Hubungan Frekuensi Kunjungan Keluarga dan Kecerdasan Emosional Dengan Penyesuaian Diri Santri Baru Di Pondok Pesantren Darul Muttaqien Bogor

(1)

HUBUNGAN FREKUENSI KUNJUNGAN KELUARGA DAN

KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PENYESUAIAN DIRI

SANTRI BARU DI PONDOK PESANTREN DARUL

MUTTAQIEN BOGOR

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)

ARIYANTI

NIM : 1110104000035

PROGRAM STUDI ILMU KEPERWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1435 H/2014 M


(2)

(3)

iii

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

Skripsi, 11 Juli 2014 Ariyanti, 1110104000035

HUBUNGAN FREKUENSI KUNJUNGAN KELUARGA DAN

KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PENYESUAIAN DIRI SANTRI BARU DI PONDOK PESANTREN DARUL MUTTAQIEN BOGOR xx + 68 halaman + 11 tabel + 2 bagan + 7 lampiran

ABSTRAK

Penyesuaian diri adalah suatu proses yang melibatkan respon mental dan tingkah laku yang menyebabkan individu berusaha menanggulangi tuntutan-tuntutan yang sedang dihadapi. Faktor keluarga dan kecerdasan emosional merupakan dua dari berbagai faktor yang bisa mempengaruhi penyesuaian diri seseorang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara frekuensi kunjungan keluarga dan kecerdasan emosional dengan penyesuaian diri santri baru tahun ajaran 2013-2014 di Pondok Pesantren Darul Muttaqien.

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah analitik kuantitatif dengan desain cross sectional. Penelitian ini menggunakan teknik probability sampling jenis simple random sampling pada santri kelas VII Madrasah Tsanawiyah yang bermukim di pondok pesantren sebanyak dan belum pernah mukim di pesantren ketika SD/MI sebanyak 87 responden. Data diambil di Pondok Pesantren Darul Muttaqien Bogor pada bulan Mei. Instrumen yang digunakan merupakan modifikasi dari kuesioner kecerdasan emosional, penyesuaian diri dan frekuensi kunjungan keluarga. Analisa data menggunakan Chi-Square <0,05.

Hasil analisa menunjukkan santri baru memiliki penyesuaian diri tinggi 52,9%, kecerdasan emosional tinggi 50,6% dan sering dikunjungi keluarga 57,5%. Hasil uji bivariat, frekuensi kunjungan keluarga (P=0,612) menunjukkan tidak ada hubungan dengan penyesuaian diri santri baru. Sedangkan kecerdasan emosional (P=0,004) menunjukkan terdapat hubungan dengan penyesuaian diri santri baru. Berdasarkan hasil penelitian ini, pengasuh pesantren dapat melakukan upaya-upaya pengembangan kecerdasan emosional dalam rangka meningkatkan penyesuaian diri santri baru.

Kata kunci: penyesuaian diri, santri baru, kecerdasan emosional, frekuensi kunjungan keluarga


(4)

iv

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES SCHOOL OF NURSING ISLAMIC STATE UNIVERSITY SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Undergraduated Thesis, 11 July 2014 Ariyanti, 1110104000035

RELATIONS BETWEEN FREQUENCY OF FAMILY VISITS AND EMOTIONAL INTELLIGENCE WITH SELF ADJUSTMENT OF NEW SANTRI AT PONDOK PESANTREN DARUL MUTTAQIEN BOGOR xx + 68 pages + 11 tables + 2 charts + 7 attachment

ABSTRACT

Adjustment is a process that involves mental and behavioral responses that lead to individuals trying to cope the demands that are being faced. Family factors and emotional intelligence are two of many factors that can affect a person's self adjustment. The purpose of this study was to determine the relationship between the frequency of family visits and emotional intelligence with self-adjustment of new students in the 2013-2014 school year at Pondok Pesantren Darul Muttaqien.

The method used in this study was a quantitative analytical cross-sectional design. A probability of simple random sampling technique used in this study. Sample consisted of student at seventh grade secondary school students who live in boarding school and have never habitation in boarding school when SD / MI. There were total are 87 respondents involved. Data taken at Pondok Pesantren Darul Muttaqien Bogor in May. The instrument used was a modification of the questionnaire emotional intelligence, self-adjustment and frequency of family visits. Data analysis using Chi-Square <0.05.

The results of the analysis showed new students had high self-adjustment 52,9%, high emotional intelligence 50,6% and often visited 57.5%. Bivariate test results, the frequency of family visits (P = 0.612) showed no association with the adjustment of new students. While emotional intelligence (P = 0.004) showed an association with the adjustment of new students. Based on these results, pesantren can make efforts in the development of emotional intelligence in order to improve the adjustment of new students.

Keywords: adjustment, new students, emotional intelligence, the frequency of family visits


(5)

(6)

(7)

(8)

viii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Ariyanti

Tempat, Tanggal Lahir : Sambas, 04 Mei 1992 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status : Belum menikah

Alamat : Dsn Taman Sari RT 001/ RW 001, Desa Sei Toman, Kecamatan Salatiga, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.

Telp/ No HP : 0896-0279-2962

Email : ariyantiarifien@gmail.com

Fakultas/Jurusan : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan / Program Studi Ilmu Keperawatan

PENDIDIKAN

1. SDN 33 Sei Toman 1998 – 2004

2. SMP Negeri 1 Salatiga 2004 – 2007

3. MAN Sambas 2007 – 2010 4. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2010-Sekarang ORGANISASI

1. OSIS 2005 – 2006

2. Rohis 2007 – 2008

3. Poskestren 2008 – 2010

4. BEMJ Ilmu Keperawatan 2011 – 2012


(9)

ix DAFTAR ISI JUDUL

HALAMAN PERNYATAAN ... Error! Bookmark not defined.

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

LEMBAR PERSETUJUAN... v

LEMBAR PENGESAHAN ... vi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR BAGAN ... xiv

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

DAFTAR SINGKATAN ... xvii

KATA PENGANTAR ... xviii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Pertanyaan Penelitian ... 7

D. Tujuan Penelitian ... 7

E. Manfaat Penelitian ... 8


(10)

x BAB II: TINJAUAN PUSTAKA

A. Pondok Pesantren ... 9

1. Pengertian ... 9

2. Jenis-Jenis Pesantren ... 10

3. Fungsi Pondok Pesantren ... 11

B. Santri ... 12

C. Penyesuaian Diri ... 13

1. Pengertian Penyesuaian Diri ... 13

2. Fase-Fase Penyesuaian Diri ... 14

3. Ciri-Ciri Penyesuaian Diri ... 15

4. Karakteristik Penyesuaian Diri ... 16

5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri ... 18

D. Keluarga... 21

1. Pengertian Keluarga ... 21

2. Ciri-Ciri Keluarga ... 22

3. Tipe Keluarga ... 23

4. Dukungan Keluarga ... 26

5. Kunjungan Keluarga ... 28

E. Kecerdasan Emosional ... 29

1. Pengertian Kecerdasan Emosional ... 29


(11)

xi

3. Manfaat Kecerdasan Emosional ... 32

4. Pengukuran Kecerdasan Emosional ... 33

F. Kerangka Teori ... 35

BAB III: KERANGKA KONSEP, HIPOTESA DAN DEFINISI OPERASIONAL A. Kerangka Konsep ... 36

B. Hipotesa Penelitian ... 36

C. Definisi Operasional ... 37

BAB IV: METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 38

B. Lokasi dan Waktu Pengumpulan Data ... 38

C. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ... 38

1. Populasi ... 38

2. Sampel ... 39

D. Teknik Pengambilan Sampel ... 39

E. Instrumen Penelitian ... 40

F. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen ... 42

G. Hasil Uji Instrumen ... 43

H. Teknik Pengumpulan Data ... 44

I. Pengolahan Data ... 45


(12)

xii

1. Analisa Univariat ... 46

2. Analisa bivariat ... 46

K. Etika Penelitian ... 47

BAB V: HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Pondok Pesantren Darul Muttaqien ... 48

B. Analisa Univariat ... 49

1. Karakteristik Responden... 49

2. Penyesuaian Diri Santri ... 50

3. Frekuensi Kunjungan Keluarga ... 50

4. Kecerdasan Emosional ... 51

C. Analisis Bivariat ... 51

1. Hubungan Frekuensi Kunjungan Keluarga dengan Penyesuaian Diri . 52 2. Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Penyesuaian Diri ... 52

BAB VI: PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden... 54

B. Analisis Univariat ... 55

1. Gambaran Penyesuaian Diri Santri Baru ... 55

2. Gambaran Frekuensi Kunjungan Keluarga ... 58

3. Gambaran Kecerdasan Emosional ... 59

C. Analisa Bivariat ... 61 1. Hubungan Frekuensi Kunjungan Keluarga dengan Penyesuaian Diri . 61


(13)

xiii

2. Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Penyesuaian Diri ... 64 D. Keterbatasan Peneliti ... 66 BAB VII:KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 67 B. Saran ... 68 DAFTAR PUSTAKA


(14)

xiv

DAFTAR BAGAN

No. Bagan

2.1 Kerangka Teori...35


(15)

xv

DAFTAR TABEL

No. Tabel

3.1 Definisi Operasional...37

4.1 Jumlah Sampel Tiap Kelas...40

4.2 Skala Kecerdasan Emosional...41

4.3 Skala Penyesuaian Diri...42

4.4 Hasil Uji Instrumen...43

5.1 Distribusi Usia dan Jenis Kelamin Responden di Pondok Pesantren Darul Muttaqien...49

5.2 Distribusi Frekuensi Penyesuian Diri Responden di Pondok Pesantren Darul Muttaqien...50

5.3 Distribusi Frekuensi Kunjungan Keluarga Responden di Pondok Pesantren Darul Muttaqien...50

5.4 Distribusi Frekuensi Kecerdasan Emosional Responden di Pondok Pesantren Darul Muttaqien...51

5.5 Distribusi Hubungan Frekuensi Kunjungan Keluarga dengan Penyesuaian Diri Responden di Pondok Pesantren Darul Muttaqien Tahun 2014...52

5.6 Distribusi Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Penyesuaian Diri Responden di Pondok Pesantren Darul Muttaqien Tahun 2014...53


(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar Kuesioner Penelitian Lampiran 2 Surat Izin Studi Pendahuluan Lampiran 3 Surat Izin Penelitian

Lampiran 4 Surat Izin Penelitian ke Madrasah Tsanawiyah Darul Muttaqien Lampiran 5 Surat Bukti Penelitian

Lampiran 6 Lembar Hasil Analisis Uji Instrumen Lampiran 7 Lembar Hasil Perhitungan Analisis Data


(17)

xvii

DAFTAR SINGKATAN

EQ : Emotional Quotinent

EQ-I : Emotional Quotinent Inventory

IQ : Intelligence Quotinent

MA : Madrasah Aliyah

MSCEIT : Mayer Salovey Caruso Emotional Intelligence Test

MTs : Madrasah Tsanawiyah

SQ : Spiritual Quotinent


(18)

xviii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh

Puji dan syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan Frekuensi Kunjungan Keluarga dan Kecerdasan Emosional dengan Penyesuaian Diri Santri Baru di Pondok Pesantren Darul Muttaqien Bogor”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta menerapkan ilmu yang didapat oleh penulis dalam perkuliahan.

Proses penyelesaian skripsi ini telah dijalani tahap demi tahap dengan penuh perjuangan dan pengorbanan hingga akhirnya terselesaikan. Peneliti

menyadari, skripsi ini dapat terselesaikan berkat arahan, dukungan, masukan, do‟a

dan bantuan yang diberikan kepada penulis. Dengan ini, penulis ingin mengungkapkan rasa hormat dan terima kasih serta penghargaan yang tidak terhingga kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat selaku Rektor Universitas Islam Negeri syarif Hidayatullah Jakarta

2. Bapak Prof. Dr. Dr. MK Tadjudin, Sp.And selaku Dekan FKIK Universitas Islam Negeri syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Ns. Waras Budi Utomo, S.Kep, M.KM selaku Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Islam Negeri syarif Hidayatullah Jakarta.


(19)

xix

4. Ibu Ns. Uswatun Hasanah, MNS selaku pembimbing akademik yang dengan sabar mengarahkan dan membimbing selama diakademik.

5. Ibu Ns. Eni Nur‟aini Agustini, S.Kep, M.Sc selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Keperawatan sekaligus sebagai pembimbing pertama. Terima kasih sebesar-besarnya kepada beliau yang telah meluangkan waktu, tenaga dan kesabaran selama membimbing penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.

6. Ibu Gusrina Komara Putri, MSN selaku pembimbing kedua. Terima kasih sebesar-besarnya kepada beliau yang telah meluangkan waktu, tenaga dan kesabaran selama membimbing penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.

7. Bapak/Ibu dosen Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Islam Negeri syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis serta seluruh staf dan karyawan di lingkungan Universitas Islam Negeri syarif Hidayatullah Jakarta.

8. Kementerian Agama yang telah memberikan beasiswa dan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri syarif Hidayatullah Jakarta.

9. Pondok Pesanten Darul Muttaqien yang telah memberi izin dan membantu peneliti selama proses penelitian.

10. Ucapan terima kasih teristimewa untuk Ayahanda Arifien Djarni dan

Ibunda Jamilah Hadari yang telah memberikan dukungan dan do‟a selama


(20)

xx

11. Adik-adik tercinta Jumiansyah Arifien dan Hafizun Arifien. Terima kasih sebesar-besarnya atas dukungan dan do‟a kalian selama ini.

12. Sahabat-sahabat penulis dan seluruh teman-teman Program Studi Ilmu Keperawatan angkatan 2010 yang telah memberi semangat, dukungan dan dorongan kepada penulis.

13. Semua pihak yang telah membantu selesainya proposal skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam kesempatan ini.

Akhir kata semoga kita semua diberikan rahmat, hidayah serta karunia dari Allah SWT dan apa yang telah penulis peroleh selama proses pendidikan dapat bermanfaat dan diamalkan dengan baik.

Wassalamu’alaikum Warohmatullahhi Wabarokatuh


(21)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Pesantren adalah lembaga pendidikan islam yang memfokuskan diri pada pembelajaran islam mulai dari teologi, fiqih, sampai gramatika bahasa arab. Pesantren bisa dikatakan lembaga pendidikan tertua karena merupakan lembaga pengembangan Islam dan pembinaan keberagaman umat. Dalam unsur pesantren, setidaknya ada tiga unsur yang saling terkait. Pertama yaitu Kiai adalah orang yang memberi landasan sistem pembelajaran. Kedua yaitu para santri yakni murid yang belajar pengetahuan keislaman. Ketiga, pondok yaitu asrama yang disediakan untuk mengakomodasi para santri yang biasanya dalam bentuk sederhana (Turmudi,2008).

Menurut Pigeaud dan de Graaf (1985 dalam Poesponegoro, 2008), pesantren sudah ada sejak abad ke-16 sedangkan menurut Marten Van Bruinessen (1992 dalam Poesponegoro, 2008), pesantren baru ada pada pertengahan abad ke-18 tepatnya tahun 1742. Sebelum sistem pendidikan modern diperkenalkan oleh Belanda, pesantren adalah satu-satunya sistem pendidikan yang ada di Indonesia bahkan sampai sekarang. Menurut data Direktorat Pendidikan Islam Kementerian Agama tahun 2011-2012, jumlah pesantren di Indonesia yaitu 27.230 pondok pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia. Populasi pondok pesantren terbesar berada di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Banten (78,60%). Sedangkan jumlah santri pondok pesantren secara keseluruhan adalah 3.759.198


(22)

2

orang santri, terdiri dari 1.886.748 orang santri laki-laki (50,19%), dan 1.872.450 orang santri perempuan (49,81%).

Pesantren biasanya berisi santri yang berasal dari desa sekitarnya. Jika pesantren sudah terkenal, biasanya para santri datang dari tempat jauh sehingga disediakan asrama untuk santri yang mukim. Berdasarkan tempat tinggal, santri dapat dibedakan antara lain santri mukim dan santri tidak mukim (Poesponegoro,2008). Menurut data Direktorat Pendidikan Islam Kementerian Agama tahun 2011-2012, jumlah santri di Indonesia berdasarkan kategori tinggal yaitu terdapat 3.004.807 orang santri mukim (79,93%) dan 754.391 orang santri tidak mukim (20,07%). Dari data tersebut disimpulkan sebagian besar santri bermukim di pondok, dan tentunya bagi santri baru yang bermukim harus melalui proses penyesuaian diri pada lingkungan baru di pondok pesantren yang baru ditinggali.

Penyesuaian diri merupakan cara individu dalam bereaksi terhadap tuntutan-tuntutan atau suatu proses yang melibatkan respon mental dan tingkah laku yang menyebabkan individu berusaha menanggulangi tuntutan-tuntutan yang sedang dihadapi. Penyesuaian diri berbeda-beda menurut norma-norma sosial dan budaya serta tiap individu berbeda-beda dalam tingkah laku (Semiun,2006). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri individu yaitu kondisi fisik, kepribadian, pendidikan, lingkungan serta faktor agama dan budaya. Faktor-faktor ini mempunyai efek yang menentukan proses penyesuaian diri seseorang (Ali&Asrori, 2011).

Faktor lingkungan yang di dalamnya merupakan faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri meliputi lingkungan keluarga, sekolah dan


(23)

3

masyarakat. Lingkungan baru bagi santri di pesantren tentunya berbeda dari keadaan dirumah, tetapi walaupun jauh dari rumah, keluarga tetap bagian penting dalam kehidupan seseorang. Salah satu faktor penyesuaian diri adalah keadaan lingkungan keluarga. Keluarga merupakan bagian dari manusia yang selalu berhubungan dengan kita. Keluarga mempunyai peran masing-masing baik peran dalam keluarga maupun dimasyarakat. Keluarga merupakan sistem sosial yang memiliki fungsi, mampu menyelesaikan masalah, mempengaruhi kelompok lain, dan perilaku individu merupakan gambaran nilai dan norma yang berlaku dalam keluarga (Suprajitno,2004).

Dukungan keluarga merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi penyesuaian diri anak. Dukungan keluarga memiliki hubungan yang signifikan dengan kemampuan penyesuaian diri anak. Dukungan keluarga yang positif yang dirasakan anak merupakan suatu bantuan yang dapat mendukung penyesuaian diri anak yang baik pula (Wihastuti,dkk, 2012).

Dukungan keluarga merupakan faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri seseorang. Salah satu bagian dari dukungan keluarga adalah kunjungan keluarga (Azizah, 2013). Menurut Leathers, semakin sering kunjungan keluarga maka anak akan semakin bisa menyesuaikan diri kembali dengan keluarga dalam proses reuni kembali keluarga. Sehingga cara tersebut bisa memberi dampak positif bagi anak (Leathers, 2002).

Penelitian yang dilakukan oleh Ningsih (2011), tentang hubungan dukungan sosial dengan penyesuaian diri pada santri di Pondok Pesantren Modern Islam Assalam Surakarta. Ningsih menyimpulkan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara dukungan sosial terhadap penyesuaian diri. Studi


(24)

4

lebih lanjut ditemukan bahwa semakin tinggi dukungan sosial maka semakin tinggi penyesuaian diri santri.

Selain faktor keluarga, ada faktor diri yang mempengaruhi penyesuaian diri salah satunya kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional yang merupakan faktor internal yang dapat mempengaruhi proses adaptasi seseorang pada suatu perubahan seperti perubahan pada lingkungan baru. Kecerdasan emosional memberikan perasaan yang membuat manusia memiliki rasa empati, motivasi, malas, semangat dan sebagainya (Bahaudin,2007).

Kecerdasan emosional telah menjadi topik utama penelitianan ilmiah dan analisis. Washington, et al. (2013) menjelaskan bahwa perbedaan manusia menunjukkan perlunya untuk memperoleh keterampilan kecerdasan emosi untuk menumbuhkan dan mempertahankan hubungan yang langgeng dalam lingkungan belajar yang multikultural. Kecerdasan emosional sangat penting untuk memahami keanekaragaman pada tiap orang.

Penelitian tekait tentang pengaruh kecerdasan emosional yang dilakukan oleh Muflihah (2004) pada remaja Kelas I dan II di Madrasah Aliyah An-Nur Bululawang Malang. Pada penelitian ini diketahui bahwa 35% siswa memiliki kecerdasan emosional sedang atau cukup tinggi dan 36.67% tingkat penyesuaian dirinya tergolong sedang. Studi lebih lanjut menemukan bahwa siswa dengan kecerdasan emosional sedang atau cukup tinggi memiliki tingkat penyesuaian diri sedang. Hal ini berarti bahwa ada pengaruh yang positif dan signifikan antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian diri siswa.

Studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di Pondok Pesantren Darul Muttaqien, didapatkan beberapa peraturan yang sangat ditekankan di pesantren.


(25)

5

Peraturan seperti hanya boleh keluar dari area pesantren jika sudah mendapat izin, tidak boleh membawa alat komunikasi atau harus mendapat izin dari ustad ustazah dulu jika ingin pulang ke rumah dan lain-lain. Serta banyaknya kegiatan-kegiatan yang harus diikuti santri sesuai jadwal yang ditentukan. Banyaknya peraturan dan kegiatan tersebut merupakan tuntutan-tuntutan yang harus dihadapi santri baru yang belum terbiasa sehingga memerlukan penyesuaian diri.

Survei kemudian juga dilakukan untuk meyakinkan peneliti pada 15 orang santri kelas VII Madrasah Tsanawiyah yang bermukim di Pondok Pesantren Darussalam Sengkubang, Pontianak. Untuk penyesuaian diri santri didapatkan mayoritas dalam kategori sedang 66,67%, sedangkan persentase kategori tinggi 33,33%. Untuk kecerdasan emosional mayoritas dalam kategori sedang 55,33%, sedangkan kategori tinggi 46,67%. Sedangkan untuk frekuensi kunjungan keluarga, didapatkan rata-rata keluarga berkunjung sebanyak 6,2 kali dalam 6 bulan terakhir santri berada di asrama.

Faktor keluarga dan kecerdasan emosional merupakan dua dari berbagai faktor yang bisa mempengaruhi penyesuaian diri seseorang. Sehingga peneliti tertarik untuk meneliti baik dari kedua faktor tersebut yang merupakan faktor yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri santri baru. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti tentang hubungan frekuensi kunjungan keluarga dan kecerdasan emosional dengan penyesuaian diri santri.


(26)

6 B.Rumusan Masalah

Menurut Ali & Asrori (2011), Penyesuaian diri pada lingkungan baru dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kondisi fisik, kepribadian, pendidikan, lingkungan serta faktor agama dan budaya. Faktor-faktor ini mempunyai efek yang menentukan proses penyesuian diri seseorang. Faktor lingkungan seperti keluarga merupakan faktor eksternal dan faktor kepribadian seperti kecerdasan emosional merupakan faktor internal yang bisa mempengaruhi penyesuaian diri individu.

Penelitian terkait tentang penyesuaian diri yang dilakukan Ningsih (2011). Ningsih menyimpulkan bahwa semakin tinggi dukungan sosial maka semakin tinggi penyesuaian diri santri. Penelitian tekait tentang pengaruh kecerdasan emosional yang dilakukan oleh Muflihah (2004), disimpulkan bahwa ada pengaruh yang positif dan signifikan antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian diri siswa.

Survei yang dilakukan oleh peneliti pada 15 santri secara acak dengan menggunakan kuesioner. Didapatkan bahwa mayoritas santri memiliki penyesuaian diri (66,7%) dan kecerdasan emosional (55,3%) dalam kategori sedang. Serta didapatkan bahwa rata-rata keluarga berkunjung sebanyak 6,2 kali dalam 6 bulan terakhir santri berada di asrama. Dari uraian tersebut maka peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan frekuensi kunjungan keluarga kecerdasan emosional terhadap penyesuaian diri santri baru di asrama .


(27)

7 C.Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran penyesuaian diri pada santri baru di Pondok Pesantren Darul Muttaqien?

2. Bagaimana gambaran frekuensi kunjungan keluarga santri baru di Pondok Pesantren Darul Muttaqien?

3. Bagaimana gambaran kecerdasan emosional pada santri baru di Pondok Pesantren Darul Muttaqien ?

4. Apakah ada hubungan antara frekuensi kunjungan keluarga dengan penyesuaian diri santri baru di Pondok Pesantren Darul Muttaqien?

5. Apakah ada hubungan antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian diri santri baru di Pondok Pesantren Darul Muttaqien?

D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan antara frekuensi kunjungan keluarga dan kecerdasan emosional dengan penyesuaian diri santri baru tahun ajaran 2013-2014 di Pondok Pesantren Darul Muttaqien.

2. Tujuan khusus

a. Mengidentifikasi gambaran frekuensi kunjungan keluarga santri terhadap penyesuaian diri santri baru di Pondok Pesantren Darul Muttaqien.

b. Mengidentifikasi gambaran kecerdasan emosional santri terhadap penyesuaian diri santri baru di Pondok Pesantren Darul Muttaqien.

c. Mengidentifikasi gambaran penyesuaian diri santri baru di Pondok Pesantren Darul Muttaqien


(28)

8

d. Diketahui hubungan antara frekuensi kunjungan keluarga dengan penyesuaian diri santri baru di Pondok Pesantren Darul Muttaqien.

e. Diketahui hubungan antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian diri santri baru di Pondok Pesantren Darul Muttaqien.

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi pendidikan keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan ilmu pengetahuan tambahan bagi ilmu keperawatan terutama keperawatan anak dan keperawatan jiwa. Sehingga bisa dijadikan referensi dalam proses belajar. 2. Bagi pondok pesantren

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi gambaran bagi para pengasuh pondok pesantren bahwa lingkungan dan kecerdasan emosional dapat mempengaruhi penyesuaian diri santri baru di pondok pesantren.

3. Bagi penelitian selanjutnya

Dapat dijadikan sebagai data dasar bagi peneliti lain untuk kepentingan pengembangan ilmu berkaitan dengan penyesuaian diri.

F. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian Ini Melihat Hubungan Antara Frekuensi Kunjungan Keluarga Dan Kecerdasan Emosional Dengan Penyesuaian diri santri baru. Serta melihat sejauh mana kedua faktor tersebut berhubungan dengan penyesuaian diri. Penelitian dilakukan di Pondok Pesantren Darul Muttaqien pada santri kelas VII Madrasah Tsanawiyah (Madrasah Tsanawiyah). Populasi penelitian ini adalah santri kelas VII Madrasah Tsanawiyah tahun ajaran 2013-1014. Desain penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dengan rancangan penelitian cross sectional.


(29)

9 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Pondok Pesantren

1. Pengertian

Kata pesantren berasal dari kata santri dengan awalan “pe-” dan akhiran

“-an” yang berarti tempat tinggal para santri. Istilah pondok berasal dari kata funduq yang dalam bahasa Arab berarti penginapan. Dalam perkembangan selanjutnya, kedua istilah tersebut biasa digunakan secara bersama-sama, yakni pondok pesantren. Pe-santri-an atau pesantren adalah tempat tinggal para santri menimba ilmu agama dan ilmu-ilmu lainnya. Pesantren juga bisa didefinisikan sebagai sebuah masyarakat mini yang terdiri atas santri, guru, dan pengasuh (kyai) (Efendi dan Makhfudli, 2009).

Pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang terus menekuni pendidikan agama islam dan menjadikannya sebagai fokus kegiatan. Perkembangan pesantren telah mendorong banyak pesantren untuk melakukan perubahan. Dahulu hanya terdapat pesantren tradisional (salaf) yang memusatkan pada pengetahuan islam saja. Tetapi, dengan modernisasi pesantren menyebabkan penampilan beberapa pesantren berbeda dari pesantren tradisional dalam banyak hal (Turmudi,2008).

Perbedaan ini terutama terletak pada sistem pendidikannya akibat hadirnya sistem madrasah dan terutama hadirnya sekolah-sekolah umum dalam


(30)

10

kompleks pesantren. Dengan perubahan ini, para santri belajar di madrasah atau sekolah umum pada pagi hari. Pada malam hari para santri membahas materi keislaman dan mempelajari kitab-kitab. Perubahan pola pembelajaran seperti ini tampak meluas di kalangan pesantren sehingga hampir semua pesantren kini mempunyai sistem pendidikan dualistik seperti ini. Mungkin hanya beberapa pesantren saja yang masih bertahan untuk menjalankan sistem pembelajaran tradisional yang biasa disebut pesantren salaf (Turmudi,2008).

2. Jenis-Jenis Pesantren

Pesantren dapat dibagi menjadi beberapa jenis, menurut Efendy dan Makhfudli (2009), secara umum pesantren diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Pesantren tipe A, yaitu pesantren yang sangat tradisional. Para santri umumnya tinggal di asrama yang terletak di sekitar rumah kyai. Mereka hanya belajar kitab kuning. Cara pembelajarannya memakai metode sorongan (satu guru-satu santri) dan bandongan (satu guru-banyak santri). b. Pesantren tipe B, yaitu pesantren yang memadukan antara metode sorongan

dengan pendidikan formal yang ada di bawah departemen pendidikan atau departemen agama. Hanya saja lembaga pendidikan formal itu khusus untuk santri tersebut.

c. Pesantren tipe C, hampir sama dengan tipe B tetapi lembaga pendidikannya terbuka untuk umum.

d. Pesantren tipe D, yaitu pesanten yang tidak memiliki lembaga pendidikan formal, tetapi memberikan kesempatan kepada santri untuk belajar pada jenjang pendidikan formal di luar pesantren.


(31)

11

Selain itu, Efendy dan Makhfudli (2009), juga mengklasifikasikan pesantren berdasarkan kegiatan yang berlangsung sebagai berikut:

a. Pesantren salafi atau salafiyah (tradisional), merupakan pesantren yang masih tetap mempertahankan bentuk aslinya dengan semata-mata mengajarkan kitab yang ditulis ulama dengan menggunakan bahasa Arab. Sistem pengajarannya dengan menggunakan sistem halaqah artinya diskusi untuk memahami isi kitab, bukan untuk mempertanyakan benar salah yang diajarkan kitab. Kurikulum sepenuhnya tergantung kepada para kyai pengasuh pondok pesantren.

b. Pesantren khalafi atau khalafiyah (modern), merupakan pondok pesantren yang berusaha mengintegrasikan secara penuh sistem klasikal dan sekolah. Meskipun kurikulum pesantren modern memasukkan pengetahuan umum akan tetapi tetap dikaitkan dengan ajaran agama hanya saja pengajian kitab-kitab klasikal tidak lagi menonjol.

c. Pesantren komprehensif

Pondok pesantren komprehensif yaitu pondok pesantren yang menggabungkan sistem pendidikan dan pengajaran antara yang tradisional dan modern. Artinya di dalamnya diterapkan pengajaran kitab dan keagamaan namun secara reguler sistem persekolahan terus dikembangkan.

3. Fungsi Pondok Pesantren

Efendy dan Makhfudli (2009), menyimpulkan fungsi pesantren secara garis besar sebagai berikut:


(32)

12 b. Meningkatkan fungsi syiar dan pelayanan.

c. Berperan aktif dalam peningkatan kualitas umat melalui dakwah. d. Mengembangkan dakwah dengan cara yang kreatif dan inovatif. e. Membangun struktur lembaga yang kokoh dan berwibawa. f. Membentuk kader-kader dakwah islami.

g. Sebagai garda depan dalam mencetak para mujahid dakwah, termasuk para penghafal Al-Qur‟an (hafiz dan hafizah).

h. Menjadikan pesantren sebagai media pemberdayaan untuk perempuan korban kekerasan.

i. Merespons persoalan-persoalan kemasyarakatan seperti masalah kemiskinan, memelihara tali persaudaraan, mengurangi pengangguran, memberantas kebodohan, menciptakan kehidupan yang sehat, dan sebagainya.

B.Santri

Santri berasal dari bahasa Sanskerta, shastri yang berarti orang yang memahami kitab suci agama Hindu. Di zaman Islam, kata santri dipakai dalam arti yang luas yaitu orang yang melaksanakan ajaran islam. Tetapi kata santri di kalangan orang jawa islam berasal dari pengertian yang lebih khusus yaitu orang atau murid yang belajar di pondok (Purwoko,dkk, 2007).

Kata santri memiliki dua makna yaitu sebagai kategori sosial dan kategori pendidikan. Kategori sosial santri berarti komunitas atau kelompok masyarakat yang taat dalam menjalankan ajaran agama islam. Kategori pendidikan, santri bermakna murid-murid yang belajar islam kepada guru yang disebut kiai dan tinggal di pondok atau asrama. (Purwoko,dkk, 2007).


(33)

13

Pondok maupun santri merupakan unsur penting dalam pesantren. Santri sebagai murid yang belajar pengetahuan keislaman dari kiai, merupakan sumber daya manusia yang mendukung keberadaan pesantren dan menopang pengaruh kiai dalam masyarakat. Santri biasanya berasal dari desa sekitar pesantren, namun jika pesantren sudah terkenal biasanya para santri datang dari tempat jauh sehingga disediakan asrama untuk santri yang mukim. Berdasarkan tempat tinggal, santri dapat dibedakan antaralain santri mukim dan santri kalong (tidak mukim). Santri mukim adalah santri yang menetap (tinggal,mondok), sedangkan santri kalong adalah santri yang tinggal di luar pesantren atau tidak bermukim dipesantren (Poesponegoro,2008).

C.Penyesuaian Diri

1. Pengertian Penyesuaian Diri

Dalam bahasa inggris, istilah penyesuaian diri memiliki dua kata yang berbeda maknanya yaitu adaptasi (adaptation) dan penyesuaian (adjustment). Adaptasi memiliki pengertian individu melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan. Penyesuaian (adjustment) dipahami sebagai mengubah lingkungan agar menjadi lebih sesuai dengan diri individu. Penyesuaian diri meliputi pengertian adaptation maupun adjustment adalah individu yang mampu menyesuaikan diri dengan baik, mampu menggunakan kedua mekanisme penyesuaian diri tersebut secara luwes tergantung pada situasinya (Siswanto,2007).

Secara historis, istilah penyesuaian diri sudah banyak mengalami perubahan, penyesuaian diri disamakan dengan adaptasi yaitu suatu proses


(34)

14

di mana individu mematuhi tuntutan-tuntutan lingkungan. Maka penyesuaian diri adalah cara individu bereaksi terhadap tuntutan-tuntutan dari dalam atau situasi-situasi luar. Untuk sebagian orang reaksi ini bisa efisien atau memuaskan tapi sebagian lagi reaksi ini melumpuhkan bahkan patologik (Semiun,2006). Sedangkan menurut Sunaryo (2004), penyesuaian diri atau adaptasi merupakan pertahanan yang didapat sejak lahir atau diperoleh karena pengalaman mengatasi stres dan merupakan suatu cara penyesuaian yang berorientasi pada tugas.

2. Fase-Fase Penyesuaian Diri

Menurut Cheers (2007), rentang waktu penyesuaian diri seseorang pada sebuah lingkungan baru atau di tempat baru yaitu 12-18 bulan. Penyesuaian tidak dicapai dalam beberapa hari atau bahkan beberapa minggu, penyesuaian merupakan proses yang terus-menerus dan memiliki beberapa fase. Terdapat 5 fase penyesuaian diri di tempat atau lingkungan baru, setiap fase memiliki rentang waktu yang berbeda tergantung individu. Berikut ini fase-fase penyesuaian diri:

a. Fase disorientasi berlangsung sekitar 4-6 minggu, ditandai dengan meningkatnya level stres individu.

b. Fase honeymoon berlangsung sekitar 6 bulan pertama, ditandai dengan meningkatnya kesejahteraan, koping, dan produktivitas. Pada tahap ini individu akan menunjukkan kesenangan, semangat kerja sama, dan aktif ketika berbicara kepada orang lain.


(35)

15

c. Fase berduka dan kehilangan berlangsung sekitar bulan ke-9, fase dimana kesejahteraan berada dipoin terbawah. Individu mungkin mengalami gangguan pola tidur, gangguan pencernaan dan tidak nafsu makan.

d. Fase menarik diri dan depresi, bisa menyebabkan beberapa masalah penyesuaian diri dan bahkan sampai keluar dari komunitas. Pada tahap ini individu mengalami kebingungan dan frustrasi dengan lingkungan baru. e. Fase reorganisasi dan penyesuaian pada bulan ke 9-15 bulan, dimana

individu mulai mampu beradaptasi dengan lingkungan baru.

3. Ciri-Ciri Penyesuaian Diri

Menurut Haber dan Runyon (1984 dalam Siswanto, 2007), Individu yang mampu menyesuaikan diri dengan baik umumnya memiliki ciri-ciri atau karakteristik sebagai berikut:

a. Memiliki persepsi yang akurat terhadap realita

Individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik memiliki persepsi yang relatif objektif dalam memahami realita. Persepsi objektif adalah bagaimana orang mengenali konsekuensi-konsekuensi tingkah lakunya dan mampu bertindak sesuai dengan konsekuensi tersebut.

b. Kemampuan untuk beradaptasi dengan tekanan atau stres dan kecemasan Individu yang mampu menyesuaikan diri, tidak selalu menghindari munculnya tekanan dan kecemasan. Kadang mereka justru belajar untuk mentoleransi tekanan dan kecemasan yang dialami dan mau menunda pemenuhan kepuasan selama itu diperlukan demi mencapai tujuan tertentu yang lebih penting sifatnya.


(36)

16

c. Mempunyai gambaran diri yang positif tentang dirinya

Pandangan individu tentang dirinya lebih mengarah apakah individu bisa melihat dirinya secara harmonis atau sebaliknya. Individu yang banyak melihat pertentangan-pertentangan dalam dirinya bisa menjadi indikasi adanya kekurangan kemampuan dalam penyesuaian diri. Gambaran diri positif mencakup apakah individu melihat dirinya secara realistik yaitu secara seimbang tahu kelebihan dan kekurangan diri dan mampu menerimanya. Sehingga memungkinkan individu merealisasikan potensi yang dimiliki secara penuh.

d. Kemampuan untuk mengkspresikan perasaannya

Individu yang mampu menyesuaikan diri dengan baik dicirikan memiliki emosi yang sehat yaitu mampu menyadari dan merasakan emosi atau perasaan dan mampu mengekspresikannya dalam spektrum yang luas. Sebaliknya individu yang memiliki penyesuaian diri yang buruk cenderung mengekspresikan emosi secara berlebihan atau sebaliknya.

e. Relasi interpersonal baik

Individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik mampu mencapai tingkat keintiman yang tepat pada suatu hubungan sosial. Seperti mampu bertingkah laku secara berbeda terhadap orang yang berbeda karena kedekatan relasi interpersonal antar mereka yang berbeda pula.

4. Karakteristik Penyesuaian Diri

Menurut Schneiders (1984, dalam Ali dan Asrori, 2011), dalam penyesuaian diri khususnya pada remaja ada 7 karakteristik meliputi:


(37)

17

a. Penyesuaian diri terhadap peran dan identitas

Remaja selalu berjuang agar dapat memainkan perannya sesuai dengan perkembangannya. Tujuannya agar memperoleh identitas diri yang dapat dimengerti dan diterima lingkungannya.

b. Penyesuaian diri remaja terhadap pendidikan

Umumnya remaja mengetahui bahwa jika ingin sukses, harus rajin belajar. Namun karena pencarian identitas diri yang kuat, menyebabkan remaja mencari kegiatan lain selain belajar. Sehingga sering ditemukan banyak remaja yang malas atau tidak disiplin dalam belajar. Penyesuaian diri remaja yang ingin sukses tapi dengan cara yang membuat remaja merasa bebas dan senang terhindar dari konflik dan tekanan.

c. Penyesuaian diri terhadap kehidupan seks

Remaja telah mengalami kematangan fungsi seksual secara fisik. Dalam konteks ini, penyesuaian diri remaja adalah mereka ingin memahami kondisi seksual dirinya dan lawan jenisnya serta mampu bertindak untuk menyalurkan dorongan seksual yang dapat dimengerti dan dibenarkan oleh norma sosial dan agama.

d. Penyesuaian diri remaja terhadap norma sosial

Perjuangan penyesuaian diri remaja terhadap norma sosial adalah mengintegrasikan dorongan untuk bertindak bebas dalam satu sisi, dengan tuntutan norma sosial dalam masyarakat pada sisi lain. Tujuannya adalah agar terwujud internalisasi norma baik pada remaja, keluarga, sekolah maupun masyarakat.


(38)

18

Upaya penyesuaian diri remaja dengan melakukan penyesuaian antara dorongan kebebasannya serta inisiatif dan kreatifitas dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat. Sehingga waktu luang digunakan untuk menunjang pengembangan diri dan manfaat sosial lainnya.

f. Penyesuaian diri remaja terhadap penggunaan uang

Remaja berusaha untuk bertindak secara proporsional melakukan penyesuaian antara pemenuhan kebutuhan denagn kondisi ekonomi orang tua.

g. Penyesuaian diri remaja terhadap kecemasan, konflik dan frustasi

Dinamika perkembangan yang dinamis menyebabkan remaja sering dihadapkan pada kecemasan, konflik dan frustasi. Penyesuaian diri pada keadaan tersebut biasanya melalui mekanisme yang disebut dengan sistem petahanan diri. Cara yang ditempuh kadang negatif atau positif.

5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri

Menurut Schneiders (1984, dalam Ali dan Asrori, 2011) setidaknya ada lima faktor yang mempengaruhi proses penyesuaian diri yaitu:

a. Kondisi fisik

Aspek yang berkaitan dengan kondisi fisik yaitu sistem tubuh utama, kesehatan fisik, hereditas dan konstitusi fisik.

 Hereditas dan konstitusi fisik

Dalam hal tertentu, kecenderungan kearah maladjusment diturunkan secara genetis khusus nya melalui media temperamen. Temperamen merupakan komponen utama karena dari temparamen itu


(39)

19

muncul karakteristik yang paling dasar dari kepribadian, khususnya dalam memandang hubungan emosi dengan penyesuaian diri.

 Sistem utama tubuh

Sistem tubuh yang berkembang dengan normal membuat psikologis berfungsi secara maksimal sehingga berpengaruh terhadap penyesuaian diri.

 Kesehatan fisik

Kondisi fisik yang sehat dapat menimbulkan penyesuaian diri, percaya diri dan harga diri yang baik menjadi kondisi menguntungkan bagi proses penyesuaian diri.

b. Kepribadian

 Kemauan dan kemampuan untuk berubah

Sebagai suatu proses yang dinamis dan berkelanjutan, penyesuaian diri membutuhkan kecenderungan untuk berubah dalam bentuk kemauan, prilaku, sikap, dan karakteristik sejenis lainnya.

 Pengaturan diri

Pengaturan diri dapat mencegah individu dari keadaan maladaptif dan penyimpangan pribadi.

 Intelegensia

Intelegensia penting bagi perkembangan gagasan, prinsip dan tujuan yang mempunyai peran penting dalam penyesuaian diri.


(40)

20  Belajar

Umumnya sifat kepribadian yang diperlukan bagi penyesuaian diri diperoleh dan diserap melalui proses belajar.

 Pengalaman

peristiwa-peristiwa yang dialami dirasakan sebagai suatu yang mengasyikkan atau menyedihkan menjadi dasar untuk ditansfer oleh individu ketika harus menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru.  Latihan

Penyesuaian diri sebagai suatu proses yang kompleks yang mencakup proses psikologis dan sosiologis maka diperlukan latihan yang sungguh-sungguh agar mencapai hasil penyesuaian diri yang baik.

 Determinasi diri

Individu harus dapat menentukan dirinya sendiri untuk melakukan proses penyesuaian diri.

d. Lingkungan

Lingkungan yang berpengaruh meliputi lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.

 Keluarga

Lingkungan keluarga merupakan lingkungan utama bagi anak. Interaksi orang tua dengan anak, interaksi antar anggota keluarga, peran sosial dalam keluarga dan gangguan dalam keluarga merupakan unsur-unsur yang berpengaruh terhadap penyesuaian diri individu.


(41)

21

Sekolah menjadi media yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan siswa. Lingkungan sekolah bisa menghambat atau meningkatkan penyesuaian diri individu.

 Masyarakat

Nilai-nilai, sikap, norma, moral dan perilaku masyarakat akan diidentifikasi individu sehingga akan berpengaruh terhadap proses perkembangan individu.

e. Agama dan Budaya

Agama seringkali berkaitan erat dengan budaya. Agama secara konsisten mengigatkan manusia tentang nilai-nilai intrinsik dan kemuliaan manusia yang diciptakan Tuhan. Sehingga faktor agama sangat berarti terhadap perkembangan penyesuaian diri individu.

D.Keluarga

1. Pengertian Keluarga

Pengertian keluarga akan berbeda tergantung orientasi yang digunakan untuk mendefinisikannya. Friedman (1998 dalam Suprajitno,2004) mendefinisikan bahwa keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional dan individu mempunyai peran masing-masing yang merupakan bagian dari keluarga. Sedangkan menurut Suprrajitno (2004), keluarga adalah ikatan perkawinan dan hubungan darah yang tinggal bersama dengan peran masing-masing serta keterikatan emosional.


(42)

22

Hampir seluruh masyarakat mempunyai pandangan yang sangat tinggi terhadap status pernikahan. Tetapi dalam pandangan masyarakat saat ini, definisi tentang keluarga menjadi lebih luas yaitu sekelompok orang yang hidup bersama atau berhubungan erat, saling memberikan perhatian dan memberikan bimbingan untuk anggota keluarga mereka (Wong,2008). Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi adat ketimuran yang menekankan keluarga harus dibentuk atas dasar perkawinan seperti yang tertulis dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 tahun 1994 bahwa keluarga dibentuk atas perkawinan yang sah (Suprajitno,2004).

2. Ciri-Ciri Keluarga

Ciri-ciri keluarga di setiap negara berbeda-beda tergantung kebudayaan, falsafah hidup dan ideologi negaranya. Keluarga di indonesia mempunyai ikatan keluarga yang sangat erat, merupakan satu kesatuan utuh yang dijiwai nilai budaya ketimuran, umumnya dipimpin suami dan terdapat sedikit perbedaan antara keluarga yang tinggal di pedesaan dengan di perkotaan (Ali,2010). Menurut Ali (2010), ciri-ciri keluarga yaitu:

a. Unit terkecil dari masyarakat

b. Terdiri dari dua orang atau lebih dalam satu atap yang mempunyai hubungan intim, pertalian darah/perkawinan.

c. Terorganisasi di bawah asuhan kepala rumah tangga yang saling berhubungan satu dengan lainnya, saling bergantung antar anggota keluarga


(43)

23

d. Setiap anggota keluarga mempunyai peran dan fungsi masing-masing yang dikoordinasikan oleh kepala keluarga

e. Mempunyai keunikan masing-masing serta nilai dan norma yang didasari sistem kebudayaan

f. Mempunyai hak otonomi dalam mengatur keluarganya, misalnya dalam hal kesehatan keluarga.

3. Tipe Keluarga

Menurut Suprajitno (2004) secara tradisional, keluarga dikelompokkan menjadi dua yaitu nuclear family dan extended family. Namun dengan berkembangnya peran individu dan meningkatnya rasa individualisme, tipe keluarga berkembang menjadi:

a. Keluarga inti (nuclear family) adalah keluarga yang hanya terdiri ayah, ibu dan anak yang diperoleh dari keturunannya atau adopsi atau keduanya. b. Keluarga besar (extended family) adalah keluarga inti ditambah anggota

keluarga lain yang masih mempunyai hubungan darah (kakek-nenek, paman-bibi).

c. Keluarga bentukan kembali (dyadic family) adalah keluarga baru yang terbentuk dari pasangan yang telah cerai atau kehilangan pasangannya. d. Orang tua tunggal (single parent family) adalah keluarga yang terdiri dari

salah satu orang tua dengan anak-anak akibat perceraian atau ditinggal pasangannya.


(44)

24

f. Orang dewasa (laki-laki atau perempuan) yang tinggal sendiri tanpa pernah menikah (the single adult living alone).

g. Keluarga dengan anak tanpa pernikahan sebelumnya (the nonmarital heteroseksual cohabitating family). Biasanya dijumpai pada daerah kumuh perkotaan (besar), tetapi pada akhirnya mereka dinikahkan oleh pemerintah daerah meskipun usia pasangan tersebut telah tua demi status anak-anaknya.

h. Keluarga yang dibentuk oleh pasangan yang berjenis kelamin sama (gay and lesbian family).

Efendy dan Makhfudli (2009), membagi tipe keluarga menurut konteks keilmuan dan pengelompokan orang menjadi:

a. Traditional nuclear. Keluarga inti (ayah, ibu, anak) tinggal dalam satu rumah ditetapkan oleh saksi-saksi legal dalam suatu ikatan perkawinan, satu atau keduanya dapat bekerja di luar rumah.

b. Reconstitude nuclear. Pembentukan baru dari keluarga inti melalui perkawinan kembali suami atau istri, tinggal dalam pembentukan suatu rumah dengan anak-anaknya, baik anak dari perkawinan lama maupun hasil dari perkawinan baru.

c. Middle age atau aging couple. Suami sebagai pencari uang, istri di rumah atau keduanya bekerja diluar rumah, anak-anak sudah meninggalkan rumah karena sekolah, perkawinan atau meniti karier.

d. Dyadic nuclear. Pasangan suami istri yang sudah berumur dan tidak mempunyai anak.


(45)

25

e. Single parent. Keluarga dengan satu orang tua sebagai akibat perceraian atau kematian pasangan. Anak-anak dapat tinggal di dalam atau luar rumah.

f. Dual career. Suami istri atau keduanya orang karier dan tanpa anak. g. Commuter married. Pasangan suami istri atau keduanya sama-sama

bekerja dan tinggal terpisah pada jarak tertentu. Keduanya saling mencari pada waktu-waktu tertentu.

h. Single adult. Wanita atau pria dewasa yang tinggal sendiri denagn tidak adanya keinginan untuk menikah.

i. Three generation. Tiga generasi atau lebih yang tinggal dalam satu rumah. j. Institusional. Anak-anak atau orang dewasa tinggal dalam satu panti. k. Communal. Satu rumah terdiri atas dua atau lebih pasangan yang

monogami dengan anak-anaknya dan bersama-sama berbagi fasilitas l. Group marriage. Satu rumah terdiri atas orang tua dan keturunannya di

dalam satu kesatuan keluarga.

m. Unmarried parent and child. Ibu dan anak yang pernikahannya tidak dikehendaki dan kemudian anaknya diadopsi.

n. Cohabitating couple. Dua orang atau satu pasangan yang bersama tanpa menikah.

o. Extended family. Nuclear family dan anggota keluarga yang lain tinggal dalam satu rumah dan berorientasi pada satu kepala keluarga.


(46)

26 4. Dukungan Keluarga

Dukungan sosial sangat diperlukan oleh setiap individu di dalam setiap siklus hidupnya. Dukungan akan semakin dibutuhkan pada saat seseorang sedang menghadapi masalah atau sakit, di sinilah dukungan keluarga diperlukan untuk menjalani masa-masa sulit dengan cepat. Adapun bentuk dukungan keluarga memiliki beberapa bentuk dukungan (Efendy dan Makhfudli, 2009).

Menurut Caplan (1976, dalam Friedman,dkk,2010), keluarga memiliki beberapa bentuk dukungan diantaranya:

a. Dukungan informasional

Keluarga berfungsi sebagai kolektor dan diseminator atau penyebar informasi tentang dunia.

b. Dukungan penilaian

Keluarga bertindak membimbing dan menengahi pemecahan masalah dan sebagai sumber dan validator identitas anggota.

c. Dukungan instrumental

Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit.

d. Dukungan emosional

Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan emosi.

Menurut Azizah (2013), dukungan keluarga terhadap anak yang belajar di pesantren dapat berupa:


(47)

27 a. Dukungan emosional

Dukungan dari keluarga berupa perhatian, semisal anak merasa tidak betah atau belum merasa nyaman berada di pondok pesantren, ada masalah pribadi maupun masalah lainnya. Maka sebagai orang tua bisa diawal masuk sering mengunjungi anak di pondok pesantren dan setelah anak merasa sudah jauh lebih baik maka interval mengunjungi bisa dikurangi. Sehingga anak tidak terlalu tergantung pada orang tua.

b. Dukungan penghargaan

Dukungan ini berupa rasa menghargai pilihan anak, memberikan hadiah atau pujian dan lain-lain sebagai motivasi bagi anak dan menghargai sekecil apapun prestasi anak sehingga anak merasa lebih optimis dan percaya diri selama belajar di pondok pesantren, misalnya

anak mampu menghafal juz „Amma dan lain sebagainya. c. Dukungan instrumental

Dukungan ini berupa menyiapkan dan memberikan dana, uang saku dan lain-lain yang cukup. Sehingga anak tidak merasa kekurangan. d. Dukungan fasilitas

Dukungan berupa memberikan segala keperluan anak di pondok pesantren berupa alat-alat tulis, membelikan buku atau kitab yang digunakan, serta keperluan sehari-hari (alat mandi, pakaian, dan lain-lain). e. Dukungan informatif

Dukungan ini berupa saran, nasehat, sampai memberikan umpan balik dari saat mulai masuk mendaftar sampai selesainya kegiatan belajar di pondok pesantren.


(48)

28 5. Kunjungan Keluarga

Kewajiban untuk tinggal di lingkungan pondok pesantren menuntut santri untuk menyesuaikan diri terhadap segala aktivitas, budaya, dan kebiasaan yang ada di pondok pesantren yang biasanya akan berbeda dengan kebiasaan yang ada di rumah. Salah satu peran keluarga terhadap keberhasilan anak adalah dengan memberikan dukungan(Azizah, 2013). Dukungan keluarga dalam bentuk kunjungan keluarga mampu meningkatkan rasa kehangatan hubungan keluarga dan menyediakan dukungan psikologis. Kunjungan keluarga memberikan dukungan emosional dan dukungan praktis yang berarti bagi anak (Mooney&Reinarz,2009).

Tujuan utama kunjungan adalah untuk memelihara hubungan antara anak dan keluarga. Keluarga yang sering mengunjungi anaknya bisa meningkatkan kesejahteraan dan meningkatkan penyesuaian diri anak daripada anak yang jarang atau tidak pernah dikunjungi (Hess, 2003). Penelitian Leathers (2002) yang meneliti frekuensi kunjungan keluarga pada anak selama 6 bulan menyimpulkan bahwa semakin sering kunjungan maka akan memberi dampak positif pula bagi anak dan meningkatkan keeratan hubungaan keluarga. Keluarga sebaiknya mengunjungi anak pada minggu ke 4-6 atau pada awal semester agar anak tidak merasa seperti anak yatim yang hanya ditinggalkan. Jika memungkinkan, setidaknya ada salah satu orang tua, ayah atau ibu mengunjungi anaknya diakhir pekan. Jika orang tua tidak bisa mengunjungi anak, setidaknya ada anggota keluarga lain atau seseorang yang dipercaya untuk melihat keadaaan anak mereka. Selalu mengetahui kabar anak sangatlah penting agar tetap terjalin hubungan keluarga (Eakin,2011). Menurut


(49)

29

Eakin (2011), berikut tips keluarga agar tetap terjalin hubungan dengan anak yaitu:

a. Keluarga secara berkala mengetahui kabar anak via telepon atau sms. Mengecek setidaknya walau hanya sedikit respon, hal tersebut penting karena mengingatkan anak bahwa keluarga memikirkannya.

b. Keluarga memberikan bingkisan atau hadiah ulang tahun saat pekan kunjungan keluarga.

c. Lebih baik lagi, keluarga besar datang untuk mengunjungi anak atau membawa anak keluar untuk makan malam bersama.

E.Kecerdasan Emosional

1. Pengertian Kecerdasan Emosional

Kecerdasan atau intelegensia dapat dipandang sebagai kemampuan memahami dunia, berpikir secara rasional, dan menggunakan sumber-sumber secara efektif pada saat menghadapi tantangan. Revolusi teori dan konsep tentang kecerdasan telah mengalami banyak perkembangan sehingga dihasilkan berbagai jenis kecerdasan (Ali,2009). Zohar & Marshall (2000, dalam Bahaudin 2007) menjelaskan bahwa berbagai jenis kecerdasan yang dikemukakan sebelumnya, sebenarnya merupakan variasi tiga kecerdasan yaitu intelligence quotient (IQ), emotional quotient (EQ), dan spiritual quotient (SQ).

Kecerdasan intelektual atau intelligence quotient (IQ) terletak pada pemikiran rasional dan logis yang dalam perkembangannya sering dipadankan dengan kecerdasan komputer (Ali,2009). Sedangkan spiritual quotient (SQ)


(50)

30

atau kecerdasan spiritual adalah kecerdasan dalam menyelesaikan masalah. Kecerdasan spiritual merupakan suatu kecerdasan yang dapat mengantar individu mencapai kebahagiaan dalam hidup dan memberikan makna positif terhadap lingkungan sekitar (Bahaudin, 2007).

Kecerdasan emosional atau emotional quotient (EQ) adalah kesanggupan untuk mengendalikan dorongan emosi, untuk membaca perasaan orang lain dan untuk memelihara hubungan sebaik-baiknya (Goleman,2004). Kecerdasan emosional mampu membuat seseorang menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapinya agar bisa diterima. Kecerdasan emosional membuat individu mampu menyesuaikan diri untuk tetap sesuai aturan atau norma yang berlaku (Bahaudin, 2007).

Kecerdasan emosional merupakan faktor penting untuk menuju kesuksesan dalam hidup. Para ahli psikologi menyimpulkan bahwa selain kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional merupakan faktor utama untuk mendongkrak kesuksesan seseorang. Kecerdasan intelektual bukan lagi segalanya, karena IQ hanya menentukan 20% perjalanan hidup, sisanya 80% bersifat emosional yang dikendalikan oleh kecerdasan emosional (Tridhonanto&Agency,2009).

2. Aspek Kecerdasan Emosional

Goleman (2004) membagi kecerdasan emosional menjadi lima aspek yaitu:


(51)

31

Mengenali emosi sendiri, mengetahui kekuatan dan keterbatasan diri serta keyakinan akan kemampuan diri. Mengenali emosi atau perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosional. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat individu berada dalam kekuasaan perasaan.

b. Pengaturan diri

Menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan pas adalah kecakapan yang tergantung pada kesadaran diri. Kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan, atau ketersinggungan. Orang yang buruk dalam kemampuan ini akan terus menerus melawan perasaan murung sementara mereka yang pintar dapat bangkit kembali dengan cepat.

c. Motivasi

Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan merupakan hal penting untuk memotivasi diri , menguasai diri sendiri dan untuk berkreasi. Menahan diri dan mengendalikan dorongan hati dan mampu menyesuaikan diri dengan keadaan mewujudkan kinerja yang tinggi dalam segala bidang. Motivasi menjadi dorongan untuk menjadi lebih baik, menyesuaikan diri dengan kelompok, siap untuk memanfaatkan kesempatan dan gigih memperjuangkan kegagalan.

d. Empati

Empati yaitu kesadaran akan perasaan, kepentingan, dan keprihatianan orang lain. Empati merupakan kemampuan yang bergantung pada kesadaran diri emosional yang merupakan suatu keterampilan dalam


(52)

32

bergaul. Orang yang empatik lebih mampu memahami isyarat tentang kebutuhan atau kehendak orang lain.

e. Membina hubungan

Seni membina hubungan merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain yaitu mahir dalam menanggapi sesuai yang dikehendaki orang lain. Orang yang hebat dalam keterampilan ini akan sukses dalam bidang apapun yang mengandalkan pergaulan yang mulus dengan orang lain.

3. Manfaat Kecerdasan Emosional

Orang yang cakap secara emosional adalah mereka yang dapat mengetahui dan menangani perasaan mereka sendiri dengan baik, mampu membaca dan menghadapi perasaan orang lain dengan efektif, mereka memiliki keuntungan dalam setiap bidang kehidupan, baik dalam hubungan persahabatan atau dalam organisasi. Untuk sukses diperlukan keterampilan intelektual, tetapi orang memerlukan kecakapan emosi untuk memanfaatkan potensi bakat mereka secara maksimal. Jadi kecerdasan emosional dapat membantu seseorang dalam menggunakan kemampuan kognitifnya sesuai dengan potensi yang dimilikinya secara maksimum. (Goleman,2004).

Menurut Stein (2009), individu bisa meningkatkan potensi diri dengan meningkatkan kecerdasan emosional melalui latihan. Ciri-ciri individu yang memiliki kecerdasan emosional yang baik yaitu:

a. Mampu menghadapi keadaan yang sulit b. Mampu mengekspresikan perasaan sendiri c. Memperoleh penghargaan oleh orang lain


(53)

33 d. Mampu mempengaruhi orang lain

e. Mampu menarik simpati orang lain untuk membantunya f. Tetap tenang walau berada dalam tekanan

g. Mengenali reaksi emosional yang harus digunakan dalam menghadapi orang lain atau situasi tertentu

h. Mengetahui bagaimana mengatakan suatu kebenaran untuk mendapatkan hasil yang benar

i. Mampu berunding atau bernegosiasi secara efektif j. Mampu mengatur orang lain berunding secara efektif

Stein (2009) menjelaskan bahwa kecerdasan emosional yang baik tentunya akan memberikan keuntungan pada individu contohnya keuntungan dalam bekerja seperti:

a. Mampu mengelola stres saat bekerja b. Meningkatkan hubungan dengan orang lain c. Mampu berurusan secara efektif dengan atasan d. Menjadi lebih produktif

e. Menjadi pemimpin atau leader yang lebih baik

f. Mampu mengelola pekerjaan yang lebih diproritaskan g. Mampu bekerja dengan lebih baik

4. Pengukuran Kecerdasan Emosional

Menurut Stein (2009), para psikolog menggunakan beberapa tes untuk mengukur kecerdasan emosional. Stein membagi tes tersebut dalam tiga kategori yaitu:


(54)

34

a. Laporan tes diri yaitu dengan membandingkan jawaban individu ke ribuan database orang lain. Area pertanyaan mencakup bagaimana individu melihat diri saat berurusan dengan situasi sulit, bagaimana individu cenderung berinteraksi dengan orang lain. Dan bagaimana individu menggambarkan suasana hati saat itu. Tes ini yang paling umum digunakan adalah EQ-I Self Report.

b. Penilaian 360 derajat yaitu penilaian yang mencakup persepsi orang lain. Orang yang mengenal individu dari perspektif berbeda seperti atasan, pasangan, dan bawahan. Laporan ini mencakup semua laporan tentang bagaimana mereka menilai individu berperilaku sama dengan penilaian individu terhadap dirinya sendiri. Para ahli psikologi umumnya menggunakan penilaian tes 360 derajat yaitu EQ-360.

c. Penilaian kerja yaitu penilaian terstruktur dan mengukur kecerdasan emosi sebagai kemampuan. Individu yang menggunakan tes ini akan diminta untuk menilai emosi orang lain dalam gambar, memilih jawaban terhadap situasi kehidupan yang sulit atau menunjukkan pemahaman prinsip-prinsip dasar tentang emosi. Para ahli menggunakan uji membandingan skor subjek pada item ini ke ribuan orang lain yang telah menyelesaikan tes tersebut. Hasil penilaian tes MSCEIT adalah yang paling umum digunakan.

Pengukuran kecerdasan emosional di Indonesia telah dilakukan adaptasi. Pendekatan pengukuran yang dilakukan oleh Sumikan (2011), menggunakan model Goleman yang mencakup pada lima aspek kecerdasan emosional yaitu kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati dan


(55)

35

kecakapan membina hubungan dengan orang lain. Pengukuran menggunakan kuesioner yang berisi 36 butir pertanyaan dengan menggunakan skala likert. Hasil uji reliabilitas yang dilakukan oleh Sumikan menunjukkan

masing-masing dimensi pertanyaan memiliki nilai alpha >0,50 dan Cronbach‟s Alpha

0,923 dari total 36 dimensi pertanyaan. Ini membuktikan reliabilitas dimensi secara keseluruhan hasilnya bagus.

F. Kerangka Teori A. B. C. D. E. F. G. H. I. J. K. L. M.

Bagan 2.1 Modifikasi teori personal adjustment Schneiders (1984, dalam Ali dan Asrori, 2011), Zohar & Marshall (2000, dalam Bahaudin 2007).

Faktor-faktor penyesuaian diri menurut Schneiders (1984)

a. Kondisi fisik

 Hereditas dan konstitusi fisik  Sistem utama tubuh

 Kesehatan fisik b. Kepribadian

 Kemauan dan kemampuan untuk berubah

 Pengaturan diri  Intelegensia c. Edukasi dan pendidikan

 Belajar  Pengalaman  Latihan

 Determinasi diri d. Lingkungan

 Keluarga 

 Sekolah  Masyarakat e. Agama dan Budaya  Intelegensia  Keluarga IQ EQ SQ Kunjungan Keluarga p enye sua ian di ri


(56)

36 BAB III

KERANGKA KONSEP, HIPOTESA DAN DEFINISI OPERASIONAL

A.Kerangka Konsep

Pada teori yang sudah dikemukakan pada tinjauan pustaka, maka variabel dan kerangka konsep dalam penelitian ini ada variabel independen dan variabel dependen. Variabel independen pada penelitian ini adalah frekuensi kunjungan keluarga dan kecerdasan emosional. Sedangkan variabel dependennya adalah penyesuaian diri santri

Bagan 3.1 Kerangka Konsep

B.Hipotesa Penelitian

Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan kerangka konsep maka dirumuskan hipotesa penelitian sebagai berikut:

1. Ada hubungan antara frekuensi kunjungan keluarga dengan penyesuaian diri santri di Pondok Pesantren Darul Muttaqien.

Frekuensi kunjungan keluarga

Penyesuaian diri

Kecerdasan emosional Santri baru


(57)

37

2. Ada hubungan antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian diri santri di Pondok Pesantren Darul Muttaqien.

C.Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional VARIABEL DEFINISI

OPERASIONAL

CARA UKUR

ALAT UKUR HASIL UKUR SKALA PENGU KURAN Frekuensi kunjungan keluarga Jumlah kunjungan keluarga terhadap santri selama 6 bulan terakhir Wawancar a dengan mengguna kan kuesioner Kuesioner A

Skala likert 1-5

1: Tidak pernah berkunjung jika 0 kali dalam 6 bulan

2: Jarang berkunjung jika 1-3 kali dalam 6 bulan

3: Kadang-kadang berkunjung jika sebulan sekali 4: Sering berkunjung jika setiap 2 minggu sekali

5: Selalu berkunjung jika 1-2 kali dalam seminggu Ordinal Kecerdasa n emosional kemampuan untuk mengendalikan dorongan emosi, untuk membaca perasaan orang lain dan untuk memelihara hubungan sebaik-baiknya. Wawancar a dengan mengguna kan kuesioner Kuesioner B

Skala likert 1-4

1: Kecerdasan

emosional rendah jika skor <88

2: Kecerdasan emosional tinggi jika skor ≥88

Ordinal Penyesuai an diri cara individu bereaksi terhadap tuntutan-tuntutan dari dalam atau situasi-situasi luar. Wawancar a dengan mengguna kan kuesioner Kuesioner C

Skala likert 1-4

1: Penyesuaian diri rendah jika skor <80 2: Penyesuaian diri tinggi jika skor ≥80


(58)

38 BAB IV

METODE PENELITIAN

A.Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain penelitian cross sectional. Pada penelitian ini, variabel independen maupun dependen diamati dalam waktu bersamaan atau dalam satu kali waktu (Setiadi, 2007). Rancangan penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara frekuensi kunjungan keluarga dan kecerdasan emosional dengan penyesuaian diri pada santri baru.

B.Lokasi dan Waktu Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan pada santri kelas VII Madrasah Tsanawiyah di Pondok Pesantren Darul Muttaqien pada bulan Mei 2014.

C.Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian atau sebuah kumpulan dari semua elemen-elemen (Arikunto, 2010). Populasi pada penelitian ini adalah santri kelas VII Madrasah Tsanawiyah yang masuk pada tahun ajaran 2013/2014 dan bermukim di Pondok Pesantren Darul Muttaqien. Jumlah populasi pada penelitian ini berjumlah 346 santri.


(59)

39 2. Sampel

Sampel adalah elemen-elemen populasi yang dipilih berdasarkan kemampuan mewakilinya (Setiadi,2007). Sampel dari penelitian ini diambil dari populasi santri kelas VII Madrasah Tsanawiyah dan bermukim di Pondok Pesantren Darul Muttaqien. Adapun kriteria sampel dalam penelitian ini yaitu:

a. Kriteria inklusi

 Santri kelas VII Madrasah Tsanawiyah

 Santri yang bermukim di Pondok Pesantren Darul Muttaqien  Bersedia menjadi responden

b. Kriteria eksklusi

 Santri yang sudah pernah bermukim di pondok pesantren lain ketika masih di Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah.

Menurut Arikunto (2010), jika populasi <100 maka diambil semua sebagai sampel. Tapi jika populasi >100, maka digunakan 15-25% atau lebih dari populasi sebagai sampel. Pada penelitian ini, digunakan 25% dari populasi sebagai sampel penelitian. Dari jumlah populasi sebanyak 346 santri, maka didapatkan 25% dari 346 adalah 87 responden.

D.Teknik Pengambilan Sampel

Teknik sampling terbagi dua secara umum yaitu probability sampling yang memberikan kesempatan sama pada anggota populasi untuk dipilih dan non probability sampling yang tidak memberikan kesempatan yang sama bagi anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel (Setiadi,2007). Pada penelitian ini, teknik


(60)

40

yang digunakan yakni teknik probability sampling dengan metode random sampling. Jumlah sampel yang diambil berjumlah 87 respoden.

Populasi VII MTs berjumlah 12 kelas, sehingga diambil sampel 25% dari tiap kelas. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan pengambilan sampel secara acak melalui pemilihan undian pada nomor absensi santri di tiap kelas. Maka jumlah sampel dari tiap kelas sebagai berikut:

Tabel 4.1 Jumlah Sampel Tiap Kelas

KELAS A B C D E F G H I J K L TOTAL

Jumlah populasi

26 29 29 27 29 30 29 30 29 29 29 30 346 Jumlah

sampel

7 7 7 7 7 8 7 8 7 7 7 8 87

E.Instrumen Penelitian

Peneliti menggunakan 3 instrumen pada penelitian ini yaitu:

1. Instrumen yang digunakan untuk menilai frekuensi kunjungan keluarga pada penelitian ini adalah menggunakan 1 pertanyaan yang menanyakan frekuensi kunjungan keluarga selama 6 bulan terakhir responden bermukim di pondok pesantren. Pertanyaan ini merupakan modifikasi dari frekuensi kunjungan keluarga yang digunakan oleh Ataca (2009). Tiap butir pertanyaan pilihan 5 jawaban yang menggunakan skala likert (tidak pernah-selalu). Frekuensi kunjungan keluarga dibagi lima yaitu:

0 kali : tidak pernah berkunjung

1-3 dalam 6 bulan : jarang berkunjung


(61)

41

tiap 2 minggu sekali : sering berkunjung 1-2 kali dalam seminggu : selalu berkunjung

2. Instrumen yang digunakan untuk mengukur kecerdasan emosional adalah modifikasi dari kuesioner yang dibuat oleh Sumikan (2011) berdasarkan 5 aspek kecerdasan emosional Goleman. Kuesioner kecerdasan emosional berisi 29 butir pertanyaan. Tiap butir pertanyaan pilihan 4 jawaban yang menggunakan skala likert. Tiap butir pertanyaan harus dijawab oleh respoden dengan memilih salah satu pilihan jawaban, dimana skoring atau nilai jawaban sebagai berikut.

Tabel 4.2 Skala Kecerdasan Emosional Alternatif jawaban Skor pernyataan

positif

Skor pernyataan negatif Sangat Tidak

Sesuai

1 4

Tidak Sesuai 2 3

Sesuai 3 2

Sangat Sesuai 4 1

Sumber: Hidayat, 2008

Uji normalitas data kecerdasan emosional dengan uji Kolmogorov-Sminorv menghasilkan nilai p 0,613 berarti > 0,05. Membuktikan data tersebut memiliki distribusi normal sehingga pengkategorian kecerdasan emosional menggunakan mean dimana nilai mean yaitu 88. Responden yang dikategorikan memiliki kecerdasan emosional rendah adalah yang mempunyai skor <88. Sedangkan responden yang dikategorikan memiliki

kecerdasan emosional tinggi adalah yang mempunyai skor ≥88.

3. Instrumen yang digunakan untuk mengukur penyesuaian diri adalah modifikasi dari kuesioner yang dibuat oleh Rosidina (2011) berdasarkan


(62)

42

karakteristik penyesuaian diri remaja Schneiders. Kuesioner kecerdasan emosional berisi 26 butir pertanyaan. Tiap butir pertanyaan pilihan 4 jawaban yang menggunakan skala likert. Tiap butir pertanyaan harus dijawab oleh respoden dengan memilih salah satu pilihan jawaban, dimana skoring atau nilai jawaban sebagai berikut:

Tabel 4.3 Skala Penyesuaian Diri Alternatif jawaban Skor pernyataan

positif

Skor pernyataan negatif Sangat Tidak

Setuju

1 4

Tidak Setuju 2 3

Setuju 3 2

Sangat Setuju 4 1

Sumber: Hidayat, 2008

Uji normalitas data penyesuaian diri dengan uji Kolmogorov-Sminorv menghasilkan nilai p 0,957 berarti > 0,05. Membuktikan data tersebut memiliki distribusi normal sehingga pengkategorian penyesuaian diri menggunakan mean dimana nilai mean yaitu 80. Responden yang dikategorikan memiliki penyesuaian diri rendah adalah yang mempunyai skor <80. Sedangkan responden yang dikategorikan memiliki penyesuaian diri

tinggi adalah yang mempunyai skor ≥80.

F. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen

Validitas berasal dari kata validity yang berarti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu tes atau instrumen pengukuran dikatakan memiliki validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran (Djaali dan Pudji, 2008). Uji validitas


(63)

43

menggunakan SPSS dengan teknik Corrected Item-Total Correlation. Suatu instrumen dikatakan valid jika memiliki nilai positif dan r hitung > r-tabel maka item tersebut dianggap valid (Pratisto,2005). Selain itu, kriteria lain yaitu jika memiliki nilai melebihi 0,3 maka item tersebut dianggap valid (Gumilar,2007).

Reliabilitas merupakan ukuran suatu kestabilan dan konsistensi responden dalam menjawab hal yang berkaitan dengan konstruk-konstruk pertanyaan yang merupakan dimensi variabel dalam kuesioner (Djaali dan Pudji, 2008). Instrumen yang digunakan pada penelitian ini merupakan kuesioner yang dibuat oleh peneliti sebelumnya. Kuesioner penyesuaian diri memiliki nilai reliabilitas alpha Cronbach 0,820. Sedangkan kuesioner kecerdasan emosional memiliki nilai reliabilitas alpha Cronbach 0,923. Nilai alpha Cronbach tersebut membuktikan bahwa kuesioner yang digunakan sangat reliabel.

G.Hasil Uji Instrumen

Uji instrumen dilakukan di Pondok Pesantren Darussalam Sengkubang, Pontianak pada 15 santri pada bulan Maret. Hasil validitas dan reliabilitas didapatkan sebagai berikut:

Tabel 4.4 Hasil Uji Instrumen

Instrumen Valid Tidak valid nilai

alpha Cronbach Nomor butir Jumlah Nomor butir Jumlah

Kecerdasan Emosional

1, 3, 5, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 19, 21, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33,

34, 35, 36

29 2, 4, 8, 18, 20, 22, 23

7 0, 880

Penyesuaian Diri 1, 3, 4, 5, 7, 10, 11, 12, 14, 15,

26 2, 6, 8, 9, 13,18, 22,


(64)

44 16, 17, 19, 20, 21, 23, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 33, 34, 35

24, 32

Instrumen pada penelitian ini diambil dari instrumen penelitian terdahulu dan dilakukan kembali uji validitas dan reliabilitas pada instrumen oleh peneliti. Didapatkan hasil validitas dan reliabilitas pada kedua instrumen yaitu kuesioner kecerdasan emosional terdapat 29 item valid dengan nilai reliabilitas alpha Cronbach 0,880 yang dianggap sangat reliabel. Sedangkan pada kuesioner penyesuaian diri, didapatkan 26 item valid dengan nilai reliabilitas alpha Cronbach 0,851 yang dianggap sangat reliabel. Peneliti memodifikasi instrumen sebelumnya dengan hanya mengambil item yang valid saja yang digunakan pada penelitian ini. Sedangkan item yang tidak valid dieliminasi atau tidak digunakan dalam instrumen penelitian ini. Item yang valid atau yang akan digunakan pada penelitian ini sudah mewakili indikator variabel yang ingin diteliti.

H.Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti di Pondok Pesantren Darul Muttaqien. Pengumpulan data dilakukan dengan cara pengisian kuesioner oleh santri kelas VII Madrasah Tsanawiyah. Adapun prosedur pengumpulan data berikut ini:

1. Peneliti meminta izin pada Bagian Kesekretariatan Pesantren dan Kepala Madrasah Tsanawiyah.

2. Meminta bantuan Wakil Kepala Madrasah untuk mengumpulkan responden yang sudah dipilih secara acak melalui nomor absen.


(65)

45

3. Pengumpulan data dibantu 3 orang asisten peneliti, sebelumnya asisten diberikan penjelasan terlebih dahulu tentang tatacara dan petunjuk pengisian kuesioner sebelum penyebaran kuesioner.

4. Responden laki-laki dan perempuan yang sudah dipilih berkumpul di aula terpisah dan kuesioner disebar.

5. Memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan serta memberikan penjelasan tentang petunjuk pengisian kuesioner. Kuesioner berisi 56 item yang harus dijawab responden.

6. Pengisian kuesioner dilakukan selama ±15 menit. Selama pengisian kuesioner, responden akan didampingi sehingga jika ada pertanyaan yang tidak jelas bisa langsung dijelaskan kembali.

7. Setelah pengumpulan, kuesioner akan diperiksa dulu agar tidak ada jawaban yang ketinggalan dan sesuai dengan petunjuk pengisian.

I. Pengolahan Data

Pengolahan dan analisis data bertujuan mengubah data menjadi informasi. Informasi digunakan untuk proses pengambilan keputusan terutama dalam pengujian hipotesis. Wasis (2008), membagi kegiatan pengolahan data menjadi tiga. Pertama, data perlu diedit untuk memudahkan pengolahan data. Hal yang perlu diperhatikan yakni apakah pertanyaan telah terjawab dengan lengkap.

Kedua, koding merupakan usaha memberi kode-kode tertentu pada jawaban responden. Apabila menggunakan analisis kuantitatif, maka diberikan kode berupa angka. Jika angka itu sebagai skala pengukuran, angka itu disebut skor. Ketiga, tabulasi merupakan usaha menyajikan data. Biasanya pengolahan data


(66)

46

seperti ini disajikan dalam bentuk tabel, baik tabel distribusi frekuensi maupun tabel silang.

J. Analisa Data

1. Analisa Univariat

Analisa satu variabel penelitian dalam waktu tertentu. Data mentah ditampilkan dalam bentuk informasi yang lebih ringkas baik data variabel dependen maupun independen. Maka akan didapatkan informasi tentang gambaran tingkat penyesuaian diri dan tingkat kecerdasan emosional serta frekuensi kunjungan keluarga pada santri baru.

2. Analisa Bivariat

Analisa hubungan dua variabel antara variabel independen dengan variabel dependen. Penelitian ini menganalisa hubungan jumlah frekuensi kunjungan keluarga selama 6 bulan terakhir dengan penyesuaian diri santri baru. Serta menganalisa hubungan kecerdasan emosional dengan penyesuaian diri santri baru. Penelitian ini menggunakan uji Chi-Square (X2). Derajat

kepercayaan yang digunakan adalah 95% dengan kesalahan yang ditolerir α=5 %. Jika P Value ≤ 0,05 menunjukkan ada hubungan sedangkan jika P Value >


(67)

47 K.Etika Penelitian

Masalah etika pada penelitian menggunakan subjek manusia menjadi isu sentral yang berkembang saat ini. Pada penelitian ilmu keperawatan, karena hampir 90% subjek yang digunakan adalah manusia, maka peneliti harus memahami prinsip-prinsip etika penelitian. Jika hal ini tidak dilaksanakan, maka peneliti akan melanggar hak-hak manusia (Nursalam,2008). Dalam penelitian ini, setidaknya ada beberapa etika penelitian yang harus diperhatikan.

Pertama Informed consent, yaitu responden harus mendapatkan informasi secara lengkap tentang tujuan penelitian yang akan dilaksanakan, mempunyai hak untuk bebas berpartisipasi atau menolak menjadi responden. Pada informed consent juga perlu dicantumkan bahwa data yang diperoleh hanya akan dipergunakan untuk pengembangan ilmu. Informed consent berisi lembar persetujuan apakah responden bersedia atau pun tidak.

Kedua anonimity (tanpa nama), yaitu menjamin kerahasiaan identitas responden dengan tidak mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar alat ukur atau hasil penelitian. Ketiga kerahasiaan (confidentiality), yaitu semua informasi yang dikumpulkan dijamin kerahasiaannya, hanya pada kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset


(68)

48 BAB V

HASIL PENELITIAN

A.Gambaran Umum Pondok Pesantren Darul Muttaqien

Pondok Pesantren Darul Muttaqien merupakan salah satu pesantren yang menjalankan sistem pembelajaran modern. Pondok Pesantren Darul Muttaqien yang terletak di wilayah desa Jabon Mekar Kecamatan Parung Kabupaten Bogor Jawa Barat. Resmi berdiri sebagai lembaga pesantren pada tahun 1988 M, tepatnya tanggal 18 Juli 1988. Sejarah berdirinya Darul Muttaqien terkait erat dengan dengan pemberian tanah wakaf seluas 1,8 ha oleh pemiliknya H. Mohamad Nahar kepada KH. Sholeh Iskandar , ketua BKSPPI (Badan Kerjasama Pondok Pesantren se Indonesia) pada tahun 1987. Dari tahun 1980 H. Mohamad Nahar telah melakukan berbagai konsultasi dengan tokoh-tokoh ulama dan pada akhirnya tahun 1988 berdirilah Pondok Pesantren Darul Muttaqien dengan KH. Mad Rodja Sukarta diberi amanah untuk menjadi pimpinan.

Mulai dari rangkaian sejarah berdirinya, awalnya Darul Muttaqien berafiliasi pada Pondok Pesantren Darunnajah Jakarta. Namun berdasarkan pertimbangan dan kepentingan yang lebih luas, maka didirikanlah Yayasan Darul Muttaqien pada tanggal 29 Januari 1992, dengan H. Mohamad Nahar sebagai ketua. Terkait dengan pengunduran diri H. Mohamad Nahar, maka berdasarkan rapat anggota yayasan H. M. Lutfi Nahar, SE resmi menjadi ketua yayasan yang baru menggantikan ketua lama terhitung sejak tanggal 27 Oktober 2002 sampai sekarang


(1)

84

Uji Normalitas Kolmogorov-Sminorv

NPar Tests

Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

kecerdasan emosional 87 87.97 9.329 60 105

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

kecerdasan emosional

N 87

Normal Parametersa,,b Mean 87.97

Std. Deviation 9.329

Most Extreme Differences Absolute .081

Positive .049

Negative -.081

Kolmogorov-Smirnov Z .758

Asymp. Sig. (2-tailed) .613

a. Test distribution is Normal.

b. Calculated from data.


(2)

85

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

penyesuaian diri 87 79.54 8.676 57 104

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

penyesuaian diri

N 87

Normal Parametersa,,b Mean 79.54

Std. Deviation 8.676

Most Extreme Differences Absolute .055

Positive .041

Negative -.055

Kolmogorov-Smirnov Z .510

Asymp. Sig. (2-tailed) .957

a. Test distribution is Normal.


(3)

86

Hasil analisis data

(n=87)

Crosstabs

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

kategori_penyesuaian diri * kunjungan2

87 100.0% 0 .0% 87 100.0%

kategori_penyesuaian diri * kunjungan2 Crosstabulation

kunjungan2

Total jarang+kadang

2 sering selalu

kategori_penyesuaian diri rendah Count 5 24 12 41

Expected Count 6.6 23.6 10.8 41.0

% within

kategori_penyesuaian diri

12.2% 58.5% 29.3% 100.0%

tinggi Count 9 26 11 46

Expected Count 7.4 26.4 12.2 46.0

% within

kategori_penyesuaian diri


(4)

87

Total Count 14 50 23 87

Expected Count 14.0 50.0 23.0 87.0

% within

kategori_penyesuaian diri

16.1% 57.5% 26.4% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square .982a 2 .612

Likelihood Ratio .995 2 .608

Linear-by-Linear Association .837 1 .360

N of Valid Cases 87

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6,60.

Crosstabs

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total


(5)

88

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

kategori_penyesuaian diri * kategori_kemon

87 100.0% 0 .0% 87 100.0%

kategori_penyesuaian diri * kategori_kemon Crosstabulation

kategori_kemon

Total

rendah tinggi

kategori_penyesuaian diri rendah Count 27 14 41

Expected Count 20.3 20.7 41.0

% within

kategori_penyesuaian diri

65.9% 34.1% 100.0%

tinggi Count 16 30 46

Expected Count 22.7 23.3 46.0

% within

kategori_penyesuaian diri

34.8% 65.2% 100.0%

Total Count 43 44 87

Expected Count 43.0 44.0 87.0

% within

kategori_penyesuaian diri


(6)

89

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 8.372a 1 .004

Continuity Correctionb 7.176 1 .007

Likelihood Ratio 8.512 1 .004

Fisher's Exact Test .005 .004

Linear-by-Linear Association 8.276 1 .004

N of Valid Cases 87

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 20,26.