Zona Kebidanan | Blogger Lampung Tengah

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hipertensi

2.1.1. Definisi Hipertensi

Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah arterial, sistol ≥ 140 mmHg dan diastol ≥ 90 mmHg. Tekanan darah bergantung kepada :

1. Curah jantung

2. Tahanan perifer pada pembuluh darah 3. Volum atau isi darah yang bersirkulasi

Faktor utama dalam mengontrol tekanan arterial ialah output jantung dan tahanan perifer total. Bila output jantung (curah jantung) meningkat, tekanan darah arterial akan meningkat, kecuali jika pada waktu yang bersamaan tahanan perifer menurun. Tekanan darah akan meninggi bila salah satu faktor yang menentukan tekanan darah mengalami kenaikan ( Lumbantobing, 2008).

Tabel 2.1. Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC VII :

Kategori Tekanan darah sistol Tekanan darah diastol

Normal < 120 < 80

Prehypertension 120 – 139 80 – 89 Hypertension stage 1 140 – 159 90 – 99


(2)

2.1.2. Etiologi Hipertensi

Berdasarkan etiologinya hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

1. Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui peyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat 95% kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya, seperti genetik, lingkungan, sistem renin angiotensin, sistem saraf otonom, dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko seperti merokok, alkohol, obesitas, dan lain-lain (Lauralee, 2001).

2. Hipertensi sekunder, terdapat sekitar 5% kasus. Penyebab spesifiknya diketahui, misalnya 1) Penyakit ginjal : glomerulonefritis akut, nefritis kronis, penyakit poliarteritis, diabetes nefropati, 2) Penyakit endokrin : hipotiroid, hiperkalsemia, akromegali, 3) koarktasio aorta, 4) hipertensi pada kehamilan, 5) kelainan neurologi, 6) obat-obat dan zat-zat lain (Lauralee, 2001).

2.1.3. Patofisiologi Hipertensi

Mengenai patofisiologi hipertensi masih banyak terdapat ketidakpastian. Sebagian kecil pasien (2% - 5%) menderita penyakit ginjal atau adrenal sebagai penyebab meningkatnya tekanan darah. Pada sisanya tidak dijumpai penyebabnya dan keadaan ini disebut hipertensi esensial.

Beberapa mekanisme fisiologis terlibat dalam mempertahankan tekanan darah yang normal, dan gangguan pada mekanisme ini dapat menyebabkan terjadinya hipertensi esensial. Faktor yang telah banyak diteliti ialah : asupan garam, obesitas, resistensi terhadap insulin, sistem renin-angiotensin dan sistem saraf simpatis (Lumbantobing, 2008).

Terjadinya hipertensi dapat disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut : 1. Curah jantung dan tahanan perifer

Mempertahankan tekanan darah yang normal bergantung kepada keseimbangan antara curah jantung dan tahanan vaskular perifer. Sebagian terbesar pasien dengan hipertensi esensial mempunyai curah jantung yang normal, namun tahanan


(3)

perifernya meningkat. Tahanan perifer ditentukan bukan oleh arteri yang besar atau kapiler, melainkan oleh arteriola kecil, yang dindingnya mengandung sel otot polos. Kontraksi sel otot polos diduga berkaitan dengan peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler (Lumbantobing, 2008).

Kontriksi otot polos berlangsung lama diduga menginduksi perubahan sruktural dengan penebalan dinding pembuluh darah arteriola, mungkin dimediasi oleh angiotensin, dan dapat mengakibatkan peningkatan tahanan perifer yang irreversible. Pada hipertensi yang sangat dini, tahanan perifer tidak meningkat dan peningkatan tekanan darah disebabkan oleh meningkatnya curah jantung, yang berkaitan dengan overaktivitas simpatis. Peningkatan tahanan peifer yang terjadi kemungkinan merupakan kompensasi untuk mencegah agar peningkatan tekanan tidak disebarluaskan ke jaringan pembuluh darah kapiler, yang akan dapat mengganggu homeostasis sel secara substansial (Lumbantobing, 2008).

2. Sistem renin-angiotensin

Sistem renin-angiotensin mungkin merupakan sistem endokrin yang paling penting dalam mengontrol tekanan darah. Renin disekresi dari aparat juxtaglomerular ginjal sebagai jawaban terhadap kurang perfusi glomerular atau kurang asupan garam. Ia juga dilepas sebagai jawaban terhadap stimulasi dan sistem saraf simpatis (Lumbantobing, 2008).

Renin bertanggung jawab mengkonversi substrat renin (angiotensinogen) menjadi angotensin II di paru-paru oleh angiotensin converting enzyme (ACE). Angiotensin II merupakan vasokontriktor yang kuat dan mengakibatkan peningkatan tekanan darah (Lumbantobing, 2008).

3. Sistem saraf otonom

Stimulasi sistem saraf otonom dapat menyebabkan konstriksi arteriola dan dilatasi arteriola. Jadi sistem saraf otonom mempunyai peranan yang penting dalam


(4)

mempertahankan tekanan darah yang normal. Ia juga mempunyai peranan penting dalam memediasi perubahan yang berlangsung singkat pada tekanan darah sebagai jawaban terhadap stres dan kerja fisik (Lumbantobing, 2008).

4. Peptida atrium natriuretik (atrial natriuretic peptide/ANP)

ANP merupakan hormon yang diproduksi oleh atrium jantung sebagai jawaban terhadap peningkatan volum darah. Efeknya ialah meningkatkan ekskresi garam dan air dari ginjal, jadi sebagai semacam diuretik alamiah. Gangguan pada sistem ini dapat mengakibatkan retensi cairan dan hipertensi (Lumbantobing, 2008).

2.1.4. Faktor resiko hipertensi

Hampir setengah abad yang lalu, Irvin H. Page yang terkenal dengan teori mosaic of hypertension menguraikan bahwa, hipertensi merupakan” penyakit pengaturan tekanan yang diakibatakan oleh multifaktorial” (Majid, 2005).

Dengan kemajuan dalam penelitian mengenai hipertensi ternyata masih banyak lagi faktor yang berperan dalam mekanisme pengaturan tekanan darah yang belum termasuk dalam teori mosaic. Multifaktorial yang dihubungkan dengan patogenesis hipertensi primer yang terutama terdiri dari 3 elemen penting yaitu : 1. Faktor genetik

2. Rangsangan lingkungan : terutama asupan garam, stress dan obesitas

3. Adaptasi struktural yang membuat pembuluh darah dan jantung membutuhkan tekanan yang lebih tingi dari fungsi normalnya.

Ketiga elemen ini saling terkait dimana pengaruh lingkungan yang berlebihan dibutuhkan untuk mencetuskan predisposisi genetik sedangkan perubahan struktural kadang-kadang dipercepat oleh faktor genetik (Majid, 2005).

Pada fase awal, interaksi antara predisposisi genetik dan pengaruh lingkungan menyebabkan terjadi peningkatan cardiac output (CO) melebihi resistensi perifer. 1. Faktor genetik

a. Peran faktor genetik dibuktikan dengan berbagai kenyataan yang dijumpai maupun dari penelitian, misalnya:


(5)

- Kejadian hipertensi lebih banyak dijumpai pada penderita kembar monozigot dari pada heterozigot, apabila salah satu diantaranya menderita hipertensi. - Kejadian hipertensi primer dijumpai lebih tinggi 3,8 kali pada usia sebelum 50

tahun, pada seseorang yang mempunyai hubungan keluarga derajat pertama yang hipertensi sebelum usia 50 tahun.

- Percobaan pada tikus golongan Japanese spontaneosly hypertensive rat (SHR) Dahl salt sensitive (DS) dan sal resistance (R) dan Milan hypertensive rat strain (MHS) menunjukkan bahwa dua turunan tikus tersebut mempunyai faktor genetik yang secara genetik diturunkan sebagai faktor penting timbulnya hipertensi, sedangkan turunan yang lain menunjukkan faktor kepekaan terhadap garam yang juga diturunkan secara genetik sebagai faktor utama timbulnya hipertensi (Majid, 2005).

b. Faktor yang mungkin diturunkan secara genetik antara lain : defek transport Na pada membran sel, defek ekskresi natrium dan peningkatan aktivitas saraf simpatis yang merupakan respon terhadap stress (Majid, 2005).

2. Faktor lingkungan a. Keseimbangan garam

Garam merupakan hal yang amat penting dalam patofisiologi hipertensi primer. Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada golongan suku bangsa dengan asupan garam yang minimal. Apabila asupan garam kurang dari 3 gram perhari, prevalensi hipertensi beberapa persen saja, sedangkan apabila asupan garam antara 5-15 gram perhari, prevalensi hipertensi menjadi 15-20%. Pengaruh asupan garam terhadap timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan volume plasma, curah jantung GFR (glomerula filtrat rate) meningkat. Keadaan ini akan diikuti oleh peningkatan kelebihan ekskresi garam (pressure natriuresis) sehingga kembali kepada keadaan hemodinamik yang normal. Pada penderita hipertensi, mekanisme ini terganggu dimana pressure natriuresis mengalami “reset” dan dibutuhkan tekanan yang lebih tinggi untuk mengeksresikan natrium, disamping adanya faktor lain yang berpengaruh (Majid, 2005).


(6)

b. Obesitas

Banyak penyelidikan menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang positif diantara obesitas (terutama upper body obesity) dan hipertensi. Bagaimana mekanisme obesitas menyebabkan hipertensi masih belum jelas. Akhir-akhir ini ada pendapat yang menyatakan hubungan yang erat diantara obesitas, diabetes melitus tipe 2, hiperlipidemia dengan hipertensi melalui hiperinsulinemia (Majid, 2005).

c. Stress

Hubungan antara stress dan hipertensi primer diduga oleh aktivitas saraf simpatis (melalui cathecholamin maupun renin yang disebabkan oleh pengaruh cathecolamin) yang dapat meningkatkan tekanan darah yang intermittent. Apabila stress menjadi berkepanjangan dapat berakibat tekanan darah menetap tinggi. Hal ini secara pasti belum terbukti, akan tetapi pada binatang percobaan dibuktikan, pemaparan terhadap stress membuat binatang tersebut hipertensi (Majid, 2005).

d. Lain-lain

Faktor-faktor lain yang diduga berperan dalam hipertensi primer rasio asupan garam, kalium, inaktivitas fisik, umur, jenis kelamin dan ras (Majid, 2005).

3. Adaptasi perubahan struktur pembuluh darah

Perubahan adaptasi struktur kardiovaskular, timbul akibat tekanan darah yang meningkat secara kronis dan juga tergantung dari pengaruh trophic growth (angiotensin II dan growth hormon) (Majid, 2005).

2.1.5. Penatalaksanaan Hipertensi Terapi Farmakologi


(7)

Mula-mula obat ini mengurangi volum ekstraseluler dan curah jantung. Efek hipotensi dipertahankan selama terapi jangka panjang melalui berkurangnya tahanan vaskular, sedangkan curah jantung kembali ke tingkat sebelum pengobatan dan volum ekstraseluler tetap berkurang sedikit (Benowitz, 1998).

Mekanisme yang potensial untuk mengurangi tahanan vaskular oleh reduksi ion Na yang persisten walaupun sedikit saja mencakup pengurangan volum cairan interstisial, pengurangan konsentrasi Na di otot polos yang sekunder dapat mengurangi konsentrasi ion Ca intraseluler, sehingga sel menjadi lebih resisten terhadap stimulus yang mengakibatkan kontraksi, dan perubahan afinitas dan respon dari reseptor permukaan sel terhadap hormon vasokonstriktor (Benowitz, 1998).

Efek Samping

Impotensi seksual merupakan efek samping yang paling mengganggu pada obat golongan tiazid. Gout merupakan akibat hiperurisemia yang dicetuskan oleh diuretik. Kram otot dapat pula terjadi, dan merupakan efek samping yang terkait dosis (Benowitz, 1998).

Golongan obat

a. Tiazid dan agen yang sejenis ( hidroklorotiazid, klortalidon) b. Diuretik loop (furosemid, bemetanid, asam etakrinik)

c. Diuretik penyimpan ion K, amilorid, triamteren, spironolakton.

2. Beta adrenergik blocking agents (betabloker)

Jenis obat ini efektif terhadap hipertensi. Obat ini menurunkan irama jantung dan curah jantung. Beta bloker juga menurnkan pelepasan renin dan lebih efektif pada pasien dengan aktivitas renin plasma yang meningkat (Benowitz, 1998).

Beberap mekanisme aksi anti hipertensi di duga terdapat pada golongan obat ini, mencakup :


(8)

1) Menurunkan frekuensi irama jantung dan curah jantung 2) Menurunkan tingkat renin di plasma

3) Memodulai aktivitas eferen saraf perifer 4) Efek sentral tidak langsung

Efek Samping

Semua betabloker memicu spasme bronkial, misalnya pada pasien dengan asma bronkial.

Golongan Obat

a. Obat yang bekerja sentral (metildopa, klonidin, kuanabenz, guanfasin) b. Obat penghambat ganglion (trimetafan)

c. Agen penghambat neuron adrenergik (guanetidin, guanadrel, reserpin) d. Antagonis beta adrenergik (propanolol, metoprolol)

e. Antagonis alfa-adrenergik (prazosin, terazosin, doksazosin, fenoksibenzamin, fentolamin)

f. Antagonis adrenergik campuran (labetalol)

3. ACE-inhibitor (Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors)

Cara kerja utamanya ialah menghambat sistem renin-angiotensin-aldosteron, namun juga menghambat degradasi bradikinin, menstimulasi sintesis prostaglandin vasodilating, dan kadang-kadang mereduksi aktivitas saraf simpatis (Benowitz, 1998).

Efek Samping

Batuk kering ditemukan pada 10 persen atau lebih penderita yang mendapat obat ini. Hipotensi yang berat dapat terjadi pada pasien dengan stenosis arteri renal bilateral, yang dapat mengakibatkan gagal ginjal.


(9)

Golongan obat: Benazepril, captopril, enalapril, fosinoplir, lisinopril, moexipril, ramipril, quinapril, trandolapril (Benowitz, 1998).

4. Angiotensin II Receptor Blocker (ARB)

Efek samping batuk tidak ditemukan pada pengobatan dengan ARB. Namun efek samping hipotensi dan gagal ginjal masih dapat terjadi pada pasien dengan stenosis arteri renal bilateral dan hiperkalemia (Benowitz, 1998).

Golongan obat: Candesartan, eprosartan, irbesartan, losartan, olmesartan, valsartan.

5. Obat penyekat terowongan kalsium (calcium channel antagonists, calcium channel blocking agents, CCT).

Calcium antagonist mengakibatkan relaksasi otot jantung dan otot polos, dengan demikian mengurangi masuknya kalsium kedalam sel. Obat ini mengakibatkan vasodilatasi perifer, dan refleks takikardia dan retensi cairan kurang bila dibanding dengan vasodilator lainnya (Benowitz, 1998).

Efek samping

Efek samping yang paling sering pada calcium antagonis ialah nyeri kepala, edema perifer, bradikardia dan konstipasi.

Golongan obat : Diltiazem, verapamil.

Terapi Non Farmakologi

Mengubah gaya hidup merupakan suatu terapi atau pendekatan yang sangat bermanfaat dalam mengatasi tekanan darah tinggi (Lumbantobing, 2008).

Menurunkan berat badan BMI 18,5 – 24,9 Penurunan tekanan sistol 5-20/10 kgBB turun Aktivitas fisik Gerak badan teratur,

misalnya jalan 30 menit/hari

Penurunan sistol bisa 4-9 mmHg


(10)

Diet Makan kaya buah, sayur, susu rendah lemak dan lemak total

Penurunan sistol bisa 8-14 mmHg

Diit Garam dikurangi

menjadi tidak lebih dari 100mEq/L (2,4g natrium atau 6 gram garam dapur) sehari

Penurunan sistol bisa 2-8 mmHg

2.2. Obesitas

2.2.1. Definisi obesitas

Obesitas merupakan peningkatan berat badan dengan BMI ≥ 25 kg/m 2 akibat akumulasi lemak yang berlebihan.

Obesitas merupakan suatu penyakit multifaktorial, yang terjadi akibat akumulasi jaringan lemak yang berlebihan, sehingga dapat mengganggu kesehatan. Obesitas terjadi bila besar dan jumlah sel lemak bertambah pada tubuh seseorang. Bila seseorang bertambah berat badannya maka ukuran sel lemak akan bertambah besar dan kemudian jumlahnya bertambah banyak (Sugondo, 2007).

2.2.2. Klasifikasi Obesitas

Tabel 2.2. Klasifikasi berat badan lebih dan obesitas berdasarkan IMT dan lingkar perut menurut kriteria WHO dalam Asia-Pasific Perspective.


(11)

Underweight < 18,5

Normal 18,5 – 22,9

Overweight ≥ 23,0

Beresiko (pra-obes) 23,0 – 24,9

Obes I 25,0 – 29,9

Obes II ≥ 30,0

Sumber: WHO WPR/IASO/IOTF dalam the Asia-Pasific Perspective: Redefening Obesity and its treatment.

Tabel 2.3. Klasifikasi berat badan berdasarkan lingkaran pinggang Klasifikasi Laki-laki Perempuan

Obesitas ≥ 90 cm ≥ 80 cm

2.2.3. Faktor-faktor penyebab obesitas

Faktor-faktor penyebab obesitas masih terus diteliti, baik dari faktor lingkungan maupun genetik berperan dalam terjadinya obesitas. Faktor lingkungan antara lain pengaruh psikologi dan budaya. Dahulu status sosial dan ekonomi juga dikaitkan dengan obesitas. Individu yang berasal dari keluarga sosial ekonomi rendah biasanya mengalami malnutrisi. Sebaliknya, individu dari keluarga dengan status sosial ekonomi lebih tinggi biasanya menderita obesitas. Kini diketahui bahwa sejak tiga dekade terakhir, hubungan antara status sosial ekonomi dengan obesitas melemah karena prevalensi obesitas meningkat secara dramatis pada setiap kelompok status sosial ekonomi. Meningkatnya obesitas tak lepas dari berubahnya gaya hidup, seperti menurunnya aktivitas fisik (Sugondo, 2007).


(12)

Faktor genetik menentukan mekanisme pengaturan berat badan normal melalui pengaruh hormon dan neural. Selain itu, faktor genetik juga menentukan banyak dan ukuran sel adiposa serta distribusi regional lemak tubuh.

Obesitas dapat terjadi karena faktor internal dan eksternal. Penyebab-penyebab tersebut antara lain :

1. Internal a. Genetik

Seperti kondisi medis lainnya, obesitas merupakan perpaduan antara genetik dan lingkungan. Gen yang ditemukan diduga dapat mempengaruhi jumlah dan besar sel lemak, distribusi sel lemak dan besar penggunaan energi untuk metabolisme saat tubuh istirahat. Polimorfisme dalam variasi gen mengontrol nafsu makan dan metabolisme menjadi predisposisi obesitas ketika adanya kalori yang cukup.

Obesitas pada penderita sindrom prader-willi adalah penyakit genetik yang menimpa kira-kira satu dari 15 ribu kelahiran. Mutasi gen terjadi pada kromosom ke 15 yang mengatur nafsu makan. Sindrom ini dikenali sebagai gen penyebab obesitas pada anak kecil. Symptom yang timbul akibat sindrom ini disebabkan oleh disfungsi hipotalamus yang salah satu fungsinya adalah mengatur rasa lapar (Hermawan, 2008).

b. Jenis kelamin

Jenis kelamin berpengaruh terhadap obesitas. Pria memiliki lebih banyak otot dibandingkan dengan wanita. Otot membakar lebih banyak lemak dari sel-sel lain. Oleh karena wanita lebih sedikit memiliki otot, maka wanita memperoleh kesempatan yang lebih kecil untuk membakar lemak. Hasilnya, wanita lebih beresiko mengalami obesitas (Hermawan, 2008).

c. Kelainan endokrin

Hipotiroidisme terjadi ketika kelenjar tiroid tidak memproduksi hormon tiroid sesuai kebutuhan tubuh. Oleh karena itu, apabila hormon tiroid yang dihasilkan tidak sesuai dengan kebutuhan tubuh, pertumbuhan akan terganggu.


(13)

Terganggunya produksi hormon ini dapat mempengaruhi metabolisme, perkembangan otak, pernafasan , sistem jantung dan saraf, temperatur tubuh, kekuatan otot, kulit, berat badan dan tingkat kolesterol.

Produksi hormon tiroid diatur oleh hormon TSH (Thyroid stimulating hormone) yang diproduksi oleh hipofisis anterior. TSH akan merangsang kelenjar tiroid untuk mensekresi hormon tiroid, yaitu triidotironin (T3) dan tiroksin (T4). Apabila dalam darah terdapat sedikit hormon tiroid tersebut, maka kadar TSH akan meningkat untuk merangsang kelenjar tiroid mensekresi hormon tiroid. Sebaliknya, apabila dalam darah telah cukup atau bahkan lebih banyak terdapat hormon tiroid, kadar TSH akan menurun. Sekresi TSH diatur oleh hormon hipotalamus, yaitu TRH (Thyrotropin Releasing Hormone). Yang terjadi pada hipotiroidisme adalah kadar TSH meningkat akibat dari fungsi kelenjar tiroid yang menurun. Selain itu, hipotiroidisme dapat disebabkan oleh kelenjar hipofisis tidak bekerja secara normal. Terganggunya kerja hipofisis dapat menyebabkan produksi TSH terganggu dan akibatnya kelenjar tiroid pun akan terganggu. Hipotiroidisme menyebabkan kecepatan metabolisme karbohidrat dan lemak menurun, hal ini akan menyebabkan obesitas (Gunawan, 2008).

2. Eksternal

a. Gaya hidup atau tingkah laku

Kemajuan teknolgi, seperti adanya kenderaan bermotor, lift dan lain sebagainya dapat memicu terjadinya obesitas karena kurangnya aktivitas fisik yang dilakukan oleh seseorang. Gaya hidup yang seperti ini yang meningkatkan resiko obesitas, selain itu mengkonsumsi makanan junk food juga dapat menyebabkan obesitas karena pada umumnya berkalori tinggi (Hermawan, 2008).


(14)

b. Lingkungan dan faktor lain

Faktor sosial dan ekonomi juga berpengaruh terhadap kejadian obesitas. Pada masyarakat menegah ke bawah, obesitas sangat identik dengan makmur. Namun, pada masyarakat modern, obesitas adalah hal yang harus dihindari (Hermawan, 2008).

2.2.3. Tipe Obesitas

Obesitas berhubungan erat dengan distribusi lemak tubuh. Tipe obesitas menurut pola distribusi lemak tubuh dapat dibedakan menjadi obesitas tubuh bagian atas dan obesitas tubuh bagian bawah.

1. Obesity bagian atas

Obesitas tubuh bagian atas merupakan dominasi penimbunan lemak tubuh di truncal. Terdapat beberapa kompartemen jaringan lemak pada truncal, yaitu truncal subcutaneus yang merupakan kompartemen paling umum, intraperitoneal (abdominal), dan retroperitoneal. Obesitas tubuh bagian atas lebih banyak di dapatkan pada pria, oleh karena itu tipe obesitas ini lebih dikenal sebagai android obesity. Tipe obesitas ini berhubungan lebih kuat dengan diabetes, hipertensi, dan penyakit kardiovaskuler dari pada obesitas tubuh bagian bawah (Sugondo, 2007).

2. Obesitas bagian bawah

Obesitas tubuh bagian bawah merupakan suatu keadaan tingginya akumulasi lemak tubuh pada regio gluteofemoral. Tipe obsitas ini lebih banyak terjadi pada wanita sehingga sering disebut gynoid obesity. Tipe obesitas ini berhubungan erat dengan gangguan menstruasi pada wanita (Sugondo, 2007).

2.2.4. Dampak Obesitas


(15)

Ini terjadi karena resistensi insulin. Simpanan adiposa yang tinggi pada orang gemuk mengaktifkan paling tidak salah satu enzim, yaitu lipoprotein lipase yang meningkatkan konsentrasi asam lemak bebas dalam darah. Konsentrasi tinggi asam lemak bebas menstimulasi pelepasan sitokin seperti TNF-α (tumor necrosis factor-alpha) yang memicu resistensi insulin sehingga kadar glukosa darah meningkat. Orang gemuk dengan BMI diatas 25, tiap peningkatan BMI 1 angka mempunyai kecenderungan menjadi diabetes melitus sebesar 25%. Dengan bertambahnya ukuran lingkaran perut dan panggul, terutama pada obesitas tipe sentral atau android, dapat menimbulkan resistensi insulin (Mambo, 2008).

2. Hipertensi

Lebih dari 75% kasus hipertensi berhubungan langsung dengan obesitas. Mekanisme penyebab utama terjadinya hipertensi pada obesitas diduga berhubungan dengan kenaikan volume tubuh, peningkatan curah jantung, dan menurunnya resistensi vaskuler sistemik (Mambo, 2008).

3. Penyakit jantung koroner

Obesitas dapat menyebabkan penyakit jantung koroner melalui berbagai cara, yaitu dengan cara perubahan lipid darah, yaitu peningkatan kadar kolesterol darah, kadar LDL kolesterol meningkat, penurunan kadar HDL kolesterol dan hipertensi (Robbin, 1999).

4. Stroke

Seiring dengan meningkatnya tekanan darah, gula, lemak darah, maka orang obesitas sangat mudah terserang stroke. Ini dikarenakan adanya sumbatan pada pembuluh darah yang disebabkan oleh lemak yang mengendap di pembuluh darah sehingga menyebabkan hipertensi, dan jika tidak diobati akan mengakibatkan kerusakan pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan (Robbin, 1999).


(16)

Diantara para pasien yang menderita sleep apnea, sekitar 60% sampai 70% adalah orang yang menderita obesitas. Akibat kegemukan menyebabkan kesukaran bernafas terutama pada waktu tidur malam, keadaan yang berat dapat menimbulkan penurunan kesadaran sampai koma. Selama peristiwa sleep apnea, saluran pernafasan atas terhalang, menghambat atau menghentikan pernafasan dan menyebabkan kadar oksigen dalam darah berkurang dan meningkatkan tekanan darah. Orang tersebut harus segera dibangunkan dan kembali bernafas, sehingga kadar oksigen dalam darah dan aliran darah ke otak normal (Mambo, 2008).

6. Batu empedu

Terjadi karena hati menghasilkan kolesterol, yang merupakan lemak terlalu banyak dari pada asam-asam yang berfungsi sebagai pelarut, dan lecithin yang berfungsi sebagai pengemulsi antara lemak dan asam-asam empedu tersebut, sehingga beberapa kolesterol tersebut tidak larut dan membentuk partikel kolesterol yang akhirnya menjadi batu empedu. Pada obesitas dengan BMI diatas 30 didapatkan kecenderungan timbul batu empedu dua kali lipat dibandingkan dengan normal (Robbin, 1999).

7. Kanker payudara.

Wanita yang telah menopause lebih beresiko mengalami kanker payudara. Ini terjadi karena pada wanita menopause yang obesitas terjadi peningkatan estrogen yang dihasilkan dari jaringan lemak. Karena jaringan lemak terlalu banyak maka menghasilkan estrogen dalam jumlah yang besar sehingga berpengaruh terhadap kanker payudara (Mambo, 2008).

2.2.5. Manajemen obesitas

Terdapat bukti kuat bahwa penurunan berat badan pada individu obesitas dan overweight mengurangi faktor resiko diabetes dan penyakit kardiovaskular. Bukti kuat lainnya juga menunjukkan bahwa penurunan berat badan dapat menurunkan tekanan darah pada individu overweight normotensi dan hipertensi, mengurangi


(17)

serum trigliserida, dan meningkatkan kolesterol HDL, dan secara umum mengakibatkan pengurangan pada kolesterol serum total dan kolesterol LDL. Penurunan berat badan juga dapat mengurangi kadar glukosa darah (Sugondo, 2007). Terapi penurunan berat badan yang sukses meliputi empat pilar, yaitu diet rendah kalori, aktivitas fisik, perubahan perilaku, dan obat-obatan/bedah.

Tujuan penurunan berat badan :

Penurunan berat badan harus SMART : spesific, measurable, achievable, realistic and time limited. Tujuan awal dari terapi penurunan berat badan adalah untuk mengurangi berat badan sebesar sekitar 10 persen dari berat badan awal. Batas waktu yang masuk akal untuk penurunan berat badan sebesar 10 % adalah 6 bulan terapi. Setelah 6 bulan, kecepatan penurunan berat badan lazimnya akan melambat dan berat badan menetap karena seiring dengan berat badan yang berkurang terjadi penurunan energi ekspenditure (Sugondo, 2007).

1. Terapi diet

Pada program manajemen berat badan, terapi diet direncanakan berdasarkan individu. Terapi diet ini harus dimasukkan ke dalam status pasien overweight. Hal ini bertujuan untuk membuat defisit 500 hingga 1000 kcal/hari menjadi bagian yang tak terpisahkan dari program penurunan berat badan apapun (Sugondo, 2007).

Sebelum menganjurkan defisit kalori sebesar 500 hingga 1000 kcal/hari sebaiknya diukur kebutuhan energi basal terlebih dahulu, dengan menggunakan rumus dari

Harris-Benedict: Laki-laki:

BBE = 66,5+(13,75x kg)+(5,003x cm)-(6,775x age) Wanita:


(18)

Kebutuhan kalori total sama dengan BBE dikali dengan jumlah faktor stres dan aktivitas. Faktor stres ditambah aktivitas berkisar dari 1,2 sampai lebih dari 2. Disamping pengurangan lemak jenuh, total lemak seharusnya kurang dan sama dengan 30% dari total kalori (Sugondo, 2007).

2. Aktivitas Fisik

Peningkatan aktivitas fisik merupakan komponen penting dari program penurunan berat badan. Aktivitas fisik yang lama sangat membantu pada pencegahan peningkatan berat badan. Keuntungan tambahan aktivitas fisik adalah terjadi pengurangan resiko kardiovaskular dan diabetes lebih banyak dibandingkan dengan pengurangan berat badan tanpa aktivitas fisik saja.

Untuk pasien obese, terapi harus dimulai secara perlahan dan intensitasnya sebaiknya ditingkatkan secara bertahap. Latihan dapat dilakukan seluruhnya pada satu saat atau secara bertahap sepanjang hari (Sugondo, 2007).

Pasien dapat memulai aktivitas fisik dengan berjalan selama 30 menit dengan jangka waktu 3 kali seminggu dan dapat ditingkatkan intensitasnya selama 45 menit dengan jangka waktu 5 kali seminggu. Dengan regimen ini, pengeluaran energi tambahan sebanyak 100 sampai 200 kalori perhari dapat dicapai. Strategi lain untuk meningkatkan aktivitas fisik adalah megurangi waktu santai dengan cara melakukan aktivitas fisik rutin lain dengan resiko cedera rendah (Sugondo, 2007).

3. Terapi Perilaku

Strategi yang spesifik meliputi pengawasan mandiri terhadap kebiasaan makan dan aktivitas fisik, manajemen stress, stimulus control, pemecahan masalah, contigency management, cognitive restructuring dan dukungan sosial (Sugondo, 2007).


(19)

4. Farmakoterapi

Farmakoterapi merupakan salah satu komponen penting dalam program manajemen berat badan. Sibutramine dan orlistat merupakan obat-obatan penurunan berat badan yang disetujui oleh FDA di amerika serikat, untuk penggunaan jangka panjang. Pada pasien dengan indikasi obesitas, sibutramine dan orlistat sangat berguna.

Sibutramine ditambah diet rendah kalori dan aktivitas fisik terbukti efektif menurunkan berat badan dan mempertahankannya. Dengan pemberian sibutramine dapat muncul peningkatan tekanan darahndan denyut jantung. Sibutramine sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan riwayat hipertensi, penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, aritmia atau riwayat stroke.

Orlistat menghambat absorpsi lemak sebanyak 30%. Dengan pemberian orlistat, dibutuhkan penggantian vitamin larut lemak karena terjadi malabsorpsi parsial. Semua pasien harus dipantau untuk efek samping yang timbul (Sugondo, 2007).

5. Terapi Bedah

Terapi bedah merupakan salah satu pilihan untuk menurunkan berat badan. Terapi ini hanya diberikan kepada pasien obesitas berat secara klinis dengan BMI ≥ 40 atau ≥ 35 dengan kondisi komorbid. Terapi bedah ini harus dilakukan sebagai alternatif terakhir untuk pasien yang gagal dengan farmakoterapi dan menderita komplikasi obesitas yang ekstrem (Sugondo, 2007).

Bedah gastointestinal (restriksi gastrik [banding vertical gastric] atau bypass gastric [roux-en Y] ) adalah suatu intervensi penurunan berat badan pada subyek yang bermotivasi dengan resiko operasi yang rendah (Sugondo, 2007).


(20)

2.3. Obesitas dan hipertensi

Beberapa penelitian epidemiologi telah membuktikan adanya hubungan yang linear antara obesitas dan hipertensi, hubungan kausalnya belum dapat diketahui dengan pasti, namun dalam pengamatan selanjutnya apabila penderita obesitas diturunkan berat badannya maka tekanan darahnya juga akan turun, oleh karena itu timbul beberapa teori yang dikemukakan mengenai adanya hubungan tersebut, diantaranya yaitu :

1. Mekanisme hemodinamik

Alexander dalam penelitiannya mendapatkan peningkatan volume darah sekuncup dan volume darah pada penderita obesitas dibandingkan dengan yang bukan obesitas. Juga terdapat peningkatan tahanan perifer pembuluh darah penderita obesitas bila dibandingkan dengan penderita yang bukan obesitas. Sehingga timbul pendapat bahwa peningkatan volume sekuncup, volume darah, tahanan perifer memegang peranan penting dalam terjadinya hipertensi pada obesitas (Tagor, 1996).

2. Aktivitas saraf simpatis

James, dkk menemukan pada penderita wanita obesitas yang diturunkan berat badannya ternyata terjadi juga penurunan tekanan darah dan denyut jantung serta pada pemeriksaan urinnya terdapat peningkatan sisa-sisa metabolisme katekolamin yaitu 4 hidroksi-3metoksi mandelikasid, sehingga timbul pendapat bahwa peningkatan katekolamin merupakan akibat dari peningkatan aktivitas saraf simpatis (Hermawan, 1991).

3. Endokrin

Miller, dkk dalam penelitiannya mendapatkan adanya peningkatan kadar insulin dan aldosteron dalam plasma penderita obesitas. Aldosteron akan mengurangi ekskresi Na dalam glomeruli, begitu juga insulin pada percobaan binatang dengan jelas mengurangi sekresi Na dalam glomeruli. Sehingga adanya peningkatan insulin dan aldosteron akan menyebabkan retensi Na dalam darah yang


(21)

mengakibatkan terjadinya peningkatan volume darah, yang menyebabkan hipertensi (Wolf, 2004).


(1)

Diantara para pasien yang menderita sleep apnea, sekitar 60% sampai 70% adalah orang yang menderita obesitas. Akibat kegemukan menyebabkan kesukaran bernafas terutama pada waktu tidur malam, keadaan yang berat dapat menimbulkan penurunan kesadaran sampai koma. Selama peristiwa sleep apnea, saluran pernafasan atas terhalang, menghambat atau menghentikan pernafasan dan menyebabkan kadar oksigen dalam darah berkurang dan meningkatkan tekanan darah. Orang tersebut harus segera dibangunkan dan kembali bernafas, sehingga kadar oksigen dalam darah dan aliran darah ke otak normal(Mambo, 2008).

6. Batu empedu

Terjadi karena hati menghasilkan kolesterol, yang merupakan lemak terlalu banyak dari pada asam-asam yang berfungsi sebagai pelarut, dan lecithin yang berfungsi sebagai pengemulsi antara lemak dan asam-asam empedu tersebut, sehingga beberapa kolesterol tersebut tidak larut dan membentuk partikel kolesterol yang akhirnya menjadi batu empedu. Pada obesitas dengan BMI diatas 30 didapatkan kecenderungan timbul batu empedu dua kali lipat dibandingkan dengan normal(Robbin, 1999).

7. Kanker payudara.

Wanita yang telah menopause lebih beresiko mengalami kanker payudara. Ini terjadi karena pada wanita menopause yang obesitas terjadi peningkatan estrogen yang dihasilkan dari jaringan lemak. Karena jaringan lemak terlalu banyak maka menghasilkan estrogen dalam jumlah yang besar sehingga berpengaruh terhadap kanker payudara(Mambo, 2008).

2.2.5. Manajemen obesitas

Terdapat bukti kuat bahwa penurunan berat badan pada individu obesitas dan overweight mengurangi faktor resiko diabetes dan penyakit kardiovaskular. Bukti kuat lainnya juga menunjukkan bahwa penurunan berat badan dapat menurunkan tekanan darah pada individu overweight normotensi dan hipertensi, mengurangi


(2)

serum trigliserida, dan meningkatkan kolesterol HDL, dan secara umum mengakibatkan pengurangan pada kolesterol serum total dan kolesterol LDL. Penurunan berat badan juga dapat mengurangi kadar glukosa darah (Sugondo, 2007). Terapi penurunan berat badan yang sukses meliputi empat pilar, yaitu diet rendah kalori, aktivitas fisik, perubahan perilaku, dan obat-obatan/bedah.

Tujuan penurunan berat badan :

Penurunan berat badan harus SMART : spesific, measurable, achievable, realistic and time limited. Tujuan awal dari terapi penurunan berat badan adalah untuk mengurangi berat badan sebesar sekitar 10 persen dari berat badan awal. Batas waktu yang masuk akal untuk penurunan berat badan sebesar 10 % adalah 6 bulan terapi. Setelah 6 bulan, kecepatan penurunan berat badan lazimnya akan melambat dan berat badan menetap karena seiring dengan berat badan yang berkurang terjadi penurunan energi ekspenditure(Sugondo, 2007).

1. Terapi diet

Pada program manajemen berat badan, terapi diet direncanakan berdasarkan individu. Terapi diet ini harus dimasukkan ke dalam status pasien overweight. Hal ini bertujuan untuk membuat defisit 500 hingga 1000 kcal/hari menjadi bagian yang tak terpisahkan dari program penurunan berat badan apapun (Sugondo, 2007).

Sebelum menganjurkan defisit kalori sebesar 500 hingga 1000 kcal/hari sebaiknya diukur kebutuhan energi basal terlebih dahulu, dengan menggunakan rumus dari

Harris-Benedict: Laki-laki:

BBE = 66,5+(13,75x kg)+(5,003x cm)-(6,775x age) Wanita:


(3)

Kebutuhan kalori total sama dengan BBE dikali dengan jumlah faktor stres dan aktivitas. Faktor stres ditambah aktivitas berkisar dari 1,2 sampai lebih dari 2. Disamping pengurangan lemak jenuh, total lemak seharusnya kurang dan sama dengan 30% dari total kalori(Sugondo, 2007).

2. Aktivitas Fisik

Peningkatan aktivitas fisik merupakan komponen penting dari program penurunan berat badan. Aktivitas fisik yang lama sangat membantu pada pencegahan peningkatan berat badan. Keuntungan tambahan aktivitas fisik adalah terjadi pengurangan resiko kardiovaskular dan diabetes lebih banyak dibandingkan dengan pengurangan berat badan tanpa aktivitas fisik saja.

Untuk pasien obese, terapi harus dimulai secara perlahan dan intensitasnya sebaiknya ditingkatkan secara bertahap. Latihan dapat dilakukan seluruhnya pada satu saat atau secara bertahap sepanjang hari(Sugondo, 2007).

Pasien dapat memulai aktivitas fisik dengan berjalan selama 30 menit dengan jangka waktu 3 kali seminggu dan dapat ditingkatkan intensitasnya selama 45 menit dengan jangka waktu 5 kali seminggu. Dengan regimen ini, pengeluaran energi tambahan sebanyak 100 sampai 200 kalori perhari dapat dicapai. Strategi lain untuk meningkatkan aktivitas fisik adalah megurangi waktu santai dengan cara melakukan aktivitas fisik rutin lain dengan resiko cedera rendah (Sugondo, 2007).

3. Terapi Perilaku

Strategi yang spesifik meliputi pengawasan mandiri terhadap kebiasaan makan dan aktivitas fisik, manajemen stress, stimulus control, pemecahan masalah, contigency management, cognitive restructuring dan dukungan sosial (Sugondo, 2007).


(4)

4. Farmakoterapi

Farmakoterapi merupakan salah satu komponen penting dalam program manajemen berat badan. Sibutramine dan orlistat merupakan obat-obatan penurunan berat badan yang disetujui oleh FDA di amerika serikat, untuk penggunaan jangka panjang. Pada pasien dengan indikasi obesitas, sibutramine dan orlistat sangat berguna.

Sibutramine ditambah diet rendah kalori dan aktivitas fisik terbukti efektif menurunkan berat badan dan mempertahankannya. Dengan pemberian sibutramine dapat muncul peningkatan tekanan darahndan denyut jantung. Sibutramine sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan riwayat hipertensi, penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, aritmia atau riwayat stroke.

Orlistat menghambat absorpsi lemak sebanyak 30%. Dengan pemberian orlistat, dibutuhkan penggantian vitamin larut lemak karena terjadi malabsorpsi parsial. Semua pasien harus dipantau untuk efek samping yang timbul(Sugondo, 2007).

5. Terapi Bedah

Terapi bedah merupakan salah satu pilihan untuk menurunkan berat badan. Terapi ini hanya diberikan kepada pasien obesitas berat secara klinis dengan BMI ≥ 40 atau ≥ 35 dengan kondisi komorbid. Terapi bedah ini harus dilakukan sebagai alternatif terakhir untuk pasien yang gagal dengan farmakoterapi dan menderita komplikasi obesitas yang ekstrem(Sugondo, 2007).

Bedah gastointestinal (restriksi gastrik [banding vertical gastric] atau bypass gastric [roux-en Y] ) adalah suatu intervensi penurunan berat badan pada subyek yang bermotivasi dengan resiko operasi yang rendah(Sugondo, 2007).


(5)

2.3. Obesitas dan hipertensi

Beberapa penelitian epidemiologi telah membuktikan adanya hubungan yang linear antara obesitas dan hipertensi, hubungan kausalnya belum dapat diketahui dengan pasti, namun dalam pengamatan selanjutnya apabila penderita obesitas diturunkan berat badannya maka tekanan darahnya juga akan turun, oleh karena itu timbul beberapa teori yang dikemukakan mengenai adanya hubungan tersebut, diantaranya yaitu :

1. Mekanisme hemodinamik

Alexander dalam penelitiannya mendapatkan peningkatan volume darah sekuncup dan volume darah pada penderita obesitas dibandingkan dengan yang bukan obesitas. Juga terdapat peningkatan tahanan perifer pembuluh darah penderita obesitas bila dibandingkan dengan penderita yang bukan obesitas. Sehingga timbul pendapat bahwa peningkatan volume sekuncup, volume darah, tahanan perifer memegang peranan penting dalam terjadinya hipertensi pada obesitas (Tagor, 1996).

2. Aktivitas saraf simpatis

James, dkk menemukan pada penderita wanita obesitas yang diturunkan berat badannya ternyata terjadi juga penurunan tekanan darah dan denyut jantung serta pada pemeriksaan urinnya terdapat peningkatan sisa-sisa metabolisme katekolamin yaitu 4 hidroksi-3metoksi mandelikasid, sehingga timbul pendapat bahwa peningkatan katekolamin merupakan akibat dari peningkatan aktivitas saraf simpatis (Hermawan, 1991).

3. Endokrin

Miller, dkk dalam penelitiannya mendapatkan adanya peningkatan kadar insulin dan aldosteron dalam plasma penderita obesitas. Aldosteron akan mengurangi ekskresi Na dalam glomeruli, begitu juga insulin pada percobaan binatang dengan jelas mengurangi sekresi Na dalam glomeruli. Sehingga adanya peningkatan insulin dan aldosteron akan menyebabkan retensi Na dalam darah yang


(6)

mengakibatkan terjadinya peningkatan volume darah, yang menyebabkan hipertensi (Wolf, 2004).