Ranjau-Ranjau dan Kode Etik Jurnalis Online

Ranjau-Ranjau dan Kode Etik Jurnalis Online
Oleh Priyambodo RH
(disampaikan dalam Lokakarya Kode Etik Jurnalistik untuk Praktisi Media di Lembaga
Pers Dr. Soetomo/LPDS dan Dewan Pers, Jakarta, 6 Mei 2008)

“Wartawan bukanlah Pahlawan. Wartawan lebih tepat sebagai pencatat sejarah, yang
dalam tugasnya seringkali mengabadikan kegiatan dan sosok kepahlawanan.”

Jagat kewartawanan yang senantiasa memperjuangkan hadirnya “makna” bagi
khalayaknya sulit melepaskan jargon menyajikan berita secara cepat, akurat dan lengkap,
sehingga menjadi bernilai penting.
Daya upaya menyajikan berita secara cepat, akurat dan lengkap itu pula yang secara kasat
mata membuat antar-media massa dan jurnalisnya saling bersaing. Bersaing
meningkatkan kinerja Sumber Daya Manusia (SDM) atau brainware dan sarana kerjanya,
baik di sisi pengadaan sekaligus pemanfaatan hasil Teknologi Informasi (TI) terkini. Di
bidang TI, pihak media massa bersaing pula memanfaatkan piranti keras (hardware)
maupun piranti lunak (software) komputer yang berkembang berbasis web Internet (web
based).
Sejalan perkembangan dan penemuan terbaru di bidang TI, maka banyak pengelola
media massa yang agaknya “terjebak” menempatkan pilihan utama untuk berada di posisi
terpenting –dengan menyajikan berita tercepat, terakurat dan terlengkap— dengan

mengutamakan pengadaan hardware –server, komputer pribadi/PC (Personal Computer),
komputer jinjing/laptop, dan jaringan Internet—maupun software –sistem operasi
komputer (OS/Operating System) dan aplikasi pendukungnya— sebagai prioritas utama.
Jurnalis (wartawan/redaktur) dalam hal ini sering kali ditempatkan dalam posisi “orang
yang mengawaki mesin”, sehingga ada kalanya pendidikan berkelanjutan terhadap
mereka terabaikan dibanding dengan pengadaan peralatan atau sarana kerjanya.
Padahal, pengelola media massa pada akhirnya juga harus menyadari bahwa brainware –
terutama wartawan/redaktur—tetaplah menjadi faktor penentu meraih kepentingan
manajemen media massa yang mengutamakan penyajian berita bermakna bagi
khalayaknya.
Sementara itu, tidak sedikit wartawan/redaktur yang juga “terjebak” semakin sering
memanfaatkan hasil temuan TI, terutama dalam memanfaatkan Internet. Apalagi, Internet
kehadirannya semakin menjadi sarana kerja utama bagi wartawan di semua karakter
media massa, yakni media massa cetak (pers), elektronik (radio dan televisi), dan
multimedia massa (portal berita).
Bila ditelisik lebih jauh, maka wartawan untuk setiap karakter media massa memiliki
kesamaan dalam sistem pemberitaannya, yakni selalu menjalani proses bersinambungan

untuk mencari, menulis, menyunting, mempublikasikan hingga mengevaluasi berita
(Gathering – Editing – Supervising – Evaluating/GEDE). Hanya saja, mereka masingmasing memiliki kinerja dengan produk akhir berbeda kemasan sesuai karakter

medianya.
Internet pun semakin menjadi salah satu sarana kerja yang diperlukan oleh wartawan
untuk menyampaikan berita bermakna penting yang tercepat, terakurat dan terlengkap
bagi khalayaknya.

Ranjau-Ranjau Jurnalis Online
Dalam sejumlah literatur maupun diskusi di kalangan jurnalis, maka istilah jurnalis online
atau wartawan ber-Internet (cyber-journalist) lebih sering dikategorikan menjadi tiga
kelompok besar, yakni:
1. Jurnalis yang memanfaatkan Internet sebagai salah satu sarana kerja,
2. Jurnalis yang bertugas di redaksi online (portal berita) dari media massa yang
berbasis cetak dan atau elektronik,
3. Jurnalis yang bekerja di multimedia massa hanya berbasis portal berita.
Istilah cyberspace awalnya diperkenalkan oleh William Gibson dalam buku berjudul
Neuromancer pada 1984 guna menjelaskan dunia maya bermesin tiga dimensi seperti
senyatanya (Virtual Reality/VR), dan pada gilirannya menyentuh hasil temuan TI yang
mampu membentuk jejaring komputer sejagat, yakni Internet.
Internet memiliki banyak kegunaan, namun fasilitas yang sering dimanfaatkan berupa
Electronic Mail (e-mail), Mailing List (mailist atau e-mail groups), World Wide Web
(WWW), File Transfer Protocol (FTP), Internet Relay Chat (IRC), Netsearch atau

Search Engine. Pada awalnya, produsen piranti lunak komputer menyediakan aplikasi
terpisah untuk masing-masing fasilitas tersebut, namun pada gilirannya pengguna Internet
dapat menggunakan semua fasilitas tersebut di dalam satu aplikasi web based.
Jurnalis termasuk profesi yang paling banyak diuntungkan dengan kemajuan temuan TI.
Namun demikian, mereka sangat dimungkinkan menghadapi “ranjau-ranjau” yang
bertebaran saat memanfaatkan fasilitas yang ada di Internet, antara lain:
-. Spam dan junk e-mail, yakni masuknya banyak e-mail ke kotak surat masuk (inbox)
lantaran jurnalis sering melakukan kunjungan (browsing) ke banyak laman (situs
Internet) dan berkorespondensi ke banyak pihak yang secara tidak sengaja “diintip”
oleh pihak-pihak tertentu yang ingin mempromosikan produk tertentu tanpa meminta
izin pemilik e-mail.
Namun, pengguna Internet dapat mencegah masalah ini dengan mengaktifkan fungsi
anti-spam dan anti-junkmail yang terdapat di bagian pengaturan (setting) aplikasi email yang digunakan, dan biasanya terdapat di fitur pemilihan tambahan pengaturan
(options).

-. Mailing list atau e-mail groups sebagai sumber informasi utama. Jurnalis pada
umumnya menjadi anggota forum diskusi di mailing list atau e-mail groups tertentu
sesuai minat dan bidang tertentu, yang pada gilirannya sering mendapatkan informasi
mulai dari sekadar rumors dan gosip sampai dengan “bocoran” dokumen penting
berkaitan dengan kasus menyangkut kepentingan umum.

Jurnalis –yang notabene bernaluri/berhidung berita (sense/nose of news)—tentunya
tidak akan menyia-nyiakan adanya info penting yang beredar di mailing list atau email groups. Hanya saja, mereka bila tidak hati-hati atau terlalu bernafsu mengejar
kecepatan dan eksklusivitas berita dapat terperangkap dalam ranjau menyangkut cara
mendapatkan informasi dasar.
Oleh karena, anggota mailing list atau e-mail groups sejatinya memiliki sejumlah
aturan main (rules), yang antara lain menerapkan kaidah bahwa informasi apa pun
yang beredar di lingkungan tersebut bersifat “hanya untuk diketahui anggota” atau
“bukan untuk konsumsi umum”.
Jika ada jurnalis yang ingin mengambil informasi dasar dari mailing list atau e-mail
groups, maka selayaknya ia pun menerapkan etika yang sangat baku dan dijunjung
tingi dalam profesi jurnalistik, yakni temukan faktanya dan lakukan pengujian ulang
atau silang (check and recheck atau cross check) ke sejumlah nara sumber yang
berkredibilitas sekaligus berkapabilitas.
-. Berselancar di World Wide Web (WWW). Sebagaimana kebiasaan pengguna lain
Internet, maka jurnalis termasuk yang paling sering berselancar di Internet untuk
memanfaatkan berbagai informasi, bahkan menggunakan sejumlah informasi yang
tersebar di berbagai laman sebagai acuan peliputannya.
Pada kenyataannya, tidak sedikit jurnalis yang secara sadar maupun tidak sadar
memiliki kebiasaan sekadar menjadi “tukang cuplik” (copy and paste journalist)
yang pada gilirannya bakal menumpulkan kemampuan menciptakan berita bermakna

bagi publiknya.
Padahal, setiap jurnalis harus tetap menyadari bahwa fakta terbaik bukanlah di balik
layar komputer, tetapi mendapatkan atau mengujinya kembali di lapangan.
-. Bertukar dokumen melalui File Transfer Protocol (FTP) atau sisipan surat elektronik
(e-mail attachment).
Dalam menjalankan profesinya, jurnalis sering mengirimkan dan menerima dokumen
memanfaatkan fasilitas FTP ataupun e-mail attachment, terutama bagi kalangan
jurnalis foto/kamera yang mengirimkan dokumen beresolusi tinggi dan kapasitas
besar.
Jika menerapkan salah satu fasilitas Internet tersebut, maka para jurnalis ada baiknya
memeriksa kembali apakah dokumen yang dikirim sudah tepat tujuannya atau
diterima dari pihak yang dikenalnya. Selain itu, ada baiknya dokumen yang
dikirimkan terlebih dulu “dikunci” (password) menggunakan aplikasi tambahan
tertentu guna lebih menjamin keamanan/kerahasiaan, terutama yang menyangkut
dokumen berizin publikasi secara hukum (copyright).
Ada baiknya pula menggunakan password berkategori keamanan tertinggi dengan
memanfaatkan perpaduan huruf besar dan kecil, serta angka. Misalnya, lebih baik
menggunakan password b460n6 daripada bagong.

Hal semacam ini menjadi sangat penting manakala jurnalis menggunakan aplikasi email attachment bebas bayar, karena ada kecenderungan dari pihak penyedia jasa

layanan e-mail gratis melakukan “pengintaian terselubung” terhadap pelanggannya.
Bahkan, ada penyedia jasa layanan e-mail gratis yang kemudian hari menyebarkan
kembali isi e-mail dan attachment-nya secara terpisah maupun bersamaan. Kasus
semacam ini semakin sering terjadi, dan pihak penyedia jasa layanan e-mail gratis
biasanya berkilah bahwa “ada kesalahan teknis”, dan celakanya pengguna Internet –
termasuk kalangan jurnalis—sering mengabaikan “ketentuan dan syarat berlaku”
(terms and conditions).
-. Berkomunikasi melalui Internet Relay Chat (IRC) atau Internet Messenger (IM).
Sejalan dengan kemajuan TI, terutama berkaitan dengan kecepatan akses Internet,
maka semakin banyak pengguna Internet memanfaatkan fasilitas IRC atau IM, yang
lebih sering disebut chat atau chatting.
Bahkan, semakin banyak pula jurnalis yang berwawancara menggunakan IRC atau
IM (interview chatting) dengan nara sumbernya, layaknya wawancara bertelepon,
untuk mengejar kecepatan sekaligus eksklusivitas pemberitaan.
Tatkala melakukan interview chatting, maka jurnalis harulah tetap waspada guna
menghindari ranjau bahwa pada kenyataannya termanipulasi mewawancarai orang
yang salah. Bukan tidak mungkin sang nara sumber justru diwakili oleh pihak lain
yang diberinya wewenang melakukan interview chatting dengan jurnalis. Dalam hal
ini, jurnalis haruslah memanfaatkan “faktor kedekatan” dengan nara sumbernya
secara cerdas dan profesional.

Bakal lebih celaka lagi bilamana ada di antara kedua pihak (jurnalis dan atau nara
sumber) chatting di warung Internet (Internet café) yang kode akses mereka –setidaktidaknya user name dan password—saat masuk (log-in) ke fasilitas IRC atau IM
terlupa untuk perintah keluar (log-out).
Selain itu, fasilitas IRC dan IM yang dilayani secara gratis sama sekali tidak
menjamin keamanan informasinya tersebar (atau tersebarkan) kembali, karena
penyedia jasa layanan aplikasi Internet secara gratis banyak memanfaatkan aplikasi
lainnya untuk tujuan promosi cuma-cuma ke pelanggan mereka.
-. Mencari sekaligus mengonfirmasi informasi menggunakan mesin pencari data
(Netsearch atau Search Engine).
Fasilitas Netsearch atau Search Engine kini semakin popular di Internet, bahkan
Google, perusahaan penyedian jasa layanan pencarian informasi secara online, dalam
beberapa tahun terakhir ini senantiasa berada di peringkat atas yang digunakan para
peselancar di dunia maya. Selain itu, Yahoo!, Altavista dan MSN termasuk
netsearch/search engine yang populer di kalangan peselancar di dunia maya.
Internet salah satu fungsinya adalah database online tanpa batas lantaran setiap saat
memiliki informasi terkini. Hal inilah yang menjadi kelebihan dari fasilitas
netsearch/search engine.
Namun demikian, jurnalis yang senantiasa mengejar aktualitas informasi perlu
waspada dalam memanfaatkan informasi menggunakan netsearch/search engine
karena begitu banyaknya informasi tersajikan untuk satu pokok bahasan.


Dengan semakin banyaknya informasi, maka di satu sisi membuka peluang bagi
jurnalis untuk memperoleh bahan berita. Di sisi lain, jurnalis justru bisa terjebak
mendapatkan dan mengembangkan informasi “kelas sampah”.
Oleh karena itu, jurnalis harus tetap mengutamakan mekanisme check & recheck,
mencantumkan alamat laman yang dikutip secara komplit, kemudian jangan
melupakan kaidah dasar pemberitaan yang memadukan fakta, data dan para nara
sumber.
Jika memperhatikan kecenderungan semakin cepat bertumbuh dan berkembangnya
fasilitas sekaligus funsgi Internet, maka jurnalis ibarat menghadapi dua sisi mata uang
dalam memanfaatkannya. Satu sisi kemudahan untuk mengembangkan pemberitaanya,
dan di sisi kedua harus senantiasa waspada untuk tidak menggampangkan sistem GEDE
(Gathering-Editing-Distributing-Evaluating) berita bermakna.
Layaknya profesi apa pun, maka jurnalis juga perlu waspada dengan ranjau-ranjau
profesionalisme yang diistilahkan “penyalahgunaan” dan “penggunasalahan” kinerjanya.
Apalagi, bagi jurnalis ber-Internet (cyber-journalist). “Penyalahgunaan” biasanya
berkaitan langsung dengan memanfaatkan hal tertentu –sebut saja, penyebaran berita di
Internet—yang sejak awal bertujuan mencapai maksud-maksud tertentu di luar etika
profesi, misalnya jurnalis membuat berita untuk menyebarkan kebencian, dan menganggu
ketertiban umum. Sementara itu, “penggunasalahan” sangat dapat dimungkinkan lantaran

adanya kelalaian yang berdampak merugikan kepentingan pihak tertentu, contohnya
jurnalis dengan kebiasaan copy and paste informasi di Internet membuat berita yang
keliru lantaran salah menangkap makna.

Kode Perilaku Jurnalis Online
Jurnalis dan Internet agaknya dapat diibaratkan prajurit yang mendapatkan senjata yang
tepat. Jurnalis dan Internet juga bisa dipersamakan dengan tukang yang mendapatkan alat
kerja yang serba guna. Oleh karena itu, jurnalis perlu menyadari bahwa Internet adalah
alat, sehingga janganlah justru diperalat.
Bahkan, Jurnalis dan Internet secara fungsi dapat dikatakan memiliki “ideologi” yang
sama, yakni mengutamakan kebebasan berinformasi.
Namun demikian, kalangan praktisi dan organisasi jurnalis –baik organisasi profesinya,
perusahaannya maupun kependidikannya—sejak mulai lahir hingga menguatnya
kecenderungan cyber-journalist pada medio 1990-an --yang ditandai dengan pemanfaatan
Internet dalam proses pemberitaan, sehingga hadir sebutan multimedia massa (mass
multimedia) dan konvergensi (convergence)—sudah membuka wacana mengenai Kode
Perilaku (code of conduct) Jurnalis Online.
Nicholas Johnson (njohnson@inav.net), mantan Komisioner Komisi Komunikasi
Amerika Serikat (AS) dan penulis buku How to Talk Back to Your Television Set yang
juga Dosen Ilmu Hukum di Iowa College of Law (AS), dalam kertas kerjanya untuk


Konferensi Internasional di Pusat Jurnalisme Warsawa, Polandia, pada 11-12 Oktober
1997 memberikan catatan bahwa ada hal mendasar menyangkut kasus jurnalisme berInternet (Journalism in Cyberspace atau Cyber-journalism) yang hampir sama dengan
kasus dalam jurnalisme cetak dan dan elektronik, antara lain menyangkut:
-.menyerang kepentingan individu, pencemaran nama baik, pembunuhan
karakter/reputasi seseorang,
-.menyebarkan kebencian, rasialis, dan mempertentangkan ajaran agama,
-.menyebarkan hal-hal tidak bermoral, mengabaikan kaidah kepatutan menyangkut
seksual yang menyinggung perasaan umum, dan perundungan seksual terhadap anakanak,
-.menerapkan kecurangan dan tidak jujur, termasuk menyampaikan promosi/iklan palsu,
-.melanggar dan mengabaikan hak cipta (copyright) dan Hak Atas Karya Intelektual
(HAKI, atau Intelectual Property Right/IPR).
Selanjutnya, Johnson mencatat pula kecenderungan kasus khusus dalam cyberjournalism,
seperti:
-.azas tuntutan hukum, karena cakupan penyebaran berita di Internet dan sistem kinerja
cyberjournalism bersifat lintas batas kewilayah negara,
-.ketentuan hukum menyangkut jurnalis dan perusahaan multimedia massa yang
cenderung menerapkan kinerja lintas negara,
-.ketentuan pajak lintas negara, karena kecenderungan ekonomi global juga
mempengaruhi kinerja cyberjournalism, terutama menyangkut proses transaksi jual beli

hak cipta atas berita.
Johnson saat itu juga sudah khawatir terhadap keterlibatan aparat negara/pemerintahan
yang sangat dimungkinkan membungkam kebebasan berekspresi kalangan
cyberjournalist melalui sejumlah aturan yang mengekang dari sisi pembatasan teknis
melalui penyedia jasa layanan Internet (Internet Service Provider/ISP), perusahaan
pengembang sistem operasi dan aplikasi komputer, serta lembaga negara yang berwenang
di bidang perizinan teknis menyangkut pengadaan piranti keras maupun lunak infrasuktur
Internet.
Sementara itu, Cuny Graduate School of Journalism yang didukung Knight Foundation
melalui lamannya di http://www.kcnn.org mencatat 10 langkah utama bagi
cyberjournalist –termasuk kalangan citizen journalist dan blogger-- supaya terhindar dari
masalah hukum, yakni:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Periksa dan periksa ulang fakta,
Jangan gunakan informasi tanpa sumber yang jelas.
Perhatikan kaidah hukum,
Pertimbangkan setiap pendapat,
Utarakan rahasia secara selektif,
Hati-hati terhadap apa yang diutarakan,
Pelajari batas daya ingat,

8. Jangan lakukan pelecehan,
9. Hindari konflik kepentingan,
10. Peduli nasehat hukum.
Prinsip-prinsip berperilaku dan beretika bagi cyberjournalist juga dikumandangkan oleh
Poynter (http://www.poynter.org), salah satu organisasi di AS yang menjadi acuan
kalangan cyberjournalist lantaran senantiasa membuka wacana untuk pengembangan
cyberjournalism dengan melibatkan kalangan pakar dan praktisi multimedia massa
sedunia.
Poynter senantiasa mengingatkan kalangan cyberjournalist untuk menelaah
perkembangan Internet lantaran secara langsung mempengaruhi perilaku dan aturan main
di abad digital. Selain itu, jurnalis ber-Internet dituntut untuk lebih memperhatikan
kecenderungan aktual menyangkut kredibilitas dan akurasi, tranparansi dan multimedia
massa, serta harus waspada terhadap kecepatan penyampaian berita yang seimbang
dengan kapasitas akurasinya.
Beberapa hal utama yang ditekankan Poynter menyangkut profesi jurnalis dan organisasi
multimedia massa adalah sebagai berikut:
-.Integritas keredaksian, karena hal ini sangat penting untuk menjaga kepercayaan
publik sekaligus menjaga kredibilitas,
-.Keterbukaan komunikasi di kalangan redaksi dengan pemasaran dalam organisasi
multimedia massa, sehingga dapat memanfaatkan peluang ekonomi guna meraih
keuntungan dari kecenderungan pertumbuhan bisnis di Internet,
-.Riset pasar dan menentukan ukuran berbisnis menjadi salah satu alat penting dalam
menentukan arah kebijakan/panduan mengembangkan bisnis isi berita (content), dan
bermanfaat untuk menjaga keseimbangan mendapatkan keuntungan sekaligus
memberikan pelayanan informasi ke publik,
-.Pengalaman konsumen menjadi hal utama, sehingga perlu senantiasa mengevaluasi
berbagai model promosi/iklan guna mengetahui keinginan publik yang secara
signifikan perlu diperhatikan organisasi multimedia massa.
Berkaitan dengan sistem pemberitaan yang dijalankan jurnalis sebagai bagian organisasi
multimedia massa, maka Poynter juga memberikan sejumlah pertanyaan guna dicari
pemecahannya, yakni:
-.Bagaimana menanggani koreksi?
-.Bagaimana menangani kaitan antar-laman (links)?
-.Bagaimana cara menyajikan berita yang bermakna? Dan, bagaimana pula
memaparkannya, bila ada kemungkinan menimbulkan konflik terhadap para pihak di
publiknya?
-.Bagaimana menerapkan kebijakan penyuntingan, termasuk menetapkan layak siar, dan
sejauh mana hal ini diperlukan?
-.Sejauh mana publik peduli terhadap nilai-nilai yang mempengaruhinya atas dasar
pemberitaan yang dipublikasikan?

-.Apa saja nilai manfaat dari pemberitaan yang dilakukan jurnalis secara anonim atau
menyembunyikan yang dikembangkan multimedia massa? (catatan: hal ini juga
berlaku sebaliknya lantaran semakin berkembang kecenderungan media online
mencantumkan nama jurnalis dan alamat e-mail mereka dalam berita/laporan
jurnalistiknya)
-.Standar apa saja yang harus diterapkan organisasi multimedia massa dalam menyiapkan
hingga penyebaran bahan berita audio-visual secara online? Bagaimana pilihan aplikasi
teknologinya?
Serangkaian pertanyaan tersebut bertujuan, agar pengelola multimedia massa memahami
benar mekanisme kinerjanya, karena sistem semacam itu sangat mempengaruhi perilaku
bagi SDM-nya, terutama para jurnalis. Selain itu, media massa ber-Internet (cyber-media)
juga memiliki karakter yang sama dengan media massa lainnya, yaitu tidak luput dari
kemungkinan melakukan kesalahan yang harus segera ditanggulangi.

Kecenderungan Akhir
Berbagai produk TI juga tidak dapat dipungkiri sangat mempengaruhi bisnis multimedia
massa, yang sekaligus menciptakan kecenderungan perilaku baru di kalangan jurnalis.
Web 2.0 adalah salah satu contoh aktualnya. Aplikasi berbasis web di Internet ini pada
prinsipnya membuka peluang cyber-media membuka interaksi lebih luas dengan
publiknya. Dengan kata lain, cyberjournalist semakin memiliki “kedekatan” dengan
publiknya. Berita apa pun yang dipublikasikan cyber-media dapat segera ditanggapi
publiknya.
Bahkan, publik dimungkinkan saling berinteraksi mulai dari sekadar memberikan
komentar atas berita yang tersaji sampai dengan mengaitkannya (link) ke komunitas
blog. Ini semua dikelola cyber-media dengan memanfaatkan aplikasi Web 2.0, sehingga
perilaku cyberjournalist pun harus lebih interaktif dengan publiknya.
British Broadcasting Corp. (BBC), cyber-media dari Kerajaan Inggris yang bermula dari
radio siaran, pada medio April 2008 juga memutuskan untuk menerapkan sistem kerja
keredaksian yang multi-platform. Peter Horrocks selaku Kepala Pemberitaan BBC
mengungkapkan, pada minggu terakhir April 2008 pihaknya secara total menerapkan
konsep baru dalam pengembangan manajemen maupun kinerja jurnalisnya. Konsep
tersebut, katanya, menjadi satu langkah besar BBC untuk lebih berdaya upaya
memadukan pemberitaan untuk semua jenis media massa (multimedia massa).
“Satu hal dari ini semua secara signifikan membuat penghematan, dan kami dapat
menabung lebih banyak. Kami memperkenalkan sejumlah aturan multimedia, tetapi
sebagaimana semua orang dapat mengembangkan keterampilannya di bidang multimedia
dan sekali lagi kami mengembangkan cara untuk meningkatkan kinerja yang kesemuanya
dapat bekerja secara bersama secara sangat efektif, ” kata Horrocks.

BBC dalam proyeknya itu menghabiskan biaya mencapai sekira 555.000 pounsterling,
termasuk untuk membuat logo baru dan sejumlah promosi memperkenalkan kinerja
aktualnya. Namun, sebagaimana dijelaskan Horrocks, organisasi multimedia massa
tersebut bakal lebih efisien dan efektif sekaligus meraih keuntungan secara finansial. Hal
lain yang tidak kalah pentingnya, BBC –secara manajemen umum, terutama jurnalisnya-semakin mendekatkan diri secara interaktif ke publiknya. Apalagi, BBC selama ini
sukses menjadi media massa berbasis radio siaran yang berkembang secara signifikan
menjadi multimedia massa berbasis web Internet mampu menyajikan siaran televisi, dan
database online terkini.
BBC tidak sendirian untuk lebih dekat dengan publiknya, karena sejumlah organisasi
multimedia massa transnasional juga melakukan hal yang sama. Kantor berita Reuters
pun dengan dukungan teknis dari Nokia –perusahaan elektronik, yang produk telepon
seluler (ponsel)-nya masih merajai pasar dunia-- telah mengembangkannya dalam
kemasan yang mereka sebut sebagai Mobile Journalism (MoJo). Jurnalis di Reuters, yang
menerapkan sistem MoJo, menerapkan perilaku dapat menjalankan kinerja
pemberitaannya secara bergerak (mobile), tanpa dibatasi ruang dan waktu bekerja selama
ada akses Internet, termasuk yang nirkabel (wireless). Hal semacam ini juga sudah
diterapkan –tentunya dalam kapasitas kemampuan organisasi masing-masing—oleh
sejumlah media massa di Indonesia, yang antara lain ditandai dengan berubahnya
tampilan portal berita mereka dilengkapi kanal komunitas blog dan kanal televisi berbasis
protokol Internet (Internet Protocol Television/IPTV) layaknya YouTube
(http://www.youtube.com).

Sementara itu, perusahaan penyedia jasa telepon/data selular (cellular provider) di
Indonesia dewasa ini ada yang segera menerapkan sistem mobile cellular advertising
(mobile ads) sekaligus On Device Portal (ODP). Mobile Ads sangat jelas bermanfaat
sebagai sarana beriklan/promosi melalui ponsel. Sedangkan, ODP dapat diterjemahkan
sebagai “aplikasi memindahkan fungsi web Internet dari PC/laptop ke ponsel” dengan
berbagai manfaat tambahan, antara lain memantau kegiatan secara geografis
menggunakan peta digital online, mengirim/menerima e-mail seketika (real time),
mengunggah/mengunduh (upload/downlad) isi berita –termasuk prakiraan cuaca-- sesuka
hati, dan percakapan tatap muka melalui ponsel. Semua aktivitas menggunakan ODP
dapat direkam atau didokumentasikan.
ODP menjadi “mainan baru” sekaligus tantangan bagi organisasi (multi)-media massa
dalam menjalankan sistem keredaksian dan pemasarannya. Oleh karena, ODP –yang
mengandalkan teknologi selular generasi ketiga dan ketiga-setengah (3G & 3,5G), serta
dikembangkan pertama kali oleh perusahaan aplikasi komputer Virtuser—bertujuan
mendukung konvergensi multimedia massa yang dikembangkan sejak 2001.
Salah satu tantangan nyata bagi organisasi (multi)-media massa dengan kehadiran Mobile
Ads dan ODP –yang sudah diawali penyebaran isi berita melalui sistem protokol aplikasi
nirkabel (Wireless Application Protocol/WAP) dan Value Added Services (VAS) di
ponsel—adalah semakin banyaknya penyedia jasa isi berita (Content Provider/CP) yang

bukanlah organisasi pers cetak, elektronik dan portal berita. CP menjual produknya –
yang justru kebanyakan mereka peroleh/beli dari organisasi pers cetak dan elektronik—
menjalankan bisnisnya sebagai perpanjangan tangan cellular provider. Dengan kata lain,
SDM pengembangan isi berita di CP “bukanlah” (atau sulit disebut) jurnalis –sekalipun
beberapa di antara mereka adalah mantan jurnalis atau masih mengantongi kartu pers—
lantaran kinerja mereka lebih banyak sebagai pemaket data, informasi dan berita untuk
didistribusikan ke publik melalui pihak cellular provider. Di sinilah perilaku dan kode
etik jurnalistik dapat dikatakan berada di labirin abu-abu.
Secara terpisah, ranah jurnalisme warga (citizen-journalism) dan blog juga semakin
diramaikan dengan sistem kerja yang diberi nama Create Your Own News (Crayon).
Konsep idealisnya adalah semua orang dapat menjadi wartawan. Menghadapi
kecenderungan semacam ini, maka suka tidak suka dan mau tidak mau para jurnalis
dituntut lebih berperilaku profesional dengan menjunjung kode etiknya, agar profesinya
tetap bermakna bagi publiknya. (*)

Priyambodo RH
priya3rh@yahoo.com
priya3rh@gmail.com
http://cyberjournalism.wordpress.com

. 2001 -

: -.Redaktur ANTARA Multimdia Gateway, Jakarta
-.Pengajar Galeri Foto Jurnalistik ANTARA, Jakarta
-.Pengajar Universidade Independente (UnI), Lisabon-Portugal
. 2000 - 2001 : -. Kepala LKBN ANTARA Biro Eropa di Brussel, Belgia
. 1999 - 2000 : -. Kepala LKBN ANTARA Biro Lisabon, Portugal
. 1997 - 1998: -. Konsultan Pengembangan Web Direktorat Jenderal Pembinaan Pers dan
Grafika (Ditjen PPG), Departemen Penerangan RI
-. Konsultan Pengembangan Web Komisi Kebudayaan & Informasi
(COCI), ASEAN Secretariat - http://www.aseansec.org
. 1996 : -.Pengajar Lembaga Pendidikan Jurnalistik Dr. Soetomo (LPDS), Jakarta
-.Pengajar Lembaga Pendidikan Jurnalistik ANTARA (LPJA), Jakarta
. 1996 - 1999 : -.Kepala Biro Kerjasama Internasional LKBN ANTARA
-.Kepala Bagian Evaluasi dan Pengembangan LKBN ANTARA
-.Pengajar Universitas Indonesia Esa Unggul (IEU), Jakarta
. 1995
: -.Pendidikan Spesialis Jurnalisme Lingkungan Hidup dan Jurnalisme
Online di International Institute for Journalism (IIJ) di Berlin, Jerman
. 1993 : -.Redaktur Pelaksana II WartaBumi/EarthWire,
LKBN ANTARA- UNESCO
. 1993 - 1996 : -. Wakil Kepala Meja Sunting Spektrum, Redaksi Berkala
LKBN ANTARA
. 1992 : -.Staf Meja Sunting Spektrum LKBN ANTARA
. 1989 - 1992 : -.Wartawan LKBN ANTARA Biro Surabaya
. 1985-1989 : -. Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Massa - Almamater Wartawan
Surabaya (Stikosa AWS, Surabaya, Jawa Timur).
Keluarga: -. Ayah tiga putri -Marchia Kalyanitta, Maytha Indrayani Kalyanitta dan
Decira Indrayani Kalyanitta- dari pernikahan dengan ATS Ernawati.- .