PENDAHULUAN Evaluasi Ketepatan Antibiotik Pada Pasien Anak Terdiagnosa Pneumonia Di Rsup Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten Tahun 2014.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pneumonia adalah inflamasi akut pada parenkim paru yang disebabkan
oleh mikroorganisme (bakteri atau virus) dan menjadi penyebab utama mortalitas
dan morbiditas anak (Karim et al., 2014). Pneumonia termasuk penyakit yang
berbahaya karena paru-paru tidak mendapatkan asupan oksigen untuk dialirkan ke
seluruh tubuh. Sreptococcus pneumoniae adalah bakteri yang menyerang sistem
imun dan mengakibatkan infeksi pada sistem pernafasan (Kartasamita, 2010).
WHO menyebutkan bahwa angka kejadian pneumonia lebih besar terjadi
di negara berkembang karena masalah kesehatan masih belum mendapatkan
perhatian khusus. Jika dibandingkan dengan negara maju, angka kejadian
pneumonia lebih kecil karena vaksinasi yang mudah didapat, asuransi kesehatan
anak, dan pengobatan yang tersedia (Sectish and Prober, 2007). Diperkirakan
lebih dari 2 juta tiap tahun kematian pada anak di bawah usia 5 tahun disebabkan
oleh pneumonia, 5.500 anak meninggal setiap hari atau 4 bayi meninggal
tiap satu menit (Gauri et al., 2012). Di negara berkembang, kejadian pneumonia
anak ada 151,8 juta kasus per tahun dan 10% diantaranya merupakan pneumonia
berat yang memerlukan perawatan khusus di rumah sakit. (Kartasamita, 2010). Di
Indonesia sendiri, diperkirakan 140.000 anak per tahun atau rata-rata 1 anak
meninggal setiap 5 menit akibat pneumonia (Depkes, 2006).
Pengobatan pneumonia menggunakan antibiotik yang bergantung pada
ketepatan antibiotik. Selain itu penggunaan antibotik yang tidak tepat dapat
menimbulkan efek samping, memperlama masa penyembuhan, mengakibatkan
resistensi, dan meningkatkan biaya pengobatan. Ketepatan penggunaan dan
pemilihan antibiotik menjadi penentu keberhasilan terapi untuk menghindari
terjadinya efek samping. RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro dipilih sebagai tempat
penelitian karena menurut data internal pada tahun 2013, pneumonia menempati
urutan ke-5 dari 10 besar kasus penyakit terbanyak di rumah sakit tersebut.
1
2
Dari hasil penelitian Pingkan (2014), jenis
banyak
digunakan
pada
ampisilin-kloramfenikol
pneumonia
yakni
sebesar
anak
antibiotika
ialah
26,42%.
yang paling
kombinasi
Evaluasi
antibiotika
penggunaan
antibiotika yang rasional berdasarkan kriteria tepat pasien (100%), tepat
indikasi (100%), tepat obat (100%) dan penggunaan antibiotika yang tidak
rasional pada kriteria tepat dosis (8,93%) dan tepat lama pemberian (11,61%).
Berdasarkan beberapa hal sebelumnya, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang “Evaluasi Ketepatan Antibiotik Pada Pasien Anak Terdiagnosis
Pneumonia Di RSUP Soeradji Tirtonegoro Tahun 2014”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, dapat dirumuskan sebab permasalahan, yaitu:
Apakah peresepan antibiotik pada anak di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro
berdasarkan ketepatan pemilihan obat, tepat indikasi, tepat dosis, dan tepat pasien
sudah sesuai dengan Standar Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit (IDAI,
2009) dan Modul Tatalaksana Standar Pneumonia (Kemenkes, 2010)?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi peresepan antibiotik pada
pasien anak terdiagnosa pneumonia di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
tahun 2014 dengan Standar Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit (IDAI,
2009) dan Modul Tatalaksana Standar Pneumonia (Kemenkes, 2010) yang dilihat
dari ketepatan pemilihan obat, tepat indikasi, tepat dosis, dan tepat pasien.
D. Tinjauan Pustaka
1. Pneumonia pada Anak
a. Definisi
Infeksi pada saluran nafas menjadi penyakit umum yang terjadi di
kalangan masyarakat. Pneumonia menjadi penyakit infeksi saluran pernapasan
yang sering menyebabkan kematian pada bayi dan anak karena kurangnya
perhatian dan kualitas penataksanaan yang tidak memadai. Pneumonia merupakan
3
infeksi di ujung bronkhiol dan alveoli yang disebabkan berbagai mikroorganisme
(Misnadiarly, 2008). Peradangan yang terdapat konsolidasi karena disebabkan
pengisian rongga alveoli oleh eksudat sehingga pertukaran gas tidak dapat
berlangsung di daerah yang mengalami konsolidasi disebut juga dengan
pneumonia (Somantri, 2008).
b. Etiologi
Secara global, bakteri Pneumokokus diperkirakan menyebabkan kematian
anak di bawah usia 5 tahun (O'Brien et al., 2009). Virus dan jamur juga dapat
menyebabkan infeksi pneumonia (Mandell and Wunderink, 2008). Bahan kimia
(hidrokarbon, lipoid substances) atau benda asing yang teraspirasi juga menjadi
penyebab lainnya (Sectish and Prober, 2007).
Penyebab tersering kasus pneumonia adalah respiratory syncytial virus
(RSV), parainfluenza virus, influenza virus, dan adenovirus. Bakteri yang
berperan penting adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenze,
Staphylococcus aureus, Streptococcus group B, serta kuman atipik klamidia dan
mikoplasma. Penyebab terbanyak pneumonia pada usia prasekolah dan berkurang
dengan bertambahnya umur adalah Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia
pneumoniae (McIntosh, 2002).
b.
Patofisiologi
Sebagian besar pneumonia didapat melalui aspirasi partikel infektif. Pada
keadaan normal ada beberapa mekanisme yang melindungi paru dari infeksi.
Partikel infeksius difiltrasi di hidung dan dibersihkan oleh mukus dan epitel
bersilia di saluran napas. Bila suatu partikel dapat mencapai paru-paru, partikel
tersebut akan berhadapan dengan makrofag alveoler, dan juga dengan mekanisme
imun sistemik, dan humoral (Smeltzer and Bare, 2001).
Jika
salah
satu
mekanisme
diatas
mengalami
gangguan
yang
mengakibatkan kuman patogen mencapai saluran nafas, maka akan terjadi
pneumonia. Respon inflamasi akut yang berbeda dengan patogen penyebabnya
akan ditimbulkan oleh inokulasi patogen. Infeksi virus ditandai lesi awal berupa
4
kerusakan silia epitel dengan akumulasi debris ke dalam lumen. Infiltrasi sel-sel
mononuklear ke dalam submukosa dan perivaskular menjadi respon inflamasi
awal. Terdapat sel-sel PMN dalam jumlah kecil dalam saluran nafas kecil. Jika
dibiarkan, sejumlah mukus dan debris serta sel-sel inflamasi akan meningkat dan
menyebabkan obstruksi baik parsial maupun total. Respon inflamasi ini akan
diperberat dengan adanya edema submukosa yang bisa meluas ke dinding alveoli.
Proses
inflamasi
yang
berat
akan
mengakibatkan
terjadinya
denudasi
(pengelupasan) epitel dan akan membentuk eksudat hemoragik. Terjadinya
pneumonia bakterial karena rusaknya barier mukosa merupakan predisposisi
pneumonia viral pada anak (Linchestein et al., 2003).
Gangguan komponen volume dari ventilasi akibat kelainan langsung di
parenkim terjadi karena pneumonia yang berakibat gangguan volume tubuh yang
berusaha mengkompensasi dengan meningkatkan volume tidal dan frekuensi
nafas sehingga secara klinis terlihat takipnea dan dispnea dengan tanda-tanda
inspiratory effort. Penurunan ventilasi mengakibatkan tidak tercapainya ventilasi
perfusi
yang
disebut
ventilation
perfusion
mismatch,
tubuh
berusaha
meningkatkannya sehingga terjadi usaha ekstra dan pasien terlihat sesak.
Berkurangnya volume paru secara fungsional akan mengganggu proses disfusi
yang menyebabkan gangguan pertukaran gas sehingga terjadi hipoksia. Gagal
nafas bisa terjadi pada keadaan pneumonia yang berat (Lang, 2000).
c.
Gambaran Klinis
Gejala pneumonia diantaranya adalah serangan akut dan membahayakan,
demam, batuk, pilek wheezing, sakit kepala, malaise, myalgia (pada anak),
nyeri abdomen (Suriadi, 2006).
Gejala pada paru biasanya timbul setelah beberapa saat proses infeksi
berlangsung. Setelah gejala awal seperti demam dan batuk pilek, gejala nafas
cuping hidung, takipnea, dispnea, dan apnea baru timbul. Otot bantu nafas
interkostal dan abdominal mungkin digunakan (Gittens, 2002).
5
2. Farmakoterapi Pneumonia
Menurut WHO (2003), golongan obat yang biasa digunakan di dunia
adalah antibiotik dan non antibiotik. Namun untuk terapi pneumonia, antibiotik
lebih sering digunakan. Zat yang dihasilkan oleh mikroba, terutama fungi, yang
dapat
menghambat dan membunuh pertumbuhan mikroorganisme merupakan
pengertian dari antibiotik.
Penggunaan antibiotik pada pneumonia anak dibagi menjadi dua, yaitu
antibiotik oral dan antibiotik injeksi intravena.
Tabel 1. Pilihan antibiotik oral untuk pneumonia anak
Kotrimoksasol
Beri 2 kali sehari selama 3 hari
Umur atau berat
badan
Sirup/5 ml
Amoksisilin
Beri 2 kali sehari selama
3 hari
Sirup
Kaplet
Tablet
Dewasa
80 mg + 400
mg
Tablet
Anak
20 mg +
80 mg
2- < 4 bulan
4- < 6 kg
¼
1
4- < 12 bulan
6- < 10 kg
½
2
1 - < 3 tahun
10 - < 16 kg
¾
2,5
7,5 ml
(1,5 sendok
takar)
2/3
12,5 ml
(2,5 sendok
takar)
3- < 5 tahun
16- < 19 kg
1
3
10 ml
(2 sendok
takar)
¾
15 ml
(3 sendok
takar)
40 mg + 200
mg
500 mg
2,5 ml
(0,5 sendok
takar)
5 ml
(1 sendok
takar)
¼
½
125 mg/5
ml
5 ml
(1 sendok
takar)
10 ml
(2 sendok
takar)
(Kemenkes, 2010)
Tabel 2. Pilihan antibiotik intravena untuk pneumonia anak
Umur atau berat badan
Antibiotik
Dosis
Frekuensi
< 2 bulan
(< 4 kg)
2 bulan - 5 tahun
(4-19 kg)
Ampisilin dan
Gentamisin
Ampisilin dan
Gentamisin
100 mg/kgBB
2,5 mg/kgBB
50 mg/kgBB
7,5 mg/kgBB
Setiap 12 jam
Setiap 6 jam
Setiap 24 jam
(Kemenkes, 2010)
6
Antibiotik
Penisilin G
Ampisilin
Kloramfenikol
Ceftriaxone
Cefuroxime
Clindamycin
Tabel 3. Pilihan antibiotik intravena untuk pneumonia anak
Dosis
Frekuensi
Keterangan
50.000 unit/kg/kali
Dosis tunggal maks.
4.000.000 unit
100 mg/kg/hari
100 mg/kg/hari
50 mg/kg/kali
Dosis tunggal maks.
2 gram
50 mg/kg/kali
Dosis tunggal maks.
2 gram
10 mg/kg/kali
Dosis tunggal maks.
1,2 gram
Tiap 4 jam
S. pneumonia
Tiap 6 jam
Tiap 6 jam
Satu kali sehari
S. pneumoniae, H. Influenza
S. pneumoniae, H. Influenza
S. pneumoniae, H. Influenza
Tiap 8 jam
S. pneumoniae, H. Influenza
Tiap 6 jam
S. aureus, S. pneumoniae,
(alternatif untuk anak alergi
beta laktam, lebih jarang
menimbulkan flebitis pada
pemberian IV daripada
eritromisin)
(IDAI, 2009)
3. Penggunaan Obat Secara Rasional.
Kunci keberhasilan pelayanan kesehatan dapat dilihat dari penanganan
penggunaan obat. Pemberian obat dengan dosis yang tepat dapat membantu
proses penyembuhan. Penggunaan obat yang tidak rasional atau tidak tepat akan
mengganggu proses penyembuhan, terjadi resistensi bakteri dan pemborosan
akibat perencanaan pengobatan yang diluar rencana. Kriteria rasionalitas obat
menurut WHO (2003) meliputi :
a. Tepat indikasi.
Obat yang diberikan harus sesuai dengan gejala yang dialami pasien.
Tepat indikasi diasumsikan 100% karena pada penelitian retrospektif keadaan
pasien sebenarnya tidak diketahui.
b. Tepat obat.
Memperhitungkan umur, berat badan, dan kronologi penyakit untuk
memberikan pengobatan.
c. Tepat dosis.
Jika dosis, frekuensi, dan durasi pemberian obat tidak sesuai dengan
pasien, maka dapat dikatakan tidak tepat dosis.
7
d. Tepat pasien
Ketepatan pasien dilihat dari ada atau tidaknya kontraindikasi ketika obat
diberikan. Jika obat yang
digunakan
pasien
terdapat kontraindikasi, maka
peresepan dikatakan tidak tepat pasien.
Sedangkan pemakaian obat yang tidak rasional dapat dikategorikan
menjadi :
a. Peresepan berlebihan (over prescribing).
b. Peresepan kurang (under prescribing).
c. Peresepan majemuk (multiple prescribing).
d. Peresepan yang salah (incorrect prescribing).
e. Peresepan boros (extravagant prescribing).
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pneumonia adalah inflamasi akut pada parenkim paru yang disebabkan
oleh mikroorganisme (bakteri atau virus) dan menjadi penyebab utama mortalitas
dan morbiditas anak (Karim et al., 2014). Pneumonia termasuk penyakit yang
berbahaya karena paru-paru tidak mendapatkan asupan oksigen untuk dialirkan ke
seluruh tubuh. Sreptococcus pneumoniae adalah bakteri yang menyerang sistem
imun dan mengakibatkan infeksi pada sistem pernafasan (Kartasamita, 2010).
WHO menyebutkan bahwa angka kejadian pneumonia lebih besar terjadi
di negara berkembang karena masalah kesehatan masih belum mendapatkan
perhatian khusus. Jika dibandingkan dengan negara maju, angka kejadian
pneumonia lebih kecil karena vaksinasi yang mudah didapat, asuransi kesehatan
anak, dan pengobatan yang tersedia (Sectish and Prober, 2007). Diperkirakan
lebih dari 2 juta tiap tahun kematian pada anak di bawah usia 5 tahun disebabkan
oleh pneumonia, 5.500 anak meninggal setiap hari atau 4 bayi meninggal
tiap satu menit (Gauri et al., 2012). Di negara berkembang, kejadian pneumonia
anak ada 151,8 juta kasus per tahun dan 10% diantaranya merupakan pneumonia
berat yang memerlukan perawatan khusus di rumah sakit. (Kartasamita, 2010). Di
Indonesia sendiri, diperkirakan 140.000 anak per tahun atau rata-rata 1 anak
meninggal setiap 5 menit akibat pneumonia (Depkes, 2006).
Pengobatan pneumonia menggunakan antibiotik yang bergantung pada
ketepatan antibiotik. Selain itu penggunaan antibotik yang tidak tepat dapat
menimbulkan efek samping, memperlama masa penyembuhan, mengakibatkan
resistensi, dan meningkatkan biaya pengobatan. Ketepatan penggunaan dan
pemilihan antibiotik menjadi penentu keberhasilan terapi untuk menghindari
terjadinya efek samping. RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro dipilih sebagai tempat
penelitian karena menurut data internal pada tahun 2013, pneumonia menempati
urutan ke-5 dari 10 besar kasus penyakit terbanyak di rumah sakit tersebut.
1
2
Dari hasil penelitian Pingkan (2014), jenis
banyak
digunakan
pada
ampisilin-kloramfenikol
pneumonia
yakni
sebesar
anak
antibiotika
ialah
26,42%.
yang paling
kombinasi
Evaluasi
antibiotika
penggunaan
antibiotika yang rasional berdasarkan kriteria tepat pasien (100%), tepat
indikasi (100%), tepat obat (100%) dan penggunaan antibiotika yang tidak
rasional pada kriteria tepat dosis (8,93%) dan tepat lama pemberian (11,61%).
Berdasarkan beberapa hal sebelumnya, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang “Evaluasi Ketepatan Antibiotik Pada Pasien Anak Terdiagnosis
Pneumonia Di RSUP Soeradji Tirtonegoro Tahun 2014”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, dapat dirumuskan sebab permasalahan, yaitu:
Apakah peresepan antibiotik pada anak di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro
berdasarkan ketepatan pemilihan obat, tepat indikasi, tepat dosis, dan tepat pasien
sudah sesuai dengan Standar Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit (IDAI,
2009) dan Modul Tatalaksana Standar Pneumonia (Kemenkes, 2010)?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi peresepan antibiotik pada
pasien anak terdiagnosa pneumonia di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
tahun 2014 dengan Standar Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit (IDAI,
2009) dan Modul Tatalaksana Standar Pneumonia (Kemenkes, 2010) yang dilihat
dari ketepatan pemilihan obat, tepat indikasi, tepat dosis, dan tepat pasien.
D. Tinjauan Pustaka
1. Pneumonia pada Anak
a. Definisi
Infeksi pada saluran nafas menjadi penyakit umum yang terjadi di
kalangan masyarakat. Pneumonia menjadi penyakit infeksi saluran pernapasan
yang sering menyebabkan kematian pada bayi dan anak karena kurangnya
perhatian dan kualitas penataksanaan yang tidak memadai. Pneumonia merupakan
3
infeksi di ujung bronkhiol dan alveoli yang disebabkan berbagai mikroorganisme
(Misnadiarly, 2008). Peradangan yang terdapat konsolidasi karena disebabkan
pengisian rongga alveoli oleh eksudat sehingga pertukaran gas tidak dapat
berlangsung di daerah yang mengalami konsolidasi disebut juga dengan
pneumonia (Somantri, 2008).
b. Etiologi
Secara global, bakteri Pneumokokus diperkirakan menyebabkan kematian
anak di bawah usia 5 tahun (O'Brien et al., 2009). Virus dan jamur juga dapat
menyebabkan infeksi pneumonia (Mandell and Wunderink, 2008). Bahan kimia
(hidrokarbon, lipoid substances) atau benda asing yang teraspirasi juga menjadi
penyebab lainnya (Sectish and Prober, 2007).
Penyebab tersering kasus pneumonia adalah respiratory syncytial virus
(RSV), parainfluenza virus, influenza virus, dan adenovirus. Bakteri yang
berperan penting adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenze,
Staphylococcus aureus, Streptococcus group B, serta kuman atipik klamidia dan
mikoplasma. Penyebab terbanyak pneumonia pada usia prasekolah dan berkurang
dengan bertambahnya umur adalah Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia
pneumoniae (McIntosh, 2002).
b.
Patofisiologi
Sebagian besar pneumonia didapat melalui aspirasi partikel infektif. Pada
keadaan normal ada beberapa mekanisme yang melindungi paru dari infeksi.
Partikel infeksius difiltrasi di hidung dan dibersihkan oleh mukus dan epitel
bersilia di saluran napas. Bila suatu partikel dapat mencapai paru-paru, partikel
tersebut akan berhadapan dengan makrofag alveoler, dan juga dengan mekanisme
imun sistemik, dan humoral (Smeltzer and Bare, 2001).
Jika
salah
satu
mekanisme
diatas
mengalami
gangguan
yang
mengakibatkan kuman patogen mencapai saluran nafas, maka akan terjadi
pneumonia. Respon inflamasi akut yang berbeda dengan patogen penyebabnya
akan ditimbulkan oleh inokulasi patogen. Infeksi virus ditandai lesi awal berupa
4
kerusakan silia epitel dengan akumulasi debris ke dalam lumen. Infiltrasi sel-sel
mononuklear ke dalam submukosa dan perivaskular menjadi respon inflamasi
awal. Terdapat sel-sel PMN dalam jumlah kecil dalam saluran nafas kecil. Jika
dibiarkan, sejumlah mukus dan debris serta sel-sel inflamasi akan meningkat dan
menyebabkan obstruksi baik parsial maupun total. Respon inflamasi ini akan
diperberat dengan adanya edema submukosa yang bisa meluas ke dinding alveoli.
Proses
inflamasi
yang
berat
akan
mengakibatkan
terjadinya
denudasi
(pengelupasan) epitel dan akan membentuk eksudat hemoragik. Terjadinya
pneumonia bakterial karena rusaknya barier mukosa merupakan predisposisi
pneumonia viral pada anak (Linchestein et al., 2003).
Gangguan komponen volume dari ventilasi akibat kelainan langsung di
parenkim terjadi karena pneumonia yang berakibat gangguan volume tubuh yang
berusaha mengkompensasi dengan meningkatkan volume tidal dan frekuensi
nafas sehingga secara klinis terlihat takipnea dan dispnea dengan tanda-tanda
inspiratory effort. Penurunan ventilasi mengakibatkan tidak tercapainya ventilasi
perfusi
yang
disebut
ventilation
perfusion
mismatch,
tubuh
berusaha
meningkatkannya sehingga terjadi usaha ekstra dan pasien terlihat sesak.
Berkurangnya volume paru secara fungsional akan mengganggu proses disfusi
yang menyebabkan gangguan pertukaran gas sehingga terjadi hipoksia. Gagal
nafas bisa terjadi pada keadaan pneumonia yang berat (Lang, 2000).
c.
Gambaran Klinis
Gejala pneumonia diantaranya adalah serangan akut dan membahayakan,
demam, batuk, pilek wheezing, sakit kepala, malaise, myalgia (pada anak),
nyeri abdomen (Suriadi, 2006).
Gejala pada paru biasanya timbul setelah beberapa saat proses infeksi
berlangsung. Setelah gejala awal seperti demam dan batuk pilek, gejala nafas
cuping hidung, takipnea, dispnea, dan apnea baru timbul. Otot bantu nafas
interkostal dan abdominal mungkin digunakan (Gittens, 2002).
5
2. Farmakoterapi Pneumonia
Menurut WHO (2003), golongan obat yang biasa digunakan di dunia
adalah antibiotik dan non antibiotik. Namun untuk terapi pneumonia, antibiotik
lebih sering digunakan. Zat yang dihasilkan oleh mikroba, terutama fungi, yang
dapat
menghambat dan membunuh pertumbuhan mikroorganisme merupakan
pengertian dari antibiotik.
Penggunaan antibiotik pada pneumonia anak dibagi menjadi dua, yaitu
antibiotik oral dan antibiotik injeksi intravena.
Tabel 1. Pilihan antibiotik oral untuk pneumonia anak
Kotrimoksasol
Beri 2 kali sehari selama 3 hari
Umur atau berat
badan
Sirup/5 ml
Amoksisilin
Beri 2 kali sehari selama
3 hari
Sirup
Kaplet
Tablet
Dewasa
80 mg + 400
mg
Tablet
Anak
20 mg +
80 mg
2- < 4 bulan
4- < 6 kg
¼
1
4- < 12 bulan
6- < 10 kg
½
2
1 - < 3 tahun
10 - < 16 kg
¾
2,5
7,5 ml
(1,5 sendok
takar)
2/3
12,5 ml
(2,5 sendok
takar)
3- < 5 tahun
16- < 19 kg
1
3
10 ml
(2 sendok
takar)
¾
15 ml
(3 sendok
takar)
40 mg + 200
mg
500 mg
2,5 ml
(0,5 sendok
takar)
5 ml
(1 sendok
takar)
¼
½
125 mg/5
ml
5 ml
(1 sendok
takar)
10 ml
(2 sendok
takar)
(Kemenkes, 2010)
Tabel 2. Pilihan antibiotik intravena untuk pneumonia anak
Umur atau berat badan
Antibiotik
Dosis
Frekuensi
< 2 bulan
(< 4 kg)
2 bulan - 5 tahun
(4-19 kg)
Ampisilin dan
Gentamisin
Ampisilin dan
Gentamisin
100 mg/kgBB
2,5 mg/kgBB
50 mg/kgBB
7,5 mg/kgBB
Setiap 12 jam
Setiap 6 jam
Setiap 24 jam
(Kemenkes, 2010)
6
Antibiotik
Penisilin G
Ampisilin
Kloramfenikol
Ceftriaxone
Cefuroxime
Clindamycin
Tabel 3. Pilihan antibiotik intravena untuk pneumonia anak
Dosis
Frekuensi
Keterangan
50.000 unit/kg/kali
Dosis tunggal maks.
4.000.000 unit
100 mg/kg/hari
100 mg/kg/hari
50 mg/kg/kali
Dosis tunggal maks.
2 gram
50 mg/kg/kali
Dosis tunggal maks.
2 gram
10 mg/kg/kali
Dosis tunggal maks.
1,2 gram
Tiap 4 jam
S. pneumonia
Tiap 6 jam
Tiap 6 jam
Satu kali sehari
S. pneumoniae, H. Influenza
S. pneumoniae, H. Influenza
S. pneumoniae, H. Influenza
Tiap 8 jam
S. pneumoniae, H. Influenza
Tiap 6 jam
S. aureus, S. pneumoniae,
(alternatif untuk anak alergi
beta laktam, lebih jarang
menimbulkan flebitis pada
pemberian IV daripada
eritromisin)
(IDAI, 2009)
3. Penggunaan Obat Secara Rasional.
Kunci keberhasilan pelayanan kesehatan dapat dilihat dari penanganan
penggunaan obat. Pemberian obat dengan dosis yang tepat dapat membantu
proses penyembuhan. Penggunaan obat yang tidak rasional atau tidak tepat akan
mengganggu proses penyembuhan, terjadi resistensi bakteri dan pemborosan
akibat perencanaan pengobatan yang diluar rencana. Kriteria rasionalitas obat
menurut WHO (2003) meliputi :
a. Tepat indikasi.
Obat yang diberikan harus sesuai dengan gejala yang dialami pasien.
Tepat indikasi diasumsikan 100% karena pada penelitian retrospektif keadaan
pasien sebenarnya tidak diketahui.
b. Tepat obat.
Memperhitungkan umur, berat badan, dan kronologi penyakit untuk
memberikan pengobatan.
c. Tepat dosis.
Jika dosis, frekuensi, dan durasi pemberian obat tidak sesuai dengan
pasien, maka dapat dikatakan tidak tepat dosis.
7
d. Tepat pasien
Ketepatan pasien dilihat dari ada atau tidaknya kontraindikasi ketika obat
diberikan. Jika obat yang
digunakan
pasien
terdapat kontraindikasi, maka
peresepan dikatakan tidak tepat pasien.
Sedangkan pemakaian obat yang tidak rasional dapat dikategorikan
menjadi :
a. Peresepan berlebihan (over prescribing).
b. Peresepan kurang (under prescribing).
c. Peresepan majemuk (multiple prescribing).
d. Peresepan yang salah (incorrect prescribing).
e. Peresepan boros (extravagant prescribing).