya pada orang normal. Seperti studi yang dilakukan oleh Koc F et al di Turki pada 30 subjek obesitas normotensi dan 20 orang sehat sebagai kontrol, mendapatkan kadar ADMA lebih tinggi secara signifikan pada kelompok obesitas normotensi dibandingkan kelompok kontrol. Dan didapati korelasi yang lemah namun signifikan secara statistik dalam hal hubungan kadar ADMA serum dengan lingkar pinggang. Dan hal ini dapat dipertimbangkan sebagai suatu hal yang penting dalam perkembangan penyakit kardiovaskular dimasa mendatang pada subjek dengan obesitas.

Begitu pula hasil studi oleh Marliss EB et al yang menemukan bahwa obesitas, jenis kelamin, dan penuaan mempengaruhi kadar MA. Dan peningkatan tiga jenis MA (terutama ADMA) pada pasien obesitas serta kadar ADMA pada usia tua berhubungan dengan peningkatan turnover protein dan sensitivitas insulin yang lebih sedikit terhadap metabolisme protein.

11


(5)

Eid HM melaporkan bahwa kadar ADMA lebih tinggi pada pria usia tua dibandingkan pada pria kurus yang berusia muda, dan bahkan kadar ADMA lebih meningkat pada mereka yang obesitas. Perlu diingat bahwa kemungkinan adanya perubahan pada komposisi tubuh seiring dengan proses penuaan, terutama peningkatan proporsi jaringan adipositlah yang bertanggung jawab terhadap hasil penelitian tersebut.

Hal ini sejalan dengan yang dilaporkan oleh Spoto B et al pada studinya yang dipublikasikan pada tahun 2007. Spoto B et al meneliti tentang adiposit dan ADMA, dan mendapatkan bahwa adiposit manusia memproduksi ADMA dan dikatakan adiposit ini mengekspresikan keseluruhan mesin enzimatik (gen) yang bertanggung jawab terhadap metabolisme ADMA baik sintesis maupun degradasinya. Studi mengenai implikasi dari penemuan ini akan sangat bermanfaat untuk menjelaskan peran ekspansi massa lemak pada berbagai penyakit.

28

Namun demikian, mekanisme pasti peningkatan kadar ADMA pada plasma pasien-pasien dengan obesitas masih belum diketahui. Mekanisme utama yang berperan dalam hal konsentrasi ADMA dalam plasma adalah regulasi oleh enzin pendegradasinya (DDAH). Sehingga kemungkinan besar peningkatan ini dimediasi oleh perubahan aktivitas DDAH. Gangguan pada aktivitas DDAH dapat disebabkan oleh stress oksidatif, sitokin-sitokin inflamasi dan hiperglikemia. Seperti tertera pada gambar 2.4. Stress oksidatif yang terjadi pada penderita obesitas dikatakan memodifikasi grup sulfhydryl yang penting pada bagian aktif dari enzim tersebut dan mungkin terlibat dengan beberapa aktivitas lain dari faktor-faktor lainnya yang mengakibatkan kadar ADMA dalam sirkulasi meningkat.

29


(6)

Gambar 2.3 Hubungan ADMA dan berbagai faktor resiko penyakit kardiovaskular.26


(7)

Krzyzanowska K et al mendapati bahwa penurunan konsentrasi ADMA yang sangat tinggi pada pasien morbid obese paralel dengan perbaikan parameter yang berhubungan dengan metabolik sindrom (BMI, kadar gula puasa, tekanan darah systole, insulin puasa, HOMA IR, HbA1c, Trygliserida, Cholesterol, HDL-kolesterol, LDL-HDL-kolesterol, hsCRP) setelah penurunan berat badan.

Studi lain oleh Heutling D et al mendapati bahwa ADMA dan parameter insulin sensitivity meningkat pada wanita dengan PCOS dan derajat resistensi insulin memberi pengaruh terbesar pada level ADMA. Terapi metformin memberikan perbaikan terhadap parameter hormonal dan metabolik serta menurunkan level ADMA pada pasien PCOS, hal ini kemungkinan karena perubahan metabolik dan IMT.

30

31

Gambar 2.4 Mekanisme peningkatan ADMA.10

2.2 Obesitas 2.2.1 Definisi

Secara fisiologis, obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau berlebihan di jaringan adiposa sehingga


(8)

dapat mengganggu kesehatan. Pada Obesitas merupakan suatu kelainan komplek pengaturan nafsu makan dan metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik spesifik. Faktor genetik diketahui sangat berpengaruh bagi perkembangan penyakit ini.5

Obesitas bukanlah suatu kelainan yang berdiri sendiri, namun merupakan suatu kelompok kondisi yang sangat heterogen dengan sebab yang beragam. Pada obesitas tubuh mengandung jaringan lemak berlebihan sehingga berat badan naik dan tidak sesuai lagi dengan tinggi badan. Berat badan sendiri ditentukan oleh interaksi antara genetik, lingkungan dan faktor psikososial melalui mediator-mediator fisiologis dalam hal pemasukan dan pengeluaran energi.

Pada pria kurus massa lemak tubuh berkisar 10-12%, dan 15-19% pada wanita. Sementara pada mereka yang mengalami obesitas dan morbid obese massa lemak tubuh mencapai 40-65%. Pada individu-individu yang mengalami obesitas ini, organ-organ didalam tubuhnya dikelilingi oleh jaringan adiposa dalam jumlah yang cukup besar. Jaringan adiposa ini sendiri diketahui juga mensekresikan berbagai sitokin-sitokin pro inflamasi yang nantinya akan dapat berkontribusi terhadap beragam penyakit, seperti yang tertera pada gambar 2.5.

32,33

2.2.2 Epidemiologi

33

Menurut data WHO pada tahun 2007, prevalensi obesitas dari beberapa negara bervariasi secara dramatis dan diduga diatas 1,7 miliar yang overweight dan 310 juta penderita obesitas.2 Menurut data lain dari NHANES tahun 2006 dinyatakan bahwa 72 juta orang dewasa di Amerika mempunyai IMT > 30 kg/m2 dan prevalensi penderita obesitas menetap dalam beberapa tahun terakhir, dengan prevalensi 31,1 % pada pria dan 33,2 % pada wanita.

Insiden obesitas di negara-negara berkembang juga semakin meningkat, sehingga saat ini banyaknya orang dengan obesitas di dunia hampir sama jumlahnya dengan mereka yang menderita kelaparan. Di Indonesia sendiri, walaupun belum ada penelitian epidemiologi yang baku mengenai obesitas, data yang ada saat ini ternyata menunjukkan terjadinya penambahan jumlah penduduk dengan obesitas, khususnya pada kota besar. Hal ini diwakili dengan hasil penelitian di Depok pada tahun 2003 yang mendapatkan 44 % orang dengan berat badan lebih dan obesitas,


(9)

dan angka ini ternyata meningkat tajam apabila dibandingkan dengan angka yang diperoleh pada tahun 1992 di Jakarta pusat sebesar 17,1 %.5

Gambar 2.5 Sitokin yang disekresikan oleh adiposit.33

2.2.3 Klasifikasi obesitas

Mengukur lemak tubuh secara langsung sangat sulit dan sebagai pengganti dipakai body mass index (BMI) atau indeks massa tubuh (IMT) untuk menentukan berat badan lebih dan obesitasitas pada orang dewasa.5


(10)

IMT merupakan indikator yang paling sering digunakan dan praktis untuk mengukur tingkat populasi berat lebih dan obesitas pada orang dewasa. Pengukuran ini merupakan langkah awal dalam menetukan derajat adipositas, dan dikatakan berkorelasi kuat dengan jumlah massa lemak tubuh.34,35 Untuk penelitian epidemiologi digunakan IMT atau indeks Quetelet yaitu berat badan dalam kg dibagi tinggi badan dalam meter kuadrat (m2). Karena IMT menggunakan tinggi badan,maka pengukurannya harus dilakukan dengan teliti.

Klasifikasi IMT yang direkomendasikan untuk digunakan adalah klasifikasi yang diadopsi dari the National Institute of Health (NIH) dan WHO, yang tertera pada tabel 1 dibawah ini. Definisi berat badan lebih dan obesitas sangat tergantung dengan ras. Klasifikasi NIH dan WHO sering digunakan untuk ras kulit putih, hispanik dan ras kulit hitam. Untuk ras Asia , dikatakan berat badan lebih apabila IMT antara 23 hingga 29,9 kg/m

5

2

dan obesitas apabila IMT > 30 kg/m2.34,35

Tabel 2.1. Klasifikasi berat badan lebih dan obesitas berdasarkan IMT.5

Kategori IMT (kg/m2)

Berat badan kurang < 18,5

Kisaran normal 18,5-24,9

Berat badan lebih > 25

Pra-Obesitas 25,0-29,9

Obesitas Tingkat I 30,0-34,9

Obesitas Tingkat II 35,0-39,9

Obesitas Tingkat III > 40,0

Wilayah Asia Pasifik pada saat ini telah menggunakan klasifikasi dan kriteria obesitas sendiri seperti yang terdapat didalam tabel 2.2. Satu hal yang perlu dicatat pada semua kriteria tersebut adalah bahwa obesitas (obesitas


(11)

diagnosis sindroma metabolik. Bahkan pada kriteria sindroma metabolik dari IDF , obesitas abdominal merupakan parameter yang mutlak diperlukan.

Selanjutnya untuk memahami mekanisme terjadinya obesitas lebih lanjut perlu pemahaman yang lebih. Tidak sekedar hanya semata-mata ketidak seimbangan antara energi asupan dan enrgi pengeluaran, namun juga proses yang mendasarinya. Telah diketahui bahwa regulasi energi pada tubuh manusia diperankan oleh otak melalui sistem saraf yang mempengaruhi kerja hormon dan sinyal yang terkait pada asupan nutrisi.36

Tabel 2.2. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas Berdasarkan IMT dan Lingkar Perut Menurut Kriteria Asia-Pasifik.5

Resiko Komorbiditas Klasifikasi IMT

(kg/m2

Lingkar )

Perut

< 90 cm (laki-laki) < 80 cm (wanita)

≥ 90 cm (laki-laki) ≥ 80 cm (wanita) Berat badan kurang < 18,5 Rendah (resiko

meningkat pada klinis lain

Sedang

Kisaran normal 18,5-22,5 Sedang Meningkat Berat badan lebih ≥ 23,0

Beresiko 23,0-24,9 Meningkat Moderat

Obesitas I 25,0-29,9 Moderat Berat


(12)

2.2.4 Obesitas dan Penyakit Kardiovaskular

Hubungan antara obesitas dan resiko kematian akibat penyakit kardiovaskular telah banyak dikonfirmasi oleh beragam studi, antara lain oleh suatu studi pada 8373 wanita finlandia berusia 30-59 tahun yang diikuti selama 15 tahun oleh Finnish Heart Study. Studi ini menemukan bahwa untuk setiap peningkatan berat badan sekitar 1 kg, resiko kematian akibat pembuluh darah koroner meningkat sebesar 1- 1,5 %. 37

Gambar 2.6 Patogenesis Intoleransi glukosa pada penderita obesitas.9

Obesitas juga berhubungan dengan peningkatan total volume darah dan

cardiac output dan penurunan resistensi pembuluh darah perifer. Total volume

darah meningkat sebanding dengan berat badan. Peningkatan volume darah ini berkontribusi terhadap peningkatan pre load ventrikel kiri jantung dan peningkatan resting cardiac output. Peningkatan kebutuhan akan cardiac output dicapai dengan meningkatkan stroke volume sementara denyut jantung cenderung tidak mengalami perubahan. Peningkatan stroke volume yang berhubungan dengan obesitas ini merupakan akibat dari peningkatan diastolic filling ventrikel


(13)

kiri dan dilatasi ventrikel kiri diikuti dengan hipertropi otot jantung yang seiring dengan pertambahan waktu akan menyebabkan gagal jantung. Massa ventrikel kiri meningkat sesuai dengan derajat peningkatan IMT atau derajat kelebihan berat badan, sedangkan derajat keparahan defek pada struktur dan fungsi jantung berhubungan dengan derajat dan durasi obesitas. Penurunan berat badan, khususnya pada obesitas berat akan memperbaiki struktur dan fungsi jantung.33 2.2.5 Manajemen Klinik Obesitas

Pemahaman tentang hubungan antara obesitas dan sindroma metabolik serta peranan otak dalam pengaturan energi, merupakan titik tolak yang penting dalam manjemen klinik. Pendekatan manajemen pola hidup merupakan dasar tidak hanya pada obesitas tapi juga pada sindroma metabolik. Penurunan berat badan 10-25% sudah memberikan perbaikan profil metabolik. Penanganan yang terintegrasi dalam manajemen berat badan mencakup diet, aktivitas fisik dan yang terpenting adalah perubahan perilaku.

Modifikasi gaya hidup merupakan terapi awal yang dilakukan pada pasien obesitas. Nurses Health Study dan the Health Professionals' Study melaporkan bahwa dengan peningkatan aktivitas fisik sedang (moderate) disamping masukan diet yang standar, selama 12 minggu atau lebih pada populasi beresiko diabetes akan menurunkan resiko sebesar 26 hingga 38 %.

17

Obat-obatan dapat diberikan sebagai bagian manajemen berat badan. Orlistat dan sibutramine adalah dua obat yang digunakan dalam manajemen berat badan yang telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat untuk penggunaan jangka panjang. Pada pasien dengan indikasi obesitas, keduanya sangat berguna. Namun pengawasan secara berkelanjutan oleh dokter sangat dibutuhkan untuk mengawasi tingkat efikasi dan keamanan.

15

Satu penelitian lain Biguanides and the Prevention of the Risk of Obesity (BIGPRO) juga mendapatkan hasil terjadinya perbaikan profil lipid dan IMT setelah diberikan metformin dengan dosis 2 x 850 mg dibandingkan dengan kelompok kontrol pada mereka dengan resiko kardiometabolik.

5

38

Dalam satu referensi dirangkumkan hasil beberapa studi penggunaan metformin pada penderita berat badan lebih dan obesitas seperti yang terdapat pada tabel berikut :


(14)

Tabel 2.3. Rangkuman beberapa penelitian Metformin pada obesitas.38

Kesemua penelitian penggunaan metformin pada populasi obesitas yang termasuk pada tabel diatas menggunakan IMT > 30 kg/m2 dan menggunakan klasifikasi obesitasitas menurut WHO. Terdapat juga satu penelitian yang dilakukan di China yang menggunakan metformin pada populasi obesitas dan hipertensi dengan IMT ≥ 25 kg/m 2, dengan suatu kesimpulan adanya perbaikan antropometri dan profil kadar glukosa puasanya.39


(1)

dan angka ini ternyata meningkat tajam apabila dibandingkan dengan angka yang diperoleh pada tahun 1992 di Jakarta pusat sebesar 17,1 %.5

Gambar 2.5 Sitokin yang disekresikan oleh adiposit.33

2.2.3 Klasifikasi obesitas

Mengukur lemak tubuh secara langsung sangat sulit dan sebagai pengganti dipakai body mass index (BMI) atau indeks massa tubuh (IMT) untuk menentukan berat badan lebih dan obesitasitas pada orang dewasa.5


(2)

IMT merupakan indikator yang paling sering digunakan dan praktis untuk mengukur tingkat populasi berat lebih dan obesitas pada orang dewasa. Pengukuran ini merupakan langkah awal dalam menetukan derajat adipositas, dan dikatakan berkorelasi kuat dengan jumlah massa lemak tubuh.34,35 Untuk penelitian epidemiologi digunakan IMT atau indeks Quetelet yaitu berat badan dalam kg dibagi tinggi badan dalam meter kuadrat (m2). Karena IMT menggunakan tinggi badan,maka pengukurannya harus dilakukan dengan teliti.

Klasifikasi IMT yang direkomendasikan untuk digunakan adalah klasifikasi yang diadopsi dari the National Institute of Health (NIH) dan WHO, yang tertera pada tabel 1 dibawah ini. Definisi berat badan lebih dan obesitas sangat tergantung dengan ras. Klasifikasi NIH dan WHO sering digunakan untuk ras kulit putih, hispanik dan ras kulit hitam. Untuk ras Asia , dikatakan berat badan lebih apabila IMT antara 23 hingga 29,9 kg/m

5

2

dan obesitas apabila IMT > 30 kg/m2.34,35

Tabel 2.1. Klasifikasi berat badan lebih dan obesitas berdasarkan IMT.5

Kategori IMT (kg/m2)

Berat badan kurang < 18,5

Kisaran normal 18,5-24,9

Berat badan lebih > 25

Pra-Obesitas 25,0-29,9

Obesitas Tingkat I 30,0-34,9

Obesitas Tingkat II 35,0-39,9

Obesitas Tingkat III > 40,0

Wilayah Asia Pasifik pada saat ini telah menggunakan klasifikasi dan kriteria obesitas sendiri seperti yang terdapat didalam tabel 2.2. Satu hal yang perlu dicatat pada semua kriteria tersebut adalah bahwa obesitas (obesitas abdominal) merupakan salah satu parameter yang penting dalam menegakkan


(3)

diagnosis sindroma metabolik. Bahkan pada kriteria sindroma metabolik dari IDF , obesitas abdominal merupakan parameter yang mutlak diperlukan.

Selanjutnya untuk memahami mekanisme terjadinya obesitas lebih lanjut perlu pemahaman yang lebih. Tidak sekedar hanya semata-mata ketidak seimbangan antara energi asupan dan enrgi pengeluaran, namun juga proses yang mendasarinya. Telah diketahui bahwa regulasi energi pada tubuh manusia diperankan oleh otak melalui sistem saraf yang mempengaruhi kerja hormon dan sinyal yang terkait pada asupan nutrisi.36

Tabel 2.2. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas Berdasarkan IMT dan

Lingkar Perut Menurut Kriteria Asia-Pasifik.5

Resiko Komorbiditas Klasifikasi IMT

(kg/m2

Lingkar )

Perut

< 90 cm (laki-laki) < 80 cm (wanita)

≥ 90 cm (laki-laki) ≥ 80 cm (wanita) Berat badan kurang < 18,5 Rendah (resiko

meningkat pada klinis lain

Sedang

Kisaran normal 18,5-22,5 Sedang Meningkat Berat badan lebih ≥ 23,0

Beresiko 23,0-24,9 Meningkat Moderat

Obesitas I 25,0-29,9 Moderat Berat


(4)

2.2.4 Obesitas dan Penyakit Kardiovaskular

Hubungan antara obesitas dan resiko kematian akibat penyakit kardiovaskular telah banyak dikonfirmasi oleh beragam studi, antara lain oleh suatu studi pada 8373 wanita finlandia berusia 30-59 tahun yang diikuti selama 15 tahun oleh Finnish Heart Study. Studi ini menemukan bahwa untuk setiap peningkatan berat badan sekitar 1 kg, resiko kematian akibat pembuluh darah koroner meningkat sebesar 1- 1,5 %. 37

Gambar 2.6 Patogenesis Intoleransi glukosa pada penderita obesitas.9

Obesitas juga berhubungan dengan peningkatan total volume darah dan cardiac output dan penurunan resistensi pembuluh darah perifer. Total volume darah meningkat sebanding dengan berat badan. Peningkatan volume darah ini berkontribusi terhadap peningkatan pre load ventrikel kiri jantung dan peningkatan resting cardiac output. Peningkatan kebutuhan akan cardiac output dicapai dengan meningkatkan stroke volume sementara denyut jantung cenderung tidak mengalami perubahan. Peningkatan stroke volume yang berhubungan dengan obesitas ini merupakan akibat dari peningkatan diastolic filling ventrikel


(5)

kiri dan dilatasi ventrikel kiri diikuti dengan hipertropi otot jantung yang seiring dengan pertambahan waktu akan menyebabkan gagal jantung. Massa ventrikel kiri meningkat sesuai dengan derajat peningkatan IMT atau derajat kelebihan berat badan, sedangkan derajat keparahan defek pada struktur dan fungsi jantung berhubungan dengan derajat dan durasi obesitas. Penurunan berat badan, khususnya pada obesitas berat akan memperbaiki struktur dan fungsi jantung.33

2.2.5 Manajemen Klinik Obesitas

Pemahaman tentang hubungan antara obesitas dan sindroma metabolik serta peranan otak dalam pengaturan energi, merupakan titik tolak yang penting dalam manjemen klinik. Pendekatan manajemen pola hidup merupakan dasar tidak hanya pada obesitas tapi juga pada sindroma metabolik. Penurunan berat badan 10-25% sudah memberikan perbaikan profil metabolik. Penanganan yang terintegrasi dalam manajemen berat badan mencakup diet, aktivitas fisik dan yang terpenting adalah perubahan perilaku.

Modifikasi gaya hidup merupakan terapi awal yang dilakukan pada pasien obesitas. Nurses Health Study dan the Health Professionals' Study melaporkan bahwa dengan peningkatan aktivitas fisik sedang (moderate) disamping masukan diet yang standar, selama 12 minggu atau lebih pada populasi beresiko diabetes akan menurunkan resiko sebesar 26 hingga 38 %.

17

Obat-obatan dapat diberikan sebagai bagian manajemen berat badan. Orlistat dan sibutramine adalah dua obat yang digunakan dalam manajemen berat badan yang telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat untuk penggunaan jangka panjang. Pada pasien dengan indikasi obesitas, keduanya sangat berguna. Namun pengawasan secara berkelanjutan oleh dokter sangat dibutuhkan untuk mengawasi tingkat efikasi dan keamanan.

15

Satu penelitian lain Biguanides and the Prevention of the Risk of Obesity (BIGPRO) juga mendapatkan hasil terjadinya perbaikan profil lipid dan IMT setelah diberikan metformin dengan dosis 2 x 850 mg dibandingkan dengan kelompok kontrol pada mereka dengan resiko kardiometabolik.

5

38

Dalam satu referensi dirangkumkan hasil beberapa studi penggunaan metformin pada penderita berat badan lebih dan obesitas seperti yang terdapat pada tabel berikut :


(6)

Tabel 2.3. Rangkuman beberapa penelitian Metformin pada obesitas.38

Kesemua penelitian penggunaan metformin pada populasi obesitas yang termasuk pada tabel diatas menggunakan IMT > 30 kg/m2 dan menggunakan klasifikasi obesitasitas menurut WHO. Terdapat juga satu penelitian yang dilakukan di China yang menggunakan metformin pada populasi obesitas dan hipertensi dengan IMT ≥ 25 kg/m 2, dengan suatu kesimpulan adanya perbaikan antropometri dan profil kadar glukosa puasanya.39


Dokumen yang terkait

Pengaruh Modifikasi Pola Hidup Medis Dengan Atau Tanpa Metformin Terhadap Kadar Asymmetrical Dimethyl Arginine (ADMA) Pada Penderita Obesitas

0 74 95

Pengaruh Modifikasi Pola Hidup Medis Dengan Atau Tanpa Metformin Terhadap Kadar Asymmetrical Dimethyl Arginine (ADMA) Pada Penderita Obesitas

0 35 97

Pengaruh Modifikasi Pola Hidup Medis Dengan Atau Tanpa Metformin Terhadap Kadar Asymmetrical Dimethyl Arginine (ADMA) Pada Penderita Obesitas

0 1 21

Pengaruh Modifikasi Pola Hidup Medis Dengan Atau Tanpa Metformin Terhadap Kadar Asymmetrical Dimethyl Arginine (ADMA) Pada Penderita Obesitas

0 0 2

Pengaruh Modifikasi Pola Hidup Medis Dengan Atau Tanpa Metformin Terhadap Kadar Asymmetrical Dimethyl Arginine (ADMA) Pada Penderita Obesitas

0 0 7

Pengaruh Modifikasi Pola Hidup Medis Dengan Atau Tanpa Metformin Terhadap Kadar Asymmetrical Dimethyl Arginine (ADMA) Pada Penderita Obesitas

0 1 5

Pengaruh Modifikasi Pola Hidup Medis Dengan Atau Tanpa Metformin Terhadap Kadar Asymmetrical Dimethyl Arginine (ADMA) Pada Penderita Obesitas

0 2 22

Pengaruh Modifikasi Pola Hidup Medis Dengan Atau Tanpa Metformin Terhadap Kadar Asymmetrical Dimethyl Arginine (ADMA) Pada Penderita Obesitas

0 0 5

BAB I PENDAHULUAN - Pengaruh Modifikasi Pola Hidup Medis Dengan Atau Tanpa Metformin Terhadap Kadar Asymmetrical Dimethyl Arginine (ADMA) Pada Penderita Obesitas

0 0 7

Pengaruh Modifikasi Pola Hidup Medis Dengan Atau Tanpa Metformin Terhadap Kadar Asymmetrical Dimethyl Arginine (ADMA) Pada Penderita Obesitas

0 0 19