Epistemologi Islam Bayani menurut M. Abi
Epistemologi Islam Bayani menurut M. Abid al-Jabiry
Untuk memenuhi tugas materi :
Filsafat ilmu
Dosen Pengampu :
Al-Ustadz Saiful Anwar, S.Pd.I
Disusun Oleh:
Asri Mukti Kusuma
Sukmawati Usriyatul Iman
Rintan Tifani Angela
Pendidikan Agama Islam 2
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR
MANTINGAN, NGAWI
2017 M / 1438 H
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pemikiran keislaman yang berkembang pada masa sekarang ini telah dilakukan
melalui berbagai perspektif dan metodologi. Dimana setiap perspektif dan metode yang
digunakan mempunyai ciri tersendiri disamping kelebihan dan kekurangan yang melekat
pada perspektif dan metode tersebut tentunya.
Mukti Ali menyatakan bahwa dalam mempelajari dan memahammi Islam
terdapat 3 (tiga) cara yang jelas yakni naqli (tradisional), aqli (rasional) dan kasyfi
(mistis). Ketiga pendekatan tersebut telah ada dalam pola pemikiran Rasulullah SAW
dan terus dipergunakan oleh para ulama Islam setelah beliau wafat hingga saat ini.
Ketiga metode tersebut dalam operasionalnya lebih dikenal dengan istilah pendekatan
bayani, irfani dan burhani.
Tawaran pendekatan ini sengaja diarahkan pada upaya merekonstruksi
pemahaman dalam wilayah baru yang belum ada teks hukumnya dengan menghargai
tradisi secara proporsional sekaligus mengurangi kesan arogansi intelektual. Upaya ini
dilakukan melalui penggabungan teori sistem dan teori aksi di dalam perangkat
analisisnya.
Dalam rangka mencapai suatu intepretasi yang tepat dalam memahami agama dengan
segala aspek yang terkandung di dalamnya diperlukan metode-meode yang dapat
dipergunakan untuk mendapat pemahaman yang tepat. Islam yang diturunkan di Arab
lahir dan berkembang seiring dengan adat budaya Arab. Hal ini memerlukan pengkajian
yang komprehensif sebab sumber agama Islam yakni Al Qur’an dan Sunah berbahasa
Arab. Sehingga untuk memahaminya wajib untuk memahami bahasa Arab.
Al Qur’an dan Sunah merupakan teks tertulis; demikian juga pendapat/ fatwa
ulama dalam segala wujudnya telah membentuk sebagai suatu pengetahuan. Teks yang
hidup, masih terus vital dan tak jarang dianggap sakral itu kemudian dibayankan atau
dijelaskan secara tidak berkesudahan sehingga muncullah ilmu seolah-olah (ilmu yang
muncul karena restatement atau lewat pengungkapan ulang apa yang sudah dikatakan dan
2
dijelaskan di dalam teks masa lampau). Hampir tidak ada yang terlalu baru di masa kini
berbanding masa lampau.
Jadi yang terjadi di dunia Islam sesungguhnya bukanlah bertambahnya ilmu
agama, tapi menggunungnya kata-kata yang dirumuskan ulang dari kata-kata yang sudah
ada sebelumnya; tanpa proses kreatif dan penalaran yang memadai. Inilah yang
mengukuhkan aspek legalisme dan eksoterisme Islam; yang disebut oleh al-Jabiri sebagai
aktivitas memberanakkan kata-kata (istitsmar al-alfadz).
Umat Islam sudah terlalu banyak mengonsumsi ilmu-ilmu yang dihafalkan dan
diwariskan secara turun-temurun. Juga terlalu banyak menghabiskan waktu untuk
menyingkap rahasia dan hikmah ilahiyah di alam raya. Sudah pada tempatnya untuk
memberikan porsi lebih banyak kepada aktivitas penalaran agar ciri khas manusia
sebagai “makhluk yang bertindak berdasarkan ide” dapat teralisasi. Jika tidak,isi otak
umat Islam tak akan lebih dari susunan huruf dan biji tasbih tanpa ditemukannya bukti
bahwa otak itu pernah bekerja sebagaimana mestinya. Guna mewujudkan hal tersebut
para ulama menawarkan beberapa konsep pemikiran yang diharapkan dapat memberikan
pemahaman baru tentang Islam. Salah satu metode yang ditawarkan dan akan penyusun
kaji yakni metode bayani.
Dalam makalah yang disajikan penyusun mencoba untuk memberikan gambaran
tentang pengertian metode bayani beserta kaidah-kaidah yang dipakai dalam metode
bayani tersebut. Selain itu juga akan penyusun sampaikan beberapa contoh pemakaian
metode bayan dalam beberapa disiplin ilmu.
Adapun masalah yang akan dibahas dalam makalah ini ialah mengenai definisi
metode bayani, tujuan pendekatan bayani dan bagaimana penerapan metode bayani
tersebut dalam disiplin ilmu.
Pembahasan tersebut bertujuan untuk mengetahui definisi metode bayani,
mengetahui tujuan pendekatan bayani, serta untuk mengetahui bagaimana penerapan
metode bayani dalam disiplin ilmu.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Metode Bayani
Metode bayani adalah sebentuk epistimologi yang menjadikan teks tertulis seperti
Quran, hadis, pendapat atau fatwa ulama, sebagai basis utama untuk membentuk
pengetahuan. Pola Bayani (kajian semantik), pola ini lebih menitik beratkan pada kajian
bahasa dalam bentuk penafsiran gramatikal, seperti kapan suatu kata itu berarti hakiki
atau majazi. Bagaimana cara memilih salah satu arti kata musytarak, mana yang qath’i
serta mana ayat yang zanni dan sebagainya.
Epistemologi bayani merupakan suatu cara untuk mendapatkan pengetahuan
dengan berpijak pada teks, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung
dalam arti menganggap teks sebagai pengetahuan jadi, dan secara tidak langsung yaitu
dengan melakukan penalaran yang berpijak pada teks ini. Dengan kata lain sumber
pengetahuan menurut epistemologi ini adalah teks atau penalaran yang berpijak pada
teks. Bagi al-Jabiri, istilah nalar bayani dimaksudkan sebagai sistem berpikir atau
episteme yang menjadikan bahasa Arab sebagai basis bagi sistem penalarannya, serta
menjadikan qiyas (analogi) sebagai metode berpikirnya.1
Dalam pandangan al-Jabiri, sistem pengetahuan bayani yang berporos pada
persoalan bahasa dan teks memiliki persoalan-persoalan yang hingga saat ini masih
menggelayuti pemikiran Arab modern dan kontemporer. Persoalan apa sebenarnya yang
ditimbulkan oleh pola pikir berporos bahasa dan teks dalam nalar bayani tersebut?
Sebagaimana lazim diketahui dalam tradisi linguistik dan hermeneutika, bahasa tidak saja
berfungsi sebagai sarana untuk berkomunikasi, tapi juga sarana berpikir, bahkan wahana
untuk mengorganisasikan dunia.
Epistemologi bayani, secara historis sangat dominan dalam ilmu-ilmu pokok,
seperti fiqh, ilmu al-qur’an, kalam dan teori sastra non-filsafat. Al-Jâbirî menjelaskan
bahwa sistem bayani dibangun oleh dua prinsip dasar; pertama, prinsip diskontinyuitas
atau keterpisahan (al-infisal), dan kedua, prinsip kontingensi atau kemungkinan (altajwiz). Prinsip-prinsip tersebut termanifestasi dalam teori substansi individu yang
1
Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam (Bandung: PUSTAKA SETIA, 2009), hlm. 78.
4
mempertahankan bahwa hubungan substansi sebuah individu (tubuh, tindakan, sensasi
dan apapun yang terbentuk di dalamnya) didasarkan atas hubungan dan asosiasi yang
kebetulan saja, tapi tidak memengaruhi dan berinteraksi. Teori ini sesungguhnya
menafikan teori kausalitas atau ide tentang adanya hukum alam.2
B. Tujuan Pendekatan Bayani
Metode bayani yang telah lama digunakan dan diterapkan oleh para ulama
(fuqaha, mutakallimun dan ushuliyun) ini bertujuan untuk :
1. Memahami dan menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna
yang dikandung dalam (dikehendaki) lafadz. Dengan kata lain, pendekatan ini
dipergunakan untuk mengeluarkan makna zahir dari lafadz dan ‘ibarah yang zahir
pula
2. Mengambil istinbath hukum-hukum dari al nushush ‘an diniyyah dan Al Qur’an
khususnya.3
Makna lafadz yang terkandung dalam nash (Al Qur’an dan Hadits), dikehendaki
oleh dan diekspresikan melalui teks dapat diketahui dengan mencermati hubungan makna
dan lafadz. al Jabiri menyatakan bahwa metode bayani yang digunakan dalam pemikiran
Arab baik dalam fiqh, nahwu atau teologi didasarkan pada mekanisme yang menjadi
landasan bagi metode fuqaha. Hal ini dikarenakan para ulama ushul fiqh merangkum
berbagai cabang ilmu yang sesuai dengan tujuan mereka dan menjadikannya sebuah
ilmu.
Sedangkan dalam pandangan Syafi’i; Bayan adalah ungkapan yang mencakup
berbagai macam makna yang mempunyai prinsip-prinsip yang sama namun cabangnya
berbeda-beda, sebagian percabangan tersebut mempunyai bayan yang lebih kuat
dibanding yang lain. Selanjutnya Syafi’i mengklasifikasi dan menetapkan aspek-aspek
bayan dalam wacana Al Qur’an dan membaginya menjadi 5 (lima) yaitu :
1. Teks yang tidak membutuhkan ta’wil atau penjelasan dikarenakan telah jelas
dengan sendirinya
2. Teks yang membutuhkan penyempurnaan dan penjelasan
3. Teks yang ditetapkan Allah dan teks tersebut dijelaskan oleh nabi
2
3
M. Abid al-Jabiry, Takwin al-‘Aql al- ‘Araby (Beirut: Al-Markaz al- Tsaqafy, 1991), hlm. 79-81.
Rosihon Anwar, Pengantar ...), hlm. 240-242.
5
4. Teks yang tidak disebutkan Al Qur’an namun dijelaskan oleh Nabi sehingga
memiliki kekuatan sebagaimana teks Al Qur’an
5. Teks yang diwajibkan oleh Allah kepada hamba-Nya untuk berijtihad.4
Al Jabiri menukilkan pendapat Imam Syafi’i yang mengarahkan pola pemikiran
secara horizontal dengan menghubungkan furu’ dengan ashl (qiyas) dan secara vertikal
dengan mengaitkan satu kata dengan beragam kata dalam kajian-kajian fiqh,bahasa dan
teologi.
C. Penerapan Metode Bayani dalam disiplin ilmu
1. Metode “Bayan” dalam Bahasa Arab dan Model Penalarannya
Menurut al-Jabiri, kemunculan dan pertumbuhan ilmu balaghah dalam
lingkungan kebudayaan Arab-Islam tidak disebabkan oleh adanya pengaruh dari luar,
melainkan dilatarbelakangi oleh kebutuhan internal dalam kebudayaan itu sendiri.
Kemunculan ilmu balaghah ini terutama disebabkan oleh kebutuhan untuk menimba
hukum-hukum agama dari teks al-Qur’an, khususnya berkenaan dengan hukum-hukum
dalam bidang syari’ah dan akidah. Dalam bidang syari’ah, para pengkaji hukum dituntut
untuk memiliki pengetahuan yang sistematis dan baku tentang metode-metode
pengungkapan dan pemaparan yang dipakai oleh bahasa al-Qur’an. Sementara dalam
bidang akidah, para teolog Muslim (mutakalimun) sangat menyadari tantangan dari
“musuh-musuh” Islam terhadap kemukjizatan al-Qur’an, karenanya para teolog itu
berupaya keras untuk mengangkat beberapa sisi yang menunjukan kemukjizatan alQur’an, khususnya pada level kebahasaan.
Dengan demikian, dalam pandangan al-Jabiri, bisa dikatakan bahwa para ahli
balaghah telah berhasil membangun jilid kedua logika Arab, setelah jilid pertamanya
dibangun oleh kalangan nuhah (ahli gramatika bahasa Arab). Kalau ahli nahwu
mengawali pembentukan logika Arab dengan membuat aturan-aturan baku wacana
bahasa Arab beserta kategori-kategori baku dan format logikanya, maka ahli balaghah
menyempurnakannya dengan menjelaskan aspek-aspek kemukjizatan dalam wacana
bahasa Arab. Penyempurnaan tersebut dilakukan dengan mengungkapkan mekanismemekanisme bayan dan rasionalitas yang terkandung dalam sistem linguistik bahasa Arab.
4
Al-Jabiry, Takwin… op.cit. hal.22-23
6
Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan hakikat al-bayan itu sendiri?
Menurut al-Jabiri, kalangan pakar balaghah seperti al-Mubarrid, al-‘Askari, ibn Wahb,
al-Sakkaki dan al-Jurjani sepakat untuk mengatakan bahwa keseluruhan metode bayan
dalam bahasa Arab semuanya bermuara pada satu metode ini, yakni: tasybih. Sebagai
salah satu contoh, al-Jabiri mengutip kata-kata al-Jurjani tentang keutamaan tasybih
berikut:
›
Metode tasybih merupakan seni yang membutuhkan kecerdasan dan bakat yang
maksimal, yang memberi kelembutan dan menggetarakan jiwa, dan mampu
menyatukan makna-makna yang saling berbeda dan bertentangan dalam satu
rumpun yang memikat, yang merangkai hal-hal yang terasa asing satu sama lainnya
dalam satu simpul keserasian dan keakraban.
Bagi al-Jabiri, yang dimaksud dengan ilmu al-bayan dalam lingkungan
kebudayaan Arab-Islam, khususnya dalam ilmu balaghah, pada hakikatnya tidak lain
daripada tasybih yakni: mempertemukan antara dua hal yang berbeda jenisnya dan
penyelarasan di antara keduanya. Melalui metode tasybih, dunia realitas dan dunia
perasaan yang masing-masing berbeda jenis dan karakternya dileburkan ke dalam sebuah
gambaran dunia yang umumnya bersifat inderawi. Sehingga metode tasybih digunakan
untuk mengalihkan perhatian lawan bicara dari sesuatu yang ma’qul kepada sesuatu yang
bersifat inderawi.
Karenanya rasionalitas atau burhan dalam tradisi ilmu al-bayan tidak lebih dari
sekedar sebuah analogi (qiyas). Apa yang disebut dengan qiyas dalam konteks ini adalah
penggambaran suatu hal yang majhul (tidak dikenal) dengan sesuatu hal yang ma’lum
(yang sudah dikenal) melalui sifat, kondisi atau keserupaan yang terdapat di antara
keduanya.
Terkait dengan bentuk penalaran dalam tradisi ilmu al-bayan (istidlal bayani) ini,
al-Jabiri menemukan karakter “pemaksaan epistemologis” dalam kegiatan bernalar,
karena dalam metode tasybih atau qiyas yang digunakan oleh bayaniyun (ahli ilmu albayan) terjadi “penyelarasan” antara hal-hal yang berbeda melalui medium
penggambaran inderawi yang cukup efektif untuk “membungkam” perbedaan.
“Pembungkaman” ini terjadi tatkala pembicara atau penulis mencecar pendengar atau
pembacanya dengan sederet bentuk-bentuk tasybih yang memukau, yang memberikan
rangkaian perumpamaan dan pengambaran inderawi secara terus menerus. Cara ini
7
sangat efektif untuk mengalihkan pikiran pembaca atau pendengar dari satu gagasan ke
gagasan berikutnya, tanpa memberi kesempatan kepada mereka untuk bersuara guna
mempertanyakannya. Dalam kondisi seperti ini, wacana dalam tradisi ilmu al-bayan
menjadi sangat sarat dengan kata-kata, tapi miskin makna.
2. Metodologi “Bayan” Dalam Ilmu Ushul Al-Fiqh
Dalam kebudayaan Arab-Islam yang dikenal sebagai peradaban fiqih, upaya
perumusan ilmu ushul al-fiqh yang dilakukan oleh al-Syafi’i ini memiliki signifikansi
yang tidak kecil. Sebab, posisi ilmu ushul al-fiqh dalam fiqih seperti posisi logika dalam
filsafat. Kalau ilmu fiqih adalah tata aturan bagi masyarakat, maka ilmu ushul al-fiqh
merupakan tata aturan bagi nalar, bukan saja nalar fiqih, tapi juga nalar Arab-Islam
secara keseluruhan. Sebab, meski pada awalnya ilmu ushul al-fiqh meminjam dasar-dasar
metodis dari ilmu-ilmu lain seperti ilmu kebahasaan dan ilmu kalam, namun pada
perkembangan berikutnya ilmu ushul al-fiqh justru menjadi pijakan bagi perkembangan
ilmu-ilmu lain tersebut.
Dalam menerapkan bayan dalam ushul fiqh menurut al-Jabiri, al-Syafi’i
menjawab pertanyaan tentang apa itu al-bayan yang ditulis dalam bagian pertama kitab
al-Risalah. dimana al-Syafi’i menyatakan bahwa Bayan merupakan ungkapan yang
mencakup berbagai macam makna yang mempunyai prinsip-prinsip yang sama, namun
cabangnya berbeda-beda. Bagi mereka yang menjadikan bahasa di mana al-Qur’an
diturunkan dengan bahasa (bahasa Arab) sebagai bahasannya, persamaan dan
percabangan ini tampak jelas (bayan) dan serasi, sekalipun sebagian lebih kuat aspek
bayan-nya dari sebagian yang lain, dan tampak berbeda-beda bagi mereka yang tidak
memahami bahasa Arab.
Dalam pandangan al-Jabiri, tatkala menetapkan ushul al-fiqh, al-Syafi’i
sebenarnya sedang mempertemukan antara ushul al-hadits dan ushul ahl al-ra’yi. Bagi alSyafi’i, ra’yu tidak boleh berjalan kecuali berdasarkan qiyas, yakni proses penalaran
yang didasarkan pada adanya persesuaian dengan informasi yang telah ada sebelumnya
di dalam kitab dan sunnah, di mana kesesuaian ini terjadi di antara cabang dan asal, baik
karena keduanya memiliki kesamaan makna ataupun keserupaan. Selain itu, mekanisme
qiyas juga tidak boleh dilakukan kecuali orang yang melakukannya telah memiliki
perangkat-perangkat yang diperlukan, yakni pengetahuan tentang hukum-hukum yang
ada dalam kitabullah, ketentuan-ketentuannya, aspek sastranya, nasikh-mansukh, ‘am8
khas, serta petunjuk-petunjuk-petunjuknya. Orang-orang yang mau melakukan qiyas juga
disyaratkan harus memiliki pengetahuan tentang sunnah, pendapat-pendapat ulama
sebelumnya, ijma, perselisihan umat serta pengetahuan tentang bahasa Arab.
Dalam penilaian al-Jabiri, apa yang disebut ijtihad oleh al-Syafi’i pada dasarnya
adalah ijtihad dalam memahami teks keagamaan dalam wilayah sirkulasinya sendiri.
Pemecahan masalah harus dicari di dalam dan melalui teks. Adapun qiyas ala al-Syafi’i
sama sekali bukan ra’yu, melainkan “suatu proses yang dilakukan berdasarkan dalil
sesuai dengan informasi yang telah ada dalam kitab dan sunnah. Dengan demikian, agar
qiyas bisa berlangsung, maka harus ada khabar (teks) dalam kitab atau sunnah yang
dijadikan sebagai sumber dan dalil, serta harus ada kesesuaian atau kemiripan makna
antara kasus baru yang hendak dicari hukumnya (cabang) dengan sumbernya (asal).
Dengan demikian, kata al-Jabiri, ijtihad dan qiyas ala al-Syafi’i adalah mekanisme
berpikir yang berlangsung dengan menghubungkan antara satu sisi dengan sisi lainnya,
serta tidak membangun dunia pemikiran dengan bertolak dari prinsip-prinsip. Karena
objek kegiatan pemikiran model ini adalah teks, maka cakupan pemikiran menjadi
terbatas pada “menarik kesimpulan” dari teks.
Bagi al-Jabiri, dengan rumusan metodis yang dibangunnya, al-Syafi’i adalah
legislator utama bagi pembantukan nalar Arab-Islam. Posisi al-Syafi’i di dunia ArabIslam bisa disejajarkan dengan Descartes dalam pemikiran Eropa modern. Melalui ilmu
ushul al-fiqh-nya, al-Syafi’i telah memancangkan orientasi epistemologis dunia ArabIslam yang pengaruhnya masih terasa hingga saat ini. Al-Syafi’i telah mengarahkan nalar
Arab-Islam secara horizontal dengan menghubungkan antara asal di satu sisi, dengan
cabang di lain sisi melalui qiyas, serta secara vertikal dengan mengaitkan satu kata
dengan beragama makna pada satu sisi, dan satu makna dengan beragama kata di lain sisi
dalam kajian-kajian fiqh, bahasa dan teologi (ilmu kalam). Di tangan al-Syafi’i, akal
menjadi bersifat instrumental karena ia disubordinasikan sedemikian rupa pada teks-teks
keagamaan, serta pemikiran bebas sebagaimana dipraktikkan oleh Abu Hanifah
dikerangkeng dalam otoritas atsar.
3. Metodologi “Bayan” Dalam Ilmu Kalam
Menurut al-Jabiri, metode qiyas bayani ini tampak dalam satu bentuk metodologi
yang umum berlaku, baik di kalangan mutakalimin ‘Asy’ariyyah, kalangan Hanbali,
maupun Mu’tazilah, yakni: istidlal bi al-syahid ala al-ghaib (penalaran yang berangkat
9
dari yang nyata (dunia riil) untuk mengukuhkan yang ghaib (masalah-masalah
ketuhanan). Ini pula yang berlaku dalam studi-studi balaghah dan nahw seperti
diungkapkan dalam salah satu pernyatan al-Jurjani, bahwa “al-tasybih qiyas” (emulasi
atau perumpamaan merupakan salah satu bentuk analogi). Pertemuan beberapa disiplin
ilmu ini pada akhirnya melahirkan satu bentuk nalar yang secara khusus terkait dengan
hukum-hukum bahasa, dan itu berarti dengan teks (nash). Pada gilirannya, hal ini
melahirkan himpunan aturan-aturan dan hukum-hukum berpikir yang ditentukan dan
dipaksakan (secara tidak sadar) sebagai episteme oleh kultur Arab yang terkait erat
dengan faktor bahasa dan teks-teks agama tersebut. Ini adalah faktor-faktor epistemologis
yang membentuk nalar bayani, sebuah sistem pengetahuan yang bersifat “menentukan”
dan “memaksa”.
Dalam pengamatan al-Jabiri, kodifikasi dan sistematisasi sistem pengetahuan
bayani ini dibuat oleh kalangan Sunni tatkala berhadapan dengan “pihak-pihak musuh
yang berbahaya”. Apa yang dianggap sebagai musuh berbahaya itu adalah apa yang
dalam pemikiran Islam klasik dikenal sebagai ‘ulum al-awail (ilmu-ilmu kuno) yang
merupakan warisan dari ilmu-ilmu kuno pra-Islam, yang kemudian dilawankan dengan
al-‘ulum al-naqliyyah (ilmu-ilmu yang diriwayatkan dan didasarkan pada teks-teks
keagamaan). Apa sebenarnya yang terjadi ketika ulum al-awail dan ulum al-naqliyyah
tersebut saling berhadapan?
Sebagaimana diamati oleh al-Jabiri, nalar bayani tersebut tidak hanya melahirkan
cara-cara dan pola-pola pikir baku, tapi juga melahirkan sebuah pandangan dunia yang
disebutnya sebagai ideologi. Ideologi atau pandangan dunia tersebut memiliki posisi
signifikan yang tidak bisa ditawar-tawar ketika dihadapkan dengan ideologi-ideologi atau
pandangan-pandangan dunia lainnya, seperti yang dibawa oleh ulum al-awail. Apa yang
disebut terakhir ini menampakkan dirinya dalam berbagai tradisi pemikiran, mulai dari
tradisi Yunani, Hellenisme, Persia kuno, hingga warisan Hermetisisme kaum Sabean.
Dari tradisi ini, al-Jabiri mengamati dua bentuk episteme lain yang muncul dalam
kebudayaan Arab, yakni nalar ‘irfani dan nalar burhani, yang masing-masing terlibat
dalam konflik dengan nalar bayani.
10
BAB III
KESIMPULAN
Al Jabiri mengutip pendapat al Sikaki yang menyatakan bahwa orang yang
menguasai ilmu bayan sebagai satu-satunya landasan (ashl) bagi tasybih atau kinayah
atau isti’arah dan mengikuti cara kerjanya guna menghasilkan sesuatu yang dicari hal itu
akan membawanya memahami cara penataan dalil.
Dalam pendekatan bayani yang kental akan dominasi teks yang sedemikian kuat,
maka peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks yang
dipahami atau diinterpretasi. Namun hanya menggunakan metode bayani semata-mata
tidaklah cukup karena terkadang tidak didapat penjelasan teks baik berupa teks Al
Qur’an ataupun hadits yang berkaitan dengan permasalahan yang terjadi. Misal tentang
masalah seni/tradisi yang ada dalam suatu masyarakat.
Selain itu terkadang meskipun ada nash atau teks normatif yang berkaitan dengan
permasalahan yang terjadi namun teks tersebut sangat erat berhubungan dengan konteks
historis dan sosiologis. Sehingga tidak cukup dengan hanya menggunakan pendekatan
bayani saja. Jika hanya menggunakan pendekatan bayani saja maka akan menimbulkan
pandangan keagamaan yang binnar opposition (hitam putih, halal haram, sunah-bid’ah),
tertutup, kaku dan intoleran .
Oleh karena itu diperlukan pendekatan atau perspektif lain yang lebih bersifat
terbuka, luwes dan toleran yakni pendekatan burhani dan pendekatan irfani. Penerapan
analisis rasional-filosofis, anlisis konteks: historis, sosio, antropologis dan politis
ideologis dengan tepat akan dapat mengungkapkan konteks dari risalah keagamaan dan
mengungkap realitas sejarah, nilai-nilai spiritualis dan religius yang terjadi dalam
masyarakat, sehingga dapat tetap berpegang pada ajaran yang benar.
Metode bayani ini sangat penting untuk diketahui dan dipahami, sebab dengannya
dapat diperoleh pemahaman mendalam terhadap teks-teks yang termuat dalam Al Qur’an
dan hadits. Meski demikian metode pendekatan bayani tetap memerlukan pendekatan
yang lain yakni burhani dan irfani. Sebab metode-metode tersebut saling berkaitan dan
melengkapi.
11
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Bunyah al-’Aql al-’Arabi, , Beirut, Markaz Dirasat alWihdah al-’Arabiyyah, 2009
Soleh,A.Khudari, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2012
Azami ,M.Mustafa, Metodologi Kritik Hadits, terj. Yamin, Bandung, Pustaka
hidayah,1996
Abdullah, M. Amin, Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi,
Yogyakarta: Suka Press, 2007.
Arif, Mahmud. Pendidikan Islam Transformatif, Yogyakarta: Lkis, 2008.
-----------------,. INVOLUSI PENDIDIKAN ISLAM Mengurai Problematika dalam
Perspektif Historis-Filosofis, Yogyakarta: IDEA PRESS, 2006.
Jurnal Studi Islam An Nur, vol.II, no.5.September2006.
Hadi, P. Hardono. Epistemologi (Filsafat Pengetahuan) (Yogyakarta: Kanisius,
1994)
Muhammad Amien, Miska. Epistemologi Islam, Jakarta:UI Press, 1983.
M. Suyudi, Pendidikan Dalam Al-Qur’an (Telaah Epistemologis dengan
Pendekatan Bayani, Burhani dan ‘Irfani), Disertasi (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga,
2003),
M. Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu
Pengetahuan (Yogyakarta: Belukar, 2005)
Naim, Ngainun. Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: Teras, 2009.
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam,Jakarta,Ichtiar baru Van Hoeve,1997,Cet. 4
Jilid.3
H.A Ali Mukti, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, Mizan, Bandung, 1991
12
Untuk memenuhi tugas materi :
Filsafat ilmu
Dosen Pengampu :
Al-Ustadz Saiful Anwar, S.Pd.I
Disusun Oleh:
Asri Mukti Kusuma
Sukmawati Usriyatul Iman
Rintan Tifani Angela
Pendidikan Agama Islam 2
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR
MANTINGAN, NGAWI
2017 M / 1438 H
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pemikiran keislaman yang berkembang pada masa sekarang ini telah dilakukan
melalui berbagai perspektif dan metodologi. Dimana setiap perspektif dan metode yang
digunakan mempunyai ciri tersendiri disamping kelebihan dan kekurangan yang melekat
pada perspektif dan metode tersebut tentunya.
Mukti Ali menyatakan bahwa dalam mempelajari dan memahammi Islam
terdapat 3 (tiga) cara yang jelas yakni naqli (tradisional), aqli (rasional) dan kasyfi
(mistis). Ketiga pendekatan tersebut telah ada dalam pola pemikiran Rasulullah SAW
dan terus dipergunakan oleh para ulama Islam setelah beliau wafat hingga saat ini.
Ketiga metode tersebut dalam operasionalnya lebih dikenal dengan istilah pendekatan
bayani, irfani dan burhani.
Tawaran pendekatan ini sengaja diarahkan pada upaya merekonstruksi
pemahaman dalam wilayah baru yang belum ada teks hukumnya dengan menghargai
tradisi secara proporsional sekaligus mengurangi kesan arogansi intelektual. Upaya ini
dilakukan melalui penggabungan teori sistem dan teori aksi di dalam perangkat
analisisnya.
Dalam rangka mencapai suatu intepretasi yang tepat dalam memahami agama dengan
segala aspek yang terkandung di dalamnya diperlukan metode-meode yang dapat
dipergunakan untuk mendapat pemahaman yang tepat. Islam yang diturunkan di Arab
lahir dan berkembang seiring dengan adat budaya Arab. Hal ini memerlukan pengkajian
yang komprehensif sebab sumber agama Islam yakni Al Qur’an dan Sunah berbahasa
Arab. Sehingga untuk memahaminya wajib untuk memahami bahasa Arab.
Al Qur’an dan Sunah merupakan teks tertulis; demikian juga pendapat/ fatwa
ulama dalam segala wujudnya telah membentuk sebagai suatu pengetahuan. Teks yang
hidup, masih terus vital dan tak jarang dianggap sakral itu kemudian dibayankan atau
dijelaskan secara tidak berkesudahan sehingga muncullah ilmu seolah-olah (ilmu yang
muncul karena restatement atau lewat pengungkapan ulang apa yang sudah dikatakan dan
2
dijelaskan di dalam teks masa lampau). Hampir tidak ada yang terlalu baru di masa kini
berbanding masa lampau.
Jadi yang terjadi di dunia Islam sesungguhnya bukanlah bertambahnya ilmu
agama, tapi menggunungnya kata-kata yang dirumuskan ulang dari kata-kata yang sudah
ada sebelumnya; tanpa proses kreatif dan penalaran yang memadai. Inilah yang
mengukuhkan aspek legalisme dan eksoterisme Islam; yang disebut oleh al-Jabiri sebagai
aktivitas memberanakkan kata-kata (istitsmar al-alfadz).
Umat Islam sudah terlalu banyak mengonsumsi ilmu-ilmu yang dihafalkan dan
diwariskan secara turun-temurun. Juga terlalu banyak menghabiskan waktu untuk
menyingkap rahasia dan hikmah ilahiyah di alam raya. Sudah pada tempatnya untuk
memberikan porsi lebih banyak kepada aktivitas penalaran agar ciri khas manusia
sebagai “makhluk yang bertindak berdasarkan ide” dapat teralisasi. Jika tidak,isi otak
umat Islam tak akan lebih dari susunan huruf dan biji tasbih tanpa ditemukannya bukti
bahwa otak itu pernah bekerja sebagaimana mestinya. Guna mewujudkan hal tersebut
para ulama menawarkan beberapa konsep pemikiran yang diharapkan dapat memberikan
pemahaman baru tentang Islam. Salah satu metode yang ditawarkan dan akan penyusun
kaji yakni metode bayani.
Dalam makalah yang disajikan penyusun mencoba untuk memberikan gambaran
tentang pengertian metode bayani beserta kaidah-kaidah yang dipakai dalam metode
bayani tersebut. Selain itu juga akan penyusun sampaikan beberapa contoh pemakaian
metode bayan dalam beberapa disiplin ilmu.
Adapun masalah yang akan dibahas dalam makalah ini ialah mengenai definisi
metode bayani, tujuan pendekatan bayani dan bagaimana penerapan metode bayani
tersebut dalam disiplin ilmu.
Pembahasan tersebut bertujuan untuk mengetahui definisi metode bayani,
mengetahui tujuan pendekatan bayani, serta untuk mengetahui bagaimana penerapan
metode bayani dalam disiplin ilmu.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Metode Bayani
Metode bayani adalah sebentuk epistimologi yang menjadikan teks tertulis seperti
Quran, hadis, pendapat atau fatwa ulama, sebagai basis utama untuk membentuk
pengetahuan. Pola Bayani (kajian semantik), pola ini lebih menitik beratkan pada kajian
bahasa dalam bentuk penafsiran gramatikal, seperti kapan suatu kata itu berarti hakiki
atau majazi. Bagaimana cara memilih salah satu arti kata musytarak, mana yang qath’i
serta mana ayat yang zanni dan sebagainya.
Epistemologi bayani merupakan suatu cara untuk mendapatkan pengetahuan
dengan berpijak pada teks, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung
dalam arti menganggap teks sebagai pengetahuan jadi, dan secara tidak langsung yaitu
dengan melakukan penalaran yang berpijak pada teks ini. Dengan kata lain sumber
pengetahuan menurut epistemologi ini adalah teks atau penalaran yang berpijak pada
teks. Bagi al-Jabiri, istilah nalar bayani dimaksudkan sebagai sistem berpikir atau
episteme yang menjadikan bahasa Arab sebagai basis bagi sistem penalarannya, serta
menjadikan qiyas (analogi) sebagai metode berpikirnya.1
Dalam pandangan al-Jabiri, sistem pengetahuan bayani yang berporos pada
persoalan bahasa dan teks memiliki persoalan-persoalan yang hingga saat ini masih
menggelayuti pemikiran Arab modern dan kontemporer. Persoalan apa sebenarnya yang
ditimbulkan oleh pola pikir berporos bahasa dan teks dalam nalar bayani tersebut?
Sebagaimana lazim diketahui dalam tradisi linguistik dan hermeneutika, bahasa tidak saja
berfungsi sebagai sarana untuk berkomunikasi, tapi juga sarana berpikir, bahkan wahana
untuk mengorganisasikan dunia.
Epistemologi bayani, secara historis sangat dominan dalam ilmu-ilmu pokok,
seperti fiqh, ilmu al-qur’an, kalam dan teori sastra non-filsafat. Al-Jâbirî menjelaskan
bahwa sistem bayani dibangun oleh dua prinsip dasar; pertama, prinsip diskontinyuitas
atau keterpisahan (al-infisal), dan kedua, prinsip kontingensi atau kemungkinan (altajwiz). Prinsip-prinsip tersebut termanifestasi dalam teori substansi individu yang
1
Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam (Bandung: PUSTAKA SETIA, 2009), hlm. 78.
4
mempertahankan bahwa hubungan substansi sebuah individu (tubuh, tindakan, sensasi
dan apapun yang terbentuk di dalamnya) didasarkan atas hubungan dan asosiasi yang
kebetulan saja, tapi tidak memengaruhi dan berinteraksi. Teori ini sesungguhnya
menafikan teori kausalitas atau ide tentang adanya hukum alam.2
B. Tujuan Pendekatan Bayani
Metode bayani yang telah lama digunakan dan diterapkan oleh para ulama
(fuqaha, mutakallimun dan ushuliyun) ini bertujuan untuk :
1. Memahami dan menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna
yang dikandung dalam (dikehendaki) lafadz. Dengan kata lain, pendekatan ini
dipergunakan untuk mengeluarkan makna zahir dari lafadz dan ‘ibarah yang zahir
pula
2. Mengambil istinbath hukum-hukum dari al nushush ‘an diniyyah dan Al Qur’an
khususnya.3
Makna lafadz yang terkandung dalam nash (Al Qur’an dan Hadits), dikehendaki
oleh dan diekspresikan melalui teks dapat diketahui dengan mencermati hubungan makna
dan lafadz. al Jabiri menyatakan bahwa metode bayani yang digunakan dalam pemikiran
Arab baik dalam fiqh, nahwu atau teologi didasarkan pada mekanisme yang menjadi
landasan bagi metode fuqaha. Hal ini dikarenakan para ulama ushul fiqh merangkum
berbagai cabang ilmu yang sesuai dengan tujuan mereka dan menjadikannya sebuah
ilmu.
Sedangkan dalam pandangan Syafi’i; Bayan adalah ungkapan yang mencakup
berbagai macam makna yang mempunyai prinsip-prinsip yang sama namun cabangnya
berbeda-beda, sebagian percabangan tersebut mempunyai bayan yang lebih kuat
dibanding yang lain. Selanjutnya Syafi’i mengklasifikasi dan menetapkan aspek-aspek
bayan dalam wacana Al Qur’an dan membaginya menjadi 5 (lima) yaitu :
1. Teks yang tidak membutuhkan ta’wil atau penjelasan dikarenakan telah jelas
dengan sendirinya
2. Teks yang membutuhkan penyempurnaan dan penjelasan
3. Teks yang ditetapkan Allah dan teks tersebut dijelaskan oleh nabi
2
3
M. Abid al-Jabiry, Takwin al-‘Aql al- ‘Araby (Beirut: Al-Markaz al- Tsaqafy, 1991), hlm. 79-81.
Rosihon Anwar, Pengantar ...), hlm. 240-242.
5
4. Teks yang tidak disebutkan Al Qur’an namun dijelaskan oleh Nabi sehingga
memiliki kekuatan sebagaimana teks Al Qur’an
5. Teks yang diwajibkan oleh Allah kepada hamba-Nya untuk berijtihad.4
Al Jabiri menukilkan pendapat Imam Syafi’i yang mengarahkan pola pemikiran
secara horizontal dengan menghubungkan furu’ dengan ashl (qiyas) dan secara vertikal
dengan mengaitkan satu kata dengan beragam kata dalam kajian-kajian fiqh,bahasa dan
teologi.
C. Penerapan Metode Bayani dalam disiplin ilmu
1. Metode “Bayan” dalam Bahasa Arab dan Model Penalarannya
Menurut al-Jabiri, kemunculan dan pertumbuhan ilmu balaghah dalam
lingkungan kebudayaan Arab-Islam tidak disebabkan oleh adanya pengaruh dari luar,
melainkan dilatarbelakangi oleh kebutuhan internal dalam kebudayaan itu sendiri.
Kemunculan ilmu balaghah ini terutama disebabkan oleh kebutuhan untuk menimba
hukum-hukum agama dari teks al-Qur’an, khususnya berkenaan dengan hukum-hukum
dalam bidang syari’ah dan akidah. Dalam bidang syari’ah, para pengkaji hukum dituntut
untuk memiliki pengetahuan yang sistematis dan baku tentang metode-metode
pengungkapan dan pemaparan yang dipakai oleh bahasa al-Qur’an. Sementara dalam
bidang akidah, para teolog Muslim (mutakalimun) sangat menyadari tantangan dari
“musuh-musuh” Islam terhadap kemukjizatan al-Qur’an, karenanya para teolog itu
berupaya keras untuk mengangkat beberapa sisi yang menunjukan kemukjizatan alQur’an, khususnya pada level kebahasaan.
Dengan demikian, dalam pandangan al-Jabiri, bisa dikatakan bahwa para ahli
balaghah telah berhasil membangun jilid kedua logika Arab, setelah jilid pertamanya
dibangun oleh kalangan nuhah (ahli gramatika bahasa Arab). Kalau ahli nahwu
mengawali pembentukan logika Arab dengan membuat aturan-aturan baku wacana
bahasa Arab beserta kategori-kategori baku dan format logikanya, maka ahli balaghah
menyempurnakannya dengan menjelaskan aspek-aspek kemukjizatan dalam wacana
bahasa Arab. Penyempurnaan tersebut dilakukan dengan mengungkapkan mekanismemekanisme bayan dan rasionalitas yang terkandung dalam sistem linguistik bahasa Arab.
4
Al-Jabiry, Takwin… op.cit. hal.22-23
6
Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan hakikat al-bayan itu sendiri?
Menurut al-Jabiri, kalangan pakar balaghah seperti al-Mubarrid, al-‘Askari, ibn Wahb,
al-Sakkaki dan al-Jurjani sepakat untuk mengatakan bahwa keseluruhan metode bayan
dalam bahasa Arab semuanya bermuara pada satu metode ini, yakni: tasybih. Sebagai
salah satu contoh, al-Jabiri mengutip kata-kata al-Jurjani tentang keutamaan tasybih
berikut:
›
Metode tasybih merupakan seni yang membutuhkan kecerdasan dan bakat yang
maksimal, yang memberi kelembutan dan menggetarakan jiwa, dan mampu
menyatukan makna-makna yang saling berbeda dan bertentangan dalam satu
rumpun yang memikat, yang merangkai hal-hal yang terasa asing satu sama lainnya
dalam satu simpul keserasian dan keakraban.
Bagi al-Jabiri, yang dimaksud dengan ilmu al-bayan dalam lingkungan
kebudayaan Arab-Islam, khususnya dalam ilmu balaghah, pada hakikatnya tidak lain
daripada tasybih yakni: mempertemukan antara dua hal yang berbeda jenisnya dan
penyelarasan di antara keduanya. Melalui metode tasybih, dunia realitas dan dunia
perasaan yang masing-masing berbeda jenis dan karakternya dileburkan ke dalam sebuah
gambaran dunia yang umumnya bersifat inderawi. Sehingga metode tasybih digunakan
untuk mengalihkan perhatian lawan bicara dari sesuatu yang ma’qul kepada sesuatu yang
bersifat inderawi.
Karenanya rasionalitas atau burhan dalam tradisi ilmu al-bayan tidak lebih dari
sekedar sebuah analogi (qiyas). Apa yang disebut dengan qiyas dalam konteks ini adalah
penggambaran suatu hal yang majhul (tidak dikenal) dengan sesuatu hal yang ma’lum
(yang sudah dikenal) melalui sifat, kondisi atau keserupaan yang terdapat di antara
keduanya.
Terkait dengan bentuk penalaran dalam tradisi ilmu al-bayan (istidlal bayani) ini,
al-Jabiri menemukan karakter “pemaksaan epistemologis” dalam kegiatan bernalar,
karena dalam metode tasybih atau qiyas yang digunakan oleh bayaniyun (ahli ilmu albayan) terjadi “penyelarasan” antara hal-hal yang berbeda melalui medium
penggambaran inderawi yang cukup efektif untuk “membungkam” perbedaan.
“Pembungkaman” ini terjadi tatkala pembicara atau penulis mencecar pendengar atau
pembacanya dengan sederet bentuk-bentuk tasybih yang memukau, yang memberikan
rangkaian perumpamaan dan pengambaran inderawi secara terus menerus. Cara ini
7
sangat efektif untuk mengalihkan pikiran pembaca atau pendengar dari satu gagasan ke
gagasan berikutnya, tanpa memberi kesempatan kepada mereka untuk bersuara guna
mempertanyakannya. Dalam kondisi seperti ini, wacana dalam tradisi ilmu al-bayan
menjadi sangat sarat dengan kata-kata, tapi miskin makna.
2. Metodologi “Bayan” Dalam Ilmu Ushul Al-Fiqh
Dalam kebudayaan Arab-Islam yang dikenal sebagai peradaban fiqih, upaya
perumusan ilmu ushul al-fiqh yang dilakukan oleh al-Syafi’i ini memiliki signifikansi
yang tidak kecil. Sebab, posisi ilmu ushul al-fiqh dalam fiqih seperti posisi logika dalam
filsafat. Kalau ilmu fiqih adalah tata aturan bagi masyarakat, maka ilmu ushul al-fiqh
merupakan tata aturan bagi nalar, bukan saja nalar fiqih, tapi juga nalar Arab-Islam
secara keseluruhan. Sebab, meski pada awalnya ilmu ushul al-fiqh meminjam dasar-dasar
metodis dari ilmu-ilmu lain seperti ilmu kebahasaan dan ilmu kalam, namun pada
perkembangan berikutnya ilmu ushul al-fiqh justru menjadi pijakan bagi perkembangan
ilmu-ilmu lain tersebut.
Dalam menerapkan bayan dalam ushul fiqh menurut al-Jabiri, al-Syafi’i
menjawab pertanyaan tentang apa itu al-bayan yang ditulis dalam bagian pertama kitab
al-Risalah. dimana al-Syafi’i menyatakan bahwa Bayan merupakan ungkapan yang
mencakup berbagai macam makna yang mempunyai prinsip-prinsip yang sama, namun
cabangnya berbeda-beda. Bagi mereka yang menjadikan bahasa di mana al-Qur’an
diturunkan dengan bahasa (bahasa Arab) sebagai bahasannya, persamaan dan
percabangan ini tampak jelas (bayan) dan serasi, sekalipun sebagian lebih kuat aspek
bayan-nya dari sebagian yang lain, dan tampak berbeda-beda bagi mereka yang tidak
memahami bahasa Arab.
Dalam pandangan al-Jabiri, tatkala menetapkan ushul al-fiqh, al-Syafi’i
sebenarnya sedang mempertemukan antara ushul al-hadits dan ushul ahl al-ra’yi. Bagi alSyafi’i, ra’yu tidak boleh berjalan kecuali berdasarkan qiyas, yakni proses penalaran
yang didasarkan pada adanya persesuaian dengan informasi yang telah ada sebelumnya
di dalam kitab dan sunnah, di mana kesesuaian ini terjadi di antara cabang dan asal, baik
karena keduanya memiliki kesamaan makna ataupun keserupaan. Selain itu, mekanisme
qiyas juga tidak boleh dilakukan kecuali orang yang melakukannya telah memiliki
perangkat-perangkat yang diperlukan, yakni pengetahuan tentang hukum-hukum yang
ada dalam kitabullah, ketentuan-ketentuannya, aspek sastranya, nasikh-mansukh, ‘am8
khas, serta petunjuk-petunjuk-petunjuknya. Orang-orang yang mau melakukan qiyas juga
disyaratkan harus memiliki pengetahuan tentang sunnah, pendapat-pendapat ulama
sebelumnya, ijma, perselisihan umat serta pengetahuan tentang bahasa Arab.
Dalam penilaian al-Jabiri, apa yang disebut ijtihad oleh al-Syafi’i pada dasarnya
adalah ijtihad dalam memahami teks keagamaan dalam wilayah sirkulasinya sendiri.
Pemecahan masalah harus dicari di dalam dan melalui teks. Adapun qiyas ala al-Syafi’i
sama sekali bukan ra’yu, melainkan “suatu proses yang dilakukan berdasarkan dalil
sesuai dengan informasi yang telah ada dalam kitab dan sunnah. Dengan demikian, agar
qiyas bisa berlangsung, maka harus ada khabar (teks) dalam kitab atau sunnah yang
dijadikan sebagai sumber dan dalil, serta harus ada kesesuaian atau kemiripan makna
antara kasus baru yang hendak dicari hukumnya (cabang) dengan sumbernya (asal).
Dengan demikian, kata al-Jabiri, ijtihad dan qiyas ala al-Syafi’i adalah mekanisme
berpikir yang berlangsung dengan menghubungkan antara satu sisi dengan sisi lainnya,
serta tidak membangun dunia pemikiran dengan bertolak dari prinsip-prinsip. Karena
objek kegiatan pemikiran model ini adalah teks, maka cakupan pemikiran menjadi
terbatas pada “menarik kesimpulan” dari teks.
Bagi al-Jabiri, dengan rumusan metodis yang dibangunnya, al-Syafi’i adalah
legislator utama bagi pembantukan nalar Arab-Islam. Posisi al-Syafi’i di dunia ArabIslam bisa disejajarkan dengan Descartes dalam pemikiran Eropa modern. Melalui ilmu
ushul al-fiqh-nya, al-Syafi’i telah memancangkan orientasi epistemologis dunia ArabIslam yang pengaruhnya masih terasa hingga saat ini. Al-Syafi’i telah mengarahkan nalar
Arab-Islam secara horizontal dengan menghubungkan antara asal di satu sisi, dengan
cabang di lain sisi melalui qiyas, serta secara vertikal dengan mengaitkan satu kata
dengan beragama makna pada satu sisi, dan satu makna dengan beragama kata di lain sisi
dalam kajian-kajian fiqh, bahasa dan teologi (ilmu kalam). Di tangan al-Syafi’i, akal
menjadi bersifat instrumental karena ia disubordinasikan sedemikian rupa pada teks-teks
keagamaan, serta pemikiran bebas sebagaimana dipraktikkan oleh Abu Hanifah
dikerangkeng dalam otoritas atsar.
3. Metodologi “Bayan” Dalam Ilmu Kalam
Menurut al-Jabiri, metode qiyas bayani ini tampak dalam satu bentuk metodologi
yang umum berlaku, baik di kalangan mutakalimin ‘Asy’ariyyah, kalangan Hanbali,
maupun Mu’tazilah, yakni: istidlal bi al-syahid ala al-ghaib (penalaran yang berangkat
9
dari yang nyata (dunia riil) untuk mengukuhkan yang ghaib (masalah-masalah
ketuhanan). Ini pula yang berlaku dalam studi-studi balaghah dan nahw seperti
diungkapkan dalam salah satu pernyatan al-Jurjani, bahwa “al-tasybih qiyas” (emulasi
atau perumpamaan merupakan salah satu bentuk analogi). Pertemuan beberapa disiplin
ilmu ini pada akhirnya melahirkan satu bentuk nalar yang secara khusus terkait dengan
hukum-hukum bahasa, dan itu berarti dengan teks (nash). Pada gilirannya, hal ini
melahirkan himpunan aturan-aturan dan hukum-hukum berpikir yang ditentukan dan
dipaksakan (secara tidak sadar) sebagai episteme oleh kultur Arab yang terkait erat
dengan faktor bahasa dan teks-teks agama tersebut. Ini adalah faktor-faktor epistemologis
yang membentuk nalar bayani, sebuah sistem pengetahuan yang bersifat “menentukan”
dan “memaksa”.
Dalam pengamatan al-Jabiri, kodifikasi dan sistematisasi sistem pengetahuan
bayani ini dibuat oleh kalangan Sunni tatkala berhadapan dengan “pihak-pihak musuh
yang berbahaya”. Apa yang dianggap sebagai musuh berbahaya itu adalah apa yang
dalam pemikiran Islam klasik dikenal sebagai ‘ulum al-awail (ilmu-ilmu kuno) yang
merupakan warisan dari ilmu-ilmu kuno pra-Islam, yang kemudian dilawankan dengan
al-‘ulum al-naqliyyah (ilmu-ilmu yang diriwayatkan dan didasarkan pada teks-teks
keagamaan). Apa sebenarnya yang terjadi ketika ulum al-awail dan ulum al-naqliyyah
tersebut saling berhadapan?
Sebagaimana diamati oleh al-Jabiri, nalar bayani tersebut tidak hanya melahirkan
cara-cara dan pola-pola pikir baku, tapi juga melahirkan sebuah pandangan dunia yang
disebutnya sebagai ideologi. Ideologi atau pandangan dunia tersebut memiliki posisi
signifikan yang tidak bisa ditawar-tawar ketika dihadapkan dengan ideologi-ideologi atau
pandangan-pandangan dunia lainnya, seperti yang dibawa oleh ulum al-awail. Apa yang
disebut terakhir ini menampakkan dirinya dalam berbagai tradisi pemikiran, mulai dari
tradisi Yunani, Hellenisme, Persia kuno, hingga warisan Hermetisisme kaum Sabean.
Dari tradisi ini, al-Jabiri mengamati dua bentuk episteme lain yang muncul dalam
kebudayaan Arab, yakni nalar ‘irfani dan nalar burhani, yang masing-masing terlibat
dalam konflik dengan nalar bayani.
10
BAB III
KESIMPULAN
Al Jabiri mengutip pendapat al Sikaki yang menyatakan bahwa orang yang
menguasai ilmu bayan sebagai satu-satunya landasan (ashl) bagi tasybih atau kinayah
atau isti’arah dan mengikuti cara kerjanya guna menghasilkan sesuatu yang dicari hal itu
akan membawanya memahami cara penataan dalil.
Dalam pendekatan bayani yang kental akan dominasi teks yang sedemikian kuat,
maka peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks yang
dipahami atau diinterpretasi. Namun hanya menggunakan metode bayani semata-mata
tidaklah cukup karena terkadang tidak didapat penjelasan teks baik berupa teks Al
Qur’an ataupun hadits yang berkaitan dengan permasalahan yang terjadi. Misal tentang
masalah seni/tradisi yang ada dalam suatu masyarakat.
Selain itu terkadang meskipun ada nash atau teks normatif yang berkaitan dengan
permasalahan yang terjadi namun teks tersebut sangat erat berhubungan dengan konteks
historis dan sosiologis. Sehingga tidak cukup dengan hanya menggunakan pendekatan
bayani saja. Jika hanya menggunakan pendekatan bayani saja maka akan menimbulkan
pandangan keagamaan yang binnar opposition (hitam putih, halal haram, sunah-bid’ah),
tertutup, kaku dan intoleran .
Oleh karena itu diperlukan pendekatan atau perspektif lain yang lebih bersifat
terbuka, luwes dan toleran yakni pendekatan burhani dan pendekatan irfani. Penerapan
analisis rasional-filosofis, anlisis konteks: historis, sosio, antropologis dan politis
ideologis dengan tepat akan dapat mengungkapkan konteks dari risalah keagamaan dan
mengungkap realitas sejarah, nilai-nilai spiritualis dan religius yang terjadi dalam
masyarakat, sehingga dapat tetap berpegang pada ajaran yang benar.
Metode bayani ini sangat penting untuk diketahui dan dipahami, sebab dengannya
dapat diperoleh pemahaman mendalam terhadap teks-teks yang termuat dalam Al Qur’an
dan hadits. Meski demikian metode pendekatan bayani tetap memerlukan pendekatan
yang lain yakni burhani dan irfani. Sebab metode-metode tersebut saling berkaitan dan
melengkapi.
11
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Bunyah al-’Aql al-’Arabi, , Beirut, Markaz Dirasat alWihdah al-’Arabiyyah, 2009
Soleh,A.Khudari, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2012
Azami ,M.Mustafa, Metodologi Kritik Hadits, terj. Yamin, Bandung, Pustaka
hidayah,1996
Abdullah, M. Amin, Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi,
Yogyakarta: Suka Press, 2007.
Arif, Mahmud. Pendidikan Islam Transformatif, Yogyakarta: Lkis, 2008.
-----------------,. INVOLUSI PENDIDIKAN ISLAM Mengurai Problematika dalam
Perspektif Historis-Filosofis, Yogyakarta: IDEA PRESS, 2006.
Jurnal Studi Islam An Nur, vol.II, no.5.September2006.
Hadi, P. Hardono. Epistemologi (Filsafat Pengetahuan) (Yogyakarta: Kanisius,
1994)
Muhammad Amien, Miska. Epistemologi Islam, Jakarta:UI Press, 1983.
M. Suyudi, Pendidikan Dalam Al-Qur’an (Telaah Epistemologis dengan
Pendekatan Bayani, Burhani dan ‘Irfani), Disertasi (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga,
2003),
M. Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu
Pengetahuan (Yogyakarta: Belukar, 2005)
Naim, Ngainun. Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: Teras, 2009.
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam,Jakarta,Ichtiar baru Van Hoeve,1997,Cet. 4
Jilid.3
H.A Ali Mukti, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, Mizan, Bandung, 1991
12