PERAN KELUARGA TERHADAP STRESS AKIBAT PERNIKAHAN DINI Coping Stress Pada Remaja Yang Menikah Di Usia Dini.

PERAN KELUARGA TERHADAP STRESS AKIBAT PERNIKAHAN DINI

HALAMAN DEPAN

PUBLIKASI ILMIAH
Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada jurusan
Psikologi Fakultas Psikologi

Oleh:
ALIFAH NURDJANAH
F 100 120 072

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016

-l
IIALAMAN PERSETUJUAN

PERAN KELUARGA TERHADAP STRESS AKIBAT PERNIKAHAN

DINI

PUBLIKASI ILMIAH

Oleh

:

ALIF'AH NUR,DJANAH
F 100 120 072

Telah diperiksa dan disetujui oleh:

Dosen Pembimbing

\*,rr
Setia Asvanti S.Psi. NI.Si. psi

HALAMAN PENGESAHAN


PERAN KELUARGA TERHADAP STRESS AKIBAT
PERNII(A,HAN DINT

Yang diajukan oleh:

ALIFAH NURDJANAH
F 100 720 072

Telah dipertahankandi depan Dewan penguji
Pada tanggal 12 Oktober 2016

Dan dinyatakan telah memenuhi svarat

Penguji Utarra
Setia Asyanti, S.psi., M.Si, psi
Penguji Pendarrping I

Dr. Eny Purw andari, M.Si
Penguji Pendamping


II

Wisnu Sri Hertinjung, S.psi., M.psi, psi

Surakarta, 12
Universitas
tas Psik
Dekan

/S--ig{-

(*,

'fr-l -: .r" l:
ff
,'l S'a :-

2016
Surakarta


!

\i";'f r I

?-\
(pr \:', ,..',

\\a

**.#-4

.799/0629037401

ii

PERI.{YATAAN

De,gan ini saya menyatakan bahwa rlalam naskah publikasi
ini tidak terdapat karya
yang pemah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan


di

suatu perguruarr tinggi dan

sepanjang pengetahuan saya
-iuga tidak terdapat karya atau pendapat yang pemah ditulis atau

diterbitkan orang lain, kecuari secara tertulis diakui dalam
naskah dan disebutkan dalam
daftar pustaka.

Apabila kelak terbukti ada ketidakbe,aran dalam pemyataan
saya diatas, maka akan
saya peflanggungiawabkan sepenuhnya.

Surakafla, l2 Oktober 2016
Penulis,

Alifah Nurdjanah

F700120072

lt1

COPING STRESS PADA REMAJA YANG MENIKAH DI USIA DINI
Alifah Nurdjanah
Setia Asyanti, S.Psi., M.Si, Psi
Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta
Alifahn57@ymail.com
ABSTRAK
Pernikahan dini yang terjadi pada remaja menyebabkan remaja kehilangan salah satu
tugas terpenting dalam fase remajanya, yakni mempersiapkan perkawinan dan rumah
tangga. Remaja yang menikah di usia dini memiliki peran baru dalam kehidupannya
sebagai seorang dewasa. Pernikahan yang dijalani seseorang memiliki permasalahan yang
dapat menimbulkan adanya stress. Stress tersebut dapat diselesaikan dengan cara coping,
yakni usaha atau cara individu yang dilakukan untuk menghadapi situasi menekan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui masalah yang dialami remaja yang
menikah di usia dini, mengetahui bentuk stress yang dialami, mengetahui secara
mendalam bagaimana remaja mengatasi stress serta mengetahui dampak dari cara
tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan jumlah empat informan

utama dan tiga informan pendukung. Informan utama adalah remaja yang menikah di usia
dini dengan usia saat menikah kurang dari enam belas tahun, sedangkan informan
pendukung adalah keluarga atau orang terdekat dari informan utama. Dalam penelitian
ini, peneliti menggunakan metode wawancara dan observasi sebagai alat pengumpul
data.Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data tematik. Hasil
dari penelitian ini menunjukan bahwa permasalahan yang terjadi pada remaja yang
menikah di usia dini terbagi menjadi dua yakni masalah internal dan eksternal. Masalah
internal yang dialami oleh informan antara lain emosi negatif seperti merasa sedih,
menyesal, dan merasa bersalah, sedangkan masalah eksternal yang dialami antara lain
masalah ekonomi dan perceraian. Akibat dari permasalahan tersebut, informan
mengalami stress fisik, psikologis, intelektual dan interpersonal.Jenis coping yang
digunakan untuk memecahkan masalah berjenis coping pada masalah seperti perilaku
aktif, perencanaan, mencari dukungan instrumental serta jenis coping yang berfokus pada
emosi seperti mencari dukungan emosional, penerimaan diri, penyangkalan dan
religiusitas.Dari kedua jenis coping tersebut, tiga dari empat informan lebih banyak
menggunakan jenis coping yang berfokus pada emosi. Dampak dari coping yang
informan lakukan adalah merasa lega setelah mendapat dukungan emosional namun
semua informan juga merasa bahwa permasalahan yang mereka hadapi saat ini belum
sepenuhnya terselesaikan


Kata Kunci : Coping, Pernikahan Dini, Remaja, Stress

1

COPING STRESS ON ADOLESCENTS MARRIED IN EARLY AGE
Alifah Nurdjanah
Setia Asyanti, S.Psi., M.Si, Psi
Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta
Alifahn57@ymail.com
ABSTRACT
Early marriages happened in adolescents have caused them to lose one of the most
important duty in their adolescents period, such as preparing for their marriage and
household. Adolescents who married in early age have a new role in their life as an adult.
The life of marriage person always encounter problem that may cause stress. Stress can
be solved by means of coping, the way of individuals deal with stressful situations.The
purpose of this study was to determine the problems experienced by adolescents married
in early age, to find out the form of the stress experienced by them, to find out the stress
coping used and determine the impact of coping itself. This study applied a qualitative
method with four key informants and three supporting informants. Key informants are
adolescents married in early age and they married at the age of less than sixteen years old,

besides, the supporting informants are the family or relatives of the key informants. In
this study, researchers used interviews and observation methods as a means of data
collecting technique and the analyst of this research uses temathic analyst. The result of
this study determined that the problem occurs in adolescents married in early age is
divided into two: internal and external problems. The internal problems experienced by
informants are such a negative emotions like feeling sad, regret, and guilty, in addition,
the external problems experienced are economic problems and divorce. Due to those
problems, the informant experienced some physical, psychological, intellectual and
interpersonal stress. The type of coping used to solve the problems is the kinds of coping
on issues such as active behavior, planning, seeking instrumental support and emotions
focused coping such as seeking emotional support, acceptance, denial and religiosity.
Based on those coping, three of the four informants generally used emotion focused
coping to solve their problems. The impact of coping that the informant used was feeling
relieved after receiving the emotional support but all informants also fell that their current
problems are not done yet.

Keywords: Coping, Early Marriage, Adolescents, Stress

1.


PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara hukum dimana setiap hal di dalamnya di atur
oleh hukum tak terkecuali pernikahan. UUP No.1 tahun 1974 menyebutkan
bahwa usia minimal untuk menikah bagi perempuan adalah 16 tahun dan lakilaki 19 tahun. Meskipun peraturan sudah dibuat namun kasus pernikahan
2

yang terjadi di bawah usia tersebut masih terjadi dan hal tersebut membuat
Indonesia menjadi negara ke-37 dengan jumlah perkawinan dini terbanyak di
dunia (Wardyaningrum dkk, 2012). Data yang diperoleh dari Kementerian
Agama kabupaten Sukoharjo menunujukan bahwa pada tahun 2015 terdapat
37 pasangan yang menikah di usia dini. Usia pasangan suami istri tersebut
berkisar antara 14 tahun hingga 19 tahun. Pada rentang usia tersebut, idealnya
remaja masih dalam proses mempersiapkan diri untuk menikah dan bukan
untuk melakukan pernikahan. Papalia, dkk (2013) menyampaikan bahwa fase
perkembangan remaja berada pada rentang usia 10-20 tahun. Pada rentang
usia tersebut, remaja memiliki tugas perkembangan, salah satunya yaitu
mempersiapkan diri untuk melakukan perkawinan dan hidup berumah tangga.
Bagi wanita, hal ini harus dilengkapi dengan pengetahuan dan keterampilan
bagaimana mengurus rumah tangga dan mendidik anak. Tugas perkembangan
tersebut dilewatkan oleh remaja yang menikah dini.

Walgito (1984) mengatakan bahwa perkawinan pada umur yang masih
muda akan mengundang banyak masalah yang tidak diharapkan karena segi
psikologisnya belum matang. Husaini (2013) mengatakan bahwa tahun
pertama merupakan tahun tersulit dalam usia perkawinan sebab pada saat itu
kehidupan rumah tangga memasuki fase pendalaman sehingga kekurangan
dan perbedaan antar suami istri mulai tampak. Wilis (2011) menyebutkan
bahwa faktor terbesar dalam keretakan rumah tangga ada dua yakni faktor
internal seperti kesulitan keuangan, tafisarn dan perlakuan terhadap perilaku
marah-marah serta sikap egoistis dan kurang demokratis dan faktor eksternal
seperti campur tangan pihak ketiga serta pergaulan negatif. Yulistara (2014)
mengatakan bahwa hal-hal yang menimbulkan pertengkaran dapat memicu
timbulnya stress yang membahayakan kesehatan fisik dan mental.
Stress yang dialami seseorang dapat ditanggulangi dengan cara coping.
Coping menurut Wibowo, dkk (2011) adalah cara individu menghadapi
situasi yang menekan. Sholichatun (2011) proses coping bukanlah sebuah
kejadian yang bersifat tunggal karena coping melibatkan transaksi dengan
lingkungan secara terus menerus selain itu coping tidak hanya melibatkan
3

usaha-usaha untuk mengatasi stress secara berhasil tetapi usaha apapun yang
digunakan oleh individu untuk menghadapi stress.Lazarus dalam Niam
(2009) mendefinisikan proses coping sebagaicara individu menghadapi situasi
yang menekan. Carver dalam Putra (2013) mengemukakan tipe perilaku
coping ada dua, yakni coping yang berfokus pada masalah dan coping yang
berfokus pada emosi. Menurut Lazarus dan Folkman dalam Lestari (2014)
fungsi coping yang berfokus pada masalah adalah untuk mengurangi stressor
dengan cara mempelajari cara-cara atau keterampilan yang baru sedangkan
fungsi dari coping yang berfokus pada emosi digunakan untuk mengatur
respon emosional terhadap stress.
Adanya masalah dan stress pada remaja yang menikah di usia dini
menarik perhatian peneliti untuk mengetahui bagaiamana coping stress pada
remaja yang menikah di usia dini.Adapun tujuan dari penelitian ini adalah (1)
untuk mengetahui permasalahan yang dialami remaja yang menikah di usia
dini (2) mengetahui bentuk stress yang dialami remaja yang menikah di usia
dini (3) bentuk coping yang dilakukan serta (4) dampak dari coping tersebut.
2.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif.Brannen dalam
Alsa (2004) menyatakan bahwa pendekatan kualitatif berasumsi bahwa
manusia adalah makhluk yang aktif yang mempunyai kebebasan kemauan
yang perilakunya hanya dapat dipahami dalam konteks budaya dan
perilakunya tidak didasarkan pada hukum sebab akibat. Penelitian ini
melibatkan remaja putri yang menikah di usia dini pada tahun 2015 dan
bertempat

tinggal di kabupaten Sukoharjo. Informan dipilih dengan

carapurposive sampling, yaitu didasarkan atas kriteria yang sudah ditentukan
sebelumnya. Adapun kriteria informan utama adalah remaja putri yang
menikah di usia kurang dari enam belas tahun, menikah pada tahun 2015 dan
bertempat tinggal di kabupaten Sukoharjo. Selain informan utama, dalam
penelitian ini juga menggunakan informan pendukung yakni informan yang
dekat

dengan

informan

utama,

baik

sebagai

pasangan

atau

keluarga.Poerwandari (2007) menyatakan bahwa tidak ada aturan yang pasti
4

dalam jumlah sampel yang harus diambil untuk penelitian kualitatif sehingga
dalam penelitian ini, peneliti melibatkan empat informan utama dan tiga
informan pendukung. Pengumpulan data dilakukan dengan carawawancara
dan observasi. Pedoman wawancara dibuat sesuai dengan tujuan penelitian
serta berdasarkan aspek coping stress dari Carver sedangkan observasi
dilakukan sebagai pelengkap data.Untuk menguji keabsahan data, dalam
penelitian ini menggunakan metode trianggulasi dan melakukan prosedur cek
ulang.Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis
tematik.
3.

HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Permasalahan yang Kompleks dan Beragam
Perbedaan latar belakang ini menyebabkan pula perbedaan masalah
yang dialami. Ketiga informan (LE, DR, NY) yang menikah karena
hamil terlebih dahulu dinilai lebih memiliki masalah yang kompleks dan
beragam. Hal tersebut dapat dilihat dari permasalahan internal pada diri
mereka di dominasi perasaan negatif seperti merasa bersalah, sedih,
kecewa dan iri dengan teman-temannya yang masih sekolah.
“Ya sedih lah, ya kecewa.Ya aku kaya nyesal gitu hlo mbak.Ya
Terus kenapa aku kaya gini. Kan ya temen-temen masih sekolah

kan jadi iri gitu hlo” (W.1/634-638)
Hal tersebut tidak dialami oleh remaja yang menikah karena hasrat
pribadinya. Informan tersebut (HD) tidak merasakan kesedihan setelah
menikah namun ia merasakan takut jika tidak dapat sebebas saat masih
single dan ia merasakan sedih ketika mendapat perkataan kasar dari

suaminya.
“He, em ra isoh dolan koyo disik , disik kan yen dolan sampe jam
piro-piro kan rak enek sing nyengeni kui kan , saiki kan wes duwe

bojo opo yo arep dolan terus kui” (W.1/388-393)
Permasalahan eksternal yang ke empat informan alami juga
berbeda. Hubungan dengan suami dan mertua yang kurang harmonis,
menginginkan adanya perceraian, melibatkan saudara dalam mengurus
5

anak hingga masalah ekonomi yang kurang mencukupi dialami oleh
ketiga informan yang menikah karena hamil terlebih dahulu (LE, DR,
NY) sedangkan permasalahan eksternal yang dialami oleh remaja yang
menikah karena keinginannya sendiri sebatas pertengkaran kecil dengan
suami. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Wilis (2011) yang membagi
dua faktor besar dalam keretakan keluarga yakni faktor internal seperti
tafsiran perilaku marah-marah, sikap egois dan kurang demokratis
sedangkan faktir eksternalnya antara lain campur tangan pihak ketiga
dalam masalah keluarga serta pergaulan negatif dari anggota keluarga.
Berikut ditampilakn tabel mengenai permasalahan yang dialami remaja
yang menikah dini berdasar latar belakangnya
Tabel 1. Permasalahan yang dialami
No Alasan Menikah
1

2

Permasalahan
Internal
Eksternal
Keinginan sendiri
Merasa senang setelah Ekonomi
menikah, takut tidak
bebas seperti saat single
Hamil
dahulu Perasaan sedih, kecewa, Pertengkaran
kecil
sebelum menikah
takut
dengan suami, cerai

3.2. Ragam Stress yang Dialami
Beragam bentuk permasalahan yang dialami oleh informan
menyebabkan beragam bentuk pula stress yang mereka alami. Stress
menurut Nevid, dkk (2003) menunjukan suatu tekanan atau tuntutan yang
dialami individu agar dapat beradaptasi. Kaitannya dalam hal ini adalah
adapatasi menyesuaikan diri dengan peran dan status barunya sebagai
seorang yang sudah menikah dengan tanggung jawab barunya. Hardjana
(1994) menyampaikan bahwa aspek stress dibagi menjadi empat yakni
stress fisik, emosional/ psikologis, intelektual dan interpersonal. Berikut
tabel checklist yang menunjukan perbedaan stress yang dialami oleh
remaja yang menikah di usia dini berdasarkan latar belakangnya.

6

Tabel 2. Tabel Ragam Stress yang Dialami
No

Alasan menikah

1
2

Fisik
Keinginan Sendiri
Ѵ
Hamil
sebelum menikah

Jenis Stress
Emosional Intelektual
Ѵ
Ѵ
-

Interpersonal
Ѵ
-

Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa remaja yang menikah di
usia dini karena keinginan sendiri lebih banyak mengalami stress
daripada remaja yang menikah karena hamil sebelum menikah. Hal itu
disebabkan berbagai faktor, salah satu diantaranya adalah kurangnya
kesiapan secara psikologis dan fisik untuk menikah sedangkan remaja
yang menikah karena hamil terlebih dahulu mengalami stress yang lebih
sedikit dibanding remaja yang menikah karena keinginan sendiri. Hal itu
disebabkan karena adanya dukungan dari keluarga dalam menjalani
rumah tangga seperti dibantu dalam merawat anak.
Melakukan

pekerjaan

rumah

dan

pekerjaan

keseharian

menyebabkan dua informan (LE, HD) mengalami stress fisik berupa
badan yang mudah lelah dan mudah capek. Hal tersebut jelas membuat
informan mengalami jam tidur yang tidak teratur. Seorang informan
(HD) mengaku hanya tidur ± 4 jam selama 1x24 jam karena disibukkan
dengan pekerjaan yang ia tekuni. Selain itu, kecemasan karena ditinggal
oleh suami mengakibatkan seorang informan (NY) terganggu jam
tidurnya. Informan tersebut mudah terbangun saat jam tidur di malam
hari.
“Cuma mengganggu tidur (iter: o mengganggu tidur) kan
kepikiran nggak bisa tidur” (W.1/1380-1382)

Kecemasan saat akan melahirkan dialami juga oleh seorang
informan (LE). Akibat kecemasan tersebut, tekanan darah informan
menjadi tinggi dan diputuskan untuk melahirkan secara operasi caesar.
Akibat dari operasi caesar tersebut, informan (LE) merasakan sakit pada
bagian perut jika terlalu banyak pekerjaan rumah yang harus ia lakukan.
7

“Bekas luka jahitannya kalau kecapekean apa kena tendangan
gitu sakit.Kena tendangan adik itu sakit. Masih sakit sampai
sekarang” (W.1/446-450)
Stress emosional/psikologis menurut Hardjana (1994) meliputi gelisah
atau cemas, sedih, depresi dan mudah menangis, mood berubah-ubah,
rasa harga diri turun terlalu peka dan mudah tersinggung, merasa tidak
aman, marah-marah, gampang menyerang dan bermusuhan, serta emosi
mengering atau burnout. Hal tersebut diatas dialami oleh semua informan
meskipun mereka menikah karena latar belakang yang berbeda. Remaja
yang menikah dini karena hamil terlebih dahulu (LE, DR, NY)
mengalami stress emosional/ psikologis yang lebih banyak dibanding
remaja yang menikah karena hasrat pribadi bahkan emosi tersebut dinilai
sebagai emosi yang negatif seperti gelisah atau cemas, sedih, mudah
menangis, dan memiliki sifat iri di dalam hatinya. Dua informan (LE,
DR) merasakan kesedihan hingga menangis saat dirinya hamil di luar
nikah dan harus menikah serta meninggalkan sekolah. Informan (LE)
merasa sedih karena merasa telah mengecewakan orangtuanya sehingga
timbulah rasa bersalah dan turunlah harga dirinya.
“Ya merasa bersalah hla dulunya aja sekolah terus ngebohongi
orangtua. Itu kan bersalah banget” (W.1/844-847)
Kesedihan yang informan (DR) alami membuat informan (DR)
merasa iri apabila melihat teman-temannya bermain bersama dan
berangkat ke sekolah. Kegelisahan dan kecemasan yang dialami oleh
informan lain (NY) dikarenakan menyembunyikan kehamilannya dari
orangtua karena informan (NY) merasa sangat takut jika tidak dianggap
anak oleh orangtuanya jika orangtuanya tahu bahwa (NY)telah hamil
sebelum menikah selain itu informan (NY) juga merasa cemas jika
suaminya bermain hingga larut malam dan tak kunjung pulang ke rumah.
Rasa gelisah dan cemas tersebut tidak lain adalah karena adanya
kebutuhan mental rohaniah pada diri remaja yakni kebutuhan rasa
kekeluargaan, kebutuhan akan kasih sayang dan kebutuhan akan rasa
aman (Panuju, 2005). Informan (NY) merasa kebutuhan kekeluargaan
8

tersebut tidak utuh jika suaminya tidak segera pulang ke rumah,
sedangkan informan (HD) yang menikah karena hasrat pribadi
menyampaikan bahwa ia merasa senang sudah dapat menikah namun ia
juga pernah menangis karena merasa tersinggung dengan perkataan
suaminya. Menurut informan (HD), perkataan dari suaminya tersebut
membuatnya hati informan (HD) sakit hati dan menangis saat itu juga.
Stress fisik dan stress emosional yang dialami oleh para informan
menyebabkan mereka mengalami stress secara intelektual. Stress
intelektual yang muncul pada informan (LE dan NY) yakni banyak
melamun, pikiran kacau serta melakukan kesalahan dalam bekerja. (LE,
dan NY) memikirkan banyak hal seperti bagaimana hidupnya kelak,
menyesali kejadian yang dialami serta perubahan sikap dari suami
menyebabkan informan memiliki banyak pikiran dan pikiran tersebut
membuat informan menjadi kacau dan bercabang.
“Yo nggak dua bulan penuh lah ngelamun terus terusan gitu.
Paling yo Cuma pas diem gini kadang kan di luar sini liat jalan
sini pikirane malah kemana mana” (W.1/1824-1829)
Piaget dalam Santrock (2004) mengatakan bahwa remaja berada pada
masa pemikiran operasional formal yang dimana di dalamya lebih
abstrak daripada pemikiran seorang anak. Remaja tidak lagi terbatas pada
pengalaman konkret aktual sebagai dasar pemikiran.Sebaliknya remaja
dapat

membangkitkan

situasi

situasi

khayalan,

kemungkinan

kemungkinan hipotesis atau dalil dalil penalaran yang benar benar
abstrak.Hal tersebut sesuai dengan yang dialami oleh ketiga informan
(LE, NY), mereka lebih banyak memikirkan hal-hal yang belum tentu
terjadi seperti menurut (LE), memikirkan kehidupan anaknya kelak.
Ketiga subjek dalam penelitian ini (HD, LE, NY) lebih suka
menghindar dan mendiamkan orang lain yang bermasalah dengannya.
Sebaiknya bagaimanapun masalah tersebut tidak boleh dihindari namun
harus segera diselesaikan dengan cara kedua belah pihak merasa tidak
ada masalah lagi diantara mereka. Mengambil sikap terlalu membentengi
9

dan mempertahankan diri serta mendiamkan orang lain merupakan salah
dua dari aspek stress interpersonal menurut Hardjana (1994). Stress
interpersonal secara singkat dapat disebut sebagai stress yang
berhubungan dengan oranglain. Informan (HD, LE, NY) mendiamkan
orang yang memiliki masalah dengan informan. LE mendiamkan suami
dan mertuanya sedangkan HD dan NY mendiamkan suaminya saat
mereka memiliki masalah dengan suaminya.
“Ya nek marah diem (iter: ooh kalau..)gak omong gitu”
(W.1/1256-1257)

“Kalau saya merasa bersalah paling diem. Diem aja merenung
gitu” (W.1/879-881)
Para informan bersikap lebih introvert terhadap lingkungannya. Hal
ini menurut Semiun (2006) remaja lebih mementingkan perhatian dari
diri mereka sendiri dan tercermin dalam perilaku egosentrik.
3.3 Coping Stress yang Dilakukan
Coping bukanlah sekedar pertanyaan untuk mengetahui apa yang

dilakukanpada saat stress tetapi lebih mengimplikasikan sebuah
penggunaanketrampilan kognitif, social dan behavioral secara fleksibel
untukmengatasi situasi-situasi yang mengambang, sulit diprediksikan
atauyang penuh tekanan (Bandura dalam Solichatun,2011).Carver dalam
Putra (2013) menyebutkan dua aspek coping stress, diantaranya antara
lain perilaku coping yang berfokus pada masalah dan coping stress yang
berfokus pada emosi. Perbedaan dari kedua coping tersebut terletak pada
fungsinya, Lazarus dan Folkman dalam Lestari (2014) mengatakan jika
coping yang berfokus pada masalah akan mempelajari cara-cara atau
keterampilan yang baru sedangkan coping yang berfokus pada emosi
akan menghilangkan fakta-fakta yang tidak menyenangkan melalui
strategi kognitif. Menurut Blanchard, dkk (dalam Santrock, 2003) remaja
akan lebih menggunakan strategi coping yang berfokus pada masalah
daripada strategi coping yang berfokus pada emosi, namun hal itu
berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Cahyaningtyas (2016)
10

bahwa remaja lebih menggunakan strategi yang berfokus pada emosi
daripada menggunkan strategi yang berfokus pada masalah.
Pada penelitian ini, informan lebih banyak menggunakan coping yang
berfokus pada emosi. Hal itu terlihat dari cara informan meminta bantuan
berupa dukungan secara emosional, penerimaan diri, penyangkalan serta
religiusitas. Ketiga informan (LE, HD, DR) bercerita kepada saudara dan
teman dekatnya untuk mengurangi beban yang mereka rasakan Hal
tersebut membuat LE menjadi lebih tenang dan membuatnya berfokus
untuk mengurus anak dan keluarganya saja.
“Kalau minta tolong mungkin curhat curhatan biasa gitu aja”
(W.1/1395-1396)

Mengacu pada pendapat Gotlieb, 1983 dalam Desmita (2010),
dukungan orang terhadap pembentukan orientasi masa depan remaja
dapat dilakukan melalui pemberian informasi atau nasehat verbal dan non
verbal. Hal tersebut (nasehat verbal) didapatkan oleh keempat informan
dari teman dekat, orangtua dan saudaranya.Akibat dari dukungan
emosional tersebut, dua subjek (HD, NY) merasa mampu menerima
keadaan dirinya saat ini namun dua subjek lainnya (DR, LE) belum dapat
menerima keadaan dirinya. Desmita (2010) menjelaskan bahwa
orientasimasa depan remajaterkait lapangan kehidupan yang paling
mendapatkanperhatian adalah pendidikan. Hingga saat ini dapat dketahui
jika informan DR masih ingin melanjutkan pendidikan sekolahnya
dengan cara ikut kejar paket. Terkait dengan masalah dan stress yang
dialami oleh para informan, informan menyangkal permasalahan dengan
cara menghibur diri dengan menonton TV, bermain ke rumah saudara
dan bermain dengan anak.
“Ya paling cuma, itu tidur. Paling ya, nonton TV aja udah, sama
Devan, main sama adek ntar kalo ibu di rumah ntar aku main
sama adekku, beli-beli apa gitu kan udah seneng” (W.1/873-878)

Terkait hal tersebut, para informan meyadari jika mereka tidak akan
bisa lepas dengan Tuhannya, meskipun dalam kesehariannya hanya
11

informan DR saja yang sudah taat menjalankan perintah dari Tuhannya
dengan cara sholat tertib.
Selain coping yang berfokus pada emosi, informan melakukan coping
yang berfokus pada masalah. Bentuk coping tersebut antara lain perilaku
aktif, perencanaan serta mencari dukungan instrumental. Ketrelibatan
emosional yang ditunjukan informan dalam menyelesaikan masalah
terlihat ketika informan menangis saat memiliki masalah. Santrock
(2004) mengatakan bahwa banyak keputusan dunia nyata terjadi di dalam
atmosfir yang menegangkan yang meliputi faktor seperti hambatan waktu
dan keterlibatan emosional. Selain menangis, informan akan bersikap
diam dan memilih tidur jika memiliki masalah.
“Main teruus, tidur terus, gak terlalu deket sama keluarga”
(W.1/643-644)

Selain melakukan tindakan, informan memiliki rencana untuk
menyelesaikan masalahnya, semisal LE memiliki rencana untuk bercerai
dari suaminya agar ia dapat hidup tenang sedangkan DR memiliki
rencana untuk mengikuti sekolah kejar paket. Terkait masalah ekonomi
yang

dialami

membutuhkan

informan,
oranglain

diakui
untuk

oleh

informan

menopang

bahwa

keadaan

mereka

ekonominya.

Informan meminta bantuan berupa pinjaman uang kepada saudara dan
rekan kerjanya untuk memenuhi kebutuhannya.
“Ya nanti kalo kehabisan uang ya saya suruh Febri itu. Bon dulu
di kerjaannya, pinjem uang di bos e” (W.1/1108-1111)
Hal itu menurut pendapat Gotlieb, 1983 dalam Desmita (2010), salah
satu bentuk dukungan orang terhadap pembentukan orientasi masa depan
remaja adalah dengan cara instrumental, mencakup bantuan langsung
secara materi, atau pemberian fasilitas dan pelayanan pada remaja.
3.3. Dampak Coping
Coping yang dilakukan oleh informan adalah coping yang berfokus
pada emosi. Hal itu berdampak timbulnya perasaan lega setelah bercerita

12

kepada oranglain namun hal itu juga membuat informan merasa sedih
kembali mengingat masa lalunya.
“Yo lega lah wis dirungokne wis entuk nasihat gitu” (W.1/19371938).

“Jadi mengingat.Jadi mengingat yang dulu.”(W.1940-1942)
Sedangkan dampak coping berfokus pada masalah yang dilakukan
informan

adalah

masalah

mampu

sejenak

terlupakan

namun

sesungguhnya informan mengakui jika masalahnya belum terselesaikan.
“He’e, kadang nonton tv ketawa sendiri, guyu gitulah” (W.18831884)

“He,em dolan rono kan hiburan ne akeh kui, konco-konco ku
omah e yo kono paling ketemu konco gojek bareng kui terus

ilang” (W.1090-1094)
Berikut tabel yang menunjukan penggunaan coping dan
dampaknya dilihat dari latar belakang yang berbeda.
Tabel 3. Tabel Coping dan Dampak Coping
Jenis Coping
Dampak
Pada
Pada
Positif
Negatif
Masalah Emosi
Keinginan Sendiri
Bercerita Lega
Teringat
Hamil
sebelum Bersikap
Rasa sedih
Bercerita
masa
menikah
diam
hilang
lalu

No Alasan menikah
1
2

4.

PENUTUP
Dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa remaja yang
menikah dini baik karena hamil terlebih dahulu sebelum menikah maupun
menikah karena keinginan sendiri memiliki masalah internal ataupun
eksternal yang menyebabkan remaja mengalami berbagai macam stress, baik
stress fisik, emosional, intelektual dan interpersonal. Stress yang dialami oleh
remaja yang menikah karena keinginan sendiri lebih banyak daripada remaja
yang menikah karena hamil terlebih dahulu. Hal itu disebabkan karena remaja
yang menikah karena keinginananya sendiri kurang mempersiapkan
13

kematangan psikologis untuk menikah sedangkan remaja yang menikah
karena hamil terlebih dahulu memiliki stress yang lebih sedikit karena
dukungan dari anggota dan suaminya dinilai sangat meringankannya. Stres
yang dialami remaja dapat di atasi dengan coping yang berfokus pada
masalah dan emosi.Informan dalam penelitian, baik yang menikah karena
keinginnan sendiri ataupun karena hamil dahulu sebelum menikah lebih
banyak menggunakan coping yang berfokus pada emosi daripada coping yang
berfokus pada masalah.Hal ini disebabkan karena dukungan dari keluarga
yang menguatkan remaja untuk menghadapi berbagai stress yang dialami.
Coping yang dilakukan oleh informan, diakui informan jika belum dapat
menyelesaikan stress dan permasalahannya.
Saran yang diberikan kepada remaja yakni jika ada keinginan untuk
menikah di usia dini harus dipersiapkan kebutuhannya dengan matang
terutama kebutuhan fisiologis dan psikologis, bagi orangtua dan masyarakat
sebaiknya tetap memberikan dukungan kepada remaja yang terlanjur menikah
di usia dini karena pada dasarnya mereka masih belum bersifat dewasa
sedangkan untuk lembaga pernikahan seperti KUA, dapat menyampaikan
hasil penelitian ini untuk digunakan penyuluhan kepada masayarakat tentang
pernikahan dini bentuk stress dan kesiapannya dalam menikah.
DAFTAR PUSTAKA
Alsa, Asmadi. (2004). Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif Serta Kombinasinya
Dalam Penelitian Psikologi.Yogyakarta: Pustaka Belajar Offset
Cahyaningtyas, Helga (2016). Strategi Coping Stress pada Penderita Lupus.
Skripsi. Tidak diterbitkan. Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Surakarta
Desmita. (2010). Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Hardjana. (1994). Stres Tanpa Distres: Seni Mengolah Stres. Yogyakarta:
Kanisius.
Husaini, Aiman (2013). Rumah Tangga Bahagia sejak tahun pertama .
Solo:Islamadina.
Lestari, Dwi Winda. (2014). Penerimaan Diri Dan Strategi Coping Pada Remaja
Korban Perceraian Orang Tua. eJournal Psikologi, 2 (1)

14

Niam, Erni Khorun. (2009) Koping Terhadap Stres Pada Mahasiswa Luar Jawa
Yang Mengalami Culture Shock Di Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Indigenous, Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi, Vol 11 No, 1
Nevid, dkk. (2003). Psikologi Abnormal Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Papalia, E.Diane, S.W.Olds, R.D. Feldman (2013). Human Development
Perkembangan Manusia. Jakarta: Salemba Humanika
Panuju, Panut (2005). Psikologi Remaja . Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Poerwandari, K. (2007). Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku
Manusia. Depok: Perfecta
Putra, Dian Noviana. (2013). Strategi Coping Terhadap Stres Pada Mahasiswa
Tunanetra
Uin
Sunan
Kalijaga
Yogyakarta.Skripsi.
Tidak
diterbitkan.Yogyakarta. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta
Sarwono, Sarlito (2011). Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika
Santrock,John. (2003). Life Span Development. Jakarta: Erlangga
Santrock,John .(2004). Life Span Development. Jakarta: Erlangga
Semiun, Yustinus. (2006). Kesehatan Mental. Yogyakarta: Kanisius
Sholichatun, Yulia. (2011). Stres dan Staretegi Coping pada Anak Didikdi
Lembaga Pemasyarakatan Anak. Psikoislamika, Jurnal Psikologi Islam Jpi.
Vol 8 No.1
Walgito, Bimo. (1984). Bimbingan dan Konseling Perkawinan. Yogyakarta:
Yayaysan Penerbitan Fakuktas Psikologi Universitas Gadjah Mada
Wardyaningrum, Damayanti&Lestari, Nurhajati (2012). Komunikasi Keluarga
dalam Pengambilan Keputusan Perkawinan di Usia Remaja.Jurnal Al-Azhar
Indonesia Seri Pranata Sosial, Vol. 1, No. 4
Wibowo, Pelupessy, Narhetail. (2011). Psikologi Komunitas. Depok: LPSP3
Universitas Indonesia
Willis, Sofyan. (2011) Konseling Keluarga .Bandung: Alfabeta.
Yulistara (2014).Ini yang Harus Dipertimbangkan sebelum menikah
muda.Wolipop.com artikel.

15