HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DAN SELF EFFICACY DENGAN PEMECAHAN MASALAH PENYESUAIAN DIRI REMAJA.

(1)

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL

DANSELF EFFICACY

DENGAN PEMECAHAN MASALAH PENYESUAIAN DIRI REMAJA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

Lailatul Istiqomah B37211078

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2015


(2)

SKRIPSI

HUBTINGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DAN SELF E F FICACY DENGAN PEMECAHAN MASALAH PENYESUAIAN DIRI

REMAJA Yang disusun oleh Lailatul Istiqomah

B37211078

Telah Dipertahankan di depan Tim Penguji pada tanggal 24 Agustus 2015

Kesehatan

Abrorry, M.Psi, Fsikolog

,,:.]ffi:

Nip. 1 9762 05 | 12009122002

Dr. S. Khoriyatul Khotimah, M.Psi, Psikolog

Nip. 19771 1 16200801201 8

Sholeh, M.Pd 1990021001

5 Susunan Tim Penguj\

, S.Psi,tM.Si

L


(3)

PERNYATAAN

Dengan

ini saya menyatakan bahwa

skripsi yang berjudul "Hubungan antata Kecerdasan Emosional dan Self Efficacy dengan Pemecahan Masalah Penyesuaian

Diri Remaja"

merupakan karya asli yang diajukan untuk memperoleh gelar sarjana Psikologi di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Karya ini sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pemah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surabaya, 6 Agustus 2015

Lailatul Istiqomah


(4)

INTISARI

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosional dan self efficacy dengan pemecahan masalah penyesuaian diri remaja. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan teknik pengumpulan data berupa skala kecerdasan emosional, skala self efficacydan skala pemecahan masalah penyesuaian diri. Subjek penelitian berjumlah 76 siswa siswi kelas VII SMP Islam Temayang, yang diambil dari keseluruhan populasi dengan menggunakan teknik sampling jenuh, analisis data menggunakan uji Linear Ganda. Dari hasil penelitian diperoleh nilai signifikansi kecerdasan emosional dengan pemecahan masalah penyesuaian diri remaja sebesar 0.136 > 0.05 yang berarti tidak ada hubungan antara kecerdasan emosional dengan kemampuan memecahan masalah penyesuaian diri remaja, signifikansi pada self efficacy dengan pemecahan masalah penyesuaian diri remaja sebesar 0.070 > 0.05 yang berarti tidak ada hubungan antaraself efficacy

dengan pemecahan masalah penyesuaian diri remaja.

Kata Kunci:kecerdasan emosional, self efficacy, pemecahan masalah penyesuaian diri remaja


(5)

v DAFTAR ISI

Halaman Judul Halaman Pengesahan

Halaman Pernyataan ... iii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ...v

Daftar Tabel ... vii

Daftar Lampiran ... viii

Intisari ... ix

Abstract ...x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ...1

B. Rumusan Masalah ...12

C. Tujuan Penelitian ...13

D. Manfaat Penelitian ...13

E. Keaslian Penelitian...13

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pemecahan Masalah Penyesuaian Diri Remaja ...17

1. Remaja ...17

a. Pengertian remaja ...17

b. Karakteristik remaja ...18

c. Tugas-tugas perkembangan remaja ...21

2. Pengertian Pemecahan Masalah Penyesuaian Diri ...22

a. Pengertian penyesuaian diri ...22

b. Pengertian pemecahan masalah ...25

c. Jenis-jenis masalah ...26

d. Aspek-aspek pemecahan masalah ...27

e. Lingkaran pemecahan masalah ...30

B. Kecerdasan Emosional ...32

1. Pengertian kecerdasan emosional ...32

2. Aspek-aspek kecerdasan emosional ...33

3. Ciri-ciri kecerdasan emosional yang tinggi ...35

4. Faktor-faktor yang memengaruhi kecerdasan emosional ...35

C. Self Efficacy...36

1. Pengertianself efficacy ...36

2. Aspek-aspekself efficacy...37

3. Faktor-faktor yang memengaruhiself efficacy ...38

D. Hubungan antara Kecerdasan Emosional danSelf Efficacydengan Pemecahan Masalah Penyesuaian Diri Remaja ... ...40

1. Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Pemecahan Masalah Penyesuaian Diri Remaja ... 40

2. Hubungan antaraSelf Efficacydengan Pemecahan Masalah Penyesuaian Diri Remaja ...41


(6)

3. Landasan Teoritis ...43

4. Hipotesis ...46

BAB III METODE PENELITIAN A. Variabel dan Definisi Operasional ...47

1. Variabel Penelitian ...47

2. Definisi Operasional ...48

B. Populais, Sampel dan Teknik Sampling ...49

1. Populasi ...49

2. Sampel ...50

3. Teknik Sampling ...50

C. Teknik Pengumpulan Data ...51

D. Validitas dan Reliabilitas ...53

1. Validitas ...53

2. Reliabilitas ...59

3. Analisis Data ...61

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Subjek ...62

B. Deskripsi dan Reliabilitas Data ...62

1. Deskripsi Data ...62

2. Reliabilitas Data ...63

C. Hasil ...64

1. Pengujian Hipotesis ...64

D. Pembahasan...65

1. Variabel kecerdasan emosional dengan pemecahan masalah penyesuaian diri ...65

2. Variabelself efficacy dengan pemecahan masalah penyesuaian diri ..69

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ...72

B. Saran ...72


(7)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

Kehidupan remaja tidak terlepas dari berbagai macam permasalahan yang ada dalam setiap tahap perkembangannya. Permasalahan yang ada tersebut dapat bersumber dari berbagai macam faktor seperti dari dalam diri sendiri, keluarga, teman sebaya atau lingkungan sosial. Masalah-masalah yang dihadapi memberikan suatu bentuk ujian bagi para remaja agar mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar mereka. Hal ini dikarenakan oleh berbagai macam pertimbangan pada masa remaja sebagai periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2007).

Masalah remaja merupakan masalah yang dihadapi para remaja se-hubungan dengan kebutuhan dalam rangka penyesuaian diri terhadap lingkungan tempat remaja hidup dan berkembang (Wilis, 2010 dalam Dunggio 2014). Dalam memahami masalah remaja sangat penting untuk mengetahui kebutuhan remaja. Kebutuhan ini sangat menentukan terhadap motif yang terdapat pada perilaku remaja dalam rangka penyesuaian diri.

Menurut periode perkembangan manusia, masa remaja merupakan periode yang akan dilalui sebelum memasuki periode masa dewasa. Dalam masa remaja, individu memasuki tahapan masa remaja awal terlebih dahulu. Masa remaja awal menurut Hurlock (1994) berada pada rentang usia 13 1


(8)

2

hingga 16 atau 17 tahun, sedangkan Monks, Knoers, & Haditono (2006) menyatakan bahwa masa remaja awal berusia 12-15 tahun.

Penelitian ini memilih remaja di salah satu sekolah SMP yang berada di Bojonegoro, dikarenakan peneliti menemukan siswa di sekolah tersebut penyesuaian dirinya kurang, sehingga peneliti ingin meneliti lebih jauh lagi bagaimana cara siswa memecahkan masalah dalam hal penyesuaian diri. Sedangkan subjek dipilih pada siswa kelas VII karena termasuk dalam usia remaja awal yaitu usia 12-15 tahun dan melakukan proses awal penyesuaian diri dengan teman sekelas. (Hasil observasi, maret 2015)

Remaja cenderung ingin meyakinkan dunia sekitarnya dengan cara-cara yang tidak wajar sehingga sulit mengontrol diri ditunjukkan dengan perilaku mudah marah, perilaku yang lebih agresif, memberontak, menunjukkan kemarahan dengan emosi yang meledak-ledak (Ali & Asrori, 2011). Selain kontrol diri yang sulit, pada masa remaja awal pola pemikirannya pun mulai berkembang dan pengetahuan yang diperoleh dari lingkungan sekitar mulai bertambah. Pada tahap ini ditandai oleh pemikiran yang abstrak, idealistik, dan logis. Remaja mulai berpikir seperti ilmuwan, membuat rencana untuk memecahkan masalah dan secara sistematis menguji solusi.

Tipe pemecahan masalah yang dilakukan oleh remaja tersebut dinamakan oleh Santrock (2007) sebagai penalaran hipotesis deduktif, yang berarti kemampuan untuk mengembangkan sebuah hipotesis atau dugaan, mengenai bagaimana memecahkan masalah, seperti menyelesaikan


(9)

3

perhitungan aljabar yang setelah itu secara sistematis melakukan deduksi terhadap langkah terbaik yang harus diikuti untuk memecahkan masalah.

Menurut Sternberg (2006) pemecahan masalah merupakan suatu upaya untuk mengatasi rintangan yang menghambat suatu solusi. Sedangkan Solso (2007) mendefinisikan pemecahan masalah adalah suatu pemikiran yang terarah secara langsung untuk menemukan suatu solusi untuk suatu masalah yang spesifik.

Pada tahap remaja awal, upaya dalam mencapai suatu solusi untuk memecahkan masalah dapat dikatakan mengalami banyak rintangan. Berbagai pikiran, perasaan, dan tindakan remaja berubah-rubah antara kesombongan dan kerendahan hati, niat yang baik dan godaan, kebahagiaan dan kesedihan. Aspek-aspek pemecahan masalah disebutkan oleh Newell & Simon (1972 dalam Parkin, 2010) terdiri dari: starting state, goal state, dan

set of operators.

Berdasarkan hal tersebut remaja menjadi bingung untuk memutuskan setiap tindakan yang akan diambilnya, hal ini disebabkan oleh adanya faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri menurut Scheiders, (1964, dalam Ghufron & Risnawita, 2013) yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor dari luar diri remaja, yaitu remaja harus siap dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, sedangkan faktor internal yang terjadi pada remaja yaitu perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional.

Menyeimbangkan antara kondisi yang terjadi dalam diri sendiri dan lingkungan sekitar merupakan sikap dalam menyesuaikan diri. Kehidupan


(10)

4

remaja tidak lagi hanya sebatas pada keluarga akan tetapi kehidupan di lingkungan sekolah, teman dalam kelompok dan masyarakat mempunyai peranan penting dalam penyesuaian diri remaja. Penyesuaian diri sebagai proses menunjukkan bagaimana penyesuaian diri yang efektif dapat diukur dengan mengetahui bagaimana kemampuan individu menghadapi perubahan di lingkungannya.

Penyesuaian diri merupakan faktor yang penting dalam menghadapi perubahan yang terjadi dalam diri dan lingkungan di sekitar, remaja harus mampu untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan tersebut. Karakteristik penyesuaian diri yang terjadi pada remaja dapat terlihat dari penyesuaian diri terhadap peran dan identitas, pendidikan, kehidupan seks, norma sosial, penggunaan waktu luang, penggunaan uang atau finansial serta penyesuaian diri terhadap kecemasan, konflik, dan frustrasi (Ali & Asrori, 2011). Tentu saja dalam proses penyesuaian diri tersebut, remaja tidak terlepas dari berbagai macam masalah sehingga memerlukan suatu solusi atau pemecahan masalah agar penyesuaian diri tercapai dengan baik.

Penyesuaian diri sebagai interaksi individu yang kontinu dengan dirinya sendiri, individu dengan orang lain dan individu dengan dunianya, Calhoun dan Acocella (1990, dalam Sobur 2010). Sedangkan penyesuaian diri menurut Ghufron & Risnawita (2014) adalah kemampuan individu dalam menghadapi tuntutan-tuntutan baik dari dalam diri maupun dari lingkungan sehingga terdapat keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan dengan


(11)

5

tuntutan lingkungan. Kemudian, tercipta keselarasan antara individu dengan realitas.

Penyesuaian diri menurut Fahmi (1977, dalam Sobur 2010) adalah suatu proses dinamik terus-menerus yang bertujuan untuk mengubah kelakuan guna mendapatkan hubungan yang lebih serasi antara diri dan lingkungan. Gerungan (1987) menjelaskan, bahwa menyesuaikan diri mempunyai arti yang sangat luas. pertama penyasuaian diri autoplastis (auto= sendiri, plastis= dibentuk) artinya mengubah diri sesuai dengan lingkungan. Yang kedua yaitu penyesuaian diri yang aloplastis (alo= yang lain) artinya mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan (keinginan) diri. jadi,

penyesuaian diri ada yang berarti “pasif” yaitu di mana kegiatan kita ditentukan oleh lingkungan, dan ada yang “aktif”, di mana kita memengaruhi

lingkungan.

Dari penjelasan di atas maka dapat didefinisikan bahwa pemecahan masalah penyesuaian diri yaitu kemampuan individu untuk mengatasi masalah/rintangan dalam menghadapi tuntutan dari diri maupun dari lingkungan sehingga mampu untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri maupun lingkungan.

Runyon dan Haber (1984, dalam Artha dan Supriyadi 2013), menyebutkan bahwa penyesuaian diri yang dilakukan individu memiliki lima aspek. Pertama, persepsi terhadap realitas, individu mengubah persepsinya tentang kenyataan hidup dan menginterpretasikan suatu kejadian, sehingga mampu menentukan tujuan yang realistic. Kedua, kemampuan mengatasi


(12)

6

stres dan kecemasan, mengatasi masalah-masalah dalam hidup dan menerima kegagalan yang dialami. Ketiga, gambaran diri yang positif, individu mempunyai gambaran diri yang positif baik melalui penilaian pribadi maupun melalui penilaian orang lain, sehingga individu dapat merasakan kenyamanan psikologis. Keempat, kemampuan mengekspresikan emosi dengan baik, individu memiliki ekspresi emosi dan kontrol emosi yang baik, dan kelima hubungan interpersonal yang baik, mampu membentuk hubungan dengan cara yang berkualitas dan bermanfaat satu sama lain.

Remaja memainkan perannya sebagai subjek yang memiliki kepribadian yang berbeda dibandingkan masa anak-anak dalam penyesuaian diri terhadap peran dan identitasnya. Hal ini dilakukan agar mampu memperoleh identitas diri yang semakin jelas sebagai remaja dan diterima oleh lingkungan di sekitarnya. Masalah terkait dengan penyesuaian diri remaja dapat terjadi ketika remaja tersebut menjalankan antara kegiatan belajar dan kegiatan dengan teman-temannya. Di salah satu sisi remaja ingin menyelesaikan tugas atau pekerjaan sekolah, di sisi lain adanya pengaruh dari teman yang mengajak untuk melakukan kegiatan-kegiatan di luar kegiatan belajar seperti bermain. Hal ini dapat menjadi konflik dalam diri remaja itu sendiri yaitu apakah harus membiarkan tugas-tugasnya atau mencari pengalaman baru bersama teman-temannya.

Permasalahan yang kerap kali terjadi selain konflik di atas pada remaja adalah masalah terkait dengan emosi yang labil dan kemampuan berpikir dalam menemukan solusi yang tepat dalam menghadapi suatu


(13)

7

masalah. Hurlock (1973, dalam Ghufron & Risnawita, 2014) menyebutkan tiga kriteria emosi; dapat melakukan kontrol diri yang bisa diterima secara sosial, dapat memahami seberapa banyak kontrol yang dibutuhkan untuk memuaskan kebutuhannya dan sesuai dengan harapan masyarakat, dan dapat menilai situasi secara kritis sebelum meresponsnya dan memutuskan cara beraksi terhadap situasi tersebut.

Ketika remaja mengalami suatu masalah, terjadi kebingungan dalam diri yang mengarahkan pada ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri secara tepat terhadap kenyataan yang ada. Sehingga banyak kasus yang terjadi pada remaja saat ini adalah ketidakmampuan dalam menemukan solusi yang tepat terhadap masalah yang dihadapi sehingga mengambil jalan yang keliru seperti bunuh diri atau melampiaskannya dengan menggunakan obat-obatan terlarang.

Pada tahun 2012 terdapat 20 kasus bunuh diri pada anak dengan rentang usia 13-17 tahun, sebanyak delapan kasus bunuh diri dilatari masalah cinta, tujuh kasus akibat ekonomi, empat kasus masalah disharmoni keluarga, dan satu kasus masalah sekolah (Artha & Supriyadi, 2013). Di samping itu juga berdasarkan data World Health Organization (WHO), pada tahun 2005 tercatat 50 ribu penduduk Indonesia bunuh diri setiap tahun. Dari kejadian kasus bunuh diri tersebut, ternyata kasus yang paling tinggi terjadi pada rentang usia remaja hingga dewasa muda, yakni 15-24 tahun, fakta ini berhubungan dengan peningkatan tajam angka depresi pada remaja. (Artha & Supriyadi, 2013)


(14)

8

Hal lain yang dapat ditunjukkan terhadap bentuk perilaku pada perkembangan diri remaja selain bunuh diri dan minum obat-obatan terlarang yaitu bahwa remaja lebih memilih untuk mandiri terhadap keputusan yang akan diambil meskipun terkadang remaja mengalami kesulitan dan kebingungan terhadap keputusan yang diambil. Kemandirian remaja dalam memutuskan setiap tindakan yang diambil ataupun menentukan solusi atas permasalahannnya melibatkan kemampuan berpikir, apakah sanggup untuk melaksanakannya secara mandiri atau tidak. Untuk menghadapi permasalahan yang ada, seorang remaja harus memiliki suatu kemampuan dalam diri atau keyakinan diri agar dapat menemukan jalan keluar terhadap permasalahannya tersebut.

Keyakinan diri disebut juga dengan self-efficacy, self-efficacy

merupakan keyakinan atau kepercayaan individu terhadap kemampuan yang dimiliki dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugas yang dihadapi sehingga dapat mengatasi rintangan dan dapat mencapai tujuan yang diinginkan. (Jannah: 2013)

Dalam menemukan jalan keluar terhadap permasalahannya menurut teori sosial kognitif Bandura (1999) dibutuhkan peranan dari fungsi kognitif yang mana menyangkut self efficacy. Self efficacy menentukan bagaimana orang-orang merasakan, berpikir, memotivasi dirinya dan berperilaku. Seorang remaja dalam memecahkan masalah dalam proses penyesuaian diri memerlukan suatu keyakinan terhadap kemampuan diri sendiri karena hal


(15)

9

tersebut akan menentukan tindakan yang dilakukan dan hasil yang ditunjukkan.

Faktor-faktor yang memengaruhi self-efficacy menurut Bandura (1997) ada empat, yaitu pengalaman, modeling, keyakinan sosial, dan faktor fisiologis. Pengalaman adalah faktor yang paling penting yang menentukan keberhasilan diri seseorang, sedangkan modeling adalah sesuatu yang bisa mengubah kepercayaan seseorang sehingga dapat meningkatkan keyakinannya. Selanjutnya keyakinan sosial berhubungan dengan dorongan/keinginan, yaitu suatu keyakinan yang diperoleh seseorang yang mengubah kepercayaan diri pada masa lalunya. Faktor terakhir yaitu faktor fisiologis meliputi situasi yang menunjukkan seseorang dalam keadaan tertekan seperti pada saat sedang stress orang akan menunjukkan kelelahan, sakit, ketakutan.

Menumbuhkanself efficacypada remaja tidak terlepas dari bagaimana kemampuan yang ada dalam diri remaja tersebut yang melibatkan perasaan dan emosi di samping intelektual yang dimiliki. Perubahan pada diri remaja tidak semata-mata hanya pada fisik dan kognitif saja sebab setiap manusia memiliki emosi untuk mengekspresikan setiap perilaku mereka terhadap lingkungan sekitar. Hal ini terkait juga dengan bagaimana kecerdasan emosi ikut berperan dalam membentuk keyakinan diri remaja dalam memutuskan setiap tindakan yang akan diambil.

Kecerdasan emosi adalah kemampuan individu dalam mengenali, memahami perasaan dirinya dan orang lain, mengendalikan perasaannya


(16)

10

sendiri, menjalin hubungan serta memotivasi diri sendiri untuk menjadi lebih baik (Setyowati, 2010). Keberhasilan atau kegagalan seseorang dalam mengelola emosinya oleh Goleman (dalam Hermaya, 1996) dikatakan tergantung pada kecerdasan emosi. Makin tinggi kecerdasan emosi seseorang, makin bisa individu mengatasi berbagai masalah, khususnya yang memerlukan kendali emosi yang kuat. Individu yang memiliki kecerdasan emosi mampu menyesuaikan diri dengan baik, ramah, ikhlas, ulet, optimis. (Salovey & Mayer, 1990).

Faktor-faktor yang memengaruhi kecerdasan emosi menurut Goleman (1996) terbagi menjadi dua, faktor internal faktor eksternal. Faktor internal dipengaruhi oleh keadaan otak emosional seseorang, otak emosional dipengaruhi oleh keadaan amigdala, neokorteks, sistem limbik, lobus profrontal dan hal-hal lain yang berada pada otak emosional. Faktor eksternal yaitu pengaruh luar yang bersifat individu dapat secara perorangan, secara kelompok, antara individu mempengaruhi kelompok atau sebaliknya, juga dapat bersifat tidak langsung yaitu melalui perantara misalnya media masa baik cetak maupun elektronik serta informasi yang canggih lewat jasa satelit.

Menurut Richardson (2002) remaja yang mampu mengatasi perkembangan emosi atau mandiri secara emosional akan dapat bertanggung jawab secara sosial dan lebih mudah mengatasi masa transisi pada masa remaja. Berdasarkan hasil dari penelitian Artha & Supriyadi (2013) terdapat hubungan antara kecerdasan emosi dan self-efficacy dalam pemecahan masalah penyesuaian diri remaja.


(17)

11

Goleman (2009, dalam Artha & Supriyadi, 2013) mengatakan bahwa emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Pandangan mengenai emosi tersebut mengarahkan pada bagaimana emosi dapat memberikan pengaruh bagi remaja dalam bertindak untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar.

Apabila ditelaah lagi, perilaku atau tindakan yang dimunculkan oleh masing-masing individu tergantung dari emosi dan pikiran yang muncul sebelum memutuskan untuk melakukan sesuatu. Kemunculan emosi dari dalam diri remaja awal yang terbilang masih belum stabil memungkinkan keterkaitannya dengan keyakinan yang dimiliki dalam menghadapi setiap permasalahan. Sebab, setiap emosi yang dialami oleh remaja akan berdampak terhadap perilaku nyata yang dimunculkan.

Keyakinan dalam diri remaja akan kemampuan yang dimiliki dapat menentukan tindakan apa yang akan dilakukan dalam mencapai suatu tujuan seperti menemukan jalan keluar terhadap masalah yang dihadapi sehingga dapat tercapai kesesuaian dalam diri remaja dan perubahan yang terjadi lingkungan di sekitar.

Triadic reciprocality (Bandura, 1986) memandang bahwa hubungan antara pikiran dan ketertarikan dalam melakukan suatu tindakan dapat dilihat dari konteks kepercayaan, persepsi diri, bentuk intensitas dan perilaku secara langsung. Individu ketika berpikir, memerlukan kepercayaan dan merasakan perasaannya berdasarkan kemampuan yang mereka miliki. Faktor dari dalam


(18)

12

diri maupun dari luar lingkungan akan memberikan pengaruh pada tindakan dan menentukan pola pikir dan perasaan sehingga berdampak pada perilaku.

Sistem triadic menyatakan bahwa lingkungan dapat memengaruhi perasaan dan pikiran seseorang dalam berperilaku melalui model (figur) yang memberikan contoh untuk mampu berinteraksi dengan lingkungan sosial.

Berdasarkan uraian di atas, keyakinan dan emosi yang dimiliki oleh remaja sangat erat kaitannya dengan pemecahan masalah dalam hal penyesuaian diri. Jadi dapat ditegaskan bahwa penelitian tentang kecerdasan emosi dan self-efficacy ini penting untuk dilakukan, karena berhubungan dengan bagaimana cara remaja memecahkan masalahnya dalam penyesuaian diri terhadap lingkungan dan diri sendiri sehingga remaja mampu untuk menjadi individu yang sejahtera.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang di atas, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah terdapat hubungan antara kecerdasan emosional dengan pemecahan masalah penyesuaian diri remaja?

2. Apakah terdapat hubungan antara self efficacy dengan pemecahan masalah penyesuaian diri remaja?


(19)

13

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosional dengan pemecahan masalah penyesuaian diri remaja.

2. Untuk mengetahui hubungan antara self efficacy dengan pemecahan masalah penyesuaian diri remaja.

D. Manfaat Penelitian

Dalam pelaksanaan penelitian ini diharapkan memperoleh manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada peneliti psikologi pendidikan yang berkaitan dengan pemecahan masalah penyesuaian diri remaja.

2. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan memberikan informasi kepada guru dan siswa tentang keterkaitan kecerdasan emosi, self efficacy, dan pemecahan masalah dalam hal penyesuaian diri.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang pemecahan masalah penyesuaian diri pernah diteliti sebelumnya antara lain: penelitian Artha & Supriyadi (2013) berjudul


(20)

14

Masalah Penyesuaian Diri Remaja Awal”. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara kecerdasan emosi danself efficacydalam pemecahan masalah penyesuaian diri remaja awal.

Penelitian Turki & Al-Qaisy (2012) berjudul “Adjustment Problems and self-efficacy among Gifted Students in Salt Pioneer Center”. Bertujuan untuk mengetahui hubungan antara masalah penyesuaian dan self-efficacy. Hasil menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara interaksi kelas dan jenis kelamin pria, dan tidak ada hubungan antara self-efficacy dan masalah penyesuaian diri dengan jenis kelamin pada siswa berbakat.

Jannah (2013) meneliti tentang “Hubungan Antara Self-Efficacy Dan Kecerdasan Emosional Dengan Kemandirian Pada Remaja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara self-efficacy dan kecerdasan

emosional dengan kemandirian remaja. Hasil menunjukkan terdapat hubungan

antaraself-efficacydan kecerdasan emosional dengan kemandirian.

Penelitian Hutapea (2014) berjudul“Stres Kehidupan, Religiusitas, dan Penyesuaian Diri Warga Indonesia sebagai Mahasiswa Internasional”.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji hubungan stres kehidupan, religiusitas, dan penyesuaian diri mahasiswa Indonesia sebagai mahasiswa asing. Hasil analisis data menunjukkan bahwa stres kehidupan berada pada taraf sedang, sedangkan religiusitas dan penyesuaian diri tergolong tinggi. Selain itu, religiusitas tidak berperan sebagai moderator dalam hubungan stres kehidupan dengan penyesuaian diri. Sumber dana pendidikan merupakan


(21)

15

faktor permasalahan kehidupan umum yang berkontribusi signifikan terhadap penyesuaian tersebut.

Dunggio (2014) dalam penelitiannya “Hubungan Kecerdasan

Emosional dan Kecerdasan Spiritual dengan Pemecahan Masalah pada

Remaja”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan positif

dan signifikan antara kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual dengan pemecahan masalah pada remaja. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual dengan pemecahan masalah.

Dreer, Timothy, Elliott, Donald, Fletcher, & Swanson (2005) meneliti

Social Problem-Solving Abilities and Psychological Adjustment of Persons in Low Vision Rehabilitation”. Tujuan penelitian ini adalahuntuk mengetahui kondisi distress emosional khusus, perilaku depresif, kepuasan hidup, dan kemampuan fungsional. Hasil menunjukkan bahwa orientasi masalah yang negatif signifikan terhadap depresi dan tekanan emosional, dan kemampuan memecahkan masalah rasional dipengaruhi oleh kepuasan hidup.

Berdasarkan uraian penelitian terdahulu, penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian sebelumnya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Artha dan Supriyadi (2013), kesamaan adalah dalam hal variabel. Sedangkan perbedaannya adalah pada subjek, metode analisis data, tempat penelitian, dan instrumen.

Instrument pada penelitian ini menggunakan tiga buah skala yang belum pernah digunakan sebelumnya, pertama skala kecerdasan emosi yang


(22)

16

terdiri dari 5 aspek (Goleman) yaitu mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan dengan orang lain. Selanjutnyaself-efficacyberdasar pada 3 aspek yang dikemukakan oleh Bandura yaitu level, generality, danstrength. Skala pemecahan masalah di ukur dengan aspek-aspek pemecahan masalah yang disebutkan oleh Newell & Simon (1972 dalam Parkin, 2000) yang terdiri dari: starting state, goal state, dan set of operators. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa penelitian ini tidak meniru ataupun mengulang penelitian-penelitian yang sebelumnya.


(23)

17

BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Pemecahan Masalah Penyesuaian Diri Remaja

1. Remaja

a. Pengertian Remaja

Menurut Papalia, Old & Feldman (2008) remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa sehingga terjadi perubahan fisik, kognitif dan psikososial. Masa remaja dimulai dari usia 11 tahun sampai dengan 12 tahun masa remaja akhir atau awal usia dua puluhan yang berpengaruh pada perkembangan selanjutnya. Menurut Santrock (2014) remaja adalah masa transisi dari kanak-kanak ke masa dewasa yang melibatkan perubahan biologis, kognitif dan sosioemosional dimulai sekitar usia 10 tahun sampai 13 tahun dan berakhir pada masa remaja akhir usia 20 tahun yang identik dengan masa berkarir, memilih pasangan dan waktu untuk menggali kemampuan pribadi.

Remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan fisik, psikis, dan psikososial (Dariyo, 2002).

Masa remaja adalah masa transisi dalam rentang kehidupan manusia, menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa. Memahami arti remaja penting karena remaja adalah masa depan setiap masyarakat. Di negara-negara barat, istilah remaja dikenal dengan

adolescence” yang berasal dari kata dalam bahasa latin “adolescere


(24)

18

(kata bendanya adolescentia = remaja), yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa (Desmita, 2007).

Monks, Knoers, & Haditono (2002) membagi fase remaja atas empat bagian, yaitu: (1) masa pra remaja atau pra pubertas: usia antara 10-12 tahun, (2) masa remaja awal atau masa pubertas: usia antara 10-12-15 tahun, (3) masa remaja pertengahan: usia antara 15-18 tahun dan (3) masa remaja akhir: usia antara 18-21 tahun. Kemudian masa remaja awal hingga akhir inilah yang disebut Monks sebagai masaadolesen.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditegaskan bahwa masa remaja adalah masa peralihan, dari anak-anak menuju dewasa akan tetapi belum termasuk dewasa. Dalam masa peralihan terdapat banyak problem terkait dengan perubahan status dan penyesuaian diri sehingga remaja membutuhkan cara atau solusi untuk memecahkan masalah tersebut, dan pada penelitian ini remaja awal yang diteliti berusia 12–15 tahun.

b. Karakteristik Remaja

Masa remaja memiliki ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan masa-masa sebelumnya dan sesudahnya. Menurut Hurlock (1980) ciri-ciri remaja antara lain sebagai berikut.

1) Masa remaja sebagai periode penting

Dikatakan periode penting, dikarenakan pada masa individu mengalami perkembangan baik secara fisik maupun secara psikis. Perkembangan berarti serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman. Van dan


(25)

19

Daele mengatakan perkembangan berarti perubahan secara kualitatif. Ini berarti bahwa perkembangan bukan hanya sekedar penambahan beberapa sentimeter pada tinggi badan seseorang melainkan suatu integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang komplek seperti fisik, psikis dan sosial.

2) Masa remaja sebagai masa perubahan

Selain perubahan fisik, remaja juga mengalami perubahan dalam psikisnya yang meliputi perubahan emosi, pola perilaku serta wawasan berfikir. Secara psikologis kedewasaan bukan hanya akumulasi dari pencapaian suatu umur tertentu, melainkan merupakan suatu keadaan dimana sudah terdapatnya ciri-ciri psikologik tertentu pada diri seseorang. (Monks, dkk 2002)

3) Masa remaja sebagai periode bermasalah

Pada masa ini remaja banyak mengalami masalah rumit yang kebanyakan bersifat psikologis. Hal ini disebabkan oleh emosionalitas remaja yang kurang bisa dikuasai, sehingga kurang mampu mengadakan konsensus dengan pendapat orang lain yang bertentangan dengan pendapatnya dan mengakibatkan pertentangan sosial. Selain itu, juga disebabkan berkurangnya bantuan dari orangtua atau orang dewasa lain dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. (Hurlock, 1980).

Pada masa kanak-kanak, dia selalu dibantu oleh orangtua dan gurunya, dan pada saat ini dia menganggap dirinya lebih mampu dan


(26)

20

menganggap orangtuanya dan gurunya terlalu tua untuk dapat mengerti dan memahami perasaan, emosi, sikap, kemampuan berfikir dan status mereka. Masalah-masalah yang dihadapi remaja menurut Sarwono (2006) antara lain:

a) Masalah berhubungan dengan keadaan jasmani b) Masalah yang berhubungan dengan kebebasannya c) Masalah-masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai d) Masalah yang berhubungan dengan peranan pria dan wanita e) Masalah yang berhubungan dengan anggota dari lawan jenis f) Masalah yang berhubungan dengan hubungan dalam

bermasyarakat

g) Masalah yang berhubungan dengan jabatan h) Masalah yang berhubungan dengan kemampuan 4) Masa remaja sebagai periode yang penuh gejolak

Banyak sekali perilaku remaja yang sangat berani, impulsif tanpa melihat resikonya, hal ini disebabkan rasa ingin tahu dan ingin mencoba dari remaja tersebut sangat besar. (Hurlock, 1980)

5) Masa remaja sebagai periode yang tidak realistis

Para remaja pada saat ini kadang kala pola berfikir mereka tidak realistis, mereka cenderung banyak memandang kehidupan secara berlebih tanpa memikirkan realitas yang sebenarnya. (Monks, 2002)


(27)

21

6) Masa remaja sebagai masa mencari identitas

Untuk mencari jati diri mereka sebenarnya kadang-kadang remaja berperilaku yang negatif dan mengganggu kepentingan umum. Ini mereka lakukan untuk menarik perhatian orang dewasa atau masyarakat lingkungan sekitar. (Hurlock, 1980)

Dengan demikian dapat diambil ditegaskan bahwasanya ciri-ciri remaja antara lain terjadi perubahan fisik, psikis maupun sosialnya. Selain itu remaja juga dianggap sebagai periode penuh gejolak dan rawan dengan berbagai masalah. Hal ini dikarenakan pada masa ini para remaja berusaha untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat. c. Tugas-tugas perkembangan remaja

Sebagai seorang remaja yang dalam pertumbuhan dan perkembangan untuk menjadi dewasa, remaja memiliki tugas-tugas yang harus dilakukannya demi mencapai kemampuan bersikap dan berprilaku secara dewasa. Menurut Hurlock (1980) tugas perkembangan pada masa remaja adalah sebagai berikut:

1) Berusaha mampu menerima keadaan fisiknya.

2) Berusaha mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa.

3) Berusaha mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlainan jenis.

4) Berusaha mencapai kemandirian emosional. 5) Berusaha mencapai kemandirian ekonomi.


(28)

22

6) Berusaha mengembangkan konsep dan

keterampilan-keterampilan intelektual yang sangat diperlukan untuk melukukan peran sebagai anggota masyarakat.

7) Berusaha memahami dan mengintemalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan orang tua.

8) Berusaha mengembangkan perilaku tanggungjawab sosial yang diperlukan untuk memasuki dunia dewasa.

9) Berusaha mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan. 10) Berusaha memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung

jawab kehidupan keluarga.

Tugas-tugas perkembangan fase remaja ini sangat berkaitan dengan perkembangan kognitifnya, yakni fase operasional formal. Kematangan pencapaian fase kognitif tingkat ini akan sangat membantu kemampuan dalam melaksanakan tugas-tugas perkembangannya itu dengan baik. Agar dapat memenuhi dan melaksanakan tugas-tugas perkembangan ini, remaja memerlukan kemampuan kreatif. Kemampuan kreatif ini banyak diwamai oleh perkembangan kognitif remaja.

2. Pengertian Pemecahan Masalah Penyesuaian Diri a. Pengertian penyesuaian diri

Penyesuaian diri adalah kemampuan individu dalam menghadapi tuntutan-tuntutan baik dari dalam diri maupun dari lingkungan sehingga terdapat keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan dengan tuntutan lingkungan. Kemudian, tercipta keselarasan antara individu dengan


(29)

23

realitas. Penyesuaian diri dipahami sebagai interaksi seseorang yang kontinu dengan dirinya sendiri, orang lain dan dunianya. (Ghufron & Risnawita, 2014)

Macam penyesuaian diri yang dilakukan oleh setiap orang mungkin berbeda. Sebagian orang menyesuaikan diri terhadap lingkungan sosial tempat ia bisa hidup dengan sukses, sebagian lainnya tidak sanggup melakukannya, boleh jadi mereka mempunyai kebiasaan yang tidak serasi untuk berperilaku sedemikian rupa, sehingga menghambat penyesuaian diri sosial baginya dan kurang menolongnya. (Sobur, 2003)

Menurut Schneiders (1964, dalam Ghufron dan Risnawita, 2014) penyesuaian diri mempunyai empat unsur. Pertama, adaptation yaitu penyesuaian diri dipandang sebagai kemampuan beradaptasi. Kedua,

conformity artinya seseorang dikatakan mempunyai penyesuaian diri yang baik bila memenuhi kriteria sosial dan hati nuraninya. Ketiga, mastery

artinya orang yang mempunyai penyesuaian diri yang baik mampu merencanakan dan mengorganisasikan suatu respons diri sehingga dapat menanggapi masalah yang ada. Keempat, individual variation artinya ada perbedaan individual pada perilaku dan responsnya dalam menanggapi masalah.

Seseorang yang dikatakan mempunyai penyesuaian dirinya berhasil apabila dapat mencapai kepuasan dalam usahanya memenuhi kebutuhan, mengatasi ketegangan, bebas dari berbagai simptom yang mengganggu (seperti kecemasan, depresi, atau gangguan psikosomatis


(30)

24

yang dapat menghambat tugas seseorang). Sebaliknya, gangguan penyesuaian diri dikatakan tidak berhasil jika seseorang tidak dapat mengatasi masalah yang dihadapinya, situasi emosional tidak terkendali, dan keadaan tidak memuaskan.

1.) Bentuk-bentuk penyesuaian diri

Bentuk penyesuaian diri menurut Gunarsa (1981) terbagi menjadi dua kelompok, (a)adaptive(b)adjustive.

(a.) adaptive

Bentuk penyesuaian diri ini sering disebut juga dengan adaptasi artinya perubahan-perubahan dalam proses badani untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Contoh: saat tubuh sedang kedinginan maka hendaknya harus memakai jaket atau baju yang tebal untuk menghangatkan badan.

(b.) adjustive

Bentuk penyesuaian diri yang adjustive berkaitan dengan kehidupan psikis. Misalnya: saat seseorang mempunyai tetangga atau keluarga yang sedang meninggal maka seseorang itu bisa menampakkan wajah yang sedih karena ikut berduka cita, sebisa mungkin wajah itu diatur yang menggambarkan kesedihan sebagai tanda ikut menyesuaikan suasana sedih dalam keluarga tersebut.

Terkainya penyesuaian yang adjustivedengan kehidupan psikis maka dengan sendirinya penyesuaian ini berhubungan dengan tingkah laku. Oleh karena itu penyesuaian ini adalah penyesuaian tingkah laku


(31)

25

terhadap lingkungan yang dalam lingkungan tersebut mempunyai aturan dan norma-norma. Jadi penyesuaian adjustive disebut juga penyesuaian terhadap norma-norma.

b. Pengertian pemecahan masalah

Pemecahan masalah adalah suatu pemikiran yang terarah secara langsung untuk menemukan suatu solusi untuk suatu masalah yang spesifik (Solso, 2007). Untuk mengatasi situasi masalah yang dihadapi dapat dipecahkan dengan menggunakan pengetahuan atau insight yang kreatif (Suryani, 2007).

Menurut Sternberg (2006) pemecahan masalah merupakan suatu upaya untuk mengatasi rintangan yang menghambat suatu solusi. Pemecahan masalah penyesuaian diri yaitu usaha terus-menerus yang dilakukan oleh individu untuk mengatasi masalah/rintangan dan menghadapi tuntutan dari diri maupun dari lingkungan sehingga mampu menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri dan lingkungan serta menjadi individu yang realitas.

Zimmerman dan Campillo (2003, dalam Dunggio, 2014) men-jelaskan pemecahan masalah dalam konteks formal maupun informal. Ketika memecahkan masalah dalam konteks formal, seseorang harus mempunyai kemampuan mengantisipasi hasil potensi kognitif dari berbagai tindakan dan perilaku untuk menjelaskan konteks masalah agar lebih kondusif, seperti mencari informasi yang hilang. Sedangkan


(32)

26

pemecahan masalah dalam konteks informal membutuhkan upaya perilaku rekursif,self-monitoringyang akurat, danadaptif self-reaksi.

Dapat ditegaskan bahwa pemecahan masalah penyesuaian diri adalah kemampuan individu untuk mengatasi masalah/rintangan dalam menghadapi tuntutan dari diri maupun dari lingkungan sehingga mampu untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri maupun lingkungan. c. Jenis-jenis masalah

Jenis masalah dibedakan menjadi dua yaitu masalah yang terstruktur dengan baik dan masalah yang tidak terstruktur dengan baik. Menurut Suryani (2007) masalah yang terstruktur dengan baik disebut juga (well-defined problems) yaitu masalah yang mempunyai jalan keluar atau solusi untuk memecahkan masalah tersebut, jadi masalah tersebut dapat diselesaikan dengan jelas. Seperti contoh matematika, fisika, geografi.

Yang kedua masalah yang tidak terstruktur dengan baik (ill structured problem) yaitu masalah yang tidak mempunyai definisi problem dengan jelas sehingga cara untuk memecahkannya pun menjadi sulit dan tidak terarah. Tiga hal yang berkaitan denganill structured problem; harus melihat masalah dari sisi yang baru, kemudian cara yang digunakan adalah cara yang berbeda dengan yang sebelumnya dipergunakan untuk menyelesaikan masalah, dan yang terakhir harus menstruktur representasi masalah yang harus diselesaikan.

Dalam penelitian ini, pemecahan masalah penyesuaian diri termasuk dalam kategori ill structured problems dikarenakan pemecahan


(33)

27

masalah penyesuaian diri tidak dapat didefinisikan dengan jelas, tidak terstruktur, tidak mempunyai rumusan untuk memecahkan seperti matematika, dan solusi untuk memecahkannya pun tergantung dari bagaimana individu beradaptasi dengan lingkungan sekitar.

d. Aspek-aspek pemecahan masalah

Newell & Simon (1972 dalam Parkin, 2010) menyebutkan aspek-aspek pemecahan masalah terdiri dari: starting state, goal state, danset of operators.

1) Starting state

Adalah titik awal pertama individu mendapatkan masalah, jadi masalah yang terjadi itu mempunyai penyebab yang jelas sehingga timbul masalah.

2) Goal state

Adalah keadaan yang diinginkan, harapan-harapan yang diinginkan supaya masalah itu bisa terselesaikan. Keadaan yang diinginkan ini juga memengaruhi tingkat kemudahan atau kesulitan orang dalam memecahkan masalah. (Suharnan, 2005)

3) Set of operators

Adalah langkah-langkah atau tahapan yang dilakukan individu dalam memecahkan masalah.

Sedangkan menurut Stein dan Book (2002) kemampuan pemecahan masalah bersifat multifase dan mensyaratkan kemampuan


(34)

28

menjalani proses di dalam pemecahan masalah tersebut. Aspek-aspek pemecahan masalah yaitu:

1) Mampu memahami masalah

Individu memahami bahwa masalah merupakan sesuatu hal yang wajar dan sudah menjadi bagian dari kehidupan setiap manusia. Dengan demikian individu harus dapat menghadapi masalah, sehingga tidak menyesali secara berlebihan atau menganggapnya sebagai beban yang hanya dirinya sendiri yang mengalaminya. Individu yang berhasil memecahkan masalah memandang masalah sebagai tantangan yang harus diatasi atau sebagai pengalaman berharga yang akan membantunya menjadi semakin kuat dan berkembang. Dengan pendekatan yang positif tersebut masalah akan lebih dapat dipecahkan secara efektif.

2) Mampu merumuskan masalah sejelas mungkin

Individu mengidentifikasi adanya masalah, kemudian merumuskan atau menyatakan dengan jelas pokok permasalahan tersebut. Dengan demikian individu tersebut telah mengetahui pokok permasalahannya dan bisa memikirkan jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, sehingga masalah dapat diselesaikan dengan baik.

3) Mampu menemukan sebanyak mungkin alternatif pemecahan

Menemukan berbagai gagasan atau ide yang sangat mungkin dilakukan dalam memecahkan suatu masalah. Dalam hal ini individu harus dapat


(35)

29

menemukan dan menyiapkan tindakan-tindakan ataupun rencana apa saja yang akan dilakukan untuk memecahkan suatu permasalahan. 4) Mampu mengambil keputusan untuk menerapkan salah satu alternatif

pemecahan

Individu memilih gagasan yang paling baik untuk dilaksanakan dalam memecahkan suatu masalah. Individu harus dapat menentukan salah satu gagasan terbaik dari berbagai gagasan lainnya untuk dilaksanakan, dengan mempertimbangkan baik dan buruknya suatu gagasan yang akan dilaksanakan.

5) Mampu menilai hasil penerapan alternatif pemecahan yang digunakan Individu melakukan penilaian terhadap tindakan yang telah diambil dalam menyelesaikan suatu permasalahan, hal ini untuk mengetahui apakah tindakan yang diambil telah berhasil ataupun gagal memecahkan suatu masalah.

6) Mampu mengulangi proses pemecahan apabila masalahnya belum terpecahkan

Saat suatu tindakan belum berhasil menyelesaikan suatu permasalahan, maka individu harus dapat mengulangi tindakannya hingga permasalahan tersebut terpecahkan. Misalnya seorang siswa melakukan kesalahan dalam menyelesaikan tugasnya, maka yang harus dilakukan adalah memperbaiki tugas tersebut hingga tugasnya selesai dengan baik dan bukan sebaliknya menghindari pekerjaan tersebut.


(36)

30

1.) Lingkaran pemecahan masalah

Lingkaran pemecahan masalah menurut Stenberg (2006) mencakup pengidentifikasian masalah, pengalokasian sumber daya, pemonitoran dan evaluasi.

a) Pengidentifikasian masalah

Hal pertama yang dilakukan sebelum memecahkan masalah yaitu mengidentifikasi masalah tersebut, terkadang seseorang lupa akan sebenarnya apa sih masalah yang sedang dihadapi? Sehingga solusi untuk memecahkannya pun sulit untuk ditemukan. Seperti contoh: untuk menulis sebuah makalah maka perlu diperhatikan dulu persoalan yang akan dijelaskan melalui makalah tersebut.

b) Pendefinisian masalah dan prepesentasinya

Setelah persoalan/ masalah diketahui dan diidentifikasi maka selanjutnya perlu untuk didefinisikan. Tujuannya adalah untuk menentukan bagaimana penyelesaiannya. (Suryani, 2007)

c) Perumusan strategi

Langkah berikutnya adalah merencanakan strategi untuk menyelesaikannya. Strategi mungkin melibatkan analisis yaitu memilah-milahkan seluruh masalah yang kompleks menjadi unsur-unsur yang bisa diatur, (Stenberg, 2006) dan lebih lanjut dapat melibatkan proses komplementer berupa sintesis, yaitu mengambil beberapa elemen bersama-sama dan merangkainya menjadi sesuatu yang bermanfaat (Suryani, 2007)


(37)

31

d) Pengorganisasian informasi

Pada tahap ini melibatkan pengumpulan acuan-acuan bahkan pengumpulan ide-ide yang cemerlang. Terkadang seseorang dikatakan gagal dalam menyelesaikan masalahnya bukan karena dia tidak mampu menyelesaikannya akan tetapi tidak menyadari informasi yang dimiliki. Setelah mengorganisasikan-ulang informasi secara strategis maka akan menemukan sebuah prepesentasian terbaik yang akan dapat mengimplementasikan strategi.

e) Pengalokasian sumber daya

Kebanyakan seseorang menghadapi suatu masalah dengan sumber daya yang terbatas. sumber daya ini mencakup waktu, uang, peralatan dan ruang. sebagian masalah menghabiskan banyak waktu dan sebagian masalah yang lain menghabiskan sumber daya. oleh karena itu perlu diketahui kapan sumber daya tersebut dialokasian. f) Pemonitoran

Pengalokasian waktu yang tepat mencakup juga pemonitoran proses-proses pemecahan masalah. Pemecahan masalah yang efektif tidak merancang jalan untuk menemukan solusi dan kemudian menunggu sampai dimana tujuan itu diraih (Schoenfeld, 1981, dalam Stenberg, 2006), akan tetapi pemecahan masalah yang efektif yaitu sering memeriksa langkah-langkahnya untuk memastikan semakin dekat dengan tujuan yang diinginkan.


(38)

32

g) Pengevaluasian

Jika dari semua tahap sudah terlaksana maka perlu dilakukan pengevaluasian solusi dalam menyelesaikan masalah. Pengevaluasian bisa dilakukan secara langsung setelah tahap-tahap itu terpenuhi dan bisa juga menyusul dilain waktu.

B. Kecerdasan Emosional

1. Pengertian Kecerdasan Emosional

Emosi dan akal adalah dua bagian dari satu keselururhan dan oleh karena itu sebabnya istilah yang baru-baru ini diciptakan untuk menggambarkan kecerdasan hati adalah kecerdasan emosi (Segal, 2000). Kecerdasan emosi mengingatkan pada ukuran standar kecerdasan otak atau

Intelligent Question ketika kognitif tidak akan berfungsi secara optimal.

Intelligent Question dan Emotional Question adalah sumber-sumber daya sinergi, tanpa yang satu yang lain menjadi tidak sempurna dan tidak efektif.

Kecerdasan emosi atau emotional intelligence adalah kemampuan seseorang mengelola emosi dalam kaitannya dengan orang lain atau rangsangan dari luar. Kecerdasan emosi mencakup pengendalian diri terutama berkaitan dengan relasi, berempati kepada orang lain, mengelola rasa gembira dan sedih, semangat dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri. (Sumardi, 2007)

Goleman (2009, dalam Artha & Supriyadi, 2013) mengatakan bahwa emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan


(39)

33

untuk bertindak. Pandangan mengenai emosi tersebut mengarahkan pada bagaimana emosi dapat memberikan pengaruh bagi remaja dalam bertindak untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar.

Kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk menggunakan emosi secara efektif untuk mencapai tujuan, membangun hubungan produktif, dan meraih keberhasilan, menurut Patton (1998, dalam Ifham & Helmi, 2002)

Dari beberapa definisi para ahli, dapat didefinisikan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan individu dalam mengenali dan memahami perasaannya sendiri, perasaan dirnya terhadap orang lain, menjalin hubungan baik dan mempunyai motivasi kepada diri sendiri untuk menjadi lebih baik.

2. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosional

Menurut Goleman (1996) aspek-aspek kecerdasan emosional terbagi menjadi lima, yaitu; mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati), membina hubungan.

a. Mengenali emosi diri

Mengenali emosi adalah kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dari waktu ke waktu dan mampu mengendalikan sewaktu-waktu emosi itu sedang terjadi.

b. Mengelola emosi diri

Mengelola emosi diri adalah kemampuan untuk mengelola emosinya sendiri agar perasaan tersebut dapat diungkapkan dengan


(40)

34

tepat. Jika suatu saat seorang individu sedang marah maka ia akan mengetahui hal apa yang harus dilakukan, tidak mudah naik darah, bisa meredam emosi, bisa menghibur diri sendiri dan tidak meluapkan emosinya kepada orang lain.

c. Memotivasi diri sendiri

Motivasi dalam hal ini adalah memotivasi diri sendiri untuk memberi semangat terhadap diri sendiri untuk bergerak kea rah yang lebih baik guna mencapai tujuan yang diinginkan serta tidak mudak putus asa dalam menghadapi setiap masalah.

d. Mengenali emosi orang lain (Empati)

Empati tidak hanya mengenali perasaan diri sendiri akan tetapi juga mengenali perasaan orang lain. Peka terhadap apa yang sedang dirasakan orang lain.

e. Membina hubungan

Membina hubungan merupakan kemampuan seseorang untuk membentuk suatu hubungan dengan orang lain, menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan menciptakan serta mempertahankan hubungan dengan orang lain, bisa menyelesaikan segala persoalan dengan baik, dan bisa memberi saran, meredam emosi orang lain.

Berdasarkan uraian di atas, ditegaskan bahwa seseorang yang memiliki kecerdasan emosional mempunyai beberapa aspek yang harus terpenuhi seperti mengenali emosi diri, mengelola emosi diri,


(41)

35

memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati), dan membangun hubungan baik dengan orang lain.

3. Ciri-Ciri Kecerdasan Emosi Yang Tinggi

Ciri-ciri kecerdasan emosi yang tinggi (Dapsari, 2001 dalam Ifham, 2002) yaitu:

a. optimal dan positif pada saat menangani situasi-situasi dalam hidupnya, seperti saat menangani peristiwa dalam hidupnya dan menangani tekanan masalah-masalah pribadi yang dihadapi b. terampil dalam membina emosinya, di mana orang tersebut terampil di dalam mengenali kesadaran emosi diri dan ekspresi emosi, juga kesadaran emosi terhadap orang lain

c. optimal pada kecakapan kecerdasan emosi, hal ini meliputi kecakapan intensionalitas, kreativitas, ketangguhan, hubungan antar pribadi dan ketidakpuasan konstruktif

d. optimal pada nilai-nilai belas kasihan atau empati, intuisi, radius kepercayaan, daya pribadi, dan integritas

e. optimal pada kesehatan secara umum, kualitas hidup,

relationship quotientdan kinerja optimal.

4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kecerdasan Emosional

Faktor-faktor yang memengaruhi kecerdasan emosi menurut Goleman (1996) terbagi menjadi dua, faktor internal faktor eksternal.

a. Faktor internal, dipengaruhi oleh keadaan otak emosional seseorang, otak emosional dipengaruhi oleh keadaan amigdala,


(42)

36

neokorteks, sistem limbik, lobus profrontal dan hal-hal lain yang berada pada otak emosional.

b. Faktor eksternal yaitu pengaruh luar yang bersifat individu dapat secara perorangan, secara kelompok, antara individu mempengaruhi kelompok atau sebaliknya, juga dapat bersifat tidak langsung yaitu melalui perantara misalnya media masa baik cetak maupun elektronik serta informasi yang canggih lewat jasa satelit.

C. Self-Efficacy

1. PengertianSelf-Efficacy

Salah satu faktor yang memengaruhi kemandirian pada seseorang adalah self-efficacy, Bandura adalah seorang tokoh yang memperkenalkan istilah efikasi diri (self-efficacy). Self-efficacy (Bandura, 2009) mengarah kepada keyakinan dan kemampuan seseorang untuk mengatur, melakukan tindakan yang diperlukan dalam mengelola situasi. Sehingga dapat mempengaruhi bagaimana orang berpikir, merasakan perasaannya, memotivasi dirinya sendiri, serta mempengaruhi tindakannya.

Self Efficacy merupakan keyakinan atau kepercayaan individu terhadap kemampuan yang dimiliki dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugas yang dihadapi sehingga dapat mengatasi rintangan dan dapat mencapai tujuan yang diinginkan, yaitu ditandai dengan adanya kepercayaan diri dalam mengatasi situasi yang tidak menentu, keyakinan mencapai target, keyakinan


(43)

37

akan kemampuan kognitif, menumbuhkan motivasi dan dapat mengatasi tantangan yang ada (Jannah, 2013).

Sementara itu, Baron dan Byrne (1991, dalam Ghufron & Risnawita 2014) mendefinisikan efikasi diri sebagai evaluasi seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi dirinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan, dan mengatasi hambatan.

Menurut Bandura (1986) efikasi diri pada dasarnya adalah hasil dari proses kognitif berupa keputusan, keyakinan, atau pengharapan tentang sejauh mana individu memperkirakan kemampuan dirinya dalam melaksanakan tugas atau tindakan tertentu yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Efikasi diri menekankan pada keyakinan individu, kemudian berkombinasi dengan lingkungan, perilaku sebelumnya dan persoalan lain untuk menghasilkan perilaku baru, serta dapat mempengaruhi beberapa aspek kognisi seseorang.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa self-efficacy

adalah keyakinan yang dimiliki individu dalam mengatasi setiap situasi yang ada. Keyakinan individu terhadap keyakinan yang akan diambilnya untuk menentukan keputusan.

2. Aspek-AspekSelf-Efficacy

Menurut Bandura (1997, dalam Ghufron & Risnawita 2014), terdapat tiga dimensi dariself efficacyyang terdiri dari:

a. tingkatan (level), perbedaan self efficacy dari masing-masing individu dalam menghadapi suatu tugas dikarenakan perbedaan


(44)

38

tuntutan yang dihadapi, jika halangan dalam mencapai tuntutan tersebut sedikit maka aktivitas mudah dilakukan,

b. keadaan umum (generality), individu akan menilai diri merasa yakin melalui bermacam-macam aktivitas atau hanya dalam daerah fungsi tertentu,

c. kekuatan (strength), pengalaman memiliki pengaruh terhadap self efficacy yang diyakini seseorang, pengalaman yang lemah akan melemahkan keyakinannya pula sedangkan keyakinan yang kuat terhadap kemampuan akan teguh dalam berusaha.

3. Faktor-Faktor yang MemengaruhiSelf-Efficacy

Faktor-faktor yang memengaruhiself-efficacy menurut Bandura (1997) ada empat, yaitu pengalaman, modeling, keyakinan sosial, dan faktor fisiologis.

1. Pengalaman

Pengalaman yaitu kejadian yang pernah dialami individu dalam hal keberhasilan, seperti contoh: individu pernah mengalami pada masa lalunya bertemu dengan seorang guru yang sangat pandai dan sangat berhasil dalam karir. Kepandaian guru itu bisa memengaruhi bagaimana individu berkeyakinan dalam menggapai cita-cita seperti gurunya.

2. Modeling

Sesuatu yang bisa mengubah kepercayaan seseorang sehingga dapat meningkatkan keyakinannya. Yaitu seperti mencontoh


(45)

39

dari kejadian-kejadian yang dialaminya. Misalnya: individu melihat seorang artis di televisi yang sedang ber-akting

menyakinkan lawan bicaranya supaya bisa mempercayai kata-katanya, hal itu lah yang dicontoh individu dan kepercayaan serta keyakinannya berubah.

3. Keyakinan sosial

Berhubungan dengan dorongan/keinginan, yaitu suatu keyakinan yang diperoleh seseorang yang mengubah kepercayaan diri pada masa lalunya. Misalnya: pada masa lalu individu tidak percaya diri dengan penampilannya, dan sekarang dia masih tidak percaya diri, akan tetapi individu tersebut yakin bahwa sekarang ini membutuhkan perubahan sehingga dapat bersosialisasi dengan baik.

4. faktor fisiologis

Meliputi situasi yang menunjukkan seseorang dalam keadaan tertekan seperti pada saat sedang stress orang akan menunjukkan kelelahan, sakit, ketakutan. Dalam keadaan sakit keyakinan individu bisa berubah, karena pikiran tidak berkonsentrasi penuh pada yang dihadapi.


(46)

40

D. Hubungan antara Kecerdasan Emosional danSelf-Efficacydengan Pemecahan Masalah Penyesuaian Diri Remaja

1. Hubungan kecerdasan emosional dengan pemecahan masalah penyesuaian diri remaja

Manusia dalam kehidupan kesehariannya memiliki berbagai perasaan, baik itu menyenangkan dan tidak menyenangkan. Salah satu penting usaha manusia untuk menguasai perasaan yang tidak menyenangkan atau tekanan akibat dorongan kebutuhan yaitu dengan penyesuaian diri, hal ini dilakukan untuk memelihara keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan dan tuntutan lingkungan, dan usaha menyelaraskan hubungan individu dengan realitas.

Penyesuaian diri yaitu kemampuan individu dalam menghadapi tuntutan-tuntutan, baik dari dalam diri maupun dalam lingkungan sehingga terdapat keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan dengan tuntutan lingkungan, dan tercipta keselarasan antara individu dengan realitas. (Ghufron & Risnawati, 2014)

Dalam proses penyesuaian diri, remaja tidak terlepas dari berbagai macam masalah sehingga memerlukan suatu solusi atau pemecahan masalah agar penyesuaian diri dapat tercapai dengan baik. Remaja kerap kali menghadapi permasalahan seiring perubahan yang terjadi pada fisik, kognitif, dan sosio-emosionalnya. Dalam menghadapi masalah-masalah tersebut remaja berupaya mencari pemecahan masalah atau jalan


(47)

41

keluarnya sehingga mampu untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang terjadi.

Hal ini sejalan dengan penelitian Artha & Supriyadi (2013) yang menunjukkan adanya hubungan antara kecerdasan emosi dengan pemecahan masalah penyesuaian diri remaja.

Sternberg (2007) membahas hubungan antara intelegensi manusia dengan penalaran dan pemecahan masalah. Pemecahan masalah dan penalaran (reasoning) merupakan komponen yang penting dalam kehidupan manusia. Teori ini disebut dengan teori triarkhis (triarchic theory) yang menyebutkan bahwa adaptasi terhadap lingkungan merupakan perilaku intelegen kontekstual. Perilaku ini membantu seseorang menemukan hal apa yang paling sesuai dengan lingkungan dengan cara mengubah salah satu maupun keduanya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam pemecahan masalah penyesuaian diri remaja membutuhkan kecerdasan emosional yang dimiliki sehingga bagaimanapun situasi dan kondisi yang sedang dialami oleh individu meski dalam keadaan emosi misalnya, maka individu masih bisa menyesuaikan diri dengan baik.

2. Hubungan self-efficacy dengan pemecahan masalah penyesuaian diri remaja

Masalah remaja merupakan masalah yang dihadapi para remaja se-hubungan dengan kebutuhan dalam rangka penyesuaian diri terhadap lingkungan tempat remaja hidup dan berkembang (Wilis, 2010 dalam


(48)

42

Dunggio 2014). Dalam memahami masalah remaja sangat penting untuk mengetahui kebutuhan remaja. Kebutuhan ini sangat menentukan terha-dap motif yang terterha-dapat pada perilaku remaja dalam rangka penyesuaian diri.

Berdasarkan tugas perkembangan masa remaja menurut Hurlock (1980) salah satunya adalah berusaha mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok, dalam hal ini remaja harus bisa menyesuaikan diri. Self-efficacymengarah kepada keyakinan dan kemampuan seseorang untuk mengatur dan melakukan tindakan dalam segala situasi sehingga memengaruhi tingkah lakunya.

Self-efficacy sangat berpengaruh dalam tingkah laku seseorang. Setiap tingkah laku, bisa tingkah laku dalam bekerja, akademis, rekreasi, atua sosial dipengaruhi oleh self-efficacy. Keyakinan terhadap self-efficacymempengaruhi tindakan yang dipilih, usaha yang diberikan untuk aktivitas tertentu, kegigihan mengatasi hambatan & kegagalan, dan kemampuan beradaptasi setelah mengalami kegagalan.

Jadi dalam tingkah laku pemecahan masalah penyesuaian diri remaja membutuhkan keyakinan terhadap kemampuan yang dimiliki sehingga dapat mengatasi rintangan dan dapat mencapai target yaitu menyesuaikan diri.


(49)

43

E. Landasan Teoritis

Penyesuaian diri menurut Ghufron & Risnawita (2014) adalah kemampuan individu dalam menghadapi tuntutan-tuntutan baik dari dalam diri maupun dari lingkungan sehingga terdapat keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan dengan tuntutan lingkungan. Kemudian, tercipta keselarasan antara individu dengan realitas.

Macam penyesuaian diri yang dilakukan oleh setiap individu mungkin berbeda. Sebagian individu menyesuaikan diri terhadap lingkungan sosial tempat dapat hidup dengan sukses, sebagian lainnya tidak tidak sanggup melakukannya, boleh jadi individu mempunyai kebiasaan yang tidak serasi untuk berperilaku sedemikian rupa, sehingga menghambat penyesuaian diri sosial baginya dan kurang menolongnya. (Sobur, 2003)

Penyesuaian diri yang terhambat akan membutuhkan pemecahan masalah sehingga dapat menemukan solusi agar penyesuaian diri dapat dikatakan berhasil. Untuk mengatasi situasi masalah yang dihadapi dapat dipecahkan dengan menggunakan pengetahuan atau insight yang kreatif (Suryani, 2007). Pemecahan masalah adalah suatu pemikiran yang terarah secara langsung untuk menemukan suatu solusi untuk suatu masalah yang spesifik. (Solso, 2007)

Pemecahan masalah adalah suatu pemikiran yang terarah secara langsung untuk menemukan suatu solusi untuk suatu masalah yang spesifik Solso (2007). Richardson (2002) mengatakan bahwa kemampuan remaja untuk mengatasi, mengembangkan emosional dan berperilaku yang sesuai secara sosial dan bertanggung jawab memungkinkan remaja untuk lebih mudah menerima


(50)

44

perubahan tantangan sosial. Oleh karena itu Richardson menyarankan pada remaja dalam mengatasi masalah yang terkait dengan perubahan sosial penyesuaian diri untuk menggunakan kecerdasan emosional yang dimiliki.

Didukung oleh penelitian Dunggio (2014) bahwa kecerdasan emosi dapat memengaruhi pemecahan masalah. Emosi dapat memengaruhi remaja dalam bertindak untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Goleman (2009, dalam Artha & Supriyadi, 2013) mengatakan bahwa emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Sedangkan tindakan manusia dipengaruhi oleh keyakinan dan kemampuan dalam mengambil keputusan, self-efficacy (Bandura, 2009) mengarah kepada keyakinan dan kemampuan seseorang untuk mengatur, melakukan tindakan yang diperlukan dalam mengelola situasi.

Self-efficacy sangat berpengaruh dalam tingkah laku seseorang. Setiap tingkah laku, bisa tingkah laku dalam bekerja, akademis, rekreasi, atua sosial dipengaruhi oleh self-efficacy. Keyakinan terhadap self-efficacy mempengaruhi tindakan yang dipilih, usaha yang diberikan untuk aktivitas tertentu, kegigihan mengatasi hambatan & kegagalan, dan kemampuan beradaptasi setelah mengalami kegagalan.

Pendekatan yang menjelaskan tingkah laku manusia dalam bentuk interaksi timbal-balik yang terus menerus antara determinan kognitif, behavioral dan lingkungan dijelaskan oleh Bandura (1986) dengan istilah reciprocal determinism. Orang menentukan/mempengaruhi tingkah lakunya dengan


(51)

45

mengontrol lingkungan, tetapi orang itu juga dikontrol oleh kekuatan lingkungan itu.

Reciprocal determinism (Bandura, 1986) adalah konsep yang penting dalam teori belajar sosial Bandura yang menjadi pijakan dalam memahami tingkah laku. Teori belajar sosial memakai saling-determinis sebagai prinsip dasar untuk menganalisis fenomena psiko-sosial di berbagai tingkat kompleksitas, dari perkembangan intrapersonal sampai tingkah laku interpersonal serta fungsi interaktif dari organisasi dan sistem sosial.

Dalam menganalisis perilaku seseorang, terdapat tiga komponen yang harus dipahami yaitu individu itu sendiri (person), lingkungan (environment), serta perilaku inidividu tersebut (behavior). Ketiga hal tersebut dikenal dengan istilah Triadic Reciprocal Causation. Individu akan memunculkan satu bentuk perilaku yang sama meskipun lingkungannya serupa, namun individu akan bertindak setelah ada proses kognisi atau penilaian terhadap lingkungan sebagai stimulus yang akan ditindak lanjuti. (Bandura, 1986)

Jadi, dapat ditegaskan bahwa individu yang memiliki tingkat kecerdasan emosional dan self-efficacy yang tinggi maka akan dapat melakukan dalam hal penyesuaian diri yang baik dengan lingkungan sekitarnya. Sebaliknya orang yang memiliki tingkat kecerdasan emosional danself-efficacyyang rendah maka ia juga akan mengalami kesulitan dalam melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan sekitarnya.


(52)

46

F. Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah dan landasan teori sebagaimana disebutkan diatas, maka perumusan hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Terdapat hubungan antara kecerdasan emosional dengan pemecahan masalah penyesuaian diri remaja.

2. Terdapat hubungan antara self efficacy dengan pemecahan masalah penyesuaian diri remaja.


(53)

47

BAB III

METODE PENELITIAN A. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

1. Variabel Penelitian

Syarat utama sebelum melakukan sebuah penelitian adalah menentukan variabel-variabel penelitian agar penelitian menjadi jelas dan terarah. Variabel adalah segala sesuatu yang menjadi objek pengamatan penelitian (Widoyoko, 2014). Sedangkan menurut Kerlinger (2004) variabel adalah suatu sifat yang memiliki bermacam nilai atau disebut juga lambang yang padanya diletakkan bilangan atau nilai.

Penelitian ini menggunakan pola hubungan multivariat yang melibatkan dua variabel bebas dan satu variabel tergantung. Menurut Arikunto (1995) analisis data yang lebih dari dua variabel atau analisis data banyak disebut dengan analisis multivariat. Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah: kecerdasan emosional, self-efficacy, dan pemecahan masalah penyesuaian diri.

Variabel bebas (Independent Variable) adalah variabel yang memengaruhi atau menjadi penyebab terjadinya perubahan pada variabel lain. Variabel ini disebut variabel bebas karena adanya tidak tergantung pada adanya yang lain atau bebas dari ada atau tidaknya variabel lain. Pada penelitian ini variabel bebasnya yaitu kecerdasan emosi (x1) dan self-efficacy

(x2).


(54)

48

Variabel tergantung (Dependent Variable) adalah variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat karena adanya variabel bebas. Dikatakan variabel tergantung atau terikat karena variasinya tergantung oleh variasi variabel yang lain. Dalam penelitian ini variabel tergantungnya adalah pemecahan masalah pemecahan diri (y).

2. Definisi Operasional

Definisi operasional dari variabel-variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Pemecahan masalah penyesuaian diri

Pemecahan masalah penyesuaian diri yaitu kemampuan individu untuk mengatasi masalah/rintangan dalam menghadapi tuntutan dari diri maupun dari lingkungan sehingga mampu untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri maupun lingkungan. Pemecahan masalah penyesuaian diri akan diukur menggunakan skala likert, dengan aspek-aspek pemecahan masalah yang disebutkan oleh Newell & Simon (1972 dalam Parkin, 2000) yang terdiri dari: starting state, goal state, danset of operators.

b. Kecerdasan emosional

Kecerdasan emosional adalah kemampuan individu dalam mengenali dan memahami perasaannya sendiri, perasaan dirnya terhadap orang lain, menjalin hubungan baik dan mempunyai motivasi kepada diri sendiri untuk menjadi lebih baik.


(55)

49

Kecerdasan emosi diukur dengan skala-skala kecerdasan emosional meliputi: mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, empati, dan kemampuan membina hubungan dengan orang lain. c. Self-Efficacy

Self-efficacy adalah tingkat keyakinan individu terhadap kemampuan yang dimiliki dalam mengatasi setiap situasi dan dapat melakukan tindakan yang dihadapi. Self-efficacy diukur dengan menggunakan skala self-efficacy dengan menggunakan aspek-aspek self-efficacy dari Bandura (1996) yaitu: tingkatan (level), keadaan umum (generality), dan kekuatan (strength).

B. Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling 1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian, menurut Sugiyono (2009) populasi adalah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai karakteristik yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian diteliti.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII di salah satu sekolah SMP yang berada di Bojonegoro. Jumlah siswa dalam populasi yaitu 82 terdiri dari 3 ruang, yang setiap ruang kelas terdiri dari siswa laki-laki dan perempuan. Tetapi pada saat penelitian jumlah subjek menjadi 76 dikarenakan 6 siswa tidak masuk.

Alasan peneliti memilih sekolah tersebut dikarenakan pada observasi yang pernah dilakukan sebelumnya peneliti menemukan siswa di


(56)

50

sekolah tersebut penyesuaian dirinya kurang, sehingga peneliti ingin meneliti lebih jauh lagi bagaimana cara siswa memecahkan masalah dalam hal penyesuaian diri. Sedangkan alasan mengambil subjek penelitian tersebut dikarenakan pada tingkatan kelas VII siswa termasuk dalam usia remaja awal yaitu usia 12-15 tahun dan melakukan proses awal penyesuaian diri dengan teman sekelas.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti. Dinamakan penelitian sampel apabila peneliti bermaksud untuk menggeneralisasikan hasil penelitian sampel. Yang dimaksud dengan menggeneralisasikan adalah mengangkat kesimpulan penelitian sebagai suatu yang berlaku bagi populasi, apabila subjek penelitian kurang dari 100 maka lebih baik diambil semua, sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. (Arikunto, 2006)

Pada penelitian ini menjadi penelitian populasi karena jumlah populasi yang kurang dari 100 dan semua itu dijadikan sampel. Besarnya sampel dalam penelitian ini berjumlah 82 subjek siswa siswi kelas VII yang diambil keseluruhan dari jumlah populasi. Populasi sebenarnya berjumlah 82 dikurangi 6 siswa yang tidak masuk saat penelitian.

3. Teknik sampling

Teknik sampling merupakan teknik pengambilan sampel untuk menentukan sampel dalam penelitian. Teknik sampling pada penelitian ini menggunakan Non probability Sampling yaitu sampling jenuh, sampling


(57)

51

jenuh adalah teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel Sugiyono (2011). Karena jumlah populasi yang kurang dari 100 subjek, maka sampel yang akan diambil dalam penelitian ini adalah seluruh populasi yang berjumlah 76 siswa.

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan skala model Likert (metode skala rating yang dijumlahkan). Perbedaan skala dari variabel yang akan diukur mempunyai perbedaan, yaitu pada kecerdasan emosional dan self-efficacy skala yang dipakai berbentuk pernyataan. Sedangkan pada pemecahan masalah penyesuaian diri skalanya berbentuk soal cerita untuk mengetahui seberapa jauh individu dalam menyelesaikan masalah dalam hal penyesuaian diri.

Skala pemecahan masalah penyesuaian diri, sikap assertif (favorable) dan non assertif yaitu (unfavorable) dimasukkan kedalam respon (a), (b), dan (c) yang terdapat pada soal cerita dan skor yang diberikan tergantung dari tingkat assertivitas. Jika respon tidak mengindikasikan adanya asertivitas (pilihan tidak -favorabel) tidak diberi skor atau skor 0, pilihan jawaban diberi skor 1 jika isi pernyataannya relative mengindikasikan (pilihan agak favorabel), sedangkan skor 2 diberikan jika isi pernyataannya memuat indikasi assertive yang tinggi (pilihan favorabel). (Azwar, 2012)

Favorabledanunfavorablepada respon (a), (b), dan (c) tidak selalu berada pada posisi yang sama, akan tetapi semua respon mengandung favorable dan


(58)

52

Skala pengukuran untuk semua indikator pada variabel kecerdasan emosional dan self efficacy dengan menggunakan skala Likert (skala 1 sampai dengan 4) yang telah dimodifikasi, yaitu pernyataan tengah (ragu-ragu) dihilangkan dengan tujuan untuk menghindari respon yang bermakna ganda dan kecenderungan subjek penelitian memilih pernyataan yang netral (Kisti, 2012). Skala ini ada yang mengandung sikap favorable (mendukung) dan ada juga

unfavorable (tidak mendukung). Untuk menentukan skor terhadap jawaban subjek, maka di tetapkan norma penskoran terhadap jawaban sebagai berikut:

Alternatif jawaban kecerdasan emosional dan self efficacy mempunyai empat gradasi sebagai berikut:

Tabel 1.

Penilaian Pernyataan Favorable dan PernyataanUnfavorable variabel kecerdasan emosional

Kategori Jawaban Favorabel Unfavorabel

Sangat Setuju (SS) 4 1

Setuju (S) 3 2

Tidak Setuju (TS) 2 3

Sangat Tidak Setuju (STS) 1 4

Tabel 2.

Penilaian PernyataanFavorabledan PernyataanUnfavorablevariabelself efficacy

Kategori Jawaban Favorabel Unfavorabel

Sangat Yakin (SY) 4 1

Yakin (Y) 3 2

Tidak Yakin (TY) 2 3


(59)

53

D. Validitas dan Reliabilitas 1. Validitas

Validitas berasal dari kata validity yang mempunya arti sejauh mana akurasi suatu tes atau skala dalam menjalankan fungsi pengukurannya. Pengukuran dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila menghasilkan data yang secara akurat memberikan gambaran mengenai variabel yang diukur seperti dikehendaki oleh tujuan pengukuran tersebut. Azwar (2012)

Menurut Suryabrata (2005) validitas soal adalah derajat kesesuain antar suatu soal dengan perangkat soal-soal lain. Ukuran soal adalah korelasi antara skor pada soal itu dengan skor pada perangkat soal (item-item correlation) yang biasa disebut korelasi biserial. Jadi semakin tinggi validitas suatu alat ukur, maka akan semakin mengena pada sasarannya dan semakin menunjukkan apa yang sebenarnya diukur.

Validitas alat ukur dalam penelitian ini diuji menggunakan validitas isi. Rentang koefisien validitas isi yang telah dirumuskan Aiken (1985, dalam Azwar, 2012) yang mungkin diperoleh adalah antara 0 sampai dengan 1,00.


(60)

54

Tabel 3.

Blue print try outpemecahan masalah penyesuaian diri

No. Aspek Indikator Aitem

1 Starting state mengubah persepsi tentang kenyataan

hidup

13, 18, mampu menginterpretasi suatu

kejadian

15, 16, 20 mampu menentukan tujuan yang

realistic

12, 17, 22

2. Goal state kemampuan mengatasi stress dan

kecemasan

10, 23 mengatasi masalah-masalah dalam

hidup

4, 5, 6, 14

menerima kegagalan yang dialami 7, 26

gambaran diri yang positif, sehingga individu dapat merasakan kenyamanan psikologis

8, 19, 25

3. Set of operation kemampuan mengekspresikan emosi

dengan baik

9, 28 memiliki ekspresi emosi dan kontrol

emosi yang baik

24, 27

hubungan interpersonal yang baik 1, 2, 3, 29

mampu membentuk hubungan dengan cara yang berkualitas dan bermanfaat satu sama lain

11, 21, 30

Jumlah 30

Pada hasiltry outyang telah dilakukan, dapat di ketahui bahwa aitem yang valid adalah aitem nomor: 13, 18, 15, 16, 20, 12, 17, 22, 10, 23, 4, 5, 6, 14, 26, 19, 25, 9, 28, 24, 27, 1, 2, 3, 29, 11, dan 21. Dan aitem yang gugur adalah aitem nomor: 7, 8, dan 30.

Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa jumlah aitem yang valid berjumlah 27 aitem. Dan aitem yang gugur berjumlah 3 aitem.


(1)

71

kecerdasan emosi. Menurut Mutammimah (2014) konsep diri yang positif yang dimiliki remaja akan mempengaruhi prilaku remaja dalam mengadakan hubungan sosial dengan lingkungannya.

Berkaitan dengan aspek penilaian remaja tentang diri sendiri yang bersifat fisik, jika remaja meliliki konsep diri fisik yang positif, remaja bisa menerima apa adanya fisik yang dimiliki, cenderung memunculkan harga diri yang positif, dan disertai dengan mau menerima orang lain, maka pada diri remaja yang bersangkutan akan timbul rasa percaya diri yang kemudian rasa percaya diri tesebut mendorongnya untuk berhubungan dengan orang lain.

Dalam aspek psikis biasanya individu dalam bertindak berdasarkan pada pandangan dan penilaian dirinya sendiri, jika remaja memandang dirinya bisa, maka remaja cenderung berani melakukan sesuatu dan tidak mundur dalam bergaul, di aspek sosial, dalam berperilaku di hadapan orang lain, individu biasanya memperhatikan tentang keberadaan orang lain tersebut, individu akan menilai dirinya berdasarkan persepsi terhadap penilaian orang lain tentang dirinya, sehingga tercapainya hubungan yang harmonis antara dirinya dan lingkungan sekitarnya.


(2)

72

BAB V

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada remaja awal yaitu siswa siswi kelas VII SMP Islam Temayang, menunjukkan tidak terdapat hubungan yang positif antara kecerdasan emosional dengan pemecahan masalah penyesuaian diri dengan nilai signifikansi sebesar 0.136 > 0.05, dan juga tidak terdapat hubungan yang positif antara self efficacy dengan pemecahan masalah penyesuaian diri dengan nilai signifikansi sebesar 0.070 > 0.05.

B. Saran

Dilihat dari hasil penelitian ini tentang hubungan antara kecerdasan emosional dan self efficacy dengan pemecahan masalah penyesuaian diri remaja, maka peneliti mengharapkan beberapa hal berikut:

1. Untuk remaja, dalam proses penyesuaian diri tidak harus memiliki self efficacy (keyakinan diri) dan kecerdasan emosi yang tinggi, akan tetapi hendaknya lebih memperhatikan konsep diri yang dimiliki serta harga diri juga penerimaan diri.

2. Untuk penelitian selanjutnya yang ingin mengkaji untuk penelitian lanjutan hendaknya:

a. Dapat memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada dalam penelitian sekaligus mengambil atau menambah variabel-variabel lain yang


(3)

73

diasumsikan dapat memperbaiki atau berpengaruh terhadap

penyesuaian diri.

b. Agar lebih diteliti dalam membuat aitem-aitem yang akan digunakan untuk menggali data.

c. Evaluasi alat ukur, dalam memberikan instruksi seharusnya tidak dengan isilah “pilihlah sesuai hati” seperti skala yang dibuat oleh peneliti, akan tetapi menggunakan isilah “pilihlah pada jawaban yang

menurut anda paling benar”. Karena instruksi mengisi sesuai hati

merupakan instruksi dalam tes inventori (contoh: tes kepribadian), sedangkan instruksi memilih jawaban yang paling benar merupakan tes ability (kemampuan) sehingga akan mendapatkan skor tinggi atau skor rendah pada setiap variabel yang diukur.


(4)

74

DAFTAR PUSTAKA

Ali. M & Asrori. M. (2006). Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Bumi Aksara.

Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian, Suatu Pengantar. Jakarta: Rieneka Cipta.

Artha, Ni Made Wahyu Indrariyanti & Supriyadi. (2013). Jurnal Hubungan Antara Kecerdasan Emosi dan Self Efficacy dalam Pemecahan Masalah Penyesuaian Diri Remaja Awal.1 (1). 190-202.

Azwar, Saifuddin. (2012). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bandura, Albert. (1986). Social Foundation of Thought and Action, Social Cognitive Theory.

Bungin, Burhan. (2005).Metode PenelitianKuantitatif. Jakarta: KENCANA. Desmita. (2007).Psikologi Perkembangan.Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Dunggio, Ratna. (2014). Jurnal Hubungan Kecerdasan Emosional dan

Kecerdasan Spiritual dengan Pemecahan Masalah pada Remaja. 2 (2). 173-182.

Gerungan, W. A. (1981).Psikologi Sosial. Bandung: PT Eresco.

Ghufron & Risnawita. (2014).Teori-Teori Psikologi. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Goleman, D. (1996).Kecerdasan Emosional: Mengapa EI lebih penting daripada

IQ. Terjemahan: Hermaya, T. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Gunarsa, Singgih D. (1981). Psikologi Perkembangan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Hurlock, E.B., (1980). Psikologi Perkembangan; Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Jakarta: Erlangga.

Hutapea, Bonar. (2014). Jurnal Stres Kehidupan, Religiusitas, dan Penyesuaian Diri Warga Indonesia sebagai Mahasiswa Internasional.18 (1). 25-40.

Ifham. (2002). Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Kewirausahaan pada


(5)

75

Kisti, Hepy., Fardana, Nur. 2012. Hubungan antara Self Efficacy dengan Kreativitas pada Siswa SMK. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental. 1 (02).

Monks, F. J., Knoers, A. M., & Haditono, S. R. (2002). Psikologi Perkembangan Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogjakarta: UGM Press.

Muhid A. 2010.Analisis Statistik, Spss for Windows Cara Praktis Melakukan Analisis Statistik. Surabaya: CV. Duta Aksara.

Murni, Dewi, Rosmawati, Elniati Sri. (2012). Kemampuan Pemecahan Masalah dan Lembar Kegiatan Siswa Berbasis Problem Solving. Jurnal Pendidikan Matematika, Part 3. 1 (1). 80-84.

Mutammimah. (2014). Hubungan Konsep Diri Dan Kecerdasan Emosi Dengan Kemampuan Penyesuaian Diri Pada Remaja. Jurnal Psikologi Indonesia. Januari.3 (1). 42–51.

Parkin, Alan, J. (2000).Essential Cognitive Psychology. Psychology Press.

Richardson, T. (2002). The importance of emotional intelligence during transition to middle scool: What research says.Moddle School Journal.33. 55-58 Rohmah, Faridah Ainur. (2004) Pengaruh Pelatihan Harga Diri Terhadap

Penyesuaian Diri Pada Remaja. Humanitas: Indonesian Psychologycal Journal.1 (1) Januari 53-63.

Salovely, P. & Mayer, J. (1990). Emotional Intelligence. Imagination, Cognition and Personality.9. 185-211.

Santrock, J. W. (2007).Remaja, Edisi II.Jakarta: Erlangga.

Sarwono, S.W. (2006).Psikologi Remaja.Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Setyowati. A., Hartati. S., & Sawitri D. S., (2010). Hubungan antara Kecerdasan

Emosional dengan Resiliensi pada Siswa Penghuni Rumah Damai.7 (1). Sobur, Alex. (2010).Psikologi Umum. Bandung: Cv. Pustaka Setia.

Solso, L.R, Maclin, M.K. Maclin, O.H. (2007).Psikologi Kognitif.8th ed. Jakarta: Erlangga.

Stein, S. J. & Book, H. E. (2002). Ledakan EQ: 15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional Meraih Sukses. Terjemahan: Rainy, Januarsari dan Murtanto. Bandung: Kaifa.


(6)

76

Stenberg. (2008).Psikologi Kognitif.4th ed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif, kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Suharnan. (2005).Psikologi Kognitif. Surabaya: Srikandi.

Suryani. (2007).Psikologi Kognitif.Surabaya: Dakwah Digital Press.

Turki, J. & Al-Qaisy L. M. (2012). Journal Adjustment Problems and Self-efficacy among Gifted Students in Salt Pioneer Center.4 (1). 1-6.