IJTIHAD BUDAYA DAN JIHAD BUDAYA
IJTIHAD BUDAYA DAN JIHAD BUDAYA
Ijtihad budaya yang dilakukan oleh para wali di Jawa dan luar Jawa tempo dulu,
sehingga berhasil mendakwahkan agama Islam (sebagai bagian dari strategi
Islamisasi) sampai ke dua jantung masyarakat sekaligus (kraton dan rakyat di
pelosok desa) telah menjadi legenda. Karya dakwah budaya para wali tersebut
sampai hari ini masih dapat dirasakan dan disaksikan hampir di semua tempat.
Lapis-lapis nilai budaya masyarakat Indonesia, dimana nilai Islam cukup dominan
sebagaimana diungkap oleh sejarawan Taufik Abdullah sampai hari ini masih
terasa ada. Semua ini membentuk apa yang disebut sebagai Indonesia hari ini.
Demikian juga jejak budaya Islam sebagaimana dicatat oleh Denys Lombart
memang diakui adanya. Jejak budaya tersebut, sebagaimana juga diteliti oleh
Muarif Ambary, dan oleh sekian peneliti sejarah dari berbagai negara, diakui
sebagai jejak yang amat dalam, menjadi satu kesatuan dari identitas Indonesia
sekarang ini.
Tentu saja prestasi dari ijtihad budaya itu memang tidak hanya tampak di Jawa
saja. Di seluruh kepulauan Nusantara, para wali atau para penyebar agama Islam
dulu, dengan strategi menjadikan Islam sebagai isi dan budaya lokal sebagai
wadah (ijtihad budaya) berhasil melakukan Islamisasi. Paling fisik dapat dilihat
bagaimana suku-suku atau etnik yang telah mengalami dan menerima Islamisasi
para wanitanya telah memakai busana adat yang menutup aurat. Berbeda dengan
suku atau etnik yang belum menerima Islamisasi secara suntuk. Jejak fisik berupa
peninggalan arsitektur Islam dan seni rupa Islam pun begitu amat banyak
mewarnai Indonesia, baik arsitektur kerajaan maupun masjid, makam, dilengkapi
dengan seni rupa seperti seni lukis kaca dan batik misalnya. Pada jejak yang non
fisik berupa konsep kerajaan, lengkap dengan nama gelar, peraturan, hukum dan
adat istiadat sangat diwarnai oleh nilai Islam. Demikian juga karya ide berupa
sastra,musik dan seni pertunjukan, dan jangan lupa karya bahasa berupa bahasa
Melayu yang egaliter, memiliki struktur terbuka dan akrab istilah yang berasal
dari ajaran Islam.
Sayang sekali ijtihad budaya para wali itu tidak dilanjutkan. Seperti ada
keterputusan sejarah. Ada kemandegan kreativitas dan hilangnya kesempatan
untuk menyempurnakannya. Justru yang kemudian terjadi adalah purifikasi
ajaran agama, dimana terjadi ‘pembersihan’ besar-besaran terhadap gejala budaya,
terutama budaya lokal. Kelompok Muhammadiyah melakukan purifikasi
kemudian menggantinya dengan hal-hal yang berbau modern, meski tidak selalu
berhasil. Sementara itu kelompok NU juga melakukan purifikasi dengan memilah
dan memilih kecenderungan budaya yang mereka nilai lebih Islami karena
menggunakan nada dan teks berbahasa Arab. Budaya etnik misalnya menjadi
terabaikan. Kurang tergarap dan terlantar.
Sekarang zaman sudah sangat berubah. Nasib budaya lokal belum lagi jelas, sudah
muncul budaya global yang dengan industri komunikasinya membolduser budaya
lokal atau budaya ‘nasional’ yang ada di seluruh pelosok bumi. Termasuk
Indonesia. Untuk menghadapi situasi seperti ini agaknya diperlukan kembali
ijtihad budaya yang baru. Bahkan juga jihad budaya. Lantas bagaimana caranya?
Itulah yang perlu terus-menerus dicari alternatifnya. (Bahan dan tulisan: tof)
Sumber: SM-06-2002
Ijtihad budaya yang dilakukan oleh para wali di Jawa dan luar Jawa tempo dulu,
sehingga berhasil mendakwahkan agama Islam (sebagai bagian dari strategi
Islamisasi) sampai ke dua jantung masyarakat sekaligus (kraton dan rakyat di
pelosok desa) telah menjadi legenda. Karya dakwah budaya para wali tersebut
sampai hari ini masih dapat dirasakan dan disaksikan hampir di semua tempat.
Lapis-lapis nilai budaya masyarakat Indonesia, dimana nilai Islam cukup dominan
sebagaimana diungkap oleh sejarawan Taufik Abdullah sampai hari ini masih
terasa ada. Semua ini membentuk apa yang disebut sebagai Indonesia hari ini.
Demikian juga jejak budaya Islam sebagaimana dicatat oleh Denys Lombart
memang diakui adanya. Jejak budaya tersebut, sebagaimana juga diteliti oleh
Muarif Ambary, dan oleh sekian peneliti sejarah dari berbagai negara, diakui
sebagai jejak yang amat dalam, menjadi satu kesatuan dari identitas Indonesia
sekarang ini.
Tentu saja prestasi dari ijtihad budaya itu memang tidak hanya tampak di Jawa
saja. Di seluruh kepulauan Nusantara, para wali atau para penyebar agama Islam
dulu, dengan strategi menjadikan Islam sebagai isi dan budaya lokal sebagai
wadah (ijtihad budaya) berhasil melakukan Islamisasi. Paling fisik dapat dilihat
bagaimana suku-suku atau etnik yang telah mengalami dan menerima Islamisasi
para wanitanya telah memakai busana adat yang menutup aurat. Berbeda dengan
suku atau etnik yang belum menerima Islamisasi secara suntuk. Jejak fisik berupa
peninggalan arsitektur Islam dan seni rupa Islam pun begitu amat banyak
mewarnai Indonesia, baik arsitektur kerajaan maupun masjid, makam, dilengkapi
dengan seni rupa seperti seni lukis kaca dan batik misalnya. Pada jejak yang non
fisik berupa konsep kerajaan, lengkap dengan nama gelar, peraturan, hukum dan
adat istiadat sangat diwarnai oleh nilai Islam. Demikian juga karya ide berupa
sastra,musik dan seni pertunjukan, dan jangan lupa karya bahasa berupa bahasa
Melayu yang egaliter, memiliki struktur terbuka dan akrab istilah yang berasal
dari ajaran Islam.
Sayang sekali ijtihad budaya para wali itu tidak dilanjutkan. Seperti ada
keterputusan sejarah. Ada kemandegan kreativitas dan hilangnya kesempatan
untuk menyempurnakannya. Justru yang kemudian terjadi adalah purifikasi
ajaran agama, dimana terjadi ‘pembersihan’ besar-besaran terhadap gejala budaya,
terutama budaya lokal. Kelompok Muhammadiyah melakukan purifikasi
kemudian menggantinya dengan hal-hal yang berbau modern, meski tidak selalu
berhasil. Sementara itu kelompok NU juga melakukan purifikasi dengan memilah
dan memilih kecenderungan budaya yang mereka nilai lebih Islami karena
menggunakan nada dan teks berbahasa Arab. Budaya etnik misalnya menjadi
terabaikan. Kurang tergarap dan terlantar.
Sekarang zaman sudah sangat berubah. Nasib budaya lokal belum lagi jelas, sudah
muncul budaya global yang dengan industri komunikasinya membolduser budaya
lokal atau budaya ‘nasional’ yang ada di seluruh pelosok bumi. Termasuk
Indonesia. Untuk menghadapi situasi seperti ini agaknya diperlukan kembali
ijtihad budaya yang baru. Bahkan juga jihad budaya. Lantas bagaimana caranya?
Itulah yang perlu terus-menerus dicari alternatifnya. (Bahan dan tulisan: tof)
Sumber: SM-06-2002