Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Efektivitas Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah Pada Gugus Ki Hajar Dewantoro Kecamatan Banyubiru Kabupaten Semarang T2 942009010 BAB I
Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Salah satu permasalahan pendidikan di Indonesia
adalah kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan berhubungan dengan proses penyelenggaraan pendidikan,
sumber daya manusia dan sarana dan prasarana.
Berdasarkan
hasil
kompetisi
baik
tingkat
regional
maupun internasional, kualitas pendidikan Indonesia
secara
umum
termasuk
dalam
kategori
rendah,
meskipun dalam beberapa ajang kompetisi internasional
secara individu peserta dari Indonesia pernah mencapai
prestasi peringkat pertama. Menurut Education for All
(EFA) Global Monitroring Report 2011 yang dikeluarkan
UNESCO dan diluncurkan di New York pada Senin,
1/3/2011, indeks pembangunan pendidikan Indonesia
berada pada urutan 69 dari 127 negara yang disurvei
(Napitupulu 2011). Kenyataan di atas dapat menjadi
indikasi bahwa pendidikan di Indonesia dapat dikatakan
belum sebagaimana yang digariskan dalam renstra
pendidikan nasional. Depdiknas (2002) dalam buku I
konsep dasar MPMBS menyebutkan bahwa kurang
berhasilnya pendidikan di Indonesis disebabkan oleh tiga
faktor. Pertama, penyelenggaraan pendidikan nasional
menggunakan
function
pendekatan
(pendekatan
educational
input-output
production
analysis)
tidak
dilaksanakan secara konsekuen; kedua, penyelenggaraan
pendidikan nasional diselenggarakan secara birokratik1
sentralistik, menempatkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan
birokrasi yang mempunyai jalur panjang dan kadangkadang
kebijakan
yang
dikeluarkan
kurang
sesuai
dengan kondisi sekolah setempat; ketiga, peranserta
warga sekolah khususnya pendidik dan peranserta
masyarakat
khususnya
orang
tua
siswa
dalam
penyelenggaraan pendidikan selama ini masih minim.
Pada pendekatan education production function
(input-output analysis), lembaga pendidikan berfungsi
sebagai pusat produksi. Jika semua masukan
yang
diperlukan dalam produksi dipenuhi, maka akan menghasilkan output yang dikehendaki. Input pendidikan
yang dimaksud seperti pelatihan pendidik, pengadaan
buku dan alat pelajaran, kelengkapan sarana dan
prasarana pendidikan dianggap dapat secara otomatis
menghasilkan mutu pendidikan, akan tetapi dalam
kenyataannya tidaklah demikian. Kebijakan birokratiksentralistik
yang
selama
ini
dilaksanakan
dapat
mengurangi kemandirian sekolah, motivasi, kreativitas,
inisiatif pelaksana pendidikan dalam mengembangkan
dan memajukan sekolah. Sekolah banyak bergantung
pada
keputusan
dari
pusat
dan
melaksanakan
keputusan tersebut yang sebenarnya sering kali kurang
sesuai dengan kondisi sekolah. Sementara partisipasi
warga sekolah dan masyarakat masih sebatas pada
dukungan
seperti
dana,
pemikiran,
sedang
moral
dukungan-dukungan
dan
barang/jasa
lain
kurang
diperhatikan. Untuk mengatasi beberapa faktor tersebut,
pemerintah telah menempuh beberapa upaya dalam
meningkatkan mutu pendidikan.
2
Peningkatan mutu pendidikan secara umum dapat
dicapai
melalui
proses
pendidikan
secara
berkesi-
nambungan dan menyeluruh dari tingkat pendidikan
dasar hingga pendidikan tinggi. Sebagaimana disebutkan dalam Rencana Strategis Departemen Pendidikan
Nasional tentang arah kebijakan pembangunan pendidikan nasional tahun 2010-2014 antara lain:
“Penerapan
manajemen
berbasis
sekolah
atau
madrasah merupakan kebijakan terobosan yang
bertujuan untuk memberikan otonomi yang lebih besar
pada sekolah dan madrasah untuk mengelola kegiatan
pendidikan dengan menggali potensi dan kekuatan
yang ada, kemudian mengembangkan dan memanfaatkannya untuk meningkatkan mutu pendidikan,
melalui kegiatan pengelolaan BOS, dan penyusunan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)”.
Lebih lanjut disebutkan bahwa “otonomi satuan
pendidikan
selain
sebagai
bentuk
demokratisasi
pengelolaan pendidikan, juga merupakan jaminan bagi
satuan
pendidikan
untuk
pendidikannya
secara
Otonomi
diberikan
yang
mengelola
mandiri”
organisasi
(www.diknas.go.id).
harus
diimbangi
dengan
transparansi dan akuntabilitas yang kuat sehingga
lingkungan
kondusif
kelembagaan
bagi
satuan
tumbuhnya
pendidikan
pribadi
yang
lebih
mandiri,
bertanggung jawab, demokratis, kreatif, inovatif, dan
enterpreneurial.
Kebijakan
ini
dilaksanakan
dalam
bentuk manajemen berbasis sekolah.
Perubahan manajemen pendidikan dari sentralistik ke desentralistik menuntut proses pengambilan
keputusan pendidikan yang lebih terbuka, dinamis dan
demokratis. Renstra Diknas tahun 2010-2014 Bab V,
5.2.9:a,
menyebutkan salah satu wujud dari otonomi
3
pendidikan, baik satuan pendidikan negeri maupun
swasta pada pendidikan dasar dan menengah 9 tahun
diterapkannya
konsep
dan
kebijakan
Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) atau madrasah (school-based
management). Untuk pendidikan dasar dan menengah,
proses otonomi pengambilan keputusan dapat dilaksanakan secara efektif dengan menerapkan Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS). Inti dari MBS adalah pemberian
wewenang (otonomi) kepada sekolah dengan harapan
dapat
mendorong
sekolah
untuk
melakukan
pengambilan keputusan secara partisipatif, kemandirian, kemitraan, kerja sama, tanggung jawab, keterbukaan, keluwesan, akuntabilitas, dan keberlangsungan.
Tujuan
dari
pelaksanaan
MBS
adalah
untuk
meningkatkan mutu sekolah.
Kebijakan
Renstra Diknas
sebagaimana
disebutkan
di
dalam
bertujuan untuk mewujudkan pendi-
dikan yang bermutu dengan pengelolaan manajemen
yang transparan, akuntabel dengan mengikutsertakan
masyarakat
berpartisipasi
secara
aktif
membangun
sekolah. Meningkatkan kemampuan manajemen merupakan sebuah keharusan jika keberhasilan pelaksanaan
pendidikan dalam era desentralisasi daerah dan desentralisasi pendidikan diharapkan dapat meningkatkan
mutu pendidikan. Peningkatan kemampuan manajemen
dapat dilakukan melalui kepemimpinan yang dapat
menciptakan
situasi
yang
kondusif
bagi
terjadinya
inovasi dan perubahan-perubahan untuk meningkatkan
kinerja.
Penerapan
manajemen
berbasis
sekolah
atau
madrasah memberikan otonomi yang lebih besar pada
4
sekolah
dan
madrasah
untuk
mengelola
kegiatan
pendidikan dengan menggali potensi dan kekuatan yang
ada, selanjutnya mengembangkan dan memanfaatkannya dalam meningkatkan mutu pendidikan. Upaya
dilakukan melalui kegiatan pengelolaan dana BOS, dan
penyusunan
Kurikulum
Tingkat
Satuan
Pendidikan
(KTSP). Pelaksanaan KTSP diwujudkan dalam proses
pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Model
PAKEM.
Pengelolaan
dilaksanakan
Bantuan
dengan
Operasional
transparan,
Sekolah
akuntabel
dan
aseptabel. Pengelolaan keuangan yang transparan dan
akuntabel
diharapkan
dapat
membangun
rasa
kepercayaan pihak-pihak terkait, menimbulkan motivasi,
kreatifitas,
dan
inovasi
para
pendidik
dalam
melaksanakan proses pembelajaran. Dalam hal ini,
peranserta
masyarakat
khususnya
melalui
Komite
Sekolah dan Dewan Pendidikan sangat diperlukan agar
tercipta proses transparansi manajemen sebagai bagian
dari otonomi sekolah.
Sejalan dengan kebijakan tersebut Pemerintah
Kabupaten
Semarang
melalui
Dinas
Pendidikan
Kabupaten telah mencanangkan pelaksanaan Manajemen
Berbasis
Sekolah
melalui
sosialisasi
secara
bertahap yang diikuti oleh Kepala Sekolah, Pendidik, dan
Komite Sekolah dari tahun 2006 sampai dengan 2008.
Tahun
Pelajaran
Kabupaten
2008/2009
Semarang
sudah
seluruh
harus
sekolah
di
melaksanakan
pengelolaan dengan Manajemen Berbasis Sekolah.
Kebijakan ini membawa konsekuensi terhadap
manajemen sekolah. Kepala sekolah harus mampu
melaksanakan fungsi-fungsi manajemen untuk mencapai
5
tujuan
pendidikan
pada
satuan
pendidikan
yang
dikelolanya. Kegiatan yang dilakukan meliputi pemberdayaan setiap personil, sarana dan prasarana yang
dimilikinya, serta stakeholder yang ada. Sejalan dengan
kebijakan tersebut, kepala sekolah harus melaksanakan
Manajemen Berbasis Sekolah. Sebagai manajer, kepala
sekolah merencanakan, mengorganisasikan, mengimplementasikan, dan mengendalikan pelaksanaan program
sekolah.
Pendidik berperan sebagai ujung tombak
pelaksana
kegiatan
pembelajaran
yang
efektif
dan
efisien.
Berdasarkan angket awal terhadap 25 SD negeri
di kecamatan Banyubiru, diperoleh data bahwa semua
sekolah telah berusaha melakanakan MBS. Namun
berdasarkan pilar MBS (transparansi, PAKEM, dan
peranserta
masyarakat),
pelaksanaan
masing-masing
sekolah bervariasi. Dari 23 sekolah yang mengembalikan angket, 4 sekolah melaksanakan prinsip transparansi, 19 belum; 10 sekolah melaksanakan PAKEM, 13
belum; dan 1 sekolah melaksanakan prinsip peranserta
masyarakat, sedangkan 22 sekolah belum .
Mengacu pada tujuan MBS,
beberapa penelitian
tentang implimentasi MBS menunjukkan hasil yang
beragam. Efektivitas MBS ditunjukkan dalam penelitian
Sumantri (2007), Heniwati (2007),
Zainullah (2006).
Sumantri (2007), menyebutkan bahwa efektivitas MBS
ditinjau aspek transparansi berjalan cukup baik, dan
perolehan output berupa prestasi akademik dan non
akademik;
Heniwati
(2007),
menyimpulkan
bahwa
implementasi MBS lebih efektif di sekolah kota daripada
pedesaan; sementara Zaenullah (2007), menyimpulkan
6
bahwa SDN Sawojajar telah melaksanakan manajemen
sekolah,
PAKEM
sudah
berjalan
walaupun
perlu
peningkatan-peningkatan, dan peranserta masyarakat
sudah berjalan dengan baik. Hal ini menunjukkan
bahwa MBS di SDN Sawojajar 1 Malang sudah berjalan,
dan berdampak positif terhadap peningkatan mutu
pendidikan di sekolah.
Sementara hasil penelitian yang berbeda ditunjukkan oleh penelitian Ferdinan (2009) dan Sayekti (2005).
Ferdinan
menyimpulkan implementasi MBS di SMA 1
Barumun Padang Lawas masih terdapat hambatanhambatan dalam peningkatan partisipasi masyarakat,
dan transparansi. Dalam hal partisipasi disebutkan
bahwa orang tua lebih memperhatikan hasil akhir sesuai
dengan
dana
kepedulian
yang
terhadap
dikeluarkan
proses
dan
pendidikan;
rendahnya
perbedaan
keinginan dan pendapat antara warga sekolah yang
menyulitkan pengambilan keputusan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Sementara dalam hal transparansi,
masyarakat
berpendapat
bahwa
sekolah
belum
terlepas dari pelaksanaan praktik-praktik KKN dalam
pengelolaan sekolah; rendahnya tingkat pengurangan
pelanggaran terhadap peraturan perundangan-undangan
yang berlaku di sekolah. Sedangkan Sayekti (2005),
menyimpulkan adanya hambatan dalam pelaksanaan
MBS. Hambatan pelaksanaan MPMBS di SD Negeri
Tempel
I
Kecamatan
Banjarsari
Kota
Surakarta
mencakup tiga hal yaitu kurangnya minat masyarakat
untuk terlibat dalam MPMBS, kurangnya pengetahuan
tentang
MPMBS
dan
kurangnya
koordinasi
karena
MPMBS merupakan program baru.
7
Pendapat lain, Zaenuddin (2008), dalam kritiknya
terhadap kurikulum dan MBS mengungkapkan bahwa,
“Pada kenyataannya penerapan MBS tidak atau belum
sesuai dengan ide-ide dasar MBS, sehingga peningkatan
mutu Pendidikan belum bisa tercapai secara maksimal.
Sementara peningkatan mutu merupakan fokus MBS.
MBS tidak ada artinya apabila tidak diorientasikan pada
mutu”. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa penerapan MBS
belum
dapat
meningkatkan
dilaksanakan
mutu
secara
pendidikan.
efektif
Oleh
untuk
karena
itu
menarik untuk diadakan penelitian lebih lanjut tentang
pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah berdasarkan
prinsip Transparansi Manajemen, Akuntabilitas, dan
Pertisipasi Masyarakat pada sekolah dasar Gugus Ki
Hajar Dewantoro Kecamatan Banyubiru”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas,
permasalahannya adalah :
1. Bagaimanakah
pada
Gugus
pelaksanaan
Ki
Hajar
Manajemen
Dewantoro
Berbasis
Kecamatan
Banyubiru?
2. Hambatan-hambatan apa yang dialami sekolah dalam
melaksanakan MBS?
3. Bagaimanakah dampak pelaksanaan MBS terhadap
kinerja sekolah pada Gugus Ki Hajar Dewantoro
Kecamatan Banyubiru?
C. Pembatasan Masalah
Permasalahan
yang
mungkin
muncul
dalam
pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah sangatlah
8
bervariasi. Oleh karena itu perlu adanya pembatasan
masalah. Penelitian ini dengan dibatasi
pelaksanaan
MBS berdasarkan prinsip transparansi, akuntabilitas,
dan
partisipasi
pada
Gugus
Ki
Hajar
Dewantoro
Kecamatan Banyubiru.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan bertujuan untuk:
1. Mengetahui
pelaksanaan
Manajemen
Berbasis
Sekolah pada Gugus Ki Hajar Dewantoro Kecamatan
Banyubiru.
2. Mengetahui
hambatan-hambatan
yang
dialami
MBS
terhadap
sekolah dalam melaksanakan MBS.
3. Mengetahui
dampak
pelaksanaan
kinerja pendidik pada Gugus Ki Hajar Dewantoro
Kecamatan Banyubiru.
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat
secara teoritis maupun praktis bagi sekolah, Dinas
Pendidikan, dan Masyarakat pengguna jasa pendidikan.
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat
memperluas kajian pengetahuan dalam pengelolaan
pendidikan melalui Manajemen Berbasis Sekolah.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi
sekolah,
diharapkan
dapat
memberikan
informasi, bahan kajian, evaluasi dan pengembangan
pelaksanaan MBS berdasarkan aspek Transparansi
9
Manajemen,
Akuntabilitas,
dan
Partisipasi
Masyarakat.
b. Bagi Dinas Pendidikan, diharapkan dapat menjadi
bahan pertimbangan dalam kegiatan evaluasi dan
pengambilan keputusan lebih lanjut berkaitan dengan
upaya
peningkatan
pengembangan
mutu
program
pendidikan
MBS
di
melalui
Kabupaten
Semarang.
c. Bagi Komite Sekolah dan masyarakat, diharapkan
menjadi
bahan
masukan
dan
evaluasi
dalam
mengoptimalkan peransertanya meningkatkan mutu
pendidikan di sekolah
10
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Salah satu permasalahan pendidikan di Indonesia
adalah kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan berhubungan dengan proses penyelenggaraan pendidikan,
sumber daya manusia dan sarana dan prasarana.
Berdasarkan
hasil
kompetisi
baik
tingkat
regional
maupun internasional, kualitas pendidikan Indonesia
secara
umum
termasuk
dalam
kategori
rendah,
meskipun dalam beberapa ajang kompetisi internasional
secara individu peserta dari Indonesia pernah mencapai
prestasi peringkat pertama. Menurut Education for All
(EFA) Global Monitroring Report 2011 yang dikeluarkan
UNESCO dan diluncurkan di New York pada Senin,
1/3/2011, indeks pembangunan pendidikan Indonesia
berada pada urutan 69 dari 127 negara yang disurvei
(Napitupulu 2011). Kenyataan di atas dapat menjadi
indikasi bahwa pendidikan di Indonesia dapat dikatakan
belum sebagaimana yang digariskan dalam renstra
pendidikan nasional. Depdiknas (2002) dalam buku I
konsep dasar MPMBS menyebutkan bahwa kurang
berhasilnya pendidikan di Indonesis disebabkan oleh tiga
faktor. Pertama, penyelenggaraan pendidikan nasional
menggunakan
function
pendekatan
(pendekatan
educational
input-output
production
analysis)
tidak
dilaksanakan secara konsekuen; kedua, penyelenggaraan
pendidikan nasional diselenggarakan secara birokratik1
sentralistik, menempatkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan
birokrasi yang mempunyai jalur panjang dan kadangkadang
kebijakan
yang
dikeluarkan
kurang
sesuai
dengan kondisi sekolah setempat; ketiga, peranserta
warga sekolah khususnya pendidik dan peranserta
masyarakat
khususnya
orang
tua
siswa
dalam
penyelenggaraan pendidikan selama ini masih minim.
Pada pendekatan education production function
(input-output analysis), lembaga pendidikan berfungsi
sebagai pusat produksi. Jika semua masukan
yang
diperlukan dalam produksi dipenuhi, maka akan menghasilkan output yang dikehendaki. Input pendidikan
yang dimaksud seperti pelatihan pendidik, pengadaan
buku dan alat pelajaran, kelengkapan sarana dan
prasarana pendidikan dianggap dapat secara otomatis
menghasilkan mutu pendidikan, akan tetapi dalam
kenyataannya tidaklah demikian. Kebijakan birokratiksentralistik
yang
selama
ini
dilaksanakan
dapat
mengurangi kemandirian sekolah, motivasi, kreativitas,
inisiatif pelaksana pendidikan dalam mengembangkan
dan memajukan sekolah. Sekolah banyak bergantung
pada
keputusan
dari
pusat
dan
melaksanakan
keputusan tersebut yang sebenarnya sering kali kurang
sesuai dengan kondisi sekolah. Sementara partisipasi
warga sekolah dan masyarakat masih sebatas pada
dukungan
seperti
dana,
pemikiran,
sedang
moral
dukungan-dukungan
dan
barang/jasa
lain
kurang
diperhatikan. Untuk mengatasi beberapa faktor tersebut,
pemerintah telah menempuh beberapa upaya dalam
meningkatkan mutu pendidikan.
2
Peningkatan mutu pendidikan secara umum dapat
dicapai
melalui
proses
pendidikan
secara
berkesi-
nambungan dan menyeluruh dari tingkat pendidikan
dasar hingga pendidikan tinggi. Sebagaimana disebutkan dalam Rencana Strategis Departemen Pendidikan
Nasional tentang arah kebijakan pembangunan pendidikan nasional tahun 2010-2014 antara lain:
“Penerapan
manajemen
berbasis
sekolah
atau
madrasah merupakan kebijakan terobosan yang
bertujuan untuk memberikan otonomi yang lebih besar
pada sekolah dan madrasah untuk mengelola kegiatan
pendidikan dengan menggali potensi dan kekuatan
yang ada, kemudian mengembangkan dan memanfaatkannya untuk meningkatkan mutu pendidikan,
melalui kegiatan pengelolaan BOS, dan penyusunan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)”.
Lebih lanjut disebutkan bahwa “otonomi satuan
pendidikan
selain
sebagai
bentuk
demokratisasi
pengelolaan pendidikan, juga merupakan jaminan bagi
satuan
pendidikan
untuk
pendidikannya
secara
Otonomi
diberikan
yang
mengelola
mandiri”
organisasi
(www.diknas.go.id).
harus
diimbangi
dengan
transparansi dan akuntabilitas yang kuat sehingga
lingkungan
kondusif
kelembagaan
bagi
satuan
tumbuhnya
pendidikan
pribadi
yang
lebih
mandiri,
bertanggung jawab, demokratis, kreatif, inovatif, dan
enterpreneurial.
Kebijakan
ini
dilaksanakan
dalam
bentuk manajemen berbasis sekolah.
Perubahan manajemen pendidikan dari sentralistik ke desentralistik menuntut proses pengambilan
keputusan pendidikan yang lebih terbuka, dinamis dan
demokratis. Renstra Diknas tahun 2010-2014 Bab V,
5.2.9:a,
menyebutkan salah satu wujud dari otonomi
3
pendidikan, baik satuan pendidikan negeri maupun
swasta pada pendidikan dasar dan menengah 9 tahun
diterapkannya
konsep
dan
kebijakan
Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) atau madrasah (school-based
management). Untuk pendidikan dasar dan menengah,
proses otonomi pengambilan keputusan dapat dilaksanakan secara efektif dengan menerapkan Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS). Inti dari MBS adalah pemberian
wewenang (otonomi) kepada sekolah dengan harapan
dapat
mendorong
sekolah
untuk
melakukan
pengambilan keputusan secara partisipatif, kemandirian, kemitraan, kerja sama, tanggung jawab, keterbukaan, keluwesan, akuntabilitas, dan keberlangsungan.
Tujuan
dari
pelaksanaan
MBS
adalah
untuk
meningkatkan mutu sekolah.
Kebijakan
Renstra Diknas
sebagaimana
disebutkan
di
dalam
bertujuan untuk mewujudkan pendi-
dikan yang bermutu dengan pengelolaan manajemen
yang transparan, akuntabel dengan mengikutsertakan
masyarakat
berpartisipasi
secara
aktif
membangun
sekolah. Meningkatkan kemampuan manajemen merupakan sebuah keharusan jika keberhasilan pelaksanaan
pendidikan dalam era desentralisasi daerah dan desentralisasi pendidikan diharapkan dapat meningkatkan
mutu pendidikan. Peningkatan kemampuan manajemen
dapat dilakukan melalui kepemimpinan yang dapat
menciptakan
situasi
yang
kondusif
bagi
terjadinya
inovasi dan perubahan-perubahan untuk meningkatkan
kinerja.
Penerapan
manajemen
berbasis
sekolah
atau
madrasah memberikan otonomi yang lebih besar pada
4
sekolah
dan
madrasah
untuk
mengelola
kegiatan
pendidikan dengan menggali potensi dan kekuatan yang
ada, selanjutnya mengembangkan dan memanfaatkannya dalam meningkatkan mutu pendidikan. Upaya
dilakukan melalui kegiatan pengelolaan dana BOS, dan
penyusunan
Kurikulum
Tingkat
Satuan
Pendidikan
(KTSP). Pelaksanaan KTSP diwujudkan dalam proses
pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Model
PAKEM.
Pengelolaan
dilaksanakan
Bantuan
dengan
Operasional
transparan,
Sekolah
akuntabel
dan
aseptabel. Pengelolaan keuangan yang transparan dan
akuntabel
diharapkan
dapat
membangun
rasa
kepercayaan pihak-pihak terkait, menimbulkan motivasi,
kreatifitas,
dan
inovasi
para
pendidik
dalam
melaksanakan proses pembelajaran. Dalam hal ini,
peranserta
masyarakat
khususnya
melalui
Komite
Sekolah dan Dewan Pendidikan sangat diperlukan agar
tercipta proses transparansi manajemen sebagai bagian
dari otonomi sekolah.
Sejalan dengan kebijakan tersebut Pemerintah
Kabupaten
Semarang
melalui
Dinas
Pendidikan
Kabupaten telah mencanangkan pelaksanaan Manajemen
Berbasis
Sekolah
melalui
sosialisasi
secara
bertahap yang diikuti oleh Kepala Sekolah, Pendidik, dan
Komite Sekolah dari tahun 2006 sampai dengan 2008.
Tahun
Pelajaran
Kabupaten
2008/2009
Semarang
sudah
seluruh
harus
sekolah
di
melaksanakan
pengelolaan dengan Manajemen Berbasis Sekolah.
Kebijakan ini membawa konsekuensi terhadap
manajemen sekolah. Kepala sekolah harus mampu
melaksanakan fungsi-fungsi manajemen untuk mencapai
5
tujuan
pendidikan
pada
satuan
pendidikan
yang
dikelolanya. Kegiatan yang dilakukan meliputi pemberdayaan setiap personil, sarana dan prasarana yang
dimilikinya, serta stakeholder yang ada. Sejalan dengan
kebijakan tersebut, kepala sekolah harus melaksanakan
Manajemen Berbasis Sekolah. Sebagai manajer, kepala
sekolah merencanakan, mengorganisasikan, mengimplementasikan, dan mengendalikan pelaksanaan program
sekolah.
Pendidik berperan sebagai ujung tombak
pelaksana
kegiatan
pembelajaran
yang
efektif
dan
efisien.
Berdasarkan angket awal terhadap 25 SD negeri
di kecamatan Banyubiru, diperoleh data bahwa semua
sekolah telah berusaha melakanakan MBS. Namun
berdasarkan pilar MBS (transparansi, PAKEM, dan
peranserta
masyarakat),
pelaksanaan
masing-masing
sekolah bervariasi. Dari 23 sekolah yang mengembalikan angket, 4 sekolah melaksanakan prinsip transparansi, 19 belum; 10 sekolah melaksanakan PAKEM, 13
belum; dan 1 sekolah melaksanakan prinsip peranserta
masyarakat, sedangkan 22 sekolah belum .
Mengacu pada tujuan MBS,
beberapa penelitian
tentang implimentasi MBS menunjukkan hasil yang
beragam. Efektivitas MBS ditunjukkan dalam penelitian
Sumantri (2007), Heniwati (2007),
Zainullah (2006).
Sumantri (2007), menyebutkan bahwa efektivitas MBS
ditinjau aspek transparansi berjalan cukup baik, dan
perolehan output berupa prestasi akademik dan non
akademik;
Heniwati
(2007),
menyimpulkan
bahwa
implementasi MBS lebih efektif di sekolah kota daripada
pedesaan; sementara Zaenullah (2007), menyimpulkan
6
bahwa SDN Sawojajar telah melaksanakan manajemen
sekolah,
PAKEM
sudah
berjalan
walaupun
perlu
peningkatan-peningkatan, dan peranserta masyarakat
sudah berjalan dengan baik. Hal ini menunjukkan
bahwa MBS di SDN Sawojajar 1 Malang sudah berjalan,
dan berdampak positif terhadap peningkatan mutu
pendidikan di sekolah.
Sementara hasil penelitian yang berbeda ditunjukkan oleh penelitian Ferdinan (2009) dan Sayekti (2005).
Ferdinan
menyimpulkan implementasi MBS di SMA 1
Barumun Padang Lawas masih terdapat hambatanhambatan dalam peningkatan partisipasi masyarakat,
dan transparansi. Dalam hal partisipasi disebutkan
bahwa orang tua lebih memperhatikan hasil akhir sesuai
dengan
dana
kepedulian
yang
terhadap
dikeluarkan
proses
dan
pendidikan;
rendahnya
perbedaan
keinginan dan pendapat antara warga sekolah yang
menyulitkan pengambilan keputusan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Sementara dalam hal transparansi,
masyarakat
berpendapat
bahwa
sekolah
belum
terlepas dari pelaksanaan praktik-praktik KKN dalam
pengelolaan sekolah; rendahnya tingkat pengurangan
pelanggaran terhadap peraturan perundangan-undangan
yang berlaku di sekolah. Sedangkan Sayekti (2005),
menyimpulkan adanya hambatan dalam pelaksanaan
MBS. Hambatan pelaksanaan MPMBS di SD Negeri
Tempel
I
Kecamatan
Banjarsari
Kota
Surakarta
mencakup tiga hal yaitu kurangnya minat masyarakat
untuk terlibat dalam MPMBS, kurangnya pengetahuan
tentang
MPMBS
dan
kurangnya
koordinasi
karena
MPMBS merupakan program baru.
7
Pendapat lain, Zaenuddin (2008), dalam kritiknya
terhadap kurikulum dan MBS mengungkapkan bahwa,
“Pada kenyataannya penerapan MBS tidak atau belum
sesuai dengan ide-ide dasar MBS, sehingga peningkatan
mutu Pendidikan belum bisa tercapai secara maksimal.
Sementara peningkatan mutu merupakan fokus MBS.
MBS tidak ada artinya apabila tidak diorientasikan pada
mutu”. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa penerapan MBS
belum
dapat
meningkatkan
dilaksanakan
mutu
secara
pendidikan.
efektif
Oleh
untuk
karena
itu
menarik untuk diadakan penelitian lebih lanjut tentang
pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah berdasarkan
prinsip Transparansi Manajemen, Akuntabilitas, dan
Pertisipasi Masyarakat pada sekolah dasar Gugus Ki
Hajar Dewantoro Kecamatan Banyubiru”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas,
permasalahannya adalah :
1. Bagaimanakah
pada
Gugus
pelaksanaan
Ki
Hajar
Manajemen
Dewantoro
Berbasis
Kecamatan
Banyubiru?
2. Hambatan-hambatan apa yang dialami sekolah dalam
melaksanakan MBS?
3. Bagaimanakah dampak pelaksanaan MBS terhadap
kinerja sekolah pada Gugus Ki Hajar Dewantoro
Kecamatan Banyubiru?
C. Pembatasan Masalah
Permasalahan
yang
mungkin
muncul
dalam
pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah sangatlah
8
bervariasi. Oleh karena itu perlu adanya pembatasan
masalah. Penelitian ini dengan dibatasi
pelaksanaan
MBS berdasarkan prinsip transparansi, akuntabilitas,
dan
partisipasi
pada
Gugus
Ki
Hajar
Dewantoro
Kecamatan Banyubiru.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan bertujuan untuk:
1. Mengetahui
pelaksanaan
Manajemen
Berbasis
Sekolah pada Gugus Ki Hajar Dewantoro Kecamatan
Banyubiru.
2. Mengetahui
hambatan-hambatan
yang
dialami
MBS
terhadap
sekolah dalam melaksanakan MBS.
3. Mengetahui
dampak
pelaksanaan
kinerja pendidik pada Gugus Ki Hajar Dewantoro
Kecamatan Banyubiru.
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat
secara teoritis maupun praktis bagi sekolah, Dinas
Pendidikan, dan Masyarakat pengguna jasa pendidikan.
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat
memperluas kajian pengetahuan dalam pengelolaan
pendidikan melalui Manajemen Berbasis Sekolah.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi
sekolah,
diharapkan
dapat
memberikan
informasi, bahan kajian, evaluasi dan pengembangan
pelaksanaan MBS berdasarkan aspek Transparansi
9
Manajemen,
Akuntabilitas,
dan
Partisipasi
Masyarakat.
b. Bagi Dinas Pendidikan, diharapkan dapat menjadi
bahan pertimbangan dalam kegiatan evaluasi dan
pengambilan keputusan lebih lanjut berkaitan dengan
upaya
peningkatan
pengembangan
mutu
program
pendidikan
MBS
di
melalui
Kabupaten
Semarang.
c. Bagi Komite Sekolah dan masyarakat, diharapkan
menjadi
bahan
masukan
dan
evaluasi
dalam
mengoptimalkan peransertanya meningkatkan mutu
pendidikan di sekolah
10