PERKEMBANGAN PERWATAKAN TOKOH UTAMA ROMAN LA CONSOLANTE KARYA ANNA GAVALDA (KAJIAN PSIKOANALISIS).

(1)

PERKEMBANGAN PERWATAKAN TOKOH UTAMA ROMAN LA CONSOLANTE KARYA ANNA GAVALDA

(KAJIAN PSIKOANALISIS)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh : Resti Suryati 10204241018

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA PRANCIS FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA JUNI 2014


(2)

(3)

(4)

(5)

v

MOTTO

Hidup dan segala yang dimiliki dan dihadapi adalah amanah dar i Allah SW T dan saya dilar ang untuk kehilangan keper cayaan dar i Allah SW T

(Resti Sur yati).

Bila Anda belum menemukan peker jaan yang sesuai dengan bakat Anda, bakatilah peker jaan Anda sekar ang. M aka Anda akan tampil secemer lang

yang ber bakat (Anonim).


(6)

vi

Untuk jantung dan nadiku, yang tercinta ibu Untuk nyawa dan nafasku, yang terkasih ibu

Untuk kesempurnaan dan kebahagiaanku, yang terutama ibu Untuk kebesaran hati dan keikhlasanku, yang teristimewa bapak


(7)

vii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya sampaikan ke hadirat Allah Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Berkat rahmat, hidayah dan inayah-Nya akhirnya saya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perkembangan Perwatakan Tokoh Utama Roman La Consolante Karya Anna Gavalda (Kajian Psikoanalisis)” untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar sarjana.

Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan karena bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, saya menyampaikan terima kasih kepada Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, Dekan Fakultas Bahasa dan Seni, dan Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa Prancis yang telah memberikan kesempatan dan berbagai kemudahan kepada saya.

Rasa hormat, terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya saya sampaikan kepada pembimbing, yaitu Dra. Alice Armini, M.Hum. yang dengan penuh kesabaran, kearifan dan kebijaksanaan telah memberikan bimbingan, arahan dan dorongan yang tidak henti-hentinya di sela-sela kesibukannya.

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada seluruh dosen dan staff jurusan Pendidikan Bahasa Prancis FBS UNY, kepada teman sejawat Afidah, Adelia, Yulia, Dama, Nurul, Farida, teman-teman Camouflage Fari, Swastika, Sanggar, Ari, Anis, Hamdan, Mas Yudi, Hanifa, Dora, Eva dan lainnya, mbak Eka, kepada sahabat dan teman-teman di Jurusan Pendidikan Bahasa Prancis serta semua pihak yang telah memberikan dukungan moral, bantuan dan dorongan kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan studi dengan baik.

Tidak lupa ucapan terima kasih saya haturkan tiada henti kepada orang tua dan keluarga yang selalu mencurahkan kasih sayang, semangat dan doanya kepada saya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.


(8)

(9)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ...ii

HALAMAN PENGESAHAN...iii

HALAMAN PERNYATAAN...iv

MOTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ...vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR TABEL ...xi

DAFTAR GAMBAR ...xii

DAFTAR LAMPIRAN ...xiii

ABSTRAK ...xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Batasan Masalah... 5

D. Rumusan Masalah ... 6

E. Tujuan Penelitian... 6

F. Manfaat Penelitian... 7

BAB II KAJIAN TEORI A. Roman sebagai Sebuah Karya Sastra... 8

B. Analisis Struktural... 9

1. Alur... 11

2. Penokohan ... 18

3. Latar ... 20

4. Tema... 22

C. Keterkaitan Antarunsur Intrinsik dalam Karya Sastra ... 23


(10)

x

C. Inferensi... 40

D. Teknik Analisis Data ... 40

E. Validitas dan Reliabilitas ... 41

BAB IV ANALISIS STRUKTURAL ROMAN LA CONSOLANTE KARYA ANNA GAVALDA A. Wujud Alur, Penokohan, Latar dan Tema dalam Roman La Consolante Karya Anna Gavalda 1. Alur ... 43

2. Penokohan ... 58

3. Latar ... 76

4. Tema... 87

B. Wujud Keterkaitan antara Alur, Penokohan, Latar dan Tema dalam Roman La Consolante Karya Anna Gavalda ... 88

BAB V PERKEMBANGAN PERWATAKAN TOKOH UTAMA ROMAN LA CONSOLANTE KARYA ANNA GAVALDA A. Perkembangan Perwatakan Tokoh Utama Roman La Consolante Karya Anna Gavalda ... 91

BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan... 111

B. Implikasi... 113

C. Saran... 114

DAFTAR PUSTAKA ... 115


(11)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Tahap Penceritaan dalam Roman La Consolante


(12)

xii

Gambar 2: Bagan Alur Roman La Consolante Karya Anna Gavalda ... 54 Gambar 3 : Skema Aktan Roman La Consolante Karya Anna Gavalda ... 55


(13)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampran 1: Sekuen Roman La Consolante Karya Anna Gavalda... 119 Lamipran 2: Résumé ... 126


(14)

xiv

10204241018 Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mendeskripsikan wujud unsur-unsur intrinsik roman berupa alur, penokohan, latar dan tema, (2) mendeskripsikan wujud keterkaitan antarunsur berupa alur, penokohan, latar dan tema, dan (3) mendeskripsikan wujud perkembangan perwatakan tokoh utama roman La Consolante karya Anna Gavalda.

Subjek dalam penelitian ini adalah roman La Consolante karya Anna Gavalda yang terbit pada tahun 2008. Objek penelitian ini adalah : (1) wujud unsur intrinsik roman berupa alur, penokohan, latar dan tema, (2) wujud keterkaitan antarunsur intrinsik roman dan (3) wujud perkembangan perwatakan tokoh utama roman La Consolante tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif-kualitatif dengan teknik analisis konten. Sedangkan validitas data diperoleh dengan validitas semantik dan reliabilitas yang digunakan adalah reliabilitas intra-rater, yaitu dengan pembacaan dan penafsiran teks roman La Consolante karya Anna Gavalda dan didukung dengan teknik expert judgement.

Hasil penelitian terhadap roman La Consolante menunjukkan bahwa (1) roman La Consolante karya Anna Gavalda memiliki alur cerita campuran dan memiliki akhir yang bahagia. Tokoh utama dalam roman ini adalah Charles Balanda, sedangkan tokoh tambahannya adalah Anouk, Kate, Claire dan Laurence. Cerita diceritakan dengan dominasi latar di Paris, berlangsung selama kurang lebih 9 bulan, yaitu mulai awal musim dingin hingga musim panas. Latar sosial yang ditunjukkan dalam roman adalah adanya kebebasan individu dan cerminan kehidupan masyarakat modern kelas menengah ke atas. (2) unsur-unsur tersebut saling berkaitan dan diikat oleh tema dalam mewujudkan cerita. Tema utama roman La Consolante karya Anna Gavalda adalah kasih saying. Kasih sayang tersebut hadir sebagai pengisi hati dan kehidupan, juga menjadi pelipur atas lara yang dialami oleh seorang lelaki karena kurangnya kasih sayang dari wanita dalam hidupnya, dan (3) wujud perwatakan tokoh utama yang dinyatakan tidak sehat karena id, ego dan superego Charles tidak seimbang dan menyebabkan perubahan tingkah laku berupa Oedipus Complex yang melekat kuat dan menghasilkan ketidakseimbangan kejiwaan yang berlanjut dan menimbulkan kekacauan dalam diri dan lingkungannya.


(15)

xv

LE DÉVELOPPEMENT CARACTÈRIEL DU PERSONNAGE PRINCIPAL

DE ROMAN LA CONSOLANTED’ANNA GAVALDA

(L’APPROCHE PSYCHANALITIQUE) Par :

Resti Suryati 10204241018

Extrait

Les buts de cette recherche sont: (1) de décrire les éléments intrinsèques du roman sous forme de l’intrigue, de personnage, d’espace et de thème, (2) de décrire la relation parmi les éléments intrinsèques du roman, et (3) de décrire le développement de caractère du personnage principal de roman La Consolanted’Anna Gavalda.

Le sujet de cette recherche est le roman La Consolante d’Anna Gavalda publié en 2008. Les objets de cette étude sont : (1) les éléments intrinsèques qui forment l’histoire de ce roman sous forme de l’intrigue, de personnage, d’espace et de thème, (2) la relation parmi ces éléments intrinsèques et (3) le développement de caractère du personnage principal de roman. La méthode utilisée dans cette recherche est la méthode descriptive-qualitative avec la technique d’analyse du contenu. La validité se fonde sur la validité sémantique. Alors que la fiabilité est examinée par la lecture et par l’interprétation du roman et la fiabilité du jugement d’expertise.

Le résultat de cette recherche montre que (1) roman La Consolante a une intrigue progressive et aussi régressive. Ce roman se termine par la fin heureuse. Le personnage principal de ce roman est Charles Balanda, tandis que les personnages supplémentaires sont Anouk, Kate, Claire et Laurence. L’histoire se déroule à Paris en particulier et pendant 9 mois, depuis le début de l’hiver jusqu’à l’été. Le cadre social montre dans ce roman est l’existence de libéralisme et la vie d’une communauté bourgeoise à Paris, (2) ces éléments intrinsèques s’enchainent pour former une unité textuelle liée par le thème. Alors que le thème majeur de ce roman est l’affection qui présente comme une console dans la vie, et (3) les caractères de Charles qui a des instabilités de ça, de moi et de surmoi, qui provoquent l’apparition d’Oedipus Complex, des instabilités psychologiques et des bouleversements dans la vie de Charles.


(16)

1

Karya sastra adalah suatu hasil ciptaan manusia yang memiliki berbagai macam fungsinya, dihasilkan dari proses kerja yang bersifat seni (Auzou, 2008: 1562). Minderop menambahkan dalam bukunya (2010: 55) bahwa karya sastra merupakan kreasi dari suatu proses kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah sadar dan dituangkan ke dalam bentuk sadar. Ia juga menyatakan bahwa sebuah karya sastra menampilkan berbagai watak tokoh, baik imajinatif maupun réel, dan menampilkan berbagai problem psikologis. Milner (via Apsanti, 1992: 19) juga mengemukakan bahwa banyak psikiater yang menggunakan karya sastra untuk mengambil berbagai contoh keadaan yang tidak sehat.

Berdasarkan kutipan yang terdapat pada paragraf pertama di atas dapat disimpulkan bahwa karya sastra adalah suatu karya ciptaan manusia, hasil dari proses seni dan kreativitas, dibuat untuk mengungkapkan ide, gagasan, atau permasalahan kejiwaan yang disajikan oleh pengarang kepada pembacanya. Di sini terlihat bahwa karya sastra menggambarkan sesuatu yang terjadi dalam kehidupan, kaitannya dengan kejiwaan seorang manusia baik nyata maupun imajnasi.

Secara umum, karya sastra dibedakan dalam tiga jenis, yaitu prosa, puisi, dan teks drama. Salah satu karya yang termasuk dalam prosa adalah roman. Dalam kamus Le Petit Larousse Illustré (1994 : 898) dinyatakan bahwa


(17)

2

Roman est œuvre littéraire, récit en prose génés, assez long dont l’intérêt est dans la narration d’aventure, l’étude de mœurs ou de caractères, l’analyse de sentiments ou de passions, la représentation, objective ou subjective du réel.

Kutipan di atas menyatakan bahwa roman adalah sebuah karya sastra yang berupa prosa, panjangnya cukupan yang menitikberatkan pada cerita-cerita petualangan, pembahasan tentang adat istiadat atau berbagai karakter, uraian terhadap perasaan atau gairah, perwujudan, baik secara objektif atau subjektif tentang sebuah kenyataan.

Karya sastra, khususnya roman, yang dijadikan subjek kajian dalam penelitian ini adalah roman La Consolante karya Anna Gavalda yang diterbitkan pada tahun 2008. Roman ini menceritakan kisah tokoh Charles Balanda yang berkelana mencari kesembuhan atas kekalutan hatinya akibat kematian tokoh Anouk, ibu dari sahabat lamanya bernama Alexis. Charles mengalami kekacauan dalam hati dan kehidupannya setelah menerima berita kematian Anouk, wanita yang usianya 20 tahun lebih tua darinya. Dalam perjalanannya, Charles menemukan berbagai kenyataan dan pengakuan yang semakin membuatnya terpukul, namun hal tersebut justru mengantarkannya menemukan seorang wanita yang juga merupakan pelabuhan cintanya.

La Consolante adalah salah satu roman karya Anna Gavalda yang diterbitkan pada tahun 2008. Roman La Consolante ini diterbitkan dengan jumlah 655.000 eksemplar di tahun 2008 dan diterbitkan pula di Spanyol. Roman ini menyajikan sebuah gaya yang konsisten. Artinya, pengarang dalam karyanya memadukan gaya humoris dengan sebuah kesederhanaan


(18)

dan berbagai sisi kelembutan (http://www.aufeminin.com/portraits-de-femmes/anna-gavalda-d48638.html. Diakses pada tanggal 12 Maret 2014 pukul 14.35 WIB).

Anna Gavalda adalah seorang penulis berkebangsaan Prancis yang lahir pada tanggal 9 Desember tahun 1970. Sebelum menjadi seorang penulis yang terkenal, Anna Gavalda merupakan seorang guru di salah satu sekolah menengah Seine et Marne. Anna Gavalda merupakan seorang mahasiswa yang lulusan dari salah satu Universitas ternama, yakni Universitas Sorbonne (www.decitre.fr/auteur/271196/Anna+Gavalda/) Kegemarannya dalam menulis juga dituangkan dalam beberapa karyanya seperti Je voudrais que quelqu’un m’attende quelque part, Je l’aimais, Ensemble C’est tout, L’Échappée belle dan La Consolante. Karya-karya Anna Gavalda ini mendapatkan sukses yang besar, bahkan karyanya yang berjudul Je voudrais que quelqu’un m’attende quelque part juga diterjemahkan ke dalam 27 bahasa dan berhasil mendapatkan penghargaan Grand Prix RTL, serta menempatkannya sebagai salah satu penulis wanita yang terkenal karena karya-karyanya(http://www.aufeminin.com/portraits-de-femmes/anna-gavalda-d48638.html. Diakses pada tanggal 12 Maret 2014 pukul 14.35 WIB).

Dalam proses pengkajian fiksi, pengkajian unsur-unsur pembangun karya merupakan hal utama yang harus dilakukan. Hal ini serupa dengan yang dikemukakan oleh Barthes dalam bukunya (1981: 8-9) bahwa untuk mengupas cerita, terlebih dahulu dilakukan analisis terhadap berbagai


(19)

4

kesatuan yang membangun cerita tersebut. Analisis terhadap kesatuan pembangun cerita inilah yang pertama kali dilakukan oleh peneliti sastra.

Analisis pembangun cerita tersebut dilakukan agar makna dari karya tersebut dapat ditangkap secara baik. Unsur-unsur pembangun roman diantaranya adalah alur, penokohan, latar, tema, sudut pandang, gaya bahasa, amanat dan sebagainya. Namun, pada penelitian ini, pengkajian terhadap unsur intrinsik roman dibatasi pada alur, penokohan, latar dan tema dan digunakan analisis strukturalisme Roland Barthes dengan buku yang berjudul Communications8 L’analyse structurale du récit yang terbit pada tahun 1981.

Adapun salah satu unsur pembangun karya sastra adalah tokoh. Nurgiyantoro (2012: 164) mengemukakan bahwa ketika berbicara mengenai tokoh, pastilah berhubungan dengan perwatakan dan berbagai citra diri. Oleh karena itu, penelitian akan dilanjutkan dengan mengkaji perwatakan tokoh, terutama tokoh utama dengan menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud, sebab tokoh utama lah yang paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain (Nurgiyantoro, 2012: 177). Selain itu, dalam roman La Consolnate ini tokoh utama pula lah yang dianggap menyimpang menurut teori psikologi. Oleh sebab itu, pengkajian ini dilakukan untuk mencermati dan meneliti hubungan antarsatuan yang membangun roman. Serta aspek penokohan, berupa perkembangan perwatakan tokoh utama dan tokoh-tokoh lain yang mempengaruhi


(20)

perkembangan perwatakan tersebut, sehingga dapat memudahkan pembacaan dan pemahaman roman tersebut.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasikan beberapa masalah, yaitu :

1. Wujud alur, penokohan, latar dan tema dalam roman La Consolante karya Anna Gavalda.

2. Keterkaitan antarunsur instrinsik berupa alur, penokohan, latar dan tema dalam roman La Consolante karya Anna Gavalda.

3. Konflik yang terbangun dalam roman La Consolante karya Anna Gavalda.

4. Fungsi konflik dalam membangun alur dalam roman La Consolante karya Anna Gavalda.

5. Perkembangan perwatakan tokoh utama roman La Consolante karya Anna Gavalda.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, dapat diketahui bahwa masalah yang muncul begitu beragam. Oleh karena itu, penulis membatasi masalah yang akan dianalisis dalam penelitian, yaitu

1. Wujud alur, penokohan, latar dan tema dalam roman La Consolante karya Anna Gavalda.


(21)

6

2. Wujud keterkaitan antarunsur instrinsik berupa alur, penokohan, tema dan latar dalam roman La Consolante karya Anna Gavalda.

3. Wujud perkembangan perwatakan tokoh utama roman La Consolante karya Anna Gavalda.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah di atas, terdapat beberapa rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah wujud alur, penokohan, latar dan tema dalam roman La Consolante karya Anna Gavalda ?

2. Bagaimanakah wujud keterkaitan antara alur, penokohan, latar dan tema dalam roman La Consolante karya Anna Gavalda ?

3. Bagaimanakah wujud perkembangan perwatakan tokoh utama roman La Consolante karya Anna Gavalda ?

E. Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan wujud alur, penokohan, latar dan tema dalam roman La Consolante karya Anna Gavalda.

2. Mendeskripsikan wujud keterkaitan antara alur, penokohan, latar dan tema dalam roman La Consolante karya Anna Gavalda.

3. Mendeskripsikan wujud perkembangan perwatakan tokoh utama roman La Consolante karya Anna Gavalda.


(22)

F. Manfaat Penelitian

Penelitian sastra ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya, bagi para penikmat sastra, dan bagi para peneliti sastra lainnya. Dengan demikian, manfaat dari penelitian ini diantaranya adalah :

1. Penelitian ini dapat menambah khasanah penelitian sastra Prancis di Indonesia dan dapat digunakan sabagai perbandingan untuk penelitian yang serupa. Selain itu, dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat menginspirasi mahasiswa lain untuk meneliti karya sastra Prancis lainnya.

2. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca karya sastra bahasa Prancis untuk membantu dalam pemahaman dan meningkatkan apresiasi pembacaan karya sastra, khususnya karya-karya Anna Gavalda.


(23)

8 BAB II KAJIAN TEORI

A. Roman sebagai Sebuah Karya Sastra

Secara umum, karya sastra terdiri dari tiga jenis, yaitu prosa, puisi, dan teks drama. Terdapat berbagai bentuk prosa, puisi, maupun drama. Novel, cerita pendek, dongeng, biografi merupakan contoh karya sastra berjenis prosa. Roman juga merupakan karya sastra berjenis prosa. Menurut Auzou (2008 : 1868) roman adalah

ouvrage littéraire en prose, souvent assez long, et dont le sujet est généralement une fiction évoquant des aventures imaginaires ou inspirées de la réalité, et où sont analysés les sentiments, les mœurs, et les caractères

Roman adalah karya sastra berbentuk prosa, panjangnya cukupan, umumnya adalah cerita fiksi yang menyajikan berbagai peristiwa rekaan atau dapat juga terinspirasi dari kenyataan, dan tempat untuk diuraikannya berbagai perasaan, adat istiadat dan berbagai karakter. Diuraikan pula dalam Le Petit Larousse Illustré (1994 : 898) bahwa Roman est œuvre littéraire, récit en prose génés, assez long dont l’intêret est dans la narration d’aventure, l’étude de mœurs ou de caractères, l’analyse de sentiments ou de passions, la représentation, objective ou subjective du réel.

Roman adalah sebuah karya sastra, berupa prosa, panjangnya cukupan yang menitikberatkan pada cerita-cerita petualangan, pembahasan tentang adat istiadat atau berbagai karakter, uraian terhadap perasaan atau gairah, perwujudan, baik objektif atau subjektif tentang sebuah kenyataan.

Dari penjelasan di atas, roman adalah satu jenis karya sastra yang berbentuk prosa fiksi, menyajikan berbagai cerita, dan merupakan sebuah cerminan realita yang berfungsi untuk merefleksikan kehidupan nyata.


(24)

B. Analisis Struktural

Karya sastra, baik roman, puisi ataupun teks drama, adalah sebuah totalitas yang dibangun oleh berbagai unsur pembangunnya. Unsur pembangun atau struktur karya tersebut saling berhubungan dan saling terkait satu dengan yang lain membentuk suatu karya yang padu. Barthes (1981: 8-9) mengemukakan hal sebagai berikut

Pour décrire et classer l’infinité des récits, il faut donc une « théorie» (au sens pragmatique que l’on vient de dire), et c’est à la chercher, à l’esquisser qu’il faut d’abord travailler. L’élaboration de cette théorie peut être grandement facilitée si l’on se soumet dès l’abord à un modèle qui lui fournisse ses premiers termes et ses premiers principes. Dans l’état actuel de la recherche, il parait raisonnable de donner comme modèle fondateur à l’analyse structurale du récit, la linguistique elle-même.

Untuk menggambarkan dan mengelompokkan kesatuan dari berbagai cerita, diperlukan sebuah « teori » (seperti dalam arti pragmatik yang baru saja dibicarakan), untuk mencari dan mengupas isi cerita merupakan pekerjaan yang harus terlebih dulu dilakukan. Pengerjaan dalam teori ini dapat dilakukan jika kita sudah memiliki suatu model yang memberikan bentuk-bentuk dan prinsip-prinsip dasarnya. Dalam penelitian dewasa ini, adalah sangat beralasan untuk memberikan suatu model analisis struktural dengan penggunaan bahasa itu sendiri.

Strukturalisme adalah suatu pendekatan yang menitikberatkan pada kajian hubungan antarunsur atau struktur pembangun karya sastra. Hal ini juga dikemukanan Schmitt dan Viala dalam bukunya (1982: 21) bahwa‘’Le mot ‘’structure’’ désigne toute organisation d’éléments agencés entre eux. Les structures d’un texte sont nombreuses, de rang et de nature divers’’. Hal ini menunjukkan bahwa kata ‘’struktur’’ diperuntukkan bagi keseluruhan unsur yang tersusun dan berhubungan satu sama lain. Terdapat


(25)

10

berbagai struktur dalam sebuah teks, dari urutan, tingkatan dan juga asal yang berbeda-beda.

Menurut Auzou (2008: 2053) juga dikemukakan bahwa “structure est un agencement des divers éléments, des divers parties d’un tout”dengan kata lain bahwa struktur adalah susunan dari berbagai unsur dan dari berbagai bagian menjadi sebuah kesatuan.

Dijelaskan pula dalam Dictionnaire Encyclopédique AUZOU (2008: 2053) bahwa strukturalisme adalah

Méthode d’analyse de la langue en tant que système structure, compose d’éléments entretenant des rapports d’indépendance/ courant de pensée, qui, dans les sciences humaines, se propose d’analyser les faits, les phénomènes comme des éléments d’une structure.

Strukturalisme adalah suatu metode pengkajian bahasa, sebagai sebuah struktur yang terdiri dari unsur-unsur pembicaraan yang berhubungan dengan kemandirian atau kelaziman pemikiran, yang dalam dunia humaniora, bertujuan untuk menganalisis berbagai peristiwa sebagai unsur dalam sebuah struktur.

Unsur-unsur pembangun karya sastra terbagi menjadi dua hal, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Kedua unsur pembangun ini selalu ada dalam setiap karya sastra. Unsur intrinsik adalah unsur pembangun yang terdapat dalam karya sastra itu sendiri. Unsur ini muncul dan dapat dilihat ketika membaca karya sastra. Unsur intrinsik yang membangun sebuah roman adalah unsur-unsur yang turut serta dalam membangun cerita.

Dalam penelitian ini, analisis terhadap unsur intrinsik atau strukturalisme dibatasi pada unsur berupa alur, tokoh, latar dan tema.


(26)

Analisis terhadap unsur intrinsik adalah tugas pertama yang harus dilakukan peneliti sebelum mengkaji lebih dalam suatu karya.

1. Alur atau plot

Schmitt dan Viala dalam bukunya yang berjudul Savoir-lire (1982: 63) mengemukakan bahwa‘’la façon dont les personnages organisent leurs actes en vue d’emporter l’enjeu, la façon dont les faits s’enchainent à partir de là, forment l’intrigue du récit.’’ atau ‘’suatu cara yang dipakai untuk mengatur atau menata berbagai tindakan atau aksi para tokoh yang bertujuan untuk membawanya ke dalam tahapan cerita, juga suatu cara dimana berbagai peristiwa terjadi secara bertatutan satu dengan lainnya sehingga membentuk suatu alur dalam cerita.’’

Schmitt dan Viala (1982: 62) menyatakan bahwa alur adalah keseluruhan peristiwa yang dipaparkan dalam sebuah cerita yang terdiri dari aksi. Aksi-aksi dalam alur tersebut dapat berupa tindakan dari para tokoh, gambaran perasaan, gambaran keadaan, ataupun peristiwa.

Dalam plot, urutan peristiwa yang terjadi tidak serta merta hanya sebuah peristiwa. Namun, peristiwa-peristiwa tersebut memiliki hubungan kausalitas. Apa yang terjadi adalah akibat dari adanya peristiwa sebelumnya. Peristiwa yang terjadi pun akan menyebabkan terjadinya peristiwa yang selanjutnya. Hubungan peristiwa yang ada dalam plot bukan hanya sekedar hubungan perurutan peristiwa saja, tetapi hubungan antarkeduanya juga bersifat kausalitas.


(27)

12

Berbeda dengan cerita pendek, roman adalah prosa yang panjang, sehingga bukanlah hal yang mudah dan cepat untuk menentukan alur dalam sebuah roman, karena peristiwa yang disajikan dalam roman tidak serta merta mengacu pada suatu alur. Untuk mempermudah menentukan alur sebuah cerita, dibutuhkan penyusunan satuan cerita atau sekuen. Dalam pembentukan sekuen ini, Barthes (1981: 19) menyatakan bahwa

Une séquence est une suite logique de noyaux, unis entre eux par une relation de solidarité: la sequence s’ouvre lorsque l’un de ses termes n’a point d’antécédent solidaire et elle se ferme lorsqu’un autre de ses termes n’a plus de consequent.

Sekuen adalah sebuah urutan logis dari inti cerita, menyatu berdasarkan hubungan yang saling terkait antara unsur-unsur pembangunnya : sekuen terbuka ketika salah satu dari unsur-unsurnya tidak memiliki keterkaitan dengan unsur sebelumnya, dan tertutup apabila sebuah unsur yang lain tidak memiliki konsekuensi atau akibat dengan cerita.

Sekuen dibuat dengan menggunakan nomina. Schmitt dan Viala ( 1982:63) menyatakan bahwa ‘’une sequence narrative correspond à une série de faits représentant une étape dans l’évolution de l’action.’’‘’Sekuen dalam cerita narasi merupakan urutan kejadian yang menunjukkan tahapan dalam perkembangan aksi.”

Lebih lanjut ditambahkan bahwa “Toute partie d’énoncé qui forme une unité de sens constitue une séquence.” ”Bagian dari sebuah peristiwa atau pernyataan yang membentuk satuan makna disebut dengan sekuen” (Schmitt dan Viala, 1982: 27), sehingga, sekuen adalah urutan kejadian dalam sebuah cerita yang memiliki satuan makna yang saling berhubungan antara satu dengan lainnya, dan membentuk suatu tahapan perkembangan


(28)

aksi. Namun, dalam pembuatan sekuen yang terkadang begitu kompleks, Schmitt dan Viala (1982: 27) mengemukakan adanya kriteria yang diperlukan dalam membuat sekuen, yaitu

Pour délimiter ces séquences complexes, on tient compte des critères suivants :

a. Elles doivent correspondre à une même concentration de l’intérêt (ou focalisation); soit qu’on y observe un seul et même objet (un même fait, un même personnage, une même idée, un même champ de réflexion).

b. Elles doivent former un tout cohérent dans le temps ou dans l’espace: se situer en un même lieu ou un même moment, ou rassembler plusieurs lieux et moments en une seule phase: une période de la vie d’une personne, une série d’exemples et de preuves à l’appui d’une même idée, etc.

Untuk membatasi kompleksitas sebuah sekuen, diperlukan kriteria-kriteria berikut ini:

a. Sekuen harus memiliki suatu titik perhatian (atau fokalisasi) yang dapat dilihat dari suatu objek atau suatu objek yang sama (yang memiliki kesamaan peristiwa, tokoh yang sama, gagasan yang sama, atau pemikiran yang sama).

b. Sekuen harus membentuk suatu koherensi, baik dalam dimensi waktu ataupun tempatnya : yang terjadi di tempat yang sama atau pada waktu yang bersamaan, atau dalam beberapa tempat dan waktu yang sama dalam suatu fase : suatu masa dalam kehisupan seseorang, urutan peristiwa dan bukti-bukti yang mendukung suatu idea tau gagasan, dan sebagainya.

Menurut fungsinya, sekuen dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu fungsi utama (fonction cardinal ou noyaux) dan fungsi katalisator (fonction catalyse) (Barthes, 1985: 15-16). Fungsi utama atau fungsi kardinal merupakan satuan cerita yang dihubungkan bedasarkan hubungan logis dan kausalitas. Satuan ini terbentuk dari urutan peristiwa yang bersifat runtut dan logis. Satuan ini berfungsi untuk mengarahkan jalannya cerita. Sedangkan fungsi yang kedua adalah fungsi katalisator, yaitu satuan cerita yang berfungsi sebagai penghubung satuan cerita, antara satu cerita dengan


(29)

14

cerita yang lain, baik yang mempercepat, memperlambat, mendukung, menghambat atau bahkan hanya sebagai pengecoh bagi pembaca.

Besson dalam bukunya (1987: 118) mengemukakan adanya lima tahapan sekuen atau tahap penceritaan, yaitu

a. Tahap awal cerita (situation initiale)

Tahap ini merupakan tahap awal cerita. Tahap ini memberikan penjelasan, uraian, informasi kepada pembaca tentang para tokoh dalam cerita, penceritaan awal tentang perwatakan para tokoh dan segala informasi yang berupa perkenalan situasi awal cerita. Tahap ini berfungsi sebagai tumpuan cerita yang akan dikisahkan pada tahap berikutnya.

b. Tahap permasalahan awal (l’action se déclenche)

Tahap ini menceritakan bagaimana awal kemunculan permasalahan dalam cerita yang dialami para tokoh dan menyebabkan munculnya konflik. Tahap ini memunculkan berbagai permasalahan yang akan membangkitkan dan menggerakkan cerita pada munculnya konflik-konflik.

c. Tahap pengembangan konflik (l’action sedéveloppe)

Pada tahapan ini terjadi pengembangan konflik dan intensitas kemunculan konflik yang lebih sering. Inti permasalahan dihadirkan dalam tahapan ini, sehingga tidak mungkin untuk menghindari klimaks suatu cerita


(30)

Tahap selanjutnya adalah klimaks. Dalam tahap ini, terjadi berbagai permasalahan yang menunjukkan puncak cerita. Konflik muncul secara terus-menerus hingga mencapai klimaks permasalahan.

e. Tahap penyelesaian (situation finale)

Tahap ini merupakan tahap akhir cerita. Berbagai konflik yang muncul dan sudah mencapai klimaks akan menemukan jalan keluarnya masing-masing dan cerita pun berakhir.

Greimas via Ubersfeld (1996: 50) menggambarkan aksi para tokoh dalam sebuah skema penggerak lakuan yang terdiri dari

a. Le destinateur atau yang disebut dengan pengirim. Destinateur adalah seseorang atau sesuatu yang menjadi sumber ide dan memiliki fungsi sebagai penggerak cerita,

b. Le destinataire atau penerima, yaitu segala sesuatu yang menerima objek, hasil dari pencarian subjek,

c. Le sujet adalah tokoh cerita atau sesuatu yang ditugasi untuk mendapatkan objek,

d. L’objet adalah sesuatu atau seseorang yang diinginkan, dicari untuk dicapai atau didapatkan oleh subjek,

e. L’adjuvant atau pendukung yaitu sesuatu atau seseorang yang membantu subjek dalam proses mendapatkan objek,

f. L’opposant atau penentang adalah sseorang atau sesuatu yang menghalangi, menghambat usaha subjek dalam mendapatkan objek.


(31)

16

Gambar 1: Skema Aktan

Dari gambar skema di atas dapat diketahui bahwa le destinateur sebagai penggerak cerita menugasi le sujet untuk mendapatkanl’objet, yang kemudian akan diberikan kepada destinataire sebagai penerima l’objet. Dalam pelaksanaanya, le sujet dibantu oleh l’adjuvant dan dihambat oleh adanyal’opposant.

Peyroutet (2001: 8) mengemukakan tujuh tipe akhir suatu cerita, yaitu

a. Fin retour à la situation de départ yaitu akhir cerita yang kembali ke situasi awal.

b. Fin heureuse yakni akhir cerita yang membahagiakan. c. Fin comique adalah akhir cerita yang lucu.

d. Fin tragique sans espoir yaitu akhir cerita yang tragis dan tidak memiliki harapan.

e. Fin tragique mais espoir adalah akhir cerita tragis yang masih memiliki harapan.

f. Suite possible yaitu akhir cerita yang masih mungkin berlanjut. Destinateur

D1

Sujet S Destinataire

D2

Objet B

Opposant Op Adjuvant A


(32)

g. Fin réflexive adalah akhir cerita yang ditutup dengan perkataaan narator yang memberikan hikmah dari cerita yang disuguhkan.

Cerita dapat dibedakan menjadi beberapa macam menurut tujuan penulisannya, tempat dan waktu terjadinya peristiwa, keadaan psikologis dan intensitas kemunculan tokoh (Peyroutet,2001: 12). Jenis cerita menurut Peyroutet adalah sebagai berikut

a. Le récit réaliste yaitu cerita yang menggambarkan sebuah kisah nyata. Latar tempat dan waktu yang ada juga merupakan kenyataan dari peristiwa yang terjadi.

b. Le récit historique yaitu cerita yang mengkisahkan peristiwa yang telah terjadi dan menghadirkan tokoh-tokoh sejarah. Terkadang, tempat, waktu, pakaian, dan aksi yang dilakukan para tokoh adalah suatu mitos. c. Le récit d’aventures adalah cerita yang menggambarkan kisah dan

situasi yang tak terduga, menegangkan dan luar biasa yang umumnya terjadi di suatu negara yang jauh dan menghadirkan tokoh pahlawan. d. Le récit policier adalah cerita yang menggambarkan adanya proses

investigasi, yang mengungkap suatu kasus dan memerlukan ketelitian dan kecermatan tokoh polisi maupun detektif.

e. Le récit fantastique adalah cerita yang aneh, tidak sesuai dengan logika, bertentangan dengan norma atau bahkan khayalan yang penuh dengan kekacauan.

f. Le récit science-fiction adalah cerita yang menggambarkan mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi, dan munculnya imajinasi tentang alam


(33)

18

semesta. Misalnya, cerita tentang ditemukannya planet baru atau objek angkasa luar lainnya.

2. Penokohan

Peyroutet (2001: 14) mengemukakan bahwa “sans les personnages, un récit est impossible et le lacis de leurs fonctions et de leurs relations constitue une part majeur de l’intrigue.” ‘’Suatu cerita atau karya sastra tidak mungkin tidak memiliki pelaku atau tokoh, begitu juga dengan fungsi dan hubungannya yang merupakan bagian penting dalam alur’’. Oleh karena itu, dalam suatu cerita, tentulah terdapat pelaku atau tokoh yang menjalankan aksi.

Konflik yang terbentuk dalam cerita juga dibawa oleh tokoh. Suatu karya sastra tidak mungkin diciptakan tanpa kehadiran tokoh. Membicarakan soal penokohan, tidak dapat dipisahkan tentang pembicaraan mengenai perwatakan. Setiap tokoh yang disajikan dalam cerita tentu memiliki perwatakannya masing-masing. Hal ini bisa dilukiskan dan bisa dilihat dari penggambaran fisik, tindakan pelaku, sifat pelaku, atau keterangan dari tokoh lainnya.

Dalam suatu karya sastra, khususnya karya sastra Prancis, pelaku atau tokoh dikenal juga dengan istilah personnage. Personnage menurut Auzou (2008: 1637) dinyatakan bahwa“héros d’une pièce de théâtre, d’un roman, d’un film’’‘’ para tokoh atau pelaku yang ada dalam suatu teater, roman, atau film’’. Selain itu,Schmitt dan Viala (1982: 69) menambahkan

Les participants de l’action sont ordinairement les personnages du récit. Il s’agit très souvent d’humains: mais une chose, un animal ou


(34)

une entité (la justice, la Mort, etc) peuvent être personnifiés et considérés alors comme des personnages.

Para tokoh dalam suatu cerita biasa disebut sebagai personnage. Umumnya pelaku tersebut adalah manusia, akan tetapi sebuah benda, binatang ataupun sebuah entitas (misalnya keadilan, kematian, dan sebagainya) dapat digambarkan, diwujudkan dan dijadikan sebagai pelaku atau tokoh.

Pelaku atau tokoh dalam sebuah cerita dapat berupa tokoh nyata ataupun fiktif. Hal ini kembali menunjukkan bahwa sebuah karya sastra memiliki unsur imajinatif yang tinggi dan hal ini dapat diwujudkan melalui penghadiran tokoh dalam cerita. Tokoh dapat digambarkan oleh pengarang dengan beberapa cara. Peyroutet (2001: 14) menyatakan dua cara penggambaran tokoh, yaitu metode langsung (méthode directe) dan metode tidak langsung (méthode indirecte).

Metode langsung digunakan pengarang untuk menggambarkan secara langsung sikap, tindakan, pakaian, atau karakter dari tokoh yang ada di dalam ceriita. Namun, penggambaran tokoh juga dapat dilakukan dengan kiasan atau dengan metode tidak langsung, sehingga menyebabkan pembaca menyimpulkan sendiri tentang gambaran suatu tokoh dalam cerita.

Analisis terhadap perwatakan tokoh, dapat dilakukan dengan identifikasi terhadap hal-hal yang melekat dalam tokoh, misalnya ciri secara fisiologis, psikologis, ataupun sosiologis. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Schmitt dan Viala (1982: 70) sebagai berikut

Un personnage est toujours une collection de traits : physiques, moraux, sociaux. La combinaison de ces traits et la manière de les présenter, constituent le portrait du personnage….: un portrait


(35)

20

physique se faisait « de la tête aux pieds », détaillait le visage et les mains, etc.

Tokoh dalam suatu cerita selalu merupakan sebuah kumpulan dari berbagai ciri : fisik, moral dan sosial. Gabungan dari berbagai ciri dan cara dalam penyampaiannya inilah yang merupakan deskripsi atau gambaran dari tokoh…» penggambaran fisik misalnya, dibuat melalui penggambaran « dari ujung kepala hingga ujung kaki », memperinci bagian wajah, tangan, dan sebagainya.

Selain penggambaran secara fisik, Peyroutet dalam bukunya (2001 : 18) menyatakan bahwa dalam pembentukan perwatakan suatu tokoh, tidak terlepas dari peran lingkungan, atau sosial tempatnya berada. Peyroutet menyatakan bahwa keberadaan seseorang tidak pernah terpisah dari lingkungan sosial, berada pada suatu zaman atau masa tertentu, hingga pada suatu tindakan mimetis atau peniruan terhadap lingkungan, yang sudah barang tentu akan mempengaruhi perwatakan suatu tokoh.

Penggambaran tokoh tidak memiliki suatu aturan, dalam arti pengarang bebas melakukan pendeskripsian tokoh, namun terdapat suatu hal yang perlu ditekankan dalam penggambaran tersebut, yakni mengenai wajah, mata, mimik, gestur atau bahasa tubuh, pakaian, dan berbagai penggambaran yang menunjukkan karakter suatu tokoh (Peyroutet, 2001: 18).

3. Latar atau Setting

Pada awal pendahuluan dalam bukunya, Barthes (1981 : 7) menyatakan bahwa “De plus, sous ces formes presque infinies, le récit est present dans tous les temps, dans tous les lieux dans toutes la sociétés’’ ‘’terlebih lagi, dengan adanya bentuk-bentuk yang jumlahnya amat banyak,


(36)

cerita terjadi di berbagai waktu, berbagai macam tempat, dan bermacam-macam lingkup sosial.’’ Latar atau setting adalah tempat atau keadaan terjadinya peristiwa dalam sebuah cerita. Latar adalah unsur yang menyatakan dimana tempat dan kapan terjadinya suatu peristiwa.

Dalam fiksi, sebuah cerita tidak hanya memiliki alur yang membutuhkan tokoh guna pengembangan alur. Tokoh pun juga membutuhkan ruang lingkup, baik tempat atau waktu. Secara umum, latar dalam cerita fiksi terbagi menjadi tiga, yaitu latar tempat, latar waktu dan latar sosial. Ketiga unsur latar tersebut adalah

a. Latar tempat

Peyroutet (2001: 6) mengemukakan bahwa “les lieux : où l’histoire commence-t-elle? Dans quel pays, quelle ville, quel village ?’’, yaitu latar tempat adalah dimana sebuah cerita mulai terjadi, misalnya di negara mana, di kota apa atau di desa apa. Unsur tempat yang digunakan mungkin berupa nama daerah tertentu, atau mungkin sebuah inisial, atau suatu lokasi yang tidak jelas namanya.

b. Latar waktu

Demikian juga mengenai latar waktu, Peyroutet (2001: 6) mengemukakan bahwa “quand l’histoire s’est-elle déroulée? Donner des précisions sur l’époque, l’année, le mois, etc.’’, yakni latar waktu berhubungan dengan kapan peristiwa-peristiwa dalam cerita berlangsung atau terjadi. Dalam penggambarannya bisa dengan memberikan keterangan tentang suatu masa, tahun, bulan dan sebagainya.


(37)

22

c. Latar sosial

Schmitt dan Viala (1982: 169) mengemukakan bahwa “il y a du social dans le texte, et en même temps, le texte est lui-même partie intégrante de la vie sociale et culturelle’’ yaitu bahwa ‘’terdapat faktor sosial dalam sebuah teks, dan dalam waktu yang sama, teks adalah komponen dari keseluruhan kehidupan sosial dan budaya’’. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat suatu latar sosial yang diungkapkan dalam sebuah karya sastra.

Latar sosial merujuk pada perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat dimana cerita tersebut dikisahkan. Hal ini mencakup berbagai hal, misalnya kebiasaan hidup, adat istiadat, budaya, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, status sosial dan sebagainya.

4. Tema

Tema sering dikenal juga dengan ide utama atau gagasan utama dari cerita yang diberikan. Stanton dan Kenny via Nurgiyantoro (2012: 67) menyatakan bahwa tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita.

Hartoko dan Rahmanto via Nurgiyantoro (2012: 68) mengemukakan bahwa tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan. Tema dalam banyak hal bersifat “mengikat” berbagai unsur intrinsik yang lain, karena semua unsur instrinsik yang ada haruslah mendukung kejelasan tema


(38)

yang ingin disampaikan dalam sebuah cerita. Kehadiran tema bersifat implisit dan merasuk ke seluruh bagian cerita.

Makna cerita atau tema yang ada dalam suatu karya sastra bisa saja lebih dari satu. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan intepretasi yang dimiliki oleh pembacanya. Tema dapat dilasifikasikan ke dalam beberapa kategori. Dari tingkat keutamaannya, tema dibedakan menjadi dua golongan, yakni tema mayor dan tema minor.

Tema mayor atau tema utama adalah makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum suatu karya. Makna pokok suatu karya tersirat dalam keseluruhan cerita, bukan makna yang hanya ada dalam beberapa bagian saja. Namun, makna yang hanya terdapat dalam bagian-bagian tertentu suatu karya dinamakan makna bagian-bagian, makna tambahan, atau tema minor. Tema minor atau tema bawahan dapat muncul lebih dari satu dalam suatu karya sastra (Nurgiyantoro, 2012: 82).

Makna tambahan bukanlah makna yang berdiri sendiri secara terpisah dari makna utamanya. Makna tambahan bersifat mendukung atau mencerminkan makna utama dari keseluruhan cerita. Sehingga, keberadaan makna tambahan tersebut menegaskan eksitensi makna utama atau tema mayor (Nurgiyantoro, 2012: 83).

C. Keterkaitan antarunsur Intrinsik dalam Karya Sastra

Roman adalah sebuah karya sastra yang dihadirkan kepada pembaca sebagai sebuah totalitas. Roman dibangun dari berbagai unsur yang setiap


(39)

24

unsurnya akan saling berhubungan, saling menentukan dan akan membuat roman tersebut menjadi suatu karya yang bermakna. Unsur-unsur intrinsik atau unsur pembangun karya sastra diantaranya adalah alur, penokohan, latar, dan tema. Tiap-tiap unsur pembangun roman tidak akan ada artinya, tidak berfungsi jika terpisah satu sama lain.

Tema sebagai ide utama dalam sebuah cerita dibawa oleh tokoh cerita. Tokoh cerita, terutama tokoh utama adalah pelaku cerita, penderita peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Oleh sebab itu, tokoh ceritalah yang ditugasi untuk menyampaikan tema. Penyampaian tema tersebut tidak dilakukan secara langsung, melainkan melalui tingkah laku, baik verbal atau nonverbal, pikiran, perasaan dan sebagainya.

Peristiwa dan berbagai konflik yang dibawa oleh tokoh mempengaruhi jalannya alur. Melalui alur, penyajian berbagai hal yang berhubungan dengan tokoh dan segala yang dialaminya dapat dilakukan. Tokoh memerlukan sarana tempatnya mengalami peristiwa. Latar inilah yang merupakan tempat, waktu dan keadaan yang menjadi wadah tempat tokoh dalam melakukan tindakan dan dikenai suatu peristiwa. Latar (terutama latar sosial) akan mempengaruhi tingkah laku dan cara berpikir tokoh. Oleh karena itu, latar akan mempengaruhi pula dalam pemilihan tema. Atau, tema yang telah ditentukan menuntut pemilihan latar dan tokoh yang sesuai dengan tema.


(40)

D. Psikoanalisis dan Sastra

Psikoanalisis adalah salah satu bidang kajian psikologi sastra yang dikemukakan oleh Sigmund Freud. Freud adalah seorang dokter dari Wina yang lahir pada tahun 1856 dari keluarga pedagang Yahudi Austria. Meskipun Freud adalah seorang dokter, namun sastra bukan merupakan dunia baru baginya. Semasa sekolah menengah atas Freud mendapatkan berbagai pelajaran tentang kebudayaan Yunani dan Romawi lama, serta tentang humanisme. Selain itu, Freud juga menguasai berbagai bahasa di samping bahasa Jerman sebagai bahasa ibu, diantaranya bahasa Yunani, Latin, Prancis, Inggris, bahasa Ibrani, Italia dan Spanyol. Kecintaannya terhadap buku sudah terlihat sejak usia dini (Apsanti, 1992: 1).

Berbagai karya tentang psikoanalisis telah dibuatnya. Freud adalah salah satu ahli yang cukup kontroversial. Munculnya banyak sanggahan terhadap Freud diakibatkan karena Freud memberikan perhatian khusus terhadap faktor seksual dalam asal ususl neurosis. Sanggahan bahkan cemoohan terlontar dari berbagai kalangan kepada Freud, khususnya di kalangan masyarakat Wina (Apsanti, 1992: 11).

Freud sendiri masuk dan bergelut dengan dunia sastra tidak secara kebetulan. Selain karena ia pernah mendapatkan pendidikan sastra di masa muda, pertemuan sastra dengan psikoanalisis, yang merupakan bidang keahlian Freud, tidak dapat dihindarkan. Pertama, psikoanalisis merupakan suatu metode interogasi tentang psike manusia yang sepenuhnya didasarkan pada tindakan mendengarkan kata-kata pasien, yang tentu saja


(41)

26

menggunakan bahasa. Selain itu, bahasa juga digunakan Freud sebagai wilayah observasi dan alat penyembuh bagi penanganan pasiennya (Apsanti, 1992: xiii).

Hal ini juga diperkuat dengan ulasan dari seorang penyair yang menanggapi hadirnya teori Freud tentang psikoanalisis. Ia adalah Alfred von Berger yang menyatakan bahwa teori Freud dan Breuer pada hakikatnya adalah suatu jenis psikologi yang digunakan oleh para penyair (Apsanti, 1992: 11).

Freud menyatakan bahwa alam pikiran manusia terdiri dari alam sadar dan alam tak sadarnya. Ia mengemukakan bahwa karya sastra adalah perwujudan keinginan setengah sadar seorang manusia yang kemudian dimunculkan dan diwujudkan dalam bentuk sadar. Karya sastra memberikan jalan keluar untuk hasrat yang tersembunyi tersebut (Minderop, 2010: 14-15).

1. Alam bawah sadar

Pikiran manusia dapat digambarkan sebagai gunung es yang sebagian besarnya berada di dalam atau alam bawah sadar. Freud menyatakan bahwa pikiran manusia lebih banyak dipengaruhi oleh alam bawah sadarnya. Ia mengemukakan bahwa kehidupan seorang manusia dipenuhi berbagai tekanan dan konflik sehingga untuk meredakan konflik tersebut, manusia menyimpannya di alam bawah sadar. Karenanya, Freud menyatakan alam bawah sadar adalah kunci dalam pemahaman perilaku seseorang (Minderop, 2010: 13).


(42)

Alam tak sadar atau yang disebut dengan unconsciuness yaitu sesuatu yang tak dapat terjangkau oleh alam sadar. Seperti yang telah dikemukakan semula, bahwa karya sastra adalah hasil dari situasi kejiwaan dan pemikiran yang berada di alam setengah sadar kemudian dituangkan dalam bentuk tertentu melalui suatu proses kesadaran dalam bentuk karya sastra. Sehingga, proses penciptaan karya sastra terjadi dalam dua tahap, yakni penciptaan tingkat pertama yang mengkonstruksi gagasan dalam situasi imajinatif dan abstrak dalam setengah sadar, kemudian tahap kedua yaitu pembentukan atau penciptaan karya sastra dalam bentuk nyata secara sadar (Minderop, 2010: 14-15).

Jadi, alam tak sadar selalu memiliki kaitan dengan penciptaan karya sastra Hasrat tak sadar selalu aktif dan selalu mencoba memunculkan diri, serta tak pernah padam. Hal ini dinyatakan muncul dari masa kecil. Karya-karya inilah yang dijadikan sarana perwujudan keinginan yang secara sadar tak dapat diwujudkan ini (Minderop, 2010: 15).

2. Struktur kepribadian

Manusia adalah makhluk individu yang juga sekaligus makhluk sosial. Keberadaannya sebagai individu dalam suatu lingkup masyarakat tentu mempengaruhi baik perilaku maupun pemikirannya. Berbagai faktor mempengaruhi kepribadian seorang individu, misalnya saja faktor genetik atau bawaan, tingkat intelektualitas, lingkungan, faktor fisiologis, faktor historis masa lampau dan sebagainya.


(43)

28

Pada saat menulis Das Unheimliche, Freud juga mengemukakan suatu teori mengenai sarana psikis. Menurut teori tersebut, pembagian antara wilayah tak sadar, prasadar dan sadar adalah suatu dasar dari perwujudan psikisme manusia, yang bersubstitusi dengan tiga pembagian lain, yaitu id, ego dan superego. Id adalah reservoir pulsi dan menjadi sumber energi psikis, superego merupakan instansi kritik yang menghalangi pemuasan sempurna pulsi-pulsi tersebut dan merupakan hasil pendidikan dan identifikasi pada orang tua, lalu akhirnya ego bertugas sebagai penengah untuk mendamaikan tuntutan pulsi dan larangan superego (Apsanti, 1992: 196-197).

a) Id atau das es

Id adalah struktur yang paling dasar dan gelap dalam alam bawah sadar manusia. Dalam id terdapat insting-insting naluriah manusia dan nafsu yang tak mengenal nilai. Id adalah energi psikis dan naluri yang mendorong manusia untuk selalu memenuhi keinginan dan kebutuhannya, misalnya makan, menolak rasa sakit, nyaman dan sebagainya. Id berada di alam bawah sadar dan tidak memiliki kontak dengan realita. Yang ada hanya prinsip kesenangan, selalu memburu kenikmatan dan menghindari ketidaknyamanan (Minderop, 2010: 21).

b) Ego atau das ich

Ego berada pada situasi antara dua struktur yang saling bertentangan, berada antara alam sadar dan alam bawah sadar. Ego patuh pada prinsip realita dengan mencoba memenuhi kesenangan individu. Ego bertugas


(44)

memberikan pertimbangan kepada manusia tentang pemuasan keinginan diri tanpa menimbulkan kesulitan atau penderitaan bagi dirinya sendiri. Fungsinya adalah penalaran, penyelesaian masalah, dan pengambilan keputusan (Minderop, 2010: 21-22).

c) Superego atau das ueber ich

Seperti yang dikemukakan di atas bahwa superego menjalankan fungsi seperti instansi kritik, superego merupakan sistem kepribadian yang berisi nilai-nilai atau aturan-aturan evaluatif yang menyangkut baik atau buruk. Superego mengacu pada hal-hal moral. Superego sama seperti halnya hati nurani (Minderop, 2010: 22).

3. Mekanisme pertahanan diri

Mekanisme pertahanan mengacu pada proses alam bawah sadar seseorang yang mempertahankannya terhadap kecemasan atau anxitas. Mekanisme ini melindungi ego dari ancaman-ancaman eksternal. Sumber permasalahan yang akan mengakibatkan munculnya kecemasan yang dikemukakan oleh Freud adalah adanya pertentangan antara id, ego dan superego. Dengan adanya mekanisme pertahanan ini, akan melindungi seseorang dari anxitas atau kecemasan dengan tidak menerima kenyataan (Minderop, 2010: 29-31).

Anxitas muncul karena adanya pertentangan antara keinginan id, ego dan superego. Berikut mekanisme pertahanan yang dikemukakan dalam Minderop (2010: 32-38)


(45)

30

Represi adalah mekanisme pertahanan ego yang paling kuat dan paling luas. Tugasnya adalah mendorong impuls id yang tidak diterima oleh alam sadar untuk kembali ke alam bawah sadar. Tugas semua pertahanan ego adalah menekan impuls yang mengancam agar keluar dari alam sadar. Represi adalah upaya untuk menghindari perasaan anxitas. Akibatnya, seorang individu tidak menyadari impul yang mengakibatkan anxitas, serta tidak mengingat pengalaman emosional dan traumatik masa lalu.

b) Sublimasi

Sublimasi sebenarnya adalah proses pengalihan. Pengalihan dari sesuatu yang tidak nyaman ke tindakan yang dapat diterima oleh lingkungan sosial. Misalnya, individu yang memiliki dorongan seksual tinggi mengalihkan perasaan tidak nyamannya dengan menjadi pelukis tubuh model, karena profesi ini lebih dapat diterima oleh lingkungan sosial.

c) Proyeksi

Proyeksi adalah pelimpahan kesalahan yang tidak dapat diterima dengan menggunakan berbagai alasan. Proyeksi terjadi ketika individu ingin menutupi kesalahan ataupun kekurangannya. Misalnya saja ketika seseorang ingin bersikap kasar kepada orang lain. Orang tersebut menyadari bahwa perilaku tersebut tidak pantas untuk dilakukan, tetapi ia menambahkan alasan bahwa orang tersebut memang bersalah dan pantas diperlakukan seperti itu, sehingga muncul perlakuan kasarnya terhadap orang tersebut. d) Pengalihan (Deplacement)


(46)

Pengalihan yang dimaksud dalam mekanisme pertahanan ini adalah pengalihan rasa tidak senang terhadap suatu objek ke objek lain yang lebih memungkinkan.

e) Rasionalisasi (rasionalization)

Rasionalisasi terjadi jika motif nyata dari perilaku individu tidak dapat diterima oleh ego. Motif nyata tersebut digantikan oleh semacam motif pembenaran. Tujuannya yakni untuk mengurangi kekecewaan atau memberikan motif yang dapat diterima. Misalnya adalah ketika seseorang ingin membeli mobil baru. Hal itu ia sadari belum perlu, karena mobil yang ia miliki masih bagus dan masih bisa digunakan, tetapi ia mencari motif pengganti yaitu mobil lamanya sudah ketinggalan zaman dan sudah lebih membutuhkan biaya reparasi. Rasionalisasi ini lebih dapat diterima oleh ego.

f) Reaksi formasi

Ketika individu melakukan represi, sering kali diikuti oleh kecenderungan yang bertolak belakang dengan tendensi yang ditekan. Reaksi inilah yang dinamakan reaksi formasi. Reaksi formasi mampu mencegah seorang individu berperilaku yang menghasilkan anxitas dan seringkali dapat mencegahnya bersikap antisosial. Misalnya ketika ada seseorang yang bersikap sopan untuk menyembunyikan rasa takutnya. Atau ketika seseorang bersikap diam untuk menyembunyikan rasa gugupnya. g) Regresi


(47)

32

Regresi memiliki dua arti yang berbeda. Yang pertama adalah regresi yang bersifat retrogressive behaviour yaitu perilaku seseorang yang seperti anak kecil, menangis atau bersikap manja untuk memperoleh rasa aman dan perhatian orang lan. Atau yang kedua adalah primitivation. Regresi yang terjadi ketika seorang dewasa bersikap sebagai orang yang tak berbudaya yang mengakibatkan ia kehilangan kontrol diri sehingga tidak sungkan-sungkan untuk bertindak yang tidak sesuai, misalnya berkelahi. h) Agresi dan apatis

Agresi atau perasaan marah berhubungan dengan ketegangan dan kegelisahan yang dapat menimbulkan pengrusakan. Direct aggression atau agresi langsung yaitu agresi yang diungkapkan secara langsung kepada orang atau objek yang menjadi sumber frustasi. Agresi pengalihan atau displaced aggression terjadi ketika frustasi yang dialami tidak dapat terpuaskan kepada sumber frustasi. Ia tidak tahu kemana harus menyerang, tidak tahu kepada siapa harus dilampiaskan sehingga seringkali ia mencari kambing hitam. Apatis adalah bentuk lain dari agresi berupa sikap apatis dengan cara menarik diri dan pasrah.

i) Fantasi dan stereotype

Fantasi adalah mekanisme pertahanan dengan menggunakan dunia khayal. Ketika individu mengalami masalah, ia akan mencari solusi dengan masuk ke dunia khayalan, solusi yang berdasarkan fantasi daripada realita.


(48)

Misalnya saja ketika para serdadu yang hidup jauh dari keluarganya kerap menempelkan gambar-gambar pin-up girls di barak mereka yang melambangkan fantasi kehidupan tetap berlangsung pada saat kehidupan seksualnya terganggu. Stereotype memperlihatkan perilaku pengulangan terus-menerus. Seorang individu melakukan suatu kegiatan yang tidak bermanfaat dan tampak aneh secara terus menerus.

4. Teori Psikoseksual

Pada perkembangannya, Freud kembali menemukan teori baru, yakni teori psikoseksual. Freud (via Apsanti, 1992: 105) membedakan dua jenis pulsi, yakni pulsi seksual (istilah umum dari libido) dan pulsi oto-konservasi (pulsion d’auto-conservation) seperti pulsion de nutrition atau pulsion d’alimentation. Pulsi yang kedua ini adalah pulsi yang berhubungan dengan nutrisi atau kebutuhan makan dan minum. Pulsi alimentasi adalah satu-satunya pulsi non-seksual yang dikemukakan Freud. Bagi Freud, usia 4 atau 5 tahun pertama kehidupan, atau tahap infantil, merupakan tahap yang sangat penting bagi pembentukan kepribadian. Tahap ini kemudian disusul oleh tahap laten, tahap pubertas dan tahap genital. Berikut penjelasannya (Semiun, 2006: 102-113)

a) Tingkatan Oral

Tingkatan oral dimulai dengan penggunaan mulut sebagai organ pertama yang memberikan kenikmatan kepada anak, sehingga tahap perkembangan infantil pertama adalah tahap oral. Bayi memperoleh


(49)

34

makanan yang menunjang kehidupannya melalui rongga mulut, namun mulut juga memperoleh kenikmatan dalam proses mengisap.

b) Tingkatan Anal

Insting agresif pada tahun pertama kehidupan mengambil bentuk sadistic oral mencapai perkembangan yang lebih penuh pada tahap kedua ketika anus muncul sebagai daerah yang secara seksual menyenangkan. Dalam periode anal pertama, anak memperoleh kepuasan dengan merusak dan menghilangkan benda-benda. Pada periode ini, sifat destruktif dari insting sadistik lebih kuat daripada insting erotik, dan anak sering bertingkah laku agresif terhadap orang tuanya karena memfrustasikannya dengan pembiasaan kebersihan (toilet training).

Pada tahap anal akhir, anak mencurahkan perhatian kepada fesesnya, perhatian yang disebabkan oleh kenikmatan erotis. Kadang, anak akan menyajikan fesesnya kepada orang tua sebagai hadiah yang berharga. Kemudian respon orang tua terhadap hadiah inilah yang nantinya akan mempengaruhi karakter si anak .

c) Tingkatan Phalik

Tekanan seksual pada tingkat ini terpusat pada daerah genital. Sumber ketegangan dalam tingkatan ini yakni keinginan untuk mencontoh orangtua yang disenangi dengan mengidentifikasi diri melalui model tersebut. Pelepasan ketegangan diperoleh secara psikologis dengan mengikatkan diri terhadap identifikasi yang dilakukan.


(50)

Fiksasi pada tingkatan ini menyebabkan anak laki-laki mengalami kompleks Oedipus (Oedipus complex). Hal ini terjadi ketika anak laki-laki gagal memindahkan identifikaisnya dari model ibu ke ayah yang disebabkan karena ibu yang terlalu obsesif dan merendahkan figur ayah. Hal ini memunculkan anggapan bahwa sang ayah bukanlah model identifikasi yang tepat.

Sementara itu, anak perempuan mengalami kompleks Elektra (electra complex) berupa rasa iri terhadap alat kelamin laki-laki (penis envy). Perempuan adalah bentuk laki-laki yang tidak sempurna karena tidak memiliki phallus. Dominasi terhadap perempuan juga mendorong timbulnya kompleks Elektra

d) Tingkatan Latensi

Freud berpendapat bahwa dari tahun ke-4 atau ke-5 sampai pubertas, anak laki-laki dan perempuan mengalami suatu periode saat perkembangan psikoseksual berhenti. Keadaan laten ini diperkuat oleh perasaan malu, rasa bersalah dan moralitas dalam diri anak sendiri. Tentu saja insting libido seksual masih ada dalam periode ini, namun tujuannya telah dicegah. Libido disublimasikan dan diperlihatkan dalam prestasi sosial dan budaya, seperti sekolah dan persahabatan.

Selama periode laten, tidak hanya kesenangan pada objek yang hilang tersebut bertahan secara tidak sadar, tetapi juga akan terbentuk hubungan–hubungan yang memperlihatkan kasih sayang antara anak dan


(51)

36

orang-orang di dekatnya, terutama orangtuanya. Hubungan afektif yang terbentuk akan mengandung ciri seksual (Apsanti, 1992: 114-115).

e) Tingkatan Genital

Pubertas mengisyaratkan terbangunnya kembali tujuan seksual dan awal tahap genital. Pada pubertas kehidupan seksual, anak memasuki tahap kedua yang berbeda dari tahap infantil. Anak akan menghentikan autoerotisme dan mengarahkan energi seksualnya kepada orang lain, bukan kepada dirinya lagi. Perbedaan utama antara seksualitas infantil dan seksualitas dewasa adalah sintetis eros, status yang meningkat dari organ genital perempuan, kapasitas reproduktif dari insting hidup dan arahnya ke luar.

Daerah-daerah erogen yang mendapat posisi lebih rendah juga tetap menjadi sarana kenikmatan erotik. Mulut, misalnya, tetap memakai aktivitas-aktivitas infantil, mungkin mengisap ibu jari, tetapi juga merokok atau berciuman.

f) Tingkatan Kematangan

Tahap genital mulai dari pubertas dan terus berkembang sepanjang kehidupan individu. Itulah tahap yang dicapai oleh setiap individu yang mencapai kematangan fisik. Freud juga menyatakan bahwa periode kematangan psikologis adalah suatu tahap yang dicapai sesudah seseorang melewati periode-periode perkembangan sebelumnya secara ideal.

Orang-orang yang memiliki kematangan psikoanalitik, memiliki keseimbangan antara struktur-struktur jiwa dan ego yang mengendalikan id


(52)

dan superego mereka, tetapi juga memperbolehkan dorongan-dorongan dan tuntutan-tuntutan yang masuk akal. Dengan demikian, impuls-impuls id mereka akan diungkapkan secara sadar dan terus terang tanpa rasa malu dan rasa bersalah. Serta superego akan bergerak melewati identifikasi dan kontrol orang tua tanpa adanya sisa-sisa antagonisme.


(53)

38 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek dalam penelitian adalah tempat dimana data didapatkan. Subjek dalam penelitian ini adalah roman La Consolantekarya Anna Gavalda yang diterbitkan pada tahun 2008.Objek penelitian ini adalah unsur-unsur pembangun atau unsur intrinsik roman La Consolantekarya Anna Gavalda berupa alur, penokohan, latar, dan tema serta wujud perkembangan penokohan roman La Consolante ini.. Penelitian ini merupakan penelitian pustaka dan akan dikaji dengan metode deskripitif kualitatif dengan teknik analisis konten.

B. Teknik Analisis Konten

Seperti yang telah dikemukakan di atas, penelitian roman La Consolante karya Anna Gavalda ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan teknik analisis konten. Teknik analisis konten sendiri adalah suatu teknik penelitian untuk menghasilkan deskripsi yang objektif, untuk menganalisis makna pesan dan cara mengungkapkan pesan, serta inferensi yang valid dan dapat diteliti ulang berdasarkan konteksnya (Zuchdi,1993: 1-2).

Dalam penggunaan teknik analisis konten, terdapat beberapa prosedur penelitian yang harus dijalankan, yaitu


(54)

1. Pengadaan data

Data yaitu unit informasi yang direkam dalam suatu media, yang dapat dibedakan dengan data lain, dapat dianalisis dengan teknik-teknik yang ada dan relevan dengan masalah yang diteliti. Perekaman atau penulisan data dalam suatu media merupakan tindakan untuk memenuhi persyaratan agar dapat diadakan penelitian (Zuchdi,1993: 29).

Data dalam penelitian ssatra dapat berupa kata, kalimat ataupun unit bahasa lainnya. Data yang didapatkan kemudian dimaknai dan diungkap sesuai dengan berbagai pertanyaan yang dikemukakan dalam rumusan masalah. Misalnya pada rumusan masalah tentang wujud unsur intrinsik roman berupa latar, maka data-data yang berhubungan tentang tempat terjadinya peristiwa dijadikan data bagi unsur latar.

a. Penentuan Unit Analisis

Penentuan unit analisis adalah kegiatan memisah-misahkan data menjadi bagian-bagian yang selanjutnya dapat dianalisis (Zuchdi,1993: 30). Pengkajian atau penelitian terhadap roman La Consolante karya Anna Gavalda ini mengacu pada penentuan unit analisis berdasarkan unit sintaksis. Unit sintaksis ini berupa kata, frasa, kalimat dan wacana.

b. Pengumpulan dan PencatatanData

Langkah selanjutnya yang dilakukan peneliti adalah melakukan pengumpulan atau penjaringan data. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan teknik membaca dan teknik mencatat. Teknik baca adalah teknik yang dipergunakan untuk memperoleh


(55)

40

data dengan cara membaca teks sastra yang dijadikan subjek penelitian sastra atau literatur dan referensi lain secara cermat dan teliti.Teknik catat adalah pencatatan semua data yang diperoleh dari pembacaan subjek penelitian sastra dan literatur atau referensi lain dengan menggunakan komputer atau buku catatan lainnya. Teknik tersebut digunakan untuk mencatat data deskripsi struktural-psikoanalisis dalam roman La Consolante. Dalam proses pencatatan ini sudah disertai penyeleksian data ataupun klasifikasi data.

2. Inferensi

Inferensi adalah bagian utama dari analisis konten. Inferensi adalah kegiatan atau upaya memaknai data sesuai dengan konteks yang ada. Inferensi digunakan untuk menganalisis maksud atau akibat komunikasi (Zuchdi,1993: 22).

Inferensi dalam penelitian roman La Consolante ini diperoleh dengan proses pemahaman terhadap roman secara keseluruhan, kemudian diambil inferensi atau kesimpulan awal dari isi roman tersebut. Kemudian kesimpulan sementara tersebut dipahami secara lebih mendalam dengan memperhatikan konteks yang melatarinya agar tidak menyimpang dari tujuan awal penelitian.

C. Teknik Analisis Data

Setelah selesai melakukan penjaringan atau pengumpulan data, langkah selanjutnya yang ditempuh penulis adalah melakukan analisis data.


(56)

Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif. Data dalam penelitian ini berupa kata, frasa atau kalimat, maka diperlukan pengidentifikasian dan pendeskripsian. Deskripsi yang dilakukan mencakup bagaimana bentuk unsur intrinsik berupa alur, penokohan, latar dan tema yang terdapat dalam roman La Consolante. Kemudian mendeskripsikan bagaimana wujud perkembangan perwatakan tokoh utama roman La Consolanteditinjau dari pandangan psikoanalisis.

D. Validitas dan Reliabilitas

Keabsahan data dilakukan dengan validitas dan reliabilitas. Hasil penelitian dikatakan valid apabila didukung oleh fakta yang secara empiris dinyatakan benar dan dengan konsistensi teori. Data yang disajikan dianalisis dengan validitas semantis atau validitas isi. Validitas semantis mengukur tingkat kesensitifan suatu teknik terhadap makna-makna simbolik yang relevan dengan konteks tertentu.

Disamping itu, peneliti mendiskusikan hasil pengamatan kepada pakar yang memiliki kemampuan sastra yang baik atau menggunakan validitas expert judgement, yang dalam hal ini adalah dosen pembimbing penelitian sastra, Dra. Alice Armini, M.Hum.

Reliabilitas diperoleh dengan reliabilitas intrarater, yaitu pengamatan pembacaan berulang-ulang agar diperoleh data dengan hasil


(57)

42

konstan dan inferensi-inferensinya. Selain itu, digunakan juga diskusi dengan teman sejawat atau yang disebut dengan validitas interater.


(58)

111

Setelah dilakukan analisis terhadap unusr-unsur pembangun atau unsur intrinsik roman La Consolante karya Anna Gavalda, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut

1. Wujud Unsur Intrinsik berupa Alur, Penokohan, Latar dan Tema dalam Roman La Consolante Karya Anna Gavalda

Roman La Consolante karya Anna Gavalda memiliki dominasi pergerakan alur maju. Dilihat dari segi unsur pembangunnya, roman La Consolante karya Anna Gavalda ini memberikan suatu penekanan pada salah satu unsur pembangunnya, yakni pada unsur penokohan. Hal ini menjadi menarik karena tokoh utama roman ini, Charles Balanda, dikatakan memiliki perilaku yang menyimpang sehingga diperlukan teori lanjutan untuk menjelaskan berbagai perwatakan tokoh utama dengan menggunakan teori psikoanalisis.

Selain itu, pengungkapan latar yang dihadirkan dalam roman menjadi hal yang juga diperhatikan, karena kehadiran latar Paris membuat cerita yang diungkapkan menjadi lebih nyata. Keadaan dan situasi kota Paris diungkapkan melalui cerita sehingga menambah pengetahuan pembaca tanpa harus datang langsung ke lokasi tersebut.


(59)

112

2. Wujud Keterkaitan Antarunsur Intrinsik dalam Roman La Consolante karya Anna Gavalda

Suatu karya sastra terbentuk dari berbagai unsur intrinsik yang saling berkaitan dan saling mendukung satu sama lain dalam perwujudan cerita. Berbagai unsur intrinsik berupa alur, penokohan dan latar bersama-sama mewujudkan cerita yang kesemuanya terkait oleh tema. Unsur-unsur intrinsik ini membangun suatu kesatuan rangkaian cerita yang padu dan utuh.

3. Wujud Perkembangan Perwatakan Tokoh Roman La Consolante karya Anna Gavalda.

Dari berbagai hasil temuan yang didapatkan dalam pribadi Charles, menunjukkan bahwa Charles memiliki ketidakseimbangan emosi diri. Charles dikatakan tidak mengalami suatu proses perkembangan kepribadian secara matang. Terdapat satu fase dalam perkembangan kepribadiannya yang mengalami penyimpangan yaitu pada masa kecilnya, yang kemudian membuat Charles dewasa mengalami gangguan terhadap dirinya sendiri. Hal ini membuktikan bahwa kenangan atau peristiwa yang terjadi pada masa kanak-kanak akan memiliki daya pengaruh yang sangat kuat dan akan mempengaruhi perkembangan kepribadian individu.

Kisah ini dapat dijadikan contoh kasus tersebut, bahwa Charles kecil mengalami kecenderungan Oedipus Complex. Hasrat yang berupa cinta yang dialaminya pada masa kecil itu melekat kuat dalam alam bawah sadar Charles, walaupun alam sadarnya telah melupakannya. Kematian wanita


(60)

yang dicintainya tersebut menghasilkan suatu kegelisahan dan kekacauan dalam hidup Charles. Namun, kegelisahan, kekacauan dan trauma masa lalu Charles sembuh dengan hadirnya sosok Kate.

B. Implikasi

Penelitian terhadap roman La Consolante ini dapat dijadikan inspirasi dan motivasi bagi guru, siswa dan mahasiswa agar dengan membaca atau mengkaji buku dengan halaman yang cukup banyak bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan asalkan memiliki kemauan dan semangat yang kuat. Dengan membaca roman, kemampuan pemahaman dan penguasaan kosa kata akan meningkat dengan signifikan.

Selain itu, roman ini dapat dijadikan alternatif sumber pembelajaran. Misalnya, dengan mengambil satu atau beberapa bagian dalam roman yang sesuai dengan kriteria pembelajaran untuk dijadikan bahan pembelajaran di dalam kelas. Ketika guru mengambil atau mengutip satu atau beberapa paragraf dalam roman, guru harus tetap memperhatikan kemampuan siswa dan materi teks tersebut. Perlu diperhatikan juga mengenai penguasaan siswa dalam kemampuan berbahasa Prancis, tentang susunan gramatika, keterampilan membaca atau yang lainnya. Guru kemudian dapat mengajukan pertanyaan dari teks yang telah disajikan kemudian dibahas bersama-sama agar siswa lebih paham dan mengerti.


(61)

114

C. Saran

1. Hasil penelitian terhadap roman La Consolante ini dapat dijadikan alternatif bahan pembelajaran untuk siswa SMA dalam belajar bahasa Prancis atau bagi mahasiswa jurusan bahasa Prancis dalam melakukan analisis sastra.

2. Hasil penelitian terhadap roman La Consolante ini dapat dijadikan referensi dalam analisis kesusastraan Prancis, terutama tentang analisis unsur-unsur pembangun karya atau mengenai teori psikoanalisis.

3. Penelitian terhadap roman La Consolante ini dapat dilanjutkan dengan teori lain seperti teori struktural-semiotik.


(62)

115

Auzou, Philippe. et. al. 2008. Dictionnaire Encyclopédique AUZOU. Paris: Éditions Philippe Auzou.

Barthes, Roland. 1981. Communications 8 L’Analyse Structurale du Récit. Paris: Éditions du Seuil.

Besson, Robert. 1987. Guide Pratique de la Communication Écrite. Paris: Éditions Casteilla.

Danarto, Apri. 2003. Teori Seks SIGMUND FREUD. Yogyakarta: Jendela. Gavalda, Anna. 2008. La Consolante. Paris: Le Dilettante.

Kartono, Kartini. 2009. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Bandung: CV. MandarMaju.

1992. PsikologiWanita. Bandung: CV. Mandar Maju Labrousse, Pierre. 2009. Kamus Indonesia-Prancis. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama

Laplanche, Jean et Pontalis JB. 1992. Vocabulaire de la Psychanalyse. Paris: Presses Universitares de France.

Larousse. 1994. Le Petit Larousse Illustré. Paris: Larousse.

Milner, Max. 1992. Freud et l’Interprétation de la Littérature diterjemahkan oleh DS. Apsanti, Sri Widaningsih dan Laksmi. Jakarta: Intermassa.

Minderop, Albertine. 2010. Psikologi Sastra. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Noviasmara.Na’imah Prima.1999. Tinjauan Psikologis Perwatakan

Tokoh-Tokoh Novel Michael Kohlhaas Karya Heinrich Von Kleist. Skripsi S1. Yogyakarta: Program Studi Bahasa Jerman, UPT Perpustakaan Universitas Negeri Yogyakarta.

Nurgiyantoro, Burhan. 2012. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Peyroutet, Claude. 2001. La Pratique de l’Expression Écrite. Paris: NATHAN.


(63)

116

Robert, Paul. 1993. Dictionnaire Le Petit Robert. Paris: Seuil.

Schmitt, M.P. dan A. Viala. 1982. Savoir-lire Faire Lire. Paris: Éditions Didier.

Semiun, Yustinus. 2006. Teori Kepribadian dan Terapi Psikoanalitik Freud. Yogyakarta: Kanisius.

Supratiknya, A. 1995. Mengenal Perilaku Abnormal.Yogyakarta: Kanisius. Ubersfeld, Anne. 1996. Lire le Théâtre I. Paris: Belin.

Zaimar, Okke KS. 1990. Menelusuri makna Ziarah karya Iwan Simatupang. Jakarta: Djambatan.

Zuchdi, Darmiyati. 1993. Panduan Penelitian Analisis Konten, Seri Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Lembaga Penelitian IKIP Yogyakarta.

Website

www.decitre.fr/auteur/271196/Anna+Gavalda. Diakses pada Rabu 15 Januari 2014.

http://www.aufeminin.com/portraits-de-femmes/anna-gavalda-d48638.html.Diaksespada Rabu 12 Maret 2014.

www.hotcourses.co.id. Diakses pada Senin3 Maret 2014.


(64)

(1)

La présence de Kate est très importante. Grâce à elle, Charles obtient le rétablissement de son traumatisme et de ses inquiétudes.

L’histoire de ce roman se déroule dans quelques villes, mais sont dominés en France. Ce sont : Paris (chez les parents de Charles, l’appartement de Charles, et le bureau de Charles), Drancy (le cimetière d’Anouk) et Vesperies (le nom de cirque de Kate plaquée devant chez Kate).

Cette histoire s’écoule pendant environ 9 mois, depuis le début de l’hiver jusqu’à l’été. Ce roman montre une vie moderne d’un homme bourgeois d’aujourd’hui avec un rythme qui est très rapide et les peuples individualistes et libres.

Ces 3 éléments intrinsèques qui sont présentés avant, tels que l’intrique, les personnages et les espaces liées par le thème forment une unité dynamique.Le thème principal de ce roman est le sentiment d’amour, d’une affection. Tandis que le thème de l’amitié et la relation familiale sont présentés dans ce roman.

2. La Relation parmi Les Éléments Intrinsèques du Roman La Consolanted’Anna Gavalda

Les éléments intrinsèques dans un œuvre littéraire, tels que l’intrigue, les personnages, les espaces et le thème s’enchainent pourformer ou réaliser une unité dynamique d’histoire. Les personnages, soit les personnages principals ou supplémentaires, font des actions ou passent des événements dans un lieu ou dans un moment. Ils font de mouvement d’histoire et forment de l’intrigue.


(2)

La présence des personnages supplémentaires arrivent comme un adjuvant ou un opposant. Ils peuvent aider la tentative de personnage principal pour réaliser son but, mais aussi ils s’opposent ou empêchent le personnage principal.

Tous les résultats d’analyse structurale, s’enchainent alors et réalisent ou composent une idée qu’on l’appelle le thème majeur. Charles comme le personnage principal, à cause de son amour obsessionnel d’Anouk, essaie beaucoup de retrouver Anouk qui est déjà morte. Il veut trouver une guérison de son plaie du passé à cause d’Anouk. Ses efforts sont vains parce qu’il pense toujours à Anouk et ses mémoires. Ça aussi lui fait toujours paralyser et ne provoque que la douleur et l’inquiétude. Mais, enfin il peut réaliser son but grâce à la présence de Kate. Les événements se déroulent et se dominent en France. Tous les éléments intrinsèques se soutiennent pour réaliser le thème de cette histoire.

3. L’analyse Psychologique de Personnage Principal Roman La Consolanted’Anna Gavalda.

Après avoir analysé les éléments structuraux dans le roman La Consolante, on continue alors analyser la situation psychologique du personnage principal de roman avec la théorie de la psychanalyse de Sigmund Freud. Cette théorie est utilisable à examiner la situation psychologique d’un personnage et son déséquilibre d’émotion. Le romanLa Consolante d’Anna Gavalda pale d’un architecte qui tente de trouver son amour, Anouk, une femme qui a 20 ans de plus de Charles.


(3)

L’auteur désigne la personnalité de Charles et on trouve quelques instabilités psychologiques de Charles. On commencede son attitude émotionnelle,jusqu’à l’apparitiondes grands inquiétudes qui provoquent un grand bouleversement dans sa vie. Le petit Charles qui passait son enfance avec un sentiment de solitude, qui est suivi par la disparition d’affection et d’attention de sa mère, devient un enfant ayant la tendance d’Oedipus Complex, la tendance d’aimer une femme plus vieille.

Charles ne gagnait pas l’affection, la tendresse et la relation sexuelle entre un enfant et sa mère. Ça fait disparaîtrel’objet d’amour pour Charles. Pas loin de ça, Anouk fait son apparition. Elle donne tous ce que Charles ne gagne pas de sa mère.

Bercé par l’amour d’Anouk, Charles est absorbé dansses sentiments. Elle devient l’objet de l’amour de Charles et devient la femme le plus adorée pour Charles, plus que des autres femmes autour de lui. Charles faisait aussi la relation intime avec Anouk. On dit que l’amour et la relation qui sont faites est une anomalie. Après cet événement, Charles s’en va, il essaie de s’isoler et de l’oublier. Il s’est absorbé de son travail et de sa formation. Ici, Charles fait un mécanisme de la défense qu’on l’appelle repression. Son amour et son désir d’Anouk sont cachés dans son inconscience, tout au fond de lui-même. Il se sent fautif.

L’inconscience de Charles garde bien les mémoires, l’amour et le désir enfantil de Charles. La nouvelle de la morte d’Anouk lui provoque la grande culpabilité et extrêmement troublée. Ces anxiétés, ces inquiétudes et


(4)

ces culpabilités lui hantent simultanément. Il passe beaucoup de nuits blanches, il a des insomnies, imagine beaucoup d’Anouk, il pense qu’elle est toujours à côté de lui, il lui parle, il fait des fantasme d’Anouk, il est mal-adapté, il fume et boit beaucoup.

À cause de cela, il voudrait chercher Alexis, l’enfant d’Anouk. Il voudrait lui demander la cause de sa morte. Mais, avant de réaliser ce désir, Charles trouve tant de colère à Alexis. Il est très déçu parce qu’Alexis a laissé sa mère et l’a abandonnée.et alors, il va et arrive justement chez Alexis. Cette visite crée la rencontre entre Charles et la lumineuse Kate. Cette rencontre renaît le désir d’Anouk, Charles tombe amoureux encore d’une femme qui ressemble à Anouk. Ce désir d’inconscience trouve un vrai objet. Ses inquiétudes et ses anxiétés disparaissent depuis sa rencontre avec Kate. Elle apparait comme une guérisseuse pour Charles. Elle attired’abord l’attention de Charles avec sa performance, avec sa beauté. Les jours qui sont passés par Charles et Kate donnent le temps à Kate pour attirer tous les attentions et l’amour de Charles.

B. Conslusion

Le roman La Consolanted’Anna Gavalda est un roman racontant un architecte français, né dans une famille bourgeoise, s’appelant Charles Balanda. L’histoire se raconte chronologiquement et on trouve aussi des événements au passé. Ce roman a une fin heureuse car le sujet est rétabli de sa flemme psychologique. Le personnage principal fait beaucoup de tentatives pour réaliser son but. Il est aidé et empêché par les personnages supplémentaires. Ces quatres personnages s’appelant Anouk, Kate, Claire et


(5)

Laurence, ensemble avec le personnage principal Charles, font des actions et des événements qui forment l’intrigue du roman.

L’histoire de ce roman se déroule en France, à Paris en particulier, se passe de l’hiver jusqu’à l’été. Le cadre social montré dans ce roman est la communauté bourgeoise qui est présenté par Charles.Ces éléments structuraux construisent l’histoire qui sont liées par le thème. Le thème majeur du roman La Consolante est l’amour et l’affection. Tandis que l’amitié et la relation familiale présente comme les thèmes mineurs. Après avoir analysé les éléments intrinsèques, cette recherche est continuée par la détermination de la situation psychologique du personnage principal utilisant la théorie psychanalyse de Sigmund Freud.

On trouve que Charles a des instabilités de mentalité. Il a des équilibrés de son territoire d’esprit, contient de moi, de ça et de surmoi. Le ça de Charles exige toujoursla réalisation du désir de son enfance. Mais il a une grande culpabilité de son surmoi. Le moi de Charles ne peut pas les équilibrer. Son ça et son surmoi provoquent alors des inquiétudes et des bouleversements en lui. Le moi de Charles fait forcement les mécanismes de la défense tels que la répression, la sublimation, l’agression, le fantasme, le déplacement, la régression, et la réaction de formation.Ces bouleversements provoquent aussi le changement d’attitude de Charles et troublent sa vie. Mais enfin, il trouve une merveilleuse femme, Kate. Le désir de son inconscience trouve un vrai objet.


(6)

Après avoir expliqué les résultats de ce roman, on peut tirer quelques propositions. La recherche du roman La Consolante peut être utilisée comme l’un des sources d’apprentissages dans l’enseignement du français au lycée ou pour les étudiants. La recherche de roman La Consolante peut être bénéficiée comme une référence, en face à tout les problèmes dans la vie moderne. Le résultat de la recherche de roman La Consolante peut être utilisé comme une référence pour l’autre recherche avec la même théorie.