Aksara huruf lambang Jenis jenis tulisa

TULISAN MELAYU/INDONESIA AKSARA DALAM PERKEMBANGAN BUDAYA

Perkembangan tulisan dari abad ke abad erat hubungannya dengan perkembangan kebudayaan dan peradaban. Sejarah berbagai tulisan yang pernah digunakan di alam Nusantara dapat mengisi sebuah buku, tetapi buku itu masih perlu ditulis. Di bawah ini kami berusaha menyajikan sebuah deskripsi singkat dari topik tersebut sejauh mana berkaitan dengan terjemahan. Kaitan itu sangat nyata karena ketiga jenis tulisan utama yang dipakai, atau pernah dipakai, di Nusantara adalah tulisan asing (India, Arab, Eropa). Ketiganya adalah hasil sebuah pengalihan (dengan segala perubahan dan penyesuaian yang mutlak ada dalam semua pengalihan), dan masing-masing jenis tersebut diserap secara berturut-turut atas desakan yang sama yang juga membuahkan berbagai terjemahan. Setiap kali sebuah tulisan baru diserap, itu terjadi sebagai hasil suatu pengaruh budaya yang sangat besar, yang juga selalu menghasilkan penyerapan sejumlah kata asing dan penerjemahan sejumlah teks yang berkaitan dengan tulisan yang bersangkutan.

Sebagaimana akan dilihat mengenai tulisan Jawi dan Latin, pemu- ngutan sebuah sistem tulisan asing untuk menuliskan suatu bahasa, apalagi kalau mengganti sistem lain yang sudah ada, adalah tindak budaya yang bersifat ideologis, yakni ditentukan oleh dorongan agama atau politik. Setiap kali suatu bahasa Nusantara dituliskan dengan menggunakan sebuah sistem tulisan asing, maka jadilah bahasa itu menyandang sebuah identitas baru karena sedikit banyak terserap ke dalam alam budaya asing tersebut. Maka penerjemahan berbagai teks dari budaya asing itu ke dalam bahasa

Artikel ini pertama kali terbit sebagai bagian dari artikel gabungan, berjudul “Aksara, huruf, lambang: Jenis-jenis tulisan dalam sejarah”, yang ditulis bersama-sama dengan Roger Tol, Willem van der Molen & Uli Kozok, dalam

H. Chambert-Loir (ed.), Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia (2009b).

186 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

yang bersangkutan tampak wajar saja. Budaya asal dan budaya penerima berkerabat karena mempunyai sistem tulisan yang sama.

Jenis tulisan yang pertama diserap adalah tulisan asal India. Tulisan itu mula-mula dipakai untuk menulis bahasa Sanskerta, lalu juga untuk menulis berbagai bahasa lokal. Sebenarnya bahasa Sanskerta pernah digu- nakan di Indonesia secara cukup luas (lih. Radicchi 2009). Tempat dan peranan bahasa Sanskerta di Indonesia telah diteliti oleh Jan Gonda dalam sebuah karya agung (1952) dan baru-baru ini pengaruh bahasa Sanskerta atas bahasa Indonesia dibahas oleh Collins (2008).

Demikian pula, sekitar seribu tahun kemudian, tulisan Arab diserap setelah bahasa Arab masuk alam Nusantara bersamaan dengan penyebaran agama Islam. Bahasa Arab mempunyai pengaruh yang amat besar atas peradaban Nusantara dari masa itu sampai sekarang ini, dan kita boleh heran bahwa pengaruh tersebut belum pernah diteliti secara saksama. Sekitar enam abad kemudian, terseraplah tulisan Latin. Tetapi sekali ini, tidak terjadi penyerapan bahasa asing oleh karena orang Belanda tidak pernah berusaha menyebarkan bahasa mereka di Hindia Belanda.

Keanekaragaman jenis-jenis tulisan di atas, serta juga keanekaragaman alfabet yang dihasilkannya di Indonesia (paling sedikit untuk jenis India) bukan peristiwa unik dalam sejarah dunia. Situasi serupa pernah terjadi juga di Asia Tengah misalnya. Namun peristiwa ini merupakan ciri khas dari sejarah Nusantara karena sejarah tulisan mencerminkan sejarah politik dan agama. Sebagai contoh, penyerapan tulisan Arab pada abad ke-14 memisahkan secara tegas kelompok masyarakat yang meninggalkan tulisan mereka terdahulu (seperti orang berbahasa Melayu) dan kelompok- kelompok yang mempertahankan tulisan mereka (orang berbahasa Jawa, Sunda, Bali, Bugis, Makassar, Rencong, Batak). Lebih kemudian, sebagai salah satu dampak modernitas Barat, semua tulisan tersebut enyah terhalau oleh tulisan Latin.

Jenis tulisan yang pertama digunakan di Nusantara adalah tulisan asal India Selatan (tipe Pallava). Tulisan itu dipakai dalam prasasti berbahasa Sanskerta antara tahun k.l. 400 dan k.l. 750 dan juga dalam prasasti berbahasa Melayu Kuna mulai akhir abad ke-7. Mulai abad ke-8, sebuah jenis tulisan baru (dinamakan “Kawi”), hasil suatu perkembangan yang kiranya khas Jawa dan khusus disesuaikan untuk menulis di atas daun lontar, dipakai untuk menuliskan bahasa Sanskerta serta sejumlah bahasa lokal, yakni bahasa Jawa, Sunda dan Bali Kuna. Selanjutnya, seiring suatu perkembangan yang agak kabur, kedua tipe di atas (Pallava dan Kawi) membuahkan varian-varian daerah yang kadang amat berbeda-

Tulisan Melayu/Indonesia: Aksara dalam Perkembangan Budaya 187

beda dan digunakan untuk menuliskan berbagai bahasa: bahasa Sanskerta di Sumatra (tipe Malayu), aneka bahasa rumpun Batak di Sumatra Utara, aneka dialek Melayu di Sumatra Selatan (tipe Rencong dan lain-lain) serta bahasa Makassar dan Bugis di Sulawesi Selatan.

Sebelum menguraikan masing-masing tipe tersebut, perlu kiranya dipertanyakan sejauh mana dan oleh kelompok sosial mana berbagai tulisan di atas pernah digunakan. Pertanyaan ini hanya dapat dijawab secara samar, atas dasar beberapa petunjuk yang kurang memadai. A. Reid (1988: 215-

25) telah mengumpulkan sejumlah besar laporan (ditulis oleh penjelajah Eropa waktu itu) yang menunjukkan bahwa kemampuan menulis, berkat berbagai tipe tulisan asal India, tersiar secara luas di masyarakat sekitar tahun 1600 dan sepanjang abad ke-17 di Filipina seperti juga di Jawa dan Bali. Laporan serupa juga ada mengenai Lombok, Bali dan ranah Bugis pada abad ke-19.

Kenyataan ini sangat mengherankan, melihat tingkat kemampuan membaca-menulis (keberaksaraan) rakyat Indonesia dinilai rendah sekali dalam beberapa cacah jiwa awal abad ke-20. Sejumlah sarjana cenderung menaikan laporan­laporan di atas; kita boleh juga mempertanyakan ketepatan cacah jiwa tersebut, terutama di Hindia Belanda. Tetapi A. Reid mendukung data-data itu dengan satu tafsiran yang menarik: berbagai data di atas tidak bertentangan satu sama lain, dan perbedaan antara laporan abad ke-16 dan cacah jiwa abad ke-20 terjelaskan karena praktek menulis merosot antara kedua masa tersebut. Lebih jauh Reid mengutarakan sebuah teori yang berdasarkan beberapa patokan: di semua daerah yang bersangkutan, tulisan dipakai (di samping bidang agama) untuk dua tujuan: kebutuhan rumah tangga (pembukuan, catatan, utang-piutang) di satu pihak, penulisan surat cinta dan sajak kasih sayang di pihak lain. Wanita menulis lebih banyak daripada laki-laki. Orang belajar menulis di tengah keluarga. Tradisi menulis tersebut merosot dengan datangnya agama Islam sebab lomba sajak cinta jadi dilarang, sebab ibu-ibu dan gadis- gadis dikesampingkan dari dunia pendidikan tertulis, sebab pendidikan dilembagakan, dan sebab budaya tulis jadi terbatas pada bidang agama. Dalil-dalil Reid tersebut cukup meyakinkan karena bertopang pada beberapa kesaksian yang kiranya tidak terbantahkan, antara lain cacah jiwa Hindia Belanda tahun 1930 untuk Sumatra Selatan, kesaksian Matthes (1856) untuk Sulawesi Selatan dan laporan dua antropolog Amerika (pada tahun 1949 dan 1968) untuk suku Mangyan di Mindoro, Filipina. Di tengah suku Mangyan itu satu tulisan tipe ka-ga-nga masih dikuasai oleh kebanyakan orang dewasa pada masa itu (40 tahun lalu) karena digunakan

188 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

untuk menulis lagu-lagu cinta yang merupakan ciri utama kebudayaan mereka, khususnya selama perayaan panludan untuk menghormati para leluhur mereka sehabis panen (Reid 1988: 218-219).

Selanjutnya akan diuraikan perkembangan tulisan Arab dan Latin saja.

Tulisan Arab

Tulisan Arab pernah memainkan peran yang amat penting di dunia Nusantara karena merupakan satu-satunya cara menuliskan bahasa Melayu selama berabad-abad. Bahasa Melayu pada masa itu telah menjadi wahana segala jenis hubungan antara berbagai suku dan komunitas. Mula-mula bahasa perdagangan, kemudian menjadi bahasa pergaulan di seluruh Asia Tenggara bahari, sehingga wajar saja menjadi pula bahasa penyebaran dan pendidikan agama Islam. Dengan demikian perannya semakin penting, maka wajar pula dipilih sebagai bahasa administrasi kolonial, sehingga akhirnya dengan sendirinya dipilih juga sebagai bahasa nasional oleh kedua negara Indonesia dan Malaysia. Sejarah perkembangan bahasa

Melayu masih perlu ditulis 1 , tetapi perkembangan yang terus menerus itu (bahasa dagang, diplomasi, dakwah, administrasi, nasional) sangat jelas. Tulisan Arab terpilih untuk menuliskan bahasa Melayu, jelas karena alasan agama. Di seluruh dunia Islam tulisan Arab mempunyai dimensi sakral karena merupakan tulisan al-Qur’an. Di semua negeri yang tersentuh oleh agama Islam, tulisan Arab disebarkan bersama-sama dengan Kitab Suci, bahkan diangkat untuk menuliskan berbagai bahasa: bukan saja bahasa yang paling terkenal seperti bahasa Parsi, Turki (Osmanli dan Cagatay) dan Urdu, tetapi juga bahasa Afghan, Uygur, Tajik, Kirgiz, Uzbek di Asia Tengah; juga bahasa Berber dan Spanyol di Laut Tengah; bahasa Swahili, Hausa, Peul dan Kanuri di Afrika; bahasa Malagasi; dan beberapa yang lain.

Ketika membicarakan gejala ini secara umum, ahli Islam asal Prancis, Maxime Rodinson, mengomentari, “Tulisan Arab terpilih karena peran sosialnya, sebagai lambang bahwa teks yang bersangkutan termasuk peradaban yang ideologi sentralnya adalah agama Islam, dengan Kitab dan Nabi-nya. Maka boleh dikatakan bahwa tulisan bukan saja sebuah perangkat lambang, melainkan sebuah perangkat lambang kuadrat, karena bukan saja mewujudkan sebuah perangkat lambang yang lain yakni bahasa, tetapi juga sebagai gejala sosial, bahasa menjadi lambang khusus dalam suatu sistem lain yang tidak akan saya namakan di sini. Kiasan jenis

1 Beberapa pakar telah merintis jalan; lih. Teeuw (1959) dan Collins (1998).

Tulisan Melayu/Indonesia: Aksara dalam Perkembangan Budaya 189

ini terlalu sering dipakai dalam bidang sosiologi, tetapi sekali ini pada hemat saya hal itu tepat: tulisan merupakan lambang keikutsertaan dalam suatu peradaban yang terpusat pada suatu ideologi, yaitu pada masa yang bersangkutan, suatu agama.” (Rodinson 2005: 718-9).

Memilih bahasa Arab untuk menuliskan bahasa Melayu berarti menyatakan, dalam tulisan itu sendiri, dalam perwujudan teks, bahwa budaya Melayu ikut serta dalam peradaban Islam, bahkan berarti men- sakralkan bahasa Melayu dengan meminjam sebagian kesakralan bahasa Arab. Sebagai contoh saja, seorang Sultan Kerajaan Bima konon tahun 1055 H / 1645 M memerintahkan agar Kronik Istana (Bo’ Sangaji Kai) ditulis di atas kertas “dengan memakai bahasa Melayu dengan rupa tulisan yang diridlai Allah ta‘ala” (Chambert-Loir & Salahuddin 1999: xii).

Kata yang menunjukkan tulisan tersebut (dan bahasa Melayu dalam tulisan tersebut) adalah kata Jawi (Ar. Jâwî), yang berarti segala sesuatu yang dimiliki orang Jâwa, yakni orang Islam di Asia Tenggara.

Kala pertama kali memasuki dunia Nusantara, pada awal abad ke-16, orang Eropa melihat tradisi tulis Melayu/ Jawi sudah ada. Orang Belanda, yang mencapai Pulau Sumatra dan Jawa sekitar tahun 1600, segera mengumpulkan beberapa naskah, yang kini memberikan gambaran tentang keadaan tradisi Melayu pada saat itu. Naskah tersebut mengandung teks agama (mis. Kitab Aqa’id oleh Najm al­Din al­Nasai dari Asia Tengah, w. 1142, disalin dan diterjemahkan di Aceh tahun 1590; Burda oleh al-Busiri), tetapi juga teks sastra (seperti Hikayat Bayan Budiman, yang disalin dari bahasa Parsi sekitar 1600, dan Hikayat Sri Rama, disusun sebelum 1633,

disalin dari satu versi lisan India 2 ). Teks-teks tersebut membuktikan bahwa tradisi Jawi itu sudah mencapai tingkat perkembangan yang amat canggih pada masa itu. Kita bahkan mempunyai contoh yang lebih lama lagi. Sebuah surat sepanjang satu meter lebih, dihiasi dan ditulis dengan khat indah, yang dikirim oleh Sultan Aceh Iskandar Muda kepada Raja Inggris James I, patut dipandang sebagai sebuah karya seni. Dalam kronik Melaka (Sulalat al-Salatin) disebut koleksi naskah Sultan Melaka pada tahun 1511. Penyair sui dari Barus (Sumatra Utara), Hamzah Fansuri, yang melahirkan beberapa buah syair yang indah, ternyata meninggal pada tahun 1527. Tradisi Jawi tidak mungkin tidak lahir jauh sebelumnya, pada masa awal islamisasi, yaitu pada abad ke-13. Teks-teks pertama dari tradisi klasik Melayu (Hikayat Pandawa Jaya, Hikayat Sri Rama, Hikayat

2 Mengenai masing-masing teks pertama, ketiga dan keempat, lih.: al-Attas (1988) dan Hashim (2003: 107-117); Hashim (2003: 117-128); Hashim (2003: 141-148).

190 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Iskandar Zulkarnain dan beberapa yang lain, semuanya berupa terjemahan) diperkirakan disusun di Pasai pada abad ke-14.

Kita semestinya harus mencari akar tradisi tulis Melayu lebih jauh dalam sejarah. Ternyata, tradisi tersebut tidak berkeputusan antara abad ke-7 (masa prasasti Srivijaya dalam bahasa Melayu Kuna) dan abad ke-14 (masa muncul teks Melayu klasik dan contoh tulisan Jawi yang pertama). Dengan demikian, sudah jelas bahasa Melayu ditulis secara terus menerus mulai abad ke-7 sampai kini. Tetapi perlu diperhatikan juga bahwa bahasa Melayu Kuna yang ditulis sampai abad ke-14 misalnya dalam naskah Tanjung Tanah dari Kerinci dan prasasti Minye Tujuh dekat Lhok Seumawe, Aceh) atau bahkan abad ke-15 (prasasti Pengkalan Kempas) sangat berbeda dengan bahasa Melayu klasik yang mulai digunakan dalam naskah-naskah pada abad ke-14. Ini berarti ada dua ragam bahasa Melayu tertulis. Bagaimanapun juga, sudah pasti bahasa Melayu klasik dalam karya-karya abad ke-14 – 15 menampakkan tingkat kecanggihan yang begitu mempesonakan oleh karena para penulis Pasai yang bertugas menerjemahkan karya-karya klasik asing dalam bahasa Melayu bertulisan Jawi tidak berangkat dari bahasa kacukan yang umum dipakai di pelabuhan. Mereka sebaliknya mewarisi sebuah tradisi berabad-abad dalam tulisan lain. Dengan kata lain, terangkatnya tulisan Arab untuk menuliskan bahasa Melayu bukan berarti bahwa bahasa Melayu baru pindah status dari bahasa lisan ke bahasa tulis, melainkan bahwa terjadi pergantian jenis tulisan secara berangsur-angsur.

Teks pertama yang kita kenal dalam tulisan Jawi adalah prasasti tahun 1303 yang terkenal dengan nama Batu Terengganu. Sedangkan teks terakhir yang kita kenal dalam tulisan tipe India (disebut tipe “Malayu”) adalah prasasti lain dari tahun 1460-an yang terdapat di Pengkalan Kempas, dekat Melaka (lih. Casparis 1980). Kedua prasasti itu kebetulan berasal dari Semenanjung Melayu tetapi tradisinya pasti bersamaan juga di Pulau Sumatra. Di tengah-tengah jangka waktu kedua prasasti di atas, satu prasasti lain dari Minye Tujuh di Aceh, berangka tahun 1380, tertulis dalam bahasa Melayu bertulisan tipe India dan sekaligus bahasa Arab bertulisan Arab (lih. Molen 2007). Ketiga contoh ini memperlihatkan bahwa tulisan India dan Jawi bersanding selama satu setengah abad lebih.

Mulai abad ke-15 bahasa Melayu hanya ditulis dengan tulisan Jawi dan kebiasaan menulis tersebut menyebar ke seluruh dunia Nusantara. Pusat produksi sastra Melayu mula-mula terdapat di Pasai pada abad ke-

14, di Melaka pada abad ke-15, di Aceh pada abad ke-17, dan semakin lama semakin menyebar ke semua pesisir dan pelabuhan yang ramai

Tulisan Melayu/Indonesia: Aksara dalam Perkembangan Budaya 191

Baru Terengganu bertulisan Jawi, tahun 1303.

192 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

perdagangannya. Gejala yang terpenting dalam hal penyebaran itu, ialah bahasa Melayu tulisan itu sama saja dari Aceh sampai Sulawesi kendatipun sejumlah teks terpengaruh oleh bahasa lokal. Sebuah survai atas koleksi- koleksi naskah terbesar yang ada sekarang ini (Chambert-Loir 2006b) menunjukkan bahwa pada abad ke-19, naskah-naskah Melayu ditulis di seantero Kepulauan Indonesia (termasuk kota-kota yang dikira asing pada dunia “Melayu” seperti Bukittinggi, Bengkulu, Cianjur, Cirebon, Semarang, Buleleng, Gorontalo dan Manado) oleh karena – ini sesuatu yang kurang diperhatikan dalam buku-buku pegangan tentang sejarah sastra Melayu – kesusasteraan Melayu tersebar, ditulis, disalin dan dibaca (atau didengarkan) di semua daerah yang mempunyai komunitas Islam. Survai di atas juga memperlihatkan bahwa pusat penulisan sastra yang paling produktif adalah Batavia, sedangkan Mekah merupakan juga pusat produksi yang penting, sedikitnya untuk teks agama Islam.

Selama berabad-abad menjadi bahasa dagang, diplomasi, agama dan budaya di daerah-daerah yang amat berjauhan (misalnya di Aceh dan di Bima, Pulau Sumbawa, pada saat yang sama, di pertengahan abad ke- 17), sedangkan teks-teks bertulisan Jawi (terutama teks agama, sastra, sejarah dan undang-undang) berlalu-lalang dengan giat di antara berbagai daerah tersebut, bahasa Melayu dan tulisan Jawi memberikan sebuah identitas bersama kepada semua suku yang berlainan dan berjauhan itu. Perbandingan dengan situasi masa kini dapat bantu membayangkan peranan bahasa Melayu dan tulisan Jawi, baik atas situasi kedwibahasaan maupun atas penyebaran sebuah budaya persatuan. Kalau pada masa kini kebanyakan penduduk Indonesia mempunyai sebuah bahasa ibu yang digunakan dalam segala jenis situasi informal di samping sebuah bahasa resmi yang merupakan salah satu unsur pemersatu mereka sebagai bangsa, maka pada masa lalu pun orang-orang muslim di Nusantara mempunyai sebuah bahasa ibu untuk keperluan sehari-hari dan sebuah bahasa budaya yang merupakan salah satu unsur permersatu mereka sebagai umat.

Tambahan pula, tulisan Jawi memperbolehkan variasi dialek tertentu (tiadanya huruf vokal memudahkan pelafalan yang berlainan; misalnya sebuah vokal akhir yang tidak tertulis dapat diucapkan /o/ di Sumatra Barat, /a/ di Sumatra Selatan, /e/ di Semenanjung Melayu dan /é/ di Batavia) atau malah variasi kosakata tertentu (dalam bahasa Aceh, Minangkabau dan Banjar, sejumlah kata tertulis sesuai dengan ejaan Melayunya padahal pengucapan lokalnya berbeda jauh). Dengan demikian, tulisan Jawi menyatukan semua suku berbahasa Melayu.

Sistem tulisan Jawi amat sederhana, malah boleh dikatakan terlalu sederhana. Maksudnya, tulisan Arab tidak begitu sesuai untuk menuliskan

Tulisan Melayu/Indonesia: Aksara dalam Perkembangan Budaya 193

Satu halaman Bo’ Sangaji Kai, kronik sejarah istana Bima, abad ke-19.

194 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Surat Abdullah bin Abdulkadir Munsyi kepada Prof. Edouard Dulaurier di Paris, 1847.

Tulisan Melayu/Indonesia: Aksara dalam Perkembangan Budaya 195

Satu halaman naskah Hikayat Nakhoda Asik salinan Muhammad Bakir (Perpusnas, ML 261), tahun 1890.

196 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

bahasa Melayu disebabkan dua alasan: pertama, fonologi bahasa Arab; kedua, dasar ejaan bahasa Arab. Dari segi fonologi, tulisan Arab hanya melambangkan tiga fonem vokal (/a/, /i/, /u/), sehingga tidak dapat membedakan fonem Melayu /e/, /i/ dan /ai/ ataupun /o/, /u/ dan /au/. Tulisan Arab mempunyai beberapa huruf yang berbentuk sama, hanya dibedakan dengan jumlah titik yang ada di atas atau di bawahnya (misalnya huruf ‘b’, ‘t’ dan ‘th’ hanya beda jumlah titiknya; lih. Tabel.

Berbagai bahasa non-Arab yang mengadopsi tulisan Arab memanfaatkan ciri itu, yaitu menciptakan huruf baru hanya dengan menambah titik pada huruf yang sudah ada. Bahasa Parsi dan Turki umpamanya menciptakan lambang fonem tch /č/, dj /ž/ dan g /g/ dengan menambah tiga titik pada huruf ha, ra dan kaf. Penciptaan yang lebih rumit terdapat dalam bahasa Urdu dan Afghan. Dalam tulisan Jawi, lima huruf baru diciptakan dengan sistim titik tambahan itu, yaitu huruf c, h, g, p, ñ (lih. Tabel berikut). Prasasti Terengganu yang disebut di atas tidak memakai semua tanda diakritis tulisan Jawi, namun dapat diduga bahwa kelima huruf baru sudah berwujud pada waktu itu, yaitu pada tahun 1303.

g p ñ Kedua, soal ejaan. Ejaan bahasa Arab yang pada prinsipnya tidak

lengkap (vokal pendek tidak tertulis) tidak cocok dengan bahasa Melayu, yang tidak kenal oposisi antara vokal panjang dan pendek. Akibatnya, sistem ejaan Jawi (Melayu) tidak berdasarkan prinsip yang mutlak dan sederhana seperti bahasa Arab, melainkan sewenang-wenang dan labil,

Tulisan Melayu/Indonesia: Aksara dalam Perkembangan Budaya 197

maka sistem Jawi juga terus saja berubah dan tidak pernah mempunyai kaidah yang dapat dipegang sebagai patokan baku. Menemukan kata yang ditulis dengan dua atau tiga cara berlainan dalam satu naskah bukan hal langka. Sebaliknya kata-kata serapan Arab dalam bahasa Melayu (sebagaimana juga dalam bahasa-bahasa Islam lainnya) umumnya tetap dituliskan sesuai dengan ejaan aslinya, meskipun ucapan lokalnya kadang- kadang jauh berbeda (mis. ḍuhur > lohor, farḍu > perlu, fatwa > petuah).

Berbagai kesulitan tersebut bukan khas Melayu saja. Penulisan beberapa bahasa lain di dunia pernah menimbulkan masalah yang serupa. Ini bahkan salah satu sebab bahasa Melayu, seperti juga bahasa Turki, akhirnya meninggalkan tulisan Arab dan mengangkat tulisan Latin pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 di bawah pengaruh arus modernitas Eropa.

Tidak diketahui dalam konteks mana bahasa Melayu mulai ditulis dengan huruf Arab. Dapat diperkirakan bahwa teks-teks Jawi pertama adalah terjemahan risalah agama berbahasa Arab. Kini masih terdapat banyak naskah lama berisi sebuah teks Arab dengan terjemahan antarbaris kata demi kata. Seorang domine Inggris yang bermukim di Singapura dan aktif di bidang bahasa dan sastra Melayu pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, William Shellabear, merasa yakin bahwa tulisan dan ejaan Jawi diciptakan oleh orang Arab dan bahwa mereka itu memonopoli seni tulis Melayu selama bertahun-tahun atau bahkan berabad-abad (lih. Shellabear 1901: 77). Gagasan itu kini terdengar janggal dan tidak berdasar. Di pihak

lain, sering dikemukakan bahwa tulisan Jawi berasal dari tulisan Parsi 3 . Gagasan ini lahir dari peran sangat besar yang dimainkan India Mogol dan budaya Parsi di dunia Melayu selama kedua abad pertama islamisasi dunia Nusantara. Tetapi sebenarnya sedikit kemungkinan tulisan Jawi berasal dari tulisan Parsi oleh karena berbagai alasan. Pertama, huruf ‘p’ dalam tulisan Jawi (yakni badan huruf ‘f’ dengan tiga titik di atas) lain dari ‘p’ Parsi (badan huruf ‘b’ dengan tiga titik di bawah, seperti juga dalam bahasa Turki dan Urdu). Kedua, seni khat (kaligrai) Parsi, dengan kedua gaya utamanya thuluth dan nasta‘liq, hampir tidak berpengaruh atas tulisan Jawi. Ketiga, seni buku Melayu sangat berlainan dengan seni buku Parsi. Berbagai topik ini masih perlu digarap, bahkan kodikologi (ilmu naskah) Melayu serta hakekat tulisan Jawi baru saja mulai dianalisa secara ilmiah,

khususnya di London 4 . 3 Lih. misalnya Reid (1988: 224); Kratz (2002: 22).

4 Pada tahun 1960-1990, Russell Jones di SOAS menulis beberapa ulasan penting

tentang kertas yang dipakai dalam naskah-naskah Melayu. Kini Annabel Gallop di British Library menganalisa secara amat terperinci ragam hiasan dan

198 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Satu ciri yang ganjil dan mengecewakan dari tradisi Jawi, ialah kemiskinan akan hiasan, iluminasi dan kaligrai 5 . Ciri ini bertentangan sekali dengan tradisi Arab, Parsi dan Turki, bahkan dengan tradisi Jawa. Prasasti­prasasti Jawa memperlihatkan satu seni kaligrai yang semakin berkembang dan berpuncak pada abad ke-11–12, selama masa kerajaan Airlangga (1019-1042) dan periode Kediri (1100-1220), sejajar dengan perkembangan puisi dan meningkatnya seni naskah (baik tulisan maupun iluminasi), yaitu berpatutan dengan evolusi budaya keraton yang semakin canggih. Maka kemiskinan tradisi Jawi dari segi itu, yakni ketiadaan upaya estetis, mesti dikaitkan dengan tingkat budaya istana di kerajaan-kerajan Melayu.

Penggunaan tulisan Arab untuk menulis bahasa lokal Nusantara tidak terbatas pada bahasa Melayu saja. Beberapa bahasa lain juga menggunakan huruf Arab, baik untuk mengakses ke tingkat tulisan (mis. bahasa Aceh, Minangkabau, Wolio, Ternate), maupun untuk mendampingi sistem tulisan lain (tipe India) yang sudah ada (bahasa Jawa, Sunda, Makassar). Sedangkan bahasa lain lagi sama sekali tidak tersentuh oleh tulisan Arab itu

(bahasa Batak, Rencong, Bugis) 6 . Bahasa-bahasa golongan pertama, yakni yang baru tampil dalam bentuk tulis dengan memakai tulisan Arab, telat muncul dan terbatas penggunaannya. Bahasa Aceh misalnya baru tertulis pada pertengahan abad ke-17; kebanyakan teks berbentuk puisi (sanjak), termasuk surat, risalah agama ataupun daftar kata; terjemahan dari bahasa Melayu dan Arab lebih banyak daripada karya asli. Sedangkan dalam bahasa-bahasa golongan kedua, terutama Jawa dan Sunda, tulisan Arab

iluminasi naskah Melayu di berbagai daerah di Indonesia dan Malaysia. Patut diingat bahwa artikel pertama yang berusaha menganalisa tulisan Jawi secara saksama dan nyata baru terbit tahun 2001 (lih. Tol 2001).

5 Tentu saja terdapat berbagai kekecualian. Sejumlah naskah (misalnya naskah keluarga Fadli di Batavia pada paruh kedua abad ke-19) berisi gambar. Iluminasi yang paling menarik terdapat dalam surat-surat diplomatik (lih. Gallop & Arps 1991; Gallop 1994; Mu’jizah 2008). Sejumlah ulama yang pernah belajar di Timur Tengah menguasai beberapa gaya khat; Teungku Abdul Wahab dari Tanoh Abee pada akhir abad ke-19 umpamanya sangat mahir dalam berbagai gaya. Namun betapapun gemilang contoh-contoh tersebut, tetap merupakan kekecualian saja.

6 Tulisan Arab untuk menuliskan bahasa Jawa dan Sunda dinamakan pegon, untuk bahasa Makassar serang, untuk bahasa Aceh jawo. Huruf Arab untuk bahasa-bahasa tersebut (dan Melayu) umumnya disebut dengan kata asal Arab huruf, sedangkan huruf lama tipe India disebut dengan kata asal Sanskerta aksara.

Tulisan Melayu/Indonesia: Aksara dalam Perkembangan Budaya 199

terbatas penggunaannya pada bidang agama. Kebanyakan teks dibubuhi tanda baca vokal (harakat), sedangkan dalam bahasa Melayu tidak. Tanda- tanda tersebut adalah tanda Arab ( fathah, dammah, kasrah, sukun), yang dapat dikombinasi untuk membedakan vokal ‘o’ / ‘u’ dan ‘e’ / ‘i’. Dalam bahasa Sunda, vokal ‘eu’ dan pepet kedua-duanya ditandai sebuah fathah berliku. Tulisan pegon tersebut digunakan terutama di pesantren. Tetapi menariklah bahwa tulisan tradisional hanacaraka tetap dipergunakan untuk segala jenis teks lain sampai pertengahan abad ke-20.

Tulisan Latin

Waktu tiba di Nusantara, orang Eropa melihat sudah adanya tulisan Jawi dan beberapa sistem tulisan lain. Beberapa di antara mereka mempelajari tulisan Jawi (kita mempunyai naskah Melayu yang disalin oleh Pieter Floris, istri dan anak Domine F. Valentijn, H.N. van der Tuuk, E. Dulaurier dan beberapa yang lain), tetapi kebanyakan orang Eropa yang menulis dalam bahasa Melayu, terutama para misionaris, menggunakan tulisan Latin sedini abad ke-17. Ternyata beberapa terjemahan awal dari Alkitab diterbitkan dalam kedua sistem tulisan itu: Jawi dan Latin. Kaum misionaris mempunyai peranan yang amat penting dalam upaya “latinisasi” di seluruh

dunia 7 ; peran itu juga nyata di Indonesia. Sampai akhir abad ke-19, jenis tulisan tidak begitu dipersoalkan.

Orang Belanda di Indonesia jarang menggunakan komunikasi tertulis dengan raja maupun rakyat Indonesia, dan kalau perlu mereka menggunakan bahasa lokal dalam tulisan lokal (acap berdampingan versi Belanda dalam tulisan Latin). Demikianlah misalnya kita mempunyai sejumlah besar naskah perjanjian dan surat diplomatik yang ditulis oleh pimpinan VOC ataupun pemerintah Belanda dalam bahasa Melayu bertulisan Jawi. Tetapi mulai abad ke-19, urusan diplomatik semakin banyak dan sistem pendidikan lambat laun mulai didirikan. Kedua-duanya memerlukan sistem tulis dalam bahasa Melayu yang tepat, terperinci, andal dan dapat dibakukan. Di pihak lain kemunculan pers dalam bahasa Melayu juga mempersoalkan sistem tulisan yang patut digunakan. Dan dari segi lain pula, buku-buku sastra Melayu-Tionghoa yang terbit mulai perempat akhir abad ke-19 serta merta dicetak dalam tulisan Latin. Semua gejala ini, yang kurang lebih semasa, menuju pada kesimpulan yang sama: sistem tulisan Melayu perlu dibakukan. 8

7 Lihat Cohen (1958 [ed. 2005: 214-215]). 8 Perkembangan tulisan Latin di bawah ini diringkaskan terutama dari Vikør

200 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Di Malaya, The Straits Branch of the Royal Asiatic Society mem- buahkan sebuah sistem tulisan “Rumi” (Latin) buat bahasa Melayu, yang disetujui oleh pemerintah tahun 1878, dan kemudian diperbaiki antara lain oleh W. Maxwell dan W. Shellabear. Selanjutnya sebuah komisi yang ditunjuk oleh pemerintah Federated Malay States menghasilkan pada tahun 1904 sistem yang dinamakan “Wilkinson spelling”. Sekitar

20 tahun kemudian, beberapa perbaikan kecil, yang barangkali dibuat oleh Winstedt tetapi terkenal sebagai hasil kerja Za‘ba (Zainal Abidin bin Ahmad), membuahkan sistem yang dinamakan “ejaan Za‘ba” atau “ejaan sekolah”. Sistem itu memang terbatas pada dunia sekolahan, sedangkan di masyarakat umum tulisan Jawi tetap saja dipakai.

Di Hindia Belanda, sebuah perdebatan juga berlanjut mulai akhir abad ke-19, a.l. dengan kontribusi A.A. Fokker, C. Spat dan H.C. Klinkert. Sebagaimana di Malaya, ejaan perlu dibakukan untuk keperluan sekolah. Sebagai penasehat sekolahan di Sumatra, Ch.A. van Ophuijsen pada tahun 1896 ditugaskan untuk menyediakan sebuah sistem “ilmiah” yang dapat dipakai dalam pendidikan. Setelah melakukan penelitian yang saksama, dia menerbitkan sistemnya tahun 1901 (Kitab Logat Melajoe), yang langsung diwajibkan pakai dalam pendidikan dan administrasi. Sistem itu disepakati semua pihak; satu-satunya detil yang dipermasalahkan adalah notasi ‘oe’ untuk fonem /u/. Maka itulah salah satu unsur pokok reformasi tahun 1947, selama periode Revolusi (sistem baru dinamakan “edjaan Republik” atau “edjaan Soewandi” menurut nama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam kabinet Sutan Sjahrir waktu itu): ‘oe’ menjadi ‘u’, perbedaan antara ‘e dan ‘é’ serta ‘ai’ dan ‘aï’ dihapus (huruf ‘é’ dan ï’ tidak berlaku lagi), dan kedua apostrof yang selama itu dipakai untuk menandakan hamzah dan ‘ayn juga dihapus.

Di Malaya, seusai Perang Dunia II, para seniman muda yang terkenal sebagai Asas 50 (Angkatan Sastrawan 50) menuntut agar tulisan Rumi diresmikan. Mereka ternyata berhasil karena tulisan Rumi dicanangkan sebagai tulisan resmi pada Kongres Bahasa tahun 1954, meskipun tulisan Jawi tidak dihapus. Kongres tersebut (Kongres Persuratan Melayu se-Malaya Kedua di Seremban) menghasilkan sebuah Memorandum mengenai Tulisan Rumi untuk Bahasa Melayu (1954, ed. ke-2 1987) yang mendaftarkan ke-11 kelebihan dan satu kelemahan tulisan Rumi, dibandingkan dengan satu kelebihan dan ke-12 kelemahan tulisan Jawi. Kelemahan tulisan Jawi tersebut antara lain ketiadaan beberapa huruf vokal, ketiadaan huruf kapital, ejaan serampangan, kemustahilan menuliskan nama-nama asing, kesulitan membakukan pelafalan, perbedaan dengan

Tulisan Melayu/Indonesia: Aksara dalam Perkembangan Budaya 201

Indonesia (di mana tulisan Latin sudah diterima) dan kesulitan belajar buat orang asing.

Demikianlah pemerintah kedua negara merdeka yang baru mem- benarkan dan memperkuat sistem tulisan yang awal mulanya ditetapkan oleh penjajah. Di Turki pada masa yang kurang lebih sama, keputusan sebuah pemerintah republikan (tahun 1928) untuk meninggalkan tulisan Arab dan mengadopsi tulisan Latin menimbulkan bermacam kerusuhan. Di Indonesia dan Malaysia sebaliknya, pembaharuan yang serupa dapat diprakarsai oleh pemerintah kolonial dan diterima dengan sepenuh hati oleh masyarakat karena sesuai dengan aspirasi bangsa pada waktu itu.

Setelah Kemerdekaan (1949 di Indonesia, 1957 di Malaysia), kerja sama antara kedua negara itu mulai tumbuh. Pekerjaan bersama mulai tahun 1959, antara lain dengan tokoh-tokoh Syed Nasir bin Ismail, Prijono dan Slametmuljana, dan menghasilkan sistem “Melindo” (Malaya/Indonesia), yang agak rumit karena menggunakan huruf baru untuk fonem / h/ dan /ñ/. Setelah Konfrontasi (1963-1966), pekerjaan mulai lagi dengan segera: sebuah komisi Indonesia yang diketuai oleh Anton Moeliono mengajukan sebuah rencana yang diterbitkan tahun 1967 (tidak memakai tanda diakritik atau huruf luar biasa). Rencana itu diterima dengan lebih baik di Malaysia daripada di Indonesia oleh karena lebih dekat sistem Inggris/Malaya. Meskipun demikian, sistem inilah yang disepakati oleh kedua pemerintah dengan nama Ejaan Yang Disempurnakan di Indonesia dan Ejaan Rumi Baru Bahasa Malaysia di Malaysia. Sistem ittu diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 16 Agustus 1972 agar mulai berlaku hari esoknya. Kata disempurnakan tentu saja patut direnungkan.

Terpilihnya tulisan Latin bukan fenomena tersendiri, melainkan beriringan dengan awal mula percetakan dan perkembangan kebudayaan nasional dalam bahasa Melayu. Ketiga gejala itulah yang bersama-sama menentukan akhir masa naskah-naskah dan akhir pemakaian sistem-sistem tulisan lama.

Seperti telah dilihat di atas, percetakan muncul di Pulau Jawa pada pertengahan abad ke­19. Buku cetakan (litograi) tulisan seseorang pribumi yang pertama terbit tahun 1853 di Surabaya, yaitu Syaraf al-Anam, sebuah karangan tentang Nabi Muhammad. Buku kedua adalah sebuah al-Qur’an yang sangat indah, dicetak di Palembang tahun 1854. Usaha penerbitan litograi dalam tulisan Jawi sangat aktif mulai tahun 1860, terutama

berpusat di Singapura: kitab, hikayat dan syair terbit dalam jumlah banyak; para penerbit menyebarkan katalog publikasi mereka; publiknya sangat luas, antara lain di kalangan kaum haji (lih. Proudfoot 1993). Sementara itu, percetakan dalam tulisan Latin juga maju dengan pesat, terutama

202 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

dengan koran dan majalah serta juga aneka ragam buku yang diterbitkan oleh lingkungan Peranakan Tionghoa (lih. Salmon 1981).

Kemajuan percetakan dalam tulisan Latin itu erat berkaitan dengan perkembangan sebuah kebudayaan nasional. Pelebaran kekuasaan kolonial (sekitar tahun 1910, perbatasan Hindia Belanda, yaitu perbatasan negara Indonesia sekarang ini, secara garis besar sudah tetap) menciptakan kerangka geograis dan sosial bangsa baru: orang­orang pribumi yang selama itu terpecah-pecah atas beraneka ragam kerajaan dan persukuan, menjadi bagian sebuah negara kesatuan. Maka lahirlah perasaan persaudaraan atau sedikitnya perasaan senasib yang baru, yang akan menetaskan perasaan dan gerakan nasionalis. Pada awalnya, lahirnya kebudayaan nasional terkait dengan perkembangan pers. Majalah Indonesia yang pertama adalah mingguan Jawa Bramartani (dalam aksara Jawa) yang diterbitkan di Surakarta oleh C.F. Winter tahun 1855. Tujuan majalah itu ialah menyediakan informasi tentang Indonesia dan dunia untuk kalangan elite Jawa. Sedangkan majalah Melayu yang pertama, yakni mingguan berjudul Soerat Kabar Bahasa Melaijoe, diterbitkan di Surabaya tahun berikutnya untuk kalangan pedagang, namun hanya hidup tiga bulan lamanya. Soerat Kabar itu ditulis dalam bahasa Melayu “rendah” dan dicetak dalam tulisan Latin, sebagaimana semua majalah dan surat kabar selanjutnya (lih. Ahmat b. Adam 1995). Beberapa majalah tersebut dimiliki orang Belanda atau Indo. Mingguan Bramartani, dan penitisannya Jurumartani, cukup panjang umurnya karena terbit sampai tahun 1932. Di Malaya, surat kabar yang pertama adalah Bintang Timor, yang mulai terbit di Singapura tahun 1884.

Muncul dan meluasnya penerbitan buku tentu saja mengisyaratkan masa naskah-naskah sudah berakhir. Selama abad ke-19 buku dan naskah berdampingan. Kita mempunyai contoh dari naskah (tulisan tangan) yang disalin atas buku cetakan. Kedua jenis bentuk teks itu hidup sendiri-sendiri selama beberapa dasawarsa. Tetapi arus sejarah tidak mungkin terbalik, naskah tidak dapat bersaing dan cepat merosot. Peralihan itu menandakan sebuah perubahan mutlak dalam cara masyarakat menghadapi sastra. Selain teks agama, yang sering dibaca dan dipelajari sendirian, segala jenis teks sastra lama bukan dibaca sendiri-sendiri melainkan dibacakan agar didengar oleh masyarakat. Buku sebaliknya dicetak dalam jumlah banyak supaya dibaca oleh masing-masing individu di dalam hati. Proses ini sudah banyak dibicarakan.

Peralihan dunia tulis Nusantara ke sistem tulisan Latin merupakan perombakan budaya yang sebanding dengan peralihan ke sistem India

Tulisan Melayu/Indonesia: Aksara dalam Perkembangan Budaya 203

dan Arab sebelumnya, dan bahkan lebih penting lagi karena peran budaya tulis semakin besar. Pada awal kedua babak sebelumnya (India dan Islam), peminjaman tulisan teriring penerjemahan dari bahasa yang bersangkutan (Sanskerta dan Arab). Demikian juga dengan peminjaman tulisan Latin terjadi penerjemahan dari bahasa Belanda di Indonesia dan bahasa Inggris di Malaysia (di Indonesia, terjemahan pertama adalah cerita Robinson Crusoë tahun 1875; lih. Jedamski 2009). Tetapi bahasanya sendiri tidak ikut dipinjam. Pada kedua babak sebelumnya, bahasa Sanskerta dan bahasa Arab juga dipinjam, dalam arti dipakai di Indonesia dan mempunyai arti dalam kehidupan masyarakat. Pada babak ketiga, yaitu waktu tulisan Latin dipilih sebagai sistem tulisan untuk menuliskan bahasa Melayu (dan kemudian bahasa-bahasa lain), bahasa Belanda dan Inggris tidak dipinjam dan tidak

mempunyai tempat dalam budaya lokal 9 . Sebaliknya, bahasa Belanda dan Inggris menjadi sumber kata serapan yang malah lebih penting dari bahasa Sanskerta dan Arab sebelumnya oleh karena memenuhi kebutuhan bahasa nasional akan kata-kata di bidang teknik dan ilmiah.

Perbandingan dengan negeri-negeri lain di Asia Tenggara daratan mengandung hikmah. Pertama, peran para penjajah sangat menentukan: di negeri-negeri jajahan lain seperti Burma, Kamboja dan Laos para penjajah tidak memaksakan tulisan Latin, sehingga ketiga negeri itu tidak meninggalkan tulisan tipe India-nya masing-masing. Sistem dasar tulisan India itu sebenarnya sangat sempurna dari segi fonologi dan sesuai untuk menuliskan bahasa-bahasa yang bersangkutan, sehingga dari segi teknik, orang Asia Tenggara daratan cukup beralasan untuk berpegang pada sistem tulisan mereka. Menurut Jean Filliozat, alasan teknik itu sangat menentukan: “Tulisan tipe India dipertahankan sebagai peranti pencatatan

yang sudah terbukti keunggulannya” 10 . Sebaliknya orang Indonesia telah meninggalkan tulisan India dan menggantikannya dengan tulisan Arab yang tidak cocok dengan bahasa lokal, sehingga mudah saja pindah lagi ke tulisan Latin karena alasan teknik juga. Argumen ini kuat sekali, namun tidak boleh menutupi fakta bahwa perpindahan dari satu sistem tulisan ke sistem lain ditentukan terutama oleh alasan ideologis.

9 Itu pun tentu saja dengan beberapa kekecualian (salah satu yang terkenal adalah novel Buiten het gareel yang ditulis dalam bahasa Belanda oleh Suwarsih Djojopuspito). Peran bahasa Inggris menjadi jauh lebih penting setelah kemerdekaan.

10 Jean Filliozat, dalam Cohen 1963 (cet. ulang 2005: 787). J. Filliozat menjelaskan bahwa sudah terbukti oleh pengalaman bahwa bahasa Inggris dapat dituliskan dengan sangat tepat dalam tulisan India, sedangkan bahasa India (Sanskerta atau Hindi) hanya dituliskan dengan kacau dalam tulisan Latin.

204 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Mengenai pembaharuan Soewandi tahun 1947, L. Vikør (1988:

16) menulis, “Di antara beberapa perubahan, transisi dari <oe> ke <u> adalah yang paling memukau, karena tampak terinspirasi oleh perasaan anti-Belanda”. Sistem yang disusun tahun 1967 – di Indonesia di bawah pimpinan Anton Moeliono – dan diresmikan tahun 1972 melahirkan berbagai pertentangan dan perdebatan. Para penentang, antara lain Ajip Rosidi, mengajukan berbagai alasan teknik, komersial, ideologis dan budaya untuk menyerang sebuah keputusan yang dirasakan sebagai kekalahan di depan Malaysia, apalagi sebagai tindakan otoriter dari pemerintah. Dari mana- mana timbul protes yang keras; organisasi KAMI dan KAPPI mengadakan demonstrasi di Jakarta. Tiga puluh tahun kemudian B. Anderson menilai, “Lebih kemudian lagi (1972) terdapat perubahan edjaan jang berinti politik jang djahat. Edjaan Baru itu ditjiptakan untuk memberi kesan kolot, kiri2an, tanpa guna, tertjemooh dan sulit dibatja kepada apa sadja jang ditulis sebelum Soeharto memperkokoh kekuasaannja” (Anderson 2009: 390). Peralihan ke tulisan Latin jelas mengelompokkan segala tulisan sebelumnya sebagai budaya “tradisional”, yaitu warisan masa lalu yang patut disanjung dan dihormati, dan sekaligus barang budaya yang usang dan kolot. Kalau kesusasteraan Melayu (Jawi) tidak dihiraukan lagi di Indonesia pada masa kini, salah satu sebabnya ialah perpindahan ke tulisan Latin.

Apakah nilai tulisan sebagai lambang identitas masih perlu ditandaskan? Waktu menerima tulisan Arab, orang Melayu sengaja memasuki sebuah komunitas yang sudah mencakup orang Arab, Parsi, Turki, Urdu dll. Waktu meninggalkan tulisan Arab itu dan menerima tulisan Latin, mereka sengaja memasuki sebuah komunitas yang sama sekali lain. Perpindahan dari tulisan Arab ke Latin mempunyai dampak budaya dan agama. Tulisan Arab tak dapat dipisahkan dari agama Islam dan secara simbolis terkait dengan Timur Tengah. Tulisan Latin sebaliknya terkait dengan Eropa Kristen. Orang Indonesia dan Malaysia tidak memilih sistem tulisan Latin, tetapi mereka meneguhkannya sesudah kemerdekaan. Pilihan itu antara lain berarti memilih simbol modernitas Barat daripada simbol keikutsertaan dalam umat Islam.

Selama keenam abad tradisi Jawi (abad ke-14 sampai dengan ke-19), tulisan Arab seakan-akan mencaplok bahasa Melayu: bahasa itu tertulis dengan sebuah alfabet pinjaman, dan alfabet itu khas Islam. Di samping sejumlah kelemahan yang telah diuraikan di atas, tulisan Jawi mempunyai kelebihan yang jarang diperhatikan, yakni menandai etimologi sejumlah kata serapan. Sejumlah huruf dalam sistem tulisan Arab hanya terjumpai dalam kata-kata asal Arab atau Parsi karena tidak pernah dipakai dalam

Tulisan Melayu/Indonesia: Aksara dalam Perkembangan Budaya 205

kata-kata asli Nusantara; oleh karena itu, huruf-huruf tersebut menandakan kata-kata serapan Arab dan Parsi. Sebagai contoh, dalam ungkapan

“misal dan tamsil dan ibarat” 11 , tulisan Jawi

menunjukkan dengan jelas bahwa ketiga kata itu berasal dari bahasa Arab, malah ejaan kata misal dan tamsil menyiratkan bahwa keduanya berasal dari akar kata yang sama (yakni akar Arab ‘mathala’). Contoh sejenis sangat banyak. Tulisan Jawi bahkan menandakan beberapa kata serapan dari bahasa lain. Misalnya kata asal Sanskerta saudara, bangsa dan periksa yang sering ditulis memakai huruf syin (padahal pasti memakai sin kalau katanya asli Nusantara); demikian juga kata asal Tamil kolam, yang dalam

naskah Ml. 249 tersebut di atas 12 secara sistematis ditulis dengan huruf qaf. Jejak-jejak etimologi itu sama sekali hilang dalam tulisan Latin.

Kesimpulan

Ketiga gerakan pengaruh budaya di Nusantara (dari India, Islam dan Eropa) langsung terekam dalam sejarah tulisan. Namun dalam bidang ini seperti dalam berbagai bidang lain (kesusasteraan misalnya), berbagai pengaruh itu banyak tumpang-tindih, sehingga melahirkan situasi dwibahasa dan dwiaksara.

Situasi dwibahasa pada masa lalu sangat lazim. Lihat misalnya peran bahasa Melayu di Aceh, Sumatra Barat, Palembang, Banjar, Jawa, Bima, Ternate, dll., atau peran bahasa Jawa di daerah Sunda, Madura, Bali dan Lombok. Bahasa Jawa adalah bahasa lingkungan keraton di Palembang dan Banten, sehingga juga digunakan sebagai bahasa resmi di Lampung. Situasi kedwibahasaan itu barangkali tampak aneh, padahal sebenarnya tidak jauh berbeda dengan situasi bahasa Indonesia pada masa kini.

Lebih aneh adalah situasi kedwiaksaraan, yang terdapat misalnya dalam bahasa Jawa dan Sunda: seperti diuraikan di atas, dalam masing- masing bahasa tersebut pada masa silam sistem tulisan tradisional (tipe India) terus digunakan, tetapi naskah-naskah agama ditulis dalam sistim Arab. Tetapi situasi ini terbatas dan cenderung hilang atau mati sendiri. Rumus umum adalah: kalau muncul suatu tulisan baru, maka tulisan lama mundur dan akhirnya hilang. Malah teks yang tertulis dalam tulisan lama itu pun cenderung hilang. Naskah-naskah Melayu dalam tulisan lama

11 Dipetik dari naskah Perpustakaan Nasional RI, Ml. 249, Hikayat Merpati Mas, hlm. 38.

12 Ejaan ini (qw-lm) tidak biasa (kata ini biasanya tertulis dengan huruf kaf; lih. kamus Klinkert) dan semakin menarik: si penyalin, yang tidak lain dari Muhammad Bakir, sengaja memberikan konotasi asing pada sebuah kata dengan memakai huruf tertentu.

semuanya sudah hilang (kecuali satu); tradisi Batak cenderung hilang dengan islamisasi (Angkola, Mandailing) dan kristenisasi (Toba, Karo, Dairi, Simalungun). Mari kita sekali lagi mengutip Maxime Rodinson (2005: 713): “Kalau faktor teknik, simbolis, estetis dan psikologis (…) main peranan yang acap penting sekali di samping faktor sosial dalam perkembangan sistem-sistem tulisan, maka sebaliknya faktor sosial jauh lebih penting dan faktor teknik boleh dikatakan tidak berlaku dalam soal pergantian suatu tulisan oleh tulisan lain.” Dalam hal perpindahan bahasa Melayu ke tulisan Arab, faktor sosial itu bersifat agama, sedangkan waktu perpindahan selanjutnya ke tulisan Latin, faktor sosial itu bersifat politik.

Faktor politik telah memainkan peranan sepanjang masa. Pertama, karena sebuah administrasi kenegaraan memerlukan tulisan. Naskah- naskah yang kini tersimpan dalam berbagai perpustakaan besar (di Jakarta, Kuala Lumpur, Leiden, London dll.) mencerminkan dimensi budaya tradisi tulis (teks sastra, agama, sejarah) dalam bahasa Melayu dan berbagai bahasa Nusantara yang lain, tetapi badan-badan arsip, yang umumnya terlalu enteng dikesampingkan, mencerminkan dimensi politik tradisi-tradisi itu (perjanjian, surat, laporan). Perkembangan sastra Melayu erat kaitannya dengan kekuasaan politik. Di Aceh misalnya, produksi teks Melayu muncul dan hilang seiring kemegahan kerajaan, kemudian mundur terganti oleh sastra berbahasa Aceh. Demikian pula di Pasai, di Melaka dan di berbagai pusat kerajaan yang lain. Tetapi produksi sastra itu, betapapun bobotnya, baru berkembang dari segi estetis kalau pusat politik yang bersangkutan mempunyai satu kebijakan budaya. Di situlah terdapat perbedaan antara keraton Jawa dan istana Melayu.

Aspek politik kedua dari perkembangan dan peralihan tulisan, ialah kenyataan bahwa berbagai sistem tulisan yang ada atau pernah ada di Nusantara tidak disebarkan melalui penaklukan politik melainkan melalui pengaruh agama dan budaya. Tulisan Arab misalnya jelas tersebar atas pengaruh agama Islam, sedangkan tulisan Jawa tersebar di berbagai daerah di bawah pengaruh kebudayaan Jawa. Dalam hal tulisan Jawa, masing- masing daerah luar (mis. Sunda dan Melayu) merasa bebas mengembangkan gayanya sendiri. Di setiap daerah sistem tulisan yang sudah mapan, seperti juga bahasa, menjadi satu lambang dari identitas golongan (suku, kerajaan, bangsa) dan tidak mudah digeser. Tulisan itu cenderung berlanjut selama golongan tersebut hidup sejahtera (lih. Casparis 1975: 60, 62).

DAFTAR PUSTAKA

Singkatan

BEFEO Bulletin de l’École française d’Extrême-Orient BKI

Bijdragen van het Koninklijk Instituut EFEO

École française d’Extrême-Orient ENI

Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië

JMBRAS Journal of the Malayan/Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society JSBRAS

Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic Society KITLV

Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde KPG

KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

MBRAS Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society OUP

Oxford University Press RIMA

RIMA (Review of Indonesian and Malayan Affairs) TBG

Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap Abdul Rahman Haji Ismail

1998 (Penyuntingan teks Sulalat al-Salatin), dalam Cheah Boon Kheng (ed.) Sejarah Melayu: The Malay Annals. Kuala Lumpur: MBRAS.

Abdullah, Massir Q. 1982

Bo: Suatu Himpunan Catatan Kuno Daerah Bima. Mataram: Proyek Pengembangan Permuseuman Nusa Tenggara Barat, stensilan.

Abdullah bin Abdulkadir 1841 (ed.) Sejarah Melayu. Singapore: Thomas MacMicking. 1884

Sadjarah Malajoe of de Maleische Kronieken naar de uitgave van Abdoellah bin Abdel-kader Moensji, H.C. Klinkert ed. Leiden: Brill.

1953 Hikayat Abdullah, R.A. Datoek Besar & R. Roolvink eds. Jakarta: Djambatan.

374 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

2005 “Kisah Pelayaran Abdullah ke Kelantan”, dalam A. Sweeney (ed.), Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, jilid 1, Jakarta: KPG – EFEO.

Abidin, Andi Zainal 1971

“Notes on the lontara’ as historical sources”, Indonesia 12: 159- 172.

Ahmat b. Adam 1995

The Vernacular Press and the Emergence of Modern Indonesian Consciousness (1855–1913). Ithaca: SEAP, Cornell University.

Alam, M.T.S. Lembang 1917-1920

Berbagai-bagai kepertjajan orang Meajoe ja’ni kepertjajaan kepada orang haloes (hantoe, setan, jin dan lain-lain sebangsanya). Batavia, 2 jil.

Alexandre de Paris 1994

Le Roman d’Alexandre, terjemahan L. Harf-Lancner. Paris (coll. Livre de Poche).

Alian, T. Ibrahim dkk. (eds.) 1987

Dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis: Kumpulan Karangan Dipersembahkan kepada Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Ali bin Ahmad 1979

Hikayat Inderaputera diusahakan oleh Enchè Ali bin Ahmad. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka (cet. ke-8).

Alves, Jorge M. dos Santos 1991

Três Sultanatos Malaios do Estreito de Malaca nos séculos XV e XVI (Samudera-Pasai, Aceh e Malaca/Johor). Estudo Comparativo de História Social e Política , Disertasi, tidak terbit, Lisboa.

2001 “Naniyar Kuniyappan: Un Tamoul, syahbandar de Samudera-Pasai au début du XVIe siècle”, Archipel 62: 127-142.

Amin, Ahmad 1971

Sedjarah Bima: Sedjarah Pemerintahan dan Serba-serbi Kebudayaan Bima. Bima, stensilan.

Andaya, Leonard Y. 1981

The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century. The Hague: Martinus Nijhoff.

Anderson, Benedict R.O’G. 2009

“Bahasa tanpa nama”, dalam H. Chambert-Loir (ed.), Sadur, 2009, hlm. 379-393.

Anderson, John 1826